Anda di halaman 1dari 14

Kayfa Nataamal maa al-Sunnah al-Nabawiyyah

(Bagaimana berinteraksi dengan As-sunnah)

As Sunnah (hadis Nabi saw.) merupakan penafsiran al-Quran dalam praktik atau
penerapan ajaran Islam secara factual dan ideal. Hal ini mengingat bahwa pribadi Nabi saw
merupakan perwujudan dari al-Quran yang ditafsirkan untuk manusia, serta ajaran Islam yang
dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari.

Akan tetapi, sejak pertengahan abad ke-19, definisi otoritas Rasulullah menjadi masalah
penting bagi para pemikir Muslim. Karena abad ini merupakan periode ketika hegemoni barat
yang berkaitan dengan kelemahan politik dan agama telah menciptakan dorongan kuat
diadakannya reformasi.

Sunnah Nabi yang suci ini telah menghadapi berbagai macam serangan dari para kaum
orientalis dengan beragam aksi yang mereka lakukan untuk menghancurkan esensi hadis Nabi
itu sendiri.

Sejak saat itu juga, para pemikir Muslim menghadapi banyak tantangan terhadap gagasan
Islam klasik tentang otoritas keagamaan (baca: hadis). Pergolakan di dunia Muslim telah
mendorong meluasnya pengujian kembali sumber-sumber klasik hukum Islam karena
orang Muslim telah berjuang untuk memelihara, menyesuaikan, ataumende finisikan
kembali norma-norma sosial dan hukum dalam menghadapi kondisi yang berubah.

Isu sentral dalam perjuangan yang terus berlangsung ini adalah masalah hakekat, status, dan
otoritas sunnah (contoh-contoh normatif Nabi Muhammad saw.) karena status Nabi
Muhammad sebagai utusan Allah, perkataan dan perbuatannya diterima oleh sebagian besar
Muslim sebagai sebuah sumber hukum kedua setelah al-Quran.

Menurut al-Qardhawi as-Sunnah adalah perkataan, perbuatan dan persetujuan Nabi saw., di
samping itu as-Sunnah juga merupakan sumber kedua dalam Islam dibidang tasyri dan
dakwah (tuntunan) nya.

Bersama al-Quran, hadis menjadi point yang sensitif dalam kesadaran spiritual maupun
intelektual muslim. Tidak saja karena ia menjadi sumber pokok ajaran Islam tetapi juga
sebagai tambang informasi bagi pembentukan budaya Islam, terutama sekali historiografi
Islam yang cukup banyak merujuk pada hadis-hadis. Hadis menjadi semakin krusial
ketika makin banyaknya masalah yang muncul, sementera Nabi dan sahabat telah banyak

1
yang wafat. Ketika Nabi masih hidup persoalan dapat dipecahkan dengan otoritas al-Quran
atau Nabi Muhammad sendiri. Demikian pula pada masa sahabat, masyarakat dapat melihat
praktek nabi yang dijalankan para sahabat. Tetapi setelah itu berbagai informasi tentang nabi
menjadi sangat penting bagi kaum muslim.

Itu sebabnya belakangan sangat banyak sekali muncul literatur hadis dalam berbagai bentuk
dan jenisnya dengan muatan hadis-hadis yang cukup beragam. Dengan demikian, hadis-hadis
Nabi saw. haruslah dipahami secara benar dan tepat. Namun, karena banyaknya serangan-
serangan yang dilakukan oleh orang-orang Barat, maka banyak dari kalangan Muslim
yang mulai berbeda pendapat dalam memaknai dan memahami hadis-hadis itu sendiri.

Dari uraian di atas, al-Qardhawi ingin membawa umat Islam untuk dapat
memahami hadis secara benar dan tepat. Dalam makalah ini akan penulis jelaskan tentang
cara-cara atau metode yang diberikan oleh al-Qardhawi dalam memahami hadis secara benar
dan tepat.

A. Riwayat dan Latar Belakang Pendidikan Yusuf Qardhawi

Nama lengkapnya adalah Yusuf Al-Qardhawi, Beliau dilahirkan di desa Shaft Turab di tengah
Delta Sungai Nil, daerah Mahallah al-Kubra, Republik Arab Mesir, pada tanggal 9 September
1926. Ayahnya bernama Abdullah, Yusuf Qardhawi hanya dua tahun bersama ayahnya, karena
ayahnya dipanggil oleh Allah.
Pelajaran yang pertama kali ditekuninya adalah al-Quran. Pada usia sepuluh tahun, ia
sudah hafal al-Quran dan dengan bacaan yang sangat baik. Dengan keahliannya itu
ia dijadikan imam salat lima waktu di desa dan pada usia yang sangat muda.

Pendidikan formalnya ditempuh di al-Azhar Mesir, kecuali tingkat Aliyah, ia tempuh di


Mahad al-Buhus wa la-Dirasah al-Arbiyat al-Aliyah, sehingga mendapatkan hijaza
diploma tinggi dalam bidang bahasa dan sastra Arab. Namun,keahliannya yang menonjol
adalah dalam bidang keushuluddinan (aqidah, tafsir, dan hadis). Hal itu didukung oleh
pelajarannya di Fakultas Ushuluddin, yang diselesaikan pada tahun 1960.

