Anda di halaman 1dari 15

MODEL PENELITIAN HADIS

Oleh: Adi Harmanto

A. Latar Belakang

Meski perkembangan pemikiran dan kajian terhadap Hadits tidak sesemarak


sebagaimana penelitian terhadap Alquran seperti diklaim oleh sebagian pengkaji Islam,
Hadis masih tetap menunjukkan daya pikat di mata para penggiatnya. Sebab, betapapun,
Alquran dan Hadist merupakan dua entitas yang tidak bisa disangsikan keberadaannya
ketika sesorang hendak mengungkapkan jati diri Islam yang sebenarnya.

Kendati demikian, tidak berarti, Hadis sepi dari penyelidikan atau kritikan.
Keautentikan Hadis adalah salah satu kajian yang tak henti-hentinya dilancarkan berbagai
pihak. Baik dari dalam tubuh Islam, apalagi yang berada di luar Islam. Para orientalis
melayangkan kritikan tajam prihal autentisitas Hadist, para inkarus sunnah pun memiliki
pandangan yang sama.

Tidak dapat dipungkiri, keterlambatan terkodifikasinya Hadis adalah faktor utama,


merebaknya penelitian tentang keaslian Hadis. Seturut dengan itu, pada salah satu periode
Islam para ulama Hadis dirisaukan oleh banyaknya Hadis-hadis palsu menyebar luas di
kalangan masyarakat Islam. Dari situ, penelitian-penelitian terhadap Hadist segera
dilakukan oleh para ulama, bagaimana mengetahui sebuah Hadis itu bestatus shahih. Dan
membuktikan bahwa ia memang berasal dari sang baginda Nabi Muhammad Saw.

Makalah ini akan mencoba memperlihatkan bagaimana para ulama melakukan


penelitian terhadap Hadist.

B. Pengertian Hadits, Sunnah dan Atsar

Di dalam mengarungi kehidupan ini, manusia, menurut Manna’ Al Qathhan,


membutuhkan berbagai macam pengetahuan. Dan segala pengetahuan itu berasal dari dua
sumber, yaitu naqli dan aqli. Dari naqlilah sebagian besar pengetahuan, khususnya
pengetahuan agama diperoleh oleh manusia. Dalam Islam, Alquran dan Hadis adalah sumber
naqli paling otentik.1

1
Manna’ Al Qathhan, Mabahits fi Ulum al Hadist, (Al Qahirah: Maktabah Wahbah, tt), h. 5
Sumber naqli yang disebutkan terakhir yaitu hadits dan istilah lain yang mengitarinya
seperti sunnah dan atsar akan diurai dalam makalah ini. Hadist secara etimologi memiliki
berbagai arti, di antaranya: al jadid, “yang baru”, sinonim dari alqadim “yang lama”.2
Alhadits, “yang dibicarakan atau yang dikutip”.3 Al Thariq “jalan”, yaitu, al tariqal
maslukah, “jalan yang ditempuh.4” Sunnah secara bahasa berarti assirah “prilaku”, prilaku
baik maupun buruk.5 Sementara Atsar dalam bahasa diartikan sebagai baqiyyatul assyaii,
“sisa”.6

Serupa dengan makna etimologi, arti Hadits juga dalam terminologi memiliki ta’rif yang
tidak tunggal. Para muhadditsun (ulama hadits) dan ushuliyyun (ulama ushul fikih)
mendefinisikan Hadits secara berbeda. Sebagai berikut:

Muhadditsun : Apa yang disandarkan kepada Nabi saw, baik berupa ucapan, perbuatan,
konfirmasi Nabi, karakter, baik secara fisik (seperti tubuh, rambut dan sebagainya) maupun
fisikis dan akhlak keseharian beliau, baik sebelum maupun sesudah terutus sebagai Nabi. 7
Para ahli Hadist juga memaknai sunnah sama dengan makna terminologi Hadist ini.8

Ushuliyyun : Ucapan, perbuatan dan konfirmasi yang disandarkan kepada Nabi setelah
terutus sebagai Nabi. Adapun ucapan, perbuatan atau pun tindakan yang dilakukan beliau
sebelum kenabian tidaklah dianggap sebagai Hadits.9 Sedangkan sunnah menurut kelompok
ini: Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi selain Alquran, baik berupa perkataan,
perbuatan maupun ketetapan yang memang layak dijadikan sebagai dalil bagi hukum syara’.10

Sementara Atsar menurut istilah juga memiliki pengertian yang berbeda-beda sesuai
dengan latar belakang disiplin ilmu yang digeluti masing-masing para ahli, di antaranya:
pertama, jumhur ulama memandangnya dengan sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw,
sahabat dan tabiin. Kedua, ulama Khurasan, sesuatu yang disandarkan kepada sahabat saja.

