Anda di halaman 1dari 12

HADITS SEBAGAI SUMBER DAN DALIL HUKUM ISLAM

Nurul Hasanah
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Fakultas Syariah dan Hukum
e-mail: nurul_hasanah23@mhs.uinjkt.ac.id
Abstrak: Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua telah menjadi rujukan ummat
Islam dari masa awal Islam dalam menghadapi kehidupan sosial dan kehidupan spiritual.
Namun, hadits selalu menjadi rujukan kedua setelah al-Qur’an dan menempati posisi penting
dalam kajian keislaman. Mengingat penulisan hadits yang dilakukan ratusan tahun setelah
Rasulullah SAW wafat, maka banyak terjadi silang pendapat terhadap keabsahan sebuah
hadits. Diketahui bahwa hadits tidak dapat dipisahkan dari al-Qur’an. Pasti ada suatu masa
dalam sejarah Islam ketika seorang Muslim tertentu atau kelompok non-Muslim menolak
mengakui hadits. Hal ini disebabkan oleh ketidakpercayaan mereka terhadap makna
sebenarnya dari al-Qur’an dan hadits itu sendiri. Untuk mengatasi hal ini, tulisan ini bertujuan
untuk memberikan analisis yang jelas tentang posisi hadits dan fungsinya sebagai sumber
peraturan perundang-undangan Islam. Adapun diantara pokok bahasan pada materi ini adalah:
(i) Pengertian Hadits (ii) Fungsi dan Kedudukan Hadits (iii) Penjelasan Hadits Terhadap
Hukum dalam al-Qur’an (iv) Hadits Berdaya Hukum (v) Hadits Sebagai Sumber Otoritatif
Hukum Islam. Dari uraian tulisan ini secara umum dapat disimpulkan bahwa kaitan antara
hadits dan fiqh adalah bagian yang integral dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan
yang lain. Keduanya bagaikan dua sisi pada uang yang sama. Hal itu disebabkan karena fiqh
dapat dikatakan sebagai suatu ilmu yang lahir dari hasil pemahaman terhadap hadits Nabi
SAW.
Kata Kunci: Hadits, Sunnah, Dalil, Hukum Islam.
1. Pendahuluan
Ketika Nabi Muhammad SAW mendekati batas akhir hayatnya, masyarakat Arab
telah menjelma menjadi ummat yang terkondisikan dengan baik di atas norma-norma
Islam. Dalam keadaan demikian, beliau merasa telah berhasil merampungkan misi
kerasulannya yang sudah diembannya sejak pertama kali menerima wahyu. Dalam
menjalankan misinya itu, seluruh perilaku dan kondisi yang hadir pada diri Muhammad
dipersepsikan sebagai sistem etika yang bersifat universal yang menjadi sumber hukum
kedua setelah al-Qur’an. Pernyataan ini didukung oleh salah satu riwayat yang
disampaikan oleh ‘Aisyah RA bahwa perilaku (akhlaq) Rasulullah SAW adalah al-
Qur’an.
Riwayat tersebut menunjukkan bahwa keberadaan hadits (sunnah) Nabi sangat
penting dan mendasar karena kedudukannya sebagai sumber hukum sama dengan al-
Qur’an. Namun jika diurutkan secara hierarkis maka sumber hukum yang pertama
adalah al-Qur’an, sedangkan hadits menempati posisi kedua, dan keduanya menjadi satu
kesatuan yang bersifat integral.
Dalam perspektif sejarah pertumbuhan dan perkembangannya, hadits telah menjadi
referensi bagi seluruh bentuk tata kehidupan bagi masyarakat generasi awal. Karena
posisinya sebagai fokus referensi demikian, maka hadits pernah dimanfaatkan oleh
kelompok-kelompok tertentu, baik internal maupun eksternal komunitas muslim untuk
kepentingan yang tidak proporsional, bahkan tidak benar. 1 Untuk tujuan demikian,
hadits diproyeksikan sebagai alat legitimasi bagi kepentingan individual maupun
komunal yang pada ujung- ujungnya melahirkan hadits maudlu’ (palsu).
Selain al-Qur’an dan hadits yang dijadikan dasar, terbentuknya hukum- hukum
praktis dalam fikih Islam, Ijma’ dan Qiyas juga disepakati sebagai sumber referensi
dalam melakukan ijtihad atau menisbatkan suatu hukum. Tulisan ini tidak dikemas untuk
menguraikan kedudukan keempat sumber referensi hukum tersebut, namun hanya
dibatasi pada sumber hukum yang kedua yaitu Hadits. Masalah ini dianggap penting dan
urgen sebab kenyataan sejarah telah menunjukkan bukti bahwa ada sekelompok kecil
orang tidak mengakui hadits sebagai salah satu sumber otoritatif syari’at Islam. Tulisan
ini akan mengurai soal penetapan keshahihan hadits sebagai sumber hukum Islam.
2. Diskusi
2.1. Pengertian Hadits
Kata Hadits merupakan bentuk jama’nya al-hadith arti bahasanya sesuai
dengan yang baru, sinonim dari al-qadim. Kata al-hadith juga mengandung arti
kebahasaan yaitu khabar atau baik kisah-kisah pendek atau panjang. 2 Kata al-
hadith dalam bahasa Arab secara literal bermakna komunikasi, cerita,
perbincangan religius atau sekuler, historis atau kekinian.3
Pada masa jahiliyah pengucapan kata al-hadith yang bermakna khabar sudah
sangat terkenal yaitu ketika menyebutkan ayyam mereka dengan nama al-hadith.