B. Hadis Dalam Pandangan Yusuf Qardhawi

Di antara para pemikir kontemporer, al-Qardhawi memberikan penjelasan yang luas tentang
bagaimana pemikirannya tentang hadis yang dikembangkan menjadi metode
sistematis untuk menilai otentisitas hadis. Menurut al-Qardhawi, sunnah nabi mempunyai 3
karakteristik, yaitu komprehensif (manhaj syumul), seimbang (manhaj mutawazzun), dan
memudahkan (manhaj muyassar).
Ketiga karakteristik ini akan mendatangkan pemahaman yang utuh terhadap suatu hadis.
Atas dasar inilah maka al-Qardhawi menetapkan tiga hal juga yang harus
dihindari dalam berinteraksi dengan sunnah, yaitu pertama, penyimpangan kaum

2
ekstrim; kedua, manipulasi orang-orang sesat, (intihal al-mubthilin), yaitu pemalsuan
terhadap ajaran-ajaran Islam, dengan membuat berbagai macam bidah yang jelas
bertentangan dengan akidah dan syariah; ketiga, penafsiran orang-orang bodoh (tawil al-
jahilin). Oleh sebab itu, pemahaman yang tepat terhadap sunnah adalah mengambil sikap
moderat (wasathiya), yaitu tidak berlebihan atau ekstrim, tidak menjadi kelompok sesat, dan
tidak menjadi kelompok yang bodoh.

Adapun prinsip-prinsip dalam berinteraksi dengan as-Sunnah, adalah sebagai berikut:


1. Meneliti dengan seksama tentang ke-shahih-an hadis yang dimaksud sesuai dengan acuan
ilmiah yang telah ditetapkan oleh para pakar hadis yang dipercaya. Yakni yang meliputi sanad
dan matannya, baik yang berupa ucapan Nabi saw., perbuatannya, ataupun persetujuannya.

2. Dapat memahami dengan benar nash-nash yang berasal dari Nabi saw. sesuai dengan
pengertian bahasa (Arab) dan dalam rangka konteks hadis tersebut serta sebab wurud
(diucapkannya) oleh beliau. Juga dalam kaitannya dengan nash-nash al-Quran dan Sunnah
yang lain, dan dalam kerangka prinsip-prinsip umum serta tujuan-tujuan universal Islam.
Semua itu, tanpa mengabaikan keharusan memilah antara hadis yang diucapkan demi
penyampaian risalah (misi Nabi saw.), dan yang bukan untuk itu.
Atau dengan kata lain, antara Sunnah yang dimaksudkan untuk tasyri penetapan hukum
agama) dan yang bukan untuk itu. Dan juga antara tasyri yang memiliki sifat umum dan
permanent, dengan yang bersifat khusus atau sementara. Sebab,di antara penyakit terburuk
dalam pemahaman sunnah, adalah pencampuradukan antara bagian yang satu dengan bagian
yang lainnya.

3. Memastikan bahwa nash tersebut tidak bertentangan dengan nash lainnya yang lebih kuat
kedudukannya, baik yang berasal dari al-Quran, atau hadis-hadis lain yang lebih banyak
jumlahnya, atau lebih shahih darinya, atau lebih sejalan dengan ushul. Dan juga tidak
dianggap berlawanan dengan nash yang lebih layak dengan hikmah tasyri, atau pelbagai
tujuan umum syariat yang dinilai telah mencapai tingkat qathiy karena disimpulkan bukan
hanya dari satu atau dua nash saja, tetapi dari sekumpulan nash yang setelah digabungkan
satu sama lain mendatangkan keyakinan serta kepastian tentang tsubutnya (atau
keberadaannya sebagai nash).

As-Sunnah adalah sumber kedua dalam Islam di bidang tasyri dan dakwah (tuntunan) nya.
Para ahli fiqh merujuk kepadanya untuk menyimpulkan hukum-hukum,
sebagaimana para ahli dakwah dan tarbiyah merujuk kepadanya untuk menggali
makna-makna yang mengilhami, nilai-nilai yang mengarahkan, serta hikmah-hikmah yang
merasuk ke dalam sanubari manusia. Demikian pula untuk mencari cara-cara efektif dalam
rangka menganjurkan perbuatan kebaikan dan mencegah kejahatan.
Berbicara mengenai hadis sebagai sumber ajaran agama (hukum) kitaharus meletakkan
hadis dalam kerangka diskursus ushul fiqh. Menurut ulama ushul fiqh hadis adalah segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw. baik ucapan, perbuatan, maupun
ketetapan yang dapat dijadikan dalil hukum shara. Dari sini dapat dilihat bahwa ulama
ushul menempatkan Nabi Muhammad saw. sebagai musyarri.

3
Oleh karena itu, produk hadis ditempatkan sebagai sumber hukum Islam setelah al-Quran.
Penempatan hadis sebagai sumber hukum Islam tersebut, didasarkan pada beberapa
dalil al-Quran, di antaranya terdapat dalam QS. al-Nisa: 59 .
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya. (QS. Al-Nisa: 59)
Dalil yang semakna juga dapat ditemukan dalam QS al-Nisa ayat 80, yaitu sebagai berikut:

Artinya: Barangsiapa
yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan
Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu
untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (QS. Al-Nisa: 80)
Kedua ayat tersebut, setidaknya mengisyaratkan adanya perintah kepada orang-orang yang
beriman, untuk taat kepada Allah dan Rasul yang berarti taat kepada al-Quran dan hadis.
Seseorang dikatakan taat kepada Allah kalau dia juga taat kepada RasulNya, dan demikian
pula sebaliknya.