2
Dijadikan qadim sebagai sinonim hadist dengan tujuan: qadim sebagai kitab Allah dan Hadis sebagai yang
disandarkan kepada nabi. Pernyataan tersebut seolah-olah dimaksud sebagai bandingan terhadap Quran yang
qadim. Lihat Burhan Jamaluddin dan Muhammad Ma’shum, Ulumul Hadits, (Jombang: Darul Hikmah, 2008) h.
12
3
Manna’ Al Qaththan, opcit, h. 7
4
Burhan Jamaluddin dan Muhammad Ma’shum, opcit. h. 13
5
Muhammad ‘Ajjaj Al Khatib, Ushul al Hadits, Ulumuhu wa Musthalahuhu, (tt: Dar Alfikr, 1427 H), h. 13
6
Burhan Jamaluddin dan Muhammad Ma’shum, opcit. h. 23
7
Manna’ Al Qaththan, loccit.
8
Muhammad ‘Ajjaj Al Khatib, opcit, h. 19
9
Manna’ Al Qaththan, loccit.
10
Muhammad ‘Ajjaj Al Khatib, loccit.
Ketiga, ahli Hadits mengatakan atsar adalah sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan
tabiin baik perbuatan maupun ucapan.11

C. Hadits Qudsi

Di samping itu, Hadits terbagi ke dalam dua macam, ada yang disebut dengan hadis
nabawi sebagaimana yang sudah dipaparkan di muka. Dan ada pula yang dinamai dengan
hadis qudsi. Qudsi sendiri, secara lughawi, berarti suci. Sebuah penisbatan yang
menunjukkan pengagungan dan pemuliaan kepada dzat yang Maha Suci, Allah Swt.12

Sedangkan secara istilah Hadist qudsi bermakna dengan apa yang disandarkan oleh nabi
dari ucapan-ucapan beliau kepada Allah. Redaksi hadits ini biasanya diawali dengan “Seperti
yang diriwayatkan dari Allah”, atau “Seperti yang diriwayatkan dari Allah, bahwasanya
Allah berfirman”.13

Hadist qudsi tidak sama dengan Alquran. Alquran itu lafadz dan maknanya dari Allah,
Hadis qudsi maknanya dari Allah dan redaksinya dari Nabi. Membaca Alquran termasuk
ibadah dan mendapat pahala, Hadist qudsi sebaliknya. Dan Hadis qudsi ini jumlahnya pun
amat terbatas.14

D. Sejarah Perkembangan Hadist


1) Eksistensi Hadits Era Nabi Muhammad

Para peneliti masih bersilisih pendapat tentang awal waktu dimulainya penulisan Hadist.
Waktu yang diperdebatkan pada umunya adalah antara zaman Nabi hingga Umar bin Abdul
Aziz. Hal ini ditengarai karena adanya dua bentuk riwayat Hadist tentang penulisan Hadist.
Pertama riwayat yang menerangkan adanya larangan penulisan Hadist. 15 Dan kedua
didapatinya riwayat lain yang membolehkan menulis Hadist.16

Sebenarnya larangan tersebut selain disebabkan kekhawatiran bercampurnya Alquran


dengan Hadits jika ditulis dalam satu lembar atau satu tempat, juga dikarenakan agar kaum

11
Burhan Jamaluddin dan Muhammad Ma’shum, opcit. h. 22
12
Manna’ Al Qaththan, opcit, h. 10
13
Ibid,
14
Ibid,
15
Salah satunya, hadist riwayat Abu Said Khudry katanya Nabi Saw bersabda: “jangan sekali-kali kamu menulis
padaku selain Al Quran, barangsiapa yang menulisnya hendaklah ia menghapusnya” Annawai, Syarah Shahih
Bukhari, juz: 18, h. 129. Maktabah Syamilah
16
Salah satunya, hadist riwayat Abu Hurairah: “Tidak ada seorang sahabat nabi yang lebih banyak mengerti
hadis daripadaku selain Abdullah bin Amar, dia menuliskannya sedang aku tidak.” Bukhari, Shahih Al Bukhari,
(Kairo: Maktabah wa Math’ba,ah Al nashriyah, tt) juz 1, h. 32
muslimin tidak disibukkan dengan Hadist dan melupakan Alquran. Kaum muslim dituntut
untuk memelihara Alquran dalam hafalan mereka dan tulisan Alquran yang berada pada
lembaran dan tulang belulang guna mengukuhkan penjagaan padanya. Sementara Hadits
tidak ditulis karena telah dianggap terjaga dalam praktik sehari-hari. Karena, ketika para
sahabat melihat dan mendengarkan Hadist nabi mereka langsung menerapkannya. Kemudian,
mengenai perintah Nabi tentang pembolehan penulisan Hadits, hal itu hanya tertuju pada
orang yang tidak bisa mengandalkan hafalannya.17

2) Eksistensi Hadist Era Sahabat dan Tabi’in

Pada periode ini masalah penulisan Hadits belum dianggap suatu hal yang mendesak
untuk dilaksanakan. Hadis masih tetap dihafal. Dan upaya-upaya penulisan masih dianggap
mengkhawatirkan dan mengganggu concern mereka terhadap penulisan Alquran, salah
satunya, karena keterbatasan tenaga dan sarana.18

