Dosen Pengampuh
Kelompok 7
A. Latar Belakang
Hadis merupakan sumber kedua dari ajaran Islam setelah al-Quran, akan tetapi hadis
sendiri tidak sama dengan al-Quran dalam masalah keautentikannya. Al-Quran diriwayatkan
secara mutawatir, ditulis pada masa Nabi Saw., banyak yang menghafalnya, diriwayatkan
secara lafal dan dikumpulkan dalam satu mushaf pascawafatnya, sementara hadis tidak
demikian. Pada masa Rasulullah saw., hadis bahkan dilarang ditulis, meskipun kemudian
disusul riwayat yang mengizinkan penulisan hadis.
Termasuk dari segi pemahaman hadis, ada banyak metode yagn digunakan untuk
mengungkapkan isi dan kandungan hadis baik melalui periwayatan atau ra’yu dari sisi ilmu
pengetahuan modern. Oleh karena itu, makalah ini disediakan untuk membahas seputar
pembahasan kandungan hadis melalui pemahaman pendekatan al-Quran.
Namun, makalah ini masih memiliki banyak kesalahan, Oleh karena itu, penulis
menginginkan sebesari-besarnya kritikan dan saran yang membangun untuk pengembangan
makalah ini.
Sekian dan Terima kasih.
Kelompok 7
B. Rumusan Masalah
Pada pemaparan makalah ini, kami mencantumkan rumusan masalah yang akan
dibahas, yaitu:
C. Tujuan Penulisan
Pada makalah kali ini, penulis mencoba menyuguhkan tujuan yang hendak dicapai
dari pembuatan makalah ini, yakni:
BAB II
PEMBAHASAN
Pendapat di atas tidak selalu benar, karena sekalipun kata sunnah telah ada sebelum
Islam sebagaimana disebutkan di berbagai syair Arab, tetapi tidak menunjukkan term
animisme Jahiliyah. Kata sunnah berasal dari bahasa Arab kemudian dipakai dalam Alquran
dan hadis Nabi saw. Jadi, para ulama mengambil kata sunnah dari bahasa Arab dan bahasa
alquran dalam arti lebih spesifik dari arti etimologi semula, yaitu praktik pengamalan agama
yang sudah menjadi kebiasaan baik oleh Nabi atau para sahabatnya sesuai dengan petunjuk
Alquran.Sunnah dalam arti di atas sudah dikenal sejak awal Islam, sebagaimana yang
disebutkan dalam beberapa hadis. Di antaranya sabda Nabi saw,:
ِ فَ َعلَ ْي ُك ْم بِ ُسنَّتِي َو ُسنَّ ِة ُخلَفَا ِ`ء ْال َم ْه ِديِّي َْن الر
تَ َم َّس ُك ْوا بِهَا َو َعضُّ ْوا َعلَ ْيهَا,َّاش ِدي َْن
بِالنَ َوا ِج ْذ
Artinya: Ikutilah sunnahku dan sunnah al-khulafa’u al-rasyidin yang
mendapat petunjuk, berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah ia dengan gigi
geraham.1
Menurut analisis Musthafa Azami, pendapat ‘Ali Hasan ‘Abd Qadir di atas
merupakan pengulangan pemikiran Goldziher dan Schacht. Pemikiran merka bahwa
kata sunnah yang dipakai dalam Islam, term wasaniy merupakan kesimpulan yang
tidak berdasar dan bertentangnan dengan fakta yang ada. Penggunaan kaum jahiliah
dan animisme Arab pada suatu kata yang dipahami dalam makna etimologi tidak
mempunyai pengaruh tertentu dan tidak dapat diklaim sebagai makna term wasaniy.
Kalau tidak demikian, maka semua bahasa Arab menjadi term wasaniy seluruhnya
dan ini tidak dibenarkan oleh logika yang sehat.
1
Sulaiman bin al-Asy’ats Abu Dawud al-Sijistani al-Azdi, Sunan Abi Dawud. Jilid IV.
(Beirut: Maktabah al-‘Asyriyah, t.th.), h. 200
Sementara itu, Muhammad Rasyid Ridha dan Mahmud Syaltut menyebutkan
bahwa sebagian peneliti mengasumsikan bahwa kata sunnah diambil dari kata ibrani,
misynah, yang diartikan kumpulan periwayatan israiliyyat yang dijadikan sebagai
penafsiran atau interpretasi terhadapat kitab Taurat dan menjadi referensi hukum
yang dipedomani oleh orang Yahudi.Kemudian kata misynah ini diarabkan oleh umat
Islam menjadi sunnah yang diartikan sekumpulan periwayatan tentang sesuatu yang
disandarkan kepada Muhammad dan dijadikan sumber hukum seperti yang dilakukan
oleh kaum Yahudi.