C. Metode Pemahaman Hadis Yusuf Qardhawi

1. Memahami Hadis Sesuai dengan Petunjuk al-Quran


Untuk memahami sunnah dengan baik, jauh dari penyimpangan, pemalsuan, dan penakwilan
yang keliru, kita harus memahaminya sesuai dengan petunjuk al-Quran,yaitu dalam bingkai
tuntunan-tuntunan Illahi yang kebenaran dan keadilannya bersifat pasti, seperti yang
dijelaskan di dalam surat al-Anaam ayat 115.
Dan telah sempurnalah kalimat Tuhanmu, dalam kebenaran dan keadilannya.Tidak ada
yang dapat mengubah-ubah kalimat-Nya dan Dia-lah Yang Maha Mendengar Lagi
Maha Mengetahui (Al-Anam: 115).

Al-Quran adalah roh eksistensi Islam dan asas bangunannya. Ia adalah konstitusi Illahi yang
menjadi rujukan bagi setiap perundang-undangan dalam Islam. Adapun sunnah Nabi adalah
penjelasan terinci bagi konstitusi tersebut, baik secara teoritis maupun praktis.
Sedangkan As-Sunnah adalah penjelasan terinci tentang isi konstitusi tersebut, baik dalam
hal-hal yang bersifat teoritis ataupun penerapannya secara praktis. Itulah tugas Rasulullah
saw., menjelaskan bagi manusia apa yang diturunkan kepada mereka.
Tugas seorang Rasul adalah menjelaskan kepada manusia risalah yang diturunkan untuk
mereka. Oleh karena itu, tidak mungkin sebuah penjelasan bertentangan dengan
apa yang hendak dijelaskan atau sebuah cabang tidak mungkin bertentangan
dengan pokok. Penjelasan Nabi senantiasa berkisar pada al-Quran dan tidak pernah
melampauinya. Oleh sebab itu, tidak ada sunnah yang shahih yang bertentangan
dengan ayat-ayat al-Quran yang muhkamat keterangan-keterangannya yang jelas.

4
Jika sebagian orang menganggap adanya pertentangan, hal ini disebabkan karena hadisnya
tidak shahih atau pemahaman kita yang tidak benar atau tidak sesuai dengan maksud hadits
tersebut, dan pertentangan tersebut bersifat semu, bukan pertentangan yang hakiki. Ini berarti
bahwa sunnah harus dipahami dalam konteks al-Quran.
Seperti dalam hadist :
Syaawiruu hunna wa khaliquu hunna (Bermusyawarahlah bersama mereka,tetapi
janganlah mengikuti [hasil musyawarahnya]), hadits ini adalah merupakan hadits palsu,
karena bertentangan dengan firman Allah tentang sikap kedua orangtua terhadap anaknya
yang masih menyusu, yaitu sebagai berikut:
Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi
yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan
seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya
ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka
tidak ada dosa atas keduanya. dan jikakamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka
tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
bertakwalah kamu kepada Allahdan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu
kerjakan.
Sudah dijelaskan di atas, bahwa apabila dalam menghadapi perbedaan pemahaman
dalam menyimpulkan makna-makna hadits, maka kita harus dapat memahami
dengan cara yang baik dan benar adalah dengan melihat makna hadits yang didukung oleh al-
Quran, karena isi hadits (cabang) sebagai penjelas al-Quran tidak akan mengandung makna
yang berbeda dengan al-Quran (pokok) sebagai sesuatu yang dijelaskan.

2. Menghimpun Hadis-hadis yang Terjalin dalam Tema yang Sama

Untuk memahami sunnah Nabi dengan baik, kita harus menghimpun hadis-hadis yang
bertema sama. Hadis-hadis yang mutasyabih dikembalikan kepada yang muhkam, yang
mutlaq dihubungkan dengan yang muqayyad, dan yang am ditafsirkan dengan yang khas.
Dengan demikian, makna yang dimaksud akan semakin jelas dan satu sama lain tidak boleh
dipertentangkan.
Sebagaimana yang sudah disepakati, sunnah berfungsi sebagai penafsir dan
penjelas al-Quran. Artinya, sunnah memerinci ayat-ayat yang global, menjelaskan yang masih
samar, mengkhususkan yang masih umum, dan membatasi yang mutlak. Dengan demikian,
ketentuan-ketentuan tersebut harus diterapkan dalam memahami hadis yang satu dengan yang
lainnya.
Mencukupkan diri dengan pengertian lahiriah suatu hadis saja tanpa memperhatikan
hadis-hadis lainnya, dan nas-nas lain yang berkaitan dengan topik tertentu seringkali
menjerumuskan orang ke dalam kesalahan, dan menjauhkannya dari kebenaran mengenai
maksud sebenarnya dari konteks hadis tersebut.

5
Sebagai misal, hadis-hadis yang berkenaan dengan larangan mengenakan sarung sampai di
bawah mata kaki, yang mengandung ancaman cukup keras terhadap pelakunya.
Yaitu hadis-hadis yang dijadikan sandaran oleh sejumlah pemuda yang amat bersemangat,
untuk menunjukkan kritik yang tajam terhadap siapa-siapa yang tidak memendekkan tsaub
(baju gamis)nya sehingga di atas mata kaki. Sedemikian bersemangatnya mereka,
sehingga hampir-hampir menjadikan masalah memendekkan tsaub ini, sebagai syiar Islam
terpenting, atau kewajibannya yang mahaagung. Dan apabila menyaksikan seorang alim atau
dai Muslim yang tidak memendekkan tsaubnya, seperti yang mereka sendiri
melakukannya, maka mereka akan mencibirnya, dalam hati, atau adakalanya menuduhnya
secara terang-terangan sebagai seorang yang kurang beragama!

