Zulheldi
Fakultas Tarbiyah IAIN Bonjol Padang.
Jl. Kampus IAIN Imam Bonjol Lubuk Lintah, Padang 25153
e-mail: zulheldi@yahoo.co.id
Pendahuluan
Secara umum, pengajaran hadis pada masa Nabi Muhammad SAW. dan beberapa
periode sesudahnya, tidak menggunakan media tulisan. Para sahabat berusaha
semaksimal mungkin merekam setiap ucapan, perbuatan, dan taqrîr rasul dalam memori
mereka. Banyak informasi yang menegaskan bahwa hanya sebagian kecil sahabat yang
membuat catatan hadis untuk dirinya. Kekhawatiran bercampurnya hadis dengan al-
Qur an merupakan alasan paling asasi dari realitas ini, karena ketika itu al-Qur an belum
dibukukan. Sahabat yang menghadiri kuliah hadis yang disampaikan secara lisan oleh
nabi menyampaikan materi pelajaran yang baru didapatkan kepada mereka yang tidak
hadir-sebagaimana pesan rasulullah-juga secara lisan.
Metode pengajaran dan perekaman hadis selanjutnya di masa itu tidak hanya
menyebutkan isi dari hadis (matan), tetapi juga menjelaskan siapa saja yang menjadi
sumber hadis tersebut (sanad) dan bagaimana dia menerimanya. Syuyûkh al-hadîts akan
mengungkapkan secara jujur, apakah dia langsung mendengar atau melihat hadis yang
163
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010
diajarkannya atau dia mempelajarinya dari orang lain. Format transmisi hadis dengan
menyebut sumber informasi dan menjelaskan cara mendapatkannya tersebut menjadi
tradisi dalam beberapa generasi.
Tulisan ini akan mendiskusikan seberapa besar nilai dan peran sanad dalam sebuah
hadis. Apakah deretan nama sebelum matan ini benar-benar dapat mengukuhkan isi
pesan rasul? Atau, apakah seperti persepsi sebagian orang awam, hanya sekedar pamer
ranji ala Arab yang tidak ada manfaatnya? Bahkan, mungkinkah keberadaan sanad itu
hanya mengganggu, karena sementara awam sangat kesulitan menemukan pesan inti
dari hadis tersebut?
Pengertian Sanad
Secara bahasa, sanad ( ) berarti sesuatu yang dijadikan pegangan ,
sesuatu yang tinggi dari bumi dan yang menghadang di gunung. Kata ini juga berarti
tempat sandaran, karena memang kata sanada, fi il mâdhi-nya, berarti bertelekan atau
bersandar. 1 Sedangkan menurut istilah, sanad berarti jalan matan ( ), yaitu
rangkaian nama-nama perawi yang menyampaikan sebuah hadis dari sumbernya atau
rangkaian para perawi yang menyampaikan kepada matan ( ).2
Menurut Muhammad Ajjaj al-Khatib, istilah sanad digunakan dalam hal ini karena orang
yang memiliki sanad senantiasa menyebutkan nama-nama perawi dalam menyandarkan
matan kepada sumbernya, atau para huffâzh selalu berpedoman kepada sanad dalam
menilai apakah sebuah hadis itu shahîh atau dha îf. Dengan demikian, dalam hal ini
sanad benar-benar menjadi tempat pijakan, sandaran, standar dan penentu kualitas
matan hadis.3
Ulama hadis juga menggunakan istilah isnâd ( ) untuk menyebutkan
rangkaian periwayat ini. Dengan kata lain, ulama hadis menyamakan pengertian sanad
dengan isnâd. Hal ini dapat dilihat dari ungkapan mereka .
Kadang-kadang, untuk maksud yang sama, kata asnâd dalam ungkapan di atas diganti
dengan asânîd.4 Dalam tulisan ini, sesuai pendapat jumhur ulama hadis, istilah sanad
dan isnâd juga dipakai untuk pengertian yang sama.
1
Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushûl al-Hadîts Ulûmuh wa Musthalâhuh (Beirût: Dâr al-
Fikr, 1975), h. 32; Mahmud Thahhan, Ushûl al-Takhrîj wa Dirâsat al-Asânîd (Riyâdh: Maktabah
al-Ma ârif, 1412/1991), h. 138; Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Hidakarya
Agung, 1990), h. 181.
2
Ibid.; Muhammad Mushthafa Azamî, Dirâsat fî al-Hadîts al-Nabawî (Riyâdh: Jamî ah al-
Riyâdh, 1396), h. 391.
3
Al-Khatib, Ushûl al-Hadîts, h. 33.
4
Ibid.; Ahmad al- Utsmani al-Tahanawî, Qawâ id fî Ulûm al-Hadîts, ed. Abd al-Fattah al-
Ghaddad (Beirût: Maktab al-Mathbû ah al-Islâmiyyah, t.t.), h. 26; Akram Dhiya al- Umarî,
Buhûts fî Târîkh al-Sunnah al-Musrifah, cet. 4 (Beirût: Basath, 1984), h. 47.
164
Zulheldi: Eksistensi Sanad dalam Hadis
Urgensi Sanad
Dalam wacana urgensi sanad hadis, akan ditemukan cukup banyak qaul ulama
yang dapat dijadikan referensi. Dari ungkapan mereka terlihat jelas bahwa keberadaan
sanad merupakan suatu keniscayaan. Abd-Allâh bin Mubârak (w. 181 H/797 M) pernah
mengatakan sebuah ungkapan yang sangat populer dalam khazanah ilmu hadis bahwa
sanad merupakan bagian dari agama, sekiranya tidak ada sanad, maka siapa saja akan bebas
mengatakan apa yang dikehendakinya ( ).5
Muhammad bin Sirin (w. 110 H/728 M) juga pernah mengatakan Sesungguhnya
pengetahuan terhadap hadis adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa engkau
mengambil agamamu itu ( ).6
Statemen kedua ulama tersebut mengukuhkan bahwa sanad menempati posisi sangat
vital. Sanad inheren dengan ajaran Islam karena hadis merupakan sumber kedua ajarannya,
dan hitam-putih sanad berpengaruh secara langsung pada pilar kedua bangunan Islam itu.
Maka tidaklah keliru jika Alî bin Madinî (w. 234 H) mengatakan 7
(mengetahui
rijâl atau sanad merupakan setengah dari ilmu [agama]). Sanad juga benteng dan kebanggaan
umat Islam yang membuat mereka berani menegakkan kepala ketika berhadapan dengan
umat lain. Ia adalah senjata umat Islam, seperti yang diungkapkan oleh Sufyan al-
Tsaurî (w. 161 H/772 M) 8
(isnâd
adalah senjata umat Islam. Apabila seorang mukmin tidak mempunyai senjata, maka
siapa saja akan mudah untuk membunuhnya).
Sanad melindungi umat Islam dari ketergelinciran dan serangan musuh yang tidak
diduga. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Muhammad bahwa perumpamaan orang
yang menuntut ilmu agama tanpa sanad sama halnya dengan orang yang menaiki tempat
yang tinggi tanpa menggunakan tangga.9 Syâfi î (w. 204 H/812 M) juga mengingatkan,
Perumpamaan orang yang mempelajari hadis tanpa sanad adalah seperti seseorang yang
membawa kayu bakar pada malam hari. Di dalam ikatan kayu itu ada seekor ular sangat
ganas yang siap menggigitnya, sedangkan dia tidak menyadari keadaan tersebut. 10
Beberapa nilai lebih sanad, sebagaimana disebutkan di atas, membuat sanad
menjadi pembeda umat Islam dari umat lainnya. Sanad merupakan suatu potensi
5
Al-Khatib, Ushûl al-Hadîts, h. 412; Muhammad Luqman al-Salafî, Ihtimâm al-Muhadditsîn
bi Naqd al-Hadîts Sanad wa Matn (Riyâdh: Maktabah al-Riyâdh, 1984), h. 155; al- Umarî,
Buhûts fî Târîkh, h. 53.
6
Al-Salafî, Ihtimâm al-Muhadditsîn, h. 153; al- Umarî, Buhûts fî Târîkh; Muhammad
Muhammad Abû Syuhbah, Fî Rihâb al-Sunnah al-Kutub al-Shihhâh al-Sittah (Azhâr: Majmâ
al-Turâts, 1969), h. 37.
7
Al- Umarî, Buhûts fî Târîkh, h. 47.
8
Al-Salafî, Ihtimâm al-Muhadditsîn, h. 155; al- Umarî, Buhûts fî Târîkh, h. 54.
9
Ibid., h. 155.
10
Ibid.
165
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010
kekuatan Islam yang tidak dapat ditandingi oleh umat lainnya. Dengan adanya sanad,
secara umum, ajaran Islam dapat steril dari segala macam bentuk perubahan, infiltrasi
dan pemutarbalikkan. Sedangkan di pihak lain, ajaran yang dibawa oleh rasul-rasul
selain dari Muhammad tidak memiliki imunitas semacam itu. Abû Hatim al-Radzî (w.
227 H) mengatakan, Tidak ada satu umat pun sejak Nabi Adam as. diciptakan yang
memiliki suatu standar (pegangan) untuk memelihara atsar para rasulnya selain dari
umat Islam ini. Muhammad bin Hatîm al-Mazhfar juga mengatakan, Sesungguhnya
Allah SWT. telah memuliakan dan melebihkan umat Islam dengan isnâd. 11
Secara lebih lugas Ibn Taimiyyah yang menyatakan, Ilmu sanad dan riwayat
adalah sesuatu yang dikhususkan Allah bagi umat Nabi Muhammad. Itulah yang akan
membuat mereka selamat. Adapun ahli Kitab, mereka tidak memiliki sanad yang akan
digunakan untuk meriwayatkan al-manqûlât (hadis-hadis) mereka. Orang-orang di luar
Islam memiliki akidah dan pandangan yang salah, karena mereka tidak memiliki sanad
yang dapat dijadikan sebagai pegangan. Mereka berkata tanpa dalil dan meriwayatkan
tanpa sanad.12 Abû Muhammad Alî bin Hazm turut menegaskan hal yang sama. Beliau
berkata Penukilan suatu hadis oleh seorang yang tsiqah dari yang tsiqah lainnya sampai
kepada Rasul hanya ada pada umat Islam, tidak terdapat di kalangan selainnya. Pondasi
asasi Islam dan syari ah serta segala yang terkait dengan semua itu menjadi kokoh karena
dinukilkan dengan menggunakan sanad. 13
Dari beberapa pernyataan di atas dapat dilihat dengan jelas bahwa sanad merupakan
karakteristik khusus umat Muhammad ini. Sebaliknya, kelemahan pokok dari umat-umat
selain Islam adalah tidak adanya tradisi penggunaan sanad di kalangan mereka. Hal ini men-
jadikan ajaran-ajaran yang ada pada mereka tidak bisa dipertanggung-jawabkan sampai
pada tingkatan yang meyakinkan bahwa semua itu benar-benar diajarkan oleh rasul mereka.
Penggunaan Sanad
Awal Penggunaan Sanad dalam Hadis
Menurut keterangan dari Mushthafa Muhammad Azamî, sanad telah digunakan
secara insidental dalam sejumlah literatur pra-Islam dengan makna yang tidak jelas.
Sanad juga dipakai secara luas dalam periwayatan syair-syair pada zaman Jahiliyah.
Akan tetapi, sama keadaannya dengan persoalan di atas, tidak ditemukan keterangan
lebih lanjut tentang realitas tersebut.14
11
Ibid., h. 162.
12
Ibid., h. 162-163.
13
Ibid., h. 163.
14
Muhammad Mushthafa Azamî, Studies in Hadith Methodology and Literature (Indiana:
American Truth Publication, 1977), h. 32; Ali Mustafa Ya kub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1995), h. 97.
166
Zulheldi: Eksistensi Sanad dalam Hadis
Tradisi sanad dalam Islam telah ada sejak zaman rasul. Seperti digambarkan di
atas, ketika seorang sahabat mengajarkan atau menyampaikan sebuah hadis kepada
sahabat lainnya, selalu disebutkan dari siapa hadis itu dipelajarinya sampai kepada Rasul
sendiri. Sahabat menjelaskan apakah dia menerima langsung atau tidak, lengkap dengan
cara penerimaannya. Menurut Imâm al-Nawâwî (w. 676 H/1277 M), seringkali dalam
rangkaian periwayatan (silsilat al-ruwat) terdapat empat orang sahabat, dan ada juga
dalam sanad yang lain terdapat empat orang tabi în.15
Dalam hal ini, al-Nawâwî ingin menegaskan bahwa sahabat dan tabi în sangat
jujur dan mementingkan deskripsi sanad secara utuh, tanpa adanya rasa rendah diri
dan takut dilecehkan. Sahabat yang berguru kepada tiga sahabat lain secara bertingkat,
sebenarnya berpeluang mengklaim bahwa dia menerima langsung dari nabi karena
sezaman dan sering bertemu. Begitu juga dengan tabi în yang melewati tiga tabi în
lainnya. Namun hal itu tidak mereka lakukan. Kejujuran ilmiah semacam ini, akhirnya,
tidak menggerogoti nilai hadis, tapi memberikan nilai tambah.
Bahkan, menurut Imâm Suyuthî (849-911 H/1445-1505 M), karena tingginya
perhatian sahabat terhadap sanad, pernah seorang sahabat meriwayatkan hadis dari
tabi în karena tabi în tersebut telah menerima suatu hadis dari sahabat lain yang
mendengarkannya langsung dari Nabi. 16
Untuk memastikan sebuahsanad, para muhadditsîn pernah melakukan perjalanan panjang,
walau hanya untuk satu sanad hadis saja. Jabîr bin Abd-Allâh (w. 78 H/697 M) pernah
melakukan rihlah dari Mekah ke Mesir untuk menanyakan sanad hadis ﻣ ﻦ ﺳ ﺘ ﺮ ﻣ ﺆ ﻣ ﻨ ـ ـ ﺎ...
kepada Uqbah bin Amîr. Begitu juga halnya yang dilakukan oleh Sa id bin Musayyab (w.
94 H/712 M), sebagaimana diungkapkannya sendiri, Saya pernah berjalan siang malam
untuk mencari sanad sebuah hadis. 17
Adapun mereka yang ditanya tentang keadaan dan nilai sebuah sanad juga
memberikan informasi yang benar. Dia tidak akan mengajarkan suatu hadis yang diketahuinya
memiliki cacat ( illat) pada sanad-nya kepada orang lain, atau mau mengajarkan tetapi
dilengkapi dengan penjelasan sebenarnya tentang realitas sanad hadis tersebut. Hal itu
seperti yang dilakukan oleh Abû Ishaq al-Sa bî (w. 126 H), di mana dia menjelaskan
dengan terus terang bahwa di dalam sanad yang dimilikinya terdapat pemalsuan (tadlîs),
ketika dia ditanya tentang hal itu oleh Syu bah bin al-Hajjaj (w. 160 H).18
Mushthafa Siba î menunjuk tahun 40 Hijrah sebagai batas pemisah antara kemurnian
15
Rif at Fauzi Abd al-Muthalib, Tautsîq al-Sunnah fî al-Qarn al-Tsânî al-Hijrî Ushushuh
wa Ittijâhâtuh (Mesir: Maktabah al-Khanjî, 1981), h. 36-37; Abû Husain Muslim ibn Hajjaj
ibn Muslim al-Qusyairî, Shahîh Muslim (Kairo: Mathba ah al-Mishriyyah, 1924), h. 83-85.
16
Al-Muthalib, Tautsîq al-Sunnah, h. 37.
17
Al-Salafî, Ihtimâm al-Muhadditsîn, h. 156.
18
Ibid., h. 157.
167
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010
hadis dengan pemalsuannya, karena saat itu terjadi perselisihan internal (politik) umat
Islam, antara Alî bin Abî Thalib (w. 40 H/661 M) dengan Mu awiyah bin Abî Sufyan (60
H/680 M).19 Ketika itu, orang menjadi sangat kritis terhadap sanad sebuah ungkapan yang
dikatakan sebagai hadis. Realitas seperti itu dapat dilihat dari pernyataan Muhammad bin
Sirin bahwa Pada mulanya umat Islam tidak begitu mempermasalahkan sanad. Namun,
setelah terjadi fitnah, jika menerima sebuah hadis, mereka akan mengatakan sebutkan
rijâl-mu (orang-orang yang menyampaikan hadis kepadamu)!. Hadis itu akan diterima
jika rijâl-nya adalah ahl al-sunnah dan akan ditolak jika rijâl adalah ahl al-bidâ .20 Setelah
terjadi peperangan Shiffin, mereka lebih berhati-hati terhadap sanad atau mulai
mempertanyakan secara ketat guru-guru hadisnya dan menelitinya dengan cermat.
Di penghujung abad pertama hijrah, ilmu sanad (dalam arti mencermati sanad hadis
dengan lebih teliti) berkembang dengan pesat dan mendapat perhatian lebih. Syu bah
bin al-Hajjaj (w. 160 H), misalnya, sengaja mengamati bibir Qatadah (w. 117 H) untuk
bisa membedakan apakah Qatadah mendapatkan hadis itu lewat tangan pertama atau
kedua dengan memperhatikan lafal al-tahammul wa al- dâ yang digunakannya.21
Bahkan, bukan hanya para ahli hadis yang meributkan masalah ini, tetapi juga pernah
seorang Arab Badui (Arâbî) menanyakan secara lengkap sanad sebuah hadis kepada
Sufyan bin Uyainah (w. 194 H).22
Dalam iklim lain, studi sanad hadis di kalangan sementara orientalis lebih diarahkan
kepada kapan mulainya umat Islam menggunakan sanad. Mereka terkesan menyembunyikan
kenyataan dan tidak mengakui bahwa sanad sudah mulai diberlakukan sejak zaman
rasul. Dengan demikian, mereka berkesimpulan bahwa sanad baru mulai dipakai sekitar
setengah abad setelah kematian Rasulullah. Tendensi mereka dalam hal ini bisa ditebak.
Logika yang ingin mereka kemukakan adalah kalau di masa nabi dan khalîfah al-râsyidîn
belum digunakan sanad dalam meriwayatkan hadis nabi, berarti bangunan ajaran Islam
didirikan di atas fondasi yang sangat rapuh. Jika hal ini dibenarkan, maka untuk
meruntuhkan bangunan Islam itu hanyalah menjadi persoalan waktu.
Seorang orientalis yang bernama Caetani, misalnya, mengatakan bahwa penggunaan
sanad baru dimulai antara masa Urwah bin Zubair (w. 94 H/ 712 M) dengan Ibn Ishaq
(w. 151 H/ 768 M). Dia menambahkan bahwa sebagian sanad yang terdapat dalam
kitab-kitab hadis hanyalah hasil kreasi ulama hadis abad kedua dan ketiga Hijrah.
19
Muhammad Mushthafa al-Siba î, Al-Sunnah wa Makânatuhâ fî Tasyrî al-Islâmî (Beirût:
Maktab al-Islâmî, 1978), h. 75.
20
Muhammad Mushthafa Azamî, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa
Ya kub (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 531; Abd al-Majid Mahmud, Amtsâl al-Hadîts wa
Taqdîmat fî Ulûm al-Hadîts (Kairo: Dâr al-Turâts, 1975), h. 25; al-Salafî, Ihtimâm al-Muhadditsîn,
h. 152-153; al- Umarî, Buhûts fî Târîkh, h. 49.
21
Azamî, Hadis Nabawi; al- Umarî, Buhûts fî Târîkh, h. 48.
22
Ibid., h. 54.
168
Zulheldi: Eksistensi Sanad dalam Hadis
Pendapat yang tidak memiliki dasar dan tidak bisa dipertanggung-jawabkan secara ilmiah
ini didukung oleh seorang orientalis lainnya, Sprenger. 23
Di lain pihak, orientalis Horovitz berpendapat lain. Dia mengatakan bahwa sanad
sudah mulai dipakai pada penggal ketiga abad pertama Hijrah (sekitar tahun 70-an Hijrah).
Sedangkan J. Robson mengatakan bahwa mungkin saja sanad sudah mulai digunakan
pada pertengahan abad pertama Hijrah. Puncak dari kekeliruan kajian sanad dari orientalis
ini terlihat dari pendapat Josept Schacht yang mengusung teori the projecting back. Menurutnya,
sanad hanyalah produk imajinasi orang-orang yang datang belakangan dengan mencoba
mengaitkan hadis-hadis yang didapatkannya kepada tokoh-tokoh terdahulu.24
Menanggapi pendapat orientalis semacam ini, Muhammad Mushthafa Azamî25
mengatakan bahwa kesalahan besar mereka berasal dari kesalahan metodologi yang
mereka gunakan, suatu ironi terjadi di kalangan sarjana Barat yang mengklaim diri
mereka sebagai pelopor studi ilmiah. Kesalahan mereka itu, menurut Azami, adalah
meneliti sanad hadis dari objek yang keliru. Mereka mengkaji hadis dari kitab-kitab
sejarah, biografi dan fiqih yang kebetulan banyak memuat hadis-hadis nabi. Mereka
tidak melakukan studi hadis secara langsung dari kitab-kitabnya.
23
Azamî, Hadis Nabawi, h. 532; Ali Mustafa Ya cub, Kritik Hadis, h. 99.
24
Ibid., h. 533; Ali Mustafa Ya cub, Kritik Hadis, h. 100.
25
Ibid., h. 582.
26
Ibid., h. 583.
27
Al-Salafî, Ihtimâm al-Muhadditsîn, h. 153-155.
169
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010
Ma mar bin Rasyîd (w. 152 H) dan musnad al-Tayalisî (w. 204 H), yang dijadikan salah
satu pegangan penulis kitab kutub al-sittah yang ditulis pada abad ketiga Hijrah. Begitu
juga dengan kitab musnad al-Humaidî (w. 219 H), musnad Ahmad bin Hanbâl (w. 241 H)
dan musnad Abû Ya la al-Maushilî (w. 307 H).28
Muhadditsîn menganalisa sanad, di antaranya, dengan cara membandingkan
beragam versi sanad, sehingga menghasilkan kesimpulan yang tepat, apakah sanad hadis
yang bersangkutan dapat diterima atau tidak. Mereka menyusun kaedah penelitian sanad
yang bisa dibuktikan keilmiahannya, membuat klasifikasi sanad dari segi diterima atau
ditolaknya, dan membuat istilah-istilah khusus untuk memudahkan dalam upaya
identifikasi sanad. Ulama hadis juga mengelompokkan para periwayat menjadi ahl al-
sunnah (orang yang riwayatnya dapat diterima) dan ahl al-bidâ (orang yang, secara
umum, riwayatnya harus ditolak).
Ulama hadis memutlakkan adanya kebersambungan sanad (ittishâl al-sanad) sebagai
salah satu syarat hadis shahîh,29 sekalipun terdapat berbagai pandangan tentang kriteria sanad
yang disebut dengan ittishâl tersebut. Menurut Imâm Bukharî (194-256 H/810-870 M),
sanad dapat dikatakan bersambung jika seorang periwayat dengan periwayat lain yang
dekat dengannya terbukti hidup dalam satu zaman (mu âsharah) dan pernah bertemu
walaupun hanya satu kali. Sementara menurut Imâm Muslim (206-261 H/821-875 M),
menurut kesimpulan beberapa ulama hadis yang mengkaji kitab Muslim, menekankan
pada mu âsharah-nya saja, sedangkan pertemuannya tidak mesti dapat dibuktikan. 30
Untuk membuktikan bersambung-tidaknya sanad, ulama hadis harus mengkaji
dengan tekun biografi setiap periwayat. Mereka juga melakukan kajian yang mendalam
terhadap lafal-lafal yang digunakan untuk menghubungkan seorang periwayat dengan
periwayat lainnya yang terdekat (seperti haddatsanâ, an akhbaranâ dan sebagainya).
Pendeknya, ulama hadis mengkaji sanad dari berbagai dimensi sehingga setiap
kebohongan, sampai kepada hal-hal kecil sekalipun, dapat terdeteksi dan diangkat ke
permukaan. Seperti yang dituturkan oleh al-Tsaurî (w. 161 H/772 M) bahwa Jika seorang
periwayat berbohong, maka kita akan mengujinya dengan menggunakan pendekatan
historis ( ).31 Maksudnya, jika seorang periwayat
mengatakan bahwa dia berguru kepada seseorang dan menerima hadis darinya, maka
hal itu harus dibuktikan dengan hasil kajian sejarah-otentik. Dari kajian historis terhadap
keduanya (mengenai biografi, siapa saja guru dan murid, penilaian orang-orang yang
28
Al- Umarî, Buhûts fî Târîkh, h. 56.
29
Al-Khatib, Ushûl al-Hadîts, h. 305.
30
Muhammad Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan
dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 108; Abd al-Mun im al-Nimr,
Ahâdîts Rasûl-Allâh Kaifa Wasalat Ilainâ (Beirût: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 1987), h. 102.
31
Jamila Syaukat, Isnad dalam Literatur Hadis, terj. Yanto Mustafa, dalam al-Hikmah,
vol. VI, h. 20.
170
Zulheldi: Eksistensi Sanad dalam Hadis
hidup pada masa itu dan sebagainya) akan dapat dibuktikan apakah di antara keduanya
memang pernah terdapat relasi guru-murid.
Melihat besarnya usaha ulama dalam melakukan studi sanad, sangatlah beralasan apa
yang diungkapkan oleh Muhammad Mushthafa Azamî, Kitab-kitab hadis yang ditemui
sekarang selalu siap untuk diperiksa, dikoreksi dan diteliti kembali sepanjang hal itu memenuhi
kriteria ilmiah dan objektif, bukan dimotivasi oleh rasa kebencian dan bermodalkan
ketidaktahuan. 32 Ini merupakan tantangan bagi setiap orang yang meragukan validitas hadis.
32
Azamî, Hadis Nabawi.
33
Al-Salafî, Ihtimâm al-Muhadditsîn., h. 157.
34
Al- Umarî, Buhûts fî Târîkh, h. 53-54.
35
Muslim ibn Hajjaj, Shahih Muslim, h. 88; Muhammad Syuhudi Ismail, Metodologi
Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 24.
171
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010
36
Al-Salafî, Ihtimâm al-Muhadditsîn, h. 155.
37
Al-Khatib, Ushûl al-Hadîts, h. 305.
172
Zulheldi: Eksistensi Sanad dalam Hadis
untuk dipasangkan pada matan hadis yang diciptakannya. Dan juga, dari studi ini akan
diketahui lebih lengkap keadaan seorang perawi, berkenaan dengan siapa saja guru dan
muridnya, kemana saja dia melakukan rihlat al-hadîts, berapa banyak hadis yang diriwayat-
kannya beserta kualitas masing-masingnya, terutama kualitas sanad dan sebagainya. Dengan
adanya data yang relatif lengkap ini, maka akan sangat membantu menanggapi setiap
informasi tentang perawi yang diketahui itu dan akan segera terdeteksi manakala nama
seorang perawi terkenal dipasang seenaknya pada sebuah jalur sanad imajinatifnya.
Penutup
Sanad memiliki peran vital dan menentukan dalam sebuah hadis nabi. Dalam
kaitan ini, al-Nawâwî memberikan sebuah ilustrasi yang menarik. Katanya bahwa
hubungan hadis dengan sanad-nya ibarat hubungan hewan dengan kakinya. 38 Hal
itulah yang menyebabkan ulama hadis, sejak zaman rasul, terlihat sangat concern
terhadap sanad. Mereka memberikan perhatian yang sangat serius terhadap bidang ini.
Hasil kerja mereka itulah, di antaranya, yang membuat bangunan ajaran Islam tetap
berdiri kokoh hingga hari ini.
Formulasi metodologi kritik sanad telah sampai pada tahap yang meyakinkan dan,
meminjam istilah Azami, tahan banting. Perjalanan intelektualisme Islam, terutama
kajian ilmu hadis dan sejarah, telah membuktikan kesahihan formulasi tersebut. Realitas
tersebut semakin menjustifikasi dan mengukuhkan peran sentral sanad dalam hadis
dan membuktikan kecemerlangan kultur distribusi informasi bertuan (menyebutkan
sumbernya) yang dimiliki masyarakat Islam awal.
Adalah sebuah anti-klimaks petualangan intelektual Barat (baca: orientalis) ketika
mereka memasuki ranah sanad, terutama tentang masa awal penggunaannya.
Kesimpulan kajian mereka memaksa penulis menyimpulkan bahwa mereka memiliki
keawaman, bahkan niat yang tidak terpuji, terhadap Islam. Dengan mengatakan bahwa
pada masa rasul dan khalifah yang empat belum dipergunakan sanad, berarti mereka
sedang mencoba menggoyang bangunan ajaran Islam, karena sanad merupakan salah
satu nyawa dari fondasinya. Namun, nampaknya mereka kekurangan bukti yang dapat
mendukung berbagai kesimpulan tersebut. Bahkan, berbagai kajian kontemporer
membuktikan adanya something wrong pada metodologi yang digunakan.
Pustaka Acuan
Abû Syuhbah, Muhammad Muhammad. Fî Rihâb al-Sunnah al-Kutub al-Shihhâh al-Sittah.
Kairo: Majmâ al-Turâts, 1969.
38
Muslim ibn Hajjaj, Shahih Muslim; Ismail, Metodologi.
173
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010
174
KEBEBASAN BERAGAMA DALAM PERSPEKTIF HADIS
Misrah
Fakultas Dakwah IAIN Sumatera Utara,
Jl. Williem Iskandar Pasar V Medan Estate, 20371
e-mail: dramisrah@yahoo.com
Pendahuluan
Islam senantiasa mengajarkan umatnya agar menjadi ummat al-wasatha yang
akan menjadikan dirinya bersifat toleran dan moderat dalam menyikapi setiap persoalan,
termasuk dalam menyikapi perbedaan agama. Sebab, disadari atau tidak, di dunia ini
terdapat keanekaragaman agama dan semakin terbuka eksistensinya selama dunia terus
berputar. Kenyataan ini membawa umat Islam pada tantangan dalam berinteraksi
dengan agama-agama lain tersebut.
Dalam sejarah hubungan antar agama, banyak bukti menunjukkan terjadinya
konflik, friksi, ketegangan dan bahkan peperangan antar agama. Konflik, friksi,
ketegangan, dan peperangan tersebut seringkali diwarnai dengan sentimen keagamaan,
sehingga selalu dinisbahkan kepada ajaran agama. Konflik antar agama ini sangat pelik
dan dapat dikatakan sulit untuk diselesaikan karena identitas keagamaan seringkali
terkristal menjadi identitas kepribadian seseorang.
Bangsa Indonesia juga terdiri dari berbagai suku, agama, etnis dan ras yang majemuk.
Agama-agama yang berkembang dan dianut bangsa Indonesia adalah agama Islam, Kristen,
175
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010
Hindu, Budha dan Konghucu. Menyadari hal ini, supaya tidak terjadi konflik antara pemeluk
agama yang satu dengan lainnya, dan terciptanya kerukunan hidup antar umat beragama,
diperlukan sikap yang terbuka dan menerima keberadaan keyakinan agama lain. 1
Alasan untuk menerima perbedaan dan tidak memaksakan agama seseorang kepada
yang lain sangat sederhana, bahwa keberadaan agama yang dianut itu sama halnya dengan
orang lain yang sama-sama memiliki truth claim (klaim kebenaran). Yang paling esensial
adalah bahwa keyakinan terhadap agama adalah bagian yang paling personal, individual,
eksklusif, tersembunyi dari manusia, dan karena itu tidak ada kekuatan apapun selain
kekuasaan Tuhan yang bisa memaksa suatu keyakinan. Nabi Muhammad SAW. sekalipun
tidak bisa memaksa siapapun agar mengikuti ajarannya, lasta alaihim bi mushaithir,
kamu bukan orang yang bisa menguasai mereka.(Q.S. al-Ghâsyiah/88: 22). Afa anta
tukrihu al-nâs hattâ yakûnû mukminîn yaitu apakah kamu hendak memaksa manusia
sehingga mereka beriman? (Q.S. Yûnus/10: 99). Sedangkan pada ayat lain, Allah melarang
umat Islam mencaci maki sesembahan pemeluk agama lain (Q.S. al-An âm/6: 108).
Paradigma al-Qur an tentang keyakinan dan kepemelukan agama yang bersifat
personal-privat dan tidak dapat dipaksakan kepada siapapun seperti tersebut di atas,
menjadi salah satu inti ajaran Islam yang luhur dalam membina hubungan harmonis
dan rukun antar sesama manusia di atas bumi ini. Karenanya, dengan tegas Allah
menyebutkan Tidak ada paksaan dalam memasuki agama (Q.S. al-Baqarah/2: 256).
Hal ini mengindikasikan bahwa tidak boleh ada paksaan bagi seseorang dalam memeluk
suatu agama, termasuk untuk memeluk agama Islam.
Lalu bagaimana pandangan hadis terhadap kebebasan beragama, apakah sama seperti
prinsip al-Qur an di atas. Tulisan ini akan coba mendeskripsikan dan mengkaji kebebasan
beragama dalam perspektif hadis.
1
Amin Abdullah, Studi Agama: Normativasi atau Historitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996), h. 6.
2
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), h. 73-43.
3
Alwi Shihab, Islam Inklusif (Bandung: Mizan, 1998), h. 41.
176
Misrah: Kebebasan Beragama dalam Perspektif Hadis
Istilah kebebasan beragama menurut David E. Apter pada mulanya mengacu kepada
masyarakat-masyarakat yang majemuk. Sedangkan yang dimaksud dengan masyarakat
majemuk adalah masyarakat yang penduduknya tidak homogen, tetapi terbagi ke dalam
kelompok suku, etnis, rasial, agama dan kebudayaan. Ini artinya bahwa pluralisme di
Indonesia disebut dengan istilah majemuk yaitu masyarakat yang terdiri dari dua atau
lebih elemen-elemen yang hidup sendiri-sendiri dan memiliki tanda-tanda seperti tidak
ada pembauran satu sama lain dalam kesatuan agama, sosial dan politik, tidak adanya
kehendak bersama, sistem nilai yang berbeda-beda, anggota masyarakatnya kurang memiliki
homogenitas kebudayaan, dan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami
satu sama lain.4
Kebebasan beragama akan memberi pengaruh kepada toleransi agama, yaitu
timbulnya integrasi dan disintegrasi kelompok satu dengan kelompok masyarakat lain.
Menurut Pierre L. Van Bergke, ada beberapa karakteristik dasar dari suatu masyarakat
majemuk, yaitu:
1. Terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang sering kali memiliki
sub-ajaran (madzhab) yang berbeda satu sama lain.
2. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat
non-komplementer.
3. Kurang mengembangkan konsensus di antara para anggota masyarakat.
4. Secara relatif integrasi sosial dan agama tumbuh di atas paksaan dan saling
ketergantungan dengan kelompok lain.5
Dari pengertian bahasa dan istilah di atas dapat ditegaskan di sini bahwa kebebasan
beragama merupakan unsur yang tidak terpisahkan dari kehidupan dan sistem budaya umat
manusia. Kebebasan beragama berada di atas Sunnah adanya kemajemukan dalam sebuah
kerangka kesatuan dan keseimbangan. Dengan demikian, bahwa kebebasan beragama
merupakan suatu prinsip dan sikap seseorang dalam menghormati dan menghargai orang
lain untuk memeluk sesuatu agama apapun dengan pilihannya sendiri.
Identifikasi Hadis
Sebagai hasil identifikasi terhadap hadis yang memiliki content kebebasan beragama
tercermin paling tidak dalam 3 (tiga) hadis yang dianggap penting dan relevan berikut
ini:
4
David O. Moberg, The Church as A Sosial Institution (New Jersey: Prentice-Halla Inc,
1962), h. 29.
5
Dikutip dalam Muhammad Sofyan, Agama dan Kekerasan dalam Bingkai Reformasi
(Jakarta: Media Pressindo, 1999), h. 81.
177
Misrah: Kebebasan Beragama dalam Perspektif Hadis
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar
daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman
kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang
tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Q.S. al-Baqarah/2: 256).
Ayat yang paling sering dijadikan landasan toleransi adalah Q.S. al-Baqarah/2:
256 berbunyi seperti yang telah disebutkan di atas. Abû Muslim
dan al-Qaffal berpendapat, ayat ini hendak menegaskan bahwa keimanan didasarkan
atas suatu pilihan secara sadar dan bukan atas suatu tekanan. 12 Menurut Muhammad
12
Fakhr al-Dîn al-Razî, Mafatih al-Ghaib, jilid IV (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 16.
181
MIQOT "#$. %%%&" '#. 2 ()$*-+,-,./,0 2010
123234 2567234, 2829 :;: <=;8292>2; ?2@32 A=<2>B22; C;9C> <2BC> D252< BC29C
2E2<2 9:D2> D:?=;2F>2;.13 GF9:;82, A2F2 C52<2 B=A2>29 ?2@32 2829 :9C <=FCA2>2;
HI;D2B: 292B D2B2F A=;8:>2A2; JB52< 9=F@2D2A K2<:;2; >=?=?2B2; ?=F2E2<2.
GE2F 5=?:@ K=52B A=F5C D:>=92@C: sabab al-nuzul-;82, D:L=F:92>2; ?2@32 2829 :9C
9CFC; 9=F>2:9 A=F:B9:32 B=IF2;E 52>:-52>: G;B@âr, Abû al-Husein. Abû al-Husein adalah
seorang sahabat Nabi asal kota Madinah (Anshar) yang sangat taat beragama. Dia
mempunyai dua orang anak laki-laki yang bekerja sebagai pedagang minyak.
Suatu hari, kota Madinah kedatangan rombongan pedagang dari Syam. Mereka adalah
saudagar-saudagar yang biasa memasok barang dagangan ke Makkah dan Madinah.
Para saudagar itu beragama Kristen. Sambil berdagang mereka melakukan tugas misionaris
(dakwah) kepada penduduk di kawasan Jazirah Arabia. Kedua anak Abû al-Husein kerap
membeli minyak dan kebutuhan lainnya dari para pedagang itu. Seperti biasanya, para
pedagang itu mengkampanyekan agama mereka kepada para pedagang di Madinah,
termasuk kepada kedua anak Abû al-Husein. Karena khawatir tidak mendapat pasokan
barang-barang dari para saudagar itu, kedua anak tersebut akhirnya memutuskan diri
masuk Kristen. Mereka dibaptis oleh para saudagar itu, sebelum mereka kembali ke Syam.
Mendengar kedua anaknya masuk Kristen, Abû al-Husein sangat terpukul. Ia pun mendatangi
Nabi dan mengadukan perkara yang menimpanya itu. Lalu, turunlah ayat terkenal lâ
ikrâha fî al-dîn tidak ada paksaan dalam beragama. (Q.S. al-Baqarah/2: 256).14
Dalam mengomentari ayat tersebut, Muhammad Bâqir al-Nashirî, ahli tafsir asal
Iran, menjelaskan bahwa ada lima pendapat berkaitan dengan ayat tersebut. Pertama,
pelarangan itu hanya khusus kepada Ahl al-Kitab (Yahudi dan Kristen). Kedua, pelarangan
itu ditujukan kepada semua orang non-Islam. Ketiga, orang-orang yang masuk Islam
setelah perang tidak merasa dipaksa, tetapi mereka masuk secara sukarela. Keempat,
ayat tersebut ditujukan hanya kepada kaum Anshâr. Kelima, pilihan beragama bukanlah
sesuatu yang dipaksakan dari Allah, tapi ia merupakan pilihan manusia, karena persoalan
agama adalah persoalan keyakinan individual.15
Dari kelima pendapat di atas, Rasyid Ridha lebih cenderung setuju dengan pendapat
kelima. Yakni, bahwa maksud ayat lâ ikrâha fî al-dîn adalah bahwa tidak boleh ada
pemaksaan kepada seseorang untuk menentukan agamanya. Pesan ini bersifat umum
( am) dan ditujukan bukan hanya untuk kaum tertentu saja. 16
Mahmud bin Umar al-Zamakhsyarî (w. 528) dalam kitab tafsirnya yang terkenal,
al-Kassyaf, menjelaskan ayat di atas lewat metode tafsîr al-Qur an bi al-Qur an,
13
Muhammad Nawâwî al-Jawî, Marah Labib, jilid I (Kairo: Dâr al-Kutub, 1976), h. 74.
14
Ibid., h. 31.
15
Muhammad Bâqir al-Nashirî, Mukhtashar Majma al-Bayân (Kairo: Dâr al-Ma rifah,
t.t), h. 169.
16
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr al-Qur ân al-Hakîm, juz III (Beirut: Dâr al-Fikr, 1964), h. 31.
182
Misrah: Kebebasan Beragama dalam Perspektif Hadis
MNOPQRSTUPO RVPWV PXPW YNOZPO PXPW [PSOOXP. \NOVTVW mufassir XPOZ WNTUNOP[ UPTNOP
UNP][SPOOXP YP[PM balâghah YPO RPRWTP ^TP_ SWV, PXPW `lâ ikrâha fî al-dîn a MNTVbPUPO
UcORNUVNORS YPTS QSTMPO ^[[P] XPOZ [PSO, XPUOS:
Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi
seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-
orang yang beriman semuanya? (d.e. fûnus/10: 99).
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah
orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal. (Q.S. al-Hujarât/49: 13)
Menurut Ibn Abbas, ayat ini turun ketika Nabi berusaha supaya pamannya, Abû
17
Thalib beriman kepada Allah. Al-Qurthubî, Al-Jami lî Ahkâm al-Qur ân, juz IV (Kairo: Dâr al-
Ma rifah, t.t.), h. 680.
18
Abd al-Rahmân bin al-Kamal Jalâl al-Dîn al-Suyutî, Al-Durr al-Mansûr, juz II (Beirut:
Dâr al-Fikr, 1993), h. 20.
183
Misrah: Kebebasan Beragama dalam Perspektif Hadis
(Pasal Delegasi Najran menghadap Rasul SAW.) Ibn Ishaq berkata: Delegasi Kristen Najran diutus
menemui Rasul SAW. di Madinah. (kata Ibn Ishaq): Muhammad bin Ja far bin al-Zubair telah
menyampaikan kepadaku, ia berkata: tatkala delegasi Najran menghadap Rasul SAW., mereka
memasuki Masjid Nabawi setelah waktu shalat Ashar. Ketika tiba waktu kebaktian, mereka
melakukannya di Masjid Nabawi. Para sahabat ingin mencegat mereka, lantas Rasulullah mengatakan:
Biarkan mereka !. Para delegasi Najran itu melakukan kebaktian menghadap ke Timur .
