Anda di halaman 1dari 22

Makalah Kandungan Hadis Berdasarkan Pendekatan Al-Quran

Mata Kuliah Difa’an Al-Sunnah

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah yang bersangkutan

Dosen Pengampuh

Radhie Munadi, S.Th.I., M.Th.I.

Kelompok 7

1. Muhammad Faisal Ibrahim (30300118007)


2. Mursalin (30300118026)
3. Ahmad Mujahid (30300118097)

Jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir


Fakultas Ushuluddin Filsafat dan Politik
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadis merupakan sumber kedua dari ajaran Islam setelah al-Quran, akan tetapi hadis
sendiri tidak sama dengan al-Quran dalam masalah keautentikannya. Al-Quran diriwayatkan
secara mutawatir, ditulis pada masa Nabi Saw., banyak yang menghafalnya, diriwayatkan
secara lafal dan dikumpulkan dalam satu mushaf pascawafatnya, sementara hadis tidak
demikian. Pada masa Rasulullah saw., hadis bahkan dilarang ditulis, meskipun kemudian
disusul riwayat yang mengizinkan penulisan hadis.
Termasuk dari segi pemahaman hadis, ada banyak metode yagn digunakan untuk
mengungkapkan isi dan kandungan hadis baik melalui periwayatan atau ra’yu dari sisi ilmu
pengetahuan modern. Oleh karena itu, makalah ini disediakan untuk membahas seputar
pembahasan kandungan hadis melalui pemahaman pendekatan al-Quran.
Namun, makalah ini masih memiliki banyak kesalahan, Oleh karena itu, penulis
menginginkan sebesari-besarnya kritikan dan saran yang membangun untuk pengembangan
makalah ini.
Sekian dan Terima kasih.

Samata, 05 November 2019

Kelompok 7

B. Rumusan Masalah
Pada pemaparan makalah ini, kami mencantumkan rumusan masalah yang akan
dibahas, yaitu:

1. Apa pengertian Sunnah secara etimologi dan terminologi?


2. Apa saja aspek pendekatan yang dibutuhkan dalam memahami kandungan al-
sunnah?
3. Bagaimana pemahaman kandungan al-sunnah dengan pendekatan Alquran?

C. Tujuan Penulisan
Pada makalah kali ini, penulis mencoba menyuguhkan tujuan yang hendak dicapai
dari pembuatan makalah ini, yakni:

1. Pengertian Sunnah secara etimologi dan terminologi


2. Aspek pendekatan yang dibutuhkan dalam memahami kandungan al-sunnah
3. Kandungan al-sunnah dengan pendekatan Alquran

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Sunnah secara etimologi dan terminologi

ُ – ‫ َس َّن – يَس ُُّن – َسنًّا‬yang diartikan berlakunya


Sunnah berasal dari akar kata ً‫سنَّة‬
sesuatu dengan mudah, atau dapat dikatakan bahwa sesuatu itu sesuatu yang berulang-ulang
sehingga menjadi pedoman atau kaidah. Menurut ‘Ali Hasan ‘Abd al-Qadir, kata sunnah ini
telah ada sejak zaman Jahiliyah yang diartikan jalan yang lurus dalam kehidupan, baik secara
individu maupun kolektif, tradisi Arab dan yang sesuai dengan tradisi pendahulunya. Kata
sunnah bukan ciptaan umat Islam, kemudian muncul pada awal abad kedua hijriah atas
prakarsa yang menyalahi istilah lama dengan arti sunnah Rasul.

Pendapat di atas tidak selalu benar, karena sekalipun kata sunnah telah ada sebelum
Islam sebagaimana disebutkan di berbagai syair Arab, tetapi tidak menunjukkan term
animisme Jahiliyah. Kata sunnah berasal dari bahasa Arab kemudian dipakai dalam Alquran
dan hadis Nabi saw. Jadi, para ulama mengambil kata sunnah dari bahasa Arab dan bahasa
alquran dalam arti lebih spesifik dari arti etimologi semula, yaitu praktik pengamalan agama
yang sudah menjadi kebiasaan baik oleh Nabi atau para sahabatnya sesuai dengan petunjuk
Alquran.Sunnah dalam arti di atas sudah dikenal sejak awal Islam, sebagaimana yang
disebutkan dalam beberapa hadis. Di antaranya sabda Nabi saw,:

ِ ‫فَ َعلَ ْي ُك ْم بِ ُسنَّتِي َو ُسنَّ ِة ُخلَفَا ِ`ء ْال َم ْه ِديِّي َْن الر‬
‫ تَ َم َّس ُك ْوا بِهَا َو َعضُّ ْوا َعلَ ْيهَا‬,‫َّاش ِدي َْن‬
‫بِالنَ َوا ِج ْذ‬
Artinya: Ikutilah sunnahku dan sunnah al-khulafa’u al-rasyidin yang
mendapat petunjuk, berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah ia dengan gigi
geraham.1

Menurut analisis Musthafa Azami, pendapat ‘Ali Hasan ‘Abd Qadir di atas
merupakan pengulangan pemikiran Goldziher dan Schacht. Pemikiran merka bahwa
kata sunnah yang dipakai dalam Islam, term wasaniy merupakan kesimpulan yang
tidak berdasar dan bertentangnan dengan fakta yang ada. Penggunaan kaum jahiliah
dan animisme Arab pada suatu kata yang dipahami dalam makna etimologi tidak
mempunyai pengaruh tertentu dan tidak dapat diklaim sebagai makna term wasaniy.
Kalau tidak demikian, maka semua bahasa Arab menjadi term wasaniy seluruhnya
dan ini tidak dibenarkan oleh logika yang sehat.
1
Sulaiman bin al-Asy’ats Abu Dawud al-Sijistani al-Azdi, Sunan Abi Dawud. Jilid IV.
(Beirut: Maktabah al-‘Asyriyah, t.th.), h. 200
Sementara itu, Muhammad Rasyid Ridha dan Mahmud Syaltut menyebutkan
bahwa sebagian peneliti mengasumsikan bahwa kata sunnah diambil dari kata ibrani,
misynah, yang diartikan kumpulan periwayatan israiliyyat yang dijadikan sebagai
penafsiran atau interpretasi terhadapat kitab Taurat dan menjadi referensi hukum
yang dipedomani oleh orang Yahudi.Kemudian kata misynah ini diarabkan oleh umat
Islam menjadi sunnah yang diartikan sekumpulan periwayatan tentang sesuatu yang
disandarkan kepada Muhammad dan dijadikan sumber hukum seperti yang dilakukan
oleh kaum Yahudi.

Dugaan di atas tak beralasan, karena umat Islam awalnya tidak


mengartikannya sebagai sekumpulan periwayatan Nabi Muhammad saw. Pada waktu
itu, sunnah diartikan sebagai praktek pengamalan Alquran yang dilakukan oleh Nabi
dan para shahabat sebagaimana keterangan di atas. Sunnah diaritkan sekumpulan
periwayatan Nabi Muhammad saw. Setelah kurang lebih seratus tahun kemudian
dengan maksud periwayatan hadis yang telah terhimpun dari para saksi untuk
dikodifikasikan. Di samping penamaan sunnah dari Rasulullah sendiri bukan dari
ulama. Hal ini tercermin dalam beberapa hadis yang diperintah mengikuti sunnahnya.