Kendati demikian tetap saja ada sahabat-sahabat yang melakukan penulisan hadits secara
pribadi. Di antara mereka: Ibnu Mas’ud, Ali bin Abi Thablib, Aisyah dan lainnya. 19 Dengan
demikian dapat dipahami bahwa semangat para sahabat dalam melestariakan dan
menyampaikan Hadist kepada para sahabat lain saat itu terlihat masih sangat tinggi.
Sekalipun kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah sangat hati-hati dan teliti, sehingga
seseorang yang telah menerima Hadist tidak harus menyampaikannya kepada orang lain
kecuali diperlukan.20

3) Eksistensi Hadits pada Abad II H

Pada mulanya, masa ini tidak jauh berbeda dengan masa sebelumnya dan metode
periwayatan Hadist yang dilakukan para tabiin tidak berbeda dengan yang pernah dilakukan
oleh para sahabat. Pada akhirnya, ketika pemerintahan dipegang oleh Umar bin Abdul Aziz
(Khalifah ke VIII dinasti Bani Umayyah)21 terbentuklah Lembaga Kodifikasi Hadist secara

17
Jalaluddin As-Suyuthi, Tadrib ar Rawi fi Syarh Taqrib An Nawawi (Riyadh: Maktabah Al Kautsar, 1418) H. 493-
495
18
Burhan Jamaluddin dan Muhammad Ma’shum, opcit. h. 67
19
ibid, h. 69
20
Ibid, h. 70
21
As-Suyuthi, opcit. h. 40
resmi.22 Para ahli Hadist, kemudian, memandang bahwa upaya ini adalah “batu bata” pertama
pembentukan Hadits. Seperti yang disebutkan dimuka makalah.

4) Eksistensi Hadits pada Abad III H

Era ini dikenal sebagai masa penyaringan pensyarahan Hadits. Hal tersebut dilakukan
karena merebaknya Hadist-hadist yang dinilai tidak berasal dari Nabi. Lantaran masa
sebelumnya belum berhasil melakukan pemisahan beberapa hadis dhaif dan hadits sahih.
Bahkan terkesan Hadist maudhu’ bercampur dengan Hadits shahih. Dengan ketekunan dan
usaha dalam menjaga kemurnian ajaran Islam, para ulama bangkit melakukan berbagai cara
dan upaya. Di antaranya: memisahkan hadis-hadis Nabi yang bukan dari Nabi melalui
kaidah-kaidah yang telah mereka tetapkan. Mengadakan penyaringan secara ketat terhadap
apa saja yang dikatakan Hadist nabi dengan melakukan kerja-kerja penelitian pada matan dan
matarantai sanadnya, meskipun di dalam penelitian selanjutnya masih ditemukan terselipnya
Hadits yang dhaif pada kitab-kitab shahih karya mereka.23

E. Model Penelitian Hadits

Setelah kita melihat secara ringkas perjalanan panjang Hadist dari era Nabi hingga tabiin
pada abad ke tiga Hijriyah, puncak pengkodifikasian atau peresmian pembukuan Hadist
terjadi pada abad kedua Hijriyah, yang diprakarsai oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang
kemudia, upaya pembukuan secara menyeluruh dilakukan oleh Muhammad bin Shihab Al-
Zuhri yang menyambut dan menyambung seruan Umar bin Abdul Aziz hanya dengan motif
kecintaan beliau kepada Hadits. Para ulama mengatakan “Seandainya tidak ada Al-Zuhri
tentunya telah banyak Hadist nabi yang lenyap”.24

Keterlambatan pengkodifikasian Hadist menuai polemik mengenai otentisitas Hadits


tidak hanya di kalangan orientalis tapi juga di dalam tubuh Islam sendiri. Misalnya Goldziher
yang meragukan keberadaan Hadits berasal dari Nabi, bahkan Josep Schacth menyatakan
bahwa tidak ada satu pun Hadist yang otentik, khususnya Hadist-hadist tentang hukum.25

22
Muhammad ‘Ajjaj Al Khatib, opcit. h. 172
23
As-Suyuthi, opcit. h. 33
24
Muhammad bin Jakfar Al Kittani, Arrisalah Al-Mustatrafah li Bayani Kutub Alsunnah Al-Musharrafh (Beirut:
Dar Al Bashair Al Islamiyah, tt), H 4
25
Burhan Jamaluddin dan Muhammad Ma’shum, opcit. h. 62
Selanjutnya di dalam kalangan Islam sendiri, ditemukan kelompok yang dikenal dengan
istilah inkarussunnah yang lahir di Mesir dan Irak, yang tidak menjadikan Hadits sebagai
sumber ajaran Islam.26

Hal ini tentu membuat ilmu-ilmu Hadits menampakkan titik urgensi dirinya dalam
mempertahankan dan mempertanggungjawabkan otentisitas Hadist secara ilmiah. Dan juga
seperti disebutkan di muka, menyebarnya hadist-hadits muadhu’ atau palsu, kerenanya para
ulama demi membuktikan dan menjaga keaslian sabda Nabi melakukan penelitian terhadap
Hadits. Secara garis besar model penelitian ulama terhadap Hadits terbagi ke dalam dua
objek: model penelitian yang berpusat pada objek sanad dan model penelitian yang berpusat
pada objek matan. Sebagaimana akan diurai pada bagian berikut ini:

1. Model Penelitian Hadits yang Berpusat pada Sanad

Sanad secara bahasa berarti almu’tamad yaitu “yang dipegangi (yang kuat)/yang bisa
dijadikan pegangan.” Atau, dapat juga diartiakan dengan ma irtafa min al ardhi, “sesuatu
yang terangkat tinggi dari tanah.”27 Sedangkan secara istilah sanad berarti silsilah para perawi
yang bersambung sampai ke matan.28 Dengan ungkapan mudahnya, sanad adalah para perawi
atau penyampai Hadist.