Padahal, seandainya mereka mau mengkaji sejumlah hadis yang berkenaan dengan
masalah ini, lalu menghimpun antara yang satu dengan yang lainnya, sesuai dengan tuntutan
agama Islam kepada para pengikutnya dalam soal-soal yang menyangkut kebiasaan
hidup sehari-hari, niscaya mereka akan mengetahui apa sebenarnya yang dimaksud
oleh hadis-hadis seperti itu. Dan sebagai akibatnya, mereka akan mengurangi ketegangan
sikap mereka dan tidak menyimpang terlalu jauh dari kebenaran, serta tidak akan
mempersempit sesuatu yang sebetulnya telah dilapangkan oleh Allah SWT bagi manusia.

Dalam sebuah hadis yang dirawikan oleh Muslim dari Abu Dzar r.a., bahwa Nabi saw .
pernah bersabda: yang artinya tiga jenis manusia, yang kelak, pada hari Kiamat, tidak akan
diajak bicara oleh Allah: (1) seorang mannan (pemberi) yang tidak memberi sesuatu
kecuali untuk diungkit-ungkit; (2) seorang pedagang yang berusaha melariskan barang
dagangannya dengan mengucapkan sumpah-sumpah bohong; dan (3) seorang yang
membiarkan sarungnya terjulur sampai di bawah kedua mata kakinya.
Dalam riwayat lainnya, juga dari Abu Dzar, yang artinya: Tiga jenis manusia,yang kelak
pada hari Kiamat, tidak diajak bicara oleh Allah, tidak dipandang olehNya, tidak
ditazkiah olehNya, dan bagi mereka tersedia azab yang pedih.
(Rasulullah saw . mengulangi sabda beliau itu tiga kali, sehingga Abu Dzar berkata:
Sungguh mereka itu adalah manusia-manusia gagal dan merugi! Siapa merreka itu, ya
Rasulullah? Maka jawab beliau): Orang yang membiarkan sarungnya terjulur
sampai ke bawah mata kaki; orang yang memberi sesuatu untuk kemudian diungkit-ungkit;
dan pedagang yang melariskan dagangannya dengan bersumpah bohong.
Hadis di atas juga didukung oleh hadis yang dirawikan dalam shahih Al-Bukhari, dari Abu
Hurairah: Sarung yang di bawah mata kaki, akan berada di neraka.
Yang dimaksud dengan sarung dalam hadis itu ialah kaki seseorang yangsarungnya
terjulur sampai di bawah mata kakinya. Ia akan dimasukkan ke neraka, sebagai hukuman atas
perbuatannya.

3. Penggabungan atau Pentarjihan antara Hadis-hadis yang (Tampaknya) Bertentangan


(Kompromi atau Tarjih terhadap Hadis-Hadis yang Kontradiktif)

Pada prinsipnya, nash-nash syariat yang benar tidak mungkin bertentangan. Sebab,
kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran. Seandainya ada pertentangan,

6
maka hal itu hanyalah merupakan keadaan luarnya saja, atau hanya kelihatan di luar saja
bertentangan, tapi makna yang terkandung adalah sama. Dan kewajiban kita terhadap hal
tersebut adalah menghilangkan pertentangan di dalamnya.
Apabila pertentangan tersebut dapat dihilangkan dengan cara menggabungkan atau
menyesuaikan antara kedua nash, tanpa harus memaksakan atau mengada-ada sehingga
keduanya dapat diamalkan.
Salah satu hal yang penting untuk memahami sunnah dengan baik adalah
menyesuaikan hadis-hadis shahih yang tampak bertentangan, yang kandungannya sepintas
berbeda-beda, serta menggabungkan antara hadis yang satu dengan hadis yang lainnya.
Kemudian meletakkan masing-masing hadis sesuai dengan tempatnya sehingga menjadi satu
kesatuan dan tidak lagi kelihatan berbeda atau bertentangan karena keduanya saling
melengkapi.
Dalam hal ini, Yusuf Al-Qardhawi mengambil contoh hadis tentang ziarah kubur bagi wanita.
Misalnya, hadis dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. melaknat wanita yang sering
menziarahi kuburan. (Diraawikan oleh Ahmad, Ibn Majah dan Tirmidzi yang berkata:
Hadis ini hasan sahih, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Hibban dalam shahihnya).

Hal itu dikuatkan pula oleh beberapa hadis yang mengandung larangan terhadap kaum wanita
untuk mengikuti jenazah. Dari sana dapat disimpulkan pula larangan terhadap ziarah kubur
bagi wanita.
Walaupun demikian, ada hadis-hadis lainnya yang isinya berlawanan dengan hadis-hadis di
atas. Yakni yang dapat dipahami darinya, bahwa kaum wanita diizinkan menziarahi kuburan,
sama seperti kaum laki-laki. Di antaranya, sabda Nabi saw Aku pernah melarang kalian
menziarahi kuburan, kini ziarahilah kini ziarahlah atau ziarahilah kuburan-kuburan,
sebab itu akan mengingatkan kepada maut.

Selain hadis tersebut di atas, terdapat lagi hadis Nabi tentang diperbolehkannya wanita
menziarahi kubur. Yaitu Ziarahilah kuburan-kuburan, sebab hal itu akan mengingatkan
kepada maut.
Dalam hadis-hadis di atas, izin umum tersebut tentunya mencakup kaum wanita juga.
Demikian pula hadis yang dirawikan oleh Muslim, An-Nasaiy dan Ahmad, dari Aisyah,
katanya: Apa yang harus ku ucapkan kepada mereka, ya Rasulullah? (Yakni apabila
menziarahi kuburan). Jawab beliau: Katakanlah: Salam sejahtera atas kaum Mukminin dan
Muslimin, para penghuni rumah-rumah ini. Semoga Allah merahmati semua kita, yang telah
mendahului maupun yang masih tertinggal. Kami, insyaAllah, akan menyusul kalian.