Misynah bagi orang Yahudi memang berfungsi sebagai interpretator atau


penjelasan terhadap kitab Taurat, tetapi ia merupakan karya pendeta mereka yang
berkapasitas tidak sebagai Nabi, bahkan mereka meninggalkan teks asli kitab Taurat.
Demikian juga jika dilihat dari segi etimologis maupun historis, tidak ada pertemuan
antara Yahudi dan Arab sebelum Islam dalam berbagai aspek, baik dalam budaya,
social, tradisi, dan keagamaan.

Dengan demikian, jelas bahwa kata sunnah dalam arti yang spesifik yaitu
perjalanan Nabi dan para sahabat dalam praktik pengalaman Alquran berasal dari
bhasa Arab, bukan dari bahasa Ibrahin sebagaimana asumsi sebagian peneliti
sebelumnya. Kata sunnah telah ada sejak awal Islam, bahkan telah tenar di kalangan
masyarakat Islam awal sebagaimana yang disebutkan dalam Alquran dan hadis
Rasulullah saw.

Kata al-sunnah (berasal dari bahasa Arab) yang akar katanya terdiri dari sin
dan nun tasydid memiliki arti sesuatu yang mengalir atau sesuatu yang berurutan.
Dari makna tersebut, kata al-sunnah diartikan sebagai perilaku seseorang, baik itu
positif atau negatif. Oleh karena itu, penekanan al-sunnah lebih kepada perilaku
seseorang sejak dia lahir hingga dia meninggal, tanpa membedakan antara yang baik
dengan yang buruk, sementara hadis penekanannya terhadap sesuatu yang baru yang
terkait dengan kisah atau berita.
Namun secara terminologi, ulama berbeda pendapat dalam memberikan
definisi terhadap hadis maupun sunnah disebabkan karena perbedaan tujuan keilmuan
dan objek yang menjadi pembahasan atau penelitiannya. Untuk mengetahui
perbedaan tersebut, berikut masing-masing definisi hadis (sunnah) menurut ulama
hadis, ulama ushul fikih, ulama fikih, dan ulama akidah.

1. Ulama Muhadditsin mendefiniskan hadis/sunnah sebagai “segala apa yang


berasal dari Nabi saw., baik dalam bentuk perkataan, perbuatan, persetujuan
(taqrir), sifat , maupun sejarah hidup”.
2. Ulama Ushul FIkih (ushuliyyin) memberikan definisi sunnah adalah segala
yang disandarkan kepada Nabi saw., selain Alquran, baik dari segi perkataan,
perbuatan, ataupun taqrir yang dapat dijadikan sebagai dalil atas sebuah
hukum syariat.
3. Ulama Fikih (fuqaha’) menjelaskan bahwa sunnah adalah segala yang
bersumber dari Nabi saw. Yang tidak berhubungan dengan hal-hal yang
bersifat fardhu atau wajib.
4. Ulama Akidah mendefinisikan hadis sunnah/hadis dengan sesuatu yang
berlawanan dengan bid’ah.

Perbedaan pendefinisian ini disebabkan karena perbedaan metodologis dan


tujuannya. Muhadditsin di dalam penelitiannya memposisikan Rasulullah saw.
sebagai imam tertinggi, pemberi jalan menuju hidayah, pemberi nasihat sebagaiman
berita yang disampaikan Allah swt. Bahwa Rasulullah saw. Merupakan uswah dan
qudwah bagi kaum muslimin, sehingga para muhadditsin mengambil seluruh yang
bersumber dari Nabi saw. Baik dari masalah sirah (perjalanan hidup), akhlak,
kecenderungan, berita-berita, perkataan, dan perbuatan beliau saw. Tanpa melihat
apakah yang dikutip tersebut memiliki kandungan hukum syariat atau tidak.

Adapun ushuliyyin memosisikan Nabi saw. Sebagai musyarri’ (pembuat


hukum) yang menjelaskan kepada manusia tentang pranata sosial, dan sebagai peletak
kaidah-kaidah dasar untuk pata mujtahid setelah wafatnya. Oleh karena itu, mereka
melihat sunnah hanya sebatas apa yang datang dari Nabi saw. Yang layak dijadikan
sebagai dalil hukum.

Sementara para fuqaha’ memosisikan Nabi saw. Sebagai manusia yang


menjalankan hukum Allah swt., sehingga mereka melakukan penelitian terhadap
hukum-hukum syariat yang berhubungan dengan pekerjaan hamba, baik bersifat
wajib maupun yang haram, atau mubah dan lainnya.
Sedangkan ulama akidah memosisikan Nabi saw. Sebagai pemberi kewajiban
dan pemberi larangan sehingga penekanan ulama akidah terletak pada hal-hal yang
diperintahkan oleh syariat dan hal-hal yang dilarangnya.2

B. Pemahamann Hadis Dengan Berbagai Pendekatan

Untuk memahami isi kandungan hadis tidaklah semudah apa yang


dibayangkan, karena hadis dengan menggunakan bahasa Arab sangat sarat dengan
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Selain itu, struktur dan uslub bahasa hadis
memiliki nilai sastra yang tinggi yang berbeda dengan bahasa Arab percakapan pada
umumnya. Oleh karena itu, di dalam memahaminya perlu metode pendekatan serta
ilmu-ilmu yang dapat menjadi alat bantu dalam memahami hadis-hadis Rasulullah
saw.

1. Pemahaman hadis dengan pendekatan alquran

Untuk memahami hadis dengan pemahaman yang benar, jauh dari


penyimpangan, pemalsuan, dan penafsiran yang buruk maka haruslah
dipahami seusia petunjuk alquran, yaitu dalam kerangka bimbingan ilahi yang
pasti benarnya dan tak diragukan keadilannya. Jika alquran merupakan dasar
yang pertama dan utama, maka hadis adalah penjelasan terperinci tentnag isi
konstitusi tersebut.

Allah swt. Dalam alquran menyebutkan dan menjelaskan bahwa salah


satu tugas Rasulullah itu adalah menjelaskan wahyu (ayat-ayat Alquran) yang
diterimanya, bahkan yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah bukan hanya
penjelasan yang brsifat lisan, tetapi juga diperlukan contoh secara langsung
dan praktis, seperti pelaksanaan ibadah salat, puasa, haji dan lain-lain.

Jelaslah bahwa Alquran adalah ruh dari eksistensi Islam, dan


merupakan asas bangunannya. Alquran merupakan konstitusi dasar yang
pertama dan utama, yang kepadanya bermuara segala perundang-undangan
Islam.