Dengan demikian, jelas bahwa kata sunnah dalam arti yang spesifik yaitu
perjalanan Nabi dan para sahabat dalam praktik pengalaman Alquran berasal dari
bhasa Arab, bukan dari bahasa Ibrahin sebagaimana asumsi sebagian peneliti
sebelumnya. Kata sunnah telah ada sejak awal Islam, bahkan telah tenar di kalangan
masyarakat Islam awal sebagaimana yang disebutkan dalam Alquran dan hadis
Rasulullah saw.
Kata al-sunnah (berasal dari bahasa Arab) yang akar katanya terdiri dari sin
dan nun tasydid memiliki arti sesuatu yang mengalir atau sesuatu yang berurutan.
Dari makna tersebut, kata al-sunnah diartikan sebagai perilaku seseorang, baik itu
positif atau negatif. Oleh karena itu, penekanan al-sunnah lebih kepada perilaku
seseorang sejak dia lahir hingga dia meninggal, tanpa membedakan antara yang baik
dengan yang buruk, sementara hadis penekanannya terhadap sesuatu yang baru yang
terkait dengan kisah atau berita.
Namun secara terminologi, ulama berbeda pendapat dalam memberikan
definisi terhadap hadis maupun sunnah disebabkan karena perbedaan tujuan keilmuan
dan objek yang menjadi pembahasan atau penelitiannya. Untuk mengetahui
perbedaan tersebut, berikut masing-masing definisi hadis (sunnah) menurut ulama
hadis, ulama ushul fikih, ulama fikih, dan ulama akidah.
2
Abdul Gaffar, Difa’an al-Sunnah Usaha dalam Mempertahankan Ajaran Rasulullah saw.
(Cet. I; Gowa: Alauddin University Press, 2014), h. 5-11
secara praktis. Itulah tugas Rasulullah saw. Yakni menjekaskan bagi manusia
apa yang diturunkan kepada mereka.
ْ َ( إِنَّ َما ْال َما ُء ِمنair itu hanya dari air).
Sebagai contoh hadis: 3ال َما ِء
Hadis tersebut sekilas sulit dipahami, tetapi setelah melihat sabab al-wurud-
nya yang berupa pertanyaan “utbah kepada Rasulullah tentang seorang laki-
laki yang menyetubuhi istrinya dan tidak mengeluarkan sperma. Maka dapat
dipahami bahwa hadis tersebut tetap mewajibkan mandi bagi laki-laki jika
melakukan hubungan suami istri meskipun laki-laki tidak mengeluarkan
sperma.
Karena itu, segi-segi yang berkaitan erat dengan diri Nabi saw. Dan
suasana yang melatarbelakangi ataupun yang menyebabkan terjadinya hadis
Nabi mempunyai kedudukan penting dalam pemahaman suatu hadis. Mungkin
saja suatu hadis tertentu tepat dipahami secara tersurat (tekstual), sedang hadis
tertentu lainnya lebih tepat dipahami secara tersirat (kontekstual). Dengan
demikian, pemahaman dan penerapan hadis secara kontekstual dilakukan bila
di balik teks suatu hadis, ada petunjuk yang kuar yang mengharuskan hadis
bersangkuran dipahami dan diterapkan tidak sebagaimana makna tekstualnya.
Andaikan tidak memahami pesan inti dan teks, maka nicaya seseorang
akan berkata bahwa Nabi saw. Melakukan juga kesalahan.5
Untuk memahami al-Sunnah degan benar, jauh dari penyimpangan dan salah,
mentakwilkan harus dilakukan di bawah naungan Alquran, dalam lingkup orientasi
Rabbani yang benar dan adil.
(ص ۡد ࣰق ا َو َع ۡد ࣰل ۚا اَّل ُمبَ ِّد َل لِ َكلِ َم ٰـتِ ِۚۦه َوهُ َو ٱل َّس ِمی ُع ۡٱل َعلِی ُم ُ ) َوتَ َّم ۡت َكلِ َم
ِ ت َرب َِّك
Dan telah sempurna firman Tuhanmu (Al-Qur’an) dengan benar dan adil. Tidak ada
yang dapat mengubah firman-Nya. Dan Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (QS. Al-
An’am, 6:115)
5
Abdul Gaffar, Difa’an al-Sunnah Usaha dalam Mempertahankan Ajaran Rasulullah saw, h.
212-221
cabang bertentangan dengan pokok. Maka penjelasan Nabi Muhammad saw.