~
} ð|
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya
21
Pendapat ini dikutip oleh al-Qurthubî, Al-Jami lî Ahkâm al-Qur ân, h. 450.
185
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010
di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada
Ku-lah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Q.S.
Luqmân/31:15).
Dalam kitab Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur an, ayat di atas berkaitan dengan peristiwa masuk
Islamnya seorang anak yang menyebabkan ibunya marah. Alkisah, seorang anak bernama
Sa ad ibn Malik bersitegang dengan ibunya lantaran ia masuk Islam. Si ibu mengancam bahwa
ia tidak akan makan dan minum selama tiga hari tiga malam. Sa ad kokoh dengan pendiriannya
walaupun ibunya makan dan minum selama tiga hari tiga malam. Sa ad berkata kepada
ibunya, Ibu, demi Allah, seandainya engkau mempunyai seratus nyawa yang engkau keluarkan
satu demi satu, niscaya aku tidak akan keluar dari agamaku. Kalau ibu mau makan atau
tidak silahkan. Menghadapi keteguhan iman anaknya, akhirnya si ibu makan juga.
Kebebasan di sini bukan membiarkan agama yang satu memerangi agama yang
lain. Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur an yang artinya Dan perangilah dijalan Allah
orang-orang yang memerangi kamu. (Q.S. al-Baqarah/2: 190). Selain itu juga kebebasan
beragama bukan berarti mengakui kebenaran agama orang lain, tetapi bebas bagi setiap
penganut agama untuk menilai dan menganggap agamanya itu adalah agama yang
paling benar dan melaksanakan ajaran sesuai dengan agamanya masing-masing.
Dengan demikian akan terjadi hubungan yang harmonis antar umat beragama dan
intern umat beragama. Di sinilah sebenarnya yang menjadi kunci hidup damai meskipun
dalam perbedaan, dengan berlaku baik dan bersifat adil serta memberi kesempatan
kepada siapapun (non-Muslim) untuk mengamalkan ajaran agamanya, hal ini bertujuan
untuk kerukunan beragama.
Pendapat yang mengatakan berlaku baik kepada non-Muslim ini didukung oleh
al-Qur an surah al-Mumtahanah/60: 8.
Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak
memerangi kamu dalam urusan agama, dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu,
sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (Q.S. al-Mumtahanah/60: 8).
Ayat al-Qur an di atas dikuatkan lagi oleh ayat berikutnya bahwa Allah tidak
membolehkan menjadikan teman yang jelas-jelas memerangi dan mengusir kita dari
kediaman atau kampung halaman kita.
186
Misrah: Kebebasan Beragama dalam Perspektif Hadis
Dua ayat di atas menjelaskan bahwa boleh berbuat baik kepada Yahudi dan Nasrani
sepanjang mereka tidak mengganggu akidah dan ketentraman hidup. Maka berbuat baik
yang dimaksud di sini adalah sebatas toleransi di bidang mu amalah seperti silaturahmi,
menghormati tetangga, menjamu dengan baik, berlaku adil kepada orang-orang musyrik
yang telah melakukan perjanjian. Dalam bidang akidah dan ibadah tidak ada toleransi
sebagaimana disebutkan dalam surat al-Kâfirûn/109: 6, bagimu
agamamu bagiku agamaku. Artinya bahwa seluruh agama apapun mereka akan
mempertanggungjawabkannya di sisi Allah, Allah akan memberi keputusan di antara
mereka di akhirat.
Hal ini menunjukkan bahwa masalah akidah dan ibadah tidak ada toleransi, bagi
Allah yang menduakan Tuhan dan mencari Tuhan selain Allah adalah kafir, sebagaimana
disebutkan dalam al-Qur an surah al-Syurâ/42: 11, ... ... tidak ada
sesuatu yang menyerupai-Nya. Surah-surah lainnya yang mengungkapkan kemahasucian
Allah yang berbeda dengan makhluk-Nya.
22
Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi (Jakarta: Paramadina, 1999),
h. 92-93.
187
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010
menampilkan suatu model bagi susunan masyarakat modern yang lebih baik dari
yang dapat dibayangkan. Upaya orang-orang Muslim modern untuk melukiskan
masyarakat dini tersebut sebagai contoh yang sesungguhnya terlihat dari nilai-nilai
nasionalisme, partisipatif dan egaliter yang sama sekali bukanlah suatu pembentukan
ideologis yang tidak historis. Eksperimen itu terlalu modern pada masa itu. 23
Masyarakat salaf ini, menurut Nurcholish, dalam bahasa modern sekarang menjadi
generasi yang menerapkan secara empiris prinsip normatif Islam tentang egalitarianisme,
demokrasi, partisipasi dan keadilan sosial sebagaimana dikatakan oleh Bellah di atas.
Masyarakat ini telah menyajikan kepada umat manusia, sebuah gambaran tatanan sosial
politik yang telah mengenal kehidupan berkonstitusi, di bawah naungan konstitusi yang
dikenal dengan sebutan Mitsaq al-Madinah (Piagam Madinah).24
Dalam kaitan ini, istilah masyarakat madani sebenarnya hanya salah satu di antara
beberapa istilah lain yang sering kali digunakan orang untuk menyebut masyarakat sejahtera,
padanan katanya adalah civil society. Di samping masyarakat madani, padanan kata lainnya
yang sering digunakan adalah masyarakat warga atau kewargaan, masyarakat sipil,
masyarakat beradab atau masyarakat berbudaya.25 Istilah civil society juga identik dengan
masyarakat berbudaya (civil society). Lawannya, adalah masyarakat liar (savage society).26
Pemahaman yang melatari arti ini, untuk memudahkan orang menarik
perbandingan di mana kata yang pertama merujuk pada masyarakat yang saling
menghargai nilai-nilai sosial keagamaan (termasuk dalam kehidupan politik), sedangkan
kata yang kedua jika dapat diberikan penjelasan menurut pemikiran Thomas Hobbes,
bermakna identik dengan gambaran masyarakat tahap keadaan alami (state of nature)
yang tanpa hukum sebelum lahirnya negara di mana setiap manusia merupakan serigala
bagi sesamanya (homo homini lupus). Eksistensi civil society sebagai sebuah abstraksi
sosial dihadapkan secara kontradiktif dengan masyarakat alami (natural society).27
Berdasarkan itu pulalah perlunya manusia kembali membangun suatu masyarakat
madani yang pernah dibangun oleh Nabi SAW., di mana ketika nabi berhijrah serta hidup
mapan di kota tempat hijrahnya itu, Nabi segera merubah nama Yatsrib menjadi al-Madinah.
Secara konvensional, perkataan madinah memang diartikan sebagai kota . Tetapi secara
ilmu kebahasan perkataan itu mengandung makna peradaban . Karena itu tindakan Nabi
mengubah nama Yatsrib menjadi madinah pada hakikatnya adalah sebuah pernyataan
23
Ibid., h. 32, 33 dan 35.
24
Oleh banyak ahli sejarah klasik Islam, seperti Ibn Ishâq (w. 152 H.) dan Muhammad
Ibn Hisyam (w. 218 H.) telah mendokumentasikan Piagam Madinah.
25
Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999), h. 3.
26
Lihat, Abdul Aziz Thaha, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (Jakarta: Gema
Insani Press, 1996).
27
Culla, Masyarakat Madani, h. 5.
188
Misrah: Kebebasan Beragama dalam Perspektif Hadis
niat, atau proklamasi, bahwa beliau bersama para pendukungnya yang terdiri dari kaum
Muhajirîn dan Anshâr hendak mendirikan dan membangun masyarakat beradab. 28
Membangun masyarakat madani atau masyarakat yang berperadaban itulah yang
dilakukan nabi selama sepuluh tahun di Madinah, di mana masyarakat demokratis,
masyarakat yang adil, terbuka, serta terwujudnya kebebasan beragama dengan landasan
takwa kepada Allah SWT. dan taat kepada ajaran-ajaran-Nya. Masyarakat tersebut
bercirikan egalitarianisme, yakni terbuka dan menghargai siapa saja. 29
Menurut Philip K. Hitti, hijrah yang menandai berakhirnya periode Makkah berganti
dengan periode Madinah merupakan peristiwa sejarah yang penting dalam catatan
kehidupan Muhammad, telah berakhirlah zaman penganiayaan, pengasingan dan
penindasan, berganti dengan zaman kesuksesan dan kejayaan Islam. Selama di Makkah
nabi diremehkan bahkan disakiti, sebaliknya di Madinah nabi tidak hanya sebagai
pemimpin yang dihormati tetapi sekaligus sebagai kepala negara Republik Madinah. 30
Dalam rangka memperkokoh masyarakat dan negara baru itu, nabi segera
meletakkan dasar-dasar kehidupan beragama masyarakat. Dasar pertama, pembangunan
masjid, selain untuk tempat salat, juga sebagai sarana penting untuk mempersatukan
dan mempertalikan jiwa mereka. Kedua, adalah ukhuwah Islâmiyah, persaudaraan
sesama Muslim. Nabi mempersaudarakan antara golongan Muhajirîn dan Anshâr. 31
Ketiga, hubungan persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tidak beragama Islam. Di
Madinah, di samping orang-orang Arab Islam, juga terdapat golongan masyarakat Yahudi
dan orang-orang Arab yang masih menganut agama nenek moyang mereka. Agar
stabilitas masyarakat dapat diwujudkan, Nabi Muhammad mengadakan ikatan
perjanjian dengan mereka. Sebuah piagam yang menjamin kebebasan beragama orang-
orang Yahudi. Setiap golongan masyarakat memiliki hak tertentu dalam bidang politik
dan keagamaan. Kemerdekaan beragama dijamin, dan seluruh anggota masyarakat
berkewajiban mempertahankan keamanan negeri dari serangan luar.
Piagam Madinah sangat besar artinya dalam sejarah kehidupan beragama umat
Islam. Ia dipandang sebagai undang-undang dasar tertulis yang pertama sepanjang
sejarah peradaban dunia. Sebelum Nabi Muhammad, para penguasa dunia tidak
menyertakan undang-undang tertulis untuk mengatur dasar-dasar kekuasaannya.
Bila dirujuk kepada teks Piagam Madinah dan diteliti secara cermat prinsip-prinsip
yang terkandung di dalamnya lebih luas dan lebih kaya. Prinsip-prinsip dimaksud adalah
persamaan, umat dan persatuan, kebebasan, toleransi beragama, tolong-menolong dan
membela yang teraniaya, musyawarah, keadilan, persamaan hak dan kewajiban, hidup
28
Nurcholish Madjid, Menuju Masyarakat Madani, dalam Ulumul Qur an. no. 2, h. 51.
29
Ibid., h. 52.
30
K. Ali, Sejarah Islam: Tarikh Pra-Modern (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), h. 42.
31
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), h. 26.
189
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010
bertetangga, pertahanan dan perdamaian, amar ma rûf dan nahi munkar, ketakwaan,
dan kepemimpinan yang terangkum dalam butir-butir piagam yang terdiri dari 47 pasal.32
Namun, dukungan tersebut belum membuat posisi beliau benar-benar mantap.
Karena penduduk Madinah menurut pembagian geneologi maupun etnis dan keyakinan
terbagi ke dalam beberapa kelompok sosial yang saling berbeda dalam cara berpikir
dan kepentingan. Untuk itu, beliau membuat perjanjian tertulis yang dapat diterima
oleh semua kelompok sosial.
Nabi Muhammad SAW., dalam membuat piagam tersebut, bukan hanya
memperhatikan kepentingan atau kemaslahatan masyarakat non-Muslim. Piagam itu
menjadi landasan bagi tujuan utama beliau, yaitu mempersatukan penduduk Madinah
secara integral yang terdiri dari unsur-unsur heterogen. Beliau tidak hendak menciptakan
persatuan orang-orang muslim saja secara ekslusif, terpisah dari komunitas-komunitas
lain di wilayah itu. Karenanya, ketetapan-ketetapan piagam menjamin hak semua
kelompok sosial memperoleh persamaan dalam masalah-masalah umum, sosial, dan
politik sehingga dapat diterima oleh semua pihak, termasuk kaum Yahudi. Fakta historis
ini, menurut Hitti, merupakan bukti nyata kemampuan Muhammad melakukan
negosiasi dan konsolidasi dengan berbagai golongan bangsa dan agama di Madinah.
Disebut piagam (charter), karena isinya mengakui hak-hak kebebasan beragama dan
berkeyakinan, kebebasan berpendapat dan kehendak umum warga Madinah supaya keadilan
terwujud dalam kehidupan mereka, mengatur kewajiban-kewajiban kemasyarakatan semua
golongan, menetapkan pembentukan persatuan dan kesatuan semua warga dan prinsip-
prinsipnya untuk menghapuskan tradisi dan peraturan kesukuan yang tidak baik. Disebut
konstitusi (constitution) karena di dalamnya terdapat prinsip-prinsip untuk mengatur
kepentingan umum dan dasar-dasar sosial politik yang bekerja untuk membentuk suatu
masyarakat dan pemerintahan sebagai wadah persatuan penduduk Madinah.
Munawir Sjadzali menulis bahwa batu-batu dasar yang telah ditetapkan oleh
Piagam Madinah sebagai landasan etika bagi kehidupan beragama untuk masyarakat
di Madinah adalah sebagai berikut:
1. Semua pemeluk Islam, meskipun berasal dari banyak suku, tetapi merupakan satu komunitas.
2. Hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dan antara anggota komunitas
Islam dan anggota komunitas-komunitas lain didasarkan atas prinsip-prinsip bertetangga
baik, saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, membela yang teraniaya,
saling menasehati, menghormati sesama kebebasan beragama, dan piagam itu
sebagai konstitusi negara Islam yang pertama tidak menyebut agama negara. 33
32
Ibid.
33
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI
Press, 1990), h. 15-16.
190
Misrah: Kebebasan Beragama dalam Perspektif Hadis
Penutup
Dari uraian sederhana di atas dapat disimpulkan bahwa hadis mengajarkan kepada
umat Islam agar tidak memaksakan agamanya kepada siapa pun. Islam memberikan
kebebasan kepada setiap manusia untuk memeluk dan menjalankan ibadah sesuai
agamanya. Sikap pemaksaan menganut agama terhadap orang lain dapat menimbulkan
sikap antipati dan menodai keluhuran ajaran Islam sendiri.
Perbedaan agama tidak membatasi umat Islam untuk berhubungan, berinteraksi
dan bersilaturrahmi dalam urusan dunia dengan penganut agama lain. Pada masa Rasul
SAW. sudah dicontohkan bagaimana hubungan ideal antara penganut beberapa agama
yang dapat hidup damai dan berdampingan dalam bingkai Piagam Madinah.
Pustaka Acuan
Abdullah, Amin. Studi Agama: Normativasi atau Historitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Ali, K.. Sejarah Islam: Tarikh Pra-Modern. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000.
Culla, Adi Suryadi. Masyarakat Madani. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999.
Ibn Ishaq. Al-Sîrah al-Nabawiyah, juz II. Kairo: Quththa al-Tsaqafah, 1998.
Ibn Katsir. Al-Bidâyat wa al-Nihâyah. Kairo: Dâr al-Hadits, 1992.
Al-Ja fî, Abû Abd Allâh Muhammad bin Ismâ îl al-Bukharî. Shahîh al-Bukhârî, juz III,
cet. 3. Beirut: Dâr Ibn Kasîr, 1987.
Al-Jauziyah, Muhammad bin Abî Bakar bin Ayyûb bin Sa ad Syams al-Dîn Ibn Qayyim.
Zâd al-Ma âd fî Hady Khair al- Ibâd, juz V. Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1994.
Al-Jawî, Muhammad Nawawî. Marah Labib. Kairo: Dâr al-Kutub, 1976.
Madjid, Nurcholish. Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi. Jakarta: Paramadina, 1999.
Madjid, Nurcholish. Menuju Masyarakat Madani, dalam Ulumul Qur an. no. 2, 1996.
Moberg, David O. The Church as A Sosial Institution. New Jersey: Prentice-Halla Inc, 1962.
Al-Naisaburî, Abû al-Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairî. Shahîh Muslim,
juz VII. Beirut: Dâr al-Jail, t.t.
191
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010
Al-Nashirî, Muhammad Baqîr. Mukhtashar Majma al-Bayân. Kairo: Dâr al-Ma rifah, t.t.
Rahman, Fazlur. Islam, terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka Salman, 2000.
Al-Razî, Fakhr al-Dîn. Mafâtih al-Ghaib. Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.
Ridha, Muhammad Rasyid. Tafsîr al-Qur ân al-Hakîm. Beirut: Dâr al-Fikr, 1964.
Al-Sijistanî, Abû Daud Sulaiman bin al-Asy as. Sunan Abî Dâud, juz III. Beirut: Dâr al-
Kitâb al- Arâbî, t.t.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI
Press, 1990.
Shihab, Alwi. Islam Inklusif. Bandung: Mizan, 1998.
Sofyan, Muhammad. Agama dan Kekerasan dalam Bingkai Reformasi. Jakarta: Media
Pressindo, 1999.
Al-Suyuthî, Abd al-Rahman bin al-Kamal Jalâl al-Dîn. Al-Durr Al-Mantsûr, juz II. Beirut:
Dâr al-Fikr, 1993.
Al-Qahtanî, Sa id bin Alî bin Wahhab. Fiqh al-Da wah fî Shahîh al-Imâm al-Bukhârî, juz
IV. t.t.p.: Dâr al-Ifta lî Idârât al-Buhûs al- Ilmiyah, 1421 H.
Al-Qurthubî. Al-Jami lî Ahkâm al-Qur ân. Kairo: Dâr al-Ma rifah, t.t.
Thaha, Abdul Aziz. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. Jakarta: Gema Insani
Press, 1996.
Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2001.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002.
192
RALISME GOLONGAN INKARUSSUNNAH
DI INDONESIA DAN MALAYSIA
Sulidar
F U IAIN S U
J W I P V M E ¡¢£
¤¥ ahmad.suid@yahoo.co.id
Pendahuluan
Pemikiran liberal yang berdasarkan kepada pemahaman bebas di dalam memahami
nas hukum syariat bukan semata-mata satu cabang pemikiran biasa yang didukung
oleh segolongan umat Islam di dunia ini, khususnya di Indonesia dan Malaysia. Pemikiran
liberal yang didukung oleh segolongan umat Islam ini sebenarnya membentuk sistem
akidah (kepercayaan) tersendiri yang akhirnya menyimpulkan konsep dan praktik ibadah
yang tersendiri . Di dalam perspektif pengkajian hadis, golongan inkarussunnah pada
dasarnya mendukung pemikiran liberal yang sebenarnya terikat dengan pemahaman bebas
di dalam memahami nas hukum syariat, terutama dari teks-teks hadis Nabi Muhammad
SAW. Tulisan ini akan menguraikan aspek liberalisme golongan inkarussunnah yang
telah bertapak di Indonesia dan Malaysia dan kaitannya dengan sejarah lampau yang
membentuk dasar-dasar pemikiran liberalisme. Diharapkan tulisan ini bisa menjadi dasar
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010
teori di dalam merinci pemikiran liberal dalam inkarussunnah yang berfokus kepada
kajian lapangan, terutama di Indonesia dan di Malaysia.
1
Pengertian anti-hadis sebagaimana dikemukakan oleh Ramli Abdul Wahid adalah
sebuah gerakan intelektual untuk tidak mempercayai autentisitas dan originalitas Sunnah
Rasul SAW. secara keseluruhan atau sebagian saja. Hal itu dilakukan bukan atas dasar legitimasi
ilmu hadis, melainkan karena alasan rasionalitas atau hawa nafsu semata. Ramli Abdul Wahid,
Studi Ilmu Hadis (Bandung: Citapustaka Media, 2005), h. 270.
2
Ishak Hj. Suliaman, et al., Autoriti Hadis: Menangani Gerakan Anti-Hadis (Kuala Lumpur:
Universiti Malaya, 2007), h. 145-147.
3
Menurut kelompok ini, hadis sudah terdapat dalam al-Qur an sendiri, jadi tidak perlu
lagi dengan keterangan hadis. Mereka beranggapan Rasulullah SAW. tidak ada hak dalam
urusan agama. Sebab, tugasnya hanya menyampaikan al-Qur an saja. Lihat, Ahmad Husnan,
Gerakan Ingkar Sunnah dan Jawabannya (Jakarta: Media Dakwah, 1981), h. 3-4.
4
Memang ada sebagian kaum Muslimin yang beramal dan berhujjah dengan hadis, dalam
hal-hal ibadah secara umum seperti sembahyang, zakat, dan haji. Namun, mereka tidak mau percaya
dan berpegang kepada hadis yang bertentangan dengan akal pikiran yang sehat, terutama pada
sebagian hadis-hadis yang menerangkan masalah ghaib, contohnya berkenaan dengan terjadinya
perjalanan Isra dan Mi raj Rasulullah SAW. kelompok ini tidak menerima semua hujjah hadis. Mereka
menolak hadis yang menurut penilaiannya bertentangan dengan akal pikiran yang sehat. Jadi,
mereka mengatakan tidak mungkin hadis yang sahih bertentangan dengan akal manusia.
5
Mutawatir menurut bahasa berarti mutatabi yakni yang (datang) berturut-turut dengan
tidak ada jaraknya. Bila ditinjau dari terminologi, hadis mutawatir adalah hadis yang
diriwayatkan oleh banyak orang, yang menurut adat, mustahil mereka bersepakat untuk
berdusta. (Jumlah banyak itu) sejak awal sanad sampai akhirnya, dengan syarat jumlah itu
tidak kurang pada setiap tingkatan sanadnya. Lihat, Ahmad bin Muhammad al-Fayyumî, Al-
Mishbah al-Munîr fî Gharib al-Syarh al-Kabîr lî al-Rafi î, juz II (Beirut: Dâr al-Kutub al- Ilmiyah,
1978), h. 321; Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushûl al-Hadis: Ulûmuhu wa Mustalahuh (Beirut:
Dâr al-Fikr, 1989), h. 301.
6
Secara bahasa, kata ahad, atau wahid berarti satu, maka khabar ahad atau khabar
wahid, adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu orang. Adapun yang dimaksud dengan
hadis ahad adalah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir (mâ lam yajma
syuruth al-mutawatir). Lihat, Jalâl al-Dîn al-Suyutî, Tadrib al-Rawi fî Syarh Taqrîb al-Nawawî,
juz II (Beirut: Dâr al-Fikr, 1988), h. 120, Mahmud al-Tahhan, Taisir Mustalah al-Hadîts (Beirut:
Dâr al-Qur ân al-Karîm, 1979), h. 22.
194
Sulidar: Liberalisme Golongan Inkarussunnah di Indonesia dan Malaysia
terhadap kebenaran (Q.S. al-Najm/53: 28). Cara mereka berhujjah dengan ayat ini,
tentu saja menurut penafsiran model mereka sendiri. Berdasarkan kepada fakta ini,
membuktikan bahwa pegangan dan sistem kepercayaan golongan inkarussunnah adalah
bersifat liberal, yaitu bebas di dalam memahami dan mempercayai otoritas dan autensitas
hadis Nabi Muhammad SAW. sebagaimana yang diimani oleh golongan paling awal di
kalangan sahabat dan tabi în. Pemahaman ini terus berkembang mengikuti zaman dan
didukung oleh sekelompok umat Islam yang berguru kepada dua musuh utama Islam,
yaitu Kristen dan Yahudi. Fakta ini dikemukakan berdasarkan kepada perkembangan
yang berlaku di dunia Islam, seperti di Indonesia dan di Malaysia.
Dalam konteks Indonesia, di antara kelompok inkarussunnah yang ada, salah
satunya ialah kelompok yang mengikuti pemikiran dari Rashad Khalifah, seorang
insinyur kimia lulusan Universitas Arizona. Gerakan ini dinamakan The Qur anic Society.
Gerakan ini hadir menyusul seminar missionaris Kristen dan Yahudi, di mana Rashad
Khalifah menyampaikan makalahnya yang berjudul Islam: Past, Present and Future .
Kampanye mendistorsi Islam di Indonesia ini memang sangat digalakkan oleh
pihak Amerika Serikat, antara lain melalui program iklan kampanye citra positif AS, 7
menyusul ditolaknya alasan penyerangan ke atas Irak dan Afghanistan. Gerakan ini
dilembagakan melalui USAID, dan juga Asia Foundation. Seorang aktivis jaringan Islam
liberal, Ulil Abshar Abdalla pernah mengaku secara terbuka bahwa dia menerima dana
dari Asia Foundation sebesar Rp. 1,4 Milyar pertahun.8
Pada tahun 2002, media-media di Indonesia memasang iklan mengenai kehidupan
muslim di Amerika dengan tawaran Rp. 250 juta untuk setiap iklannya. Pada tahun 2003,
Washington juga menyalurkan dana sebesar 170 juta U$ (sekitar Rp. 1,428 trilyun) untuk
sekolah-sekolah dan pesantren-pesantren di Indonesia untuk membendung ajaran-ajaran
radikal di Pesantren.9 Bantuan itu disalurkan ke sekolah negeri dan sekolah Islam yang
dinilai moderat .
Ramli Abdul Wahid menjelaskan bahwa secara historis, inkarussunnah sudah
muncul pada abad kedua Hijriah. Al-Syafi î (150-204 H) mengemukakan dialognya
dengan Inkarussunnah secara panjang lebar dalam kitabnya, al-Umm jilid VII. Kemudian,
pada zaman modern muncul pula sejumlah pemikir yang mengikuti, baik secara total
maupun secara parsial, corak berpikir inkarussunnah liberal, antara lain Taufiq Sidqi
dan Ali Hasan Abd. al-Qadir di Mesir, Said Ahmad Khan, Garrah Ali dan Gulam Ahmad
Parwez di India-Pakistan, Kassim Ahmad di Malaysia, Rasyad Khalifah di Amerika, Haji
7
Melalui Konsulat Jenderal Amerika di Medan-Indonesia, agen Amerika membagikan
buku-buku tentang Amerika Serikat secara gratis kepada mahasiswa IAIN-SU Medan tahun
2004. Buku-buku tersebut, berkenaan dengan gambaran politik, ekonomi, sosial budaya di
Amerika, yang maju, demokratis dan toleran terhadap penganut agama lain.
8
Suara Hidayatullah (05 Juni 2004).
9
Weekend Australia, dalam Indopos (5 Oktober 2003).
195
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010
Abdurrahman, Ustadz H. Sanwani, dan Ir. Irham Sutarto di Jakarta, dan Dailami Lubis
di Sumatera Barat.10
Sebelum mereka, terdapat dua orang tokoh orientalis sekaligus inkarussunnah
liberal terkenal yang juga boleh disebut sebagai perintis aliran sesat dan inkarussunnah
zaman moden yang bernama Prof. Dr. Ignaz Goldziher (1850-1921)11 dan Joseph F. Schacht
(1902-1969).12 Pemikiran kedua tokoh ini telah banyak dibantah oleh ulama dan ilmuan
Islam, di antaranya Mushtafa al-Siba î, dalam bukunya al-Sunnah wa mâ kânatuha fî al-
Tasyri al-Islâmî (1949), Muhammad Ajjaj al-Khatib dalam bukunya al-Sunnah Qabl al-
Tadwîn (1964), dan Muhammad Mushtafa Azamî dalam bukunya Studies in Early Hadis
Literature (1967). Sedangkan di Indonesia, Ali Mustafa Yakub juga menangkal pemikiran
kedua tokoh Inkarussunnah tersebut dalam bukunya Kritik Hadis (1995).13
Selanjutnya, menurut Ramli Abdul Wahid, hukum orang yang mengingkari Sunnah
yang berkualitas mutawatir adalah kafir, sedangkan orang yang mengingkari hadis ahad
adalah fasik.14 Dalam ilmu Hadis, dikatakan sesuatu itu hadis apabila ia berasal dari
rasul dan terdiri dari sanad (orang yang meriwayatkan hadis) dan matan (isi atau redaksi
dari hadis tersebut). Manakala suatu hadis tidak ada sanadnya, maka itu tidak dikatakan
hadis. Hadis Nabi Muhammad SAW. secara periwayatannya ada yang berlangsung secara
mutawatir dan ada yang ahad. Hadis yang berkategori mutawatir tidak perlu diadakan
penelitian terhadapnya dan wajib mengamalkannya, sementara untuk hadis yang
berkategori ahad perlu diadakan penelitian, baik sanad maupun matannya. Jika hadis
ahad itu sudah masuk dalam kategori maqbûl, maka wajib menerimanya sebagai sumber
ajaran Islam setelah al-Qur an.
10
Wahid, Studi Ilmu Hadis, h. 262-266.
11
Goldziher ialah seorang keturunan Yahudi. Beliau dilahirkan di Hongaria sekitar tahun
1850-an dan meninggal sekitar tahun 1921. Kedua orang tuanya adalah seorang tukang emas
di Hongaria dan beragama Yahudi. Dalam usianya yang cukup muda yaitu 19 tahun (1869),
Goldziher dilantik menjadi Doktor dalam bidang Islamologi di Jerman di bawah bimbingan
Prof. Rodiger. Beliau mendapat beasiswa untuk belajar di Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir,
pada tahun 1873 hingga 1974 guna memperdalam agama Islam. Beliau adalah sarjana Yahudi
pertama yang mendapat gelar Profesor di Universitas Budapest tahun 1894. Beliau
mempublikasikan bukunya yang cukup kontroversi, Muhammedanische Studien (1890) buku
inilah yang menguraikan bahwa hadis bukanlah sumber hukum Islam. Lihat, Patricia Crone.
Roman, Provincial and Islamic Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), h. 3.
12
Joseph F. Schacht ialah seorang orientalis, yang lahir pada 15 Maret 1902 di Ratibor
(Upper Silesia), Polandia. Beliau meninggal di Englewood, pada tanggal 1 Agustus 1969.
Beliau ialah seorang keturunan Inggris-Jerman. Beliau adalah Profesor dalam bidang kajian
Arab dan Islam di Universitas Columbia, New York. Beliau merupakan pembimbing para
sarjana Barat dalam bidang Hukum Islam. Bukunya yang terkenal ialah Origins of Muhammadan
Jurisprudence (1950). Lihat, Jeanette Wakin, Remembering Joseph Schacht (1902 1969)
(Cambridge-Amerika Serikat: Occasional Publications, 2003), h. ix-x.
13
Bukunya ini diterbitkan oleh Pustaka Firdaus, Jakarta, 1995.
14
Dikemukakan beliau dalam memberikan kuliah Hadis di PPS. IAIN-SU, Sabtu, 20
April 2002.
196
Sulidar: Liberalisme Golongan Inkarussunnah di Indonesia dan Malaysia
Dalil-dalil Inkarussunnah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu dalil al-Qur an
dan alasan akal. Dalil al-Qur an antara lain adalah:
1. Q.S. al-Nahl/16: 89, yang artinya Kami turunkan kepadamu al-Qur an untuk menjelaskan
segala sesuatu.
2. Q.S. al-An âm/6: 38, Tidak Kami alpakan sesuatu pun di dalam al-Qur an.
3. Q.S. al-Mâ idah/5: 3, Pada hari ini telah Ku sempurnakan bagi kamu agamamu dan
telah Ku cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridhai Islam itu sebagai agamamu.
Ketiga ayat ini dan ayat-ayat yang senada menunjukkan bahwa al-Qur an telah
menjelaskan segala sesuatu sehingga al-Qur an tidak memerlukan keterangan
tambahan lagi karena penjelasannya tentang Islam sebagai agama sudah sempurna.
4. Q.S. al-Najm/53: 3-4, Dan ia (Muhammad) tidak bertutur menurut hawa nafsunya.
Ucapan itu tiada lain wahyu yang diwahyukan kepadanya. Yang diwahyukan itu sudah
termaktub dalam al-Qur an.
5. Q.S. al-Haqqah/69: 44-46, Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian
15
Tentang hal ini lihat, Ramli Abdul Wahid, Telaah Terhadap Paham dan Argumen Inkar
Sunnah (Medan: Pusat Penelitian IAIN-SU, 2007); Abduh Zulfidar Akaha, Debat Terbuka Ahl
Sunnah Versus Anti-Hadis (Jakarta: Al-Kautsar, 2006); M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut
Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya (Jakarta: Gema Insani Press, 1995).
197
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010
perkataan atas nama Kami niscaya Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian
Kami akan potong urat tali jantungnya.
6. Q.S. Âli Imrân/3: 20, Q.S. al-Mâ idah/5: 92, 99, Q.S. al-Ra d/13: 40, Q.S. al-Nahl/
16: 35, 82, Q.S. al-Nûr/24: 45, Q.S. al- Ankabût/29: 18, dan Q.S. al-Syûrâ/42: 48.
Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa tugas Nabi Muhammad SAW. hanyalah
menyampaikan pesan Allah SWT. dan tidak berhak memberikan penjelasan apa pun.
7. Q.S. Fathir/35: 31, Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yakni al-Qur an,
maka itulah yang benar (haq). Q.S. Yûnus/10: 36. Kebanyakan mereka tidak mengikuti
kecuali persangkaan belaka. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna
untuk mencapai kebenaran.
8. Hadis itu hanyalah persangkaan yang tidak layak dijadikan hujah.
16
Ibid.
17
Abduh Zulfidar Akaha, adalah Manajer Redaksi penerbit Pustaka al-Kautsar, Jakarta.
198
Sulidar: Liberalisme Golongan Inkarussunnah di Indonesia dan Malaysia
dialog terbuka di internet. Hasil dialog tersebut telah dibukukan oleh Ustadz Abduh
Zulfidar Akaha, dengan judul Debat Terbuka Ahlu-Sunnah Versus Inkar-Sunnah yang
diterbitkan oleh Pustaka Al-Kautsar, Jakarta pada tahun 2006.
Bila membaca buku di atas, maka bagi orang Muslim yang memiliki keyakinan
bahwa Islam berlandasan al-Qur an dan Hadis akan terpicu emosinya. Sebab, uraian-uraian
inkarussunnah dalam buku tersebut terkadang melontarkan kata-kata penghinaan
kepada para ulama hadis, dan juga orang-orang Muslim pada umumnya. Sebagai contoh,
mereka mengatakan bahwa para perawi hadis seperti Bukharî dan Muslim adalah pendusta
dan penipu umat, sehingga umat terkecoh serta banyak menimbulkan perpecahan.
Selanjutnya, ibadah kelompok ini memang tidak berdasarkan hadis, contohnya salat
hanya tiga waktu saja, dengan tata caranya berdasarkan al-Qur an; tidak ada shalat
Idul Fitri dan Idul Adha, sebab tidak ada dalam al-Qur an; khitan tidak ada; dan puasa
dilakukan dari mulai subuh dan malam hari (Isya) baru berbuka, bukan maghrib
sebagaimana dilakukan umumnya masyarakat Islam. 18 Fakta ini jelas membuktikan
penghayatan liberalisme yang mendasari sistem kepercayaan golongan Inkarussunnah.
Ramli Abdul Wahid secara khusus telah mengulas inkarussunnah di Indonesia, pada
sub bab Inkarussunnah, dalam bukunya, Studi Ilmu Hadis.19 Ia menulis bahwa berdasarkan
penelitian Huda Ali, di Indonesia telah lahir Inkarussunnah pada tahun 1978.
Merujuk penelitian Huda Ali, para inkarussunnah memandang al-Qur an sudah
cukup menjadi dasar syariat. Alasannya adalah al-Qur an sebagai wahyu, isinya sudah
lengkap dan sempurna. Karena itu, Islam menurut inkarussunnah tidak perlu lagi kepada
penjelasan tambahan selain al-Qur an. Bahkan, penjelasan tambahan di luar al-Qur an,
seperti Sunnah atau Hadis dapat menyesatkan karena kandungan Sunnah itu sendiri
saling bertentangan antara satu dengan lainnya. Berdasarkan pemahaman liberal
demikian, kelompok inkarussunnah ini menamakan dirinya sebagai kelompok Qurani.
Sementara itu, masyarakat menyebutnya kelompok Inkarussunnah.
Huda Ali melakukan penelitiannya pada masjid al-Burhan yang terletak di sudut
Barat Daya Kompleks Pasar Rumput, Jakarta Selatan. Observasi dan wawancara
dilakukan juga di berbagai tempat pengembangan paham Qur an dan orang-orang yang
Beliau adalah alumnus dari Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir-Hadis, Universitas al-Azhar,
Kairo-Mesir, tahun 1997, selepas itu melanjutkan tingkat Master pada Universitas yang sama,
juga di Institute of Islamic Studies Zamalek, Kairo. Namun, pada tingkat Master-nya, karena
sesuatu hal belum selesai hingga kini. Beliau sangat aktif dalam menulis, baik karya sendiri
maupun terjemahan, serta sebagai editor, di antara karya tulisnya yang sudah diterbitkan
adalah Al-Qur an dan Qira at (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1996); Bila Kiyai Dipertuhankan
(Jakarta: al-Kautsar, 2001); 160 Kebiasaan Nabi SAW. (Jakarta: al-Kautsar, 2002); Terorisme
dan Konspirasi Anti Islam (Jakarta: Al-Kautsar, 2002); 13 Orang Terbaik Dalam Islam (Jakarta:
al-Kautsar, 2004); Debat Terbuka Ahl Sunnah Versus Anti Hadis (Jakarta: Al-Kautsar, 2006).
18
Baca Akaha, Debat Terbuka Ahl Sunnah.
19
Wahid, Studi Ilmu Hadis, h. 262-266.
199
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010
Berbeda dengan ustadz Masjid al-Burhan, ustadz Langgar Menara Air menemukan
paham Quraniyah berdasarkan telaahnya sendiri terhadap al-Qur an. Sebelum tahun
1978, ia tidak memihak kepada paham keagamaan tertentu. Dengan telaahnya, Ustadz
ini berkesimpulan bahwa apa yang dipahami oleh mayoritas umat Islam dewasa ini,
terutama tentang taat kepada Allah dan kepada Rasul kurang tepat. Pengertian tentang
Sunnah juga keliru. Menurut beliau, yang dimaksud dengan hadis sebagai wahyu tidak
lain dari al-Qur an. Karena itu, al-Qur an satu-satunya dasar hukum Islam.
Uraian di atas menunjukkan bahwa pemahaman atau doktrin Qurani di Indonesia berasal
dari ustadz Langgar Menara Air. Kemudian, paham liberal ini diterima dan dikembangkan ustadz
Masjid al-Burhan. Doktrin Qurani ini memiliki sejumlah argumen yang antara lain adalah:
1. Kandungan al-Qur an sudah lengkap dan sempurna menjadi pegangan bagi umat Islam.
2. Sunnah atau Hadis yang diyakini berasal dari Nabi SAW. hanyalah penyebab
perpecahan umat Islam. Sebab, hadis-hadis ini bertentangan antara satu dan lainnya.
3. Hadis yang dipercayai sebagai wahyu tidak lain dari al-Qur an yang dibacakan Nabi
kepada umat.
Secara resmi, gerakan Inkarussunnah ini telah dilarang oleh para ulama dan Pemerintah
Indonesia sebagaimana tertera dalam fatwa hasil keputusan Komisi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia Pusat tahun 1983 yang ditetapkan di Jakarta, 16 Ramadhan 1403 H/27 Juni 1994
M. dan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia, nomor KEP. 169/J.A/9/1983 dan nomor
KEP.085/J.A/9/1985. Tokoh-tokoh Inkarussunnah yang menulis tentang penolakannya
terhadap hadis Nabi SAW. yang disebutkan namanya oleh Keputusan Jaksa Agung RI di
atas ialah, Abdul Rahman, Moch. Ircham Sutarto, Nazwar Syamsu dan Dalimi Lubis.
Adapun buku-buku yang menyangkal pemikiran Inkarussunnah yang ditulis oleh
orang Indonesia, antara lain:
1. Ahmad Husnan, Gerakan Inkar al-Sunnah dan Jawabannya, Jakarta: Media Dakwah.
2. M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Jakarta:
Gema Insani Press, 1995.
3. Ali Mustafa Ya kub, Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, Agustus 1995.
4. Abduh Zulfidar Akaha, Debat Terbuka Ahlu Sunnah Versus Anti Hadis, Al-Kautsar,
Jakarta, 2006.
5. Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis, Bandung: Citapustaka Media, 2005
20
Dapat disebutkan majalah tersebut antara lain Suara Muhammadiyah, Tabligh, Sabili,
Suara Hidayatullah, Majalah al-Sunnah, dan al-Furqan. Sedangkan surat kabar antara lain
Pelita, Republika, dan Waspada.
201
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010
21
Deden Suparman, Anti Hadis dan Engkar Sunnah: Suatu Kajian Perbandingan Antara
Malaysia dan Indonesia (Disertasi: Jabatan Sejarah dan Tamaddun Islam, 2003), h. 188.
Disertasi ini sangat sedikit membicarakan tentang gerakan anti hadis, baik di Indonesia maupun
di Malaysia. Disertasi ini lebih banyak menguraikan berkenaan dengan hadis dan sunnah
secara normatif.
22
Kasim Ahmad ialah dilahirkan pada tanggal 9 September 1933 di Bukit Pinang, Kedah,
Malaysia. Beliau adalah seorang sarjana lulusan Universitas Malaya (Singapura, 1954-1958;
Kuala Lumpur, 1959-1961). Ijazah Sarjana Muda (B.A. Honours) 1958; Ijazah Sarjana (M.A)
1961. Beliau berpengalaman sebagai pensyarah Bahasa Melayu di School of Oriental & African
Studies, University of London (1960-1962), sebagai pengurus Partai Sosialis Malaya (1968-
1984) dan pernah mendapat anugerah ijazah Doktor Kehormatan oleh Universitas Kebangsaan
Malaysia (1985). Lihat, Kasim Ahmad, Hadis: Satu Penilaian Semula (Petaling Jaya: Media
Intelek, 1986), h. 33.
23
Ibid., h. 65.