Sedangkan sunnah adalah penjelasan terinci tentang isi konstitusi


tersebut, baik dalam hal-hal yang bersifat teoritis ataupun penerapannya

2
Abdul Gaffar, Difa’an al-Sunnah Usaha dalam Mempertahankan Ajaran Rasulullah saw.
(Cet. I; Gowa: Alauddin University Press, 2014), h. 5-11
secara praktis. Itulah tugas Rasulullah saw. Yakni menjekaskan bagi manusia
apa yang diturunkan kepada mereka.

Oleh sebab itu, tidaklah mungkin sesuatu yang merupakan “pemberi


penjelasan” bertentangan dengan “apa yang dijelaskan” itu sendiri, atau
“cabang” berlawanan dengan “pokok”. Maka dari penjelasan yang bersumber
dari Nabi saw. Selalu dan senantiasa berkisar di seputar Alquran, dan tidak
mungkin akan melanggarnya. Karena itu, tidak mungkin ada suatu hadis
(sunnah) sahih yang kandungannya berlawanan dengan ayat-ayat Alquran.
Kalaupun ditemukan, maka hal itu pasti disebabkan tidak sahihnya hadis yang
bersangkutan, atau pemahaman yang tidak tepat, ataupun apa yang
diperkirakan sebagai “pertentangan” itu hanyalah bersifat semu, dan bukan
pertengan hakiki.

2. Pemahaman hadis dengan sabab al-wurud

Sabab wurud al-hadis merupakan susunan idhafah, yang terdiri dari


tiga unsur kata, yaitu sabab, wurud, dan al-hadis. Sabab yang berarti habl
(tali) saluran, yang artinya dijelaskan sebagai segala yang menghubungkan
satu benda dengan benda lainnya sedangkan menurut istilah adalah ‫كل شيء‬
‫“ يتوصل به إلي غايته‬Segala sesuatu yang mengantarkan pada tujuan”. Ada
juga yang mendefinisikan dengan suatu jalan yang menuju terbentuknya suatu
hukum tanpa ada pengaruh apapun dalam hukum itu. Sedangkan kata wurud
bias berarti sampai, muncul dan mengalir seperti ‫يورد‬ ‫“ الماء الذي‬Air yang
memancar atau air yang mengalir”.

Dengan demikian secara sederhana, asbab al-wurud dapat diartikan


sebagai sebab-sebab datangnya sesuatu. Karena istilah tersebut biasa dipakai
dalam diskursus ilmu hadis, maka asbab al-wurud dapat diartikan sebagai
sebab-sebab atau latar belakang munculnya suatu hadis.

Sabab al-wurud adalah konteks historitas, baik berupa peristiwa-


peristiwa atau pertanyaan atau lainnya yang terjadi pada saat hadis itu
disampaikan oleh Nabi saw. Ia dapat berfungsi sebagai pisau analisis untuk
menentukan apakah hadis itu bersifat umum atau khusus, mutlaq atau
muqayyad, nasikh ataupun mansukh dan lain sebagainya.
Dengan demikian, dalam perspektif ini, mengetahui sabab al-wurud al-
hadis bukanlah gayah/tujuan, melainkan hanya sebagai sarana untuk
memperoleh ketepatan makna dalam memahami pesan moral suatu hadis. Jika
dilihat dari segi ruang lingkupnya, maka sabab al-wurud dapat dibagi dua,
yaitu mikro (khusus) dan makro (umum), Sedangkan jika dilihat dari
bentuknya, sabab al-wurud dapat dibagi tiga, yakni ayat Alquran, hadis Nabi,
dan peristiwa yang berkenaan dengan sahabat, baik berupa pernyataan atau
pertanyaan ataupun kejadian yang dialami oleh sahabat.

ْ َ‫( إِنَّ َما ْال َما ُء ِمن‬air itu hanya dari air).
Sebagai contoh hadis: 3‫ال َما ِء‬
Hadis tersebut sekilas sulit dipahami, tetapi setelah melihat sabab al-wurud-
nya yang berupa pertanyaan “utbah kepada Rasulullah tentang seorang laki-
laki yang menyetubuhi istrinya dan tidak mengeluarkan sperma. Maka dapat
dipahami bahwa hadis tersebut tetap mewajibkan mandi bagi laki-laki jika
melakukan hubungan suami istri meskipun laki-laki tidak mengeluarkan
sperma.

Beberapa implikasi sabab al-wurud terhadap pemahaman hadis Nabi,


antara lain, 1) membantu memahami dan menjelaskan kandungan sebuah
hadis. 2) mengetahui hadis Nabi yang bersifat kasuistik, kultural, bahkan
temporal 3) menghindarkan kesalahpahaman terhadap maknayagn diinginkan
oleh hadis. 4) membantu menyelesaikan hadis-hadis yang secara lahiriyah
tampak bertentangan. 5) mengetahui nilai-nilai yang ingin disampaikan lewat
hadis tersebut, meskipun hadis tersebut bersifar local ataupun temporal

3. Pemahaman hadis dengan maqashid al-syari’ah

Maqashid al-Syari’ah adalah merupakan sebuah konsep pemahaman


terhadap sunnah berdasarkan tujuan dari disabdakannya hadis tersebut yang
mana sangat relevan dipergunakan oleh umat Islam dalam menyelesaikan
masalah-masalah hadis yang timbul akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi.

Konsep maqashid al-Syari’ah sebenarnya telah dimulai dari masa al-


Juwaini yang terkenal dengan Imam Haramain dan oleh al-Gazali, kemudian
disusun secara sistematis oleh seorang ahli ushul fikih bermazhab Maliki dari
Granada Spanyol, yaitu al-Syatibi 9w. 790 H). Konsep itu ditulis dalam
3
Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Naisaburi, Shahih Muslim. Jilid. V (Beirut: Dar Ihya’ al-
Turatsu al-‘Arabi, t.th.), h. 269
kitabnya yang terkenal, al_Muwafaqat fii Ushul al-Ahkam, khususnya pada
juz II, yang diberi nama kitab al-Maqashid. Menurut al-Syatibi, pada dasarnya
syariat ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan hamba (mashalih
al-‘ibad), baik di dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan inilah dalam
pandangannya menjadi maqashid al-Syari’ah. Dengan kata lain, penetapan
syariat, baik secara keseluruhan (jumlatan) maupun secara rinci (tafshilan),
didasarkan pada suatu ‘illat (motif penetapan hukum), yaitu mewujudkan
kemaslahatan hamba.

Untuk mewujudkan kemaslahatan tersebut, al-Syatibi membagi


maqashid menjadi tiga tingkatan, yaitu: maqashid dharuriyat, maqashid
hajiyat, dan maqashid tahsiniyat. Dharuriyat artinya harus ada demi
kemaslahatan hamba, yang jika tidka ada akan menimbulkan kerusakan,
misalnya rukun Islam. Hajiyat maksudnya sesuatu yang dibutuhkan untuk
menghilangkan kesempitannya, seperti rukhshah (keringanan) tidak berpuasa
bagi orang sakit. Tahsiniyat artinya sesuatu yang diambil untuk kebaikan
kehidupan dan menghindarkan keburukan, semisal akhlak yang mulia,
menghilangkan najis, dan menutup aurat. Dharuriyat mencakup lima tujuan,
yaitu: 1) menjaga agama/ hifzh al-din; 2) menjaga jiwa.hifzh an-nafs; 3)
menjaga akal/hifzh al-‘aql; 4) menjaga keturunan/hifzh as-nasl; 5) menjaga
harta/hafzh al-mal.