Semuanya berkisar dalam cakrawala Alquran dan tidak pernah melampauinya.
Oleh karena itu, tidak ada sebuah pun sunnah yang shahih yang bertentangan
dengan ayat-ayat muhkam Alquran dan penjelasan-penjelasan yang nyata. Bila
sebagian orang mengira adanya kemungkinan tersebut, maka dapat dipastikan bahwa
al-Sunnahnya tidak shahih atau pemahaman kita terhadapnya tidak benar, atau
konradiksinya sekedar dugaan belaka dan bukannya realita. Ini artinya, al-Sunnah
harus dipahami di bawah naungan Alquran.
Oleh karena itu, hadis al-Gharaniq6 (burung bangau) yang diduga mardud
(ditolak) secara pasti, bertentangan dengan Alquran, dan tidak dapat dibayangkan
hadis tersebut dikatakan dalam konteks dimana Alquran mengancam tuhan-tuhan
palsu:
6
Hadis al-Garaniq adalah sebuah hadis palus, namun disahihkan sanadnya oleh beberapa
ahli hadis seperti Ibnu Hajar. Yaitu, ketika masih di Makkah, Nabi saw., membaca surah an-Najm dan
ketika sampai ke ayat 19 dan 20: “Maka apakah patut kamu (orang-orang musyrik) menganggap
(berhala) Al-Lata dan Al-‘Uzza,dan Manat, yang ketiga”, maka setan menurut riwayat itu
menambahkan melalui lidah Nabi saw.: Itulah (berhala-berhala) garaniq yang mulia dan syafaat
mereka sungguh diharapkan (untuk dikabulkan) . Tambahan kalimat dari setan itu didengar pula
melalui bacaan Nabi saw. oleh kaum musyrik. Maka mereka pun berteriak gembira: “Sungguh
Muhammad tidak pernah sebelum hari ini menyebut tuhan-tuhan kita dengan sebutan yang baik”
Lalu ketika Nabi saw. sujud mereka pun ikut sujud bersamanya. Tak lama kemudian, Jibril datang dan
berkata kepada beliau:” Aku tak pernah membawa wahyu seperti itu. Itu hanyalah dari setan”.
Bagaimana mungkin ke dalam konteks ayat yang mengingkari dan
mengancam berhala-berhala ini masuk perkataan yang memujinya dengan
mengatakan: “Mereka adalah burung-burung bangau yang tinggi, dan sesungguhnya
syafaatnya diharapkan”.
Hadis:
اور ُْوهُ َّن َو َخالِفُ ْوهُ َّن فِى َشأْ ِن النِ َساء
ِ َش
“Bermusyawaralah kalian dengan mereka dan tentanglah mereka tentang
wanita”, adalah hadis palsu karena bertentangan dengan firman Allah swt. Yang
menjelaskan kedua orang tua dengan anak-anak yang disusuinya:
Bila pemahaman para pakar fikih dan pemberi penjelasan dalam mengambil
kesimpulan dari sunnah berlainan, maka yang paling utama dan lebih mendekati
kebenaran adalah yang mendapat dukungan Alquran.
نش`أ َ َجنَّ ٰـ ࣲت َّم ۡعرُو َش ٰـ ࣲت َو َغ ۡی` َر َم ۡعرُو َش ٰـ ࣲت َوٱلنَّ ۡخ` َل َوٱل` َّز ۡر َع َ َ(۞ َوهُ َو ٱلَّ ِذ ۤی أ
`رۦۤ ِه إِ َذ ۤا أَ ۡث َم` َر ۟ َ ُُم ۡختَلِفًا أُ ُكلُهۥُ َوٱل َّز ۡیت
ِ `ان ُمتَ َش ٰـبِ ࣰها َو َغ ۡی َر ُمتَ َش ٰـبِ ࣲۚه ُكلُ``وا ِمن ثَ َم
َ ون َوٱلرُّ َّم
)ۖصا ِدِۦهَ وا َحقَّ ۥهُ یَ ۡو َم َح۟ َُو َءات
Terjemahan:
Ayat mulia yang diturunkan di Mekkah ini dengan kandungannya yang global
dan terperinci, tidaklah membiarkan sesuatu pun yang ditumbuhkan bumi melainkan
memberikan padanya hak dan diperintahkan untuk diberikan haknya itu. Dan hak
yang diperintahkan untuk diberikan yang terkandung secara global dalam ayat ini
adalah yang diperinci oleh Alquran dan al-Sunnah setelah itu di bawah judul zakat.
