Anda di halaman 1dari 20

HADITS SEBAGAI SUMBER HUKUM KEDUA SETELAH AL-QUR’AN

MAKALAH

Studi Islam Komprehensif (Al-Qur’an, Hadits, Filsafat, Kalam dan Tasawuf)

Oleh :

Ita Maesaroh

NIM : 2022040202012

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

PASCASARJANA IAIN KENDARI

KENDARI

2021
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Mayoritas umat Muslim sepakat bahwa hadith Nabi merupakan salah satu
dari sumber ajaran Islam, tepatnya sumber ajaran Islam kedua. Sebagai
sumber ajaran Islam, ia merupakan rujukan bagi setiap Muslim dalam
mempraktekkan keagamaan, termasuk di dalamnya adalah mengatasi
semua problema kehidupan yang sedang dihadapi manusia. Dengan
demikian, secara teoritis, hadith Nabi memiliki makna universal, salih li
kulli zamàn wa makàn (cocok untuk semua waktu dan tempat).
Realitasnya, keyakinan ini sering menghadapi kendala berkaitan
dengan
hadith-hadith “yang dianggap” tidak lagi sesuai dengan zaman, karena ia
merupakan sebuah bentuk rekonstruksi peristiwa (reportase) mengenai
perilaku Nabi pada abad ke 7 M di dunia Arab –mungkin karena berkaitan
dengan sisi-sisi kemanusian beliau yang terikat oleh ruang dan waktu,
budaya lokal Arab dan dalam konteks kondisi tertentu. Konsekuensinya,
hadith-hadith yang seperti ini hanya dapat diterapkan pada masa lampau
saja, tidak untuk (baca: sesuai dengan kehidupan) saat sekarang. Hadits
Nabi tidak lagi bersifat universal dan pada gilirannya tidak lagi dapat
dipertahankan sebagai salah satu sumber ajaran Islam yang sàlih li kulli
zamàn wa makàn. Hadith Nabi hanyalah mencerminkan suatu peristiwa
yang bersifat temporal dan lokal.
Pemahaman hadith yang hanya dikaitkan dengan makna lokalitas
seperti inilah yang kemudian mengantarkan sekelompok umat Islam hanya
menerima al-Qur’an sebagai sember ajaran Islam, dan menolak hadith
sebagai sumber ajaran Islam. Jargon yang dilontarkan oleh kelompok ini
adalah al-Islàm huwa al-Qur’àn wahdah (Islam adalah al-Qur’an saja).
Kelompok inilah yang kemudian disebut sebagai para pengingkar hadith
Nabi.
Sifat temporal dari hadith Nabi dan keyakinan akan universalitas
hadith
sebagai sebuah sumber ajaran Islam adalah sebuah kenyataan bagi
mayoritas umat Muslim, meskipun menurut logika makna yang melekat
dalam sifat keduanya adalah kontradiktif (contradictory in terms).
Tidaklah mungkin sesuatu (hadits) yang bersifat temporal bisa sekaligus
bersifat universal. Oleh karena itu, pertanyaan-pertanyaan yang muncul
adalah apakah benar bahwa keduanya benar-benar bersifat kontradiktif ?
Ataukah ada pengertian masing-masing dari dua kenyataan tersebut?
Dapatkah keduanya dicarikan titik temunya, sehingga dapat dipahami
konteks masing-masing? Ataukah harus saling diperhadapkan, sehingga
ketika dibenarkan fakta salah satunya, maka fakta yang lain berarti salah?
Untuk itu, dalam tulisan ini akan diuraikan pengertian atau konteks dari
dua fakta tersebut, dan selanjutnya akan dilakukan analisis dalam rangka
memahami konteks hadith yang merupakan sebuah fakta sejarah dan
sekaligus harus dijadikan sebagai salah satu sumber utama ajaran Islam
bersama al-Qur’an
ilà yaum al-qiyàmah. (Haris, 2013)
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana kedudukan hadits sebagai sumber hukum kedua?
2. Bagaimana dalil-dalil kehujjahan hadits?
3. Bagaimana fungsi hadits terhadap al-Qur’an?
C. TUJUAN
1. Bagaimana kedudukan hadits sebagai sumber hukum kedua!
2. Bagaimana dalil-dalil kehujjahan hadits!
3. Bagaimana fungsi hadits terhadap al-Qur’an!
BAB II
PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN HADITS
Menurut bahasa (lughat), hadist berarti baru (jadid), dekat
(qarib) dan cerita (khabar). Sedangkan menurut ahli hadits istilah
hadits ialah segala ucapan Nabi, segala perbuatan beliau dan segala
keadaan beliau. Akan tetapi para ushul fiqih, membatasi pengertiann
hadits hanya pada segala perkataan, segala perbuatan dan segala taqrir
Nabi Muhammad Saw yang bersangkut paut dengan hukum. (Ali dkk,
2019)
2. KEDUDUKAN HADITS SEBAGAI SUMBER HUKUM KEDUA
Hadits dalam Islam memiliki kedudukan yang sangat urgen.
Dimana hadits merupakan salah satu sumber hukum kedua setelah al-
Qur’an. Al-Qur’an akan sulit dipahami tanpa intervensi hadits.