Sebagai contoh dari sanad adalah seperti terlihat dalam Hadist berikut:

‫َح َّدثَنَا ُم َس َّد ٌد قَا َل َحدَّ ثَنَا حَي ْ ىَي َع ْن ُش ْع َب َة َع ْن قَتَ ا َد َة َع ْن َأن َ ٍس َريِض َ اهَّلل ُ َع ْن ُه َع ْن النَّيِب ِ ّ َص ىَّل اهَّلل ُ عَلَ ْي ِه َو َس مَّل َ َو َع ْن‬
‫ُح َسنْي ٍ الْ ُم َعمِّل ِ قَا َل َح َّدثَنَا قَتَا َد ُة َع ْن َأن َ ٍس َع ْن النَّيِب ِ ّ َصىَّل اهَّلل ُ عَلَ ْي ِه َو َس مَّل َ قَ ا َل اَل يُ ْؤ ِم ُن َأ َح دُ مُك ْ َحىَّت حُي ِ َّب َأِل ِخي ِه َم ا‬
.‫حُي ِ ُّب ِلنَ ْف ِس ِه‬

Artinya: “Imam Al-Bukhari berkata, ‘Musaddad telah bercerita kepada kami, ia


berkata, ‘Yahya telah bercerita kepada kami, dari Syu’bah, dari Qatadah, dari Anas RA,
dari Nabi Muhammad SAW.’ Dari Husain Al-Mu’allim, ia berkata, ‘Qatadah telah bercerita
kepada kami, dari Anas, dari Nabi Muhammad SAW, beliau bersabda, ‘Tidak sempurna
iman salah seorang kalian sehingga ia mencintai saudaranya sama seperti ia mencintai
dirinya sendiri.’’

26
Ibid
27
M. Syuhdi Ismali, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992) h. 23
28
Amar Abdul Mun’im, Taisir Ulum Al Hadits, (Tt: Dar al Dhiya’, tt) h. 10
Nama-nama seperti Musaddad, Yahya, Syu’bah, Qatadah, Husain Al-Mu’allim, dan Anas
disebut dengan rawi atau informan Hadits. Deretan silsilah atau rangkaian nama-nama rawi
dari Musaddad hingga kepada Anas bin Malik disebut dengan sanad.

Sanad menempati kedudukan yang penting dalam Hadist. Karenya sebuah berita yang
dinyatakan seseorang sebagai sebuah Hadits, tidaklah dapat diterima jika tidak memiliki
sanad. Saking urgennya sebuah sanad Abdullah bin Al Mubarak menyatakan bahwa:

‫ ولوال اإلسناد لقال من شاء ما شاء‬،‫إن اإلسناد من ادلين‬

“Sanad Hadits merupakan bagian dari agama. Sekiranya sanad Hadits tidak ada,
orang-orang akan bebas menyatakan apa yang ia kehendaki.”

Selain itu, para ulama Hadits juga menjadikan ayat Alquran dan Hadis sendiri sebagai
dasar perlunya keberadaan sanad dalam sebuah berita, sebagai berikut:

٦ ‫يَٰ َٓأهُّي َا ٱذَّل ِ َين َءا َمنُ ٓو ْا ن َجٓا َءمُك ۡ فَ ِاس ُۢق ِبن َ َب ٖإ فَتَ َبيَّنُ ٓو ْا َأن ت ُِصي ُبو ْا قَ ۡو ۢ َما جِب َهَٰ ةَل ٖ فَ ُت ۡص ِب ُحو ْا عَىَل ٰ َما فَ َعلۡمُت ۡ نَٰ ِد ِم َني‬
‫ِإ‬
“jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan
teliti agar kamu tidak tertimpa suatu musibah”29 Adapun sabda Nabi yang memiliki substansi
sama: “Semoga Allah memberikan kebaikan kepada seseorang yang mendengarkan sesuatu
dariku, kemudian menyampaikannya kepada orang lain sesuai dengan apa yang
didengarnya. Pada umumnya penyampai berita itu lebih menghayati dari pada
pendengarnya.”30

