Anda di halaman 1dari 12

As-Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam

Oleh:

Dwi Novita, S.H


21203011084

Dr. Oman Fathurohman SW., M.Ag


Dosen Pengampu

MAGISTER ILMU SYARI’AH


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA

1
2021
BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Sunnah memiliki kedudukan istimewa dalam hukum Islam karena

kekuatan otoritatif yang dimilikinya. Posisi yang demikian penting

meletakkan Sunnah sebagai salah satu sumber yang harus dijadikan

referensi dalam pengambilan dan penetapan hampir setiap keputusan

hukum.1 Sunnah merupakan sumber hukum kedua bagi ummat Islam

dunia, tidak dipungkiri lagi bahwa kekuatan sunnah sangat penting dalam

memahami hukum Islam yng bersumber dari al-Quran, karena sunnah

memiliki fungsi sebagai penjelas al-quran. Al-Quran dengan segenap

keistimewaannya memiliki kandungan sastra bahasa yang terkadang sulit

untuk dipahami secara tekstual.2

Jika otoritas Sunnah sebagai sumber hukum telah disepakati oleh

hampir semua muslim, maka tidak demikian dengan persoalan bagaimana

memahami Sunnah tersebut Menurut al-Syafi'i, Sunnah yang valid hanya

terdapat dalam teks hadis yang diperoleh lewat metode transmisi

periwayatan tertentu, dan bukan dengan cara yang lain. Dengan batasan

demikian berarti Sunnah identik dengan hadis, yaitu informasi tentang

Nabi sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab koleksi hadi yang

umumnya ditulis pada abad ke-3 H. Oleh karena hadis yang menjadi
1
Alamsyah, Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam Dalam Pemahaman Syahrur dan Al-
Qadarawi, (Jogjakarta:Skripsi, 2004), Hlm. 1.
2
Muhazir, As-Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam: Refleksi Terhadap Hermeneutika
Muhammad Syahrur [Online], Jurnal At-Tafkir Vol. XI No. 2 Desember (2018)

2
media untuk mengakses Sunnah diekspressikan dalam bahasa Arab, maka

pemahaman yang benar tentang Sunnah Nabi adalah yang sesuai dengan

logika dari bahasa 'Arab itu sendiri, padahal dipengaruhi oleh karakter

budaya dan lingkungan pemakainya dan belum tentu sesuai bagi

pengguna bahasa yang berbeda.3

Konsep al-Syafi'i tentang Sunnah seperti di atas sangat

berpengaruh terhadap model pemahaman Sunnah sekaligus dalam

pembentukan corak hukum Islam di masa berikutnya. Pemahaman

Sunnah dengan penekanan pada qaidah lughawiyah yang ditawarkannya,

pada satu sisi semakin mengokohkan dominasi kelompok al- hadis yang

cenderung tekstualis, namun pada saat bersamaan justru memperlemah

kecenderungan rasional dan kontekstual yang diwakili oleh kelompok al-

ra 'yi. Realitas ini terlihat dalam literatur ushul al-fiqh klasik yang

pembahasannya lebih banyak berkutat pada pencarian makna lafal dan

implikasi petunjuk yang dikandungnya.4

2. POKOK-POKOK PEMBAHASAN

Dalam pokok-pokok pembahasan ini bertujuan untuk mengarah

dan memperjelas secara garis besar dari masing-masing pengertian yang

menyangkut penulisan tersebut secara sistematis supaya tidak terjadi

kesalahan dalam penyusunan.

3
Alamsyah, Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam Dalam Pemahaman Syahrur dan Al-
Qadarawi,Op.Cit, Hlm. 2.
4
Alamsyah, Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam Dalam Pemahaman Syahrur dan Al-
Qadarawi,Op.Cit, Hlm. 3.

3
Setiap masing-masing pembahasan menampakkan karakteristik

yang berbeda namun dalam satu kesatuan yang tak terpisah dengan

pembahasan sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan, meliputi latar belakang, pokok-pokok pembahasan

dan tujuan pembahasan.

BAB II Pembahasan, meliputi pengertian As-Sunnah dan As-Sunnah

Sebagai Sumber Hukum Islam

BAB III Penutup, meliputi secara singkat kesimpulan yang dapat

diambil dari penulisan ini.