Pengelompokan ini didasarkan pada kebutuhan dan skala prioritas.


Urutan lever ini secara hirarkis akan terlihat kepentingan dan signifikansinya,
manakala masing-masing level satu sama lain saling bertentangan. Dalam
konteks ini level dharuriyat menempati peringkat pertama disusul hajiyat dan
tahsiniyat.

4. Pemahaman hadis dengan membedakan pesan inti dan teks

Pemahaman hadis dengan membedakan pesan inti dan teks sangat


penting dilakukan agar pemahaman seseorang terhadap hadis bisa obyektif
dan benar.

Situasi sosial budaya dan alam lingkungan semakin lama semakin


terus berubah dan berkembang. Dengan demikian jauh terpisahnya hadis dari
situasi sosial yang melahirkannya, maka sebagian hadis Nabi terasa tidak
komunikatif lagi dengan realitas kehidupan sosial saat ini. Karena itu,
pemahaman atas hadis Nabi merupakan hal yang mendesak dengan acuan
yang dapat dijadikan sebagai standarisasi dalam memahami hadis.

Realitanya hadis Nabi banyak dipahami secara tekstual,, bahkan


belakangan gejala ini muncul di kalangan generasi muda Islam, tidak saja di
Indonesia, tetapi juga di banyak negara Islam lainnya.

Karena itu, segi-segi yang berkaitan erat dengan diri Nabi saw. Dan
suasana yang melatarbelakangi ataupun yang menyebabkan terjadinya hadis
Nabi mempunyai kedudukan penting dalam pemahaman suatu hadis. Mungkin
saja suatu hadis tertentu tepat dipahami secara tersurat (tekstual), sedang hadis
tertentu lainnya lebih tepat dipahami secara tersirat (kontekstual). Dengan
demikian, pemahaman dan penerapan hadis secara kontekstual dilakukan bila
di balik teks suatu hadis, ada petunjuk yang kuar yang mengharuskan hadis
bersangkuran dipahami dan diterapkan tidak sebagaimana makna tekstualnya.

Salah satu contohnya adalah hadis Rasulullah saw.:

ِ ‫َع ْن أَبِي هُ َري َْرةَ َر‬


‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ قَا َل‬
‫`ان بِاهَّلل ِ َو َر ُس`ولِ ِه‬
ٌ `‫ض ُل قَ``ا َل إِي َم‬َ ‫ال أَ ْف‬
ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أَيُّ اأْل َ ْع َم‬
َ ‫ُسئِ َل النَّبِ ُّي‬
4
‫ال َحجٌّ َم ْبرُو ٌر‬ َ ِ‫يل هَّللا ِ ق‬
َ َ‫يل ثُ َّم َما َذا ق‬ ِ ِ‫يل ثُ َّم َما َذا قَا َل ِجهَا ٌد فِي َسب‬ َ ِ‫ق‬
Artinya:

“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata; Ditanyakan


kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “’Amal apakah yang
paling utama?”. Beliau menjawab: “Iman kepada Allah dan
rasulNya”. Kemudian ditanya lagi: “Kemudian apa?” Beliau
menjawab: “Al Jihad fii sabiilillah”. Kemudian ditanya lagi:
“Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab: “Haji mabrur”.”

Namun dalam beberapa riwayat, seperti Ibn Mas’ud, Rasulullah saw.


Tidak memasukkan beriman kepada Allah swt. Sebagai amal terbaik, bahkan
amalan terbaik pertama adalah shalat tepat waktu. Begitupunn dengan riwayat
Abu Bakar al-Shiddiq , Rasulullah saw. Menjawab adalah mengeraskan suara
dengan talbiyah dan menyembelih hewan kurban, sementara riwayat
4
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari. Juz. IX (t.t. : Dar Thauq
al-Najah, 1422 H/2002 M), h. 133.
‘Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah saw. Menjawab dengan memberi makan dan
memberi salam kepada siapapun.

Dari keempat pertanyaan yang sama dengan jawaban yang berbeda


dapat dipahami bahwa amal yang termasuk lebih utama atau lebih baik itu
ternyata bermacam-macam. Hadis-hadis tersebut dapat pula dipahami bahwa
untuk pertanyaan-pertanyaan yang sama (senada), ternyata dapat saja jawaban
yang berbeda-beda. Perbedaan materi jawaban sesungguhnya tidaklah bersifat
subtanstif. Yang subtantifm kata Syuhudi, ada dua kemungkinan, yakni (a)
relevansi antara keadaan orang yang bertanya dan materi jawaban yang
diberikan; dan (b) relevansi antara keadaan kelompok masyarakat tertentu
dengan materi jawaban yanf diberikan.

Andaikan tidak memahami pesan inti dan teks, maka nicaya seseorang
akan berkata bahwa Nabi saw. Melakukan juga kesalahan.5

C. Kandungan al-Sunnah dengan pendekatan Alquran

Untuk memahami al-Sunnah degan benar, jauh dari penyimpangan dan salah,
mentakwilkan harus dilakukan di bawah naungan Alquran, dalam lingkup orientasi
Rabbani yang benar dan adil.

(‫ص ۡد ࣰق ا َو َع ۡد ࣰل ۚا اَّل ُمبَ ِّد َل لِ َكلِ َم ٰـتِ ِۚۦه َوهُ َو ٱل َّس ِمی ُع ۡٱل َعلِی ُم‬ ُ ‫) َوتَ َّم ۡت َكلِ َم‬
ِ ‫ت َرب َِّك‬
Dan telah sempurna firman Tuhanmu (Al-Qur’an) dengan benar dan adil. Tidak ada
yang dapat mengubah firman-Nya. Dan Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (QS. Al-
An’am, 6:115)

Alquran adalah ruh eksistensi Islam, fondasi bangunannya, dan ia merupakan


konstitusi asli yang menjadi rujukan semua perundang-undangan Islam.Al-Sunnah al-
Nabawiyah adalah yang menjelaskan dan memperinci konstitusi tersebut, berfungsi
sebagai penjelas teoritis dan implementasi praktis terhadap Alquran dan tugas
Rasulullah saw. Adalah menjelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepada
mereka. Dan tidaklah penjelasan bertentangan dengan apa yang dijelaskan, tidak pula

5
Abdul Gaffar, Difa’an al-Sunnah Usaha dalam Mempertahankan Ajaran Rasulullah saw, h.
212-221
cabang bertentangan dengan pokok. Maka penjelasan Nabi Muhammad saw.
Semuanya berkisar dalam cakrawala Alquran dan tidak pernah melampauinya.