Al-Hadits didefinisikan pada umumnya oleh ulama seperti Al-Sunnah yaitu
sebagai sesuatu yang dinisbatkan kepada Muhammad SAW, baik secara ucapan,
perbuatan, maupun taqrir (ketetapan), sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau
menjadi Rasul maupun setelah menjadi Rasul. Ulama ushul fiqh membatasi
pengertian hadits hanya pada ucapan-ucapan Nabi Muhammad SAW yang
berkaitan dengan hukum. Sedangkan bila mencakup perbuatan dan taqrir beliau
yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai dengan sunnah.
Pengertian hadits seperti ini yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqh tersebut,
dapat dikatakan sebagai bagian dari wahyu Allah SWT yang tidak berbeda dari
segi kewaiban menaatinya dan ketetapan-ketetapan hukum yang bersumber dari
wahyu al-Qur’an.4 Imam Syafi’i sebagai ulama fiqh dalam karya-karyanya banyak
menulis tentang ilmu hadits, misalnya dalam kitab al-risalah dan al-umm. Salah
satunya yakni tentang hadits mukhtalif yang banyak diperdebatkan oleh para
muhadits.
2.2. Fungsi dan Kedudukan Hadits
Sekiranya hadits Nabi hanya berkedudukan sebagai sumber sejarah, niscaya
perhatian ulama terhadap penelitian keshahihan hadits akan lain daripada yang ada
sekarang ini. Kedudukan hadits, menurut kesepakatan mayoritas ulama adalah

1
M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi: Antara Pengingkar dan Pembelanya, (Jakarta: Bulan Bintang,
1996), h. 7.
2
Ibn Manzur, Tahdhib al-Lisan al-‘Arab, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1994), h.560.
3
Muhammad Mustafa ‘Azami dan A. Yamin, Metodologi Kritis Hadits, (Bandung: Pustaka Hidayah,
1996), h. 17.
4
Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1994), h. 21.
sebagai salah satu sumber ajaran Islam.5 Akan tetapi, terdapat juga sekelompok
kecil dan kalangan ulama dan umat Islam telah menolak hadits sebagai salah satu
sumber ajaran Islam.Mereka ini biasa dikenal sebutan inkar al-Sunnah.
Pada zaman Nabi (w. 632 M.), belum atau tidak ada bukti sejarah yang
menjelaskan bahwa telah ada dari kalangan umat Islam yang menolak hadits
sebagai salah satu sumber ajaran Islam.Bahkan pada masa Khulafaurrasyidin (632
M - 661 M) dan Bani Umayyah (661M - 750M), belum terlihat jelas adanya
kalangan umat Islam yang menolak hadits sebagai salah satu sumber ajaran Islam.
Mereka yang berpaham inkar al-Sunnah,sebagaimana yang diidentifikasikan oleh
Syuhudi Ismail, barulah muncul pada awal masa 'Abbasyiah (750 M - 1258 M).6
Mereka juga dikenal dengan sebutan munkir al-Sunnah.
Adanya kelompok yang menolak hadits itu diketahui melalui tulisan-tulisan
al-Syafi'i. Mereka itu oleh al-Syafi’i dibagi tiga golongan, yakni: (1) golongan
yang menolak seluruh sunnah;7 (2) golongan yang menolak sunnah, kecuali 'bila
sunnah itu memiliki kesamaan dengan petunjuk al-Qur’an; (3) golongan yang
menolak sunnah yang berstatus ahad 8 Dua golongan yang disebutkan pertama
sekali, sebagaimana dijelaskan Ahmad Yusuf, sebenarnya dapat dikelompokkan
menjadi satu, karena kedua-duanya sama-sama menolak kewajiban-kewajiban
yang timbul dari hadits.9
Dalam bidang hukum Islam, pernyataan al-Qur’an sebagai sumber hukum
Islam dan hadits sebagai sumber pula, bukanlah merupakan indikasi bahwa pada
masing-masing sumber berdiri sendiri, sehingga mencerminkan ketiadaan
hubungan antara keduanya. Namun sebaliknya, antara kedua sumber itu saling
berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang berasal dari Tuhan.10 al-Qur’an
menggambarkan hubungan tadi dengan mengatakan bahwa setiap apa saja yang
keluar dan Nabi, baik al-Qur’an maupun hadits, tidak lain merupakan wahyu yang
tidak tercampur di dalamnya keinginan-keinginan pribadi.
Fungsi hadits sendiri bagi al-Qur’an sacara umum dapat dikatakan sebagai
penjelas bagi al-Qur’an. Diketahui, al-Qur’an yang diturunkan selama 23 tahun,
tidaklah secara keseluruhan menerangkan hukum berkenaan dengan fi'il mukallaf
(perbuatan orang mukallaf). Memang adakalanya al-Qur’an menerangkan hukum
tersebut secara rinci, tetapi banyak pula yang masih global, bahkan terkadang tidak
dijumpai sama sekali suatu keteranganpun dalam al-Qur’an. Keadaan tersebut,
tentu saja membingungkan, maka untuk terlaksananya perintah syara' secara
sempurna, karena ayat al-Qur’an masih bersifat global atau ketiadaan hukum,
Allah memberikan otoritas kepada Nabi untuk memberikan penjelasan terhadap
hal-hal tersebut.