3. TUJUAN PEMBAHASAN

a. Untuk Menjelaskan Bagaimana Pengertian As-Sunnah

b. Untuk Menjelaskan Bagaimana As-Sunnah Sebagai Sumber Hukum

Islam

4
BAB II

PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN AS-SUNNAH

Untuk menyebut apa yang berasal dari nabi Muhammad,

setidaknya ada dua istilah populer di kalangan masyarakat Islam yakni as-

sunnah dan al-hadits. Dua istilah ini terkadang masih dianggap kurang

definitif, sehingga masih perlu dipertegas lagi menjadi hadis nabi dan

sunah nabi atau rasul. Di luar dua istilah itu masih terdapat istilah lain

yakni khabar dan atsar. Hanya saja dua istilah terakhir ini nampaknya

kurang berkembang. Pengertian hadis dari segi bahasa berarti ucapan,

perkataan, dan disebut juga berita (khabar)5. “Alkhabar Kaliluhu Wa

Kasiruhu”, warta baik sedikit atau banyak yaitu “ma yuttahaddatsu bihi

wa yunqalu” sesuatu yang dibicarakan atau dipindahkan dari seorang

qarib yang dekat yang belum lagi terjadi.6 Alkhabar berarti al-naba’

(pemberitaan), yaitu berita yang disampaikan dari seseorang kepada orang

lain. Dengan demikian Alkhabar lebih luas dari as-Sunnah, karena tidak

hanya bersumber dari Nabi saw, tetapi juga dai sahabat dan tabi’in.7

Pengertian terminologisnya, Menurut ahli Hadis, Hadis adalah

segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik

berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat-sifat, keadaan dan himmahnya,


5
Muhammad Yahya, Ulumul Hadis Sebuah Pengantar dan Aplikasinya, (Makassar: Penerbit
Syahadah, 2016), Hlm. 01.
6
Marhumah, Konsep Urgensi Objek Kajian Metode dan Contoh, (Yogyakarta: Suka Press, 2014),
Hlm. 02.
7
Muhaimin, dkk. Studi Islam Dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan, (Jakarta: Kencana, 2014),
Hlm. 125.

5
baik sebelum maupun sesudah diangkat jadi Nabi.8 Sedang oleh ahli ushul

mengartikan hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi

Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir yang

berkaitan dengan syar’i.9 Hadis atau yang lebih dikenal dengan sunnah

adalah segala sesuatu yang bersumber atau disandarkan kepada Nabi

Muhammad Saw, baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan

beliau. Semua umat sepakat bahwa hadis adalah salah satu sumber hukum

yang dianut oleh ajaran Islam (hujjah), selain dari pada al-Qur’an.10

Dari pemaparan definisi tersebut dapat diambil kesimpulan, bahwa

pengertian Hadis ialah mempelajari tentang segala sesuatu yang berkaitan

serta disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, mulai dari perkataan,

perbuatan dan sifat-sifat Nabi Muhammad saw.

Di berbagai literatur dan di masyarakat keberadaan hadis sering di

identikkan dengan sunnah atau bahkan disamakan. Apakah sunnah identik

dengan hadis atau tidak? penjelasannya dapat di lihat dalam uraian berikut

ini:

Menurut Abu Hatim Al-Razi Arti etimologis as-Sunnah adalah: as-

Sirah, jalan atau perikehidupan, menurut Muhammad Ibn Isa Al-Tirmizi

al-Sirah hamidah kanat au damimah, perikehidupan yang dijalani, baik

terpuji atau tercela al-Sirah, at-Tariqah, at-Tabi’ah, dan asy-Syari’ah,

tuntunan, jalan, tabiat, dan syariat, menurut Hasbi Ash-Shiddieqy jalan

8
Muhammad Yahya, Ulumul Hadis Sebuah Pengantar dan Aplikasinya, Op.Cit, Hlm. 01.
9
Muhammad Yahya, Ibid, Hlm. 01.
10
Muhammad Ali, Teori Klasifikasi Kitab Hadis, Makassar Jurnal Tahdis [Online], Volume 8
Number 2 (2017).

6
yang dijalani, terpuji atau tidak. Sesuatu tradisi yang sudah dibiasakan,

dinamakan sunnah.11 Oleh karenanya, jika suatu tradisi masa Nabi saw,

bersumber dari kenabian maka akan menjadi sunnah, dan jika hanya

dikemukakan sekali atau beberapa kali dan tidak mentradisi maka bukan

disebut sebagai sunnah melainkan disebut dengan hadis.