Oleh karena itu, tidak ada sebuah pun sunnah yang shahih yang bertentangan
dengan ayat-ayat muhkam Alquran dan penjelasan-penjelasan yang nyata. Bila
sebagian orang mengira adanya kemungkinan tersebut, maka dapat dipastikan bahwa
al-Sunnahnya tidak shahih atau pemahaman kita terhadapnya tidak benar, atau
konradiksinya sekedar dugaan belaka dan bukannya realita. Ini artinya, al-Sunnah
harus dipahami di bawah naungan Alquran.

Oleh karena itu, hadis al-Gharaniq6 (burung bangau) yang diduga mardud
(ditolak) secara pasti, bertentangan dengan Alquran, dan tidak dapat dibayangkan
hadis tersebut dikatakan dalam konteks dimana Alquran mengancam tuhan-tuhan
palsu:

`َ ‫ُ()و َمنَ ٰوةَ ٱلثَّالِثَةَ ٱأۡل ُ ۡخ َر ٰۤى()أَفَ َر َء ۡیتُ ُم ٱللَّ ٰـ‬


(‫ت َو ۡٱل ُع َّز ٰى‬ َ ‫أَلَ ُك ُم ٱل َّذ َك ُر َولَه‬
‫ضی َز ٰۤى()ٱأۡل ُنثَ ٰى‬ ِ ‫ك إِ ࣰذ ا قِ ۡس َم ࣱة‬ َ ‫إِ ۡن ِه َی إِاَّل ۤ أَ ۡس َم ۤا ࣱء َس َّم ۡیتُ ُموهَ ۤا أَنتُمۡ ()تِ ۡل‬
‫ُون إِاَّل ٱلظَّ َّن َو َما تَ ۡه َوى‬ َ ‫َو َءابَ ۤا ُؤ ُكم َّم ۤا أَن َز َل ٱهَّلل ُ بِهَا ِمن س ُۡلطَ ٰـ ۚ ٍن إِن یَتَّبِع‬
‫سُ َولَقَ ۡد َج ۤا َءهُم ِّمن َّربِّ ِه ُم ۡٱلهُ َد ٰۤى‬ ۖ ُ‫)ٱأۡل َنف‬
Maka apakah patut kamu (orang-orang musyrik) menganggap (berhala) Al-
Lata dan Al-‘Uzza,dan Manat, yang ketiga (yang) kemudian (sebagai anak
perempuan Allah).Apakah (pantas) untuk kamu yang laki-laki dan untuk-Nya yang
perempuan?Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil.Itu tidak lain
hanyalah nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu mengada-adakannya; Allah
tidak menurunkan suatu keterangan apa pun untuk (menyembah)nya. Mereka hanya
mengikuti dugaan, dan apa yang diingini oleh keinginannya. Padahal sungguh, telah
datang petunjuk dari Tuhan mereka. (QS. An-Najm, 53: 19-23)

6
Hadis al-Garaniq adalah sebuah hadis palus, namun disahihkan sanadnya oleh beberapa
ahli hadis seperti Ibnu Hajar. Yaitu, ketika masih di Makkah, Nabi saw., membaca surah an-Najm dan
ketika sampai ke ayat 19 dan 20: “Maka apakah patut kamu (orang-orang musyrik) menganggap
(berhala) Al-Lata dan Al-‘Uzza,dan Manat, yang ketiga”, maka setan menurut riwayat itu
menambahkan melalui lidah Nabi saw.: Itulah (berhala-berhala) garaniq yang mulia dan syafaat
mereka sungguh diharapkan (untuk dikabulkan) . Tambahan kalimat dari setan itu didengar pula
melalui bacaan Nabi saw. oleh kaum musyrik. Maka mereka pun berteriak gembira: “Sungguh
Muhammad tidak pernah sebelum hari ini menyebut tuhan-tuhan kita dengan sebutan yang baik”
Lalu ketika Nabi saw. sujud mereka pun ikut sujud bersamanya. Tak lama kemudian, Jibril datang dan
berkata kepada beliau:” Aku tak pernah membawa wahyu seperti itu. Itu hanyalah dari setan”.
Bagaimana mungkin ke dalam konteks ayat yang mengingkari dan
mengancam berhala-berhala ini masuk perkataan yang memujinya dengan
mengatakan: “Mereka adalah burung-burung bangau yang tinggi, dan sesungguhnya
syafaatnya diharapkan”.

Hadis:

‫اور ُْوهُ َّن َو َخالِفُ ْوهُ َّن فِى َشأْ ِن النِ َساء‬
ِ ‫َش‬
“Bermusyawaralah kalian dengan mereka dan tentanglah mereka tentang
wanita”, adalah hadis palsu karena bertentangan dengan firman Allah swt. Yang
menjelaskan kedua orang tua dengan anak-anak yang disusuinya:

ۡ‫`اح َعلَ ۡی ِه َم` ۗ`ا َوإِ ۡن أَ َردتُّم‬


َ `َ‫صااًل َعن تَ َرا ࣲض ِّم ۡنهُ َما َوتَ َش `ا ُو ࣲر فَاَل ُجن‬ َ ِ‫(۞فَإِ ۡن أَ َرا َدا ف‬
) ࣱ .... ‫ضع ُۤو ۟ا أَ ۡولَ ٰـ َد ُكمۡ فَاَل ُجنَا َح‬
ِ ‫أَن تَ ۡستَ ۡر‬
Terjemahan:

Apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan


permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas
keduanya. (QS. Al-Baqarah,2: 233)

Bila pemahaman para pakar fikih dan pemberi penjelasan dalam mengambil
kesimpulan dari sunnah berlainan, maka yang paling utama dan lebih mendekati
kebenaran adalah yang mendapat dukungan Alquran.

Perhatikan firman Allah swt. Berikut ini:

‫نش`أ َ َجنَّ ٰـ ࣲت َّم ۡعرُو َش ٰـ ࣲت َو َغ ۡی` َر َم ۡعرُو َش ٰـ ࣲت َوٱلنَّ ۡخ` َل َوٱل` َّز ۡر َع‬ َ َ‫(۞ َوهُ َو ٱلَّ ِذ ۤی أ‬
‫`رۦۤ ِه إِ َذ ۤا أَ ۡث َم` َر‬ ۟ َ ُ‫ُم ۡختَلِفًا أُ ُكلُهۥُ َوٱل َّز ۡیت‬
ِ `‫ان ُمتَ َش ٰـبِ ࣰها َو َغ ۡی َر ُمتَ َش ٰـبِ ࣲۚه ُكلُ``وا ِمن ثَ َم‬
َ ‫ون َوٱلرُّ َّم‬
)ۖ‫صا ِدِۦه‬َ ‫وا َحقَّ ۥهُ یَ ۡو َم َح‬۟ ُ‫َو َءات‬
Terjemahan:

Dan Dialah yang menjadikan tanaman-tanaman yang merambat dan


yang tidak merambat, pohon kurma, tanaman yang beraneka ragam
rasanya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan
tidak serupa (rasanya). Makanlah buahnya apa-bila ia berbuah dan
berikanlah haknya (zakatnya) pada waktu memetik hasilnya. (QS.
Al-An’am,6: 141)

Ayat mulia yang diturunkan di Mekkah ini dengan kandungannya yang global
dan terperinci, tidaklah membiarkan sesuatu pun yang ditumbuhkan bumi melainkan
memberikan padanya hak dan diperintahkan untuk diberikan haknya itu. Dan hak
yang diperintahkan untuk diberikan yang terkandung secara global dalam ayat ini
adalah yang diperinci oleh Alquran dan al-Sunnah setelah itu di bawah judul zakat.