Ali Sayis, Nasy’at al-Fiqh al-ijtihadiy wa Atwaruhu ((tt.: Silsilat aJ-Buhus al-Islamiy, 1970), h. 57.
5
6
M Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela Pengingkar, dan Pemalsunya (Cet I; Jakarta:
Gema Insani Press, 1995), h. 14.
7
Abu Zahrah, al-Syafi 'iy (Cet I; Kairo: Dar al-Fikr al-'Arabiy, t.th), h. 192.
8
Muhammad ibn Idris al-Syafi'iy, al-Umm, Juz VII (t.t.: Dâr al-Sya'b, t th) h. 250-265.
9
Ahmad Yusuf, al-Syafi'iy Wadi' 'llm al-UsuI (Kairo: Dar al-Saqafah, t.th.), h. 73.
10
Muhammad Khudariy Bik, Usäl al-Fiqh (Mesir al-Maktabat al-Tijariyat al-Kubra,1992), h. 242.
Otoritas Nabi dan fungsi hadits bagi al-Qur’an, yaıtu (1) bayän ta'kid, yakni
sebagai penjelasan untuk mengokohkan apa yang terkandung dalam al-Qur’an; (2)
bayän tafsir, yakni sebagai penjelasan atau penerangan terhadap ayat-ayat yang
mujmal (global) dan musytarak, (3) bayän takhsis, yakni menjelaskan tentang
kekhususan suatu ayat yang umum; (4) bayän taqyid, yakni menjelaskan dan
memberi batasan terhadap ayat al-Qur’an yang bersifat mutlak; (5) bayän tabäil,
yakni mengganti suatu hukum, sering juga disebut dengan bayän nasakh.11
2.3. Penjelasan Hadits Terhadap Hukum dalam al-Qur’an
Pada dasarnya hadits Nabi berfungsi menjelaskan hukum-hukum dalam al-
Qur’an dengan segala bentuknya sebagaimana dijelaskan di atas. Allah
menetapkan hukum dalam al-Qur’an adalah untuk diamalkan. Karena dalam
pengamalan itulah terletak tujuan yang disyari’atkan. Tetapi pengalaman hukum
Allah itu dalam bentuk tertentu tidak akan terlaksana menurut apa adanya sebelum
diberi penjelasan oleh Nabi. Dengan demikian, penjelasan-penjelasan Nabi itu
bertujuan supaya hukum-hukum yang ditetapkan dalam al-Qur’an secara
sempurna dapat dilaksanakan oleh ummat. Penjelasan Nabi terhadap hukum dalam
al-Qur’an itu memiliki beberapa bentuk, diantaranya:
1) Nabi memberikan penjelasan dengan cara dan bahasa yang mudah ditangkap
oleh ummat sesuai dengan kemampuan akal mereka pada waktu itu. Dalam
penjelasan itu kelihatannya Nabi tidak memberikan penjelasan yang bersifat
definitif filosofis, tetapi hanya dengan melakukan serangkaian perbuatan
dengan cara yang mudah diikuti ummatnya.
2) Nabi memberikan penjelasan dengan cara-cara dan contoh-contoh yang secara
nyata terdapat disekitar lingkungan kehidupan pada waktu itu. Dengan
demikian, hukum yang ditetapkan dalam al-Qur’an mudah dimengerti dan
diterima serta dijalankan oleh ummat.12
Dari segi bentuk penjelasan Nabi terhadap hukum yang disebutkan dalam al-
Qur’an, terdapat beberapa bentuk penjelasan; Pertama, penjelasan Nabi secara
jelas dan terperinci sehingga tidak mungkin ada pemahaman lain. Walaupun dalam
al-Qur’an beberapa hukum bersifat garis besar, namun dengan penjelasan Nabi
secara rinci, lafaz-lafaz yang menunjukkan hukum itu menjadi jelas. Penjelasan
Nabi yang rinci itu dipahami baik oleh sahabat. Dalam hal ini tidak timbul
perbedaan pendapat dalam memahami penjelasan tersebut. Dengan demikian
penjelasan Nabi bersifat qath'i. Penjelasan Nabi yang bersifat qath'i itu berlaku
dalam bidang akidah dan pokok-pokok ibadah seperti shalat, puasa zakat, dan
ibadah haji. Dalam hal yang bersifat pokok ini, meskipun tidak ada penjelasan rinci
dalam al-Qur’an namaun karena Nabi memberikan penjelasan secara qath'i, maka
tidak ada lagi kesamaran, dan karenanya tidak timbul perbedaan mendasar
dikalangan ulama dalam hukumnya.
Kedua, penjelasan Nabi tidak tegas dan rinci, sehingga masih menimbulkan
kemungkinan-kemungkinan dalam pemahaman meskipun sudah ada penjelasan
dari Nabi. Kemungkinan pemahamn itu terjadi dari segi kebenaran materinya atau

11
Abü Zahrah, Usül al-Fiqh (t.t.: Där al-Fikr al-'arabiy, t.th.), h. 112.
12
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 103-107.
terjadi akibat ketidakpastian penjelasannya. Penjelasan Nabi yang belum tuntas
dan jelas itu disebut penjelasan yang zanni. Penjelasan yang zanni itu pada
umumnya berlaku pada bidang mu'amalah dalam arti yang luas. Begitu pula dalam
bidang ibadah yang tidak pokok. Umpamanya sikap berdiri atau duduk dalam
shalat tidak dijelaskan secara pasti sehingga dalam pelaksanaannya timbul sedikit
perbedaan.