24
Ibid., h. 190. Rashad Khalifah adalah pemimpin gerakan anti-hadis di Amerika dan
Eropa. Tujuan gerakan ini ialah menggunting para sarjana-sarjana Barat yang telah memeluk
Islam supaya mereka tidak sampai pada sumber Islam yang sebenarnya yaitu, berpegang
pada al-Qur an dan al-Sunnah (al-hadis). Golongan anti hadis ini menamakan dirinya sebagai
Golongan Qur ani. Lihat, Hj Isa Ismail dan Yusof Hj Wanjor, Inkarussunnah Jarum Yahudi
(Selangor: Thinker s Library SDN. BHD, 1996), h.10.
25
Ishak Hj. Suliaman, Autoriti Hadis, h. 153.
202
Sulidar: Liberalisme Golongan Inkarussunnah di Indonesia dan Malaysia
Dalam hal menanggapi aktivitas yang dilakukan oleh Rashad Khalifah, Syaikh Abd
al- Azîz Baz, yang pada waktu itu sebagai Direktur Umum, Urusan Penyelidikan Fatwa,
Dakwah dan Bimbingan Islam, Saudi Arabia, mengemukakan tausiyahnya dalam
majalah al-Dakwah, yaitu:
Gerakan Inkarussunnah yang dilakukan oleh Rashad Khalifah ialah gerakan batil
dan berbahaya, yaitu mengadakan kegiatan Inkarussunnah dengan cara memutar
balikkan tafsir al-Qur an secara batil. Atas nama Kerajan Arab Saudi, Ibnu Baz
menyerukan kepada seluruh kaum Muslimin/Muslimat agar berhati-hati terhadap
gerakan yang dilakukan oleh Rashad Khalifah dan jangan sampai terpengaruh
dengan ajaran sesat tersebut.26
Semua buku tersebut mengandung tentang penolakan terhadap hadis nabi sebagai
landasan ajaran Islam. Adapun buku-buku yang ditulis oleh ulama Malaysia berkenaan
dengan penyangkalan terhadap pemikiran Inkarussunnah, antara lain:
1. Amalududin Darus, Kasim Murtad atau Muallaf: Sanggahan Terhadap Kassim dan
Bukunya Hadis: Satu Penilaian Semula. Petaling Jaya: Pustaka Abad, 1986.
2. Mahyuddin Haji Yahaya (penyunting), Penjelasan Mengenai Hadis dan Kod 19: Reaksi
Terhadap buku Hadis: Satu Penilaian Semula. Kuala Lumpur: Persatuan Bekas
Mahasiswa Timur Tengah, 1986.
3. Panel Penyelidik Hadis MAIK, Salah Paham Terhadap Hadis: Satu Penjelasan. Kota
Bharu: MAIK, 1986.
26
Al-Dakwah (Agustus, 1983).
203
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010
4. Nahmar Jamil, Dari Kod 19 Kepada Anti Hadis: Nahmar Menjawab Cabaran Kassim
Ahmad. Kuala Lumpur: Pustaka al-Mizan, 1986.
5. Muhammad Abdul Rauf, Irrationality of the Anti-Hadis Heretics. Kuala Lumpur: JAKIM, t.t.
6. Said Hj. Ibrahim, Penolakan Terhadap Penilaian Semula Hadis. Kuala Lumpur: Media
Hasda, 1987.
7. Abdul Ghani Shamsuddin dan Engku Ibrahim Ismail, Kedudukan Hadis dalam Islam.
Kuala Lumpur: Persatuan Ulama Malaysia, 1987.
8. Panel Fakulti Pengajian Islam UKM, Jawapan kepada Buku Hadis Satu Penilaian
Semmula. Bangi: FPIUKM, 1988.
9. Mohd. Khir Zahri Abdul Ghani, Ulasan Buku Hadis Satu Peninjauan Semula, 1989.
10. Mahmud Saedon Awang Othman. Al-Sunnah: Kedudukan dan Peranannya di dalam
Syariah Islam. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990.
11. Abd. Halim El-Muhammady, Islam dan al-Hadis: Satu Analisis ke Atas Usaha-Usaha
Merosakkan Peribadi dan Autoriti Rasulullah SAW. Petaling Jaya: ABIM, 1991.
12. Mahmud Zuhdi Abd. Majid, Beberapa Pemikiran Tentang Ijtihad, Islam dan Tajdid.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1994.
13. BAHEIS, Clarification on the Inkarussunnah Concept. Kuala Lumpur: BAHEIS, JPM, 1996.
14. Mustaffa Suhaimi, Kemelut Terkini Anti Hadis, Kuala Lumpur: Milia Publications, 1996.
15. Hj Isa Ismail/Yusof Hj Wanjor, Anti Hadis-Jarum Yahudi, Selangor Darul Ehsan:
Thinker s Library SDN. BHD, 1996.
16. Abdul Fatah Haron Ibrahim, Kod 19 Menyesatkan, Kuala Lumpur: Yayasan Dakwah
Islamiyah Malaysia.
17. Akmal Hj. Mhd. Zain, Membongkar Kekeliruan Firqah Inkar al-Sunnah. Kuala Lumpur :
JAKIM, 1998.
18. Adlan bin Abd. Aziz, Soalan Hadis, Kuala Lumpur, 2005
19. Ishak Hj. Suliaman, at al., Autoriti Hadis Menangani Gerakan Antihadis. Kuala Lumpur :
Penerbit Universiti Malaya, 2007.
Dari gambaran di atas, bisa dikatakan masyarakat Malaysia menolak segala bentuk
pemahaman Inkarussunnah. Kendati demikian, paham Inkarussunnah tidak dapat
dihentikan, karena ia dipublikasikan lewat website yang mereka miliki. Tetapi, dengan
adanya pelbagai buku, majalah, surat kabar dan pelbagai bentuk lainnya yang menolak
paham Inkarussunnah dapatlah mencegah tersebarnya paham Inkarussunnah di
lingkungan masyarakat Islam.
Penutup
Bila ditelah gerakan Inkarussunnah, baik di Indonesia maupun di Malaysia, ada
beberapa hal yang melatarbelakanginya, kendatipun tidak persis sama, yaitu Pertama.
204
Sulidar: Liberalisme Golongan Inkarussunnah di Indonesia dan Malaysia
Pustaka Acuan
Ahmad, Kasim. Hadis: Satu Penilaian Semula. Petaling Jaya: Media Intelek, 1986.
Akaha, Abduh Zulfidar. Debat Terbuka Ahl Sunnah Versus Anti-Hadis. Jakarta: Al-Kautsar.
2006.
Crone, Patricia. Roman, Provincial and Islamic Law. Cambridge: Cambridge University
Press, 2002.
Al-Dakwah. Agustus, 1983.
Al-Fayyumî, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbah al-Munîr fî Gharib al-Syarh al-Kabîr lî
al-Rafi î, juz II. Beirut: Dâr al-Kutub al- Ilmiyah, 1978.
Husnan, Ahmad. Gerakan Ingkar Sunnah dan Jawabannya. Jakarta: Media Dakwah. 1981.
Indopos. 5 Oktober 2003.
Ismail, Hj. Isa dan Yusof Hj. Wanjor. Inkarussunnah Jarum Yahudi. Selangor: Thinker s
Library SDN. BHD, 1996.
205
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010
Ismail, M. Syuhudi. Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya. Jakarta:
Gema Insani Press, 1995.
Al-Khatib, Muhammad Ajjaj. Ushûl al-Hadits Ulûmuhu wa Mustalahuh. Beirut: Dâr al-
Fikr, 1989.
Suara Hidayatullah. 05 Juni 2004.
Suliaman, Ishak Hj. et al.. Autoriti Hadis Menangani Gerakan Anti-Hadis. Kuala Lumpur:
Universiti Malaya, 2007.
Suparman, Deden. Inkarussunnah dan Engkar Sunnah: Suatu Kajian Perbandingan
Antara Malaysia dan Indonesia. Disertasi, Jabatan Sejarah dan Tamaddun Islam
Universiti Malaya, 2003.
Al-Suyuthî, Jalâl al-Dîn. Tadrib al-Rawi fî Syarh Taqrib al-Nawâwî, juz II. Beirut: Dâr al-
Fikr, 1988.
Al-Tahhan, Mahmud. Taisir Mustalah al-Hadits. Beirut: Dâr al-Qur ân al-Karîm, 1979.
Wahid, Ramli Abdul. Studi Ilmu Hadis. Bandung: Citapustaka Media, 2005.
Wahid, Ramli Abdul. Telaah Terhadap Paham dan Argumen Inkar Sunnah. Medan: Pusat
Penelitian IAIN-SU, 2007.
Wakin, Jeanette. Remembering Joseph Schacht (1902 1969). Cambridge: Occasional
Publications, 2003.
206
QISHÂSH: HUKUMAN MATI DALAM
PERSPEKTIF AL-QURAN
Chuzaimah Batubara
ÀÁÂÃÄÅÁÆ ÇÈÁÉÊËÁÌ ÍÎÍÏ ÇÃÐÁÅÑÉÁ ÒÅÁÉÁÓ
ÔÄÕ ÖÊÄÄÑÐ ÍÆÂÁ×ØÁÉ ÙÁÆÁÉ Ú ÛÑØÁ× ÜÆÅÁÅÑÓ ÝÞßàá
ÑÐÁÊÄâ ãÌÃäÁÊÐÁÌåæÈÁÌççÕãçÐ
Kata Kunci
âsh, al-Qur an
Pendahuluan
Telah dipahami secara umum bahwa syariat diturunkan oleh Allah dalam bentuk
hukum-hukum taklîfî, baik berupa perintah maupun larangan yang ditujukan untuk
mewujudkan dan melestarikan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di
akhirat. Secara spesifik, pembebanan syariat bagi manusia ditujukan kepada lima hal,
yaitu pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.1 Ketika kelima hal pokok ini
tidak terjamin atau terusik, maka kemaslahatan, keselamatan dan perkembangan individu
manusia, keteraturan sosial dan kesejahteraan masyarakat menjadi mustahil didapatkan.
Jadi, bila salah satu dari lima unsur penting ini tidak terpelihara, akan lahirlah malapetaka
1
Alî Hasballah, Ushûl al-Tasyrî al-Islâmî (Mesir, Dâr al-Ma ârif, t.t.), h. 296.
½¾¿
MIQOT !"#$%$&'$( )*)
+,-. /,012.,3 45,2 6,2,7 .0.8 29-,:, 5.06,;,0 <,0- 6,=,5 /9>1?16;,0 6,0 /9/9:.@,7,
:./, =A;A; .0. @,712 6.:,;1;,0 6,0 6.=97.05,@ A:9@ ,-,/,8 6,0 29+,:.;0<, 295.,=
5.06,;,0 <,0- /90-,0B,/ ;9:./,0<, 6.@,7,/;,0 ,5,1 @,712 6.@.06,7;,03
C.06,;,0 =.6,0, DjarîmahE <,0- /90-,0B,/ :./, 10217 ;9/,2:,@,5,0 1/,5 /,012.,
59729+15 597+,-. ;9=,6, 61, +9051;8 <,.51F G975,/,8 5.06,; =.6,0, <,0- /90--,0--1
;9=905.0-,0 =7.+,6. Dhaqq al- âdamiEH ;961,8 5.06,; =.6,0, <,0- /90--,0--1 ;9=905.0-,0
=1+:.; Dhaqq AllâhE3 I,0- =975,/, +97@1+10-,0 690-,0 ;9@A7/,5,0 0<,>, 6,0 ,0--A5,
51+1@ /,012.,8 6,0 <,0- ;961, +97@1+10-,0 690-,0 ;9@A7/,5,0 ,-,/,8 ;951710,08 6,0
;9,/,0,0 =1+:.;3J G,6, =7.02.=0<, 6,:,/ @1;1/ =.6,0, K2:,/8 29:171@ 5.06,; =.6,0,8 +,.;
<,0- /9:,0--,7 @,;L@,; =7.+,6. .06.M.61 /,1=10 ;9=905.0-,0 1/1/8 29+90,70<, ?1-,
/9:,0--,7 @,;L@,; 4::,@ NOC38 29+,+ ,6,:,@ @,; 4::,@ 597@,6,= @,/+,L@,/+,LP<, ,-,7
/979;, /90?,1@. 29-,:, :,7,0-,0LP<,3 G909/=,5,0 ?90.2 @1;1/ =.6,0, K2:,/ ,=,;,@ @,;
/,012., ,5,1 @,; 4::,@ 29/,5, @,0<, 1051; /9:.@,5 ;9=905.0-,0 /,0, <,0- :9+.@ 6.71-.;,08
6,0 2.,=, <,0- +97>90,0- 6,:,/ =7A292 9;29;12. 597@,6,= =9:,;1 5.06,; =.6,0,3 Q
N9B,7, -,7.2 +92,78 ;9?,@,5,0 =.6,0, 6,:,/ @1;1/ K2:,/ 597+,-. 6,:,/ +9+97,=, ?90.28
<,.51F G975,/,8 =.6,0, hudûd 29=975. +97R.0,8 /90B17.8 ;9:1,7 6,7. ,-,/, K2:,/ DriddahE8
/9/+97A05,; 597@,6,= =9/97.05,@,0 <,0- 2,@ (bughah)8 /90161@ A7,0- :,.0 +97R.0,
DqadzfE8 /.01/ /.01/,0 <,0- /9/,+1;;,0 Dsyarb al-khamrE8 6,0 /97,/=A;3 S,59-A7.
.0. 6.;9:A/=A;;,0 ;9=,6, 5.06,; =.6,0, <,0- :9+.@ +,0<,; /90--,0--1 ;9=905.0-,0
1/1/ Dpublic interestE8 >,:,1=10 ;9=905.0-,0 .06.M.61 ?1-, 51715 597-,0--13 G9:,;10<,
,;,0 6.9;29;12. A:9@ @,;./ ,5,1 =90-1,2, Dwaliy al-amrE 29+,-,. public authority3 S961,8
=.6,0, qishâsh 29=975. /9/+101@ 6,0 295.,= 5.06,;,0 =9:1;,,0 51+1@ ,5,1 ,0--A5, +,6,03T
N,:,@ 2,51 =97/,2,:,@,0 @1;1/ =.6,0, K2:,/ <,0- /906,5,0-;,0 +,0<,; 79,;2.
6,7. /,2<,7,;,5 1/1/ ,6,:,@ @1;1/,0 /,5. <,0- 597/,21; 6,:,/ +9051; =.6,0,
qishâsh /92;.=10 =9:1;,,0 ,0--A5, +,6,0 ,5,1 51+1@ ?1-, /,21; ;,59-A7. qishâsh3
U,.; 6. K06A092., /,1=10 6. 09-,7,L09-,7, :,.00<,8 29?,; 6,@1:1 =97/,2,:,@,0 qishâsh8
;@12120<, @1;1/,0 /,5.8 59:,@ /9/+,0-;.5;,0 792=A02 6,7. 295.,= :,=.2,0 /,2<,7,;,5
690-,0 +97+,-,. =906,=,5 /92;. 29/1,0<, +97/1,7, =,6, =7A 6,0 ;A057, 597@,6,=
=9:,;2,0,,0 @1;1/,0 /,5. .0.3 V G7,;5.; =90?,51@,0 @1;1/,0 /,5. /,2.@ 595,=
6.?,:,0;,0 1051; +97+,-,. ?90.2 5.06,; =.6,0, 29=975. =9/+101@,08 ;,212 0,7;A+, 6,0
=90<97,0-,03 U,@;,0 =97/,2,:,@,0 .0. 59:,@ /90.0-;,5;,0 21@1 =9769+,5,0 6.
WX!YZ[ \'û al-Hamid Ahmad Mûsâ, Al-Jarâ im wa al- Uqûbât fî al-Syarî ah al-Islâmiyah
(Kairo: Jâmiah al-Azhar, 1975), h. 36-37.
3
Abd al-Qadir Audah, Al-Tasyrî al-Jinâ i al-Islâmi (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1993),
h. 206.
4
Ibid., h. 205.
5
Seputar opini para ahli dan masyarakat dapat dilihat, Hendardi, Hak Hidup dan Hukuman
mati, di dalam http://artikel.sabda.org/hak_hidup_dan_hukuman_mati, diunduh 17 Oktober 2008;
Pan Muhamed Faiz, Hukuman Mati dan Hak untuk Hidup, di dalam http://jurnalhukum.blogspot.
`abcdefda gdhbidjdk Qishâsh lmbnbfdo pdhe qdrdf stjuvtnhew drxybjdoz
ÚÛÜÛ qishshâh ÝÚÞßÛàá ÚÛâãäÛ åâÛäæ çÛäæ èãâÚÞßÛà éãäæÞÚêÜÞ ëãâÞßÜÞìÛ çÛäæ íÞÚÞßÛàÚÛääçÛ
ÜÛàÛë íãéÞ ÜÛàÛë ßãßêÛÞ íãäæÛä ÚâåäåîåæÞß ÚãïÛíÞÛääçÛð ñ ßãèÛæÛÞéÛäÛ ÜãâÜêÛäæ íÛîÛé
èãèãâÛëÛ ÛçÛÜ òîóôêâÛäõ ÝSesungguhnya ini adalah kisah yang
benaráö÷ ÝMaka Sesungguhnya akan Kami kabarkan
kepada mereka (apa-apa yang telah mereka perbuat), sedang (Kami) mengetahui (keadaan
mereka), dan Kami sekali-kali tidak jauh (dari merekaáöø ÝKami
menceritakan kepadamu kisah yang paling baikáö ùú
ÝSesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang
mempunyai akaláöùù íÛä ÛçÛÜ Ýdan menceritakan kepadanya cerita
(mengenai dirinyaáû ùü
ýãéãäÜÛâÛ qishâsh ßãäíÞâÞ èãâéÛÚäÛð ùþ ÛâÜÞäçÛ éãäæÞÚêÜÞÿéãéèÛîÛß
ëãäêéëÛàÛä íÛâÛà íãäæÛä èãäÜêÚ ëãâèêÛÜÛä çÛäæ ßÛéÛû èä Ûäàûr dalam bukunya
Lisân al-Arab menyebutkan: 14
,
maksudnya qishâsh itu suatu hukuman yang ditetapkan dengan cara mengikuti bentuk
tindak pidana yang dilakukan seperti bunuh dibalas bunuh atau pelukaan dibalas dengan
melukai. Mufassir Muhammad Alî al-Sâis menyatakan qishâsh berarti diperlakukan (kepada
seseorang) sama dengan apa yang dilakukan. Ketika seseorang diperlakukan seperti apa
yang dia lakukan, maka itu akan memberikan bekas (dampak yang sama) kepadanya.15
Hukuman mati masuk kategori hukuman qishâsh karena hukuman ini sama
dengan tindak pidana yang dilakukan, yang mengakibatkan hukuman qishâsh tersebut,
seperti membunuh dibalas dengan membunuh dan memotong kaki dibalas dengan
pemotongan kaki pelaku tindak pidana tersebut.
Al-Quran sendiri memberikan isyarat bahwa yang dimaksud dengan qishâsh ialah
sanksi hukum yang ditetapkan dengan semirip mungkin (yang relatif sama) dengan
tindak pidana yang dilakukan sebelumnya. Isyarat semacam ini dapat ditemukan pada
Q.S. al-Baqarah/2: 178-179 dan al-Mâ idah/5: 45.16 Dengan kata qishâsh, al-Quran
7
Al-Râghib al-Ashfahânî, Mufradât Alfâzh al-Qur ân, Cet. III (Beirut: Dâr Asy-Syâmiyyah,
t.t), h. 671.
8
Q.S. Ali Imrân/3: 62.
9
Q.S. al-Arâf/7: 7.
10
Q.S. Yûsuf/12: 3.
11
Q.S. Yûsuf /12: 111.
12
Q.S. al-Qashash/28: 25.
13
Al-Ashfahânî, Mufradât, h. 672.
14
Ibn Manzhûr, Lisân al-Arab, juz VII (Beirut: Dâr Shâdir, t.t.), h. 73.
15
Muhammad Alî as-Sâis, Tafsîr Ayât al-Ahkâm, Jilid II (Beirut: Dâr Ibn Katsîr, t.t.),
h.129.
16
Penjelasan umum mengenai makna ini, lihat Cholidi, Qishâsh , di dalam Ensiklopedia
al-Qur an: Kajian Kosa Kata, ed. M. Quraish Shihab (et al), vol. 3 (Jakarta: Lentera Hati,
2007), h. 772-774.
ÃÄÅ
Qishâsh
!"#$%&'( #!)*+)*$,%$) $-.$ $/$ 0$)* (+1$%'%$) ,!"-$($/ /!1$%' %!2$-$,$) /$($
-$%+%$,)0$ -$)0$ #!)*+%', 3$"$ ($) $%+ $, /!"1$%'$))0$ ,!"-$($/ &+ %4" $)5
6$,$ 7al-qishâsh8 ,!"3$),'# ($1$# 91:;'"$) &! $)0$% < %$1+= 0$+,' ($1$#
;5>5 $1:?$@$"$-ABC DEF= DEG= ($) DG< &!",$ ;5>5 $1:Hâ idah/5: 45. Keempat ayat ini
menggunakan kata qishâsh yang merujuk kepada salah satu dari alternatif sanksi hukum
bagi tindak pidana tertentu. Alternatifnya dimaksud adalah jenis hukuman qishâsh
termasuk hukuman mati dan diyah (hukuman berupa pembayaran dengan sejumlah
unta atau sesuatu yang bernilai ekonomis lainnya). Hukuman dasarnya adalah qishâsh.
Dengan demikian apabila tidak dilakukan kebijakan tertentu oleh yang berhak dan
berwenang maka hukum qishâsh yang harus dilakukan.
Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (al-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas)
dengan jiwa, mata dengan mata.18
17
N. J. Coulson, A History of Islamic Law (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1964),
h. 18.
18
Q.S. Al-Mâ idah/5: 45.
MIQOT KLMN OOOPK QLN R STMUVWXYXZ[X\ R]^]
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishâsh berkenaan dengan orang-
orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan
wanita dengan wanita. Maka Barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya,
hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi
maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang
demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa
yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.~
nbn ef _bljdm n`f`mbf}ibf od obhbn lbjdmf|b asbâb al-nuzûl b|bl dfd nbn pek
kqbnnbo def ped bldn n`mdab|blibf{
`hbq oddfmnbjdibf i`gbob ibnd h`q pek kmbq{
bq|b def peokhhbq def skibdm{ peokhhbq def kqdbq{ obf plqb def dfbm obmd bdo def kebdm
n`f}`fbd dmnbf phhbq{ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishâsh
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, yakni apabila dilakukan dengan sengaja orang
merdeka dengan orang merdeka `m`ib n`f}blbibf ebqab gbob abilk dlk bob okb jkik
ebf}jb pmbe jbhdf} e`mg`mbf} gbob nbjb cbqdhd|bq{ e`e`mbgb abilk j`e`hkn oblbf}f|b jhbn
bib{ od bflbmb n`m`ib l`mcbodhbq g`nekfkqbf obf g`hkibbf{ j`qdf}}b n`m`ib n`nekfkq
ekobirekobi obf ibkn abfdlb{ i`nkodbf j`eb}dbf n`m`ib ldobi n`nebhbj blbj j`eb}dbf
|bf} hbdf j`qdf}}b oblbf}f|b b}bnb jhbn bhbq jblk obmd i`okb jkik dlk e`mldfobi e`mh`edqbf
l`mqbobg |bf} hbdf obhbn cknhbq obf qbmlb bflbj n`m`ib n`f}bobibf cbfcd j`ldb j`bmb
dfl`mfbh ebqab n`m`ib ldobi m`hb j`qdf}}b n`m`ib n`nekfkq mbf} n`mo`ib j`ibhdgkf mbf}
dlk knb n`nekfkq ekobi jbcb{ obf n`nekfkq hbidrhbid n`jidgkf hbidrhbid dlk qbf|b
n`nekfkq j`mbf} g`m`ngkbf _`nkodbf lkmkfhbq b|bl od blbj{ Orang merdeka (dibalas)
dengan (membunuh) orang merdeka, budak dengan budak, dan perempuan dengan perempuan
`bmb knkn b|bl od blbj e`mnbifb g`f`lbgbf j|bmdbl qkiknbf qishâsh
e`mi`fbbf mbf} |bf} odekfkq{ |bf} odhbikibf o`f}bf j`f}bcb{ |bdlk mbf} n`mo`ib
odqishâsh ibm`fb n`nekfkq mbf} n`mo`ib{ ekobi o`f}bf ekobi{ obf abfdlb o`f}bf
abfdlb `lbgd cdib i`hkbm}b l`mbfdb|b df}df n`nbbibf o`f}bf n`f}}k}kmibf jbfijd
orang yang beriman¤¥ ¦§¨© ª«¨©¬¦§®§¯°§¨ §±§¨¦§ ²³°³ª ¦§¨© §°§¨ ±¬¯«®§¨©°§¨´ µ§®¬
¶§¨©©¬·§¨ ¬¨¬ «¸·§²¹¸·§² º··§² ª«¨©§¯§°§¨» ¼§®«¨§ °§ª³ ¯«·§² ª«¨¦§¯§°§¨ °«¬ª§¨§¨ª³
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
Ä«ª¿«¿§¨§¨ ¬¨¬ ±¬¯«®§¶°§¨ º··§² ²§¨¦§ °«¶§±§ ¸®§¨©¹¸®§¨© ¦§¨© ¿«®¬ª§¨ °§®«¨§
¬±«¨¯¬¯§ ½¬ª§¨¤ ª«ª¬·¬°¬ °¸¨«°³«¨¬ ¿§²À§ ¦§¨© ¿«®§¨©°³¯§¨ §°§¨ ª§³ ª«¨«®¬ª§
«©§·§ «³§¯³ ¦§¨© ±§¯§¨© ±§®¬ º··§²´ Å«®«°§ ¿«®¬ª§¨ °«¶§±§ º··§² ¯«¨¯§¨©
atas kamu qishâsh berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh¤ ½¦§¨© ¿«®¿§®¬ ±«¶§¨
§¯§³ madhmum¤ Á³©§ ª«¨³¨Á³°°§¨ ¿§²À§ ¸®§¨© ¦§¨© ¿«®¬ª§¨ ¬°³¯ ¿«®¶«®§¨ ±§·§ª
¶«·§°§¨§§¨ °«¯«¯§¶§¨ ²³°³ª ¬¨¬´ Æ«®¿«±§ ±«¨©§¨ °§¯§ ½kataba¤ ¦§¨© ¯«®¯³§¨©
rasul-Ku pasti menang¥ ¦§¨© ·«¿¬² °«¶§±§ ¶«¨³¨Á³°§¨ ¯¬±§° ¯«®±§¶§¯¨¦§ ¶«®§¨ «®¯§
ÂÂ
ÂÉ
ª§¨³¬§ ±§·§ª °«ª«¨§¨©§¨ ¦§¨© ¯«®È§¨¯³ª ±¬ ±§·§ª¨¦§´
«¿³§² °«ª§·§²§¯§¨´ ͧ· ¬¨¬ ¯«®·¬²§¯ ±§®¬ °«·§¨Á³¯§¨ §¦§¯ ¿«®³¶§ ¶«¨«¯§¶§¨ §¨°¬ qishâsh
°«¶§±§ ¶«ª¿³¨³² ¦§¨© ±«¨©§¨¨¦§ ·§²¬® «¿³§² °«ª§·§²§¯§¨ ¿§©¬ °«®§¿§¯ ¦§¨© ±¬¿³¨³²
½wali ad-dam¤ §©§® ±§¶§¯ ª«¨³¨¯³¯´ Æ«©¬¯³ ¶³·§ «¿§·¬°¨¦§¥ °§®«¨§ «¯¬§¶ ¸®§¨© ª³¨©°¬¨
ª«¨Á§±¬ ¶«ª¿³¨³² §¯§³ ¦§¨© ±¬¿³¨³²´ ¼«¯¬°§ ¬§ ª«¨Á§±¬ ¶«ª¿³¨³²¥ ª§°§ qishâsh ª«¨Á§±¬
¿«¿§¨ ¦§¨© ²§®³ ±¬¯«®¬ª§´ ǧª³¨¥ °«¯¬°§ ¬§ ¯«®¿³¨³²¥ ª§°§ qishâsh ª«®³¶§°§¨ °«ª§·§²§¯§¨
ÂÎ
¿§©¬¨¦§´ µ«¨©§¨ ±«ª¬°¬§¨ ¦§®¬§¯ ¬¯³ ª«¨¦«¨¯³² °« «·³®³² ·§¶¬§¨ ª§¦§®§°§¯´
ÏÐ ÑÒû Ja far Al-Thabarî, Jâmi`u al-Bayân fî Ta wîl al-Qur ân, juz III (Mu assasah al-Risâlah,
2000), h. 357.
22
Q.S. al-Mujâdilah/58: 2.
23
Muhammad Mutawally Sya râwî, Tafsîr al-Sya râwî, jilid V (t.t.p., t.t.), h. 758.
24
Ibid.
¡¢£
MIQOT Ö×ØÙ ÚÚÚÛÖ Ü×Ù Ý ÞßØàáâãäãåæãç Ýèéè
diwajibkan atas kamu qishâsh berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka
dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanitaêëìí îïðï ñòïóï
ôõö÷ øïù úïôûõð ûüîïýïú þï÷ÿï ï ïú õùõ óüùüúïîýïù ýüÿïõþïù óüùüðïîýïù qishâsh ñùúñý
ïùúïðï îïðï ñòïóï øïù îïýïð ÷ñýñó óüùüùïõ þüùúñý øïðõ îüóþñùñ÷ïù ûüùïïë
ïîïýï÷ ðïù ïù óüðøüýï øõ qishâsh ïúïû îüóþñùñ÷ïù ïù øõï òïýñýïù úüð÷ïøïî
ûüðïù ÷ïóþï ïúïñ úõøïýë ïúïñ ðïù óñûòõó ýüîïøï ðïù ýïôõð ïúïñ ï÷òõ øõóóõ
óïó þû Hanîfah menilai bahwa ayat di atas bersifat umum untuk seluruh
pembunuhan, baik yang dilakukan oleh orang merdeka kepada seorang hamba dan
sebaliknya, ataupun seorang dzimmi kepada seorang Muslim dan sebaliknya. 26 Selain
dasar pikiran di atas, Imam Abû Hanîfah juga menyatakan bahwa pernyataan
hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu qishâsh berkenaan dengan orang-
orang yang dibunuh
dan ungkapan
orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita
25
Q. S. al-Baqarah/2: 178.
26
Alî as-Sâis, Tafsîr Ayât al-Ahkâm, jilid II (Beirut: Dâr al-Qâhirah, t.t.), h. 131.
27
Ibid.
ÓÔÕ
Chuzaimah Batubara: Qishâsh (Hukuman Mati dalam Perspektif al-Qur an)
Dalam kasus ini terlihat bahwa para ulama dan Imam Qurthubî meletakkan ketentuan
ayat (diwajibkan atas kamu qishâsh berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh) dan juga ayat
(dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas)
dengan jiwa,31 sebagai lafaz âm (umum) yang kemudian ditakhshîsh (dikhususkan) oleh
hadis di atas.
Beberapa riwayat menyebutkan bahwa (diwajibkan
atas kamu qishâsh berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh) dinasakh oleh ayat 45
surah al-Mâ idah (dan Kami telah tetapkan
terhadap mereka di dalamnya (al-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa) yang
turun sesudahnya dan yang menjadikan pembalasan pembunuhan terhadap suatu jiwa
dengan dihukum bunuh juga si pelaku sendiri secara mutlak.
Akan tetapi, menurut Sayyid Quthb, surah al-Baqarah ayat 178 itu memiliki tempat
yang berbeda dengan ayat an-nafsu bin nafsi (jiwa dibalas dengan jiwa, Q.S. al-Mâ idah/
29
Abû Abd Allâh Muhammad bin Ahmad al-Anshârî al-Qurthubî, al-Jâmi` al-Ahkâm al-
Qur`ân, juz IX (Cairo: Dâr al-Hadîts, t.t.), h. 636.
30
Ibid., h. 636-637.
31
Q.S. al-Mâ idah/5: 45.
(Dan ingatlah nikmat Allah atas kamu ketika kamu bermusuhan maka Allah menyatukan
hati kamu maka jadilah kamu bersaudara berkat nikmat-Nya).37 Kata dalam ayat ini
menunjukkan bahwa masih terdapatnya pertentangan dan pertikaian antara mereka.
Oleh karena itu, Allah tidak menyebutkan kata dalam menjelaskan tali persaudaraan
yang terjalin antar mereka.
Terkait dengan pemikiran ini, ungkapan (saudaranya) pada Q.S. al-Baqarah/
2: 178 menurut Sya rawi mengisyaratkan suatu keindahan makna Al-Quran. Allah
menggunakan kata ini untuk melunakkan hati mereka yang sedang bertikai, serta
menunjukkan bahwa sekalipun pertikaian terjadi, namun persaudaraan seiman jangan
sampai terputus. Meskipun saudara berhak menuntut balas karena korban memiliki
aliran darah yang sama, namun Allah lebih mengedepankan hubungan seiman dari
semua hubungan persaudaraan.38
Menurut Imam Syafi i, ayat ini menegasi tentang kemaafan untuk konteks tindak
pidana pembunuhan dengan sengaja.39 Tawaran pemberian maaf kepada pelaku pembunuhan
33
Al-Anshârî al-Qurthubî, al-Jâmi al-Ahkâm al-Qur ân, juz IX, h. 636-637.
34
Q.S. al-Isrâ/17: 33.
35
Al-Raghib al-Ishfahânî, Mufradât Alfâzh al-Qur ân, h. 68.
36
Q.S. Âli Imrân/3: 156.
37
Q.S. Âli Imrân/3: 103.
38
Sya râwî, Tafsîr al-Sya râwî, h.761.
39
Muhammad ibn Idrîs asy-Syâfi î, al-Umm, juz V (Beirut: Dâr al-Fikr, 1985), h. 4, 6, 13.
~
MIQOT ¬®¯ °°°±¬ ²¯ ³ ´µ®¶·¸¹º¹»¼¹½ ³¾¿¾
ÀÁÂÃÄÂ ÅÁÂÃÄÆÄ ÇÂÇ ÈÄÃÇÉÈÄÃÇ ÀÇÈÄÊÄËÌÁÈÄÍÄÂÃÇ ÎÈÁÏ ÐÁÂÎÑÁÂÄ ÒÄÂÃ ÊÁËÆÄÀÇ ÓÄÀÄ ÅÁÌÄÃÇÄÂ
ÑÄÅÒÄËÄÍÄÊ ÔÄÏÇÈÇÒÄÏ ÀÇÑÄÂÄ ÑÁËÁÍÄ ÑÁÂÕÂÊÕÊ ÀÁÂÃÄÂ ÊÁÃÄÅ ÄÃÄË ÅÁÊÇÄÓ ÎËÄÂÃ ÒÄÂÃ
ÑÁÑÌÕÂÕÏ ÎËÄÂà ÈÄÇ ÆÕÃÄ ÀÇÌÕÂÕÏÖ×Ø
ÔÄÕÏ ÅÁÌÁÈÕÑ ÑÄÅÄ ÔÄÏÇÈÇÒÄÏÙ ÕÑÄÊ ÚÄÌÇ ÛÕÅÄ ÆÕÃÄ ÅÕÀÄÏ ÑÁÂÃÁÂÄÈ ÄÀÄÂÒÄ ÏÕÍÕÑ
qishâsh ÒÄÂÃ ÀÇÌÁËÇÍÄÂ ÍÁÓÄÀÄ ÓÁÈÄÍÕ ÓÁÑÌÕÂÕÏÄÂÖ ÚÄÑÕÂÙ ÍÁÊÁÂÊÕÄÂ ÏÕÍÕÑ ÑÁËÁÍÄ
ÊÇÀÄÍ ÑÁÂÃÁÂÄÈ ÄÀÄÂÒÄ ÓÁÑÌÁËÇÄÂ ÑÄÄÐ ÌÄÃÇ ÒÄÂÃ ÑÁÂÃÏÇÈÄÂÃÍÄÂ ÂÒÄÜÄ ÎËÄÂÃ ÈÄÇÂÖ
ÝÁËÊÎÈÄÍ ÌÁÈÄÍÄÂÃ ÀÁÂÃÄÂ ÍÁÊÁÂÊÕÄÂ ÇÂÇÙ ÓÄÀÄ ÕÑÄÊ ÚÄÌÇ ÞÅÄ ÆÕÅÊËÕ ÓÁÑÌÁËÇÄÂ ÑÄÄÐ
ÑÁËÕÓÄÍÄ ÅÁÌÕÄÏ ÍÁÜÄÆÇÌÄ ÄÃÄÑÄ ÒÄÂà ÏÄËÕÅ ÀÇÈÄÍÅÄÂÄÍÄÂÙ ÀÄ qishâsh ßÁÂÀÁËÕÂÃ
ÀÇÈÄËÄÂà ÕÂÊÕÍ ÀÇÊÁËÄÓÍÄÂÖ àÁÊÁÈÄÏ ÞÅÈÄÑ ÀÄÊÄÂÃÙ ÍÁÜÄÆÇÌÄ qishâsh ÓÄÀÄ ÕÑÄÊ ÚÄÌÇ
ÛÕÅÄ ÀÄÂ ÍÁÜÄÆÇÌÄÂ ÓÁÑÌÁËÇÄÂ ÑÄÄÐ ÓÄÀÄ ÕÑÄÊ ÚÄÌÇ ÞÅÄ ÀÇÓÄÀÕÍÄÂÙ ÅÁÏÇÂÃÃÄ ÍÁÀÕÄ
ÍÁÜÄÆÇÌÄ ÇÊÕ ÑÁÂÆÄÀÇ ÅÁÑÄßÄÑ ÊÄÜÄËÄ ÄÊÄÕ ÓÇÈÇÏÄ ÏÕÍÕÑ ÀÁÂÃÄ ÊÄÑÌÄÏÄ ÊÄÜÄËÄÂ
ÓÁÑÌÁËÇÄÂ ÀÇÄÊ ÌÄÃÇ ÍÁÈÕÄËÃÄ ÍÎËÌÄÂ ÕÂÊÕÍ ÑÁÂÁÂÊÕÍÄÂ ÓÇÈÇÏÄÂ ÏÕÍÕÑÂÒÄ ÍÄËÁÂÄ
ÅÄÈÄÏ ÅÁÎËÄÂà ÀÇ ÄÂÊÄËÄ ÑÁËÁÍÄ ÀÇÈÁÂÒÄÓÍÄ ÂÒÄÜÄÂÒÄ ÅÁßÄËÄ ÅÁÂÃÄÆÄ ÎÈÁÏ ÎËÄÂà ÈÄÇÂÖ×á
âÁÊÁÂÊÕÄ ÓÁÑÌÁËÇÄ ÑÄÄÐ ÀÇÓÁËÊÁÃÄÅ ÎÈÁÏ ÏÄÀÇÅ ÚÄÌÇ ÒÄÂà ÀÇËÇÜÄÒÄÊÍÄ ÎÈÁÏ ÄÊÉãÇËÑÇäÇ
ÀÄËÇ åÌÕ àÒÕËÄÇÏ ÄÈÉâÄÌÇ ÒÄÂà ÇÅÇÂÒÄæ
×î
Barangsiapa yang salah seorang anggota keluarganya dibunuh maka keluarganya dihadapkan
pada dua pilihan hukum, jika mereka mau, mereka dapat mengeksekusi mati (qishâsh) si
pembunuh, dan jika mereka mau, mereka dapat menerima diat. çèéÖ åÈÉãÇËÑÇÀäÇêÖ
ëÁÑÄÄÐÄ ÇÂÇ ÀÁÂÃÄ ÀÇÊÁËÇÑÄÂÒÄ ÀÇÄÊ ÎÈÁÏ ÍÁÈÕÄËÃÄ ÊÁËÌÕÂÕÏ ÀÄËÇ ÓÁÑÌÕÂÕÏ
ÅÁÌÄÃÄÇ ÇÑÌÄÈÄÂ ÅÁÏÇÂÃÃÄ ÓÁÈÄÍÕ ÍÁÆÄÏÄÊÄÂ çÓÁÑÌÕÂÕÏê ÇÊÕ ÊÇÀÄÍ ÀÇÌÄÈÄÅ ÌÕÂÕÏÖ åÓÄÌÇÈÄ
ÍÁÈÕÄËÃÄ ÅÇ ÊÁËÌÕÂÕÏ ÇÊÕ ÑÁÂÁËÇÑÄ ÀÄÂ ÑÁËÁÈÄÍÄÂÂÒÄÙ ÑÄÍÄ ÀÇÄ ÀÄÓÄÊ ÑÁÂÕÂÊÕÊ ÓÁÑÌÄÒÄËÄÂ
ÇÊÕ ÀÁÂÃÄ ßÄËÄ ÒÄÂà ÌÄÇÍÙ ËÁÈÄ ÏÄÊÇÙ ÀÄ ÅÇÍÄÓ ÍÄÅÇÏ ÅÄÒÄÂÃÖ ìÄ ÅÁÌÄÈÇÍÂÒÄÙ ÅÇ ÓÁÑÌÕÂÕÏ
ÄÊÄÕ ÜÄÈÇÂÒÄ ÜÄÆÇÌ ÑÁÑÌÄÒÄËÂÒÄ ÀÁÂÃÄÂ ÌÄÇÍ ÀÄÂ ÅÁÑÓÕËÂÄÙ ÕÂÊÕÍ ÑÁÑÌÕÍÊÇÍÄÂ
ÍÁÆÁËÂÇÏÄÂ ÏÄÊÇÙ ÑÁÂÃÎÌÄÊÇ ÈÕÍÄ ÆÇÜÄÙ ÀÄÂ ÑÁÂÃÕÄÊÍÄÂ ÕÂÅÕËÉÕÂÅÕË ÓÁËÅÄÕÀÄËÄÄÂ ÀÇ
ÄÂÊÄËÄ ÑÁËÁÍÄ ÒÄÂÃ ÑÄÅÇÏ ÏÇÀÕÓÙ çhendaklah
(yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma af)
membayar (diat) kepada yang memberi ma af dengan cara yang baik (pula êÖ×í ìÁÂÃÄÂ
ÍÄÊÄ ÈÄÇÂÙ ÓÁÑÌÄÒÄËÄÂ ÀÇÒÄÊ ÀÇÑÇÂÊÄ ÀÁÂÃÄÂ ÌÄÇÍÙ ÕÑÓÄÑÄÂÒÄ ÀÁÂÃÄÂ ÊÇÀÄÍ ÑÁÂÀÁÅÄÍ
ÒÄÂÃ ÑÁÑÌÕÂÕÏÙ ÀÄÂ ÒÄÂÃ ÑÁÑÌÕÂÕÏ ÏÁÂÀÄÍÈÄÏ ÑÁÑÌÄÒÄËÂÒÄ ÀÁÂÃÄÂ ÌÄÇÍÙ
ÕÑÓÄÑÄÂÒÄ ÊÇÀÄÍ ÑÁÂÄÂÃÃÕÏÉÂÄÂÃÃÕÏÍÄÂÂÒÄÖ
åÈÈÄÏ ÊÁÈÄÏ ÑÁÑÌÁËÇ ÂÇÍÑÄÊ ÍÁÓÄÀÄ ÎËÄÂÃÉÎËÄÂà ÒÄÂà ÌÁËÇÑÄ ÀÁÂÃÄ ÅÒÄËÇÄÊ
ïð Ibid¯ñ ò¯ ó¯
ïô Ibid.ñ ò¯ ¿¾¯
ïõ ö®·÷¶½»ø îùñî Sunan al-Tirmîdzîñ úµù ±¬ ûü¹¶½µýþ ¸âr al-Fikr, 1995), h. 56.