Ayat dan Hadits tersebut mengandung prinsip yang sangat mendasar, artinya usaha
menerima dan menyampaikan serta merawat hadis seharusnya dilakukan dengan teliti dan
tepat. Oleh itu, para sahabat amat berhati-hati dalam menerima dan meriwayatkan suatu
Hadits. Terlebih jika menemukan suatu kejanggalan atau keraguan prihal kejujuran seorang
perawi. Oleh itu juga, kemudian lahir suatu usaha untuk merumuskan teori kritik sanad
Hadist sebagai teori yang digunakan dalam menyeleksi Hadist apakah bisa diterima atau
ditolak. Al adlabi menyebutnya dengan naqd khariji,”kritik ekstern”.31 Kritik sanad inilah
langkah pertama yang dibahas dan dikaji para ulama Hadits dalam melakukan penelitian
Hadits.
29
Qs. Al Hujarat: 6
30
At Tirmidzi, Sunan At Tirmidzi, (Beirut: Dar al Ihya al Turats al Arabi, tt), No 2657 juz 5, h 34.
31
Shalahuddin ibn Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matn Inda Ulama’ al Hadits al Nabawi, (Al Qahirah: Dar
AlFath, tt), h. 19
Agar suatu sanad dikatakan shahih dan dapat diterima, maqbul, maka ia harus memenuhi
beberapa syarat berikut ini:32

1. Harus muttashil (bersambung), yakni setiap perawi mengambil Hadist dari perawi
sebelumnya lalu menyampaikannya kepada perawi setelahnya tanpa melalui perantara
yang lain selain perawi-perawi yang disebutkan di sanad. Karena, bila Hadist itu
sampai kepada perawi, namun dengan perantara yang lain, yang tidak dikenal dan
namanya pun tidak tertulis dalam sanad itu, maka dimungkinkan perawi itu seorang
pendusta, banyak kesalahan dan lupanya, tertuduh melakukan dusta dalam
meriwayatkan Hadits, buruk hafalannya, daya ingatnya sudah kacau, fasik atau pelaku
bid’ah atau pun cacat yang lain.

Untuk mendapatkan informasi mengenai riwayat hidup para perawi, beberapa kitab yang
disebutkan berikut ini dapat dipergunakan dalam melakukan penelitian: Tahdzib al-Tahdzib,
Taqrib al Tahdzib dan lainnya. Dari penilitian ini kemudian melahirkan cabang ilmu yang
dikenal dengan ilmu tarikh al ruwwat. Ilmu untuk mengetahui para perawi Hadist dari sisi
keterhungan dan hubunganya dengan usaha periwayatan mereka terhadap Hadist.

2. Para perawinya adil, yaitu telah diakui keadilan dan keteguhan agamanya, yang
benar-benar muncul dari nuraninya, sehingga membuat ia takut untuk melakukan
kebohongan, penyimpangan atau pun gegabah dalam urusan agama Azza wajalla. 33
Pengertian adil secara umum di kalangan ahli Hadits adalah bahwa seorang itu harus
memenuhi kriteria: 1. Muslim, 2. Baligh. 3. Berakal sehat.4. tidak berbohong dan 5.
Tidak terganggu akalnya.34
3. Para perawi harus dhabit, yakni telah dikenal memiliki daya hafal yang kuat, bila
Hadits itu diriwayatkan dengan hafalan, atau memiliki catatan yang akurat, bila
Hadits itu diriwayatkan melalui tulisan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari
kesalahan, kekeliruan ataub cacat lainnya. Bila seorang perawi memenuhi kedua
kriteria ini (adil dan dhabit), maka ia disebut dengan tsiqah. Dan bila suatu sanad
memenuhi syarat itu, maka secara lahiriyah dinilai shahih. Akan tetapi, demi
menambah ketepatan dan ketelitian, para ulama menembahkan dua syarat utama,
yaitu:35

32
Ibid, h. 40
33
Ibid,
34
Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, (Tebing Tinggi: Mutiara Sumber Widya, 1998), h. 360
35
Shalahuddin ibn Ahmad al-Adlabi, loc cit.
Dari penilitian ini kemudian melahirkan cabang ilmu yang dikenal dengan al jarh wa
ta’dil, ilmu untuk mengetahui para perawi Hadits dalam kapasitasnya sebagai perawi Hadist.

4. Tidak syadz, yaitu, sering terjadi sanad itu shahih bila diukur dengan kriteria di atas,
tetapi terdapat sanad lain yang berbeda dan nilainya lebih kuat, lantaran adanya lebih
banyak periwayat tsiqah yang berbeda dengan perawi-perawi pada sanad yang
pertama atau kerena memiliki daya hafal atau ketelitian lebih dibandingkan dengan
perawi-perawi pada sanad pertama. Dalam kondisi seperti ini, sanad pertama dinilai
dhaif, dan biasa disebut dengan istilah sanad syadz, sedang sanad yang lain menjadi
kuat, dan biasa dikenal dengan istilah sanad mahfudz.36
5. Sanad itu tidak mengandung illat qadihah, yaitu sering terjadi suatu sanad terlepas
dari syadz, tetapi tidak terlepas dari illat qadihah. Misalnya secara lahiriyah sanad itu
bersambung dan shahih, tetapi ada sementara ahli yang melihat bahwa sanad itu
munqathi. Dalam kondisi seperti inilah para kritikus yang jeli akan mampu menilai
bahwa sanad itu mengandung illat, meskipun secara lahiriyah terlihat shahih.37

Klasifikasi di atas sangat berguna untuk menentukan status sebuah Hadist. Apakah ia
shaheh, hasan atau dhaif. Jika syarat-syarat di atas terpenuhi maka status sebuah Hadits
disebut dengan shahih. Bila salah satunya tidak terpenuhi maka statusnya akan jatuh ke
dalam level dhaif. Jika kekuatan daya ingatan perawinya kuat maka ia masuk ke kategori
shahih, bila kurang ia akan disebut dengan hadist yang hasan.