Mengenai kekuatan hadits sebagi sumber hukum ditentukan oleh dua segi,
pertama dari segi kebenaran materinya dan kedua dari segi kekuatan petunjuknya
terhadap hukum. Dari segi kebenaran materinya, kekuatan hadits mengikuti
kebenaran pemberitaannya (wurudnya) yang terdiri tiga tingkat yaitu: mutawatir,
masyhur dan ahad.
2.4. Hadits Berdaya Hukum
Dari satu segi sunnah adalah segala apa yang dikatakan Nabi, diperbuat Nabi,
atau yang diakui Nabi. Di sisi lain, ummat dituntut untuk mengikuti seluruh sunnah
Rasulullah SAW. Di antara sunnah itu ada yang tidak mesti diikuti oleh ummat,
bahkan ada yang dilarang. Dalam hal ini ulama mengelompokkan sunnah dalam
dua kelompok, yakni:
1) Sunnah bukan tasyri’ atau sunnah yang tidak berdaya hukum, yaitu sunnah
yang tidak harus diikuti dan oleh karenanya tidak bersifat mengikat. Sunnah
yang tidak berdaya hukum itu ada tiga, diantaranya:
a. Ucapan dan perbuatan Nabi yang timbul dari hajat insani dalam kehidupan
keseharian Nabi dalam pergaulan.
b. Ucapan dan perbuatan Nabi yang timbul dari pengalaman pribadi,
kebiasaan dalam pergaulan.
c. Ucapan dan perbuatan Nabi yang timbul dari tindakan pribadi dalam
keadaan dan lingkungan tertentu.
Semua yang dinukil dari Nabi dalam tiga bentuk tersebut tidak mempunyai
daya hukum mengikat yang mengandung tuntutan atau larangan.
2) Sunnah tasyri’ atau sunnah yang berdaya hukum yang mengikat untuk diikuti.
Sunnah dalam bentuk ini ada tiga macam, diantaranya:
a. Ucapan dan perbuatan yang muncul dari Nabi dalam bentuk penyampaian
risalah dan penjelasan terhadap al-Qur’an. Ucapan dan perbuatan Nabi
dalam kapasitasnya sebagai Rasul termasuk sunnah berdaya hukum.
Tasyri’ dalam bentuk ini berlaku secara umum sampai hari kiamat dan
dalam pelaksanaannya tidak tergantung kepada sesuatu selain
pengetahuan akan adanya sunnah itu.
b. Ucapan dan perbuatan yang timbul dari Nabi dalam kedudukannya
sebagai imam dan pemimpin ummat Islam. Sunnah tasyri’ dalam bentuk
ini tidak berlaku secara umum untuk semua orang dan dalam
pelaksanaannya tergantung kepada izin atau persetujuan imam atau
pemimpin.
c. Ucapan dan perbuatan Nabi dalam kedudukannya sebagai hakim atau
qadhi yang menyelesaikan persengketaan di antara ummat Islam. Daya
hukum dalam bentuk ini, seperti halnya dalam bentuk yang sebelumnya,
tidak bersifat umum dan dapat dilakukan oleh perorangan dengan
penunjukkan dari imam atau penguasa.
Sunnah berdaya hukum sebagaimana disebutkan di atas secara garis besarnya
mengandung beberapa bidang sebagai berikut:
a. Akidah
Bidang akidah ini dibatasi oleh Islam dalam hal perbedaan antara iman
dan kafir, yang berhubungan dengan Allah dan sifat-sifat-Nya, para rasul,
wahyu, dan hari kiamat. Sunnah tidak dapat menetapkan dasar akidah, karena
akidah dapat menimbulkan kepercayaan, sedangkan kepercayaan itu berarti
keyakinan yang pasti.
Tidak ada yang mungkin menghasilkan keyakinan yang pasti itu
kecuali yang pasti pula. Sunnah yang pasti atau qath’i ialah sunnah yang baik
dari segi lafadz-nya atau wurudnya maupun dari segi dilalah-nya adalah qath’i
atau pasti. Sunnah yang pasti hanyalah sunnah menurut pesyaratan mutawatir
yang jumlahnya sangat terbatas.
b. Akhlaq
Dalam sunnah atau hadits banyak sekali disampaikan Nabi hikmah-
hikmah, adab sopan santun dalam pergaulan, nasihat-nasihat, baik secara
langsung maupun dalam bentuk pujian terhadap keadilan, kebenaran, menepati
janji, atau celaan terhadap perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan oleh
ummat. Sunnah tersebut menuntut munculnya manusia sempurna yang juga
dikehendaki oleh rasa dan pandangan yang wajar.
Semua yang muncul dari sunnah dalam bentuk akhlaq ini pada
umumnya mempunyai dasar dan rujukan dalam al-Qur’an, sunnah yang dating
kemudian hanya bersifat memperjelas atau merincinya.
c. Hukum Amaliyah
Hal ini berhubungan dengan penetapan bentuk-bentuk ibadat,
pengaturan muamalat antar manusia, memisahkan hak-hak dan kewajiban,
menyelesaikan persengketaan di antara ummat secara adil. Hukum-hukum
yang diperoleh dari sunnah dalam bentuk hadits ahkam. Hadits-hadits dalam
bentuk inilah yang dijadikan sumber hukum oleh para ahli fiqh sesudah al-
Qur’an. Dari situlah mereka meng-istinbath-kan hukum dan mencari
penjelasan tentang petunjuk-petunjuk al-Qur’an yang menyangkut hukum.13
2.5. Hadits Sebagai Sumber Otoritatif Hukum Islam
Kedudukan Hadits Nabi sebagai sumber otoritatif ajaran Islam yang kedua,
telah diterima oleh hampir seluruh ulama dan ummat Islam, tidak saja dikalangan
Sunni tapi juga di kalangan Syi’ah dan aliran Islam lainnya. Legitimasi otoritas ini
tidak diraih dari pengakuan komunitas muslim terhadap Nabi sebagai orang yang
berkuasa tapi diperoleh melaui kehendak Ilahiyah.14
Oleh karena itu segala perkataan, perbuatan dan taqrir beliau dijadikan
pedoman dan panutan oleh ummat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih jika

13
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 108-111.