43
Q.S. al-Baqarah/2: 178.
©ª«
Chuzaimah Batubara: Qishâsh (Hukuman Mati dalam Perspektif al-Qur an)
yang demikian itu adalah suatu
keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat
qishâsh dan Kami telah tetapkan terhadap
mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa
!
"
qishâsh
Barangsiapa
yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih
#
$
qishâsh
%
"
!
&
' (
! %
!
) *
qishâsh
%
+
,
)
- '
)
qishâsh
)
qishâsh
+
"
! !"! !
.. Ibid.
./ 0121 3456â idah/5: 45.
46
Q.S. al-Baqarah/2: 178.
47
Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur ân, juz I, al-Maktabah al-Syâmilah, h. 136
48
Ibid.
ÿ
MIQOT 9:;< ===>9 ?:< @ AB;CDEFGFHIFJ @KLK
MNOP NQRS TRMRPU NUNVPW XPUY QNZP[ \PUXP[ ZN]PWP^N _V`W \PUXP[ _aPUY XPUY ^`UY[aNQN[
ZPU ^`U_VP[ [`Q`UQRPU ]NZPUP bcVP^ Q`aRQP^P qishâsh WR[R^PU ^PQN c`dPaP ea_UQPV
QPU]P ^`^]`VPMPaNUXPS
fPZNg cPUYPQ cRVNQVPW ^`U`aN^P ]`UZP]PQ XPUY ^`UYPQP[PU \PWOP ]`U`aP]PU
WR[R^PU ^PQN ZPVP^ WR[R^ bcVP^ \`UPah\`UPa ^`VPUYYPa WP[ PiPcN ^PURcNPSjk l`a`[P
QNZP[ ^`^PWP^N \PWOP WR[R^PU ^PQN PQPR qishâsh \R[PUVPW [`]RQRcPU P[WNa QPU]P
ZP]PQ ZN`VP[[PUS mPa`UPg bcVP^ ^`UPOPa[PU ZNXPQ c`\PYPN YPUQN ZPaN qishâshg ZPU
QNUZP[PU ]`^\`aNPU ^PPe PZPVPW c`\RPW ]aNVP[R XPUY cPUYPQ Q`a]RMN ZPU ZNPYRUY[PU
_V`W nVVPWg c`\PYPN^PUP MRYP ZNUXPQP[PU nVhoRaPU
Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, Maka barang siapa memaafkan
dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak
menyukai orang-orang yang zalim.pq
r`aNVP[R ]`^\`aNPU ^PPe MRYP ^`aR]P[PU \`UQR[ ZPaN cN[P] cP\Pa PQPc d_\PPUg
c`\PYPN^PUP ZNRUY[P][PU nVVPWs
Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan
siksaan yang ditimpakan kepadamu, akan tetapi jika kamu bersabar, Sesungguhnya itulah
yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.pt
l`c[N]RU RUQR[ [PcRc ]`^PPePU \`aR]P ]`^\PQPVPU qishâsh NUN \`\`aP]P ]P[Pa
WR[R^ bcVP^ ^PcNW ^`aPYR[PU `e`[QNuNQPcUXP [WRcRcUXP Q`a[PNQ [PcRc ]`^\RURWPU
c`UYPMPS r`U`YPcPU PVhoRaPU ZPU vRUUPW ^`UY`UPN ]`^\`aNPU ^PPe V`\NW ]PZP \`UQR[
QPOPaPU \R[PU [`^`cQNPUS r`^\`aNPU ^PPe RUQR[ [PcRc ]`^\RURWPU Z`UYPU c`UYPMP
NUN ^`URaRQ b\aPWN^ w_c`Ug c`_aPUY ]P[Pa WR[R^ bcVP^ bUZ_U`cNPg \`aQ`UQPUYPU Z`UYPU
cPVPW cPQR QRMRPU ]`^NZPUPPU ZPVP^ WR[R^ ]NZPUP bcVP^g XPNQR RUQR[ ^`^\RPQ ]`VP[R
^`UMPZN M`aPSpx naQNUXPg [`QN[P \PUXP[ [`VRPaYP [_a\PU ]`^\RURWPU c`UYPMP ^`^\`aN[PU
yz {C|}~ FF;}G} FGHC; }J
} Pembaruan Hukum Pidana: Reformasi Hukum
Pidana A}}J~} J}GC: @KK |< D {C|}~ B} ~B;CG} F}JC } CB } BBH}
H}~C };}H |~~}J~CF;<G}I}<:J|}|CB}|BBH}H}~C CBB| L ~:IFJ @KK
} B|}HF }C BBH} }~C } } B~B CB };}H |~~BJ};|BBH<I;:G:~<
:H@KKKFF;C~C}D|BBH |BBH}DH}~CD}D|}<|~H; CBB| L ~:IFJ @KK
} BBH} }~C ~C} FHIFJC F AFJ} };}H Kompas L BG~BG @KK
¡¢ £<¤< };D¤¥¦J} @ K<
¡§ £<¤< };D?}|;L L@<
¡¨ >IJ}|CH :GF AFCGDFCG BBH C}} >G;}H } FJIF}} >~C|} ©;}H} };}H
778
Chuzaimah Batubara: Qishâsh (Hukuman Mati dalam Perspektif al-Qur an)
¬® ¯°±² ±°³¯´ ±°¬µ´¶´·¶¸ ¬¯ ±°¶°¹±¶ ·´¯´¬ ±º²¶ »º²¯ µ°¹¼³¶ °®°¯»º®
´¶»´¯ ¬°¶°¯¶ ³¼´ ¯¹º¬º¶³º»½ ±² ¬½¾¹¯» ²¶ »º²¯ ² ³¿º ±°¹½¶ »¯´» µ¿º
½°½°À¹¶¿ ´¶»´¯ ¬°¶¾°¶¿¼ ¬°¶¿·º³¶¿¯¶ ¶¾Á À¹¶¿ ³º¶Â ú¯ º¶º »°¹¼²º ¬¯
º¶º ¯¶ ¬°¶¼²º ¶Ä¬¶ µ°½¹ µ¿º ¯°¬¶´½º¶Â
Ŷ»´¯ º»´³·¸ Ƭâm Abû Hanîfah dahulu lebih menekankan pemberian maaf hanya
untuk tindak pidana tersalah, pemukulan, penghilangan (salah satu anggota tubuh),
dan jika kualitas tindak pidana tersebut sampai pada tindak pidana menghilangkan
nyawa orang lain secara sengaja maka pemberian maaf itu batal secara hukum. 53
Untuk konteks Indonesia di mana saat ini terjadi tingkat perkembangan kasus-
kasus pembunuhan semakin tinggi dan memprihatinkan karena bentuk pembunuhan
yang begitu sadis dan kejam hingga pemotongan (mutilasi) anggota tubuh pendapat
Abu Hanifah ini layak untuk dipertimbangkan. Dengan penolakan pemberian maaf
dan diyat sebagai ganti qishâsh mungkin dapat menimbulkan rasa takut dan efek jera
individu untuk melakukan kejahatan pembunuhan sengaja yang kejam.
Dan dalam qishâsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang
berakal, supaya kamu bertakwa.54
Penerapannya, dalam Mimbar Hukum No. 2, Tahun VI, Mei-Juni 1995 (Jakarta: al-Hikmah
DITBINPERA Islam), h. 16.
53
Muhammad ibn Ahmad as-Sarakhsî, al-Mabsûth, jilid II (Beirut: Dâr al-Ma rifah, t.t.),
h. 155.
54
Q.S. al-Baqarah/2: 179.
ªª«
MIQOT ÈÉÊË ÌÌÌÍÈ ÎÉË Ï ÐÑÊÒÓÔÕÖÕ×ØÕÙ ÏÚÛÚ
ÇÇÇ
gcab[hi[c j[\aX[^[k Qishâsh lmanai[Y o[\h p[q[i rs^]tsn\hu [qvwa^[Yx
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barang siapa yang
membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan
karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia
seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-
olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Sesungguhnya telah datang kepada
mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian
banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat
kerusakan dimuka bumi )*+,+ -./0-12-34 56 789+
:;<=;>?@-< A-<1 BCD-1. C;E-D- F3?C?C 2-.-G -=-@ 1<1 G;<H1C=-D-@F-< >-3I- F-?G
@;DC;>?@ @;.-3 G;<E-J-1 J?<E-F F;>?D?F-< 2-.-G J;G>?<?3-< F-D;<- =-<H G;D;F-
>?<?3 -2-.-3 G-<?C1-/G-<?C1- C?E1 =-<H 21?@?C K..-3 C;>-H-1 <->1 2-< D-C?./D-C?.+
:;<;@-J-< >-H1 A-<1 BCD-1. 1<1 @12-F >;D.-F? F3?C?CL F;@;<@?-< 1<1 M?H- >;D.-F? >-H1
?G-@ N->1 0?3-GG-2+ K..-3 G;<=;>?@ A-<1 BCD-1. ?<@?F G;<?<M?FF-< GO2;. -J.1F-@1P
@;D3-2-J -@?D-< 2-< -M-D-< ?<@?F G;<H-D-3F-< G-<?C1- J-2- J;<;D-J-< 3?F?G K..-3+
:-D- ?.-G- ?C3?. P1Q3 2-< M?H- -3.1 P1Q3 G;<M-21F-< -=-@ 21 -@-C 2-< =-<H
C;?GJ-G-<=- C;>-H-1 2-.1. =-<H G;<=-@-F-< >-3I- L C=-D1-@
RS
>-H1 OD-<H/OD-<H C;>;.?G F1@- -2-.-3 C=-D1-@ >-H1 F1@- M?H- 1C@1.-3 ?C3?. P1Q3<=-
syar u man qablanâL M1F- C=-D1-@ 1@? 21F;.?-DF-< G;.-.?1 F;@;@-J-< 2-< >;.?G 21<-C-F3+
:;<HH-.-< -=-@
)Barang siapa yang membunuh seorang
manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat
kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. dan
barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah dia telah
memelihara kehidupan manusia semuanya, )*+,+ -./0-12-34 56 789 21 -@-C G;<;H-CF-<
G;<H-J- K..-3 G;I-M1>F-< J;.-FC-<--< qishâsh >-H1 J-D- J;G>?<?3+ T-D1 -=-@ 1<1
@;DG-F@?> J;DC-G--< -<@-D- J;G>?<?3-< @;D3-2-J C;OD-<H G-<?C1- =-<H @12-F >;D2OC-
2;<H-< G;G>?<?3 C;G?- G-<?C1-L 2-< C;>-.1F<=- =-<H G;<=;.-G-@F-< C;OD-<H -<-F
G-<?C1- C-G- 2;<H-< G;<=;.-G-@F-< C;G?- G-<?C1-+
T;<H-< .OH1C 2-< G;<-I-< *?D-1C3 ,313-> G;<HH-G>-DF-< .OH1F- 2-D1 J;D<=-@--<
-=-@ 21 -@-C+
:;D-@?D-< >-1F -J- J?< =-<H 21@;@-JF-< O.;3 G-<?C1- -@-? O.;3 K..-3L J-2- 3-F1F-@<=-
¡ ¢ £
¢ £ ¤ ¥¤
¢ ¦ § ¢
¥ ¢ ¥¥¥¤ ¢¥¥¤
¢ ¢ ¡ ¢ ¤
¨ ¤ ¤
§ ¤
¤ ¤
¦ ©
¢ ¥¤ ¤¤¥ ¢ ¤
¡ ¤ ª¤¤ ¤ ¢ ¤ ¥¤
¢ ¤ ©
§¤ «¬
âthabâ î, sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab, menguraikan makna dari
persamaan itu. Menurutnya, setiap manusia menyandang dalam dirinya nilai
kemanusiaan, yang merupakan nilai yang disandang oleh seluruh manusia. Seorang
manusia bersama manusia lain adalah perantara lahirnya manusia-manusia lain bahkan
seluruh manusia. Manusia diharapkan hidup untuk waktu yang ditetapkan Allah, antara
lain untuk melanjutkan kehidupan jenis manusia seluruhnya. Membunuh seseorang yang
berfungsi seperti yang dijelaskan di atas adalah bagaikan membunuh semua manusia,
yang keberadaannya ditetapkan Allah demi kelangsungan hidup jenis manusia. 59
Di sini terlihat bahwa pendapat Quraish Shihab dan Thabâthabâ î sejalan dengan
teori-teori sosial yang menyatakan bahwa manusia itu adalah makhluk sosial, yang
hidup bersama dan memiliki ketergantungan antara satu sama lainnya. 60 Tidak seorang
pun manusia di muka bumi ini dapat bertahan hidup sendiri. Setiap individu secara
alamiah akan mencari dan bergabung dengan manusia lain dan membentuk sebuah
komunitas (masyarakat). Pemisahan satu individu atau anggota komunitas berarti
mematikan jantung masyarakat tersebut.
Senada dengan pendapat di atas, Thâhir Ibn Âsyûr menegaskan bahwa perumpamaan
yang ditampilkan Al-Quran surah al-Ma idah ayat 32 di atas lebih pada penekanan untuk
mencegah manusia melakukan pembunuhan secara aniaya. Seorang yang melakukan
pembunuhan secara aniaya pada hakikatnya memenangkan dorongan nafsu amarah
dan keinginannya membalas dendam atas dorongan kewajiban memelihara hak asasi manusia
serta kewajiban mengekang dorongan nafsu. Siapa yang menuruti kehendak nafsu seperti
58
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur an, vol. III
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 81-82.
59
Ibid.,
60
Lihat, Stephen K. Sanderson, Makro Sosiologi: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas
Sosial, terj. Farid Wajidi, S. Menno (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), h. 43.
yyz
Chuzaimah Batubara: Qishâsh (Hukuman Mati dalam Perspektif al-Qur an)
°±²³ ´µ¶µ ±°·µ¶ µ·µ ¸µ´°¹µ¹ ²¹±²¶ ±°·µ¶ ´º»µ¶²¶µ¹ ¼µ» ½º¾²¿µ ¿µ·µ ¶º½º´¿µ±µ¹ Àµ¹Á
»µ°¹ ·µ¹ º¾²»µ¹Áò»µ¹Á³ ĵ»µ² ¿²¹ ·º¹Áµ¹ ´º´Â²¹²¼ ½º´²µ ´µ¹²½°µÅ ÆÇ
ȵ¿µ± ·°¶µ±µ¶µ¹ ¸²Áµ µ¼Äµ ¿º¾¹Àµ±µµ¹
ÉBarangsiapa yang membunuh seorang manusia,
bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan
dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya³ ÊÅËÅ Ì»Ã
͵°·µ¼Î ÏÐ ÑÒÓ ´º¾²¿µ¶µ¹ ¿º¹ºÁµ½µ¹ ¶º¼º¹·µ¶ Ì»»µ¼ ±º¹±µ¹Á ¿º´Âº¹±²¶µ¹ ¶º½µ±²µ¹
°´µ¹ ·µ»µ´ ¾µ¹Á¶µ ´º¹Ô°¿±µ¶µ¹ °¶µ±µ¹ ´µ½Àµ¾µ¶µ± Àµ¹Á º¾°´µ¹Å Õµ±µ ´º¹²¾²±
ÆÖ
ËÀµ¾µÄ° ´º´°»°¶° ´µ¶¹µ Àµ¹Á º¾µÁµ´Å ×µ´²¹³ ·µ¿µ± ·°±º±µ¿¶µ¹ ·µ»µ´ ·²µ ´µ¶¹µÐ
غ¾±µ´µ³ ´º´¿º¾±µ¼µ¹¶µ¹ º¶½°½±º¹½° ¾²¼ Àµ¹Á ´º¹ÁÁº¾µ¶¶µ¹ ´µ±º¾°Ù Õº·²µ³ ´º¹Á¼°·²¿¶µ¹
¾²¼ µ±µ² ½¿°¾°± ¶º°´µ¹µ¹ ½º¿º¾±° Àµ¹Á ·°¹Àµ±µ¶µ¹ Ì»»»µ¼Ð
ÉJawablah, apabila Allah dan Rasul menyeru kamu kepada suatu
yang memberi kehidupan kepada kamu³ ÉÊÅËÅ Ì»Ã̹ڵ»ÎÛÐ ÒÜÓ
Õº½µ±²µ¹ °´µ¹ ´º´Â²µ± ½º»²¾²¼ ´²¶´°¹ °Âµ¾µ± ½ºÂ²µ¼ µ·µ¹³ µ¿µÂ°»µ µ·µ ½µ»µ¼
½µ±² µ¹ÁÁݱµ ±²Â²¼¹Àµ Àµ¹Á ½µ¶°±³ ´µ¶µ µ¹ÁÁݱµ »µ°¹¹Àµ °¶²± ´º¾µ½µ¶µ¹Å Þº¾·µ½µ¾¶µ¹
¼²Â²¹Áµ¹ ½º´µÔµ´ °¹°³ °»µ µ·µ Àµ¹Á ´º¹Àµ¶°±° ´²¶´°¹³ ´µ¶µ Àµ¹Á »µ°¹¹Àµ ±°·µ¶
ÂÝ»º¼ ¼µ¹Àµ º¾¿µ¹Á¶² ±µ¹Áµ¹ µ±µ² ´º´Â²µ¹Á µ·µ¹ ±µ¹¿µ º¾Â²µ± µ¿µÃµ¿µ ²¹±²¶
´º¹Ý»Ý¹Á¹ÀµÅ Ì¿µÂ°»µ µ·µ ½ºÝ¾µ¹Á ´µ¹²½°µ ´º´Â²¹²¼ ´µ¹²½°µ³ ¹µ´²¹ ´µ½Àµ¾µ¶µ±
½º¶°±µ¾ ¼µ¹Àµ º¾·°µ´ ·°¾° ´º»°¼µ± ¿º¾Â²µ±µ¹ ±º¾½ºÂ²±³ ´µ¶µ ±°´Â²»»µ¼ ¶º¸µ¼µ±µ¹ ·°
´²¶µ ²´° °¹°Å Õµ¾º¹µ¹Àµ³ ´µ½Àµ¾µ¶µ± ¼µ¾²½ ´º¹Áµ´Â°» ±°¹·µ¶µ¹ ±ºÁµ½ µ¶µ¹ ¼µ» °¹°³
²¶µ¹ ½µ¸µ º¾·µ½µ¾¶µ¹ µ¼Äµ ݾµ¹Á ±º¾½ºÂ²± ±º»µ¼ ´º´Â²¹²¼ ½µ±² ¹ÀµÄµ³ ±µ¿° º¾±Ý»µ¶
·µ¾° µ¹ÁÁµ¿µ¹ µ¼Äµ ½ºÝ»µ¼ÃÝ»µ¼ ݾµ¹Á ±º¾½ºÂ²± ±º»µ¼ ´º´Â²¹²¼ ½º»²¾²¼ ´µ¹²½°µÅ
ߺ¹±²¹Àµ³ ¿º´Â²¹²¼µ¹ ±º¾½ºÂ²± ²¶µ¹ ¿º´Â²¹²¼µ¹ Àµ¹Á »ºÁµ»³ ½º¿º¾±° ¿º´Â²¹²¼µ¹
¶µ¾º¹µ ¿º´Âº¾»µ¶²µ¹ qishâsh µ±µ² ¶µ¾º¹µ ¶º¸µ¼µ±µ¹ Àµ¹Á ·°»µ¶²¶µ¹¹ÀµÅ
˺µ»°¶¹Àµ³ ¿º´º»°¼µ¾µµ¹ ¶º¼°·²¿µ¹ ½ºÝ¾µ¹Á µ¹µ¶ ´µ¹²½°µ ¸²Áµ ´º¾²¿µ¶µ¹
º¹±²¶ ¶º°´µ¹µ¹ ·µ»µ´ ´º»º½±µ¾°¶µ¹ ¶º»µ¹Á½²¹Áµ¹ ´µ½Àµ¾µ¶µ±³ ½ºÂµÁµ°´µ¹µ
¶º»µ¹¸²±µ¹ µÀµ±Ð
Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah
memelihara kehidupan manusia semuanya. ÉÊÅËÅ Ì»Ã͵°·µ¼Î ÏÐ ÑÒÓÅ
๰»µ¼ Ô°¾°ÃÔ°¾° ¶º½µ±²µ¹ °´µ¹Å غ¹°¹·µ½µ¹ µ±µ½ ½º½ºÝ¾µ¹Á Àµ¹Á ±°·µ¶ º¾·Ý½µ³
µÁµ°¶µ¹ ¿º¹°¹·µ½µ¹ µ±µ½ ½º»²¾²¼ ´µ¹²½°µÅ ÞºÁ°±² ¸²Áµ³ ´º¹Ý»Ý¹Á ½ºÝ¾µ¹Á ·µ¾° ½²µ±²
´µ»µ¿º±µ¶µ ·µ¹ º¹Ôµ¹µ³ °Âµ¾µ± ´º¹Ý»Ý¹Á ½º»²¾²¼ ¶º¼°·²¿µ¹ ´µ¹²½°µÅ
áâ ãäåæççæè éåêåëì íîï ðÂñòìó Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîró ôäõ ííó åö ÷øùó èæúæç æúû
ãæüýæîæå æúûþñêçëúæåö
áÿ þñæìâwî, Tafsîr al-Sya râwî, jilid V h. 3095-3096
®®¯
MIQOT
Penutup
! "!# "$ %$ & %' (! ))*+$
"* " , !* )$! $ & !- .+$ ) ,+ ! )+/$$
$$ * ")0 / ,+ " " * " * $ *$$
$ 1" !*,0 $1 " $ ,+ "$ & !- 2)"!
!* *)"! ! ))! $ ",$ , ,+ "$%3,- 4 !
,+ ) qishâsh0 ",$ 5+ )+$ + !$) )0 )
)+$ //$6*)- 7$0 *) * $ !* ,+ ))"!
+ * $, !* ,+ "!-
( /, * +"#! "!# 4 ) + "!%! )
)/!$ !$)- 8!$ & %' (! ))" * + ,+ 1$*
" $ )+! /!, $ * + ,+ "$ + ,#
"- 9 0 *, "$ ,+ /$, ! )55+ $ + $5"
$ )):$ *0 0 + :)%3,;
Memberi maaf lebih dekat kepada takwa. <'-(- & %8=!6>; >?@A-
Tidak satu pun ketetapan yang diajukan Rasul SAW., kecuali beliau menganjurkan kepada
(keluarga korban) untuk memaafkannya. <DC- 4" E/! % A-
+ *)$ * *$ *!,0 "!# * )+$
qishâsh6!$) ) !$, !$- F* $)+$ !$) )
/+ ! +$- 25, ) )*$0 + * )+$
$ !$ * * ,+ ++- D$), ) / +0 +
)$ - 8$ !$), /+ * ! )$ *0 !++ ))" $
* $$ ,+ )) )+$ "+ !$)- F* ,+ / 0
* ""+ ** *5 $5 !$) )0 **
!$, /+ )* "$ ! +- 7 ** $ "$* + 5%
$5)*5) !* $/!0 !* $$"0 !* 5-
2+)* ) $ $ " ))+ + $ !- 2+)*
! *5"- F$ *5"0 $ *+)*- 7+
GH I Jâjah, Sunan Ibn Mâjah, Bab Al afw fî al-Qishâsh, hadis ke 2682, dalam al-Maktabah
al-Syâmilah.
Chuzaimah Batubara: Qishâsh (Hukuman Mati dalam Perspektif al-Qur an)
MNM OMPMQ QRSRTMUV WRSRTMU TMXOY SMPMR ZRU NO[MPMUSMUY OM XONMS NOPMS\MUMSMU N]U^MU
TMS\RN T]T_RURQV `MXRa\MXRUbM XR[RMU QRSRTMU TMXO bMU^ \MQ MNMPMQ RUXRS
T]T]POQMcM NMU T]POUNRU^O S]QONRZMU NMcO S]SRMXMUaS]SRMXMU bMU^ T]U^MUdMTUbMV
Pustaka Acuan
eUfMcY g]\TOP h eNMU^V Pembaruan Hukum Pidana: Reformasi Hukum PidanaV iMSMcXMj
kcM\OUNlY mnnoV
eRNMQY e_N MPapMNOcV Al-Tasyrî al-Jinâ i al-IslâmV q]OcRXj rRM\\M\MQ MPasO\âlah, 1993.
Al-Awwa, Muhammad Salim. The Basis of Islamic Penal System, dalam The Islamic Criminal
Justice System, ed. M. Cherif Bassiouni. New York: Oceana Publication, Inc, 1991.
Al-Ishfahânî, al-Ghârib. Mufradât Alfâzh al-Qur ân, cet. 3. Beirut: Dâr Asy-Syâmiyyah. t.t.
Cholidi, Qishâsh, dalam M. Quraish Shihab, et al. (ed.). Ensiklopedia al-Qur an: Kajian
Kosa Kata, vol. III. Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Coulson, N. J. A History of Islamic Law. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1964.
Faiz, Pan Muhamed. Hukuman Mati dan Hak untuk Hidup, dalam http://
jurnalhukum.blogspot.com/2007/05/penelitian-hukum-hukuman-mati-dan-
hak.html, diunduh 17 Oktober 2008.
Ghafur, Waryono Abdul. Strategi Qur ani: Mengenali Diri Sendiri dan Meraih Kebahagiaan
Hidup. Yogyakarta: Belukar Budaya, 2004.
Hasballah, Alî. Ushûl al-Tasyrî al-Islâm. Mesir, Dâr al-Ma ârif, t.t.
Hendardi, Hak Hidup dan Hukuman mati, dalam http://artikel.sabda.org/
hak_hidup_dan_hukuman_mati, diunduh 17 Oktober 200.
Hosen, Ibrahim. Jenis-jenis Hukum Pidana Islam dan Perbedaan Ijtihad Ulama dalam
Penerapannya, dalam Mimbar Hukum No. 2, Tahun VI, Mei-Juni 1995.
Hukuman Mati Tidak Memberi Efek Jera, dalam Kompas, 14 Agustus 2008.
Ibn Katsîr. Abû al-Fidâ Isma îl ibn Umar. Tafsîr al-Qur ân al-Azhîm, juz I. Dâr Thaibah
Linnasyar wa al-Tauzi , 1999.
Ibn Mâjah. Sunan Ibn Mâjah, Bab Al afw fî al-Qishâsh, hadis ke 2682, dalam al-Maktabah
al-Syâmilah.
Ibn Manzhûr. Lisân al-Arab, juz VII. Beirut: Dâr Shâdir, t.t.
Muhammad Husain al-Thabâthabâ î. al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur ân. Beirut: Dar Ihya Turats
Arâbi, t.t.
Muhammad Thâhir Ibn Âsyûr. Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr, juz II, dalam al-Maktabah
al-Syâmilah.
Mûsâ, Abû al-Hamd Ahmad. Al-Jarâim wa al- Uqûbât fî al-Syarî ah al-Islâmiyah. Kairo:
Jâmi ah al-Azhar, 1975.
KKL
MIQOT vwxy zzz{v |wy } ~x
}
ttu
C ¡ ¢£¤DE¡ ¥ ¤ DA¦A§ USHÛL AL-FIQH
Arip Purqon
¨©ª«¬©® ¯°©±²³©´ µ©¶ ·«ª«¸ ¹º» ¯°©±²¼ ·²µ©°©«¬¬©´ ½©ª©±©¾
½¬¾ º±¾ ·¾ ½«©¶µ© »¿¾ ÀÁ ²ë©Ä Å©¶ÆDZ©¶ÆÄ È©¶Ç¶
Çɸ©²¬Ê ©±²Ãë±Ë¿¶ÌƸ©²¬¾Í¿¸
maqâshid al-syarî ah, syar i
!"#u$u"
%&&'&() *)+) ,' ushûl al-fiqh - ' )' .( (
)()*) ' / -( ))- ,'0 1- ' ushûl
*))) ushûl al-fiqh ( 2- *))) .( )-
'*/ 3 tarkîb idhâfî 4 .) (-) .( ))' -) .(
. .) ushûl al-fiqh () -() .(
))' 0 1-) (-) - ushûl fiqh 2- idhâfî ))
-' - -) ) .( ))' ushûl
al-fiqh -0 5 ' *))) 2- )') .) (-) .( ))' -)
-() 6 .( )( () () )' -0 7
8- ' 9 &: :) )' ushûl al-fiqh ' )6)
; <èã èã èç=>ûãèêçî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmi, jilid I (Beirut: Dâr al-Fikr, 1986), h. 15.
MIQOT BCDE FFFGB HCE I JKDLMNOPOQROS ITUT
VWVX YZW[\Z]YZW[\Z ^_`^abc`d eXfXYgh iVj\Ve]fVj\Ve jWX kjVlVmnV \jlZkXW \ZmoVm \Vpjp]
\Vpjp lnVqVr nVmo XYXY sct-cu^ttcd ct-_vcw ^vvcd ct-xytt^vvcdzg iZYX\jVm nVmo WZqYVlXf
ct-cu^ttcd ct-_vcw ^vvcd ct-xytt^vvcd \j VmWVqVmnV V\VpVe fVj\Ve]fVj\Ve kVeVlV nVmo
\j{V\jfVm |ZWXm{Xf [pZe Vepj }j~je XmWXf YZmZWV|fVm eXfXY lnVqVr \Vqj ac_d fVj\Ve]
fVj\Ve ^vâs \Vm fZhujjahanmnV kVWVlVm]kVWVlVm XYXY |ZqjmWVe s al-amrz \Vm
jm\jfVW[qmnV fVj\Ve]fVj\Ve pVqVmoVm sal-nahyz fVj\Ve muthlaq, muqayyad \Vm XYXYg
V\j \ZmoVm fVWV pVjm [k{Zf |ZYkVeVlVm ushûl al-fiqh kZqYXVqV |V\V eXfXY lnVqVr
sal-hukm al-syar iz \jWjm{VX \Vqj eVfjfVW fqjWZqjV \Vm YVVY]YVVYmnV |ZYkXVW eXfXY
sal-hâkîmz \Vqj lZoj \Vpjp \Vm |ZqjmWVemnV [qVmo nVmo \jkZkVmj eXfXY s al-mahkûm
alaihz \Vm VqV kZqj{WjeV\mnVg
ZqkZ\V \ZmoVm \[oYV VoVYV VWVX |ZmoZWVeXVm lZYjlVp YZWV}jljfV jpYX YZYkVWVlj
\jqj eVmnV |V\V [k{Zf nVmo kZqlj}VW ZY|jqjlg qWjmnV [k{Zf |ZmZpVVeVm jpYX YZmVfX|
lZpXqXe Vl|Zf fZej\X|Vm nVmo \V|VW \jX{j [pZe |VmVjm\ZqV YVmXljV \j YVmV [k{Zf]
[k{Zf nVmo kZqV\V \j pXVq {VmofVXVm YVmXljV Wj\Vf WZqYVlXf fZ \VpVY |ZmZpVVeVm jpYX
WZqlZkXWg ZW[\Z |ZmoVYkjpVm eXfXY {XoV kZqV\V \VpVY kVWVl jmj \VpVY |ZmoZqWjVm
jV YZYkVmWX YVmXljV YZmoZmVp eXfXY XeVm lZlXVj \ZmoVm kVWVl fZYVY|XVmmnV
lZkVoVj YVmXljVg ZmoVm fVWV pVjm jV YZm{V\j jpYX nVmo YZm[kV XmWXf YZm{ZYkVWVmj
VmWVqV fZeZm\Vf XeVm \ZmoVm |ZYVeVYVm nVmo kjlV \jWVmofV| [pZe YVmXljVg
|VnV |ZmooVpjVm eXfXY lpVY \Vqj lXYkZq]lXYkZqmnV sistinbâth al-ahkâmz Wj\Vf
VfVm YZYkXVefVm eVljp nVmo YZYV\Vj fZXVpj \ZmoVm YZmZY|Xe VqV]VqV
|Zm\ZfVWVm nVmo WZ|VW nVmo \jW[|Vmo [pZe |ZmoZWVeXVm nVmo YZYV\Vj WZqXWVYV
YZmnVmofXW lXYkZq eXfXYg pj VlVkVppVe YZpjeVW V\V \XV VqV |Zm\ZfVWVm nVmo
\jfZYkVmofVm [pZe |VqV XpVYV ushûl al-fiqh \VpVY YZpVfXfVm istinbath nVjWX
|Zm\ZfVWVm YZpVpXj fVj\Ve]fVj\Ve fZkVeVlVVm \Vm |Zm\ZfVWVm YZpVpXj |ZmoZmVpVm
YVfmV VWVX YVflX\ lnVqjVe s maqâshid al-syarî ahzg
|V nVmo WZpVe \jfZYXfVfVm [pZe pj VlVkVppVe WZpVe \jljmnVpjq |XpV [pZe VWej
Vp]VqVjmjg V YZmnZkXWfVm kVeV YVWZqj V|V lV{V nVmo VfVm \j{V\jfVm [k{Zf fV{jVm
YVfV |Zm\ZfVWVm fZjpYXVm |Vpjmo WZ|VW nVmo VfVm \jWZqV|fVm WZqeV\V| [k{Zf WZqlZkXW
eZm\VfpVe lZlXVj \ZmoVm VWVf [k{Zf jWX lZm\jqjg ZkVk jWX {jfV nVmo VfVm YZm{V\j
[k{Zf fV{jVm jVpVe istinbath eXfXY nVmo YZmnVmofXW nash {jV \Vm WX{XVm lnVqjVW
YVfV |Zm\ZfVWVm nVmo VfVm \jWZqV|fVm eVqXlpVe |Zm\ZfVWVm nVmo YZmnVmofXW fZWjoV
eVp WZqlZkXWg mWXf jWX |Zm\ZfVWVm nVmo WZ|VW jVpVe |Zm\ZfVWVm YZpVpXj fVj\Ve]fVj\Ve
fZkVeVlVVm \Vm maqâshid al-syarî ahg ZmooXmVVm |Zm\ZfVWVm YZpVpXj fVj\Ve
fZkVeVlVVm jVpVe fVqZmV fV{jVm VfVm YZmnVmofXW nash sWZflz lnVqjVW lZ\VmofVm
KQQ Rû Zahrah, Ushûl al-Fiqh (Beirut: Dâr al-Fikr al- Arâbî, 1987), h. 8-9.
3
Abd al-Wahhab Khalaf, Ilm Ushûl al-Fiqh (Kuwait: Dâr al- Ilm, 1978), h. 12-13.
4
Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh, h. 9.
5
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), h. 15-16.
6
Ali Hasaballah, Ushûl al-Tasyrî al-Islâmi (Mesir: Dâr al-Ma arif, 1971), h. 3.
?@A
Arip Purqon: Corak Pendekatan dalam Ushûl al-Fiqh
±²³´²µ¶·¶³ ¸²¹¶º¶»¶¶³
¼¥£½« ¡¾¡¾¦ ª¥ ¥£ ¿¾¤¡£¯ ¡¦¢¥ ¡¤ÀÁ¥«Â¡ ¡ ª¡¦¾ ¦¥® ¡ ¡ ¡¤¡£ ½¡ª¡¾¡
ë¡½Ä Å¢¥ ¡¡¢ ££¡ª¡£¦ ª¥ ¥£Àª¥ ¥£ ¡® ¡¡ ¦ ¡¤¡£¡¯ £¡ ¡ ¾Æ«¡®
mujtahid ¡® ¡ ¡ £®®¡¤¦ ª¥ ¥£Àª¥ ¥£ ¢«¾½¥¢ ª¡«¥¾ ££¡ª¡£¦¡ ¾Ç¡«¡
Æ£«ª¾¦ÈÄ Å¢¥ ¦¢¥¯ ¦¡ ª¡«¥¾ ££¡ª¡£¦ É¡ª¡¾¡ 롽 ®¡ ¾®¡¤¡ ¡¾ ¡¯
¾½¡®¡¦ ½¡ª¡¾¡ ¡¤ÀÁ¥«Â¡ ¡ ª¡¦¾Ä ¼¥¡¢¥ ª¡¤ ¡® ¢¦¡ £¡¾¥ ¡ ¡¤ ¡¤¡¥ ¾¾Æ«¡®
¡® ¢¦¡ ££¡ª¡£¦ ½¡ª¡¾¡ 롽 ¡ ¡ ¡¡¢ £® istinbath ª¥ ¥£ ¾Ç¡«¡ £¡ ¾¦£¡¤
¡«¦ ¡¤ÀÁ¥«Â¡ ¡ ª¡¦¾ ¡® ½«½¡ª¡¾¡ ë¡½Ä ¼½¡½ ¦¢¥¯ ¡¤Àʪ¡Ëâlî menyebut kaidah
kebahasaan sebagai pilar ushûl al-fiqh, yang dengannya para mujtahid dapat menggali
dan memetik hukum dari sumber-sumbernya. 8
Setiap usaha untuk memahami dan menggali hukum dari teks al-Qur an dan
Sunnah sangat bergantung kepada kemampuan memahami Bahasa Arab. Untuk maksud
itu, maka para ahli ushûl al-fiqh menetapkan bahwa pemahaman teks dan penggalian
hukum harus berdasarkan pada kaidah kebahasaan. Dalam hal ini mereka berpegang
pada petunjuk kebahasaan dan pemahaman kaidah bahasa Arab dari teks tersebut dalam
hubungannya dengan al-Qur an dan Sunnah, serta petunjuk nabi dalam memahami
hukum-hukum al-Qur an dan penjelasan Sunnah atas hukum-hukum Qur ani itu. Dalam
hal ini lafaz arâbî dipahami dalam ruang lingkup hukum syara .9
Kaidah pemahaman lafaz arâbî itu mencakup empat segi pokok pembahasan yaitu
pemahaman lafaz dari segi arti dan kekuatan penggunaannya terhadap maksud
kehendak Allah yang terdapat dalam lafaz, pemahaman lafaz dari segi penunjukannya
terhadap hukum, pemahaman lafaz dari segi kandungannya terhadap satuan pengertian
(afrâd) dalam lafaz dan pemahaman lafaz dari segi gaya bahasa yang digunakan dalam
menyampaikan tuntutan hukum (taklîf).10
Hal pertama yang menjadi perhatian ulama ushûl al-fiqh adalah pengertian lafaz-
lafaz dalam kaitannya dengan posisi lafaz-lafaz tersebut dalam nash. Dalam hal ini,
ulama ushûl al-fiqh membaginya atas dua bentuk, yaitu:
a. Al-asmâ al-lughawiyyah (isim-isim yang dipakai dalam tradisi kebahasaan, seperti
7
Fathî al-Darainî, Al-Manâhij al-Ushûliyah fî al-Ijtihâd bi al-Ra yi fi al-Tasyrî al-Islâm
(Damaskus: Dâr al-Kitab al- Arabi, 1975), h. 27.
8
Abû Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazâlî, Al-Mustashfâ fî
Ilm al-Ushûl (Beirut: Dâr al-Kutub al Ilmiyyah, 1993), h. 180.
9
Amir Syarifuddin, Ushul al-Fiqih, jilid II (Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran,
2000), h. 2.
10
Ibid., h. 2.