Setelah diperoleh kesimpulan melalui langkah-langkah penelitian di atas, bahwa sanad


suatu Hadist, misalnya, shahih, maka langkah penelitian selanjutnya diarahkan kepada matan
sebuah Hadits bersangkutan.

2. Model Penelitian Hadits yang Berpusat pada Matan

Kata dasar matan dalam bahasa Arab berarti “punggung jalan” atau “bagian tanah yang
keras dan menonjol ke atas”.38 Apabila dirangkai menjadi matn hadits, menurut Al-Thibby,
seperti yang dinukil oleh Musfir al-Damini, adalah:

“kata-kata Hadits yang dengannya terbentuk makna-makna”. Definisi ini sejalan dengan
pandangan Ibnu al-Atsir al-Jazari bahwa setiap matan Hadits tersusun atas elemen lafal (teks)

36
Ibid,
37
Ibid,
38
Hasjim Abbad, Kritik Matan Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2004), h. 13
dan elemen makna (konsep).39 Dengan demikian, komposisi ungkapan matan Hadits pada
hakikatnya adalah pencerminan konsep ide, yang intinya dirumuskan berbentuk teks.

Al-adlabi menyitir pernyataan Ahmad Amin yang menyebutkan bahwa para ahli Hadits
sangat mengutamakan kritik ekstern atau sanad, dan tidak mengindahkan kritik intern, yang
ia sebut juga dengan “naqd al-dakhili”. Mereka telah melakukan usaha yang berlebihan, kata
Amin, berkenaan dengan jarh dan ta’dil terhadap para perawi Hadits. Mereka memberikan
penilaian pada para perawi itu dengan tsiqah atau tidak. Dengan ukuran-ukuran seperti itu
pula mereka mengklasifikasikan Hadits menjadi shahih, hasan, dhaif, mursal, munqathi’,
syadz, dan lainnya. Mereka tidak melakukan usaha untuk melakukan penelitian atau kritik
matan. Akibatnya mereka tidak pernah mempedulikan matan Hadits itu sesuai atau tidak.40

Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa mereka juga tidak banyak memperhatiakan iklim
politik yang mendorong terjadinya pemalsuan Hadits. Akibatnya mereka tidak merasa ragu
sedikitpun terhadap beberapa Hadits, meskipun isinya jelas memberi dukungan politik
terhadap Dauwlat Amawiyah, Abasiyah, ataupun Alawiyah dan tidak melakukan studi
komprehensif terhadap situasi sosial masa Nabi Saw, Khulafau’urrasyidin, untuk mengetahui
apakah suatu Hadits dengan situasi sosial saat Hadist itu diucapkan atau justru bertolak
belakang.41

Kemudian beliau juga menjelaskan, seandainya mereka banyak melakukan studi kritik
matan dan tidak semata terpaku pada kritik sanad, maka akan ditemukan sebenarnya banyak
Hadist yang berstatus palsu.42

Jauh ditarik ke belakang, sebenarnya, kritik terhadap dominasi pada penelitian sanad
Hadist sudah bersahut-sahutan, bahkan para teolog Mu’tazilah menyebarkan asumsi bahwa
ulama Hadist hanya sekadar, zawamil asfar , unta pengangkut barang yang tidak pernah
mautahu apa isi barang yang ia pikul. Tidak merasa tertarik untuk mengadakan pemikiran
dan penalaran. Para ahli Hadist, menurut mereka, hanya bermaksud melakukan kritik sanad,
tanpa beranjak ke sisi lain, kritik matan.43

Pada umumnya, dalam penelitian (kritik) matan dilakukan perbandingan-perbandingan,


seperti memperbandingkan Hadits dengan Alquran, Hadits dengan Hadits, Hadits dengan
39
Ibid,
40
Shalahuddin ibn Ahmad al-Adlabi, op cit. h. 19
41
Ibid, h. 20
42
Ibid,
43
Ibid, h. 18
peristiwa dan kenyataan sejarah, nalar atau rasio, dan dengan lainnya. 44 Adapun rincian
penjelasan ini, sebagai berikut:

a) Penelitian Terhadap Riwayat-Riwayat yang Bertentangan dengan Alquran Al


Karim

Tidak diragukan lagi, bagi setiap muslim, bahwa riwayat manapun yang berasal dari Nabi
yang bertentangan dengan nash Alquran bukanlah kalam kenabian. Sebagaimana terlihat
dalam ayat Alquran berikut ini:
‫ٱ‬ ‫ٱ‬
ُ ‫ون ِلقَٓا َءاَن ئۡ ِت ِب ُق ۡر َء ٍان غَرۡي ِ َهٰ ذَٓا َأ ۡو ب َ ِّدهۡل ُ ۚ قُ ۡل َم ا يَ ُك‬
‫ون يِل ٓ َأ ۡن ُأب َ ِّدهَل ُۥ‬ َ ‫َو َذا تُ ۡتىَل ٰ عَلَهۡي ِ ۡم َءااَي تُنَا ب َ ِ ّينَٰ ٖت قَا َل ذَّل ِ َين اَل يَ ۡر ُج‬
‫ِإ‬
١٥ ‫ِمن ِتلۡقَٓاي ن َ ۡفيِس ۖٓ ۡن َأت َّ ِب ُع اَّل َما يُوىَح ٰ ٓ يَل َّ ۖ يِّن ٓ َأخ َُاف ۡن َع َصيۡ ُت َريِّب عَ َذ َاب ي َ ۡو ٍم َع ِظ ٖمي‬
‫ِإ‬ ‫ِإ ِإ‬ ‫ِإ‬ ‫ِإ‬ ِٕ
“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang
tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata: "Datangkanlah Al Quran yang lain
dari ini atau gantilah dia". Katakanlah: "Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak
diriku sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya
aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)"45

Jika menemukan sebuah Hadist yang matannya Nampak bertentangan dengan AlQuran,
maka ada dua sudut pandang yang dapat ditawarkan: pertama, dari sudut wurud. Alquran
seluruhnya adalah qath’I wurud, benar dengan tingkat kebenaran yang tidak menagandung
keraguan sedikit pun. Sedangkan Hadis-hadis nabi adalah dzanni wurud kecuali hadis
mutawatir yang jumlahnya tidak banyak. Dengan argument akal dapat dikemukakan bahwa
yang dzhanni harus ditolak bila bertentangan dengan yang qhat’i. kedua, dari sudut dalalah.
Alquran maupun Hadits adakalanya qathi dan dzanni.46

b) Penelitian Terhadap Riwayat-Riwayat yang Bertentangan dengan Hadist dan


Sirah Nabawiyah yang Shahih

44
Nawir Yuslem, opcit, h. 364
45
QS. Yunus: 15
46
Shalahuddin ibn Ahmad al-Adlabi, op cit.h. 259
Caranya adalah dengan membandingkan antara riwayat yang berbeda mengenai suatu
Hadist. Dengan cara ini, seorang peneliti Hadis akan mengetahui beberapa hal:

1) Adanya idraj, yaitu lafaz Hadist yang bukan berasal dari nabi saw, yang
disisipkan oleh salah seorang dari para perawinya, baik perawi dari kalangan
sahabat atau yang lainnya.
2) Adanya idhthirab, yaitu pertentangan antara dua riwayat yang sama kuatnya
sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan tarjih terhadap salah satunya.
3) Adanya Al qalb, yaitu pemutarbalikan matan Hadits, yang mana hal ini terjadi
karena tidak dhabitnya salah seorang perawi dalam hal matan Hadist, sehingga dia
mendahulukan atau mengkemudikan lafaz yang seharusnya tidak demikian, atau
ada pengubahan yang merusak matan Hadist
4) Adanya penambahan lafaz dalam sebagian riwayat, atau yang disebut dengan
ziyadah al-tsiqah.47

Di samping itu, dalam menolak suatu riwayat yang disandarkan kepada Nabi karena
riwayat tersebut bertentangan dengan riwayat yang lain, haruslah dipenuhi dulu dua syarat
berikut ini:

Pertama, bahwa kedua riwayat tersebut tidak mungkin dikompromikan. Apabila


keduanya bisa dikompromikan secara wajar, tanpa terkesan dipaksakan, maka tidak ada alas
an untuk menerima salah satunya sembari menolak yang lain. Apabila tidak dapat
dikompromikan, maka langkah beriktnya adalah dengan melakukan tarjih, yaitu meneliti hal-
hal yang dapat menguatkan salah satu dari keduanya sehingga ditemukan mana yang rajah
lalu mengamalkannya. Kemudian yang marjuh yang ditinggalkan dan tidak diamalkan.

Kedua, bahwa salah satu dari Hadist yang bertentangan tersebut berstatus mutawatir,
sehingga dapat menolak Hadist lain yang bertentangan dengannya, yang tentu, statusnya
bukan mutawatir. Syarat yang kedua ini pada dasarnya mengisyaratkan perlunya
mempertimbangkan statuk kuat atau lemahnya eksistensi suatu Hadist dibandingkan dengan
Hadist lain yang bertentangan dengannya. Hadis yang berstatus mutawatir eksistensinya
adalah qathi tsubut sedangkan hadist non mutawatir eksistensinya adalah nisbi, dzanni.48

c) Penelitian Terhadap Riwayat-Riwayat yang Bertentangan dengan Akal, Indera,


dan Sejarah
47
Nawir Yuslem, opcit, h. 367
48
Ibid, h. 369
Termasuk hal yang menunjukkan kebatilan Hadits yang diriwayatkan dari Nabi Saw
adalah eksistensi Hadits itu bertentangan dengan akal, indra atau sejarah. ini adalah
langkah selanjutnya yang dilakukan dalam rangka meneliti keshahihan sebuah matan
suatu Hadits.