14
M.M. ‘Azami, Studies in Hadith Methodologi and Literature (Indianapolis: American Trust
Publications, 1977), h. 5.
diyakini bahwa Nabi selalu mendapat tuntunan wahyu sehingga apa saja yang
berkenaan dengan beliau pasti membawa jaminan teologis.15 Bila menyimak ayat-
ayat al-Qur’an, setidaknya ditemukan sekitar 50 ayat 16 yang secara tegas
memerintahkan ummat Islam untuk taat kepada Allah dan juga kepada Rasul-Nya,
diantaranya dikemukakan sebagai berikut:
ۚ ‫خ ُذ وهُ َومَ ا نَ َه ا ُك ْم عَ نْ هُ فَانْ تَ ُه وا‬
ُ َ‫الر ُس و ُل ف‬
َّ ُ‫َومَ ا آ تَا ُك م‬
Artinya: Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dan apa-
apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah.17
Menurut ulama ayat tersebut memberi petunjuk secara umum yakni semua
perintah dan larangan yang berasal dari Nabi wajib dipatuhi oleh orang- orang yang
beriman. 18 Dengan demikian ayat ini mempertegas posisi hadits sebagai sumber
ajaran Islam. Oleh karena itu kewajiban patuh kepada Rasulullah merupakan
konsekuenis logis dari keimanan seseorang. Dalam surat an-Nisa’ ayat 80 juga
dikemukakan:
ۖ َ‫ول فَ قَ ْد أَطَاعَ ال لَّه‬ َّ ‫مَ ْن يُطِ ِع‬
َ ُ‫الرس‬
Artinya: Barang siapa yang mengikuti Rasul maka sesunguhnya ia telah mentaati
Allah.
Ayat tersebut mengandung petunjuk bahwa kepatuhan kepada Rasulullah
merupakan salah satu tolok ukur kepatuhan seseorang kepada Allah. Hanya saja
perlu dipertegas bahwa indikasi yang terdapat dalam ayat tersebut diatas, bukan
perintah yang wajib ditaati dan larangan yang wajib ditinggalkan adalah yang
disampaikan oleh beliau dalam kapasitasnya sebagai Rasulullah. Pada ayat lain
dikemukakan bahwa kehadiran Nabi Muhammad adalah menjadi panutan yang baik
bagi ummat Islam seperti dalam surat al-Ahzab ayat 21 dikatakan:
ِ ِ ِ ‫لَقَ ْد َك ا َن لَ ُك م فِ ي رس‬
َ‫س نَةٌ ل َم ْن َك ا َن يَ ْر ُج و ال لَّهَ َوا لْيَ ْوم‬ ْ ‫ول ال لَّه أ‬
َ ‫ُس َو ةٌ َح‬ َُ ْ
‫يرا‬ ِ َّ ِ
ً ‫ْاْل خ َر َوذَ َك َر ال ل هَ َك ث‬
Artinya: Sesunguhnya telah ada pada diri Rasullah teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan dia banyak menyebut Allah.
Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Nabi Muhammad adalah teladan
hidup bagi orang-orang yang beriman. Bagi mereka yang sempat bertemu dengan
Rasulullah maka cara meneladaninya dapat mereka lakukan secara langsung,
sedangkan mereka yang tidak sezaman dengan beliau maka cara meneladaninya

15
Muhammad Arkoun, Rethingking Islam Comon Question Uncomon Answers, terj. Yudian Asmin
dan Latiful Huluq dengan judul “Rethingkin Islam”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 73.
16
Muhammad Fuad Abul Baqi, al-Mu’Jam al-Mufahras Li Alfaz al-Qur’an al-Karim (Bandung:
Maktabah Dahlan, t.th.), h. 314-319, 429-430, 463-464.
17
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 1989), h. 916.
18
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Ansari al-Qurtubi, al-Jami li Ahkam al-Qur’an, juz xviii
(Kairo; Dar al-Kitab al-Arabi, 1976), h. 17.
adalah dengan mempelajari, memahami dan mengikuti berbagai petunjuk yang
termuat dalam hadits-haditsnya.
Dari petunjuk ayat-ayat diatas, jelaslah bahwa hadits atau sunnah Nabi
merupakan sumber ajaran Islam di samping al-Qur’an. Orang yang menolak hadits
sebagi sumber ajaran Islam, berarti orang itu pada hakikatnya menolak al-Qur’an.