2. AS-SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM

Dalam doktrin hukum Islam, Sunnah nabi biasa disingkat sebagai

al-Sunnah. Dalam studi historis perkembangan hukum Islam, terlihat

bahwa konsep Sunnah mengalami perkembangan yang sangat panjang

(evolutif) dan sangat dinamis. Pada masa awal Islam, istilah Sunnah

biasanya digunakan untuk menunjukkan praktik normatif yang telah

dicontohkan oleh Rasulullah Saw.12 Pada masa ini juga, istilah Sunnah

digunakan untuk menunjukkan kesesuaian tindakan para sahabat dengan

tindakan rasul, sehingga perkataan dan perbuatan sahabat yang sesuai

dengan perilaku rasul dikatakan juga sesuai dengan Sunnah. Ketika rasul

Saw wafat, ruang lingkup istilah dan kandungan Sunnah mengalami

perkembangan baru. Pada era ini, perilaku dan pendapat para sahabat yang

tergolong alKhulafâ’ al-Râsyidîn lambat laun dipandang sebagai Sunnah

atau contoh ideal pula, oleh generasi berikutnya. Contohnya adalah

tindakan ‘Umar ibn al-Khaththâb yang menetapkan hukuman cambuk 100

kali atau 80 kali atas peminum minuman keras (khamar), padahal

hukuman mereka di masa rasul adalah cambuk sebanyak 40 kali. Tindakan


11
Marhumah, Konsep Urgensi Objek Kajian Metode dan Contoh, Op.Cit, Hlm. 5.
12
Alamsyah, Dinamika Otoritas Sunnah Nabi Sebagai Sumber Hukum Islam, Lampung Jurnal
Al-‘Adalah [Online], Vol. Xii, No. 3, Juni (2015).

7
‘Umar seperti ini oleh umat Islam pada masanya juga dijadikan sebagai

Sunnah. Dalam perkembangan selanjutnya, Sunnah juga mencakup

perilaku sahabat nabi yang lain dalam menghadapi dan menyelesaikan

berbagai persoalan kehidupan mereka, baik sosial, politik maupun

keagamaan.13 Dalam fenomena tersebut, perilaku mereka selalu diamati

dan diteladani oleh orang lain dari generasi berikutnya sebagai contoh

yang lebih mendekati kehidupan ideal dari rasul. Dengan demikian,

perilaku atau ijtihad sahabat yang telah mentradisi di kota Madinah dan

diikuti murid-muridnya dari kalangan tabi’in merupakan bagian dari

Sunnah atau ‘Amal yang ideal juga, yang dinamakan sebagai Sunnah para

sahabat (Sunnah al-Shahâbah). Di sinilah muncul teori ‘Amal Madînah

sebagai salah satu sumber hukum Islam. Dengan demikian, pada waktu itu

ada dua macam Sunnah:

(1) Sunnah yang sesungguhnya berasal dari nabi Saw.; dan

(2) Sunnah yang berasal dari ijtihâd sahabat terhadap Sunnah nabi

tersebut. Ijtihad ‘Umar yang terkenal tentang salat tarawih merupakan

contoh jelas Sunnah sahabat yang berasal dari pemahaman atas Sunnah

nabi.14

Adapun Sunnah yang lainnya yaitu Sunnah tasyri’iyyah memiliki

kekuatan hukum yang mengikat untuk diikuti oleh umat Islam. Adapun

ruang lingkup dari sunnah tasyri’iyyah ini telah dijelaskan di atas dan

mencakup tiga bidang utama, yaitu: aqidah, amaliyah ibadah, dan akhlak.
13
Alamsyah, Dinamika Otoritas Sunnah Nabi Sebagai Sumber Hukum Islam, Ibid, Hlm. 482.
14
Alamsyah, Dinamika Otoritas Sunnah Nabi Sebagai Sumber Hukum Islam, Ibid, Hlm. 482.

8
Sunnah yang memiliki kekuatan hukum terkait aqidah memiliki syarat

yang sangat ketat. Ini dikarenakan aqidah merupakan kepercayaan dan

keyakinan yang pasti, dan tidak ada yang dapat menghasilkan keyakinan

yang pasti itu kecuali yang pasti pula. Sehingga sunnah yang berdaya

hukum dalam bidang aqidah harus dihasilkan dari sunnah yang pasti

(qath’i), baik dari segi asal mula kemunculan sabda (wurud) nya, lafaznya,

dan petunjuk hukum (dilalah)nya. Sunnah jenis ini dapat ditemukan dalam

sunnah shahihah mutawatirah yang sangat terbatas jumlahnya. Sunnah

shahihah mutawatirah adalah sunnah yang memenuhi syarat keshahihan

dan kemutawatiran suatu hadis.15 Syarat keshahihan tersebut meliputi:

memiliki ketersambungan sanad, diriwayatkan oleh periwayat yang adil

dan kuat hafalannya (dhabith), tidak ada kejanggalan dan cacat.