Memakai al-Qur’an tanpa mengambil hadits sebagai landasan hukum
dan pedoman hidup adalah hal yang tidak mungkin, karena al-Qur'an
akan sulit dipahami tanpa menggunakan hadits. Kaitannya dengan
kedudukan hadits disamping al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam,
maka al-Qur’an merupakan sumber pertama, sedangkan hadits
merupakan sumber kedua. Bahkan sulit dipisahkan antara alQur’an
dan hadits karena keduanya adalah wahyu, hanya saja al-Qur’an
merupakan wahyu matlu (wahyu yang dibacakan oleh Allah Swt baik
redaksi maupun maknanya, kepada Nabi Muhammad Saw dengan
menggunakan bahasa arab) dan hadits wahyu ghairu matlu (wahyu
yang tidak dibacakan Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw secara
langsung, melainkan maknanya dari Allah dan lafalnya dari Nabi
Muhammad Saw. hal ini dilandasi atas dasar petunjuk akal, petunjuk
nas hal-Qur’an dan ijma para sahabat.
1. Berdasarkan petunjuk akal
Nabi Muhammad S.A.W adalah Rasul Allah Swt yang
telah diakui keberadaannya dalam melaksanakan tugas
yaitu menyampaikan hukum syariat kepada ummat, kadang
beliau Membawakan peraturan yang isi dan redaksinya
telah diterima dari Allah Swt baik ciptaan sendiri atas
bimbingan ilham dari Allah Swt maupun hasil ijtihad
semata-mata mengenai suatu masalah yang ditunjuk oleh
wahyu atau
dibimbing oleh ilham.
2. Berdasarkan petunjuk Nash al-Qur’an
Al-Qur’an telah mewajibkan mengikuti dan mentaati
hukum dan peraturan yang disampaikan oleh Nabi
Muhammad Saw sebagaimana ketegasan dalam QS. Al-
Hasyr ayat 7
ۚ۟
‫ُوا‬ ‫َو َم ۤا َءاتَ ٰى ُك ُم ٱل َّرسُو ُل فَ ُخ ُذوهُ َو َما نَهَ ٰى ُكمۡ ع َۡنهُ فَٱنتَه‬
Terjemahnya:
“Apa yang disampaikan Rasul kepadamu, maka terimalah.
Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”
ِ ۚ ‫َو َم ۤا َأ ۡر َس ۡلنَا ِمن َّرسُو ٍل ِإاَّل لِیُطَا َع بِِإ ۡذ ِن ٱهَّلل‬
Terjemahnya :
“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul kecuali untuk di
taati dengan izin Allah” (QS. Al-Nisa’ : 64)
3. Berdasarkan Ijma’ Sahabat
Para sahabat telah sepakat menetapkan wajib mengikuti
terhadap al-hadits, baik pada masa Rasulullah masih hidup
maupun telah wafat, pada waktu hidup Nabi, para sahabat
sama konsekuensi melaksanakan hukum Nabi, mematuhi
peraturan dan meninggalkan larangannya. Nabi wafat para
sahabat bila tidak menjumpai ketentuan dalam al-Qura’an
tentang sesuatu perkara, mereka menanyakan bagaimana
ketentuan dalam hadits.
Senada dengan penjelasan tersebut diatas, bahwa hadits
sebagai sumber Hukum Islam setelah al-Qur’an adalah :
1. Dalil al-Qur’an, banyak ayat al-Qur’an yang
menerangkan kewajiban mempercayai dan menerima
segala sesuatu yang disampaikan oleh Nabi Saw kepada
ummat nya untuk dijadikan pedoman hidup
(sebagaimana ayat terdahulu)
2. Dalil al-Hadits, salah satu pesan Nabi S.A.W berkenaan
dengan kewajiban menjadikan Hadits sebagai pedoman
hidup disamping al-Qur’an sebagai yang utama, seperti
sabda beliau.
Artinya:
“Aku tinggalkan dua perkara untuk mu sekalian, dan
kamu tidak akan tersesat selamanya, selama kalian
selalu berpegang teguh kepada keduanya, yaitu Kitab
Allah dan Sunnah Rasul” (H.R Malik)
3. Dalil Ijma (kesepakatan Ulama)
Ummat Islam sudah sepakat menyiarkan hadits
sebagai salah satu dasar hukum dalam amal perbuatan
karena sesuai dengan yang dikehendaki Allah S.W.T,
mempercayai, menerima dan mengamalkan segala
ketentuan yang terkandung dalam hadits telah dilakukan
sejak zaman nabi, sepeninggal beliau zaman Khulafa’
Rasyidin hingga zaman selanjutnya sampai saat ini,
bahkan tidak hanya di amalkan tapi disebarluaskan
kepada generasi selanjutnya.
4. Dalil Ijtihad (Sesuai petunjuk Akal. Kerasulan Nabi
S.A.W sudah di akui dan dibenarkan. Dalam
mengemban misi ada yang dari Allah S.W.T juga
banyak dari hasil ijtihad yang tetap di bimbing oleh
wahyu, hasil Ijtihad beliau tetap berlaku sampai ada
dalil yang dapat merubahnya. Penjelasan ini dapat di
pahami bahwa Hadits sebagai Sumber Hukum setelah
Al-Qur’an hal ini sama sekali tidak dapat dipungkiri
keberadaan nya, standar di samping itu Nabi tidak
ambil semuanya terkecuali dapat hidayah Allah Swt hal
ini sama sekali tidak dapat dipungkiri keberadaannya,
kecuali Hadits yangtidak memiliki standar, disamping
itu Nabi tidak tidak asal bunyi semaunya terkecuali
dapat hidayah dari Allah Swt