Kendatipun demikian kita dapatkan sebagian pakar fikih ada yang membatasi
zakat apa yang dikeluarkan Allah dari bumi dalam empat golongan yang berupa biji-
bijian dan buah-buahan, atau bahan makanan pokok dalam kondisi hanya satu pilihan,
atau yang dapat dikeringkan, ditakar atau disimpan. Dan mereka tidak memasukkan
buah-buahan, sayur-mayur, perkebunan kopi dan teh, perkebunan apel dan manga,
kapas dan tebu, dan hasil bumi lainnya ke dalam hasil bumi yang wajib dizakati,
padahal para pemiliknya dapat memperoleh penghasilan ribuan bahkan jutaan,
sehingga saya (kata penulis) pernah mendengar dalam salah satu kunjungan saya ke
beberapa negara Asia bahwa kaum komunis menuduh fikih Islam atau syariat Islam
membebankan zakat hanya kepada para petani kecil dan ada kemungkinan tanah yang
mereka garap adalah tanah sewaan bukannya milik mereka yang menanam jagung
dan gandum, sementara para pemilik perkebunan kelapa, teh, karet dan hasil bumi
lainnya bebas dari kewajiban memnayar zakat.
Dari sini kita merasa salut terhadap al-Imam Abu Bakar bin al-‘Arabi tokoh
mazhab Maliki pada zamannya yang telah menjelaskan ayat di atas dalam bukunya
Ahakamu al-Quran dan ia jelaskan ketiga mazhab para ahli fikih; Malik, Syafi’i dan
Ahmad, tentang hasil bumi yang wajib dikeluarkan zakatnya dan yang tidak wajib,
dan di antaranya adalah mazhabnya, yaitu mazhab imamnya, Malik. Akan tetapi dia
dengan sikap adil dan ilmunya yang mendalam menganggap lemah semuanya.
Kemudian ia berkata: ”Abu Hanifah menjadikan ayat tersebut sebagian cerminnya
sehingga ia melihat kebenaran; lantaran itu ia mewajibkan zakat terhadap semua
bahan makanan baik yang pokok atau yang lainnya. Dan Nabi Muhammad saw.
menjelaskan hal ini dalam keumuman sabdanya:
Maka bagaimana Allah swt. menyebutkan nikmat dalam makanan pokok dan
buah-buahan dan mewajibkan hak di dalamnya semuanya terhadap yang bermacam-
macam kondisinya seperti anggur dan kurma, bermacam-macam jenisnya seperti
tumbuh-tumbuhan, yang selain merupakan makanan pokok juga berupa hiasan yang
melengkapi kenikmatan kesenangan dengan nyamannya pemandangan mata,
kesempurnaan kenikmatan dalam kegelapan?
Kemudian Ibnu al-‘Arabi berkata: “Bila ada yang mengatakan, kenapa tidak
pernah diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw. bahwa beliau mengambil zakat dari
sayur-mayur Madinah dan juga tidak dari Khaibar? Maka kami katakan:
‘Demikianlah para ulama kita begantung’. Dan sebenarnya adalah hal itu karena tidak
ada dalil bukannya adanya dalil. Dan bila ada yang mengatakan: ‘Bila beliau
mengambil zakatnya hal itu pasti diriwayatkan’. Maka kami katakana: ‘Perlu apa
untuk meriwayatkannya sementara al-Quran dapat memenuhi kebutuhan’.”.
Ketika saya membaca hadis tersebut dada saya menciut dan berkata:
“Barangkali hadis tersebut lemah, karena tidak semua hadis yang diriwayatkan Abu
Dawud dalam sunan-nya shahih, sebagaiman yang diketahui para ahlinya, akan tetapi
ada juga yang menyatakan keshahihannya.”
Dan yang seperti itu adalah hadis yang diriwayatkan Muslim dari Anas:
Dan saya katakan, “Apa dosa Abdullah bin Abdul Muththalib sehingga ia
masuk neraka, padahal ia termasuk orang-orang yang hidup pada masa transisi dan
yang benar mereka selamat dari api neraka?”