MIQOT ÎÏÐÑ ÒÒÒÓÎ ÔÏÑ Õ Ö×ÐØÙÚÛÜÛÝÞÛß Õàáà
âãäãå æç-èâbbah éêëìãâã êëêíãîí ïãðì ñëâãîãòó îëîãôõ öãâãñ î÷ãöõêõ øëùãúãêããð öõôãøãõ
íðîíø ñëðíðûíø ùõðãîãðì ïãðì ñëñõâõøõ ëñôãî øãøõü
b. Al-asmâ al-syar iyyah éisim-isim ïãðì öõôãøãõ êëùãìãõ õêîõâãú êïã÷õãîò êëôë÷îõ shalâtó
íðîíø ñëðíðûíø êíãîí ùëðîíø õùãöãú îë÷îëðîíü ýý
þãûõãð îëðîãðì âãäãå õîí øëñíöõãð ùë÷âãðûíî öëðìãð ôëñùãúãêãð âãäãå õîí öã÷õ ùë÷ùãìãõ
êõêõü þãûõãð ôë÷îãñã öõñíâãõ öëðìãð ôãðöãðìãð öã÷õ êõêõ øëîë÷øãõîãð âãäãå îë÷êëùíî öëðìãð ñãøðã
ïãðì öõøãðöíðìðïãü ÿãâãñ úãâ õðõó âëú ôã÷ã íâãñã ushûl al-fiqh øâãêõø öõùãúãê êëã÷ã
ôãðûãðì âëùã÷ öãâãñ ùëùë÷ãôã ùãù öãâãñ øõîãùøõîãù ñë÷ëøãü ãñíð âëú ôã÷ã íâãñã
ushûl al-fiqh ø ðîëñô ÷ë÷ó êëôë÷îõ ãúùãú ãâíúãõâó ñëð ùã ñëðìëâ ñô øøãððïã
öãâãñ ëñôãî øãîëì ÷õ ïãðì êëã÷ã ÷õðìøãê öãôãî öõíðìøãôøãð êëôë÷îõ öõ ùããú õðõ
Pertama. ÿõâõúãî öã÷õ êõêõ ôëðëñôãîãð êíãîí âãäãå îë÷úãöãô êíãîí ñãøðãü ÿãâãñ
úãâ õðõó ãöã êãîí âãäãå ïãðì öõîëñôãîøãð íðîíø ñëðíðûíøøãð êãîí ñãøðã îë÷îëðîí ékhâshò
öãð ãöã ôíâã êãîí âãäãå ïãðì öõîëñôãîøãð íðîíø ñëðíðûíøøãð ñãøðã íñíñ é ammòó
ãöã êíãîí âãäãå ïãðì öõîëñôãîøãð ñëðìãí øëôãöã öíã ñãøðã ãîãí âëùõú é musytarakò
öãð ãöã ûíìã öíã âãäãå ãîãí âëùõú ïãðì ñëðìãí øëôãöã êãîí ñãøðã é murâdifòü
Kedua. ÿõâõúãî öã÷õ êõêõ ôëðë÷ãôãð êíãîí âãäãå îë÷úãöãô êíãîí ñãøðãü ÿãâãñ úãâ
õðõó ãöã êíãîí âãäãå ïãðì öõìíðãøãð ñëðíðûíø øëôãöã ôëðìë÷îõãððïã ïãðì ãêâõ é al-
haqîqahò öãð ãöã ôíâã ïãðì öõìíðãøãð ñëðíðûíø øëôãöã ôëðìë÷îõãð âãõðó ïãðì ùíøãð
ñãøðã ãêâõó øã÷ëðã ãöã êíãîí õðöõøãêõ ïãðì ñëðìúëðöãøõ öëñõøõãð é al-majâzòü ÿõ âãõð
ôõúãøó ãöã ôíâã êíãîí âãäãå ïãðì ñëðìãí øëôãöã ôëðìë÷îõãð ïãðì ûëâãê øã÷ëðã
ôëðìë÷îõãð ïãðì öëñõøõãðâãú ïãðì îëâãú âãåõñ öõôãøãõ é sharîhòó êëñëðîã÷ã ãöã ûíìã
âãäãå ïãðì êãñã÷ ñãøêíöðïãó öãð âãäãå îë÷êëùíî ùã÷í öõøëîãúíõ øã÷ëðã ãöã õðöõøãêõ
âãõð ïãðì ñëñùãðîí íðîíø ñëðìëîãúíõ ñãøðãðïãü ãäãå õðõ öõêëùíî kinâyahü
Ketiga. ÿõâõúãî öã÷õ êõêõ ôëðíðûíø âãäãå ãîãê ñãøðãðïã öãâãñ úãâ øëûëâãêãð öãð
øëîë÷êëñùíðïõãððïãü ÿãâãñ úãâ õðõó ãöã êíãîí âãäãå ïãðì ôëîíðûíø ñãøðãðïã ûëâãêó
îãðôã ñëñë÷âíøãð âãäãå âãõð íðîíø ñëñôë÷ûëâãêðïã öãð ãöã ôíâã ïãðì îõöãø ûëâãê ôëîíðûíø
ñãøðãðïãó öãð õã ùã÷í ñëðûãöõ ûëâãê êëîëâãú ãöã âãäãå âãõð ïãðì ñëñùãðîí íðîíø
ñëðûëâãêøãððïãü ãäãå ïãðì ôëîíðûíø ñãøðãðïã ûëâãêó ñëðí÷íî íâãñã
ãðãäõïãúó ãöã
ëñôãîó ïãõîí al-zhâhir, al-nash, al-mufassar öãð al-muhkâmü ëöãðìøãð ñëðí÷íî ïãäõ
õïïãúó âãäãå ïãðì öëñõøõãð úãðïã öãôãî öõùãìõ ãîãê öíã ùëðîíøó ïãõîí al-zhâhir éïãðì
ñãêõú ñíðìøõð ñëðë÷õñã ta wîlò öãð al-nash éïãðì îõöãø ñëðë÷õñã ta wîlòü öãôíð
âãäãå ïãðì ôëîíðûíøðïã îõöãø ûëâãêó ñëðí÷íî íâãñã
ãðãäõïïãúó ãöã ëñôãî ôíâãó ïãõîí
al-khafî, al-musykil, al-mujmâl öãð al-mutasyâbihü ëöãðìøãð ïãäõ îyyah membagi lafaz
yang petunjuknya tidak jelas ini menjadi dua, yaitu al-mujmâl dan al-mutasyâbih.
Keempat, dilihat dari sisi cara pengungkapan kalimat dalam kaitannya dengan
makna yang dikandung oleh kalimat tersebut. Dalam hal ini, ulama Hanafiyyah
11
Hasaballah, Ushûl al-Tasyrî, h. 205-208.
ÌÍÌ
Arip Purqon: Corak Pendekatan dalam Ushûl al-Fiqh
ârah al-nash, isyârah al-nash, dalâlah al-nash
iqtidhâ al-nash! " #$% & ushûl fiqh # &
& al-mantûq al-mafhûm!
"& '% &() % *' & % &
ushûl fiqh # '% $%( al-ma ânî + $
% ! ,+ % # & istinbath
$ % * % % %$ nash.-.
/ && # $ % &$ %%
% + ushûl al-fiqh &! 0& *#% % istinbath
$ % % %$ 1% %& # $
&! "& % &+"âtibi, yang lebih penting lagi adalah
pendekatan melalui pemahaman tujuan dan makna yang menjadi sasaran syâri dalam
menurunkan syariat, yang disebut maqâshid al-syarî ah. Untuk itu, al-Syâtibi menganjurkan
untuk tidak terlalu berlebihan dalam pendekatan kebahasaan, karena bangsa Arab sendiri
adalah umat yang ummi. Sebab itu, pendekatan kebahasaan yang dilakukan adalah
bersangkutan dengan kondisi kebahasaan umat ketika al-Qur an diturunkan. 13
12
Al-Zuhailî, Ushûl al-Fiqh, h. 197-203.
13
Abû Ishâq al-Syâtibi, Al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî ah, jilid II (Kairo: Al-Maktabah al-
Taufîqiyyah, 2003), h. 73-74.
14
Ahmad al-Raisunî, Nazhariyat al-Maqâshid inda Al-Syâtibi (Rabath: Dâr al-Aman, 1991),
h. 67.
MIQOT >?@A BBBC> D?A E FG@HIJKLKMNKO EPQP
HL @KNH @K H@H @M GL@HM Shahîh Muslim, H@H CC ¡KHOG¢ Jâr
al-Fikr, 1993), h. 252.
16
Muhammad Abû Zahrah, Târîkh al-Mazâhib al-Islâmiyah (Mesir: Dâr al-Fikr al- Arâbî,
t.t.), h. 20.
;<=
Arip Purqon: Corak Pendekatan dalam Ushûl al-Fiqh
17
Al-Juwainî, Al-Burhân fî Ushûl Fiqh, jilid I (t.t.p.: Dâr al-Anshâr, 1400 H), h. 295.
18
Ibid., h. 923-930.
19
Al-Ghazâlî, Syifâ al-Ghîl fî Bayân al-Syibh wa al-Mukhil wa Masâlik al-Ta lîl (Baghdad:
Mathba ah al-Irsyad, 1971), h. 159.
20
Ibid., h. 250.
21
Ibid.
£¤¥
MIQOT âãäå æææçâ èãå é êëäìíîïðïñòïó éôõô
22
Ibn Abd al-Salâm, Qawâ id al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm, jilid I (Kairo: al-Istiqamat,
t.t), h. 9.
23
Ibid., jilid II, h. 60-62.
24
Al-Syâtibi, Al-Muwâfaqât, h. 5-6.
25
Ibid., jilid II, h. 332-333.
26
Ibid.
27
Ibid.
ßàá
Arip Purqon: Corak Pendekatan dalam Ushûl al-Fiqh
%&'()(* +&*,(* ()-%.âtibi, Yûsuf al-Qaradhâwî juga membagi aliran dalam memahami
/01âshid al-syarî ah ini menjadi tiga, yaitu pertama. Aliran yang hanya memperhatikan nash-
nash yang juz î serta memahaminya dengan pemahaman yang literal tanpa melihat maksud
yang ada di balik nash syariah tersebut. Mereka adalah kelompok yang disebut neo-al-zhâhiriyah
(al-zhâhiriyyah al-judûd). Mereka adalah para pewaris aliran al-zhâhiriyyah yang
mengingkari adanya illat dalam hukum atau menghubungkannya dengan maksud tertentu.28
Kedua. Aliran yang sangat memperhatikan masalah maqâshid al-syarî ah dan spirit
agama, namun tidak peduli dengan nash-nash al-Qur an dan Sunnah yang sahih. Mereka
lebih senang berpegang dengan ayat-ayat mutasyabihât dan selalu berpaling dari yang
muhkam. Jargon mereka adalah pembaharuan.29
Ketiga. Aliran moderat, yaitu aliran yang tidak memahami nash secara terpisah
dari maqâshid al-syarî ah yang kulli tetapi selalu memahaminya dalam koridor maqâshid
al-syarî ah yang kulli tersebut.30
28
Yûsuf al-Qaradhâwî, Al-Siyâsah al-Syar iyyah fî Dau Nushûsh al-syarî ah wa Maqâsidiâ
(Kairo: Maktabah Wahbah, 1998), h. 228.
29
Ibid.
30
Ibid., h. 229.
31
Al-Syâtibi, Al-Muwâfaqât, jilid II, h. 333-334.
32
Ibid., h. 334-336.
"#$
MIQOT DEFG HHHID JEG K LMFNOPQRQSTQU KVWV
33
Ibid., h. 336-338.
34
Muhammad Thahîr ibn Asyûr, Maqâshid al-Syarî ah al-Islâmiyah (Kairo: Dâr al-Salâm,
2005), h. 67.
35
Allal al-Fasî, Maqâshid al-Syarî ah al-Islâmiyah wa Makârimuhu (t.t.p: Dâr al-Gharbi
al-Islâmi, 1993), h. 11-12.
36
Al-Syâtibi, Al-Muwâfaqât, jilid II, h. 3-8.
37
Uraian lebih lanjut lihat misalnya dalam Jamal al-Dîn Athiyah, Nahwa Taf îl Maqâshid
al-Syarî ah (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001), h. 28-48.
ABC
Arip Purqon: Corak Pendekatan dalam Ushûl al-Fiqh
38
Al-Syâtibi, Al-Muwâfaqât, jilid II, h. 3-8.
39
Ibid.
40
Ibid., h.9.
41
Muhammad Mushthafa Syalabî, Ta lîl al-Ahkâm (Beirut: Dâr al-Nahdah al- Arabiyah,
1981), h. 14-15.
vwx
MIQOT ¡¡¡¢ £ ¤ ¥¦§¨©ª«ª¬ª® ¤¯°¯
±²³´µ¶´··¸µ ¹º»¼ ·»±´¸ ½´¾¿»À ¼´·´¾ Á½º¸¾Â ÃÀ³²µÄ¸ ·»¾¸½º¸¼¸³¸µ ²³´ ³²±¸· ±¸Å¸³
±²·»¾¿¸º²·¸µ Ÿ±¸ ½´¸³´ ¸Ä¸³ ¸³¸´ ¼¸±²½ ½»Æ¸À¸ º¸µÇ½´µÇÈ ¾»º¸²µ·¸µ ±²·»¾¿¸º²·¸µ
Ÿ±¸ ÅÀ²µ½²Å ´¾´¾ ·»¾¸½º¸¼¸³¸µ ĸµÇ ±²·¸µ±´µÇ ¹º»¼ ÉÊËÌ.ÍΠϸº¸¾ Å»À·»¾¿¸µÇ¸µ
Å»¾²·²À¸µ ÐËÌûl fiqhÈ Æ¹À¸· Å»µ¸º¸À¸µ istishlâhi ²µ² ¸µ³¸À¸ º¸²µ ³¸¾Å¸· ±¸º¸¾ ¾»³¹±»
al-maslahah al-mursalah ±¸µ al-dzarî ahÂ
ϲ ½¸¾Å²µÇ ±´¸ ƹÀ¸· Å»µ¸º¸À¸µ ³»À½»¿´³È ½»¿»µ¸ÀµÄ¸ ³»À±¸Å¸³ Å´º¸ ƹÀ¸·
Å»µ¸º¸À¸µ bayânîÈ Ä¸²³´ ´Å¸Ä¸ Å»µÇǸº²¸µ ¼´·´¾ ±¸À² ½´¸³´ nash ±»µÇ¸µ ¿»À³´¾Å´
Ÿ±¸ ·¸²±¸¼Ñ·¸²±¸¼ lughawî Ò·»¿¸¼¸½¸¸µÓÂÍÔ Õ¹À¸· ²µ² ±²Å¸·¸² ¶´Ç¸ ¹º»¼ úÑÖÄâtibi,
terutama dalam kaitannya dengan masalah ibadah. Dalam hal ini, maqâshid al-syarî ahnya
berbentuk sebab yang tidak langsung membawa pada kemaslahatan.
Ada beberapa kriteria yang harus terpenuhi agar suatu perkara dianggap menjadi bagian
dari maqâshid al-syarî ah, yaitu bersifat tetap (tsubût), dalam arti bahwa tujuan yang
dianggap maqâshid al-syari ah harus dapat dipastikan dengan pengukuhannya atau dianggap
dengan anggapan yang mendekati pasti; jelas (zhâhir), dengan pengertian bahwa tujuan
yang dianggap itu harus jelas serta diketahui tidak adanya perbedaan di kalangan ulama
ahli fiqih. Misalnya hifdz al-nasab itu merupakan bagian dari tujuan syariat di dalam
penetapan pernikahan. Hal ini adalah jelas karena perempuan itu hanya dapat ditentukan
anaknya apabila ia memiliki pasangan tertentu. Selain itu, sesuatu yang akan dijadikan
maqâshid al-syarî ah dimaksud harus dapat dibatasi (inzhibâth), yaitu adanya maksud
dari tujuan yang dicapai tersebut harus memiliki kadar atau batas yang tidak diragukan
lagi, dan pemberlakuannya bersifat universal (ithrâd), yaitu bahwa adanya maksud dari
tujuan yang dicapai tersebut tidak berbeda dalam berbagai zaman dan tempat. 44
×ØÙÚÛÚÜ
Dari pemaparan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa fungsi ilmu ushûl al-
fiqh secara umum adalah untuk membimbing manusia dalam menangkap maksud
Tuhan secara benar. Artinya, dengan mempelajari kaidah dan teori ushûl (al-qawâ id al-
ushûliyah), seseorang dapat menangkap makna yang terkandung dalam teks al-Qur an
dan Sunnah. Dengan kata lain, ia menjadi ilmu yang mencoba untuk menjembatani
antara kehendak Tuhan dengan pemahaman yang bisa ditangkap oleh manusia.
Sebab itu, karena yang menjadi kajian dalam ilmu ushûl al-fiqh adalah istinbath
hukum yang menyangkut nash, jiwa dan tujuan syariat, maka pendekatan yang akan
diterapkan haruslah pendekatan yang menyangkut ketiga hal tersebut. Untuk itu,
pendekatan yang tepat ialah pendekatan melalui kaidah-kaidah kebahasaan dan
maqâshid al-syarî ah.
42
Al-Zuhailî, Ushûl al-Fiqh, jilid II, h. 1069.
43
Ibid.
44
Ibn Asyur, Maqâshid, h. 50.
Arip Purqon: Corak Pendekatan dalam Ushûl al-Fiqh
A
îû Zahrah, Muhammad. Târîkh al-Mazâhib al-Islâmiyah. Mesir: Dâr al-Fikr al-Arâbî, t.t.
Abû Zahrah, Muhammad. Ushûl al-Fiqh. Beirut: Dâr al-Fikr al-Arâbî, 1987.
Athiyah, Jamâl al-Dîn. Nahwa Taf îl Maqâshid al-syarî ah. Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005.
Al-Darainî, Fathî. Al-Manâhij al-Ushûliyah fî al-Ijtihâd bi al-Ra yi fî al-Tasyrî al-Islâmî.
Damaskus: Dâr al-Kitab al-Arâbî, 1975.
Al-Fasî, Allal. Maqâshid al-syarî ah al-Islâmiyah wa Makârimuhu. Dâr al-Gharb al-Islâmî, 1993.
Al-Ghazâlî, Abû Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad. Al-Mustashfâ fî
Ilm al-Ushûl. Beirut: Dâr al-Kutub al- Ilmiyyah, 1993.
Al-Ghazâlî, Abû Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad. Syifâ al-Ghalîl fî Bayân
al-Syibh wa al-Mukhil wa Masâlik al-Ta lîl. Baghdad: Mathba ah al-Irsyad, 1971.
Hasaballah, Alî. Ushûl al-Tasyrî al-Islâmî. Mesir: Dâr al-Ma ârif, 1971.
Ibn Asyur, Muhammad Thahîr. Maqâshid al-syarî ah al-Islâmiyah. Kairo: Dâr al-Salâm, 2005.
Al-Qusyairî, Abû Husain Muslim ibn Hajjaj ibn Muslim. Shahîh Muslim. Beirut: Dâr al-
Fikr, 1993.
Al-Juwainî, Al-Burhân fî Ushûl Fiqh. Dâr al-Anshâr, 1400 H.
Khallaf, Abd al-Wahhab. Ilm Ushûl al-Fiqh. Kuwait: Dâr al- Ilm, 1978.
Al-Raisunî, Ahmad. Nazhariyat al-Maqâshid inda Al-Syâtibi. Rabath: Dâr al-Aman, 1991.
Al-Qaradhâwî, Yûsuf. Al-Siyâsah al-Syar iyyah fî Dhau Nushûsh al-syarî ah wa
Maqâshidihâ. Kairo: Maktabah Wahbah, 1998.
Al-Salâm, Ibn Abd. Qawâ id al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm. Kairo: al-Istiqamat, t.t.
Syalabî, Muhammad Mushthafa. Ta lîl al-Ahkâm. Beirut: Dâr al-Nahdah al-Arâbiyah, 1981.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, 2000.
Al-Syâtibi, Abû Ishaq. Al-Muwâfaqât fî Ushûl al-syarî ah. Kairo: Al-Maktabah al-
Taufîqiyyah, 2003.
Al-Zuhailî, Wahbah. Ushûl al-Fiqh al-Islâmî. Beirut: Dâr al-Fikr, 1986.
ÝÞß
MIQOT I N JD
Pendahuluan
M A
M
K
M A
M A
M N M A
I
¡
I
M¢£
I M I Kûn dalam kajian empirik.
Karena wawasan modernnya, membuat Abduh menjadi tokoh yang berpengaruh. 1 Ia
juga, lanjut Nurcholish Madjid, mampu menangkap kembali ajaran Islam yang dinamis
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, cet. 4 (Jakarta: Paramadina, 2000), h
1
173-174.
Sehat Sulthoni Dhalimunthe: Landasan Filsafat Pendidikan Islam Muhammad Abduh
§¨© ª«¬©«®¯° Kª±¬©«¨² © «¬³¨´ ±¬©¬±µ¨«®¨© A¶§·´ ¸¬¶¨¹¨ ¸¬ª²¨©¹ º¨©¹ ¸«±¬»¨
§¨³¨± ¶§¨©¹ µ¬±®²¨© I¸³¨±¼ ®¨²¬©¨ «¬²¶·®« »¨²¸¨© ³±¨´©º¨ ±¨¸´ §©®±¨« µ¨²¨
³±·¨© ¸¨±µ¨ ¸¬®¨²¨©¹ ©¯
½¨³¨´ ¸¬ª²¨©¹ ¹·²· A¶§·´ º¨©¹ «·²·« ¸¹©¾®¨© ±¬±µ¬©¹¨²·´©º¨ ¨§¨³¨´ ¨³¿
A¾¹´À©î. Ia pembaharu yang menyatakan bahwa Islam tidak bertentangan dengan
akal dan ilmu pengetahuan. Sedangkan orang yang membuktikan pernyataan itu adalah
Muhammad Abduh di Mesir dan Ahmad Khan di India. 3
Fazlur Rahman mengatakan bahwa Muhammad Abduh adalah seorang
pembaharu dalam bidang pendidikan di Universitas al-Azhar. 4 Setelah ia mengajar di
Universitas al-Azhar, pelajaran filsafat diajarkan kembali. Pengajaran filsafat ini
merupakan modernisasi yang dilakukan oleh Afghânî dan Abduh. 5 Al-Afghânî adalah
pembaharu yang menyatakan bahwa Islam tidak bertentangan dengan akal dan ilmu
pengetahuan.6 Lebih lanjut Fazlur Rahman mengatakan, Ia adalah seorang teolog
berpengalaman pada garis-garis tradisional, yang merasa yakin bahwa sains dan Islam
tidak mungkin bertentangan, dan ia menyatakan bahwa agama dan pekerjaan ilmiah
bekerja pada level yang berbeda. Karena itu, ia menyuguhkan ajaran dasar Islam dalam
batasan-batasan yang bisa diterima oleh pikiran modern. 7
2
Nurcholish Madjid, ÂÃÄÅ ÆÃÇÈÅÉ ÊÃÇ ËÌÍÃÊÃÎÃÇ (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 22.
Lihat juga Nurcholish Madjid, ÏÅÐÅÄ-ÏÅÐÅÄ ËÌÑÃÇÉÍÌÇ (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 53.
Dikatakan juga bahwa gerakan pembaharuan Muhammad Abduh ini diilhami oleh pemikiran
Ibn Taimiyah. Tentang pengaruh pemikiran pendidikan Abduh di Indonesia, baca: Mona
Abaza, ËÌÇÊÅÊÅÄÃÇ ÒÑÐÃÓ ÊÃÇ ËÌÍÈÌÑÌÍÃÇ ÔÍÅÌÇÉÃÑÅÕ ÖÉ×ÊÅ ÂÃÑ×Ñ ØÐ×ÓÇÅ ÙÇÅÚÌÍÑÅÉÃÑ ÃÐ-ØÛÜÃÍ
(Jakarta: LP3ES, 1999).
3
ÒÎÅÊ., h. 318.
4
Fazlur Rahman, ÒÑÐÃÓ, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1984), h. 280.
Lihat juga, Abdul Majid Abdussalam al-Muhtasib, ÝÃÞÑÅÍ ÃÐ-ß×ÍàÃÇ ÂáÇÉÌÓâáÍÌÍÕ ãÅÑÅ ÊÃÇ
ËÃÍÃÊÅÈÓÃ, terj. Moh. Magfur Wachid (Bangil: al-Izzah, 1997), h. 4. Dikatakan bahwa menurut
Abbas al- Aqqad bahwa Muhammad Abduh adalah äØÎåÃÍÅ× ÃÐ-ÒÑÜÐÃÜ æà ÃÐ-ÝÃàÐîm (orang yang
genius dalam bidang pembaharuan dan pendidikan). Dengan kata lain, Abduh adalah seorang
ahli pembaharuan Islam dan ahli dalam bidang pendidikan.
5
Rahman, Islam, h. 176.
6
Ibid., h. 318.
7
Ibid., h. 319.
8
Lihat Muhammad Quraish Shihab, Kata Pengantar, dalam Muhammad Abduh, Tafsîr
Juz Amma, terj. Muhammad Baqir, cet. 5 (Bandung: Mizan, 1999), h. v.
9
Charles. C. Adams, Islam and Modernism in Egypt (New York: Pussel & Russel, 1993), h. 18.
¤¥¦
MIQOT éêëì íííIé Nêì î JïëðñDòóòôõòö î÷ø÷
ioú ùúûtuýmþuÿn(1848-1877 M)
ùúûü
M A
M A
H
M !
G M A A I H K "
Aâh. Ia lahir dalam keluarga petani yang hidup sederhana dan cinta ilmu pengetahuan.12
Muhammad Abduh pertama kali belajar membaca dan menulis al-Qur an kepada
orang tuanya. Selanjutnya, ia belajar al-Qur an dengan seorang hafiz. Dari guru itu, ia
mampu menghafal al-Qur an selama dua tahun.13 Pendidikan berikutnya, ia menempuh
pendidikan di Mesjid Ahmadi Thanta. Ia ingin belajar di Thantha selama dua tahun,
tetapi karena dominasi metode menghafal yang diberikan gurunya, maka ia pulang
kampung sebelum dua tahun dan dengan niat tidak akan kembali belajar lagi di sana.14
Pada tahun 1866 M, ia menikah dan empat puluh hari dari umur perkawinannya, ia
dipaksa orang tuanya kembali ke Thanta untuk belajar.15 Muhammad Abduh tidak pergi ke
Thanta, diduga karena kekesalannya dengan metode pengajaran yang menurutnya tidak
tepat. Muhammad Abduh akhirnya pergi ke tempat pamannya Syekh Darwisy Khadr.16 Atas
pengaruh pamannya ini, perubahan mental Muhammad Abduh terhadap belajar menuju
ke arah yang positif, sehingga ia siap kembali ke Mesjid al-Ahmadi Thanta untuk belajar.
Beberapa bulan di Thanta kemudian ia meneruskan studinya ke Universitas al-Azhar, Kairo.17
Dalam rangka memantau perkembangan studi Muhammad Abduh, Syaikh Darwisy Khadr
meluangkan waktunya untuk datang ke Mahallat Nasr. Di kampung itulah, Khadr berdialog
dengannya tentang pelajaran-pelajaran di al-Azhar. Mereka juga berdialog secara khusus
tentang ilmu-ilmu umum yang tidak diajarkan di al-Azhar.18 Menurut Ahmad Amîn, Abduh
juga membaca buku ilmu alam, filsafat, geografi, dan ilmu-ilmu lainnya dianggap haram.19
10
Harun Nasution, #$%&'(')*'+ ,'-'% ./-'% (Jakarta: UIP, 1987), h. 58.
11
Lihat Arbiyah Lubis, Muhammad Abduh dan Muhammadiyah (Disertasi, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1989), h. 112.
12
Muhammad Mushthafa Hidarah, 01+ 23-'%1 '--4')&15'( '--./-âmiyah, jilid V (Kairo:
Maktabah al-Tarbiyah al- Arâbi li al-Daui al-Khaliji, 1989), h. 290.
13
Ibid.;Lihat juga Rif at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Syaikh Muhammad Abduh
(Disertasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1993), h. 35.
14
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu tazilah (Jakarta: UI Press,
1987), h. 11.
15
Tidak diketahui pasti siapa identitas istrinya dan apakah ia mengikuti Abduh ke
Thanta yang akhirnya ia ( Abduh) lari ke desa Kanisah Urin tempat pamannya tinggal.
16
Lihat Abd Allah Mahmud Syahata, Manhaj, h. 9.
17
Harun Nasution, Muhammad Abduh, h. 12.
18
Lihat juga Syahata, Manhaj, h. 13.
19
Harun Nasution, Muhammad Abduh, h. 13.
çèè
Sehat Sulthoni Dhalimunthe: Landasan Filsafat Pendidikan Islam Muhammad Abduh
io_ ^_bcdm
^_`a pecnai^uflik(1877-1882 M)
Periode ini dimulai setelah Abduh tamat dari Universitas al-Azhar tahun 1877
sampai ia diasingkan ke Beirut 1882. 25 Pada periode ini selain kegiatan mengajar di
berbagai sekolah,26 Abduh juga rajin menulis artikel untuk surat kabar, terutama al-
Ahrâm, yang mulai terbit tahun 1876. Tulisannya mencakup bidang-bidang ilmu
pengetahuan, sastra Arab, karang-mengarang, politik, agama, dan sebagainya. 27 Selain
kegiatan intelektual, atas pengaruh gurunya al-Afghânî, ia juga terlibat dalam kegiatan
20
Lihat juga Syahata, Manhaj, h. 13.
21
Harun Nasution, Muhammad Abduh, h. 13.
22
Darmu in, Pemikiran Muhammad Abduh dalam Pemikiran Pendidikan Islam (Semarang:
Pustaka Pelajar, 1999), h. 184.
23
Arbiyah Lubis, Muhammad Abduh, h. 114.
24
Harun Nasution, Muhammad Abduh, h. 161-162.
25
Arbiyah Lubis, Muhammad Abduh, h. 115.
26
Lihat Hidarah, Min Alami al-Tarbiyah al-Islâmiyah, h. 294.
27
Harun Nasution, Muhammad Abduh, h. 15. Lihat juga Harun Nasution, Pembaharuan,
h. 61-62. Tentang sepuluh prinsip pembaharuan Universitas al-Azhar, lihat Rasyid Ridha,
Tafsîr al-Manâr, jilid VIII (Kairo: Dâr al-Manar, t.t), h. 470-476.
678
MIQOT jklm nnnIj Nkm o JplqrDstsuvsw oxyx
z{|}~} Cz ~
{|{
}| I
}
} ~z M}
~ }~
~
{| |Aânî. al-Afghânî membangkitkan nasionalisme Mesir yang telah dirintis oleh
al-Tahtawî dan selanjutnya ia mendirikan - -, Partai Nasional Mesir.
Pandangan-pandangan politik al-Afghânî ditransfer oleh Muhammad Abduh dalam
kuliah-kuliah dan tulisan-tulisannya di surat kabar. 28
Meskipun Muhammad Abduh telah terlibat dalam pemikiran dan aktivitas politik
al-Afghânî, namun pada dasarnya ia tidak setuju dengan ide nasionalisme Mesir. Karena
itu, Muhammad Abduh dalam pemberontakan Urabi Pasya menentang penguasa dan
parlemen tidak terlibat aktif. Menurutnya, rakyat Mesir belum g untuk kehidupan
parlemen. Namun setelah gerakan Urabi Pasya berubah arah untuk perlawanan terhadap
Barat, ia melibatkan diri dalam gerakan itu dan akhirnya ia pun dipenjarakan selama
tiga bulan.29
io unk ri(1822-1905 M)
Kesan keterlibatan Muhammad Abduh dalam pemberontakan Urabi Pasya
tampaknya belum terhapus di hati Khedewi Taufik. Permohonan Muhammad Abduh
untuk mengajar di Dâr al- Ulûm ditolaknya. Ia menawarkan kepada Muhammad Abduh
jabatan hakim di luar kota Kairo, karena jabatan ini dianggap Khedewi tidak dapat
menjadi sarana ampuh bagi penyebaran pikiran politik Abduh.30 Tetapi, berbagai jabatan
yang diemban oleh Muhammad Abduh dibuatnya menjadi sarana untuk pembaharuan.
Ada tiga sasaran pembaharuannya, yaitu pendidikan, hukum, dan wakaf. Pembaharuan
dalam bidang pendidikan ia pusatkan di Universitas al-Azhar.
Kedudukan Abduh sebagai wakil pemerintah Mesir dalam dewan pimpinan
Universitas al-Azhar yang dibentuk atas usulnya dimanfaatkan untuk mengadakan
pembaharuan pendidikan Universitas al-Azhar, yang tidak hanya menyangkut sistem
pengajaran seperti metode, kurikulum, administrasi dan kesejahteraan guru, tetapi juga
mencakup sarana fisik, seperti asrama mahasiswa, perpustakaan, dan peningkatan
pelayanan kesehatan bagi mahasiswa.31
Pada tahun 1899, Abduh diangkat menjadi mufti menggantikan Syekh Hasunah
al-Nadawî. Kesempatan ini ia gunakan untuk melakukan pembaharuan dalam bidang
28
Lihat Harun Nasution, ¡¢£¤¥¥¤¦ §¨¦¢£, h. 15-16.
29
Thahir al-Thanahî, ¡¢©¤ªª«¬¤ (Kairo: Dâr al-Hilâl, t.t.), h. 124. Lihat juga Harun
Nasution, ¡¢£¤¥¥¤¦ §¨¦¢£, h. 16-17.
30
Lihat Rasyid Ridha, ®¯¬«ª£ ¤°-±²¤«ª£ ¡¢£¤¥¥¤¦ §¨¦¢£ (Mesir: Dâr al-Manâr, 1931),
h. 392 dan 398. Lihat juga Abd al-Muta al al-Sha idî, §°-¡¢³¤¦¦«¦ûna fî al-Islâm: Min al-Qarni
al-Awwâl ila al-Qorni al-Rabi Asyar (Kairo: Maktabah Adab, t.t.), h. 400-403.
31
Arbiyah, Muhammad Abduh, h. 117. Lihat juga Rasyid Ridha, Al-Manâr, jilid VII, h.
488-490.
ghi
Sehat Sulthoni Dhalimunthe: Landasan Filsafat Pendidikan Islam Muhammad Abduh
·¸¹¸º» ¼½¾·¾¿À¾ À¾¿Á ÂÃÄžº¾ ¾Æ¾Ç¾· ºÃĸȾ· ¾¿Æ¾¿Á¾¿ º¾½À¾Ä¾¹¾Å Åÿž¿Á º¸ÉÅÊ
À¾¿Á ÆÊŸ¿Ë¸¹ ¿ÃÁ¾Ä¾ ½ÃȾÁ¾Ê Âÿ¾½Ê·¾Å ·¸¹¸º ȾÁÊ ¹ÃÂÿÅÊ¿Á¾¿ ¿ÃÁ¾Ä¾» I¾ ºÃºÈÃÄʹ¾¿
¹Ã½ÃºÂ¾Å¾¿ ¹Ã¾ƾ º¾½À¾Ä¾¹¾Å Ǹ¾½ ¸¿Å¸¹ ºÃ¿ÁÁ¸¿¾¹¾¿ ˾½¾¿À¾» ÌÍ
ξƾ ž·¸¿ ÏÐÑÒÓ AÈƸ· ºÃ¿ÆÊÄʹ¾¿ ÔÄÁ¾¿Ê½¾½Ê ½Ô½Ê¾Ç ÕÖ×ØÙÖÚ ÖÛ-ÜÝÖØÞØßÖÚ ÖÛ-
àáÛâmiyyat ¸¿Å¸¹ ºÃ¿À¾¿Å¸¿Ê ɾ¹ÊÄ ºÊ½¹Ê¿ ƾ¿ ¾¿¾¹â¾¿¾¹ À¾¿Á ÅÊƾ¹ º¾ºÂ¸ ÆÊÈʾÀ¾Ê
Ôľ¿Á Ÿ¾¿À¾» IÆÃ Ê¿Ê ÅÊºÈ¸Ç ¾Å¾½ ¾½ÂÊľ½Ê ÂÿÁ¾Ç¾º¾¿¿À¾ ÆÊ EÄÔ¾» ÌÌ
ã¾¹¾É ºÃĸ¾¹¾¿ ½¾Ç¾· ½¾Å¸ Ê¿½ÅÊŸ½Ê ÂÿÅÊ¿Á ¹¾Äÿ¾ ºÃĸ¾¹¾¿ ½¸ºÈÃÄ Æ¾¿¾ À¾¿Á
½¾¿Á¾Å ÈÃľÄÅÊ Â¾Æ¾ º¾½¾ ÊŸ» K¾Äÿ¾ ¾ÆºÊ¿Ê½Åľ½Ê ä¾¹¾É ½¾¾Å ÊŸ ÅÊƾ¹ ÅÃÄÅÊÈÓ º¾¹¾ AÈƸ·
ºÃºÈÿŸ¹ M¾ËÇʽ AƺʿʽÅľ½Ê ã¾¹¾É ƾ¿ ʾ ƸƸ¹ ½ÃȾÁ¾Ê ½¾Ç¾· ½¾Å¸ ¾¿ÁÁÔž¿À¾»
D¾Ç¾º ¹ÃƸƸ¹¾¿¿À¾ ½ÃȾÁ¾Ê ¾¿ÁÁÔž M¾ËÇʽ AƺʿʽÅľ½Ê ã¾¹¾ÉÓ Ê¾ ÈÃÄ·¾½ÊÇ ºÃ¿Á¾Æ¾¹¾¿
ÂÃÄȾʹ¾¿âÂÃÄȾʹ¾¿ º¾½ËÊÆ» ξƾ ž¿ÁÁ¾Ç ÏÏ J¸ÇÊ ÏÑåæÓ AÈƸ· ºÃ¿Ê¿ÁÁ¾Ç Ƹ¿Ê¾» Ìç
Menurut Muhammad Abduh bahwa manusia adalah makhluk yang paling serasi
32
Rasyid Ridha, Târikh, h. 429. Lihat juga Rasyid Ridha, Al-Manâr, jilid VIII, h. 467-468.
33
Rasyid Ridha, Târikh, h. 429.
34
Ahmad Amîn, Zu amâ al-Ishlâh, h. 353.
35
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Quran (Bandung: Mizan, 1994), h. 37.
´µ¶
MIQOT úûüý þþþIú Nûý ÿ J üD ÿ
M
A
!
A
" J A
"
#
A
" $
" %
" L&
'
" D
A
' D
& '
"() A
'" D
A %*#"
D M
A
+,--.,-,/0
+,12,3 4,/5îm0 '
+rûh0
'" D
H N
F6 7
" D
'
" K
#în yang dapat dimakan semuanya, tidak ada sedikit pun yang harus dibuang. 38
36
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, jilid IV (Kairo: Dâr al-Manâr, 1365 H), h. 270.
37
Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok al-Qur an (Bandung: Pustaka, 1996), h. 26. Senada
dengan Fazlur Rahman, Abbas Mahmud Aqqad mengatakan bahwa roh dan jasad adalah dua
esensi pokok dan dengan keduanya manusia hidup, yang satu dengan yang lain tidak mungkin
berbeda atau terpisah. Abbas Mahmud Aqqad, Manusia Diungkap al-Qur an, cet. 3 (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1993), h. 32.
38
Lihat Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1999), h. 37. Unsur manusia
yang terdiri dari jasad dan roh telah dipahami para filosof Yunani, Kristen dan Hindu sebagai
suatu substansi yang berbeda dan bertentangan. Pendapat itu tidak didukung oleh al-Qur an
÷øù
Sehat Sulthoni Dhalimunthe: Landasan Filsafat Pendidikan Islam Muhammad Abduh
D<=> ?=<><@ A> <B<CD EFG<CG<H I<HJ< M?H<KK<A AIA?H IF=LF@A<L<B I<HJ< K<@?C><
L<A< A<C<=@M< <A<G<H I>I>B ?@NN?G M<@N I<>OD KFK>G>O> C>P<BQC>P<B RSâhiyah M<@N
A>>KLGFKF@B<C>O<@ A<G<K @>G<>Q@>G<> OFK<@?C><<@T KFK?G><<@ >@> BF@B? IF=G<@A<CO<@
OFL<A< A<M< =<C< K<@?C><T UFB<L> L<A< LF=OFKI<@N<@ CFG<@E?B@M<D E>J< K<@?C>< B>A<O
CB<I>G G<N>T KFB>A<OCB<I>G<@ E>J< >@>G<H M<@N KF@MFI<IO<@ K<@?C>< KF@E<A> B>A<O K?G><T
ghijklmn goio pqrpspjik Iitog uhtojonvon joqhno lhnvoqmw otxGwoyâlî mendukung pendapat
itu. Rahman, Tema-Tema Pokok al-Qur an, h. 26. Senada dengan Fazlur Rahman. Abbas Mahmud
al-Aqqad mengatakan bahwa roh dan jasad adalah dua esensi pokok dan dengan keduanya
manusia hidup, yang satu dengan yang lain tidak mungkin berbeda atau terpisah. Aqqad,
Manusia Diungkap al-Qur an, h. 32.
39
Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, juz I, h. 63.
40
Ibid.
41
Abd al-Hasan, Al-Tarbiyah al-Islâmiyah (Beirut: Dâr al-Fikr, 1977), h. 46.
42
Lihat kandungan Surat al-lkhlas dalam Muhammad Abduh, Juz Amma.
43
Abd al-Hasan, Al-Tarbiyah al-Islâmiyah fî al-Qarni al-Râbi al-Hijri (Beirut: Dâr al-Fikr,
1997), h. 46.