3. FUNGSI HADITS
Fungsi hadits terhadap al-Qur'an ada yang disepakati dan tidak ada
perbedaan pendapat. Hal itu dapat diketahui dari penjelasan berikut:
1. Bayan al-Taqrir
Bayan al-Taqrir biasa disebut juga dengan Bayan taukid atau
Bayan al-Itsbat. Al-Taqrir artinya memperkuat, mempertegas dan
mendukung. Maksudnya yaitu hadits itu mempertegas, mendukung
sesuatu yang telah diungkapkan al-Qur’an. Hadits mengungkap
kembali isi kandungan yang diungkap al-Qur’an tanpa ada
penjelasan lebih lanjut dan terperinci. Contoh dari bayan al-Taqrir
sebagaimana firman Allah dalam QS Al Maidah ayat 6
Ayat di atas ditegaskan kembali, diperkuat, dan didukung oleh
hadits Nabi Saw. yang berbunyi:
‫م ِإلَى‬wۡ‫وا ُوجُوهَ ُكمۡ َوَأ ۡی ِدیَ ُك‬ w۟ ُ‫ٱغ ِسل‬ۡ َ‫صلَ ٰو ِة ف‬ َّ ‫م ِإلَى ٱل‬wُۡ‫یَ ٰۤـَأیُّهَا ٱلَّ ِذینَ َءا َمنُ ۤو ۟ا ِإ َذا قُمۡ ت‬
ۚ
w۟ ‫م َوَأ ۡر ُجلَ ُكمۡ ِإلَى ۡٱل َك ۡعبَ ۡی ۚ ِن َوِإن ُكنتُمۡ ُجنُ ࣰب ا فَٱطَّهَّر‬wۡ‫ُوا بِ ُر ُءو ِس ُك‬
‫ُوا‬ w۟ ‫ق َوٱمۡ َسح‬ ِ ِ‫ٱل َم َراف‬
ۡ