ُق إِلَ ٰـها َو ٰ ِح ࣰدا َونَ ۡح ُن لَ ۥه َ `ِك َوإِلَ ٰـهَ َءابَ ۤا ِٕٕى
َ ك إِ ۡب َر ٰ ِه ۧـ َم َوإِ ۡس َم ٰـ ِعی َل َوإِ ۡس َح ٰـ ۟ ُ(قَال
َ َوا نَ ۡعبُ ُد إِلَ ٰـه
)ونَ ُم ۡسلِ ُم
10
Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Naisaburi, Shahih Muslim. Jilid. V (Beirut: Dar Ihya’ al-
Turatsu al-‘Arabi, t.th.), h. 191
Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek
moyangmu yaitu Ibrahim, Ismail dan Ishak, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami
(hanya) berserah diri kepada-Nya.”(QS. Al-Baqarah, 2: 133)
Lain halnya dengan al-Gazali. Ia secara terus terang menolak hadis tersebut
karena dianggap bertentangan dengan firman Allah swt.:
۟ ُ( َولَ ۡو أَنَّ ۤا أَ ۡهلَ ۡكنَ ٰـهُم ب َع َذا ࣲب ِّمن قَ ۡبلِِۦه لَقَال
َ وا َربَّنَا لَ` ۡ`واَل ۤ أَ ۡر َس` ۡل
ت إِلَ ۡینَ``ا َر ُس`وال فَنَتَّبِ` َع ِ
)ك ِمن قَ ۡب ِل أَن نَّ ِذ َّل َونَ ۡخ َز ٰى َ َِءایَ ٰـت
Dan kalau mereka Kami binasakan dengan suatu siksaan sebelumnya (Al-
Qur’an itu diturunkan), tentulah mereka berkata, “Ya Tuhan kami, mengapa tidak
Engkau utus seorang rasul kepada kami, sehingga kami mengikuti ayat-ayat-Mu
sebelum kami menjadi hina dan rendah?”(Qs. Thaha, 20: 134)
۟ ُ(أَن تَقُول
) ࣱ وا َما َج ۤا َءنَا ِم ۢن بَ ِشی ࣲر َواَل نَ ِذی ࣲۖر فَقَ ۡد َج ۤا َء ُكم بَ ِشی ࣱر َونَ ِذی ࣱۗر
Agar kamu tidak mengatakan, “Tidak ada yang datang kepada kami baik
seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan.” Sungguh,
telah datang kepadamu pembawa berita gembira dan pemberi peringatan.(Qs. Al-
Ma’idah, 5: 19)
Dan bangsa Arab, belum pernah diutus kepada mereka seorang rasul pun atau
seorang pemberi peringatan sebelum Nabi Muhammad saw., sebagaimana dijelaskan
sejumlah ayat al-Quran:
َ َ(و َم ۤا َءاتَ ۡینَ ٰـهُم ِّمن ُكتُ ࣲب یَ ۡد ُرسُونَهَ ۖا َو َم ۤا أَ ۡر َس ۡلنَ ۤا إِلَ ۡی ِهمۡ قَ ۡبل
)ك ِمن نَّ ِذی ࣲر َ
Dan Kami tidak pernah mengutus seorang pemberi peringatan kepada mereka
sebelum engkau (Muhammad). (Qs. Saba’, 34: 44)
ون ٱهَّلل َ َو َر ُس`ولَ ۥهُ لَ َعنَهُ ُم ٱهَّلل ُ فِی ٱل` ُّد ۡنیَا َو ۡٱلٔـََٔ`ا ِخ َر ِ`ة َوأَ َع` َّد لَهُمۡ َع` َذابا َ (إِ َّن ٱلَّ ِذ
َ ین یُ` ۡ`ؤ ُذ
)ُّم ِهینا
Sesungguhnya (terhadap) orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya,
Allah akan melaknatnya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan azab yang
menghinakan bagi mereka. (Qs. Al-Ahzab, 33: 57)
Dan Nabi Muhammad mengatakan hal itu semata-mata untuk menghibur
orang yang bertanya kepadanya. Dan disebutkan dalam hadis bahwa orang berkata,
“Dan ayahmu, dimana dia?”. Dan beliau pun menjawabnya sebagaiman tercantum
dalam hadis tersebut.
Akan tetapi para pakar fikih bila mereka berbicara tentang masa transisi, yang
mereka maksudkan adalah masa antara Nabi Isa as. dan Nabi Muhammad saw. Al-
Bukhari meriwayatkan dari Salman bahwa masa tersebut selama enam ratus tahun.11
11
Yusuf Qardhawi, Metode Memahami As-Sunnah dengan Benar. (Cet. I; Jakarta: Media
Da’wah, 1414 H/ 1994 M), h. 148-163
Daftar Pustaka
Al-Quran al-Karim
Al-Hajjaj, Muslim bin al-Naisaburi. Shahih Muslim. Beirut: Dar Ihya’ al-Turatsu
al-‘Arabi, t.th.
Al-Asy’ats, Sulaiman bin al-Sijistani al-Azdi. Sunan Abi Dawud. Beirut: Maktabah
al-‘Asyriyah, t.th.
‘Isa, Muhammad bin al-TIrmidzi. 1998. Sunan al-Tirmidzi. Beirut: Dar al-Garbi al-
Islamiy