9:;
MIQOT }~ I} N~ J
D
D M A
D ¡ ¢ ¢ ¢
¢ ¢
¢ ¢ £ ¤¤
I ¢ ¢ I
¡ ¢ A
¥ ¥ ¢ ¢ ¥
¢ ¦¦ ¦¦ ¢ ¦¦ ¢
K ¥ ¢¡¢ §
¦¢ ¢ ¢ K
¥ ¢ ¦¦ ¢ ¡ ¢ ¨ ¤©
ª A K « ¢ A
¢ ¦¦
¬ H ¥¡¥ ¢ ¦¦
¢ ¦¢ ¢ ¡ ¢ ®¯-°±²² ³® ®¯- ´®µ²ûf¶
· § ¦¢ ¢¢¢¡ J
¦ ¡ ¥ ¢¢
¢¡¢ ¢ § ¥ ¢
¢
¸ § ¥ ¢¢¢¡ ¢ ¢ ¡
¢ ¢
Ibid,
L
H
A
H Al-Tarbiyah,
! Ibid.,
"# $ %
$
Tarikh, &
"' M()
G *âlî, nafs atau jiwa itu memiliki beberapa makna, dua di antaranya
tempat tumpukan sifat marah dan syahwat. Nafsu dalam arti kedua mempunyai sifat yang
ÑÒÓ
MIQOT -./0 111I- N.0 2 J3/45D676896: 2;<;
=>?@ A@B>C DEF?>@C@G GHD>IGHD> CJCG@H K@F CE=@B@A LEM>K@N@@F D@CN@B@L@OP MEBEL@
=>?@ AEFK@LFN@ MGC@ DEFKG@?FJCGC QEFN@LGO =GR@ K@F M>L@F DEBEC@AL@F =GR@P
D@BG >B@G@F OEFO@F? D@CN@B@L@O KG @O@C =EH@C M@AR@ M>A@DD@K AMK>A DEDGHGLG
QEDGLGB@F @L@F QEFOGF?FN@ LEAGK>Q@F MEBD@CN@B@L@O K@F OGK@L MGC@ AGK>Q DEFNEFKGBGP
QEF?EO@A>@F =>?@ KGOED>L@F K@H@D @HIX>BY@FP AN@OI@N@O GFG MEBGBGF? >FO>L DEF>F=>LL@F
QEB@F@F QEFOGF?FN@ GHD> QEF?EO@A>@F N@F? MGC@ DEDM>@O CECEJB@F? DEF[@Q@G KEB@=@O
N@F? OGF??GP IMF M@CY>K DEF?@O@L@F M@AR@ JB@F? N@F? KGMEBGL@F GHD> DEDQ>FN@G
bc
KEB@=@O N@F? OGF??G K@BGQ@K@ JB@F? N@F? DEDQ>FN@G GD@F O@QG OGK@L MEBGHD>P
OEBKGBG K@BG K>@ D@[@DP Pertama, GHD> N@F? KGQEBJHEA O@FQ@ >C@A@ D@F>CG@ K@F LED>KG@F
KGCEM>O GHD> laduni.bd KeduaS GHD> N@F? KGQEBJHEA KEF?@F >C@A@ D@F>CG@ K@F LED>KG@F
KGCEM>O GHD> kasb. MEF>B>O X>B@GCA TAGA@MS @N@OI@N@O @HIX>BY@F DEF?GCN@B@OL@F M@AR@
be
GHD> kasb HEMGA M@FN@L =>DH@AFN@ K@BG Q@K@ GHD> laduni.bb D@H@D QEDM@A@C@F GFGS GHD>
96:fg6hf :fif8 7673f4 j6gifg h6fjffggkfl nafs muthmainnah h6m4hf nafs 4m3 m6gfgi m6:n4gjf:
jf:4 ifgii3fg 7kfnofml nafs al-ammarah bi al-su p4hf nafs 4m3 qfjf 7kfnofml jfg nafs lawwamah,
nafs 4m3 76/f/3 86g6gmfgi nafs syahwat 76n4giif h6m6gfgifg nafs m4jfh 768q3:gf0 L4nfm
f/5Gnfrâlî, Keajaiban Hati, terj. Tim Penerjemah Tintamas (Jakarta: Tintamas, 1984), h. 34.
p4hf
Roh juga memiliki dua arti, roh jenis yang halus bersumber dari rongga hati jasmani dan roh
yang halus pada manusia yang dapat mengetahui segala sesuatu dan dapat menangkap segala
pengertian. Roh dalam artinya yang kedua inilah yang terkandung dalam ayat qul al-rûh min
amri rabbî . Ibid., h. 2-3. Menurut Quraish Shihab, nafs terkadang diartikan totalitas manusia
yang menghasilkan tingkah laku manusia. Terkadang nafs diartikan untuk menunjukkan diri
Tuhan seperti (Q.S. al-An âm/6: 12). Tetapi secara umum dapat dikatakan bahwa nafs dalam
konteks pembicaraan tentang manusia, menunjuk kepada sisi dalam manusia yang berpotensi
baik dan buruk. Lihat Quraish Shihab, Wawasan al-Qur an, h. 285-286.
52
Lihat Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan al-Qur an,
terj. M. Arifin dan Zainuddin, cet. 2 (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 89-90.
53
Mengenai ilmu laduni ini terkandung dalam Q.S. al-Kahf/18: 65.
54
Muhammad Quraish Shihab lahir di Rappang, Selawesi Selatan, 16 Februari 1994. Ia
memperoleh gelar Doktor di Universitas al-Azhar dengan yudisium summa cum laude tahun 1982.
55
Lihat Quraish Shihab, Wawasan al-Qur an, h. 435-436; Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr,
jilid III, h. 119.
+,+
Sehat Sulthoni Dhalimunthe: Landasan Filsafat Pendidikan Islam Muhammad Abduh
~x zv~{ wzwz {
w~ ~{ wzwyzx~} yz{~y~} ~~v ~ ~x x|~
zx{| x{}x wzvxx~{ yzw~{ ~~v ~{| ~v~
kl
Kz~x~{ zy x~{ ~~ {~vx zw~{x~~{ }z}~y }z~y~} x|~ yz{}~
~v~w ~vx~{ x{}x wz{
{| zy ~{ wzv~~{| w~{x~ x{}x z}~v
A~}~~} ~vx~{ wz{zx} ~}~} x~{ ~}~ Mx~ww~ Ax }z}~y w~{x~
}~ w{}~ yz~~ z|}x ~~
F~v~~ xx wz{xx} Mx~ww~ Ax x~{v~ zxwz ~ ~x ~~
}z}~y x|~ ~~v A~v z{|~{ zx~}~{ ~{| ~~ y~~ {~ zx~~ wzwyz
vz
yz{|z}~x~{ }z{}~{| }x~{ ~{ ~x Mx~ww~ Ax ~}~ H~x{ N~x} {
zv~}~{{~ yz{|~{x} ~v~~ zw~{~ ~{| wz{|~}~~{ ~~ ~ w~{x~ ~y~}
D }zwy~} v~{ Mx~ww~ Ax wz{|~}~~{ ~~ ~~ ~~ w~{x~ ~{|
z|}x x z{||~ wzz~ ~y~} wz{zw~ vwy~~{ ~~~N~ ¥-¦§¨© ¥-âhi
z{~y~} { ~~~{ Ax y~~ ~vB~®~~¯°± ²³´ ~{| zx{±
µ¶ L·¸¹º H¹»¼½ N¹¾¼º·¿½À
Muhammad
Abduh,
¸ÁÂÃÀ
Ĺ½ B¹Æ¹
ÅÅÁ ÉÊË̹ͷ
ι¾Ï·Ä ηĸ¹À Tafsîr al-Manâr, ǼРIÀ ¸Á ÑÂÒÑÅÁ
ÂÂÀ Ǽȹ
µÓ M¼¸¹ËË¹Ä AÌļ¸À Risâlah al-Tauhîd ÔK¹·»¿Õ Dâr al-Manâr, 1366 H.), h. 23.
Harun Nasution, Muhammad Abduh, h. 44.
58
Ibid., h. 6.
59
60
Harun Nasution, Muhammad Abduh, h. 93.
61
Ibid., h. 111.
62
Yang dimaksud akal berkualitas tinggi menurut Muhammad Abduh adalah mereka
yang sampai untuk mengetahui Tuhan dan alam abstrak lainnya. Harun Nasution, Muhammad
Abduh, h. 34.
63
Yang dimaksud akal berkualitas rendah menurut Muhammad Abduh adalah mereka
stu
MIQOT ÙÚÛÜ ÝÝÝIÙ NÚÜ Þ JßÛàáDâãâäåâæ Þçèç
éêëìíîîìïíðñ òñóñô õêíö÷õøññí óñíî÷ø òñí ùìô÷, ë÷ó÷ï ùêúîñíø÷íðñ ôñóñô òñí ë÷ñíî, ùñïøêúñ
ðñíî ùêúóñðñú ò÷ óñìø ôêôùñûñ ñõñ ðñíî ùêúîìíñ ùñî÷ ôñíìë÷ñ, òñí ñõñ ðñíî üóóñï øìúìíýñí
òñú÷ óñíî÷ø ùêúìõñ ñ÷ú, óñóì òêíîñí ñ÷ú ÷øì þ÷ñ ï÷òìõýñí ùìô÷ ëêëìòñï ôñø÷ (ýêú÷íî)-íðñ
òñí þ÷ñ ëêùñúýñí ò÷ ùìô÷ ÷øì ëêîñóñ ÿêí÷ë ïêûñí, òñí õêíî÷ëñúñí ñíî÷í òñí ñûñí ðñíî
ò÷ýêíòñó÷ýñí ñíøñúñ óñíî÷ø òñí ùìô÷. éìíîîìï (øêúòñõñø) øñíòñ-øñíòñ (ýêêëññí òñí
Kamu mendapat hidup dengan (peraturan) qishash itu, hai orang-orang yang berakal,
mudah-mudahan kamu bertakwa. B
$%
K ûlu al-bâb M A
A !! khawas"&
M A ûlu al-bâb
lub) "" H '
M "(
) M A
! *
"+
D M A ,
! !, -
* ! N
./01 2à3/4 ã/ä5/à ß02ß4 äâ01â2/6ßà 7ß6/0 3/0 /Û/ä /åã2æ/4 Û/à00./Ü B/8/ Mß6/ää/3 Aå3ß69
Risâlah al-Tauhîd, 6Ü ::; H/æß0 N/ãß2àÚ09 Muhammad Abduh, 6Ü <=Ü
>? Là6/2 @/ã.à3 @à36/9 Tafsîr al-Manâr, AàÛà3 II BK/àæÚC Dâr al-Manâr, 1365 H), h. 63-64.
65
Ibid., h. 133.
66
Ibid., h. 229.
67
Muhammad Abduh, Risâlah al-Tauhîd, h. 77.
68
Ibid., h. 110.
Ö×Ø
{
{ D{
{¥ L
F
®
I
M{
A{
FGHGIJGKLIMNI MLONPPNJ AQJLO RNJN SGTKU NNSUVUWPG JNI EPRUKUWPG XGQUO XNIYLS
SUJNF JUFGSNOLUZ DNKU FNXUPNS[ \SGKLSNPN TXGO RGKQGJNNI RGPQN]NNI NXNPU^_ JNRNS
JURNONPU QNO]N UN XGQUO HTIJTIM RNJN SGTKU NNSUVUWPGZ NNPLI WNSL ONX `NIM RNWSU[ UN
WNIMNS NRKGWUNSUa SGKONJNR FGKYN NFNXZ DGIMNI JGPUFUNI FGXUONSNII`N UN XGQUO HTIJTIM
RNJN EPRUKUWPG[ ONI`N WNYN JNXNP PGIMGSNOLU bLONI JNI NXNP NQWSKNF XNUII`N PLIMFUI
UN HTIJTIM RNJN SGTKU NNSUVUWPGZ DNXNP FNSN XNUI[ RGPUFUKNI KTIVGKMGIWU MLONPPNJ
AQJLO SGISNIM JN`N NFNX XGQUO QNI`NF JURGIMNKLOU TXGO SGTKU EPRUKUWPGZ
Wahyu
MLONPPNJ AQJLO PGIJGWFKURWUFNI QNMNUPNIN QNONWN NXcdLKeNI NSNL ]NO`L
QGKFGPQNIM WGWLNU JGIMNI RGKFGPQNIMNI NFNX PNILWUNZ MGILKLSI`N[ PNILWUN USL
RNJN PLXNI`N FGHUX[ XNXL PGIYNJU JG]NWNZ DGPUFUNI YLMN[ AXXNO QNMNUFNI TKNIM SLN
QNMU NINFcNINFI`NZ fPNS SGKJNOLXL PNWUO NINFcNINF[ WGOUIMMN RGKUISNO RLI PLSXNF
JUFGKYNFNI[ XNKNIMNI FGKNW ONKLW JUSUIMMNXFNII`N[ WGOUIMMN WGSGXNO JG]NWN PNILWUN
UIU[ bLONI RLI QGKQUHNKN JGIMNI NFNXZ gh
fPNS PNILWUN FGSUFN IWXNP JNSNIM WLJNO PGIYNJU JG]NWN JNI PGIMOGIJNFU NMNPN
`NIM KNWUTINXZ KNKGIN USLXNO FUSN SUJNF WLXUS PGIJNRNSFNI QNMNUPNIN NXcdLKeNI QGKQUHNKN
QLFNI WNYN RNJN RGKNWNNI PNILWUN[ SGSNRU RNJN NFNX PGKGFNZ DGPUFUNI YLMN INQU QGKQUHNKN
JGIMNI NFNX QNOFNI PGIYNJUFNI NFNX WGQNMNU ONFUP NISNKN `NIM QGINK JNI `NIM WNXNOZij
KLNXUSNW NFNX PNILWUN NJN `NIM SUIMMU JGKNYNSI`N JNI NJN `NIM KGIJNO[ FGPLJUNI
TKNIMcTKNIMI`N JUWGQLS FNLP klmnmo JNI FNLP mnmpZ qLIMMLO RLI NFNX FNLP klmnmo
PGPRLI`NU JN`N `NIM FLNS[ SGSNRU NFNX PGKGFN SUJNF JNRNS PGPRGKTXGO WGXLKLO
RGIMGSNOLNI `NIM ]NYUQ QNMUI`N SGISNIM bLONI JNI NXNP MNUQZir qUaNScWUaNS bLONI WGRGKSU
QGKQUHNKN[ PGXUONS[ JNI PGIJGIMNK `NIM FGPLJUNI JUWGQLSFNI TXGO MLONPPNJ AQJLO
WUaNScWUaNS `NIM ]NYUQ QNMUcN`N SUJNF JNRNS JUFGSNOLU TXGO NFNXZis MNILWUN JNRNS PGIMGSNOLU
WUaNScWUaNS bLONI ONI`N JNKU ]NO`LZ qGXNUI USL[ NFNX YLMN SUJNF JNRNS PGIMGSNOLU ONFUFNS
OUJLR JU NXNP MNUQ INISUZ qGHNKN KUIHU[ NFNX SUJNF PGIMGSNOLU FGQNONMUNNI JNI FGWGIMWNKNNI
JU NFOUKNS INISUZ LGQUO XNIYLS[ MLONPPNJ
AQJLO PGIMNSNFNI QNO]N NFNX SUJNF JNRNS
PGIMGSNOLU HNKN PGIMOUSLIM RGKQLNSNI QNUF JNI QLKLF JU NFOUKNS INISUZit DGIMNI XNSNK
QGXNFNIM RGPUFUKNI JU NSNW[ PNFN PNILWUN PGPQLSLOFNI ]NO`L LISLF PGPQNISLI`N
uv wxyz., {| }~|
wxyz., {| }~|
M{
A{
M{
{
M{
{{
| G
{ {
{
{
|
{
{
{
A B
| M
K
y¡y¢£ ¤J
¥ E
¦§§¨© {| }§}|
ª wxyz., {| ~~«~¨|
¬ wxyz., {| ¨¨|
DEE
MIQOT ²³´µ ¶¶¶I² N³µ · J¸´¹ºD»¼»½¾»¿ ·ÀÁÀ
ÂÃÂÄÃÅÆÇÃÈ ÄÃÉÊÃËÌÈÍÌÉ ÇÃÎÏÈ ÇÍÌÐ ËÃÉËÌÉÊ ÑÍÈÌÉ ÒÌÉ ÂÌÐÌ ÒÃÄÌÉÉÓÌ ÒÏ ÌÇÌÂ ÊÌÏÎ
ÉÌÉËÏÔÕÖ
MÃÐØÏÄÍÉ ØÌÍÂ ÙÚÛÜÛÝ ÂÃÂÏÇÏØÏ ØÍÌÇÏËÌÐ ÌØÌÇ ÓÌÉÊ ËÏÉÊÊÏà ËÃËÌÄÏ ËÏÒÌØ ÐÃÂÍÌ
ÎÌÈÌÐÌ ØÌÍ ÛÜÛß ÒÌÄÌË ÒÏÂÃÉÊÃÅËÏ ÆÇÃÈ ÂÃÅÃØÌÔ AÒÌ ÍäÌÄÌÉåÍäÌÄÌÉ ÄÌÅÌ ÉÌÎÏ ÓÌÉÊ
ÒÏËÍâÍØÌÉ ÍÉËÍØ ØÌÍ ÛÜÛßÔ KÌÍ ÙÚÛÜÛÝ ËÏÒÌØ ÂÃÉÊÃÅËÏ ÍäÌÄÌÉåÍäÌÄÌÉ ÏËÍ ØÃäÍÌÇÏ
ÐÃËÃÇÌÈ ÂÃÇÌÇÍÏ ÄÅÆÐÃÐ ÏÉËÃÅÄÅÃËÌÐÏÔÕÕ
AÒÌ âÍÊÌ çÏÅÂÌÉ ÑÍÈÌÉ ÓÌÉÊ ËÏÒÌØ ÂÌÂÄÍ ÒÏÄÌÈÌÂÏ ÆÇÃÈ ØÌÍ ÛÜÛß ØÃäÍÌÇÏ
ÐÃËÃÇÌÈ ÌÒÌÉÓÌ ÄÃÉâÃÇÌÐÌÉ ÄÌÉâÌÉÊ ÇÃÎÌÅ ÓÌÉÊ ÂÃÂÎÍËÍÈØÌÉ áÌØËÍ ÓÌÉÊ ËÏÒÌØ ÐÃÒÏØÏËÔ
×ÃÂÃÉËÌÅÌ ØÌÍ ÙÚÛÜÛÝ ÒÌÄÌË ÂÃÉÌÉÊØÌÄ ÂÌØÐÍÒ çÏÅÂÌÉ ÏËÍÔ éÌÈÓÍ ÐÃÂÌäÌ ÏÉÏà
ÂÃÉÍÅÍË MÍÈÌÂÂÌÒ AÎÒÍÈ ÒÏËÍâÍØÌÉ ØÃÄÌÒÌ ØÌÍ ÙÚÛÜÛÝÔÕê MÃÉÍÅÍË HÌÅÍÉ
NÌÐÍËÏÆÉà çÏÅÂÌÉ ÑÍÈÌÉ ÓÌÉÊ ÒÏÂÌØÐÍÒ ÏËÍ ÏÌÇÌÈ ËÌÉÒÌåËÌÉÒÌ ÑÍÈÌÉ ÓÌÉÊ ËÃÅÒÌÄÌË ÒÏ
ÌÇÌÂà ÐÃÄÃÅËÏ ÂÌËÌÈÌÅÏà ÎÍÇÌÉà ÄÇÌÉÃËåÄÇÌÉÃËà ÐÃÅËÌ ÊÃÅÌØ ÂÌÐÏÉÊåÂÌÐÏÉÊ ÓÌÉÊ ÎÃÅÐÏçÌË
ËÃËÌÄ ÏËÍÔèë ÑÍâÍÌÉ ËÌÉÒÌåËÌÉÒÌ ÏËÍ ÂÃÉÍÅÍË MÍÈÌÂÂÌÒ AÎÒÍÈ ÍÉËÍØ ÂÃÉÌÅÏØ ÄÃÅÈÌËÏÌÉ
ÆÅÌÉÊ ÄÌÒÌ ÅÌÈÌÐÏÌåÅÌÈÌÐÏÌ ÓÌÉÊ ËÃÅØÌÉÒÍÉÊ ÒÏ ÒÌÇÌÂÉÓÌ ÒÌÉ ÈÏØÂÌÈ ÄÃÉäÏÄËÌÌÉÉÓÌÔèì
BÌÏØ áÌÈÓÍ ÓÌÉÊ ÒÏËÍâÍØÌÉ ÍÉËÍØ ØÌÍ ÙÚÛÜÛÝ ÂÌÍÄÍÉ áÌÈÓÍ ÓÌÉÊ ÒÏËÍâÍØÌÉ
ÍÉËÍØ ØÌÍ ÛÜÛß âÍÂÇÌÈÉÓÌ ÈÌÉÓÌ ÐÃÒÏØÏËÔèí ×ÃÇÌÏÉ ØÃÒÍÌ áÌÈÓÍ ÓÌÉÊ âÍÂÇÌÈÉÓÌ ÐÃÒÏØÏË
ÏËÍà ÂÃÉÍÅÍË MÍÈÌÂÂÌÒ AÎÒÍÈ ÌÒÌ áÌÈÓÍ ÎÃÉËÍØ ØÃËÏÊÌÔ éÌÈÓÍ ÏËÍ ÌÒÌÇÌÈ ÐÃÎÌÊÏÌÉ
!"#$% &$' ()" $'$ *+" $' )' $ ($""
H"$ N",$- $ $ $' ($'$"$' .$+ ). ($" "$")
( )$)$ )*/$)*/$ () +. 0"+$ $ ( )$% 12
D$'$ ()$- ($"" M"+(( A"+ ' (3( *+"4 15
6% 7+" $' "/")$ "$") )"( 89:;:< $ :;:=% 7+" " '$
!"#$%
>% 7+" $' "/")$ )+"" "$") )"( :;:=% J"( + *+" $ ( !"#$
+$ )%
?% 7+" $' "/")$ )+"" "$") )"( 89:;:<% J"( + *+" $ (
!"#$ . $' )%
D $ " "( (" - ) $ *+"- .)+ )"$ $$'$@
M$"" M"+(( A"+ +* $ *+" $ ) ) ("$')$ .$$'$%
B$ +* ) +" .3 ). (" . $' * *+" $ ("$')$
$$ $' ) )+" +))$% B'" ."$ ) ) */ ($( .
$' ("+ - . "$ " $' $$'$ " $ " $'
*$$ " (. . *)" $' (- )$ '( "3 + + $'
". "% J) *+" ((* "" $' . +$ ) +$ $$'$ $'$
) - ()$ + $/" ($/ )$- */ ' ) "$") ()$ +* . $'
()" ")$ + +A+- ) )("$ ((."$ )$ (( $.
). *+" " ($+)$ ()" $$ *+" $')"$ ). A +%
Filsafat Akhlak85
I (" )+ )- ($"" M"+(( A"+- + (" $' ((+ )"($
)"($ $ 3 ($) ($" ' . ((., +$% B $ "- (" $
/"' ((+ $$' . )". )" 3 $ 3 ($) ($" "$")
+$ ( )")$$%1C
M$"" A"+- (" )+ ) $' $' .$$' $ ( !"#$- H-
* + $ D:EFGîn% 0' "( $ $'$ .$/$' $) ((+
HI Ibid., JK LMNOPNNK
HQ HRSTU NRVTWXYUZ Muhammad Abduh, JK [\O[]K
H^ DR_R` KR`TV BaVRS BRJRVR IUbYUaVXRZ cRWR dRcJ_Rce bXRSWXcRU VafRgRX fTbX hacaSWX
RWRT ca_RcTRUK MaVcXhTU RcJ_Rc bXR`fX_ bRSX fRJRVR ASRfZ UR`TU cRWR XWT WXbRc RbR bR_R`
R_OiTSeRUK DX bR_R` R_OiTSeRU JRUjR RbR cRWR k khuluqlK KRWR khuluq RbR bR_R` iKmK R_O
iR_R`no]p qK KRWR kRcJ_Rcl bXWa`TcRU bR_R` JRbXVOJRbXV NRfX MTJR``Rb mArKZ bX RUWRSRUjR
JRbXV jRUg bXSXsRjRWcRU Y_aJ MR_Xc jRUg faSfTUjX innamâ bu itstu li utammima makârim al-
akhlâqK ASWXUjR kAcT JRUjR bXTWTV TUWTc `aUja`hTSURcRU RcJ_Rc jRUg `T_XRlK iTSRXVJ mJXJRfZ
Wawasan al-Qur an, JK Pt[K
Hu vRVjXb vXbJRZ Tafsîr al-Manâr, wX_Xb IxZ JK qLK
MIQOT ~ I~ N J
D
D A ¡
K ¡ ¢ £ ¤
¤ ¢ ¥¦
¤ K ¡ K §¨ ¥©
¦ ¤ ¤ © ¥¦ ¨ ¤
¥ ¦
¤ ¤ ª¤
£ «¬ K M A
£ ¤ ¨ ¤
£««
D ¡ K ¢
A ¤ D ¨¤
¤ D ¨¤
¤ ¤ D
¨ I A ¨ M
A ©®¯ H °±²³´în«µ
M A ¢
¤ ¨¤ ª
¨ £ ¥¦ K ¤
£ ¤©¤¤ ¤ ¤
¤ §¶ ¡ ¤
©¤ ¤
G ¤ ¤
A © ©®¯ ¤
¤ ¤ K© al-khair, al-ma rûf, al-birr-al-hasan. ª
¤ © · ªA¸ ¤ shiddîq, amânah, tablîg,
dan fathânah. ¹ £ ¤ £
D ®ª ©Nâ /4: 5, Allah SWT. berfirman:
Janganlah kamu berikan harta-harta orang bodoh kepadanya, sedangkan Allah menjadikan
kamu untuk memeliharanya dan berikanlah belanja dan pakaian untuk mereka daripada
hartanya itu, serta katakanlah kepadanya perkataan yang baik. (Q.S. al-Nisâ /4: 5).
Ibid.
87
Ibid., h. 41-42.
88
89
Menurut Muhammad Abduh bahwa manusia berpeluang untuk menjadi baik dan buruk,
tetapi ia lebih potensial untuk menjadi baik. Lihat Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, jilid V, h. 61.
{|}
Sehat Sulthoni Dhalimunthe: Landasan Filsafat Pendidikan Islam Muhammad Abduh
Apabila datang waktu pembagian pusaka, karib-karib (yang diada mendapat bagian),
anak-anak yatim dan orang-orang miskin, berilah mereka itu sekedarnya dan katakanlah
kepada mereka perkataan yang baik. (Q.S. al-Nisâ/4: 8)
Muhammad Abduh menafsirkan al-ma rûf dalam ayat ini apa-apa yang membuat
jiwa-jiwa orang yang membutuhkan menjadi tenang tetapi ia tidak berat melakukannya.
Kebaikan juga termasuk meridhai apa-apa yang diberikan oleh pemberi (Allah). 91
Dalam Q.S. al-Baqarah/2: 177, kebaikan dengan kata al-birr ditafsirkan oleh
Muhammad Abduh bahwa secara bahasa berarti kebaikan yang luas al-tawâssu fî al-
khair, luasnya kebaikan itu bagaikan laut. Secara terminologi, al-birr apa-apa yang
mendekatkan seseorang kepada Allah yang terdiri dari iman, akhlak, dan amal shaleh.92
Dalam menafsirkan ayat ini juga ia mengutip surah al-Ahzâb/33: 21.
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu)
bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah.
90
Lihat Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, jilid IV, h. 385.
91
Ibid., h. 396-397.
92
Lihat Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, jilid II, h. 110-111.
93
Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, jilid II, Ibid., h. 114-115.
94
Ibid., h. 115.
95
Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, jilid V, h. 81-82.
º»¼
MIQOT ãäåæ çççIã Näæ è JéåêëDìíìîïìð èñòñ
óôõôö÷ø øùúûúüý Aþüÿúþ ø÷ ùúúøþú õô÷úø ú ôúú óúúüú ÷ þ þôù ÷ üú
üøû õúý Lôùøü ÿú ÷ øú ôú÷úþú ùúüú ú ûøúþó û øùúûúü ûø óøø ù þú óúú
÷ô÷ú ÷ú üøû ÷ô÷úõø øùúûúü óôúöú ý
Dúöø ûô
øøóø úþüÿúþ ûø ú÷úó M üúúû Aùû ü ôùúø úþüÿúþ þôõúûú û ú úþüÿúþ
þôõúûú Aÿÿúü ûú úþüÿúþ þôõúûú úþüÿ þý Aþüÿúþ þôõúûú úþüÿ þ øø ûúõú÷ ûøúùúöþú
ôúûø úþüÿúþ þôõúûú ú óøú úþüÿúþ þôõúûú üôú úþüÿúþ þôõúûú ÷ ù ü÷ ù üú
ûú úþüÿúþ þôõúûú ùôûú ú÷øý
Aõúùøÿú ûøÿúúþ þôõöøùúûøú M üúúû Aùû ü úþú úþú ûø÷ô þú úþüÿúþú
ú ÿøú ûú ûøþú÷úþú ùúüú öøóúÿúü ú÷ú øóøú úûúÿúü õôùúüúö ú úúú
ùôöûúóúöþú úþüÿúþý
ô÷ôÿúü ôøúÿþú øôöóø÷úó úÿAüúö øú ôüúùøóþú
úþ÷ ú ÷ þ ôõôöüú÷øþú úóúÿúü úþüÿúþ ûú õôöù ú÷ú úóúöúþú÷ý Iûøþúóø
øø ùøóú ûøÿøüú÷ ûúöø úþ÷øø÷úóú þô÷øþú øú ûøù ú þô Bôøö ÷ ûú þô ûøú þô Eöõúý Dø
Eöõú øú ûú Júúÿ úÿDîn al-Afghânî mendirikan - -â (suatu organisasi
surat kabar), di mana setiap langkah mereka berorientasi pada peningkatan akhlak. 98
Gerakan pembaharuan agama yang dilaksanakan Abduh berawal dari perbaikan
akidah dan pada gilirannya dapat memperbaiki akhlak manusia yang tercela. Selanjutnya
ia mengatakan dengan terus terang maksud semua gerakan yang saya lakukan dalam
membangun masyarakat Islam adalah untuk membenarkan atau meluruskan akidah
atau keyakinan kepada Allah. Menurutnya, jika akidah masyarakat selamat dari
khurafat, maka pada gilirannya bersinarlah ilmu-ilmu yang benar, baik ilmu-ilmu dunia
maupun ilmu agama, dan perbaikan akhlak. 99
Agama adalah sarana pendidikan akhlak karena tidak perlu lagi dijelaskan lebih
lanjut.100 Menurut Muhammad Abduh, agama adalah sarana yang paling efektif dalam
membina akhlak, sehingga perbuatan manusia menjadi benar dan baik. Selain itu hati mereka
juga akan tenang dan berbahagia. Dengan akhlak ini pula keadilan dapat ditegakkan.101
Muhammad Abduh sadar bahwa dalam menegakkan akhlak yang baik dengan
melalui pendidikan prosesnya sangat lambat, tetapi pengaruhnya sangat baik bagi
kehidupan masa yang akan datang. Inilah cara Muhammad Abduh dalam menegakkan
akhlak yang baik dalam dunia Islam khususnya di Mesir. 102
96
Ibid., h. 82.
97
Muhammad Imârah, Al-Imâm Muhammad Abduh Mujaddidu al-Dunyâ bi Tajdîd al-Dîn
(Kairo: Dâr al-Syurûq, 1408 H.), h. 61.
98
Ibid.
99
Ibid., h. 62.
100
Agama yang dimaksud adalah menjadikan al-Qur an sebagai petunjuk, karena itu
wahyu tidak perlu diragukan kebenarannya lagi.
101
Ibid., h. 62.
102
Meskipun Muhammad Abduh dalam menggunakan akalnya mengarang berbagai
buku, tetapi ia tetap saja kepribadiannya masih dominan pada akhlak yang mulia. Ibid.
àáâ
_`abc _decafgh Dabehidgca`j Lbgkblbg Fhelbmbc n`gkhkhobg Ilebi Mdabiibk Apkda
D"#$ %#"$"& '$ "(")* '"+"( '$+","-$ .",/" 0"&'")"& "1,0"1 "("% ($&21", 0"1%
3"&2 '$,"#"+1"& 405, A.'%, )5)%"$ '5&2"& '41(#$& "067%#8"& '"& H"'$)9 D"0"- 1"("
0"$&* .",/" %1%#"& "1,0"1 $(% ,"#%) )5)%"$ '5&2"& "067%#8"& '"& ,"'$)9 J$1" "'" +5#$0"1%
."$1 3"&2 '$"1%$ 405, -")3"#"1"( (5#(5&(% :(#"'$)$; (5("+$ .5#(5&("&2"& '5&2"& "067%#8"&
'"& ,"'$)* -"1" ,5&'"1&3" ($'"1 '$$1%($9 <5("+$ =$1" (#"'$)$6(#"'$)$ '"0"- -")3"#"1"(
$(% ($'"1 .5#(5&("&2"& '5&2"& "067%#8"&* -"1" +5#$0"1% $(% '"+"( '$.5&"#1"&9
>?n
utp
D"#$ %#"$"& '$ "(")* '$ "&("#"&3" '"+"( '$)$-+%01"& .",/" 0"&'")"& @$0)"@"(
+5&'$'$1"& I)0"- M%,"--"' A.'%, )5."2"$ .5#$1%(9 ABCDEFE. M%,"--"' A.'%,
-50$,"( -"&%)$" '"#$ +4(5&)$ 3"&2 +4)$($@9 <"@)$#"& +4(5&)$ +4)$($@ 3"&2 '$-"1)%' A.'%,
"'"0", +4(5&)$ "1"09 G4(5&)$ 3"&2 +4)$($@ $(% -5-.%"( -"&%)$" .$)" 1#5"($@ '"&
1#5"($H$(")&3" .$)" -5&="'$1"&&3" -"1,0%1 3"&2 (""( 15+"'" A00", IJ<9 G4(5&)$ +4)$($@
$(% (5#&3"(" ($'"1 )5-%" '$"1(%)1"& 405, )5-%" -"&%)$"9 I5."2$"& -5#51" .5#.%"(
)"-" '5&2"& .$&"("&2* -50"1%1"& "+" 3"&2 '$0"1%1"& 405, .$&"("&2 ("&+" "'" #")"
-"0% 3"&2 -5&K52", 15,4#-"("& '$#$ -5#51"9 LBMNE. M%,"--"' A.'%, -5-"&'"&2
.",/" -"&%)$" /"=$. .5#-")3"#"1"(9 D"0"- .5#-")3"#"1"( "'" -$)$6-$)$ 3"&2
'$+5#=%"&21"& "2"# ,$'%+ '"+"( -5&="'$ (5&(5#"- '"& "-"&* 3"$(% +5&52"1"& 15"'$0"&*
+5#)"-""& '5#"="(9 G"'" 2$0$#"&&3"* +5&2,"-.""& )54#"&2 -"&%)$" +%& ,"&3" 15+"'"
<%,"& )"="9 I)0"- -5-."&2%& -")3"#"1"( 3"&2 .5#0"&'")1"& 15.5#)"-""&9 I)0"-
-5&5&(%1"& +#$&)$+6+#$&)$+ 15#=")"-" '"#$ )52"0" %&)%# '"& .5&(%19 LBDOPE. G5-$1$#"&
M%,"--"' A.'%, (5&("&2 $0-% +5&25(",%"& .5#,%.%&2"& '5&2"& +"&'"&2"&&3"
(5&("&2 "1"0 '"& /",3%9 D"0"- +5#)4"0"& "1"0* $" +5&2"&%( 14&H5#25&)$ 3"&2
-5&22".%&21"& %&)%# N"($H$)-5 '"& E-+$#$)-5 '5&2"& ."(")"& 3"&2 )"&2"( =50")9
I5="1 '"0"- 1"&'%&2"& )"-+"$ '%" (",%& %-%# -"&%)$"* -")" N"($H$)-5 '"& )5(50",
'%" (",%& -")" .5#)$&52$#&3" N"($H$)-5 '"& E-+5#$)$)-59 G"'" +5-","-"& $&$0",
A.'%, .5#+5&'"+"( .",/" +5&'$'$1"& )"&2"( '$.%(%,1"&9 LBBFQEDR F$0)"@"( "1,0"1
-5&%#%( M%,"--"' A.'%, .5#.$K"#" (5&("&2 +5#$0"1% ."$1 '"& .%#%19 A1,0"1 $(%
.5#)%-.5# '"#$ "067%#8"&* ,"'$)* '"& +5#1"(""& +"#" )","."( '"& DESOTîn9 M5&%#%(&3"*
"1,0"1 '$."2$ -5&="'$ '%"* 3"$(% "1,0"1 15+"'" A00", IJ< '"& "1,0"1 15+"'" -"1,0%19
A1,0"1 15+"'" -"1,0%1 '"0"- +"&'"&2"&&3" ($'"1 (5#."(") 15+"'" habl min al-nâs*
("+$ (5#-")%1 -"1,0%1 ,$'%+ 0"$&&3" '"& =%2" .5&'" -"($9
stuUk VWUun
>U
A."X"* M4&"9 Pendidikan Islam dan Pergeseran Orientasi: Studi Kasus Alumni Universitas
al-Azhar. J"1"#("Y LGZEI* [\\\9
A.'%,* M%,"--"'9 Tafsîr Juz Amma. (5#=9 M%,"--"' B"]$#9 K5(9 ^9 B"&'%&2Y M$X"&* [\\\9
!
MIQOT stuv wwwIs Ntv x Jyuz{D|}|~| x
M ¡ ¢K£ ¤¥¦§¦£¨ © M A¡ ª«¬îr Juz
Amma, £¥®¡ M B¯ °¥£¡ ±¡ B¦¦§² M³¦ ´µµµ¡
A©¶·¦¸ ·¸¡ Muzakkirat¡ K¹² Dâr al-Hilâl, t.t.