Meskipun hadis-hadis ini, yang menunjukkan diizinkannya (kaum wanita menziarahi


kuburan) lebih sahih dan lebih banyak, dibandingkan hadis-hadis yang melarang, namun
menggabungkan semuanya dan berupaya menyesuaikan makna kandungannya, adalah
masih mungkin. Yaitu dengan mengartikan kata melaknat yang tersebut dalam hadis
sebagaimana dinyatakan oleh Al-Qurthubiyyang ditujukan kepada para wanita yang
amat sering melakukan ziarah. Hal itu sesuai dengan bentuk kata zawwarat, yang
berkonotasi amat sering. Menurut Al-Qurthubiy, mungkin sebabnya ialah hal itu dapat
mengakibatkan berkurangnya perhatian mereka kepada pemenuhan hak para suami,
disamping kemungkinan membawa mereka kepada tabarruj serta meratapi orang-orang yang

7
mati dengan suara keras, dan lain-lainnya lagi. Mungkin dapat dikatakan pula bahwa jika
semua itu dapat dihindarkan, maka tak ada salahnya memberi izin kepada mereka. Sebab, soal
mengingat mati adalah sesuatu yang diperlukan bagi kaum laki-laki maupun wanita.
Berkata Asy-Syaukani: Pendapat itulah yang sepatutnya dijadikan andalan dalam upaya
penggabungan antara hadis-hadis yang tampaknya saling bertentangan menurut zahirnya.

Dan apabila tidak mungkin menggabungkan antara dua hadis atau berbagai hadis yang pada
zahirnya saling bertentangan, barulah diupayakan pentarjihan. Yaitu dengan mentarjihkan
(atau memenangkan) salah satu darinya, dengan berbagi alasan pentarjih yang tentukan oleh
para ulama.

Soal Naskh dalam Hadis


Masalah yang berkaitan erat dengan kontradiksi dalam hadis adalah persoalan naskh
(pengahapusan) atau yang biasa kita dengan istilah nasikh mansukh (yang menghapus
dan yang dihapus) dalam hadis.
Sebagian ahli hadis menggunakan naskh apabila mereka mengalami kesulitan di dalam
menggabungkan dua hadis yang bertentangan dan kemudian di antara keduanya diketahui
mana hadis yang muncul belakangan.
Banyaknya hadis yang diasumsikan sebagai mansukh, membuat problematika dalam hadis
lebih rumit dibandingkan dengan naskh di dalam al-Quran, karena al- Quran bersifat umum
dan universal. Namun, setelah diadakan penelitian hadis yang dikatakan mansukh tidaklah
demikian. Karena di antara hadis-hadis itu ada yang mengandung ketetapan
(azimah), dan ada pula yang dimaksudkan sebagai keringanan (rukhshah). Dan di antara
keduanya mempunyai hukum masing-masing sesuai dengan kedudukannya.

4. Memahami Hadis dengan Mempertimbangkan Latar Belakangnya, Situasi dan


Kondisinya Ketika Diucapkan, serta Tujuannya.

Di antara cara-cara yang baik untuk memahami hadis Nabi saw. ialah dengan memperhatikan
sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi diucapkannya statu hadis, atau kaitannya dengan
suatu illah (alasan, sebab) tertentu, yang dinyatakan dalam hadis tersebut atau disimpulkan
darinya, ataupun dapat dipahami dari kejadian yang menyertainya.
Ini berarti bahwa statu hukum yang dibawa oleh statu hadis, adakalanya tampak bersifat
umum dan waktu tak terbatas, namun jika diperhatikan lebih lanjut, akan diketahui bahwa
hukum tersebut berkaitan dengan suatu illah tertentu, sehingga ia akan hilang dengan
sendirinya jika hilang illahnya, dan tetap berlaku jika masih berlaku illahnya. Untuk
dapat memahami hadis dengan pemahaman yang benar dan tepat, haruslah diketahui kondisi
yang meliputinya serta di mana dan untuk tujuan apa ia diucapkan.
Sehingga dengan demikian maksudnya benar-benar menjadi jelas dan terhindar dari pelbagai
perkiraan yang menyimpang dan (terhindar dari) diterapkan dalam pengertian yang jauh dari
tujuan sebenarnya. Kita mengetahui bahwa para ulama kita telah menyatakan
bahwa untuk memahami al-Quran dengan benar, haruslah diketahui tentang asbab an-nuzul
(sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat-ayat al-Quran). Agar kita tidak terjerumus

8
ke dalam kesalahan seperti yang terjadi atas sebagaian kaum ekstrem dari kalangan Khawarij
atau yang seperti mereka. Yaitu, yang mengambil ayat-ayat yang Turn berkenaan dengan
kaum musyrik, lalu menerapkannya atas kaum muslim.
Demikianlah, jika asbab an-nuzul perlu diketahui oleh siapa saja yang ingin memahami al-
Quran atau menafsirkannya, maka asbab al-wurud (sebab atau peristiwa yang
melatarbelakangi diucapkannya suatu hadis) lebih perlu lagi untuk diketahui.