Sedangkan syarat mutawatir adalah diriwayatkan oleh banyak orang dari

gurunya yang juga jumlahnya banyak demikian seterusnya hingga sampai

kepada Rasulullah SAW. dengan ketentuan masing-masing periwayat

tersebut dinilai sebagai orang-orang terpercaya yang menurut adat dan

kebiasaannya mereka sangat mustahil bersekongkol dalam dusta. Para

periwayat harus mengetahui secara pasti apa yang disampaikannya,

berdasar pengamatan dan pengalaman dia sendiri, bukan berdasar

pengalaman orang lain.16

15
Umma Farida, Diskursus Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam: Perspektif Ushuliyyin Dan
Muhadditsin, Kudus Jurnal Yudisia [Online], Vol. 6, No. 1, Juni (2015).
16
Umma Farida, Diskursus Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam: Perspektif Ushuliyyin Dan
Muhadditsin, Ibid, Hlm. 246.

9
Kekuatan sunnah sebagai sumber hukum ditentukan oleh dua hal:

wurud dan dilalahnya. Dari segi wurudnya, kekuatan sunnah mengikuti

kebenaran pemberitaannya, yang terdiri dari mutawatir dan ahad, lalu ahad

dibedakan lagi menjadi gharib, aziz, dan masyhur. Disebut sebagai khabar

ahad atau berita perorangan ini dikarenakan jumlah periwayat yang

menyampaikan berita itu tidak mencapai jumlah mutawatir. Sehingga

kebenarannya pun tidak meyakinkan dan kekuatan hukumnya bersifat

zhanni. Adapun kekuatan hukum khabar ahad untuk dijadikan dalil,

terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Mayoritas ulama

termasuk Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad menerima khabar ahad

untuk dijadikan dalil dalam beramal dan menetapkan hukum jika terpenuhi

syarat-syarat kesahihan hadis sebagaimana tersebut di atas. Dari segi

dilalahnya, sunnah dibedakan menjadi qath’i dan zhanni. Maksud qath’i di

sini adalah sunnah yang memberikan penjelasan terhadap hukum dalam al-

Qur’an secara tegas, jelas dan terperinci sehingga tidak memberikan

peluang pemahaman yang lain. Sedangkan zhanni adalah penunjukan yang

tidak pasti dikarenakan sunnah tidak memberikan penjelasan secara tegas

dan terperinci terhadap hukum yang ada dalam al-Qur’an, sehingga

menimbulkan berbagai kemungkinan pemahaman dan silang pendapat.

Sunnah yang memiliki kekuatan hukum qath’i ini adalah sunnah yang

diriwayatkan secara mutawatir (Syarifuddin, 2000: 101-102).17

17
Umma Farida, Diskursus Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam: Perspektif Ushuliyyin Dan
Muhadditsin, Ibid, Hlm. 247-248.

10
BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis, maka penulis dapat

menyimpulkan as-Sunnah adalah: as-Sirah, jalan atau perikehidupan,

Sesuatu tradisi yang sudah dibiasakan, dinamakan sunnah. Kemudian

adapun kekuatan sunnah sebagai sumber hukum ditentukan oleh dua hal:

wurud dan dilalahnya. Dari segi wurudnya, kekuatan sunnah mengikuti

kebenaran pemberitaannya, yang terdiri dari mutawatir dan ahad, lalu ahad

dibedakan lagi menjadi gharib, aziz, dan masyhur.

11
DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah, Dinamika Otoritas Sunnah Nabi Sebagai Sumber Hukum Islam, Lampung Jurnal

Al-‘Adalah [Online], Vol. Xii, No. 3, Juni (2015).

Alamsyah, Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam Dalam Pemahaman Syahrur dan Al-

Qadarawi, (Jogjakarta:Skripsi, 2004).

Muhaimin, dkk. Studi Islam Dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan, (Jakarta: Kencana,

2014).

Muhammad Ali, Teori Klasifikasi Kitab Hadis, Makassar Jurnal Tahdis [Online], Volume

8 Number 2 (2017).

Muhammad Yahya, Ulumul Hadis Sebuah Pengantar dan Aplikasinya, (Makassar: Penerbit

Syahadah, 2016).

Marhumah, Konsep Urgensi Objek Kajian Metode dan Contoh, (Yogyakarta: Suka Press,

2014).

Muhazir, As-Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam: Refleksi Terhadap Hermeneutika Muhammad

Syahrur [Online], Jurnal At-Tafkir Vol. XI No. 2 Desember (2018).

Umma Farida, Diskursus Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam: Perspektif Ushuliyyin Dan

Muhadditsin, Kudus Jurnal Yudisia [Online], Vol. 6, No. 1, Juni (2015).

12

Anda mungkin juga menyukai