Kendatipun demikian kita dapatkan sebagian pakar fikih ada yang membatasi
zakat apa yang dikeluarkan Allah dari bumi dalam empat golongan yang berupa biji-
bijian dan buah-buahan, atau bahan makanan pokok dalam kondisi hanya satu pilihan,
atau yang dapat dikeringkan, ditakar atau disimpan. Dan mereka tidak memasukkan
buah-buahan, sayur-mayur, perkebunan kopi dan teh, perkebunan apel dan manga,
kapas dan tebu, dan hasil bumi lainnya ke dalam hasil bumi yang wajib dizakati,
padahal para pemiliknya dapat memperoleh penghasilan ribuan bahkan jutaan,
sehingga saya (kata penulis) pernah mendengar dalam salah satu kunjungan saya ke
beberapa negara Asia bahwa kaum komunis menuduh fikih Islam atau syariat Islam
membebankan zakat hanya kepada para petani kecil dan ada kemungkinan tanah yang
mereka garap adalah tanah sewaan bukannya milik mereka yang menanam jagung
dan gandum, sementara para pemilik perkebunan kelapa, teh, karet dan hasil bumi
lainnya bebas dari kewajiban memnayar zakat.

Dari sini kita merasa salut terhadap al-Imam Abu Bakar bin al-‘Arabi tokoh
mazhab Maliki pada zamannya yang telah menjelaskan ayat di atas dalam bukunya
Ahakamu al-Quran dan ia jelaskan ketiga mazhab para ahli fikih; Malik, Syafi’i dan
Ahmad, tentang hasil bumi yang wajib dikeluarkan zakatnya dan yang tidak wajib,
dan di antaranya adalah mazhabnya, yaitu mazhab imamnya, Malik. Akan tetapi dia
dengan sikap adil dan ilmunya yang mendalam menganggap lemah semuanya.
Kemudian ia berkata: ”Abu Hanifah menjadikan ayat tersebut sebagian cerminnya
sehingga ia melihat kebenaran; lantaran itu ia mewajibkan zakat terhadap semua
bahan makanan baik yang pokok atau yang lainnya. Dan Nabi Muhammad saw.
menjelaskan hal ini dalam keumuman sabdanya:

‫ت ال َّس َما ُء ْال ُع ْش ُر‬


ِ َ‫َوفِى َما َسف‬
“Dan dalam tumbuhan yang disiram air hujan dikeluarkan zakatnya
sepersepuluhnya”.
Pendapat Ahmad bahwa hasil bumi yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah
hasil yang dapat ditakar, berdasarkan sabda Rasulullah saw.:

ٍ ‫ْس فِ ْي َما ُد ْو ِن َخ ْم َس ِة أَ ْو َس‬


‫ق‬ َ ‫لَي‬
“Tidak diwajibkan zakat hasil bumi yang kurang dari lima wasaq”. Adalah
lemah, karena konsekuensi pengertian hadis tersebut adalah bahwa nisabnya harus
berlaku dalam buah-buahan dan biji-bijian. Gugurnya hak dari yang lainnya tidaklah
dalam kekuatan pembicaraan. Dan yang berkaitan dengan makanan pokok (yaitu
pendapat mazhab Syafi’i) adalah dakwaan yang tidak ada sumbernya. Pengertian
semata-mata diarahkan kepada hukum-hukumnya dengan pokok-pokoknya
sebagaiman yang kami jelaskan dalam buku al-Qiyas.

Maka bagaimana Allah swt. menyebutkan nikmat dalam makanan pokok dan
buah-buahan dan mewajibkan hak di dalamnya semuanya terhadap yang bermacam-
macam kondisinya seperti anggur dan kurma, bermacam-macam jenisnya seperti
tumbuh-tumbuhan, yang selain merupakan makanan pokok juga berupa hiasan yang
melengkapi kenikmatan kesenangan dengan nyamannya pemandangan mata,
kesempurnaan kenikmatan dalam kegelapan?

Kemudian Ibnu al-‘Arabi berkata: “Bila ada yang mengatakan, kenapa tidak
pernah diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw. bahwa beliau mengambil zakat dari
sayur-mayur Madinah dan juga tidak dari Khaibar? Maka kami katakan:
‘Demikianlah para ulama kita begantung’. Dan sebenarnya adalah hal itu karena tidak
ada dalil bukannya adanya dalil. Dan bila ada yang mengatakan: ‘Bila beliau
mengambil zakatnya hal itu pasti diriwayatkan’. Maka kami katakana: ‘Perlu apa
untuk meriwayatkannya sementara al-Quran dapat memenuhi kebutuhan’.”.

Dan hadis yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw:

ٌ‫ص َدقَة‬ `ِ ‫ْس فِى ْالخَضْ َر َوا‬


َ ‫ت‬ َ ‫لَي‬7
“Sayur-mayur tidak dikeluarkan sedekahnya” sanadnya lemah, sehingga tidak
dapat dijadikan landasan hukum, selain dispesifikasi keumuman al-Quran dan hadis-
hadis yang popular. Hadis itu diriwayatkan at-Tirmidzi kemudian ia berkata,”Isnad
hadis ini tidaklah benar, maka dalam masalah ini tidak benar bila ia dikatakan sebagai
sabda Nabi Muhammad saw.”.
7
Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah al-TIrmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Juz. IX (Beirut: Dar al-
Garbi al-Islamiy, 1998 M), h. 23
Adalah hak seorang muslim untuk menahan diri dari setiap hadis yang tampak
kontradiksi dengan ayat-ayat muhkam al-Quran bila ia tidak mendapatkan
pentakwilan yang dapat diandalkan. Dan hal itu saya lakukan terhadap hadis yang
diriwayatkan Abu Dawud dan lainnya yang menyatakan:

ِ َّ‫اَ ْل َوائِ َدةُ َو ْال َم ْو ُء ْو َدةُ فِي الن‬


8
‫ار‬
“Wanita yang mengubur bayi perempuannya hidup-hidup dan bayi perempuan
yang dikubur hidup-hidup keduanya berada dalam neraka”.

Ketika saya membaca hadis tersebut dada saya menciut dan berkata:
“Barangkali hadis tersebut lemah, karena tidak semua hadis yang diriwayatkan Abu
Dawud dalam sunan-nya shahih, sebagaiman yang diketahui para ahlinya, akan tetapi
ada juga yang menyatakan keshahihannya.”