MIQOT ½¾¿À ÁÁÁ½ þÀ Ä ÅÆ¿ÇÈÉÊËÊÌÍÊÎ ÄÏÐÏ
ôõoö÷øù
úûüýþÿû ûû û
ýýû
ýþÿû û ûý
þ û
üûûý
ûþ !ûüû"ÿûþ#
a a HJKcLM
H I - , ,
NOPQ R STUVWXWY ZXV[\U] ^_`abcdebfQ ghNij^k lmWno[V\o[XpXnq
rstuvwxyxvt
To Wm]mY NOP edff b{b eb}_{fzf{ dff }`|f`Q zfd{f NOPQ z__{f b{ad{daQ
cd{debfzf{ d_c`f z|`dzb b{~|cfb adzb{b ed{}f{ df}fb fbfb{f f{} effa
ebfzd dff dfaQ c_ef ef{ c_f efb b_f{ fb{}f{ }`|f` f{} f`b{}
adz|{dzb gd{}}_{ff{ NOP cdcb`bzb f{fz zd_{}}_`f{ ad_afcf ef`fc cdcf{a_
d~dzab~ ef{ d~bbd{ d|`_b b{b ad`f cd{df zd dc_f dza| zdbe_f{ cfffzfaQ
º»¼
.%# /'"012 /34 5 .0'!' /25
¸¹º»¼½¾¿ À¾Á¼ ùÁÀÂÀ¿¼ÁÄ ½¹ÅÂÁÆƼ ¸ÂÀ¼¿ ½¼Ç¼Å È¿¼ À¿¼¸¼¿¼Á ɼÅʼ ÂÁ¸¹ºÁ¹¸ ¼À¼Ç¼Å
-
»Ë¸Ëº ¸¹ºÉ¹Á¸¾¿Á̼ ÍÎÏ ÐÑÒÓÔÕÖ×ØÔÙ ÚÛÜÕÎÝ ¼¸¼¾ ̼ÁÆ ÃËþǹº À½¹É¾¸ Î ÐÑÒÓÔÕÖ×Ø Î , -
, - , - -
ÚÓÞ××Ù Î ßÔÝàÒÜ Î áÎÔâØÖØã ¼¸¼¾ Î äØÖåÎâÜÖÕÛæ
-
繿ÁËÇËÆ ÂÁ¸¹ºÁ¹¸ »¹º¾Ã¼¿¼Á ȹÁ½ »¹À¼ Î ÐÑÒÓÔÕÖ×Ø Ì¼ÁÆ À¼Ã¼¸ ÀÂƾÁ¼¿¼Á ¾Á¸¾¿
»¹ÁƼÀ¼¿¼Á ÂÁ¸¹º¼¿½Â À¾¼ ¼º¼Å ½¹è¼º¼ ×ØÙÖØÎæ é¹À¼ ÂÁ ½¹»¼¿ÂÁ ÃËþǹº ÀÂƾÁ¼¿¼Á
¸¹º¿ËÁ¹¿½Â À¹ÁƼÁ ȼºÂÁƼÁ ÆÇËɼÇÄ ½¹ÅÂÁÆƼ ȼÁÆ¿¼¾¼Á ¼¿½¹½Á̼ ¸ÂÀ¼¿ ¸¹ºÉ¼¸¼½æ 繿ÁËÇËÆÂ
ùº¾É¼Å¼ÁÄ ¿¼º¹Á¼ ½¹È¾»Ç¼Å ½¼º¼Á¼ ùÁÀÂÀ¿¼Á ɹºÉ¼½Â½ ÂÁ¸¹ºÁ¹¸ ¸¹Ç¼Å ¸¹ºèÂø¼Ä ½¹Ã¹º¸Â
- - , - ,
Î ë××ìÄ Î íÔãÔîÖØÎ Î áÖïâÔâÛ ðÖâÕÒÔÙ ßÙÔÜÜ ¼¸¼¾ ¿¹Ç¼½ »¼Ì¼ À¼Á ½¹É¼Æ¼ÂÁ̼æ
ñÁ¸¹ºÁ¹¸ ¸¹Ç¼Å »¹Á¼Ê¼º¿¼Á ɹºÉ¼Æ¼Â »¼Áê¼¼¸ üÀ¼ ½¹¿¸Ëº ùÁÀÂÀ¿¼ÁÄ ½¹Ã¹º¸Â ¿¹è¹Ã¼¸¼Á
À¼Ç¼» ùÁÆ¿Ë»¾Á¿¼½Â¼Á ɼżÁ ¼È¼ºÄ »¼¸¹ºÂ ̼ÁÆ Òà Õ× ÑÔÕÎÄ ¼À¼Á̼ ê¼½ÂǸ¼½ ¾Á¸¾¿
»¹Ç¼Áƽ¾ÁÆ¿¼Á À½¿¾½Â ¿¹ÇË»ÃË¿ ½¹è¼º¼ åÖâÕÒÔÙÄ ¿¹É¹É¼½¼Á »¹»ÂÇŠʼ¿¸¾Ä ¸¹»Ã¼¸Ä À¼Á
½¾¼½¼Á¼ ɹǼȼº ̼ÁÆ ÀÂÁ¼»Â½Ä ùºÅ¼¸Â¼Á ¸¹ºÅ¼À¼Ã ùºÉ¹À¼¼Á ÂÁÀÂòÂÀ¾ À¼Á ½¹É¼Æ¼ÂÁ̼æ
ó¹¹ê¹¿¸Âê¼Á ùÁÆƾÁ¼¼Á ñôç À¼Ç¼» À¾Á¼ ùÁÀÂÀ¿¼ÁÄ ¸¹ºÆ¼»É¼º üÀ¼ ùÁÂÁÆ¿¼¸¼Á ¿¾¼Ç¸¼½
»ÂÁ¼¸ ɹǼȼº À¿¾¸Â þǼ ËǹŠùÁÂÁÆ¿¼¸¼Á ¼¿¸Âò¸¼½ ɹǼȼºÄ ɼ¿ ½¹è¼º¼ ¿¾¼Á¸Â¸¼½ »¼¾Ã¾Á
¿¾¼Ç¸¼½æ ö¹É¼Æ¼Â èËÁ¸ËÅÄ »¹ÁȹǼȼÅ ½¹Æ¼Ç¼ ÂÁê˺»¼½Â ̼ÁÆ ¸¹º½¹À¼ À¼Ç¼» º¾¼ÁÆ ÇÂÁÆ¿¾Ã
¸¹ºè¼Ã¼ÂÁ̼ ¸¾È¾¼Á ù»É¹Ç¼È¼º¼ÁÄ Ì¼¿Á ¾Á¸¾¿ »¹ÁÆż½ÂÇ¿¼Á ×ÒÕ àÒÕ Ì¼ÁÆ ¿Ë»Ã¹¸Â¸Âêæ
-
÷øù ëÔÜÎÑ ÐÑÒÓÔÕÖ×Øúæ û¹ÁƼÁ À¹»Â¿Â¼ÁÄ ¼¿¼Á ¸¹ºÉ¾¿¼ ùǾ¼ÁÆ É¼Æ ǹ»É¼Æ¼ ùÁÀÂÀ¿¼Á
¾Á¸¾¿ »¹»Ã¹ºÇ¾¼½ ¿¹½¹»Ã¼¸¼Á ɹǼȼº ɼÆ ½Â¼Ã¼Ã¾Á ̼ÁÆ »¹»¹Á¾Å ùº½Ì¼º¼¸¼Á ¼¿¼À¹»Â½æ
-
ÕÎÓÞØ×Ù×ãÛúÄ »¼¿¼ øù ëÔÜÎÑ áÎÔâØÖØã »¹º¾Ã¼¿¼Á ½¾¼¸¾ ùǾ¼ÁÆ À¼Á ½¹¿¼ÇÂƾ½ ¸¼Á¸¼ÁƼÁ
-
ɼÆ ǹ»É¼Æ¼ ùÁÀÂÀ¿¼Á ¾Á¸¾¿ »¹»¾Ç¼Â »¹ÁÆ»Ãǹ»¹Á¸¼½Â¿¼Á øù ëÔÜÎÑ ÐÑÒÓÔÕÖ×Ø .ý
é¹Ç¼Åº¿¼Á ½¾»É¹º À¼Ì¼ ÂÁ½¼Á ̼ÁÆ »¹»ÂÇ¿ ¿¹»¼»Ã¾¼Á À¼Á ¿¹¸¹º¼»ÃÂǼÁ ̼ÁÆ
½¹Â»É¼ÁÆ À¼ºÂ ½¹Æ¼Ç¼ ¼½Ã¹¿ ɾ¿¼ÁǼŠ»¹º¾Ã¼¿¼Á ùº½Ë¼Ç¼Á ̼ÁÆ »¾À¼ÅÄ ¿¼º¹Á¼ ¾Á¸¾¿
żÁ̼ ¿¹¼ÅǼÁ À¼Ç¼» ÉÂÀ¼ÁÆ ¿¹ÂÇ»¾¼Á À¼Á ùÀ¼ÆËÆÂ¿Ä ¸¹¸¼Ã ȾƼ À¼Ç¼» ù»¼Áê¼¼¸¼Á
¸¹¿ÁËÇËÆ ¸¹Ã¼¸ ƾÁ¼ À¼Á ¸¹¿ÁËÇËÆ ¿º¹¼¸Âêæ 󼺹Á¼ ÂÁ¸¹Æº¼½Â ñôç À¼Ç¼» ùÁÀÂÀ¿¼Á À¼Ã¼¸
»¹»¾À¼Å¿¼Á ú˽¹½ ù»É¹Ç¼È¼º¼Á ̼ÁÆ ¼¿¼Á »¹»É¼Ê¼ ¿¹Ã¼À¼ ùÁè¼Ã¼Â¼Á ż½ÂÇ Ì¼ÁÆ
»¼¿½Â»¼Ç À¼Á ½¹»Ã¾ºÁ¼Ä ̼¸¾ ¸¹ºèÂø¼Á̼ öûé ̼ÁÆ ¾ÁÆÆ¾Ç À¼Á ¿Ë»Ã¹¸Â¸ÂêÄ »¼¿¼
!"#
ÿ
$%&"'% ())*+ , -,
µ¶·
MIQOT 89:; <<<=8 >9; ? @A:BCDEFEGHEI ?JKJ
LMNMOPMQMRSQT RUQNNSQMMQ OQVUWQUV XSNM PUQYMRMV ZWOVOZ YMQ VMQVMQNMQ YMWO
ZM[MQNMQ RUQYOYOZ \S][OPT ZMWUQM ^M_M`MQ`M `MQN YMRMV PUWS]MZ RWa]U] RUQYOYOZMQ
]U_OQNNM YOZ_MbMVOWZMQ MZMQ PUWS]MZ NUQMWM]O \S][OPc dM[M_ ]MVS RUQ`U^M^Q`M MYM[M_
PSYM_Q`M ^M_MQe^M_MQ RU[MXMWMQ YOPM]SZO YMQ YOVSPRMQNO a[U_ ]OVS]e]OVS] RaWQaNWMfO
`MQN ^UW]U^UWMQNMQ YUQNMQ VSXSMQ RUQYOYOZMQ g][MPc LMQ`MZ hijk RUQYOYOZMQ `MQN
]UQNMXM YO_S^SQNZMQ a[U_ RO_MZeRO_MZ `MQN OQNOQ PUWMSR ZUSQVSQNMQ YUQNMQ ]OVS]e]OVS]
QaQeRUQYOYOZMQT `MQN PUP^SMV RUQNNSQM ]UPMZOQ ZUM]`OZMQ PUQOZPMVO OQfaWPM]O `MQN
YO]SNS_ZMQT ^UW]U[MQlMW YMWO ]MVS OQfaWPM]O ZU OQfaWPM]O ^UWOZSV`MT ]U_OQNNM PU[SRMZMQ
VSXSMQ ]UPS[M YM[MP WUQVMQN bMZVS `MQN ]SYM_ YORUW]OMRZMQc mUQNMQ PUQNNSQMZMQ
gnoT VUWSVMPM OQVUWQUVT ^UWMWVO PUP^MbM MQMZ YOYOZ PUP^UWO XM[MQ ]UWVM RU[SMQN ZURMYM
PUWUZM SQVSZ PS[MO PUQYUZMVO RUW^SMVMQ pOQMT RMYM_M[ OVS YO[MWMQN g][MPc LO[M MQMZ
YOYOZ ZUWMXOQMQ ^UW]U[MQlMW YO OQVUWQUVT YOZ_MbMVOWZMQ QO[MOeQO[MO RUQYOYOZMQ g][MP `MQN
]UPS[M OQNOQ YOVSXST XS]VWS PM[M_ ^UW^M[OZ MWM_ PUQXMYO ]UPMZOQ VUWXMS_Oc
qM[S RUWVMQ`MQ `MQN PSQlS[ MYM[M_ ^O]MZM_ gno YOOQVUNWM]OZMQ YUQNMQ rUQYOYOZMQ
g][MPs LMNMOPMQMZM_ PaYU[ RUQNOQVUNWM]OMQ gno YMQ RUQYOYOZMQ g][MPs tRMZM_
OQVUNWM]O gno YMQ g][MP PUWSRMZMQ ]MVS ZUPU]VOMQ SQVSZ Ra[M RUQYOYOZMQ g][MP PM]M
YURMQs LU^UWMRM M]RUZ `MQN MZMQ YO[O_MV MYM[M_ gno YM[MP RUQYOYOZMQ PUQSWSV
RUW]RUZVOf g][MPT RUWMQ gno YM[MP PUQNUfUZVOfZMQ RUP^U[MXMWMQT RWa^[UPMVOZM
RUQNNSQMMQ gno YM[MP RUQYOYOZMQT YMQ VMQNNSQNXMbM^ RUQYOYOZ \S][OP YM[MP
RUQNOQVUNWM]OMQ gno YM[MP RUQYOYOZMQT ]UWVM VMQVMQNMQ PM]M YURMQc
3
Q.S. al-Hijr/15: â nahnu nazzalnâ al-dzikra wa innâ lahu lahâfizûn.
677
Promadi: Integrasi ICT dalam Pendidikan Islam
4
Promadi, Psikologi Kognitif dalam Perspektif Islam: Aplikasinya dalam Pembelajaran
Kuantum Untuk Pembentukan Kepribadian Islam, dalam Khaidzir Hj. Ismail (ed.), Psikologi
Islam: Falsafah, Teori dan Aplikasi (Kuala Lumpur: Institut Islam Hadhari UKM, 2009), h. 113.
5
Wamâ arsalnâ min rasûlin illâ bilisâni qoumihi, liyubayyina lahum (Q.S. Ibrâhîm/14: 4).
6
Saya tidak bisa membaca.
MIQOT ÎÏÐÑ ÒÒÒÓÎ ÔÏÑ Õ Ö×ÐØÙÚÛÜÛÝÞÛß Õàáà
âãäåæç èåéêîl meminta Muhammad SAW. membaca pesan pertama Allah yang beliau
bawa berbentuk teks, Muhammad SAW. selaku seorang yang tidak pernah mempelajari
dan tidak memiliki pengetahuan tentang representasi sinyal-sinyal grafis terhadap fonologis
walaupun terhadap bahasa Arab yang merupakan bahasa ibu bagi beliau, menolak
untuk membaca dan dengan jujur mengakui keterbatasan pengetahuan kognitifnya dengan
mengatakan ëâ Ana bi Qari .7 Bahkan sampai tiga kali diminta membaca, beliau tetap
saja tidak melakukannya. Penolakan Rasulullah SAW. untuk membaca ternyata
membuahkan hasil terhindarnya distorsi komunikasi. Selain itu terciptalah efektifitas
komunikasi, karena keefektifan komunikasi ditentukan oleh kemampuan seseorang
mengenal tanda-tanda daripada seseorang, mengetahui bagaimana tanda-tanda itu
digunakan dan memahami maksudnya.8 Meskipun al-Qur an diturunkan dalam bahasa
Arab, akan tetapi apabila seseorang tidak mengerti simbol-simbol grafis yang
merepresentasikan fonologisnya, maka tidak akan terjadi komunikasi.
Setelah gagal melakukan transaksi komunikasi melalui media teks, Jibrîl mengubah
pesan teks menjadi pesan audio yang dibacakannya langsung kepada Muhammad SAW.
Kata pertama iqro diterima Rasulullah SAW., melalui ketrampilan mendengar terhadap
informasi yang disampaikan oleh Jibrîl dalam bahasa Arab. Sistim informasi yang
berlangsung kala itu adalah dalam bentuk face to face antara Jibrîl dan Muhammad SAW.
Berbicara tentang sinyal visual yang diterima Rasulullah SAW. beberapa saat setelah
beliau kembali dari Isra , satu perjalanan malam yang jauh, dari dan kembali ke Masjid
al-Haram melalui Masjid al-Aqsa dan Sidrat al-Muntaha, adalah berupa video Masjid al-
Aqsa. Dengan sistem informasi berupa penayangan bentuk fisik Masjid al-Aqsa kepada
Muhammad SAW., telah membantu beliau menjelaskan setiap karakteristik masjid
tersebut yang ditanyakan kaum Quraisy sebagai respon atas ketidakpercayaan mereka
akan peristiwa Isra .
Bentuk pesan lain yang menarik ketika Isra adalah gambar animasi tentang
peristiwa yang bakal dialami umat manusia di akhirat kelak, sebagai gambaran balasan
atau ganjaran atas aktifitas yang dilakukannya selama di dunia. Peristiwa yang
diperlihatkan dalam bentuk gambar bergerak, seperti orang yang sedang memukul-
mukul kepalanya sendiri, merupakan gambaran balasan atau hukuman yang bakal
diterima. Gambar animasi itu adalah proyeksi futuristis tentang akibat pelanggaran
hukum Allah dan sebagai sinyal diperlukannya teknologi kreatif dalam menyampaikan
informasi agar akurat dan tidak mengalami perubahan bahkan penyimpangan.
Sistim informasi dalam bentuk teks, grafis, audio, visual dan animasi yang dialami
Rasulullah SAW., ketika menerima wahyu pertama, saat menjalani perjalanan Isra , dan
7
Joseph A. DeVito, Communication (t.t.p.: Englewood Cliffs, N.J: Prenctice Hall, t.t.),
h. 13.
An Ta abbuda al-Lâh Kaannaka Tarahu, Fain Lam Takun Tarahu, Fainnahu Yarâka (HR.
8
ïðñòïó ôóõö ÷óøó ïðùôóúò ûóõò üýþÿ óï òõ ó ùð øóûò þ ïð òûö ó ùó ö÷òó óôóû ò ò
ð óúóùó ó÷öúöúúó
ñðõ÷ðôöñ ó ïó ð ó ó÷ ð ðùö ÷ðõñó ðùóò ûò
ùó÷ó ó óú ïðùö öúó ó óùó ÷úóù ûó ûòòïöñò óûó õ ÷ð÷ ðõøóúó ó ïð òûö ó
÷ðôó óò ð ö ó
ñó ò ÷ðôó óò ð ðùö ûó ð ò ñó ñðï ú ò ïõðóñò ö ñöï
ðùóøöó ÷úóù ûó ïóöù ö÷úòù ûóúóù ñóñóõó ú ôóú ùóñ ÷úóù ûò óõó ïó ùð øóûò
öùóñ ó ùóøö ïóõð ó ùðùó óóñïó óøóõó ÷úóù ûó ñòûóï úó ò ÷ðôó óò öùóñ ó
úúó ó ðï÷ò÷ñð ÷ò ó ûóúóù ðõ÷ ðïñò ïóöù ÷ö ò øóö ûó ûðïóñ ÷ð óõó ñðõò ñð õóú
ûó øòïó ûòó ñòûóï ùóù ö ùðúò óñ ó öïö ùð óïò ò ôó ó ÷óóñ òñö úúó ùðúò óñ ó
6
9
ï ÷ð Ud ûnî Astajib Lakum ö ñöï ùð ö øöïïó ôðñó ó òó ñòûóï øóö ûóõò öùóñ
: ; : ;
=
>?@? > âf/50.
ìíî
MIQOT DEFG HHHID JEG K LMFNOPQRQSTQU KVWV
XYZY[\]\ \^\_ \`abc[d\e fYfZY[gh\e gi^\[\_ i\gei j\e _Yhek`klg gemk[f\_gh\ ^\el
hYfcjg\e j\]\_ jg_Y[\]h\e j\`\f jceg\ ]Yejgjgh\en oYZ\l\g pke_kqr \^\_ st utvuw
-
txytzw {|t{v{ }{u vwz| t| sty îd,~ ^\el fYell\fZ\[h\e ZY_\]\ jYh\_e^\ ``\q jYel\e
f\ecig\r Z\qh\e `YZgq jYh\_ j\[g]\j\ c[\_ `YqY[ fY[Yh\ iYejg[gr \j\`\q gi^\[\_ i\gei
hkfcegh\igr jc\ ][gZ\jg ^\el ZY[\cq\e j\e _gj\h j\]\_ fY`\hch\e hk_\h mgigh iYp\[\
face to facer ci_[c fY[\i\ jYh\_ jYel\e _Y[\jge^\ hkfcegh\ign g igeg`\q ]Y[\e
_gj\h ]\j\ \h_cr `kh\igr j\e ig_c\ig ^\el i\f\n Y[ik\`\ee^\ \j\`\q Z\l\gf\e\
fYejYh\_g j\e ZY[hkfcegh\ig jYel\e ``\q j\h\q ``\q fYfZY[gh\e gi^\[\_ _Ye_\el
iYh\[\el `YZgq ]k]c`Y[ r j\`\f h\g_\ee^\ jYel\e ]Yejgjgh\e icj\q _Y[ig[\_ j\`\f
bnon \`a`\ n
Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajari manusia apa yang
tidak diketahuinya.
\`\f \^\_ gegr ``\q on fYeY`\ih\e Z\q\ g\ fYel\\[ f\ecig\r \_\c
i^\[\_ `\ge j\`\f i`\f _Ye_\el Yhek`klg emk[f\ig j\e kfcegh\ig \j\`\q iYZc\q
~~
i`\f hY]\j\ iYi\f\r fYihg]ce j\`\f hc\e_g_\i ^\el i\el\_ fgegfr i\_c h\`gf\_n o\el\_
jgi\^\elh\er \]\Zg`\ i\_c h\`gf\_ geg jgi\f]\gh\e q\e^\ _Y[Z\_\i hY]\j\ i\_c gejggjcr
]\j\q\` q\jgi geg q\e^\ fYfZ\_\ig Z\_\i fgegf\` ]Yi\e j\e Zch\e \cjgYen \[Ye\e^\r
i\el\_ fYfcelhgeh\e ]Yi\e ^\el _Y[Z\_\i geg jgi\f]\gh\e hY]\j\ \cjgYe ^\el _gj\h
_Y[Z\_\ir Z\gh ]\j\ _\_\[\e lYkl[\mgir \h_cr ig_c\ig j\e hkejgigr iY[_\ fYjg\r Z\gh fYjg\
iYZ\e^\haZ\e^\he^\ _\e]\ \j\e^\ `gfg_\ign \jgi geg cl\ _gj\h fYfZ\_\ig iYp\[\ i]Yigmgh
_Yhegh ^\el jglce\h\e j\`\f ]Ye^\f]\g\er fc`\g j\[g _Yhek`klg f\ec\`a_[\jgigke\` i\f]\g
¸¹
Ballighu cannî walau ayatan º»¼½NR¾G
¿À¼À½¼ ÁQÂÃE ÄÅ Anti Kaget Internet ºL¼Æ¼U¼Ç
¸¸
ÈUQ¼ÂNÉQ ÊQ½N¼Å ÂGÂG¾Å ËG ÌG
ABC
Promadi: Integrasi ICT dalam Pendidikan Islam
ÐÑÒÓÔÕÖ×Ð ÐÑÐØ ÕÙÕÚÙÔÐÛÖÑ ÜÙÝÞÖÑß ÛÙÜÖàÖ ÞÕÖá ÞÑáÞÛ ÕÙÑâÐÜáÖÛÖÑ áÙÛÑÓÝÓßÐ ÛÔÙÖáÐÒ
×Ð×áÐÕ ÐÑÒÓÔÕÖáÐÛÖã äÛÖÑ áÙáÖÜÐØ ×ÖáÞ ÔÖÕÚÞåÔÖÕÚÞ ÜÙÔÝÞ àÐÜÙÔæÖáÐÛÖÑ ÖßÖÔ ÜÙÑçÖÕÜÖÐÖÑ
ÐÑÒÓÔÕÖ×Ð àÐ×Ù×ÞÖÐÛÖÑ àÙÑßÖÑ âÖÝÓÑ ÜÙÑÙÔ ÜÙ×ÖÑã èÖæÛÖÑ éÖ×ÞÝÞÝÝÖæ êäëã ÕÙÕÚÙÔÐÛÖÑ
ÜÙáÞÑìÞÛ Ü×ÐÛÓÝÓßÐ× ÖßÖÔ ÜÙ×ÖÑ çÖÑß àÐ×ÖÕÜÖÐÛÖÑ ÙÒÙÛáÐÒã íÑßÛÖÜÖÑ éÖ×ÞÝÞÝÝÖæ êäëã
- ú
îïñòóôõö ò÷ øòù ò÷ â Qadri Uqûlihim Ø ÖàÖÝÖæ ÚÐÕÚÐÑßÖÑ éÖ×ÞÝÞÝÝÖæ ÖßÖÔ ÜÙÑçÖÕÜÖÐÖÑ
êÙâÖÔÖ ÛÙ×ÙÝÞÔÞæÖÑØ ÚÙÑáÞÛ ûüý ßÔÖÒÐ×Ø ÖÞàÐÓØ þÐ×ÞÖÝØ àÖÑ ÕÞÝáÐÕÙàÐÖ çÖÑß àÐßÞÑÖÛÖÑ
îl dalam proses presentasi ajaran Islam kepada Rasulullah SAW. dapat dikembangkan dengan
ÿÐÚÔ
menggunakan integrasi Teknologi Informasi dan Komunikasi terkini untuk proses pembelajaran
dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan Islam yang lebih efektif, efisien dan menarik.
Ann Jones, et al., Personal Computers for Distance Education: The Study of an Educational
12
ÍÎÏ
MIQOT !"#$%&'&()&* +,+
ÀÁÂÃÁÄÁÅÁÆ ÇÀÇÀ ÆÈÄÉÁÊÆÇÊÉ ËÁÌÁ ÍÈÊÎÂ ÅÈÊÌÁÄÁÁÊ ÃÁÊÉ ÀÈÏÇÊÐÇÄ ÌÎ ÁÆÁÂ ÍÁÏÁÊ ÄÁÃÁ
ÂÇËÈÄ ÎÊÎÑ ÌÁÊ ÃÁÊÉ ËÁÏÎÊÉ ËÒËÇÏÈÄ ÁÌÁÏÁÓ ÔÕÖ×ØÙÚÛÜ× ÝÞÜÕ, ßÖàá âÙÚãä, åÚÙÕæ åÜæÖ åÖç
(ååå), èÛØÖÙÛÖØ éÚÜ×Ö, æÞÛ èÛØÖÙÛÖØ êÖÕÞë ìíÞØ (èêì).
îÈÀÇÁ ÁËÏÎÅÁÂÎ ÌÎ ÁÆÁ ÌÁËÁÆ ÌÎÉÇÊÁÅÁÊ ÇÊÆÇÅ ÆÇÍÇÁÊ ËÈÊÌÎÌÎÅÁÊï ðÈÊÉÉÇÊÁÁÊ
ñòó ÌÁÏÁÀ ËÈÀôÈÏÁÍÁÄÁÊ ÌÁËÁÆ ÌÎÏÁÅÇÅÁÊ ÇÊÆÇÅ ÀÈÀôÈÄÎÅÁÊ ÆÇÆÒÄÎÁÏÑ ÏÁÆÎÓÁÊÑ ËÈÊÐÁÄÎÁÊÑ
ÌÁÊ ÁËÏÎÅÁÂÎ ÄÎÎÏ ÁÆÁÇ ËÄÁÅÆÈÅÑ ÃÁÊÉ ôÈÄËÈÄÁÊ ÌÁÏÁÀ ÀÈÀôÁÊÆÇ ÀÈÊÎÊÉÅÁÆÅÁÊ ÀÎÊÁÆ
ôÈÏÁÍÁÄï õÈÁÌÁÁÊ ÎÊÎ ÂÈÐÁÄÁ ÆÎÌÁÅ ÏÁÊÉÂÇÊÉ ÁÅÁÊ ÀÈÀÇÌÁÓÅÁÊ ËÄÒÂÈÂ ËÈÀôÈÏÁÍÁÄÁÊÑ
ÌÁÊ ÁÅÓÎÄÊÃÁ ÌÁËÁÆ ÀÈÊÎÊÉÅÁÆÅÁÊ ÓÁÂÎÏ ôÈÏÁÍÁÄï öÁÏÁÀ ÅÁÍÎÁÊ ðÂÎÅÒÏÒÉÎ õÒÉÊÎÆÎ÷Ñ ÅÈÀÁÀËÇÁÊ
ÎÊÉÁÆÁÊ ÂÈÂÈÒÄÁÊÉ ÆÈÄôÁÉÎ ÅÈËÁÌÁ ÆÎÉÁ ÍÈÊÎÂ ÃÁÎÆÇ ÅÈÀÁÀËÇÁÊ ÀÈÊÈÄÎÀÁÑ ÀÈÊÃÎÀËÁÊ
ÌÁÊ ÀÈÀÇÊÐÇÏÅÁÊ ÅÈÀôÁÏÎ ÎÊ÷ÒÄÀÁÂÎï ñÊÉÁÆÁÊ ÀÈÀËÇÊÃÁÎ ËÈÊÉÁÄÇÓ ÃÁÊÉ ÐÇÅÇË ôÈÂÁÄ
ÆÈÄÓÁÌÁË ÅÈôÈÄÓÁÂÎÏÁÊ ËÈÀôÈÏÁÍÁÄÁÊï îÈÀÁÅÎÊ ôÁÎÅ ÅÈÀÁÀËÇÁÊ ÎÊÉÁÆÁÊ ÂÈÂÈÒÄÁÊÉÑ ÀÁÅÁ
ÂÈÀÁÅÎÊ ôÁÊÃÁÅ ÎÊ÷ÒÄÀÁÂÎ ÃÁÊÉ ÀÁÀËÇ ÌÎÁ ÐÈÄÁËÑ ÂÈÀÁÅÎÊ ôÁÊÃÁÅ ÎÊ÷ÒÄÀÁÂÎ ÃÁÊÉ ôÎÂÁ
ÌÎÁ ÂÎÀËÁÊÑ ÌÁÊ ÂÈÀÁÅÎÊ ôÁÊÃÁÅ ËÇÏÁ ÎÊ÷ÒÄÀÁÂÎ ÃÁÊÉ ÀÁÀËÇ ÌÎÁ ÀÇÊÐÇÏÅÁÊ ÅÈÀôÁÏÎïøù
öÈÊÉÁÊ ôÁÊÆÇÁÊ óÈÅÊÒÏÒÉÎ ñÊ÷ÒÄÀÁÂÎ ÌÁÊ õÒÀÇÊÎÅÁÂÎ ÁÆÁÇ ñòóÑ ÅÈÀÁÀËÇÁÊ ÀÈÊÈÄÎÀÁÑ
ÀÈÊÃÎÀËÁÊÑ ÌÁÊ ÀÈÀÇÊÐÇÏÅÁÊ ÅÈÀôÁÏÎ ÌÁËÁÆ ÌÎÁÅÂÈÏÈÄÁÂÎÑ ÂÈÓÎÊÉÉÁ ÏÈôÎÓ È÷ÈÅÆÎ÷ ÌÁÊ
È÷ÎÂÎÈÊï öÈÊÉÁÊ ÌÈÀÎÅÎÁÊÑ ÅÈôÈÄÓÁÂÎÏÁÊ ËÈÀôÈÏÁÍÁÄÁÊ ÌÁËÁÆ ÌÎÆÎÊÉÅÁÆÅÁÊï
ñòó ÍÇÉÁ ÌÁËÁÆ ÀÈÊÎÊÉÅÁÆÅÁÊ ÅÒÀÇÊÎÅÁÂÎ ËÈÀôÈÏÁÍÁÄÁÊ ÌÁÏÁÀ ÁÄÆÎ ÃÁÊÉ ÏÈôÎÓ
ÏÇÁÂÑ ÀÈÊÐÁÅÇË ÎÊÆÈÄÁÅÂÎ ÁÊÆÁÄÁ ËÈÀôÈÏÁÍÁÄ ÌÁÊ ËÈÊÉÁÍÁÄÑ ÌÁÊ ÁÊÆÁÄÁ ÂÈÂÁÀÁ ËÈÀôÈÏÁÍÁÄï
õÒÀÇÊÎÅÁÂÎ ðÈÀôÈÏÁÍÁÄÁÊ ÎÊÎ ôÁÓÅÁÊ ÌÁËÁÆ ÌÎËÈÄÏÇÁ ÏÁÉÎ ÀÈÊÍÁÌÎ ÎÊÆÈÄÁÅÂÎ ÁÊÆÁÄÁ ËÈÏÁÍÁÄ
ÌÁÊ ËÄÒÉÄÁÀ ÌÁÏÁÀ ÅÒÀËÇÆÈÄÑ ÎÊÆÈÄÁÅÂÎ úÞ×Ö ØÞÚ úÞ×Ö ÁÊÆÁÄÁ ËÈÏÁÍÁÄ ÌÁÊ ËÈÏÁÍÁÄ ÏÁÎÊ
ôÈÄôÁÂÎÂ ËÄÒÉÄÁÀ ÌÁÏÁÀ ÅÒÀËÇÆÈÄÑ ÌÁÊ ôÁÓÅÁÊ ÎÊÆÈÄÁÅÂÎ ËÈÏÁÍÁÄ ÌÁÊ ËÈÏÁÍÁÄ ÏÁÎÊ ÀÈÏÁÏÇÎ
ÀÈÌÎÁ ÅÒÀËÇÆÈÄ ÂÈÐÁÄÁ ÀÁÃÁ ÁÆÁÇ ÀÈÏÁÏÇÎ ÅÈÏÁÂ ûÜÙØãÞÕï
öÇÁ ôÈÊÆÇÅ ÇÆÁÀÁ ÅÒÀÇÊÎÅÁÂÎ ôÈÄôÁÂΠÅÒÀËÇÆÈÄ ÁÌÁÏÁÓ ÂÇÄÁÆ ÈÏÈÅÆÒÊÎÅ üÈýÀÁÎÏþ
ÌÁÊ ÅÒÊ÷ÈÄÈÊÂÎ ÅÒÀËÇÆÈÄ ü×ÚÿäãØÖÙ ×ÚÛúÖÙÖÛ×Öþï õÈÌÇÁÊÃÁ ÀÈÊÃÈÌÎÁÅÁÊ ÷ÁÂÎÏÎÆÁ ÌÎ ÀÁÊÁ
ÂÈÂÈÒÄÁÊÉ ÀÈÀÇÊÉÅÎÊÅÁÊ ôÁÉÎÊÃÁ ÇÊÆÇÅ ôÈÄÅÒÀÇÊÎÅÁÂÎ ÌÈÊÉÁÊ ÒÄÁÊÉ ÏÁÎÊ ôÁÎÅ ÂÈÐÁÄÁ
ÎÊÌÎ ÎÌÇ ÁÆÁÇ ÅÈÏÒÀËÒÅ ÀÈÏÎÊÆÁÂÎ ÍÁÄÁÅ ÌÁÊ ÁÅÆÇÑ ×ÚÿäãØÖÙ ×ÚÛúÖÙÖÛ×Ö ÀÈÀôÈÄÎÅÁÊ
÷ÁÂÎÏÎÆÁ ÏÈôÎÓ ÌÎÀÁÊÁ ËÁÄÁ ËÈÂÈÄÆÁ ÌÁËÁÆ ôÈÄôÎÊÐÁÊÉ ôÈÄÌÁÂÁÄÅÁÊ ÆÒËÎÅ ÆÈÄÆÈÊÆÇï ÌÁ
ÌÇÁ ÅÁÄÁÅÆÈÄÎÂÆÎÅ ÇÆÁÀÁ õÒÀÇÊÎÅÁÂÎ ÈÄËÈÄÁÊÆÁÄÁÁÊ õÒÀËÇÆÈÄ üìÚÿäãØÖÙ ÝÖæÜÞØÖæ
ìÚÿÿãÛÜ×ÞØÜÚÛþ ÁÆÁÇ òò ÇÊÆÇÅ ÆÇÍÇÁÊ ËÈÊÌÎÌÎÅÁÊ ÃÁÎÆÇ ôÎÂÁ ÌÎÉÇÊÁÅÁÊ ÇÊÆÇÅ
ÅÒÀÇÊÎÅÁÂÎ ÏÎÂÁÊÑ ÌÁÊ ôÎÂÁ ÌÎÉÇÊÁÅÁÊ ÇÊÆÇÅ ÅÒÀÇÊÎÅÁÂÎ ÅÈÏÒÀËÒÅïø öÁÏÁÀ ËÈÀôÈÏÁÍÁÄÁÊ
ôÁÓÁÂÁ ÁÂÎÊÉÑ ÀÎÂÁÏÊÃÁÑ ÅÈÀÇÌÁÓÁÊ ôÈÄÅÒÀÇÊÎÅÁÂÎ ôÈÄôÁÊÆÇÅÁÊ ÅÒÀËÇÆÈÄ ÎÊÎ
ÀÈÀÇÊÉÅÎÊÅÁÊ ËÈÏÁÍÁÄ ÇÊÆÇÅ ôÈÄÎÊÆÈÄÁÅÂÎ ÏÁÊÉÂÇÊÉ ÌÈÊÉÁÊ ÛÞØÜûÖ áäÖÞÖÙá ÁÆÁÇ ËÈÊÇÆÇÄ
ÁÂÏÎ ÂÈÏÁÀÁ ËÄÒÂÈÂ ËÈÀôÈÏÁÍÁÄÁÊï õÒÀÇÊÎÅÁÂÎ ÌÁËÁÆ ÌÎÏÁÅÂÁÊÁÅÁÊ ÂÈÐÁÄÁ ÏÎÂÁÊ ÁÆÁÇ
ÆÇÏÎÂÁÊï îÈÌÁÊÉÅÁÊ ËÄÒÂÈÂÊÃÁ ôÎÂÁ ÁÊÆÁÄ ÎÊÌÎ ÎÌÇ ÁÆÁÇ ÅÈÏÒÀËÒÅï öÈÊÉÁÊ ÌÈÀÎÅÎÁÊÑ
ËÈÀôÈÏÁÍÁÄÁÊ ôÁÓÁÂÁ ôÈÊÁÄýôÈÊÁÄ ôÈÄÏÁÊÉÂÇÊÉ ÂÈÐÁÄÁ ÁÏÁÀÎ ÌÁÊ ÅÒÊÆÈÅÂÆÇÁÏï
,
!"
#$ %&'$ , ()) (*) + ()) ,-.*)
/0'&1"#$23 0'&1"#$2 4#5"
#67 8"
!9 :;<=> ?
½¾¿
MIQOT HIJK LLLMH NIK O PQJRSTUVUWXUY OZ[Z
\]^_`^ `a`^b` c^d]e`fgc hij a`k`l m]^acacf`^n d]eo`ac m]kcp`d`^ b`^_ `fdcq `^d`e`
m]^_`o`e a`^ m]lp]k`o`en b`^_ g]k`^ord^b` a`m`d l]^_`fg]k]e`gc m]lp]k`o`e`^ g]sc^__`
k]pcs ]qcgc]^t \]^_`^ a]lcfc`^n c^d]_e`gc hij a`k`l m]^acacf`^ l]l`c^f`^ m]e`^`^
b`^_ p]g`e a`^ m]^dc^_ a`k`l l]^c^_f`df`^ fr`kcd`g m]lp]k`o`e`^t
u`sv` fwlmrd]e mecp`ac a`m`d l]^_rp`s l]dwa] m]lp]k`o`e`^ de`acgcw^`kn ac l`^`
pc`g`^b` m]^_`o`e l]lp]ec c^gderfgcn p]emc^a`s f] m]^a]f`d`^ xyz{|} ~{ b`^_ g]m]^rs^b`
l]^__r^`f`^ gcq`d c^frcec b`^_ `a` a`k`l acec m]lp]k`o`et wlmrd]e mecp`ac l]lr^_fc^f`^
l]e]f` l]^o]k`o`sc `k`l e`b` _r^` l]^`ec c^qwel`gc g]gr`c f]g`^__rm`^ a`^ f]l`lmr`^
l`gc^_l`gc^_t ]^_]^`k`^ f]m`a` hij a`m`d l]lp`v` f]m`a` gcf`m mwgcdcqt `k c^c acf`e]^`
f`^ p`sv` hij l]^b]ac`f`^ m]kr`^_ b`^_ kr`g a`k`l `fdc
cd`g m]lp]k`o`e`^ acp`^ac^_f`^
l]dwa] de`acgcw^`kt ]k`krc m]^__r^``^ c^d]e^]dn m]lp]k`o`e pwk]s l]^clp` cklr m]^_]d`sr`^
g]ed` w^dwsw^dws b`^_ me`fdcg a`^ fw^d]fgdr`k g]ed` eckt ]lra`s`^ y|z a`^ lrkdc
l]ac` d]k`s l]lra`sf`^ m]^a]f`d`^ a`^ l]dwa] p]k`o`e b`^_ dca`f lr^_fc^ a`m`d
ack`fg`^`f`^ g]fce`^b` l]^__r^`f`^ l]dwa] de`acgcw^`kt hij l]^b]ac`f`^ l]dwa] dca`f
s`^b` a`k`l lwa]k m]^]ecl``^ cklr g]`e` g`dr `e`s g`o`n `f`^ d]d`mc or_` a]^_`^ l]lp]ec
m]^]f`^`^ f]m`a` m]^cmd``^ a`^ m]^o]k`o`s`^ `d`r m]^]ewf``^ cklr g]`e` `fdcqn c^w
`dcqn
fe]`dcqn ]q]fdcq a`^ p`sf`^ l]^b]^`^_f`^t w^g]m ]lp]k`o`e`^ h a`m`d accmd`f`^
a]^_`^ m]^__r^``^ lrkdcl]ac` a]^_`^ m]^_c^d]_e`gc`^ hij f] a`k`l m]lp]k`o`e`^t
h^cgc`dcq r^drf l]^_c^d]_e`gcf`^ hij a`k`l m]lp]k`o`e`^ `a`k`s d]m`dt \`k`l
fw^d]fg m]lp]k`o`e`^n m]^__r^``^ hij a`m`d acf`d]_wecf`^ g]p`_`c drdwec`kn k`dcs`^n
m]^`ec`^n `mkcf`gc a`^ fwlr^cf`gct \`k`l fw^d]fg m]^_`o`e`^n hij ac_r^`f`^ g]p`_`c
drdwe a`^ `k`d a]lw^gde`gct ^drf l]^`m`c dror`^ l]^cmd`f`^ l`gb`e`f`d
lwa]e^ l]vroraf`^ l`gb`e`f`d b`^_ c^qwel`dcqn l`f` c^cgc`dcq r^drf
l]^_c^d]_e`gcf`^ m]^__r^``^ hij a`^ lrkdcl]ac` a`k`l m]lp]k`o`e`^ `a`k`s m]ekrt
u]p]e`m` l]^r^orff`^ p`sv` hij a`m`d l]lp`^dr l]^_`d`gc f]k]l`s`^
m]^acacf`^ g`c^g b`^_ ac`o`e g]`e` de`acgcw^`k g]ed` a`m`d l]^c^_f`df`^ m]kcp`d`^
m]^_`o`e a`^ m]k`o`e a`k`l m]^__r^``^ fwlmrd]e g]`e` k]pcs mewarfdcqt ]^_`o`e s`erg
l`lmr l]^_c^d]_e`gcf`^ f]l`sce`^ d]f^wkw_c a`^ m]kr`^_ m]lp]k`o`e`^ fw^gderfdc
cg
r^drf l]kcs`d f]]q]fdcq`^ m]^__r^``^ d]f^wkw_ct ]gfcmr^ a]lcfc`^n c^d]_e`gc hij a`k`l
m]lp]k`o`e`^ l]l]ekrf`^ f]l`sce`^ fsrgrg a`^ fwlcdl]^ m]^_`o`e g]`e` d]eqwfrgt
u]p]e`m` f`e`fd]ecgdcf r^cf b`^_ aclckcfc c^d]e^]dn b`cdr `fg]g r^c
]eg`kn f`b` `f`^
|z }~}, |z }y{n a`^ l]ac` c^d]e`fdcqt wlmrd]e l]lckcfc
f]l`lmr`^ l]^bclm`^n l]^_we_`^cgcen l]^_rp`sn l]^_cecl a`^ l]^b`ocf`^ g]orlk`s
p]g`e a`d` a`k`l f]]m`d`^ b`^_ dc^__cn p`cf a`d` p]ep]^drf `^_f`n d]fgn _e`qcfn gr`e`n
a`^ p`sf`^ lr^_fc^ f] a]m`^ a`d` p]ep]^drf g]^drs`^ a`^ p`rt `gckcd`g hij b`^_
l`lmr l]^bclm`^n l]^_`dre a`^ l]^b`ocf`^ f]lp`kc g]orlk`s p]g`e c^qwel`gc
l]lp]ecf`^ grlp]e p]k`o`e p]ep`gcg m]^_]d`sr`^ b`^_ g`^_`d f`b` f]m`a` m]k`o`et
EFG
$%&'( )*%+' ),- &. $&'&'/ )+.