‫ض ٰۤى َأ ۡو َعلَ ٰى َسفَ ٍر َأ ۡو َج ۤا َء َأ َح ࣱد ِّمن ُكم ِّمنَ ۡٱلغ َۤا ِٕى ِط َأ ۡو لَ ٰـ َم ۡستُ ُم‬ َ ‫َوِإن ُكنتُم َّم ۡر‬
ُ‫م َوَأ ۡی ِدی ُكم ِّم ۡن ۚه‬wۡ‫ُوا بِ ُوجُو ِه ُك‬ ۟ ‫ص ِعی ࣰدا طَیِّ ࣰبا فَٱمۡ َسح‬ َ ‫وا‬ w۟ ‫ُوا َم ۤا ࣰء فَتَیَ َّم ُم‬
۟ ‫ٱلنِّ َس ۤا َء فَلَمۡ تَ ِجد‬

ۡ‫َما ی ُِری ُد ٱهَّلل ُ لِیَ ۡج َع َل َعلَ ۡی ُكم ِّم ۡن َح َر ࣲج َولَ ٰـ ِكن ی ُِری ُد لِیُطَهِّ َر ُكمۡ َولِیُتِ َّم نِ ۡع َمتَهۥُ َعلَ ۡی ُكم‬
َ‫لَ َعلَّ ُكمۡ ت َۡش ُكرُون‬

Terjemahannya: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu


berdiri hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan
tanganmu sampai ke siku serta usaplah kepalamu dan (basuh)
kedua kakimu sampai kedua mata kaki. Jika kamu dalam keadaan
junub, mandilah. Jika kamu sakit, dalam perjalanan, kembali dari
tempat buang air (kakus), atau menyentuh perempuan, lalu tidak
memperoleh air, bertayamumlah dengan debu yang baik (suci);
usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak
ingin menjadikan bagimu sedikit pun kesulitan, tetapi Dia hendak
membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu
agar kamu bersyukur.” (Kemenag, 2022)

w‫ا‬w َ‫ا َل َأ ْخبَ َرن‬wwَ‫اق ق‬


wِ ‫ َّر َّز‬w ‫ ُد ال‬w‫ َع ْب‬w‫ا‬w َ‫ي قَا َل َأ ْخبَ َرن‬
wُّ ِ‫م ْال َح ْنظَل‬wَ ‫ق بْنُ ِإ ْب َرا ِهي‬wُ ‫ ِإ ْس َحا‬w‫َح َّدثَنَا‬
w‫لَّى‬w ‫ص‬َ ِ ‫ل هَّللا‬wُ ‫و‬w ‫ا َل َر ُس‬wwَ‫ل ق‬wُ ‫و‬wwُ‫ هُ َر ْي َرةَ يَق‬w‫ام ْب ِن ُمنَبِّ ٍه َأنَّهُ َس ِم َع َأبَا‬wِ ‫ر ع َْن هَ َّم‬wٌ ‫َم ْع َم‬
‫ل ِم ْن‬wٌ wwُ‫ل َرج‬wَ ‫ا‬wwَ‫َأ ق‬ww‫ض‬ َّ ‫ يَتَ َو‬w‫َث َحتَّى‬ َ ‫ د‬wwْ‫اَل ةُ َم ْن َأح‬ww‫ص‬ َ ‫ ُل‬wwَ‫م اَل تُ ْقب‬wَ َّ‫ل‬ww‫ ِه َو َس‬wwْ‫هَّللا ُ َعلَي‬
wٌ‫ض َراط‬
ُ ‫و‬wْ ‫ل فُ َسا ٌء َأ‬wَ ‫ هُ َر ْي َرةَ قَا‬w‫َث يَا َأبَا‬ ُ ‫ ْال َحد‬w‫ت َما‬ wَ ْ‫َحضْ َر َمو‬

Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim Al
Hanzhali berkata, telah mengabarkan kepada
kami Abdurrazaq berkata, telah mengabarkan kepada
kami Ma'mar dari Hammam bin Munabbih bahwa ia
mendengar Abu Hurairah berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Tidak akan diterima shalat seseorang yang
berhadats hingga dia berwudlu." Seorang laki-laki dari
Hadlramaut berkata, "Apa yang dimaksud dengan hadats wahai
Abu Hurairah?" Abu Hurairah menjawab, "Kentut baik dengan
suara atau tidak." (https://www.hadits.id/hadits/bukhari/132 ,
2022)