Hal tersebut mengingat bahwa al-Quran, sesuai dengan wataknya, adalah universal
dan abadi. Karena itu, ia tidak berkepentingan untuk membicarakan hal-hal yang detil atau
yang hanya berkaitan dengan waktu tertentu. Kecuali untuk menyimpulkan darinya
prinsip-prinsip tertentu atau menunjukkan pelajaran (ibrah) apa yang kiranya dapat diambil
darinya.
Lain halnya dengan as-Sunnah, sebab ia memang menangani pelbagai problem yang bersifat
local (maudhiiy), particular (juziy) dan temporal (aniy). Di dalamnya juga terdapat dalam
al-Quran.
Oleh sebab itu, haruslah dilakukan pemilahan antara apa yang bersifat khusus dan yang
umum, yang sementara dan yang abadi, serta antara yang particular dan yang universal.
Semua itu mempunyai hukumnya masing-masing. Dan dengan memperhatikan
konteks, kondisi lingkungan serta asbab an-nuzul dan asbab al-wurud, pasti akan lebih mudah
mencapai pemahaman yang tepat dan lurus, bagi siapa saja yang beroleh taufik Allah SWT.

Dalam hal ini, penulis mengambil contoh tentang keharusan wanita disertai mahramnya
ketika bepergian jauh. Disebutkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim, dari Abdullah bin
Abbas, secara marfu: Tidak dibolehkannya seorang perempuan bepergian jauh
kecuali ada seorang mahram bersamanya.
Illah (alasan) di balik larangan ini ialah kekhawatiran akan
keselamatanperempuan apabila ia bepergian jauh tanpa disertai suami atau mahram. Ini
mengingat bahwa di masa itu, orang menggunakan kendaraan unta, baghal ataupun keledai
dalam perjalanan mereka, seringkali mengarungi padang pasir yang luas atau daerah-daerah
yang jauh dari hunian manusia. Dalam kondisi seperti itu, seorang perempuan yangbepergian
tanpa disertai suazi ataupun mahramnya, tentunya dikhawatirkan keselamatan
dirinya, ataupaling sedikitnama baiknya dapat tercemar.
Akan tetapi, jika kondisi seperti itu telah berubah, seperti di masa kita Semarang, ketika
perjalanan jauh ditempuh dengan menggunakan pesawat terbang yang mengangkut
seratus orang penumpang atau lebih; atau kereta api yang mengangkut ratusan musafir,
maka tidak ada lagi alasan untuk mengkhawatirkan keselamatan wanita bepergian
sendiri. Karena itu, tidak ada salahnya, ditinjau dari segi syariat, jika ia melakukannya. Dan
ini tidak dapat dianggap sebagai tindak pelanggaran terhadap hadis tersebut.

5. Membedakan antara Sarana yang Berubah-ubah dan Tujuan yang Tetap

Di antara penyebab kekacauan dan kekeliruan dalam memahami as-Sunnah, ialah bahwa
sebagian orang mencampuradukkan antara tujuan atau sasaran yang hendak

9
dicapai oleh as-Sunnah dengan prasarana temporer atau lokal yang
kadangkalamenunjang pencapaian tujuan. Mereka lebih mementingkan sarana ini, seolah-
olahitulah yang menjadi tujuan sebenarnya. Padahal, siapa saja yang mendalami .Setiap
sarana dan prasana, mungkin saja berubah dari suatu masa ke masa lainnya dan dari suatu
lingkungan ke lingkungan lainnya; bahkan semua itu pasti mengalami perubahan. Oleh
sebab itu, apabila suatu hadis menunjuk kepada sesuatu yang menyangkut sarana
atau prasarana tertentu, maka itu hanyalah untuk menjelaskan tentang suatu fakta,
namun sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengikat kita dengannya, ataupun
membekukan diri kita disampingnya.
Bahkan, sekiranya al-Quran sendiri menegaskan tentang suatu sarana atau prasarana
yang cocok untuk suatu tempat atau masa tertentu, hal itu tidak berarti bahwa kita harus
berhenti padanya saja, dan tidak memikirkan tentang prasarana lainnya yang selalu berubah
dengan berubahnya waktu dan tempat.
Sebuah contoh yaitu hadis tentang siwak (sepotong kayu lunak dari pohon
tertentu) untuk membersihkan gigi, tujuannya adalah kebersihan mulut sehingga
mendatangkan keridhaan Allah, seperti disebutkan dalam hadis siwak menyebabkan
kesucian mulut serta keridhaan Tuhan.
Adakah penggunaan siwak itu merupakan suatu tujuan tersendiri? Ataukah ia hanya suatu
alat yang cocok dan mudah diperoleh di jazirah Arab, sehingga Rasulullah saw. menganjurkan
penggunaannya, demi memanfaatkan sesuatu yang mudah didapat oleh mereka?!
Oleh sebab itu, tidak ada salahnya, bagi masyarakat-masyarakat lainnya yang tidak mudah
memperoleh kayu siwak itu, menggantikannya dengan alat lainnya yang dapat diproduksi
secara besar-besaran, cukup untuk digunakan oleh jutaan orang; seperti sikatgigi
yang kita kenal sekarang. Begitulah yang telah dinyatakan oleh sejumlah fuqaha.
Dengan ini, kita mengetahui bahwa sikat gigi dan pasta gigi (seperti yang
digunakan sekarang) sepenuhnya dapat menggantikan kayu arak. Terutama di rumah, setelah
makan, atau ketika hendak tidur.