Para ulama sepakat menyatakan bahwa Hadits-Hadits nabi tidak bertentangan dengan
akal sehat manusia. Namun, jangkauan akal manusia antara satu dan yang lain adalah
berbeda. Karenanya yang dimaksud dengan akal sehat di sini adalah akal atau nalar yang
disinari petunjuk Al Quran dan Hadist nabi yang sudah mempunyai kedudukan yang tetap
dan bukan semata-mata akal.49

Para ulama juga sepakat bahwa Hadits-Hadits Nabi yang tidak bertentangan dengan
pengamatan panca indra manusia, dan bukanlah watak dari ajaran Nabi Saw untuk
menuntut manusia agar menerima sesuatu yang bertentangan dengan pengamatan dan
panca indra mereka. Akan tetapi, hal ini tidak berarti, bahwa segala sesuatu yang dibawa
oleh Nabi harus dapat dijangkau oleh panca indra. Oleh karenanya , terhadap apa yang
diperintahkan rasul yang tidak terjangkau oleh akal indra kita, maka kita wajib
menerimanya; dan sebaliknya, segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh panca indra kita,
maka rasul tidak akan memerintahkan kita dengan sesuatu yang berlawanan atau
bertentangan dengannya.50

Selanjutnya, para ulama Hadits pun sepakat bahwa Hadits Nabi tidak mungkin
bertentangan dengan fakta dan peristiwa sejarah. Oleh karena itu, apabila ada suatu
riwayat yang dinyatakan sebagai Hadits namun bertentangan dengan fakta dan peristiwa
sejarah, maka riwayat tersebut haruslah ditolak. Hal demikian bukan berarti bahwa setiap
terjadi pertentangan antara suatu Hadits dengan sejarah, maka Hadits tersebut langsung
ditolak, akan tetapi mestilah peristiwa sejarah tersebut terlebih dahulu dibuktikan
kebenarannya dengan bukti-bukti yang lebih meyakinkan, sehingga statusnya menjadi
yakin.51

49
Nawir Yuslem, opcit, h. 370
50
Ibid,
51
Ibid, h. 374-375
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian makalah di atas dapat disimpulkan bahwa model penelitian Hadits secara
garis besar terbagi ke dalam dua corak: pertama, penelitian yang berfokus kepada sanad,
yang diteliti di sini antara lain: muttashil, katersambungan para perawi, adil, terjaminnya
integritas pribadi perawi dan dhabit, keterjaminan kapasitas intelektual seorang rawi, tidak
mengandung syadz dan illat, kecacatan lainnya. Penelitian ini berguna untuk membuktikan
keaslian atau keotentiakan sebuah Hadist.

Dan model kedua, penelitian yang berfokus kepada matan sebuah Hadits. Model
penelitian ini hendak memastikan bahwa sebuah matan Hadist tidak memiliki pertentangan
dengan Al Quran, akal, panca indra, peristiwa dan fakta sejarah. Penelitian ini diharapkan
mampu menghalau berbagai macam Hadist-Hadist palsu yang dihadapkan kepada masyarakat
muslim.

B. Kritik dan Saran

DAFTAR PUSTAKA
Amar Abdul Mun’im, Taisir Ulum Al Hadits, (Tt: Dar al Dhiya’, tt)

Annawawi, Syarah Shahih Bukhari, juz: 18, h. 129. Maktabah Syamilah

At Tirmidzi, Sunan At Tirmidzi, (Beirut: Dar al Ihya al Turats al Arabi, tt)

Bukhari, Shahih Al Bukhari, (Kairo: Maktabah wa Math’ba,ah Al nashriyah, tt)

Burhan Jamaluddin dan Muhammad Ma’shum, Ulumul Hadits, (Jombang: Darul Hikmah,

2008)

Hasjim Abbad, Kritik Matan Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2004)

Jalaluddin As-Suyuthi, Tadrib ar Rawi fi Syarh Taqrib An Nawawi (Riyadh: Maktabah Al

Kautsar, 1418)

M. Syuhdi Ismali, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992)

Manna’ Al Qathhan, Mabahits fi Ulum al Hadist, (Al Qahirah: Maktabah Wahbah, tt)

Muhammad ‘Ajjaj Al Khatib, Ushul al Hadits, Ulumuhu wa Musthalahuhu, (tt: Dar Alfikr,

1427 H)

Muhammad bin Jakfar Al Kittani, Arrisalah Al-Mustatrafah li Bayani Kutub Alsunnah Al-

Musharrafh (Beirut: Dar Al Bashair Al Islamiyah, tt)

Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, (Tebing Tinggi: Mutiara Sumber Widya, 1998)

Shalahuddin ibn Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matn Inda Ulama’ al Hadits al Nabawi,

(Al Qahirah: Dar AlFath, tt)

Anda mungkin juga menyukai