Walaupun demikian, tetap saja ada orang yang menolak hadits sebagai
sumber ajaran Islam baik di kalangan orang Islam maupun orientalis. Mereka
umumnya memahami bahwa adanya otoritas Nabi sebagaimana yang diungkapkan
oleh al-Qur’an tersebut menunjuk pada ucapan dan tindak tanduk beliau di luar al-
Qur’an. Namun demikian ada juga orientalis yang menolak pandangan semacam itu,
misalnya DS. Margoliout. Ia berpendapat bahwa bagaimanapun juga dalam al-
Qur’an Nabi selalu disebut bergandengan dengan Tuhan. Hal demikian, hanya
menunjuk pada konteks al-Qur’an sendiri bahwa otoritas Tuhan dan otoritas Nabi
Muhammad sebagi instrumen kemanusiaan bagi wahyu Ilahiah sehingga tidak
dapat dibedakan satu sama lain dan hanya ada al-Qur’an sebagi satu-satunya rujukan.
Pada titik ini dapat dimengerti bahwa Muhammad tidak memiliki sunnah ekstra
Qur’anik yang dapat direkam dalam hadits.
Penolakan otoritas hadits Nabi bukan hanya berkembang pada tradisi
kesarjanaan barat tetapi juga berkembang dalam kesarjanaan Islam. Terdapat
sejumlah ulama dan intelaktual Islam yang hanya menerima otoritas al-Qur’an
seraya menolak otoritas hadits Nabi sebagi sumber ajaran Islam. Mereka ini lebih
dikenal sebagi inkar al-sunnah.19 Cukup banyak argumen yang mereka kedepankan
untuk menolak otoritas hadits. Selain mengajukan argumen aqli dan naqli mereka
juga mengemukakan argumen-argumen historis serta argumen lainnya. Argumen
yang bersifat naqliyah misalnya mereka mengemukakan al-Qur’an surat an-Nahl
ayat 89 dan al-An’am ayat 38:
‫ك‬َ ِ‫ب‬ ‫ث فِ ي ُك ِل أُمَّ ةٍ َش ِه ي ًد ا عَ لَيْ ِه ْم ِم ْن أَنْ فُ ِس ِه ْم ۖ َو ِج ئْ نَا‬ُ َ‫َويَ ْومَ نَ بْ ع‬
‫َو ُه ًد ى‬ ‫اب تِبْ يَا نًا لِكُ ِل َش ْي ٍء‬ ِ َ ‫َش ِه ي ًد ا عَ لَ ٰى َٰه ُؤ ََل ِء ۚ ونَ َّزلْنَا عَ لَي‬
َ َ‫ك ا لْك ت‬ ْ َ
‫ين‬ ِ ِ ‫ش ر ٰى لِلْم‬
َ ‫سلم‬ ْ ُ َ ْ ُ‫َو َر ْح َم ةً َوب‬
Artinya: (Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat
seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu
(Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan
kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta
rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.
‫اح يْ هِ لِ ََّل أُمَ مٌ أ َْم ثَا لُكُ ْم ۚ مَ ا‬ ِ ِ ِ ٍ ِ
َ ِ‫ير ب‬
َ َ‫ن ن‬ ُ ‫َومَ ا م ْن دَ ا بَّة ف ي ْالَ ْر ِ َو ََل طَار رٍ يَط‬
‫ش ُرو َن‬ َ ‫اب ِم ْن َش ْي ٍء ۚ ثُمَّ لِلَ ٰى َربِ ِه ْم يُ ْح‬
ِ َ‫فَ َّرطْنَا فِ ي ا لْكِ ت‬

19
Muhammad Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadits : Telaah Kritis dengan Pendekatan
Ilmu Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 9.
Artinya: Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung
yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu.
Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah
mereka dihimpunkan.
Menurut mereka ayat tersebut dan yang semakna dengannya menujukkan
bahwa al-Kitab telah mencakup sesuatu yang berkenaan dengan ketentuan agama.
Argumen lain yang dikemukakan adalah bahwa al-Qur’an diwahyukan oleh Allah
dalam bahasa Arab. Oleh karena itu mereka yang memiliki pengetahuan yang
mendalam tentang bahsa Arab akan mampu memahami al-Qur’an dengan baik tanpa
bantuan hadits.
Dari pengalaman sejarah, mereka menganggap bahwa penyebab utama
kemunduran Islam adalah perpecahan yang diakibatkan karena berpegang pada
hadits. Hadits-hadits yang terhimpun dalam kitab hadits dianggap sebagai dongeng
semata. Kodifikasi hadits terjadi jauh stelah wafatnya Nabi, sehingga dengan mudah
umat Islam mempermainkan dan memalsukan hadits. Kritik sanad yang
dkemukakan berupa al-Jarh wa al-Ta’dil sangat lemah untuk membuktikan
kebenaran hadits.20 Argumen-argumen yang mereka kemukakan tersebut pada
dasarnya tidak kuat. Berikut ini dikemukakan kelemahan-kelemahannya:
1) Kata tibyan (penjelasan) yang termuat dalam surah al-Nahl 89 di atas, menurut
al-Syafi’I mencakup beberapa pengertian. Yakni : ayat al-Qur’an secara tegas
menjelaskan adanya : 1) berbagai kewajiban misalnya salat, puasa, zakat dan
haji, 2) berbagai larangan misalnyaberbuat zina, minum khamar, makan bangkai
dan daging babi, dan 3) teknis pelaksanaan ibadah tertentu misalnya tata cara
berwudu.
Ayat al-Qur’an menjelaskan adanya kewajiban tertentu yang sifatnya global
seperti dalam kewajiban shalat ; dalam hal ini, hadits Nabilah yang menjelaskan
tehnis pelaksanaannya. Nabi menetapkan suatu ketentuan hukum yang di dalam
Al-Qur’an tidak tidak dikemukakan secara tegas. Ketentuan dalam hadits
tersebut wajib ditaati sebab Allah memerintahkan kepada orang-orang yang
beriman untuk mentaati Nabi.