6.Membedakan antara yang Hakekat dan Ungkapan

Teks-teks hadis banyak sekali yang menggunakan majas atau metafora, karena rasulullah
adalah orang Arab yang menguasai balaghah. Rasul menggunakan majas untuk
mengemukakan maksud beliau dengan cara yang sangat mengesankan. Adapun yang
termasuk majas adalah; majas lughawi, aqli, istiarah. Misalnya hadis tentang sifat-sifat Allah.
Hadis semacam ini tidak bisa secara langsung dipahami, tapi harus perhatikan berbagai
indikasi yang menyertainya, baik yang bersifat tekstual ataupun kontekstual.

Sebagai misal, dalam surat al-Ahzab yang berbunyi:

Artinya: Kami
Sesungguhnya telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan
gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir
akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya
manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh. (Al-Ahzab: 72)

10
Bahkan adakalanya pemahaman berdasarkan majaz itu, merupakan suatu keharusan.
Atau, jika tidak, orang akan tergelincir dalam kekeliruan. Ketika Rasulullah saw. berkata
kepada istri-istri beliau: Yang paling cepat menyusulku di antara kalian sepeninggalku
adalah yang paling panjang tangannya, mereka mengira bahwayang dimaksud oleh beliau,
adalah yang benar-benar bertangan panjang. Karena itu,seperti dikatakan oleh Aisyah r.a.;
mereka saling mengukur, siapa di antara merekayang tangannya paling panjang.

Bahkan, menurut beberapa riwayat, mereka mengambil sebatang bambu untuk mengukur
tangan siapakah yang paling panjang? Padahal Rasulullah tidak bermaksud seperti itu.
Yang dimaksud oleh beliau dengan tangan yang paling panjang ialah yang paling
banyak kebaikannya dankedermawanannya.

7. Membedakan antara Alam Gaib dan Alam Kasatmata (Nyata)

Maksudnya membedakan antara yang gaib dan alam kasatmata (nyata), di sini adalah dalam
hal memaknai teks hadis. Di antara kandungan As-Sunnah, ada beberapa hal yang berkaitan
dengan alam gaib (alam al-ghaib), yang sebagiannya menyangkut makhluk-makhluk yang
tidak dapat dilihat di alam kita ini. Misalnya, malaikat, mereka adalah jenis makhluk spiritual
(halus), tercipta dari cahaya, nur, tak dapat ditangkap dengan indera dan tidak memiliki
bentuk fisik. Makhluk-makhluk yang tidak bersifat fisik ini tidak makan, tidak minum, tidak
kawin dan juga tidak berketurunan. Mereka juga tidak mempunyai sifat kelamin, lelaki
atau perempuan. Mereka memang diciptakan untuk taat saja kepada Allah SWT. Dari
mereka terpancar dzikir, tasbih, dan ibadah, sebagaimana halnya nafas yang keluar dari
seorang manusia. Mereka juga tidak dibebani kewajiban sebagaimana yang diberikan Allah
kepada manusia.
Juga seperti jin, penghuni bumi yang dibebani pula kewajiban-kewajiban tertentu seperti kita
(manusia) juga, yang mereka itu dapat melihat kita dan kita tidak dapat melihat mereka. Dan
di antara mereka itu adalah setan-setan, tentara Iblis yang pernah bersumpah di hadapan Allah
SWT untuk berupaya menyesatkan kita dan memperindah kebatilan dan kejahatan dalam
pandangan kita. Sebagaimana disebutkan dalam al- Quran dijelaskan:



Artinya: iblis menjawab: "Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka
semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka[Shad: 82-83] (Yang
dimaksud dengan mukhlis ialah orang-orang yang telah diberi taufiq untuk mentaati segala
petunjuk dan perintah Allah s.w.t.)

Dan sebagian lagi dari hal-hal gaib ini bersangkutan dengan kehidupan di alam barzakh;
yakni kehidupan setelah mati dan sebelum kebangkitan di hari kiamat.

Termasuk di dalamnya, pertanyaan-pertanyaan malaikat ketika manusia berada dalam


kuburnya; demikian pula tentang kenikmatan ataupun siksaan di dalamnya. Dan
sebagiannya lagi berkaitan dengan kehidupan akhirat; yakni kebangkitan dan
pengumpulan manusia di padang mahsyar, peristiwa-peristiwa besar pada hari kiamat, syafaat
(dari para nabi, khususnya dari Nabi Muhammad saw.), mizan (neraca amalan manusia),

11
hisab, shirath, surga serta pelbagai kenikmatan di dalamnya; baik yang bersifat material
maupun spiritual, dan tingkatan-tingkatan manusia di dalamnya; dan juga neraka serta
pelbagai siksaan di dalamnya, baik yang inderawi maupun yang maknawi, dan tingkatan-
tingkatan manusia di dalamnya. Begitu pula dengan arsh dan kursy yang tidak dapat
disaksikan oleh indera penglihatan manusia.

8. Memastikan Makna dan Konotasi Kata-kata dalam Hadis

Dalam memahami suatu hadis haruslah dapat memastikan makna dan konotasi yang
dimaksud dalam hadis. Sebab, penggunaan atau pemaknaan kata dan konotasi setiap
masyarakat atau masing-masing orang itu berbeda-beda dalam memaknai suatu kata.

Adakalanya suatu kelompok manusia menggunakan kata-kata tertentu untuk


menunjuk kepada makna-makna tertentu pula. Dan tentunya tidak ada keberatan sama sekali
dalam hal ini. Akan tetapi yang ditakutkan di sini adalah apabila mereka
menafsirkan kata-kata tersebut yang digunakan dalam as-Sunnah (atau juga dalam al- Quran)
sesuai dengan istilah mereka yang baru (atau yang hanya digunakan di kalangan mereka saja).