Yang seperti itu adalah “Wanita-wanita yang mengubur bayi perempuannya


hidup-hidup dan bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup keduanya berada dalam
neraka, kecuali bila wanita yang mengubur itu masuk Islam, maka iapun akan
selamat”. (HR. Ahmad: 15358)

Maksudnya, wanita yang mengubur bayi perempuannya hidup-hidup itu


mempunyai kesempatan untuk menyelamatkan diri dari api neraka, sementara bayi
perempuan yang dikuburnya hidup-hidup tidak mempunyai kesempatan. Di sini saya
bertanya-tanya sebagaimana para sahabat dahulu ketika mendengar Rasulullah saw.
bersabda:

ِ ‫ت يَ``ا َر ُس `و َل هَّللا‬ ُ ‫ار فَقُ ْل‬


ِ َّ‫ان بِ َس` ْيفَ ْي ِه َما فَ ْالقَاتِ ` ُل َو ْال َم ْقتُ``و ُل فِي الن‬
ِ ‫إِ َذا ْالتَقَى ْال ُم ْسلِ َم‬
9
‫صا ِحبِ ِه‬َ ‫ان َح ِريصًا َعلَى قَ ْت ِل‬ َ ‫ال إِنَّهُ َك‬ َ َ‫هَ َذا ْالقَاتِ ُل فَ َما بَا ُل ْال َم ْقتُو ِل ق‬
“Apabila dua orang muslim yang berhadapan dengan pedangnya, maka orang
yang membunuh dan terbunuh berada di neraka.” Para sahabat berkata, “Wahai
Rasulullah, (neraka) layak bagi yang membunuh, lalu bagaimana halnya dengan
orang yang terbunuh?” beliau bersabda: “Karena ia juga berkeinginan membunuh
temannya.”
8
Sulaiman bin al-Asy’ats Abu Dawud al-Sijistani al-Azdi, Sunan Abi Dawud. Jilid IV. (Beirut:
Maktabah al-‘Asyriyah, t.th.), h. 230
9
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari. Juz. IX (t.t. : Dar Thauq al-
Najah, 1422 H/2002 M), h. 15.
Rasulullah saw. menjelaskan kenapa yang dibunuh juga berhak masuk neraka,
yaitu karena telah berniat membunuh saudaranya.

Di sini saya berkata,”Bila wanita yang mengubur bayi perempuannya hidup-


hidup masuk neraka, ya itu sepantasnya. Lalu apa dosa bayi perempuan yang dikubur
hidup-hidup? Bila bayi perempuan tersebut mendapat hukuman masuk neraka, maka
hal ini bertentangan dengan firman Allah swt.:

(‫()وإِ َذا ۡٱل َم ۡو ُءۥ َدةُ ُس ِٕٕىِ`لَ ۡت‬


َ ‫) بِأَیِّ َذ ۢن ࣲب قُتِلَ ۡت‬
Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya,karena
dosa apa dia dibunuh? (QS. At-Takwir, 81: 8-9)

Saya telah membaca berbagai syarah hadis tersebut untuk mengetahui


pendapat para pensyarahnya, namun saya tidak mendapatkan penjelasan yang
memuaskan.

Dan yang seperti itu adalah hadis yang diriwayatkan Muslim dari Anas:

َ ‫إِ َّن أَبِي َوأَبَا‬10


ِ َّ‫ك فِى الن‬
‫ار‬
“Sesungguhnya ayahku dan ayahmu berada dalam neraka” Sebagai jawaban
terhadap yang bertanya ayahnya dimana ia.

Dan saya katakan, “Apa dosa Abdullah bin Abdul Muththalib sehingga ia
masuk neraka, padahal ia termasuk orang-orang yang hidup pada masa transisi dan
yang benar mereka selamat dari api neraka?”

Terbetik dalam hati saya kemungkinan yang dimaksud dengan sabdanya


“Sesungguhnya ayahku” adalah pamannya Abu Thalib yang merawatnya dengan
penuh kasih sayang setelah kakeknya Abdul Muththalib meninggal dunia.
Menganggap paman sebagai ayah adalah hal yang terjadi dalam istilah bahasa dan al-
Quran, sepertu firman-Nya lewat ucapan anak-anak Nabi Ya’qub, mereka berkata:

ُ‫ق إِلَ ٰـها َو ٰ ِح ࣰدا َونَ ۡح ُن لَ ۥه‬ َ `ِ‫ك َوإِلَ ٰـهَ َءابَ ۤا ِٕٕى‬
َ ‫ك إِ ۡب َر ٰ ِه ۧـ َم َوإِ ۡس َم ٰـ ِعی َل َوإِ ۡس َح ٰـ‬ ۟ ُ‫(قَال‬
َ َ‫وا نَ ۡعبُ ُد إِلَ ٰـه‬
)‫ون‬َ ‫ُم ۡسلِ ُم‬

10
Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Naisaburi, Shahih Muslim. Jilid. V (Beirut: Dar Ihya’ al-
Turatsu al-‘Arabi, t.th.), h. 191
Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek
moyangmu yaitu Ibrahim, Ismail dan Ishak, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami
(hanya) berserah diri kepada-Nya.”(QS. Al-Baqarah, 2: 133)

Ismail adalah paman Ya’qub dan al-Quran menganggapnya (baca:


menyebutnya) sebagai ayahnya. Dan tidak diragukan lagi bahwa Abu Thalib masuk
neraka, karena ia menolak untuk mengucapkan kalimat tauhid hingga akhir hayatnya.
Dan sejumlah hadis shahih menjelaskan bahwa ia adalah penduduk neraka yang
mendapat siksa yang paling ringan.

Namun lemahnya kemungkinan tersebut menurut saya adalah karena


bertentangan dengan pikiran spontan dari satu sisi, dan dari sisi lain: Apa dosa ayah
orang yang bertanya? Tampaknya ayahnya itu meninggal sebelum datangnya Islam.
Oleh karena itu, saya menahan diri terhadap hadis ini sampai saya mendapatkan
penjelasan yang memuskan.

Lain halnya dengan al-Gazali. Ia secara terus terang menolak hadis tersebut
karena dianggap bertentangan dengan firman Allah swt.:

(ٰۗ ‫ث َر ُسواًل‬ َ ِ‫)و َما ُكنَّا ُم َع ِّذب‬


َ ‫ین َحتَّ ٰى نَ ۡب َع‬ َ
Tetapi Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul. (QS. Al-
Isra’, 17: 15)

۟ ُ‫( َولَ ۡو أَنَّ ۤا أَ ۡهلَ ۡكنَ ٰـهُم ب َع َذا ࣲب ِّمن قَ ۡبلِِۦه لَقَال‬
َ ‫وا َربَّنَا لَ` ۡ`واَل ۤ أَ ۡر َس` ۡل‬
‫ت إِلَ ۡینَ``ا َر ُس`وال فَنَتَّبِ` َع‬ ِ
)‫ك ِمن قَ ۡب ِل أَن نَّ ِذ َّل َونَ ۡخ َز ٰى‬ َ ِ‫َءایَ ٰـت‬
Dan kalau mereka Kami binasakan dengan suatu siksaan sebelumnya (Al-
Qur’an itu diturunkan), tentulah mereka berkata, “Ya Tuhan kami, mengapa tidak
Engkau utus seorang rasul kepada kami, sehingga kami mengikuti ayat-ayat-Mu
sebelum kami menjadi hina dan rendah?”(Qs. Thaha, 20: 134)