Allah mewajibkan kepada hambanya untuk melakukan ijtihad. Kewajiban
ijtihad sama kedudukannya dengan kewajiban mentaati perintah lainnya yang
telah di tetapkan olah Allah.
Jadi berdasarkan surat an-Nahl ayat 89 tersebut hadits Nabi merupakan
sumber penjelasan ketentuan agama Islam. Ayat dimaksud sama sekali tidak
menolak keberadaan hadits Nabi. Bahkan, ayat itu telah memberikan kedudukan
yang sangat penting terhadap hadits. Sebab, ada bagian ketentuan agama termuat
penjelasannya dalam hadits dan tidak termuat secra tegas dan rinci dalam al-Qur’an.
2) Memang benar al-Qur’an tertulis dengan bahasa Arab, susunan kata- katanya
ada yang berlaku umum dan ada yang berlaku khusus, di samping ada yang
berstatus global dan berstatus rinci. Untuk mengetahui bahwa sesuatu ayat
berlaku khusus ataupun rinci diperlukan petunjuk al-Qur’an dan hadits. Jadi

20
Mustafa al-Sibai, al-Sunnah wa Makanutuha fi Tasyri al-Islamy, (Kairo: Dar al-Qaumiyat li al-
Tibaat wa al-Nasyr, 1966), h. 128-129.
orang yang ingin memahami kandungan al-Qur’an dengan baik, walaupun orang
itu memiliki pengetahuan yang dalam tentang bahasa Arab tetap saja
memerlukan penjelaan-penjelasan dari Nabi.
3) Dalam sejarah, umat Islam telah meengalami kemajuan zaman klasik (650-1250
M) puncak kemajuan terjadi sekitar tahun 650-1000 M. Ulama besar yang hidup
pada masa ini tidak sedikit jumlahnaya baik di bidang tafsir, fiqh, hadits, ilmu
kalam, filsafat, sejarah, maupun dalam bidang pengetahuan lainnya. 21
Berdasarkan bukti sejarah ini ternyata, periwayatan dan perkembangan
pengetahuan hadits berjalan seiring dengan perkembangan pengetahuan yang
lainnya. Ajaran hadits telah ikut mendorong kemajuan umat Islam. Karena
hadits sebagaimana al-Qur’an telah memerintahkan kepada orang-orang yang
beriman untuk menuntut ilmu pengetahuan. Di samping itu banyak hadits Nabi
yang memerintahkan umat Islam bersatu dan menjahui perpecahan.
4) Umat Islam memberikan perhatian yang besar terhadap hadits Nabi bukan hanya
dimulai pada zaman tabi’in dan tabi’ al-tabi’in melainkan sejak zaman Nabi.
Kegiatan itu berjaln secara berkesinambungan hingga mencapai puncaknya pada
masa tabi’in dan tabi al-tabi’in. Hal ini menjadi logis sebab para sahabat yang
mengajarkan hadits, jumlahnya banyak dan masing-masing memiliki murid
yang tidak sedikit. Karenanya sangat wajar bila pemerhati hadits pada masa
tabi’in makin bertambah jumlahnya dibandingkan pada zaman sahabat. Jadi
tidak benar sama sekali jika sekarang ada pendapat yang menyatakan bahwa apa
yang sekarang dianggap hadits Nabi itu tidak lebih dari dongeng-dongeng
semata. Sekiranya hadits yang terhimpun dalam berbagai kitab hadits itu
terdapat hadits yang lemah, ataupun palsu, tidaklah berarti bahwa sesluruh
hadits yang ada didalamnya juga palsu atau lemah.
5) Kritik sanad dalam ilmu al-jarh wa al-ta’dil bukan saja mengeritik para
periwayatnya saja, melainkan juga persambungan sanadnya. Untuk meneliti
persambungan sanad, salah saatu hal yang harus diperhatikan ialah bentuk
tahamul wa’ada al- hadits yang termaktub dalam sanad itu. Selain itu, orang
yang melakukan kritik tidak bisa sembarangan, tetapi harus memiliki syarat-
syrat yang sah sebagai pengeritik. 22 Jadi cukup ketat tata-ketentuan yang
berkenaan dengan kritik sanad tersebut.
Argumen yang mereka ajukan dalam rangka menolak hadits sebagai sumber
ajaran Islam itu ternyata lemah dan tidak memiliki basis akademis yang kuat, lebih
aneh lagi dalam pengingkaran mereka terhadap hadits, mereka justru menggunakan
dalil dari hadits itu sendiri, 23 satu hal yang sangat ironis, sebab sesuatu yang
diingkarinya justru kembali mereka jadikan basis argumen.
Namun harus dimaklumi bahwa sebagian besar mereka masuk ke dalam
kelompok ingkar as-sunnah, disebabkan karena keterbatasan pengetahuan mereka

21
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1975), h. 11.
22
Muhammad Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadits: Telaah Kritis dengan Pendekatan
Ilmu Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 119.