D. Implementasi Pemahaman Yusuf Al-Qardhawi

Dari pemikiran yang ditawarkan oleh Yusuf al-Qardhawi ini mengindikasikan bahwa
metode yang yang ditawarkan oleh al-Qardhawi telah menimbulkan dialog yang marak baik
yang pro maupun yang kontra, yang pada akhirnya membuka peluang adanya upaya
pengembangan dalam wawasan studi pemikiran hadis.
Secara spesifik gagasan pemikiran Yusuf al-Qardhawi bukan sesuatu yang sama sekali baru.
Beberapa kriteria yang ditawarkan oleh Yusuf al-Qardhawi merupakan refleksi hasil dialog
dan pembacaan yang dilakukan Yusuf al-Qardhawi dari realitas masyarakat dan berbagai
konsep yang ditawarkan para ulama jauh hari sebelumnya.
Selain itu, pentingnya memberikan corak baru dalam studi pemahaman hadis,
mengingat jarak waktu yang memisahkan realitas sekarang ini dengan sejarah
bagaimana sebuah hadis muncul.
Jika dicermati beberapa prinsip pemahaman hadis nabi yang ditawarkan oleh Yusuf Al-
Qardhawi sebenarnya sangat urgen untuk menggali nilai-nilai hadis yang relevan dengan
kebutuhan historis sekarang ini. Hal ini penting mengingat pemahaman atas kedudukan hadis
nabi harus relevan dengan dirinya dan pada saat yang sama menjadi relevan dengan
masyarakat sekarang ini. Relevan dengan dirinya sendiri berarti kandungan
maknanya terbatas pada nilai-nilai yang dikandungnya, relevan dengan kondisi
masyarakat sekarang ini berarti bahwa relevansi tersebut berlangsung pada pemahaman yang
rasional.
Bagaimanapun juga berbagai macam temuan dan teknologi yang cukup pesat mengharuskan
perlunya pengkajian terhadap pemahaman hadis nabi. Interaksi antara budaya yang
berkembang dengan ajaran Islam yang bersumber dari teks, untuk selanjutnya
dapat dipastikan akan berhadapan dengan kenyataan yang lebih berat dan kompleks. Oleh
sebab itu, aspek budaya tidak dapat diabaikan dalam kajian hadis.

12
Munculnya pemahaman hadis perspektif Yusuf Qardhawi mengarah pada
upayapengembangan pemikiran hadis sebagai sesuatu yang positif
untukditumbuhkembangkan. Beberapa kriteria yang ditawarkan Yusuf Qardhawi
telah memberi manfaat dalam menggali nilai-nilai hadis yang relevan konteks historis saat
ini. Namun disisi lain harus disadari, maraknya berbagai pemahaman terhadap hadis nabi
membuka peluang semakin melebarnya perpecahan di kalangan umat Islam, jika perbedaan
pandangan itu tidak disikapi secara bijak, dengan menganggap produk mereka
sendiri yang paling benar dan pemikiran orang/kelompok lain yang berseberangan
dengan mereka adalah salah.

KESIMPULAN

Seperti yang telah dijelaskan, bahwa as-Sunnah adalah sumber hukum kedua setelah a-
Quran. Oleh sebab itu, kita sebagai umat Muhammad, haruslah bisa memahami
dengan baik apa-apa saja yang terkandung di dalam al-Quran dan as-Sunnah, sebagai penjelas
dari pada al-Quran.
Dari sini Yusuf al-Qardhawi memberikan delapan metode dalam memahami hadis secara
benar dan tepat, antara lain sebagai berikut:
- Memahami Hadis Sesuai dengan Petunjuk al-Quran.
- Menghimpun Hadis-Hadis yang Setema.
- Kompromi atau Tarjih terhadap Hadis-Hadis yang Kontradiktif.
- Memahami Hadis Sesuai dengan Latar Belakang, Situasi dan Kondisi serta Tujuannya.
- Membedakan antara Sarana yang Berubah-ubah dan Tujuan yang Tetap.
- Membedakan antara yang Hakekat dan Ungkapan
- Membedakan antara yang Gaib dan yang Nyata.
- Memastikan Makna Kata-kata dalam Hadis

Poin yang selanjutnya dalam pembahasan di atas adalah mengenai Implementasi Pemahaman
Yusuf Al-Qardhawi.Dari pemikiran yang ditawarkan oleh Yusuf al-Qardhawi ini
mengindikasikan bahwa metode yang yang ditawarkan oleh al-Qardhawi telah menimbulkan
dialog yang marak baik yang pro maupun yang kontra, yang pada akhirnya membuka
peluang adanya upaya pengembangan dalam wawasan studi pemikiran hadis.
Secara spesifik gagasan pemikiran Yusuf al-Qardhawi bukan sesuatu yang sama sekali baru.
Beberapa kriteria yang ditawarkan oleh Yusuf al-Qardhawi merupakan refleksi hasil dialog
dan pembacaan yang dilakukan Yusuf al-Qardhawi dari realitas masyarakat dan berbagai
konsep yang ditawarkan para ulama jauh hari sebelumnya. Selain itu, pentingnya
memberikan corak baru dalam studi pemahaman hadis,mengingat jarak waktu
yang memisahkan realitas sekarang ini dengan sejarah bagaimana sebuah hadis
muncul.

13
14

Anda mungkin juga menyukai