2. Bayan al-Tafsir
Hadis menjelaskan ayat yang tidak mudah diketahui
pengertiannya. Itulah yang disebut hadis berfungsi sebagai bayan
al-tafsir bagi ayat al-Qur’an. Bayan al-tafsir ini ada beberapa
macam. Diantaranya adalah:
a. Tafshil al-ayat al-mujmalah
Kata tafshil berarti menjelaskan dan merinci. Sedangkan kata
al-mujmalah berarti ringkaas (global), tidak terperinci. Jadi
yang dimaksud hadis berfungsi sebagai tafshil al-ayat al-
mujmalah adalah hadis memerinci pengertian ayat yang
ringkas (global), hadis menjelaskan panjang lebar maksud
kandungan ayat yang tidak terperinci. Sebagai contoh adalah
ayat yang memerintahkan tentang shalat, ayat tersebut tidak
menjelaskan secara rinci tentang tata cara, rukun dan waktu-
waktu pelaksanaannya dan lain-lain. Berikut contoh firman
Allah dalam QS. Al-Baqarah:43
۟ ‫وا ٱل َّز َك ٰوةَ َو ۡٱر َكع‬
َ‫ُوا َم َع ٱل َّر ٰ ِك ِعین‬ ۟ ُ‫صلَ ٰوةَ َو َءات‬ ۟ ‫َوَأقِی ُم‬
َّ ‫وا ٱل‬
Terjemahnya :
“Dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat dan rukuklah
beserta orang-orang yang rukuk.”

Ayat ini dijelaskan dan diperinci maksudnya oleh hadis. Nabi


mendemonstrasikan tata cara pelaksanaan salat dan segala
bacaan di dalamnya. Nabi menjelaskan waktu-waktu
pelaksanaannya. Nabi Muhammad Saw bersabda:

b. Takhshish al-Ayat al-‘Ammah


Kata takhshish berarti menentukan dan mengkhususkan.
Sedangkan kata al-‘ammah berarti suatu lafal yang dipakai
untuk menunjukkan kepada satuan-satuan yang tak terbatas dan
mencakup semua satuan itu. Jadi, yang di maksud hadis
berfungsi men-takhshish-kan ayat yang ‘ammah adalah hadis
datang memberi pengkhususan, penentuan dan pembatasan
maksud dan pengertian ayat yang umum. Contohnya firman
Allah dalam QS. Al-Nisa’ ayat 11
‫ن فَلَه َُّن ثُلُثَا َما‬wِ ‫ق ۡٱثنَت َۡی‬ َ ‫صی ُك ُم ٱهَّلل ُ فِ ۤی َأ ۡولَ ٰـ ِد ُكمۡۖ لِل َّذ َك ِر ِم ۡث ُل َحظِّ ٱُأۡلنثَیَ ۡی ۚ ِن فَِإن ُك َّن نِ َس ۤا ࣰء فَ ۡو‬
ِ ‫یُو‬
َ‫فُ َوَأِلبَ َو ۡی ِه لِ ُكلِّ َو ٰ ِح ࣲد ِّم ۡنهُ َما ٱل ُّس ُدسُ ِم َّما تَ َركَ ِإن َكان‬ ۚ ‫ص‬ ۡ ِّ‫ك َوِإن َكان َۡت َو ٰ ِح َد ࣰة فَلَهَا ٱلن‬ َ ۖ ‫ت ََر‬
ُ‫س‬ۚ ‫ ُد‬w‫ٱلس‬ ُّ ‫ َو ࣱة فَُأِل ِّم ِه‬w‫انَ لَ ۤۥهُ ِإ ۡخ‬ww‫ِإن َك‬wَ‫ث ف‬ ُ ۚ ُ‫ َواهُ فَُأِل ِّم ِه ٱلثُّل‬wَ‫لَهۥُ َولَ ࣱۚد فَِإن لَّمۡ یَ ُكن لَّهۥُ َولَ ࣱد َو َو ِرثَ ۤۥهُ َأب‬
‫ َربُ لَ ُكمۡ ن ࣰۡعَف ۚا‬w‫درُونَ َأیُّهُمۡ َأ ۡق‬wۡ wَ‫اُؤ ُكمۡ اَل ت‬wۤ wَ‫اُؤ ُكمۡ َوَأ ۡبن‬wۤ wَ‫ا َأ ۡو د َۡی ۗ ٍن َءاب‬wۤ wَ‫صی بِه‬ ِ ‫صیَّ ࣲة یُو‬ ِ ‫ِم ۢن بَ ۡع ِد َو‬
‫ض ࣰة ِّمنَ ٱهَّلل ۗ ِ ِإ َّن ٱهَّلل َ َكانَ َعلِی ًما َح ِكی ࣰما‬
َ ‫فَ ِری‬
Terjemahnya :
“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang
(pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian
seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan.Dan jika anak itu semuanya perempuan yang
jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang
saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan).
Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam
dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal)
mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai
anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka
ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal)
mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah
(dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar)
hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu
tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak
manfaatnya bagi kamu. Ini adalah ketetapan Allah. Dan
sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.”