۟ ُ‫(أَن تَقُول‬
) ࣱ ‫وا َما َج ۤا َءنَا ِم ۢن بَ ِشی ࣲر َواَل نَ ِذی ࣲۖر فَقَ ۡد َج ۤا َء ُكم بَ ِشی ࣱر َونَ ِذی ࣱۗر‬
Agar kamu tidak mengatakan, “Tidak ada yang datang kepada kami baik
seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan.” Sungguh,
telah datang kepadamu pembawa berita gembira dan pemberi peringatan.(Qs. Al-
Ma’idah, 5: 19)
Dan bangsa Arab, belum pernah diutus kepada mereka seorang rasul pun atau
seorang pemberi peringatan sebelum Nabi Muhammad saw., sebagaimana dijelaskan
sejumlah ayat al-Quran:

َ ُ‫(لِتُن ِذ َر قَ ۡو ًما َّم ۤا أُن ِذ َر َءابَ ۤا ُؤهُمۡ فَهُمۡ َغ ٰـفِل‬


)‫ون‬
Agar engkau memberi peringatan kepada suatu kaum yang nenek moyangnya
belum pernah diberi peringatan, karena itu mereka lalai. (Qs. Yasin, 36: 6)

َ َ‫(و َم ۤا َءاتَ ۡینَ ٰـهُم ِّمن ُكتُ ࣲب یَ ۡد ُرسُونَهَ ۖا َو َم ۤا أَ ۡر َس ۡلنَ ۤا إِلَ ۡی ِهمۡ قَ ۡبل‬
)‫ك ِمن نَّ ِذی ࣲر‬ َ
Dan Kami tidak pernah mengutus seorang pemberi peringatan kepada mereka
sebelum engkau (Muhammad). (Qs. Saba’, 34: 44)

Dalam menghadapi hadis-hadis shahih tersebut saya lebih cenderung untuk


menahan diri daripada menolaknya secara mutlak, dikhawatirkan mempunyai
pengertian yang belum dapat saya ketahui.

Untungnya saya merujuk kepada pensyarah Muslim selain an-Nawawi yaitu


kedua orang cendekiawan al-Abbi dan al-Sanusi. Keduanya memelihara pengertian
lahir hadis tersebut, sementara imam an-Nawawi mengomentari hadis tersebut
dengan berkata sebagai berikut: “Hal itu beliau ucapkan karena budi pekerti baiknya
beliau sebagai hiburan kepada orang yang bertanya untuk turut merasakan musibah
yang menimpanya. Dan dalam hadis tersebut terkandung pengertian bahwa orang
yang mati dalam keadaan kafir akan masuk neraka dan kaum kerabatnya sedikitpun
tidak dapat menolongnya.”

Al-Abbi berkata: “Lihatlah kemutlakan ini!” sementara al-Suhaili berkata:


“Kita tidak boleh berkata demikian, karena Rasulullah saw. bersabda: “Janganlah
kalian menyakiti orang hidup dengan mencaci orang-orang yang telah meninggal
dunia”. Dan Allah swt. berfirman:

‫ون ٱهَّلل َ َو َر ُس`ولَ ۥهُ لَ َعنَهُ ُم ٱهَّلل ُ فِی ٱل` ُّد ۡنیَا َو ۡٱلٔـََٔ`ا ِخ َر ِ`ة َوأَ َع` َّد لَهُمۡ َع` َذابا‬ َ ‫(إِ َّن ٱلَّ ِذ‬
َ ‫ین یُ` ۡ`ؤ ُذ‬
)‫ُّم ِهینا‬
Sesungguhnya (terhadap) orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya,
Allah akan melaknatnya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan azab yang
menghinakan bagi mereka. (Qs. Al-Ahzab, 33: 57)
Dan Nabi Muhammad mengatakan hal itu semata-mata untuk menghibur
orang yang bertanya kepadanya. Dan disebutkan dalam hadis bahwa orang berkata,
“Dan ayahmu, dimana dia?”. Dan beliau pun menjawabnya sebagaiman tercantum
dalam hadis tersebut.

Al-Nawawi berkata,”Dalam hadis tersebut terkandung pengertian bahwa


orang yang meninggal pada masa transisi menurut kebiasaan bangsa Arab waktu itu
yaitu menyembah berhala, maka ia masuk neraka. Dan ini bukannya sebagai siksaan
sebelum sampainya dakwah, karena telah sampai dakwah kepada mereka Nabi
Ibrahim as. dan rasul-rasul lainnya.

Al-Abbi berkata,”Perhatikan kontradiksi yang terdapat dalam ucapannya


itu.Orang yang sampai kepadanya dakwah bukanlah orang yang hidup dalam masa
transisi, dan hal itu anda ketahui dari apa yang anda dengar. Orang yang dikatakan
hidup dalam masa transisi adalah bangsa yang hidup antara zaman para rasul yang
belum pernah diutus kepada mereka rasul pertama dan tidak pula disusul dengan yang
kedua, sebagaimana bangsa Arab pedusunan yang tidak sempat tersentuh dakwaah
Nabi Isa as. dan tidak pula sempat tersentuh dakwah Nabi Muhammad saw. Maka
masa transisi dengan penafsiran ini mencakup masa antara masing-masing dari kedua
rasul.

Akan tetapi para pakar fikih bila mereka berbicara tentang masa transisi, yang
mereka maksudkan adalah masa antara Nabi Isa as. dan Nabi Muhammad saw. Al-
Bukhari meriwayatkan dari Salman bahwa masa tersebut selama enam ratus tahun.11

11
Yusuf Qardhawi, Metode Memahami As-Sunnah dengan Benar. (Cet. I; Jakarta: Media
Da’wah, 1414 H/ 1994 M), h. 148-163
Daftar Pustaka
Al-Quran al-Karim

Al-Hajjaj, Muslim bin al-Naisaburi. Shahih Muslim. Beirut: Dar Ihya’ al-Turatsu
al-‘Arabi, t.th.

Al-Asy’ats, Sulaiman bin al-Sijistani al-Azdi. Sunan Abi Dawud. Beirut: Maktabah
al-‘Asyriyah, t.th.

Gaffar, Abdul. 2014. Difa’an Al-Sunnah (Usaha Dalam Mempertahankan Ajaran


Rasulullah SAW). Gowa: Alauddin University Press.

‘Isa, Muhammad bin al-TIrmidzi. 1998. Sunan al-Tirmidzi. Beirut: Dar al-Garbi al-
Islamiy

Ismail, Muhammad bin al-Bukhari. 1422 H/2001 M. Shahih Al-Bukhari. Lebanon:


Dar Thauq al-Najah.

Qardhawi, Yusuf. 1994. Metode Memahami As-Sunnah Dengan Benar. Jakarta:


Media Dakwah

Software Ensiklopedi 9 Imam

Software Maktabah Syamilah

Anda mungkin juga menyukai