23
Muhammad Abu Sahw, al-Hadits wa al-Muhaddisun (Mesir, Maktabah al- Misriyah, t.th.), h. 21.
terhadap hadits. 24 Gejala ini bukan saja terjadi di negara Islam lain, bahkan di
Indonesia pun salah satu penyebab keingkaran mereka adalah ketidaktahuanya
terhadap kandungan al-Qur’an, ilmu tafsir dan bahasa Arab, sehingga banyak ayat
yang yang diterjemahkan dan dipahami secara keliru termasuk ayat yang
membicaarkan fungsi Nabi Muhammaad SAW.25
Selurh umat islam menolak paham inkar al-sunnah ini. Mereka sepenuhnya
mengakui otoritas hadits Nabi sebagai sumber justifikasi bagi perumusan ajaran
Islam, sejak dari level tatacara peribadatan murni hingga level sosial
kemasyarakatan.
3. Kesimpulan
Dari uraian diatas secara umum dapat disimpulkan bahwa kaitan antara hadits dan
fiqh adalah bagian yang integral dan tidak bisa dipisahkan antara satu dan yang lain.
Keduanya bagaikan dua sisi pada uang yang sama. Hal itu disebabkan karena fiqh dapat
dikatakan sebagai suatu ilmu yang lahir dari hasil pemahaman terhadap hadits Nabi
SAW, karena walaupun ulama-ulama fiqh merujuk pada al-Qur’an, seringkali
pemahaman itu dikaitkan atau mengambil dukungan dari hadits sebagai penjelas. Itulah
sebabnya Muhammad al-Ghazali sangat menganjurkan para pengkaji hadits untuk
senantiasa memperhatikan pandangan-pandangan fuqaha, bahkan beliau menegaskan
bahwa tidak akan sempurna dan bermanfaat hadits tanpa fiqh.26
Melihat kaitan antara hadits dan fiqh tersebut, maka posisi hadits dalam pembentukan
hukum Islam sangat penting. Hadits di mata ulama Muhaddisin dan ulama ushul
berkedudukan sama dengan al-Qur’an. Namun jika keduanya diurut, maka al-Qur’an
menempati urutan pertama sedang hadits menempati posisi yang kedua. Kendatipun
sudah jelas kedudukan hadits tersebut, namun masih ada juga orang khususnya orientalis
dan sekelompok kecil umat Islam yang mencari-cari alasan untuk tidak mengakui dan
menerima hadits sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Tapi perlu dicatat bahwa
penolakan mereka terhadap hadits lebih disebabkan oleh keterbatasan pengetahuannya
terhadap al-Qur’an dan terutama kepada hadits itu sendiri.
Daftar Pustaka
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Ansari al-Qurtubi, al-Jami li Ahkam al-Qur’an, juz
xviii (Kairo; Dar al-Kitab al-Arabi, 1976)
Abu Zahrah, al-Syafi 'iy (Cet I; Kairo: Dar al-Fikr al-'Arabiy, t.th)
Abü Zahrah, Usül al-Fiqh (t.t.: Där al-Fikr al-'arabiy, t.th.)
Ahmad Husnan, Gerakan Ingkar Sunnah dan Jawabannya (Jakarta: Media Dakwah, 1980)
Ahmad Yusuf, al-Syafi'iy Wadi' 'llm al-UsuI (Kairo: Dar al-Saqafah, t.th.)
Ali Sayis, Nasy’at al-Fiqh al-ijtihadiy wa Atwaruhu ((tt.: Silsilat aJ-Buhus al-Islamiy, 1970)
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Kencana, 2011)
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 1989)

24
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (t.tp. Dar al-Fikr all-Arabi, t.th.), h. 218.
25
Ahmad Husnan, Gerakan Ingkar Sunnah dan Jawabannya (Jakarta: Media Dakwah, 1980), h. 44-
46.
26
Muhammad al-Gazali, Studi Kritis Atas Hadits Nabi SAW. terj. Muhammad al- Baqir, (Bandung:
Mizan, 1996), h. 200.
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1975)
Ibn Manzur, Tahdhib al-Lisan al-‘Arab, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1994)
M Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela Pengingkar, dan Pemalsunya (Cet I;
Jakarta: Gema Insani Press, 1995)
M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi: Antara Pengingkar dan Pembelanya, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1996)
M.M. ‘Azami, Studies in Hadith Methodologi and Literature (Indianapolis: American Trust
Publications, 1977)
Muhammad Abu Sahw, al-Hadits wa al-Muhaddisun (Mesir, Maktabah al- Misriyah, t.th.)
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (t.tp. Dar al-Fikr all-Arabi, t.th.)
Muhammad al-Gazali, Studi Kritis Atas Hadits Nabi SAW. terj. Muhammad al- Baqir,
(Bandung: Mizan, 1996)
Muhammad Arkoun, Rethingking Islam Comon Question Uncomon Answers, terj. Yudian
Asmin dan Latiful Huluq dengan judul “Rethingkin Islam”, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996)
Muhammad Fuad Abul Baqi, al-Mu’Jam al-Mufahras Li Alfaz al-Qur’an al-Karim
(Bandung: Maktabah Dahlan, t.th.)
Muhammad Khudariy Bik, Usäl al-Fiqh (Mesir al-Maktabat al-Tijariyat al-Kubra,1992)
Muhammad Mustafa ‘Azami dan A. Yamin, Metodologi Kritis Hadits, (Bandung: Pustaka
Hidayah, 1996)
Muhammad Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadits: Telaah Kritis dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992)
Mustafa al-Sibai, al-Sunnah wa Makanutuha fi Tasyri al-Islamy, (Kairo: Dar al-Qaumiyat li
al-Tibaat wa al-Nasyr, 1966)
Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1994)

Anda mungkin juga menyukai