Ayat ini menyatakan bahwa setiap anak mendapat warisan dari


kedua orang tuanya, bagaimana pun keadaannya, beriman atau
kafir, seagama dengan orang tuanya, atau berbeda agama.
Semuanya harus mendapat warisan. Inilah maksud yang dapat
dipahami dari ayat ini. Hadis datang memberi pengertian yang
dikehendaki oleh ayat. Hadis memberi batasan maksud yang
dikehendaki Allah. Di antara hadis menjelaskan bahwa
keturunan Nabi Muhammad Saw tidak boleh mendapat
warisan dari Nabi Muhammad Saw. sebagaimana sabda Nabi
Saw:

Artinya:
Kami para Nabi tidak diwarisi. Apa yang kami
tinggalkan menjadi sedekah.
Demikian juga hadis datang membatasi dan mengkhususkan
terhadap yang membunuh orang tuanya tidak mendapat
warisan dari orang tuanya. Rasulullah Saw bersabda:

Artinya:
Orang yang membunuh tidak mendapat warisan
sesuatu pun
demikian juga ayat di atas dibatasi dan diberlakukan khusus
bagi orang muslim tidak mendapatkan warisan dari orang kafir,
sebaliknya orang kafir tidak mendapatkan warisan dari orang
muslim. Rasulullah Saw bersabda:

Artinya:
orang muslim tidak memberi warisan kepada orang
kafir, dan orang kafir tidak memberi warisan kepada orang
muslim. (HR. Bukhari dan Muslim)
c. Taqyid al-Ayat al-muthlaqah
Kata taqyid berarti mengikat dan membatasi. Sedangkan kata
muthlaq berarti lafal tertentu yang belum ada ikatannya
(batasannya) dengan lafal lain yang mengurangi cakupannya.
Jadi, yang di maksud hadis berfungsi sebagai Taqyid al-Ayat
al-muthlaqah adalah hadis yang datang memberi ikatan dan
batasan cakupan yang dikandung ayat muthlaq. Sebagai contoh
dalam QS. Al-Maidah ayat 38
ۤ ۟ ۡ
ِ ‫َّارقَةُ فَٱقطَع ُۤوا َأ ۡی ِدیَهُ َما َج َزا ۢ َء بِ َما َك َسبَا نَ َك ٰـ ࣰلا ِّمنَ ٱهَّلل ۗ ِ َوٱهَّلل ُ ع‬
‫َزی ٌز َح ِكی ࣱم‬ ُ ‫َّار‬
ِ ‫ق َوٱلس‬ ِ ‫َوٱلس‬
Terjemahnya:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan.”
Ayat ini bersifat muthlaq (belum ada ikatan dan
batasan), masih mencakup seluruh kesatuannya tanpa kecuali.
Dalam ayat ini, kata aydiya (tangan) adalah muthlaq yang
mencakup seluruh makna kesatuan dari tangan itu tanpa ikatan
dan batasan. Hadis datang memberi batasan dan ikatan bahwa
tangan yang di potong hanya sebagiannya, yaitu sampai
pergelangan saja, tidak sampai bahu.
Selain itu, jumlah barang yang dicuri tidak dibatasi,
banyak atau sedikit. Hadis datang membatasi dan mengaitkan
sebanyak minimal seperempat dinar. Sebagaimana hadis Nabi
Saw:
‫اعدًا‬
ِ ‫ص‬ ٍ ‫ق اِالَّ فِى ُرب ُِع ِد ْين‬
َ َ‫َار ف‬ ِ ‫ الَ تُ ْقطَ ُع يَ ُد الس‬:‫ع َْن عَاِئ َشةَ ع َْن َرسُوْ ِل هللاِ ص قَا َل‬
ِ ‫َّار‬
)‫(رواه مسلم‬
Artinya :
Dari ‘Aisyah, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Tidak
dipotong tangan pencuri kecuali pada pencurian senilai
seperempat dinar atau lebih”. )HR. Muslim(
Kata aydiyahuma (kedua tangannya) tidak diberi
batasan, hadis datang memberi batasan bahwa tangan yang di
potong hanya sampai pergelangan tangan, bukan sampai ke
bahu. Hadis Nabi Saw
‫أتى رسول هللا صلى هللا عليه وسلّم بسارق فقطع يده من مفضل الكاف‬
Artinya:
Dibawa kepada Rasulullah Saw seorang pencuri maka
dia memotong tangan pencuri itu dari pergelangan tangan.
d. Bayan al-Ta’yin li al-Ayat al-Musytarakah
Kata al-ta’yiin berarti menentukan. Sedangkan kata al-
musytarakah berarti lafal yang mempunyai makna yang
banyak. Jadi, yang di maksud hadis berfungsi sebagai Bayan
al-Ta’yin li al-Ayat al-Musytarakah adalah hadis datang
menentukan makna yang dikehendaki dari ayat. Sebagai
contoh, dalam QS. Al-Baqarah ayat 228:
َّ‫َّص َن ِبَأنفُسِ ِهنَّ َثلَ ٰـ َث َة قُر ُۤو ࣲۚء َواَل َی ِح ُّل َلهُنَّ َأن َی ۡك ُت ۡم َن َما َخلَ قَ ٱهَّلل ُ ف ِۤی َأ ۡر َح ام ِِهن‬ ۡ ‫ت َی َت َرب‬ ُ ‫َو ۡٱل ُم َطلَّ َق ٰـ‬
َّ‫صلَ ٰـ ࣰح ۚا َولَهُن‬
ۡ ‫ك ِإ ۡن َأ َراد ُۤو ۟ا ِإ‬ َ ِ‫ِإن ُكنَّ ی ُۡؤمِنَّ ِبٱهَّلل ِ َو ۡٱل َی ۡو ِم ۡٱلـَٔاخ ۚ ِِر َو ُب ُع ولَ ُتهُنَّ َأ َح ُّق ِب َر ِّدهِنَّ فِی َذ ٰل‬
‫دَر َج ࣱۗة َوٱهَّلل ُ َع ِزی ٌز َحكِی ٌم‬
َ َّ‫ال َعلَ ۡی ِهن‬ِ ‫ُوفِ َولِلرِّ َج‬ ۚ ‫م ِۡث ُل ٱلَّذِی َعلَ ۡی ِهنَّ ِب ۡٱل َم ۡعر‬
Terjemahnya:
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka
menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya,
jika beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-
suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika
mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu
tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.
Kata quruu’ dalam ayat tersebut mempunyai dua makna, yaitu
haid dan suci dari haid. Tidak diketahui melalui ayat ini makna
yang dikehendaki, suci atau haid. Maka datanglah hadis
menentukan makna yang dikehendaki adalah haid.
Sebagaimana sabda Nabi Saw:

،‫روء‬wُ‫ة ق‬w‫ َّدتُهَا ثالث‬w‫ان َو ِع‬w‫ َّرةَ تطليقت‬wُ‫د الح‬w‫ق العب‬


ُ ‫ «طَاَل‬:‫ول‬w‫ان يق‬w‫ه ك‬w‫عن ابن عمر أن‬
َ ‫وطالق الحر اَأل َمةَ تطليقتان و ِع َّدتُهَا ِع َّدةُ األ َمة َح ْي‬
‫ضتَا ِن‬
Artinya:
Dari Ibnu Umar bahwasannya dia berkata, "(Batasan)
talak seorang suami yang berstatus budak kepada istrinya yang
berstatus merdeka sebanyak dua kali talak dan iddahnya tiga kali
haid. Adapun (batasan) talak suami yang berstatus merdeka
kepada istri yang berstatus budak sebanyak dua kali talak dan
iddahnya seperti iddah budak perempuan, yaitu dua kali haid."
3. Bayan al-Tasyrii’
Kata al-tasyri’ berarti pembuatan, perwujudan, penetapan aturan.
Jadi, yang dimaksud hadis berfungsi sebagai bayan al-tasyri’
adalah hadis sendiri mewujudkan, membuat, dan menetapkan suatu
ketentuan, aturan, dan hukum yang tidak terdapat dalam al-Qur’an.
Banyak hadis berfungsi sebagai bayan al-tasyri’ untuk al-Qur’an
di antaranya sebagai berikut:
a. Hadis tentang zakat fitri yang berbunyi
Artinya :
Rasulullah Saw telah memfardukan sedekah (zakat)
fitri, satu sha’ dari gandum atau satu sha’ dari kurma untuk
anak-anak, orang dewasa, orang merdeka dan budak.
b. Hadis tentang haram mengumpulkan (menjadikan istri antara
seorang wanita dengan ibunya). Nabi Muhammad Saw
bersabda
Artinya :
Tidak boleh dinikahi seorang wanita bersama (menjadi
istri sekaligus) dengan saudara perempuan ayahnya dan
saudara perempuan ibunya.
Ketiga fungsi hadis tersebut dapat dinyatakan disepakati oleh
ulama. Namun fungsi yang ketiga ini, yaitu bayan al-tasyri’
dipermasalahkan. Ada yang melihatnya hadis menetapkan
aturan atau hukum tersendiri, tidak ada dasarnya dalam al-
Qur’an. Ada yang melihatnya penetapan hadis ada dalam al-
Qur’an.
4. Bayan al-Nasikh
Kata al-nasikh berarti membatalkan, memindahkan dan mengubah.
Yang di maksud hadis berfungsi sebagai bayan al-nasikh terhadap
ayat al-Qur’an adalah hadis datang sesudah al-Qur’an dan
menghapus ketentuan-ketentuannya.
Banyak ulama menolak fungsi hadis ini, tetapi ada ulama yang
membolehkannya dengan ketentuan-ketentuan tertentu. Ulama
yang membolehkannya dapat dibagi ke dalam tiga kelompok
tertentu, yaitu:
a. Ibn Hazm dan sebagian pengikut aliran Zhahiriyah
berpendapat bahwa segala macam hadis shahih dapat
menasakh al-Qur’an.
b. Aliran Mu’tazilah berpendapat hadis Mutawatir saja yang
dapat menasakh ayat al-Qur'an
c. Aliran Hanafiyah berpendapat bahwa minimal hadis masyhur
yang dapat menasakh ayat al-Qur’an
Hadis yang dijadikan contoh bagi yang membolehkan adanya
nasakh hadis terhadap ayat al-Qur’an adalah sabda Nabi Saw
yang berbunyi:

Artinya :
Sesungguhnya Allah telah memberi setiap orang
haknya, maka tidak ada (tidak boleh) wasiat terhadap ahli
waris.
Hadis ini menasakh ayat al-Qur’an yang terdapat dalam QS.
Al-Baqarah ayat 180
َ‫صیَّةُ لِ ۡل َو ٰلِد َۡی ِن َوٱَأۡل ۡق َربِین‬
ِ ‫ك خ َۡیرًا ۡٱل َو‬ ُ ‫ض َر َأ َح َد ُك ُم ۡٱل َم ۡو‬
َ ‫ت ِإن ت ََر‬ َ ‫ب َعلَ ۡی ُكمۡ ِإ َذا َح‬
َ ِ‫ُكت‬
َ‫ُوف َحقًّا َعلَى ۡٱل ُمتَّقِین‬
ِ ۖ ‫بِ ۡٱل َم ۡعر‬
Terjemahnya :
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta
yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya
secara ma’ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa.
Kewajiban melakukan wasiat bagi orang yang hampir
wafat (sekarat) kepada ahli warisnya menurut ayat tersebut di
atas di nasakh hukumnya oleh hadis yang melarang melakukan
wasiat untuk ahli waris.

DAFTAR PUSTAKA
Ali Muhammad, Didik Himmawan. 2019. Peran Hadits sebagai
sumber ajaran agama, dalil-dalil kehujjahan hadits dan fungsi
hadits terhadap al-Qur’an. Risalah jurnal pendidikan dan Studi
Islam Vol5, No. 1
https://rumaysho.com/33870-bulughul-maram-shalat-shalatlah-

sebagaimana-kita-melihat-nabi-shalat.html

https://www.hadits.id/hadits/bukhari/132

Anda mungkin juga menyukai