,
101, !"#
²³´
MIQOT 3456 77783 946 : ;<5=>?@A@BC@D :EFE
GHIJKLMNOJ PQPRPS TPTPU TVUWXYXYPU VRVZ[\]U^Z _PUW Q^]\WPU^`^\ XU[XZ RVa^S QP\^
`VTXRXS \^aX TVUWWXUP QVUWPU `^`[VY TVUPYPPU _PUW YXQPS aPW^ YV\VZP XU[XZ
[]T^Zd Q^ YPUP YV\VZP QPTP[ `PR^UW YVYaPePd YVUW^\^Y P\[^ZVR QPU `PR^UW aV\[XZP\ T^Z^\PU
QVUWPU TV`V\[P RP^U `VeP\P WR]aPRb fV\VZP YVYTXU_P^ ghijLMMk P[PX \XPUW ZSX`X` XU[XZ
YVUQ^`ZX`^ZPU aPSPU TVRPmP\PU PU[P\ `V`PYP TVRPmP\ _PUW YVUWPYa^R a^QPUW ZPm^PU `V\XTPb
nMLop nqpH nHr stttu YV\XTPZPU `PRPS `P[X ^U]vP`^ [VZU]R]W^ Z]YXU^[P` ^U[V\UV[
_PUW aV\cXUW`^ YVU_VaP\RXP`ZPU ^Uc]\YP`^ QPRPY aVU[XZ W\Pc^Zd [VZ`d `XP\Pd WPYaP\d v^QV]d
P[PX PU^YP`^ QP\^ aV\aPWP^ `XYaV\ Q^ `VRX\XS QXU^Pb wXWP Q^WXUPZPU XU[XZ YVU`]`^PR^`P`^ZPU
^Uc]\YP`^l^Uc]\YP`^ _PUW YXUeXR `VeP\P [\PQ^`^]UPR QPRPY `X\P[ ZPaP\d YPmPRPSd mX\UPRd
T]`[V\d aXZXd [VRVv^`^ P[PX c^RYb ttt `PUWP[ aV\WXUP XU[XZ YVYTV\ZP_P `XYaV\ aVRPmP\
aPW^ TVRPmP\d `VS^UWWP YV\VZP Q^aV\^ZPU aPSPU _PUW [^QPZ [V\aP[P`d [V\YP`XZ aPSPU
- -
xyjHLyHj zMq{H mXWP Q^ZVUPR QVUWPU zMq{H M|HL xyjHLyHj}~LMjM{Mo (zMx~u YV\XTPZPU
mVU^` [VZU]R]W^ _PUW YVYXUWZ^UZPU `V`V]\PUW YVRPZXZPU TPUWW^RPU [VRVT]U
_PUW TPUmPUW ZP\VUP QPTP[ YVUePZXT `VmXYRPS aV`P\ YP[V\^ TVRPmP\PU QPU YVUePZXT
xyjHLyHj Hoi ghij (xg) YV\XTPZPU `^`[^Y Z]YXU^ZP`^ Y^\^T `^`[^Y Z]YXU^ZP`^
LiLq _PUW YVYXUWZ^UZPU `V`V]\PUW YVRPZXZPU TV\ePZPTPU Q^ ^U[V\UV[ QPRPY aVU[XZ
[VZ`b V\ePZPTPU a^`P Q^RPZXZPU ]RVS aPU_PZ T^SPZd aVaV\PTPd TXRXSPU QPU aPSZPU \P[X`PU
]\PUW TPQP `PP[ aV\`PYPPUb PRPY `^`[VY ^U^d XU[XZ [VYTP[ TV\ePZPTPU Q^aXP[ `VUQ^\^
`VYPePY \XPUW `VeP\P v^\[XPR _PUW a^P`P Q^`VaX[ SPUUVRb PRPY TV\ZVYaPUWPUU_Pd
`XQPS [^QPZ RPW^ SPU_P QPRPY aVU[XZ [VZ`d UPYXU mXWP a^`P YVUWWPaXUWZPU `XP\P
P[PXTXU v^QV] QPRPY TV\ePZPTPUU_Pb `PUWP[ T][VU`^PR Q^WXUPZPU PWP\ TP\P
P\P TPZP\ TVUQ^Q^ZPU [VRPS YVUe]aP XU[XZ YVUWPQPZPU TVUVR^[^PU QVUWPU YVUWPQPZPU
VZ`TV\^YVU XU[XZ YVUe^T[PZPU YV[]QV aVRPmP\ _PUW aP\Xd `VaX[ `PmP P\P VRPmP\ ^`P
Z[^c sud P\P VRPmP\ ^`P fPUQ^\^ sfud fV[]QV VRPmP\ XY]Ud VYT]Pd {jq|H
HiLyqyKd fd QPU NiyjNk HiLyqyKb VYXP X`PSP [V\`VaX[ Q^\XYX`ZPU QVUWPU
[XmXPU PWP\ TVYaVRPmP\ QPTP[ RVa^S YXQPS QPU `VQV\SPUP XU[XZ YVUeV\UP `VeP\P R]W^`
fVRPRX^ ^U[VW\P`^ QPRPY TVYaVRPmP\PUd e]\PZ TVUQ^Q^ZPU PZPU aPU_PZ aV\XaPS
@4 6 ¡ ¢¡£¡¤ ¥6 ¦6
§D4B¨©= ª« ¬ «® ¯¡®« £° ±§@²¨³C¨D<´ <A²¨ §D@AA :EEµ¶ ¥6 FF·6
012
'$# 0 & 1()2$3 145 0 '(0 0 %( 13
º»¼½¾¼ ¿»ÀÁ º¾¼ ÁÂ¾Ã¾Ä Å»Æ¾ÆÂÇ Ç¼¿»½Ã¾ÁÇ ÈÉÊ Ë»Ë»Ã¾Ì¾ Ì»ÃÂ˾;¼ ̾º¾ Ì»¼º»À¾¿¾¼
Ë»ÃÌǼº¾Í º¾ÃÇ Ì»¼½¾Ð¾Ã¾¼ Ë»ÃÌÂÁ¾¿ ̾º¾ Ì»¼½¾Ð¾Ã ÔÕÖ×ØÙÖÚ ØÖÛÕÖÚÖÜÝ À»Ì¾º¾ Ì»¼½¾Ð¾Ã¾¼
̾º¾ ¾À¿ÇÓÇ¿¾Á Ò¾¼½ Ë»ÃÎÃÇ»¼¿¾ÁÇ Ì¾º¾ ÌÃÎÁ»Á Ì»¼á¾ÃǾ¼ º¾¼ Ì»¼»Ï¾¼ ˻ú¾Á¾ÃÀ¾¼ ̾º¾
.
¿»ÎÃÇ Ë»Æ¾Ð¾Ã âãÛßÕÚäåÕæçæßèÖ Ñ¾Æ¾Ï ¿»ÎÃÇ Ë»Æ¾Ð¾Ã âãÛßÕÚäØÕæçæßè ºÇÌ»Ãá¾Ò¾Ç ˾Íé¾ Ë»Æ¾Ð¾Ã
Á»Ã¿¾ ÓÆ»ÀÁÇË»Æ º¾Æ¾Ï Ï»¼½½Â¼¾À¾¼ ¿»À¼ÎÆÎ½Ç Á»ÁÂ¾Ç º»¼½¾¼ л¼ÇÁ Ͼ¿¾ ̻ƾоþ¼ Ò¾¼½
¼¿ÂÀ Ï»Ï˾¿ Á»Îþ¼½ ¿»¼¾½¾ Ì»¼½¾Ð¾Ã ¼¿ÂÀ ϾÏÌ ϻ¼½½¾Ë¼½À¾¼ ¿»À¼ÎÆÎ½Ç º¾Æ¾Ï
Ì»¼½¾Ð¾Ã ¿»Ã;º¾Ì ÇÁÇ Ì»¼½¾Ð¾Ã¾¼ º¾¼ ÇÏÌÆÇÀ¾ÁÇ Ò¾¼½ Ë»ÃÀ¾Ç¿¾¼ º»¼½¾¼ ¿»À¼ÎÆνÇÄ
í»½¾½¾Æ¾¼ Ì»¼½¾Ð¾Ã º¾Æ¾Ï Ï»Ï˾¿ º»Á¾Ç¼ Ò¾¼½ ˾ÇÀ º¾¼ ¿»ÆÇ¿Ç ¾À¾¼ ϻýÇÀ¾¼
Ì»Ï˻ƾоà º¾¼ ¾À¾¼ Ï»¼Ð¾ºÇÀ¾¼ ÌÃÎÁ»Á Ì»Ï˻ƾоþ¼ Ï»¼Ð¾ºÇ ÀÂþ¼½ »Ó»À¿ÇÓÄ ë»á¾Ã¾
À»Á»ÆÂÃÂ;¼¼Ò¾ê é¾Æ¾Â̼ ¿Çº¾À º¾Ì¾¿ ºÇ̾Á¿ÇÀ¾¼ Á»Ð¾ÂÍ Ï¾¼¾ Ǽ¿»½Ã¾ÁÇ »Ó»À¿ÇÓ º¾Æ¾Ï
º¾Æ¾Ï Ì»Ï˻ƾоþ¼ê ϾÀ¾ Í¾Æ Ç¼Ç ¿»¼¿Â ¾À¾¼ º¾Ì¾¿ Ï»ÏÌ»ÃÆÇ;¿À¾¼ À»»Ó»À¿ÇÓ¾¼ Ò¾¼½
Æ»ËÇÍ Ë»ÃÀ»Á¾¼ º¾¼ Ï»¼¾ÃÇÀ Á»Ã¿¾ ϾÏÌ ϻ¼¾ÃÇÀ ÏǼ¾¿ ÏÂÃǺîÏÂÃǺ ¼¿ÂÀ ˻ƾоÃÄ
Ñ»¼½¾¼ ¾º¾¼Ò¾ Ǽ¿»Ã½Ã¾ÁÇ ÈÉÊ º¾Æ¾Ï Ì»¼ºÇºÇÀ¾¼ ¾À¾¼ Ï»¼Ð¾ºÇ Æ»ËÇÍ Ïº¾Í º¾¼
˾¼Ò¾À ǼÓÎÃϾÁÇ º¾Ì¾¿ ºÇºÇÁ¿ÃÇËÂÁÇÀ¾¼ À»Ì¾º¾ ̻ƾоÃÄ ë»Æ¾Ç¼ Ç¿Âê Ǿ º¾Ì¾¿ Ï»Ï˾¼¿Â
ÏÂÃǺ ¼¿ÂÀ Ï»¼½Â¾Á¾Ç Æ»ËÇÍ Ë¾¼Ò¾À ÇÆÏ º¾¼ ˻ú¾Ò¾ Á¾Ç¼½ º¾Æ¾Ï »Ã¾ Ì»¼ºÇºÇÀ¾¼
Ò¾¼½ Æ»ËÇÍ Ï»¼¾¼¿¾¼½Ä ï¾½Ç Ì»¼½¾Ð¾Ãê ÈÉÊ º¾Ì¾¿ Ï»Ï˾¼¿Â Ï»Ïð¾ÃǾÁÇÀ¾¼ Ï»¿Îº»
ÅÂÆ¿ÇÏ»ºÇ¾ º¾Æ¾Ï ÈÉÊ Ò¾¼½ Ï»¼½½¾Ë¼½À¾¼ Ë»¼¿ÂÀ ½Ã¾ÓÇÁê ¾ÂºÇÎê ðǺ»Î º¾¼
¾¼ÇϾÁÇ Á»Ã¿¾ Ǽ¿»Ã¾ÀÁÇ Ï»¼Ð¾ºÇ ¿Ã»¼º Ïκ»Æ Ì»¼ºÇºÇÀ¾¼ ¾Ë¾º ǼÇÄ ñ»Ï˻ƾоþ¼ ò¾Ã¾À
ò¾ÂÍ Ò¾¼½ Ǽ¿»Ã¾À¿ÇÓ º¾Ì¾¿ ºÇƾÀÂÀ¾¼ ˾ÍÀ¾¼ º¾Æ¾Ï À»Æ¾Á Ï¾Ò¾Ä Ñ¾Æ¾Ï Ì»Ï˻ƾоþ¼
Ï»Ï˾¼¿Â ̻ƾоà ¼¿ÂÀ ˻ƾоà ˾;Á¾ º»¼½¾¼ Ï»ÏÌþÀ¿»ÀÀ¾¼ ƾ¼½Á¼½ ˾;Á¾ Ò¾¼½
Á»º¾¼½ ºÇ̻ƾоÃÇ º»¼½¾¼ Ì»¼Â¿Âà ¾ÁÆÇ ÔÛ×ÕæçÖ ßùÖ×åÖÚßÝ Ï»Æ¾ÆÂÇ ÀÎϼÇÀ¾ÁÇ ÁǼÀÃμÇ
º¾¼ ¾ÁǼÀÃÎ¼Ç Ï»¼½½Â¼¾À¾¼ Öîè×æÞê ØÙ×ÕÕæÛ÷ê º¾¼ ÕÖÞÖåãÛúÖÚÖÛß .ûü ñ¾Ã¾ ̾À¾Ã Ï»¿ÎºÎÆνÇ
Ì»Ï˻ƾоþ¼ ˾;Á¾ Á»Ì¾À¾¿ ˾Íé¾ À»ÁÂÀ»Á¾¼ ˻ƾоà ¿»ÃоºÇ ºÇ Ͼ¼¾ ¿»Ãº¾Ì¾¿ »ÀÁÌÎÁ
Ò¾¼½ Ë»ÃϾÀ¼¾ ¿»Ã;º¾Ì ˾;Á¾ ¿¾Ã½»¿ º¾¼ Ǽ¿»Ã¾ÀÁÇ Ò¾¼½ Ǽ¿»¼ÁÇÓ º¾Æ¾Ï º¾¼ º»¼½¾¼
.
˾;Á¾ ¿¾Ã½»¿ê ˾ÇÀ º»¼½¾¼ ¾¿¾Â ¿¾¼Ì¾ À»Í¾ºÇþ¼ ÓÇÁÇÀ Û×ÕæçÖ ßùÖ×åÖÚ Å»Ï¾¼½ ˾¼Ò¾À
ýþ
ÿ
! "#$%& '$() *
+,,,-
./
¸¹¹
MIQOT 9:;< ===>9 ?:< @ AB;CDEFGFHIFJ @KLK
MNOPO QRSTUPR QR UNVN WTXNYNZ [N\NON UTV]NWNR SRV^MNS MTOPMOTONV SNVWN UTV^NQNMNV
STSNW QRNMPR WPXN [N\pN RVSTZNMOR WORM_X_^RO QTV^NV [N\NON NORV^ UTU[NVSP WZ_OTO
WTXNYNZ [N\NON NORV^ PVSPM UTV^NQNMNV M_VSNM XNV^OPV^ QTV^NV [N\NON SNZ^TSn
SPUWNV^ SRVQR\ NSNP dfvilvclbw QR UNVN xPV^OR WTV^NYNZNV UTZTMN QR^NVSRMNV _XT\
UTORVw OTQNV^MNV ^PZP \NV`N ZRXTMOn yMNV STSNWRw WTZNV UTZTMN OT[TVNZV`N UTVYNQR
UTV^T]TM OPU[TZ [TXNYNZ QNV WTZXTV^MNWNV rtw UTXNMPMNV WTVRVYNPNV NpNX agdf|kf}m
`NV^ NMNV SRU[PX OTXNUN WZ_OTO WTU[TXNYNZNVn {TXNUN WZ_OTO WTU[TXNYNZNVw ^PZP
UTUWZ_OTO WTV^NXNUNV [TXNYNZ OROpNn {TXTONR WTU[TXNYNZNVw ^PZP WTZXP UTdf|kf} UNSTZR
QNV WTV^NXNUNV [TXNYNZ OROpN [TZ[NORO rstw QNV UTUWNOSRMNV NQNV`N MTSTZMNRSNV `NV^
YTXNO UNSTZR QNV WTV^NXNUNV [TXNYNZ QTV^NV MPZRMPXPU QNV WZ_OTQPZ WTVRXNRNVn
QRW_WPXTZMNV _XT\ n n {MRVVTZw QR UNVN WTXNYNZ NMNV UTV^TU[NV^MNV [TVSPM ZTOW_VV`N
OT]NZN [TZSN\NW STZ\NQNW OSRUPXPO MTSRMN ZTOW_V UTZTMN QRRMPSR _XT\ dfklhdfflb
STZSTVSPn tP^NO `NV^ QR[TZRMNV UTXNXPR M_UWPSTZ OT[N^NR OSRUPXPO QRZTOW_V _XT\ OROpN
QTV^NV UTUPV]PXMNV pNYN\ `NV^ STZOTV`PUw NWN[RXN YNpN[NV UTZTMN [TVNZn TV^NV
UTZTOW_V QNV dfklhdfflb RVR QRNU[RX NXR\ _XT\ UTORV M_UWPSTZ QNV WZ_^ZNUV`Nn
UNVN QTV^NV [NVSPNV rstw OROpN UTXNMPMNV WZ_OTO [N^NRUNVN RVx_ZUNOR QRSTZRUN aSTMOw
OPNZNw ^NU[NZw ^ZNxROw NVRUNOR NSNP UPXSRUTQRN RVSTZNMSRxmw QRWZ_OTO QNV QRORUWNV QNXNU
M_UW_VTV UTU_ZRw [NRM YNV^MN WTVQTM UNPWPV YNV^MN WNVYNV^n sNZN MTZYN _SNM OROpN
QNXNU WTU[TXNYNZNV [TZ[NORO rst QRNZN\MNV UTV^RMPSR ]NZN MTZYN M_UWPSTZw `NV^ _XT\
yUTZRMN {TZRMNSw QRNVNX_^RMNV SRQNM YNP\ [TZ[TQNw MNZTVN MTQPNV`N SRQNM \NV`N OTMTQNZ
STZXT[R\ QN\PXPw [NZP QRN NMNV UTVTZRUN klgib QNSNn qTSRMN MT^RNSNV [TXNYNZ ORxNSV`N
F;C < C;IFJHF ¡¡¢£ 101 ¤ ¢¥ ¦ §¨ ¡© ¤ª«¬ ®:G¯:°
678
!"# $% & !' #&
,
ÅÆÇÈÉÊ ÈËÌ ÍÎÏÆÏËÈ ÐËÆÑ ËÈÒÆÑ ÇÎÒÆÓÔ ÕÈÒÌÅ ÆËÆÌ ÍÎÏÆÒÆ ÅÆÒÆ ÅÐÇÈÇÈ Ö×× ÒÆÓ ÅÎÏØÌ ÒÈÕÈÒÌÅÑÆÓ
ËÎÏØÎÍÈÕ ÒÆÕÌØÌÙ ÚÈÇÛÆ ÒÈÍÈÜÍÈÓÔ ÌÓËÌÑ ÜÎÓÔÈÓËÎÏÅÏÎËÆÇÈÑÆÓ ÒÆËÆ ÆÔÆÏ ÒÈÅÆÕÆÜÈ ÒÆÓ
ÝÓËÎÏÆÑÇÈ ÅÎÓÒÈÒÈÑÆÓ ÒÆØÆÜ ÝÞß ÆËÆÌ ÈÓËÎÏÆÑÇÈ ÑÐÜÅÌËÎÏ ÍÎÏÍÎÒÆ ÒÆÏÈ ÈÓËÎÏÆÑÇÈ
ÅÎÓÒÈÒÈÑÆÓ ËÆÓÅÆ ÝÞßÙ ÝÓËÎÏÆÑÇÈ ÜÎÜÍÆàÆ ÍÌÑÌ ÍÎÏÌÍÆÕ ÜÎÓáÆÒÈ ÜÎÜÍÆàÆ ØÆâÆÏ ÜÐÓÈËÐÏÙ
ãÎÓàÆÏÈ ÍÌÑÌÊ ÍÎÏÌÍÆÕ ÜÎÓáÆÒÈ ÜÎÜÍÌÑÆ ÉÈØÎÊ ÜÎÜÍÌÑÆ ÕÆØÆÜÆÓ ÍÎÏÈÑÌË ÍÎÏÌÍÆÕ
ÜÎÓáÆÒÈ ÑØÈÑ äÕÆØÆÜÆÓ ÍÎÏÈÑÌËÓâÆå ÆËÆÌ æçè éè êëìè xt Ù ãÎÓÒÎÓÔÆÏÑÆÓ àÎÏÆÜÆÕ ÔÌÏÌ
ÍÎÏÌÍÆÕ ÜÎÓ áÆÒÈ ÜÎÓ ÒÎÓÔÆÏÑÆÓ ÇÌÆÏÆ ÏÎÑÆ ÜÆÓ Æ ÌÒÈÐÊ ÅÎÜÎàÆÕÆÓ ÜÆÇÆØÆÕ
ÍÎÏÒÈÆØÐÔ ÒÎÓÔÆÓ ÑÐÜÅÌËÎÏ ÅÈÓËÆÏÙ íÆÓâÆÑ ÜÐÒÎØ ÈÓËÎÏÆÑÇÈ ÅÎÜÍÎØÆáÆÏÆÓ ÆÑÆÓ ÒÆÅÆË
s
ÒÎÓÔÆÓ îÎÏÇÈ Ö×æïëðè s
âÆÓÔ îÆÏÈÆËÈÉÊ ÈÓËÎÏÆÑÇÈ ÒÎÓÔÆÓ ÒÆËÆ ÏÈØØÊ ÒÎÓÔÆÓ Ö×æïëðè ØÆÈÓÊ
ÒÎÓÔÆÓ ÅÎÓÔÔÌÓÆ ØÆÈÓÊ ÒÎÓÔÆÓ ØÈÓÔÑÌÓÔÆÓ ÒÌÓÈÆ ØÌÆÏÊ ÒÆÓ ÒÎÓÔÆÓ ÈÓÉÐÏÜÆÇÈ âÆÓÔ
-
ñ ñòóôëæõÖö ÜÎÜÍÎÏÈ ÅÎØÌÆÓÔ ÌÓËÌÑ ÜÎØÆÑÌÑÆÓ áÆÓÔÑÆÌÆÓ ÑÎÅÆÒÆ ÅÎÜÍÎØÆáÆÏ
âÆÓÔ ØÎÍÈÕ ØÌÆÇ ÒÎÓÔÆÓ ÇÆÏÆÓÆ ÅÎÓÒÈÒÈÑÆÓ âÆÓÔ ÇÎÏÍÆ îÈÏËÌÆØÊ ÇÎÅÎÏËÈ ÅÎÏÅÌÇËÆÑÆÆÓ
v
Î÷ÜÆÈØÊ õòèÖ ôÖö×èðèöôè , w
ÒÆÓ èø ùëìè Ù
ÜÎÜÍÎÏÈ ËÌÔÆÇ ÅÎÓÒÆØÆÜÆÓ ÜÆËÎÏÈ ÑÎÅÆÒÆ ÅÎØÆáÆÏÊ ÜÎÜÍÎÏÈ ÑÎÇÎÜÅÆËÆÓ ÑÎÅÆÒÆ ÅÎØÆáÆÏ
ÜÎÓÔÈÏÈÜÑÆÓ ÜÆÑÆØÆÕÊ ÐÅÈÓÈÊ ÑÏÈËÈÑÊ ÜÎÜÍÌÆË ËÎÜÌÆÓÊ ÍÎÏÒÈÆØÐÔ ÒÎÓÔÆÓ ÅÏÐÉÎÇÐÏÊ ÇÆØÈÓÔ
ÜÎÒÈÆ ØÆÈÓÓâÆÙ þÅÆ âÆÓÔ ÒÆÕÌØÌ ÑÆØÆ ËÈÒÆÑ ÅÎÏÓÆÕ ËÎÏÅÈÑÈÏÑÆÓ ÑÎËÈÑÆ ÿÆÜÆÓ ÝÞß ÍÎØÌÜ
ÆÒÆÊ ÇÎÑÆÏÆÓÔ ÇÌÒÆÕ ÍÌÑÆÓ ÜÎÏÌÅÆÑÆÓ ÜÈÜÅÈ ØÆÔÈÙ ßÈÓÔÔÆØ ÍÆÔÆÈÜÆÓÆ ÅÎÓÎÏÆÅÆÓÓâÆ
ÐØÎÕ ÅÎØÆÑÌ ÅÎÓÒÈÒÈÑÆÓ ËÎÏÌËÆÜÆ ÅÎÓÒÈÒÈÑÆÓ ÝÇØÆÜ ÒÆØÆÜ ÜÎÓáÆØÆÓÈ ÅÏÐÇÎÇ ÅÎÓÒÈÒÈÑÆÓ
P i P gg
ÆØÆÌÅÌÓ -
ÜÐÒÎØ è ñòóôëæõÖö ÜÎÜÈØÈÑÈ ÒÆâÆ ÅÈÑÆË âÆÓÔ ÇÆÓÔÆË ÍÎÇÆÏÊ ÍÎÍÎÏÆÅÆ
ÅÎÏÇÐÆØÆÓ ÍÎÇÆÏ ËÎÏÒÆÅÆË ÒÆØÆÜ ÑÐÓËÎÑ ÍÌÒÆâÆ ÈÓËÎÔÏÆÇÈ ÒÆÓ ÆÅØÈÑÆÇÈ ÝÞß ÒÆØÆÜ
ÅÎÓÒÈÒÈÑÆÓÙ ÆØ ÈÓÈ ÑÆÏÎÓÆ ÈÓËÎÔÏÆÇÈ ÝÞß ÒÆØÆÜ ÅÎÓÒÈÒÈÑÆÓÊ ËÎÏÌËÆÜÆ ÒÈ ÝÓÒÐÓÎÇÈÆ ØÎÍÈÕ÷
ØÎÍÈÕ ØÆÔÈ ÅÆÒÆ ËÆËÆÏÆÓ ÇÎÑÐØÆÕ÷ÇÎÑÐØÆÕ ÒÈ ÍÆÛÆÕ ÓÆÌÓÔÆÓ ÎÅÆÏËÎÜÎÓ þÔÆÜÆÊ ÜÆÇÈÕ
ÍÎÏÆÒÆ ÅÆÒÆ ÌÇÈÆ ÍÆâÈ ÒÆÓ ÍÎØÌÜ ÜÎÓàÆÅÆÈ ËÆÕÆÅ âÆÓÔ ÜÎÜÍÆÓÔÔÆÑÆÓÙ ÆÜÍÆËÆÓ è-
u
ñòôëæõÖö ÒÈ ÝÓÒÐÓÎÇÈÆ ÆÒÆØÆÕ
ÂÃÄ
MIQOT +,-. ///0+ 1,. 2 34-567898:;8< 2=>=
?@ABCDC. EFGHI JFKLFMJHNMOP QRSQ BATUB UVWR@BX OPYJH ZFKHLP[PM LH\POP LFGP]PK
\PKY Z^GP LFGP]PK N^M_FM`Y^MPGa JFKHJPIP Z^GP Z^M\^N ZF`PMJKFM \PM IP\KP`P[a NF
LH\POP LFKLP`Y` bcde fJYNP ZFM\Y\YNPM LFKLP`Y` YMJFKMFJ LFGHI JFKHIH`NPM \PM
JFK`^`YPGY`P`Ya LFgYJH ]HgP JYMgNPJ NFZFKhPOPPM IP`OPKPNPJ OPMg IP`Y[ IFKPgHNPM
_PGY\YJP` [P`YGMOPe iFKHLP[PM Z^GP ZFILFGP]PK \PKY OPMg hFM\FKHMg ZP`Yj IFMHMggH
IPJFKY ZFM\Y\YNPM NFZP\P ZFILFGP]PK OPMg PNJYj IFMhPKY IPJFKY ZFM\Y\YNPMe
k@lTC. mPKPMP \PM ZKP`PKPMP LFGHI IFIP\PYa `F[YMggP jP`YGYJP` OPMg \Y`F\YPNPM
IP`Y[ LFGHI GFMgNPZa \PM NFLPMOPNPM `FN^GP[ hHIP \YGFMgNPZY \FMgPM LFLFKPZP
ZK^]FNJ^K nco `P]P \PM `FJYPZ NFGP` IP`Y[ LFGHI IFIZHMOPY `PJH nco ZK^]FNJ^Ke
pNYLPJMOPa gHKH OPMg `H\P[ IFIYGYNY NFJKPIZYGPM IFMgYMJFgKP`YNPM bcd \PGPI
ZFILFGP]PKPMa ]H`JKH JY\PN IFMgPZGYNP`YNPMMOP \PGPI ZK^`F` ZFILFGP]PKPMe qHKH LY\PMg
`JH\Y dbr `FM\YKY [PMOP IPIZH IFMgP]PKNPM PZP OPMg P\P \PGPI LHNH JFN`a JPMZP \YP
`FM\YKY JFKGYLPJ GPMg`HMg \PGPI ZFMgYMJFgKP`YPM dbr \PGPI ZFILFGP]PKPMe
k@BRSC. sYMYIMOP mos OPMg IFIP[PIY \PM IFMgHP`PY \FMgPM LPYN N^M`FZ \PM
YIZGFIFMJP`Y bcd \PGPI ZFM\Y\YNPMe mF[YMggP hPKP ZFILFGP]PKPM IFKFNP IP`Y[
LFKLFMJHN JKP\Y`Y^MPG OPYJH \FMgPM IFMggHMPNPM ZPZPM JHGY` t[YJPI PJPH ZHJY[u \PM
NPZHK JHGY` PJPH `ZY\^Ge dbr [PMOP IFM]P\Y IPJP ZFGP]PKPM OPMg [PMOP \Y[PjPG
LFK\P`PKNPM LHNH JFN` \PM LFKP\P ZP\P JPJPKPM GF_FG N^gMYJYj OPMg ZPGYMg LPvP[ OPYJH
`FNF\PK wxVyz@lS@a \PM JY\PN `PIZPY ZP\P GF_FG PZGYNP`Ye bMY IFMgPNYLPJNPM ZPKP ZF`FKJP
\Y\YN [PMOP JP[H JPZY JY\PN JKPIZYG IFM]PGPMNPMMOPa PZPGPgY JFKPIZYG IFKPvPJ ZFKPGPJPM
dbr \PM IFMgFILPMgNPM ZK^gKPI OPMg P\P \Y \PGPIMOPe rFPGZPPM YGIH \PM
NFJKPIZYGPM IFM]PGPMNPM bcd YMY IFM]P\Y ZFMg[PGPMg \PGPI YMJFgKP`Y bcd \PGPI
ZFM\Y\YNPMe
k@zRDCe fJYNP \PM I^KPGYJP` IP`Y[ LFGHI IFM\PZPJ JFIZPJ OPMg JFZPJa `F[YMggP
`Y`JFI @ - }lTWCBRVx \YIPMjPPJNPM ^GF[ ZY[PN~ZY[PN JFKJFMJH HMJHN IFGPNHNPM
ZFGPMggPKPM FJYNP \PM I^KPGYJP`a `FZFKJY IFM]P]PNPM `YJH` Z^KM^gKPjYe
k@BTTQ. p\PMOP ZFK`FZ`Y OPMg NHKPMg Z^`YJYj \Y NPGPMgPM ZPKP ZFM\Y\YN JFMJPMg
()*
ÒÓÔÕÖ×ØÙ ÚÛÜÝÞÓÖßØ Úàá ×ÖâÖÕ ÒÝÛ×Ø×ØãÖÛ ÚßâÖÕ
¡
¢ ¢ ¢ £ ¤
¡¡ ¡ ¥¡ £
¦ ¡ ¡¢
§ ¡¡ ¡ ¢ ¡ ¡
£ ¨¢ ¡ ¡
¡¢ ¢ ¡ ¡¡
£ © ¡ ¡ ¡
¡ ¡ ¡£ ª § ¡ ¢
¡ ¡ ¡ ¢ ¡£ «¬
ª ¢ ¡¢ ¡
¢ ¡ ¢ ¡ ¡¢ ¡
¥¡ ® ¢ ¡£
ª ¡ ¥¡ ¥¢ ¡
¢®¢ ¡ ¥ ¥¢
¢ ¢ ¡¢ ¡ ¢®¢ ¡
¡ ® ¢ ¡£
¤ ¡¡ ¡¡ ¡ ¡ ¡ ¢
¢¥ ¡ ¡ ÄÅÆÇÈ ÉÅÊÈ ¡ ¢¥
ËÉÆÌÇÈÊÌÇÍÆÎ ¡ £ ¤ ¡¢ ¢¥ ÄxsÇÈ, ÉÏÊÈy
¡ ÌÉsÇÈÊÌÇvsÎ ¥ ¢ £ Ð ¢ § ¡¢
¢¥ ¡ ¢¥ ¡¡£
Ñ ¡¢ ¡¡ ¥ ¢ ¡
¢¥ ¡ ¢¥£ ¤¥ ¥ ¡ ¡
¢¥ ¢¥ § ¡ ¡¢ ¢
¡¢ ¢¥ ¢¥ ¢
¢¥ ¡ ¡¢ ¢£ ¤¥ ¥¡ ¢ ¡
¡ ¡ ¢ £ ¨¢
¥ ¡ ¢ ¢¥
¡ ¡¢ ¢ ¢¢ ¡ §¢
¡ ¡¢ ¢¥ ¡ ¡ ¡¢£
MIQOT æçèé êêêëæ ìçé í îïèðñòóôóõöó÷ íøùø
ûüû ýý ÿÿ ý ûþý ÿýÿý ûþû ýý û ûü ý ý ûû ýý ÿ ûý
üÿýþ ÿ ý þý ýýüÿ
ý û
ý ý ûüû
ýý ý û ÿþý ýþ
ûüÿ ÿþþÿ
ý ÿ úû
ý ý ý ý û
ý ûÿÿ ýý
ýþÿ ûÿÿ
ûÿ
ý
ýý ûý ý
ûÿ ÿÿ ûÿ ý ý û ýÿ ý ûþþýý ý ý ûüû ýý ý ý ý
ûýþ ûý ûý ýþ ûÿ
ÿÿ ÿÿý ûýÿ ûýþý ûûÿÿý ýþ
ûÿ
ý
ý ûÿ
ÿÿ ÿ
ýÿ
û ÿ ÿ ÿ ÿý þ
üý
P$%&'&(
)û ûüýþý ý ûû ýÿ ûý ýû ûÿý
û
û*ý ý þ
üý
)ûþÿ ûþ ýÿý ý
ý ûÿÿý ûüýý û üýý üûý ý
ý
ÿý ûÿÿý üýÿ ýý ý ý ý
û û
ÿ ý ý
ÿýÿ )ûûý ý û
û
5û ýý ÿ ÿ ûÿ ýý ,60".- +#!.2 ûû ÿ ý 7 8ý úý ý 9ýÿ ý
úûý ý :ÿý 5ý ýý : ýü 5ýýý þþ ÿ ý ûüýþýÿý ÿý
ýþÿ û ûý
ÿ ûû ý ÿ ý û *ý ý ý ý
ýÿÿ
ý
ý ý û ý ÿ û* ý ý
û ÿ û ý ÿ
ûþþýý
ÿûÿý ý
ý üû üýþýÿ üû ý û ûÿý ÿ üû üýþýÿ ûý ÿ
ÿý þ
üý
ÿûÿýý
û üû üýþýÿ üû ý ýý ÿýû ûþý ý *ûý
û ý û ÿÿý
û
ÿÿ ýþ ÿý ÿ û*ýýý
CDE FGEHIJ KGLIFDMDE KGECNCNJDE OPQDR HNCDJ CDKDH CNKDPHNJDES TGFGLDKD KLGCNJPN KGLQI
CNFIDH FGLCDPDLJDE UGEVRGED WDEX FGLQDJI PDDH NENS YXDL PGVLDEX KGECNCNJ FNPD GJPNP CN
RDPD CGKDEZ CNKGLQIJDE [NPN \DIM JG CGKDEZ CDE RGLDE]DEX PG\DJ CNEN JGPNDKDE CDE
KGLPNDKDE DKD WDEX MGECDJ CNFD^D XIED GJPNP CN RDPD CGKDES _GECNCNJ RGRNQNJN HIXDP
CDE HDEXXIEX\D^DF RGRKGLPNDKJDE DEDJ CNCNJ PIKDWD FNPD MNCIK HNCDJ CN `DRDE CND
_GLJGRFDEXDE Oab JG CGKDE HDRKDJEWD DJDE PGRDJNE QGFNM MGFDH CDLN WDEX DCD
PDDH PGJDLDEXS cdefgh HGJEVQVXNZ MDEWD DJDE RGECDHDEXJDE idefgh NHI PGECNLN JG CDQDR
JGMNCIKDE JNHDZ JDLGED MIJIR HDLNJjRGEDLNJ HNCDJ RGEXG]IDQNJDE DKD WDEX JNHD
NEXNEJDE CDE DKD WDEX HNCDJ JNHD NEXNEJDES YKD WDEX PGQDQI CNJNLNR VQGM KNJNLDE JNHDZ
\IPHLI NHI WDEX DJDE JGRFDQN CDE FGEDLjFGEDL JGRFDQN JGKDCD JGMNCIKDE JNHDS bDEHDEXDE
JG CGKDEZ OEHGXLDPN Oab CDQDR KGECNCNJDE OPQDR DCDQDM FIJDE PIDHI WDEX MDLIP CNMNECDLN
DJDE HGHDKN RGLIKJDE PIDHI DQHGLEDHNU KGECGJDHDE KGRFGQD\DLDE WDEX RGLIKDJDE PDHI
JGRGPHNDES kDQDI RDI HNCDJ HGLPNPNMJDE CN RDPD CGKDE CDQDR JVRKGHNPN KLVUGPNVEDQ
KDLD KGECNCNJZ PGVLDEX ]DQVE KGECNCNJ CDE KGQDJI KGECNCNJ PDDH NEN MDLIP RGRDPIJN
CDE FGLDCDKHDPN CGEXDE KGLJGRFDEXDE OabS _DQNEX HNCDJ FNPD PGFDXDN KGEXXIED CDQDR
RGRDEUDDHJDE Oab IEHIJ KGRFGQD\DLDEZ FNQD HNCDJ RDRKI PGFDXDN KGE]NKHD RGECNPDNE
CDE RGE]NKHDJDE PGECNLN lemnohpq KGECNCNJDE OPQDRS OENQDM \IXD FDLDEXJDQN HGLRDPIJ
PGQGRDMjQGRDM IKDWD CDQDR DEDQVXN JVEPGK ORDES rEHIJ JGFIHIMDE KGECNCNJDE DEDJj
DEDJ sIPQNR PGECNLNZ DCDQDM PIDHI WDEX RIPHDMNQ CNPGLDMJDE JGKDCD KDLD KGECNCNJ CDLN
JDQDEXDE EVEjsIPQNRZ JDLGED DJDE HNCDJ RGEXMDPNQJDE PGKGLHN WDEX CNJGMGECDJN CDQDR
HI\IDE KGECNCNJDE OPQDRS kGL\DPDRD KDJDL Oab CDE KGECNCNJDE OPQDR DJDE PGRDJNE
RGEXIFDM ^D\DM KGECNCNJDE OPQDR JG CGKDES tNRFDIDE CDE D\DJDE JGKDCD KDLD KGQDJI
KLVUGPN KGECNCNJDE OPQDR CDE ]DQVE KGECNCNJNU OPQDRZ DXDL RGE\DCNJDE Oab PGFDXDN PDHI
DQHGLEDHNU CDQDR KGLNQDJI FGLJDLWD CDQDR KLVUGPN PGFDXDN KGECNCNJ CDQDR HDHDLDE
KGECNCNJDE OPQDRS
Puvwxyx z{ux|
YCLNZ sIMDRRDCS }~p~ }e e inghglhlg e ~
n~ cqfqhhph
. DJDLHD
kVRKIHNECVZ S
YMRDCZ kMILPMNCZ qn hS ei~nqpl, h
~hq qhp
g
h
h
~hq qhdg
S aDRFLNCXG
aDRFLNCXG rEN[GLPNHW LVIKZ S
TWLEGZ MVECDS dq qpqnZ HGL\S IPN _IL^VJVS DJDLHD LDRGCNDZ HSHS
VEGPZ YEEZ qn hSS cqple
h ei~nqpl mep glnh
q ~hnge
dq n~ em h
~hnge
h
e¡hnge
S ¢VECVE HSKSZ S
kMDEZ D]MGQ S
nqp
qn 101 dq £qo ¤hll ¤qg~ mep ¥ggig
elS _DPNX aNHW YE[NQ
_IFQNPMNEXZ OE]Z HSHS
@AB
MIQOT »¼½¾ ¿¿¿À» Á¼¾  ÃĽÅÆÇÈÉÈÊËÈÌ ÂÍÎÍ
ÏÐÑÒÓÒÔ ÕÖ×Ø ÙÖÑÐ×ÚÒ ÛÜÝÞÓÝß àáâãäåæçèé êçèëìí, îìïèçðçñæ áäè òíðæïäëæ óèåìôèìå
õìèáæáæïäè. öÒ÷øÝùÝÞÑÝú ûÐüÐÞýØÑ þÿÛ Ô ß
õs
æïçðçñæ óðsäé äðä
s ä, îìçôæ áäè òíðæïäsæ. ÖÝÝ ÖÓÖÞú ü
ÑØÑÖÑ
ÝÓ Ý×ÜÝÞØ
Ô ß
s æèñâæåsæï îìïsòôä
ûÞÒÓÝ×Øß òèäðæä suä õôìs, .
ß õìïäèäôâé ï
¸¹º
TU -./0 1/23/4 1/5/6 78 RS 7829:; /5<= UR>/0
Iftitah Jafar
PQRSTUQV WQRXQY ZQ[ \]^S[_RQV_ `[_abcV_UQV dVTQ^ ebfbc_ g`deh iTQSZZ_[j
kTl mSTUQ[ iTQSZZ_[ e]l noj pQRQVVQcj qrsst
bu^Q_Tv YQVw_Y^Sxy^Q_Tlz]^
e dahÙÚÙaØ
× Ø
ÛÌÏÐÌÑ ÎÖÜÌÏÊÏÌÍ ÎßÍàÌÍ æÌÔÖÌâÖ âÉÔÌÉßàÖ ÎÌÍ ÝßÉçÎßÒ âßÔÉÌ ÝßÜÖÞÌÉÏÌÍ ÞßÔÞÌàÌÖ
ÏÌÜÌÍàÌÍ ÞÌÖÏ ÖÍÎÖæÖÎÊ ÝÌÊäÊÍ ÏßÜçÝäçÏ ÌÉÌÊ ÜßÝÞÌàÌå ÛÌÏÐÌÑ ÖÍÖ äÊÍ ÝßÍààÊÍÌÏÌÍ
âßÜÊÔÊÑ ÝßÎÖÌ ÏçÝÊÍÖÏÌâÖ áÌÍà ÝßÝÊÍàÏÖÍÏÌÍ âßâÊÌÖ ÏßÞÊÉÊÑÌÍå èÌÑÏÌÍ ÎÌÜÌÝ ÐÌÏÉÊ
ÝßâËÖÎ ÎÌÍ ÝÊâÌÜÌÒ ÞÌÖÏ ÎÖ ÝÌÜÌÝ ÑÌÔÖ ÝÌÊäÊÍ äÌÎÌ âÖÌÍà ÑÌÔÖÍáÌå ëÌÝÊÍÒ äßÔÉÌÍáÌÌÍ
áÌÍà âßÔÖÍà ÝÊÍéÊÜ ÌÎÌÜÌÑ âßËÌÊÑÝÌÍÌ ÏßÞßÔÑÌâÖÜÌÍ ÎÌÏÐÌÑ ÉßÔâßÞÊÉ ÎÌÍ ÌäÌ ÏÔÖÉßÔÖÌ
ÎÌÍ ÖÍÎÖÏÌÉçÔ áÌÍà ÎÖàÊÍÌÏÌÍ ÊÍÉÊÏ ÝßÍÖÜÌÖ ÞßÔÑÌâÖÜ ÉÖÎÌÏÍáÌ ÎÌÏÐÌÑå ìßÞÌàÌÖ âÊÌÉÊ
ÝßÝßÔÜÊÏÌÍ âÏÌÜÌ äßÍàÊÏÊÔÌÍ ÎÌÍ âÉÌÍÎÌÔ ÉßÔâßÍÎÖÔÖå íÌÏÌÔ ÎÌÏÐÌÑ ÎÖÑÌÔÌäÏÌÍ ÎÌäÌÉ
*+,
MIQOT ñòóô õõõöñ ÷òô ø ùúóûüýþÿþ þ ø
!"
## #
#
!"
#
$
%
&
!"
##
# %
!"
'()*îl Allâh+ dâr
al-salâm al-jannah,
,
!"
!"- .
/
review
!"
#
#
#
%
#
%
= ,
'akhlâq al-karîmah+
> = ,?
@
A innamâ bu B itstu li utammima makârim al-akhlâq C '
+D %
& = E
>
>
>
A amar ma rûf nahy al-munkarCF
G HûIJK Lô MNJOJJK PJûQ Buku Pedoman Dakwah RùJSJKJT UûVWJNJQ XYøZQ Iô øXô
[ Ibid.Q Iô øXô
îïð
Iftitah Jafar: Tujuan Dakwah dalam Perspektif al-Qur an
_`ab`cd_ efeg h`cij k`gdfif life mifde_feg m`gneg eoe_peoe_ ehpqdaregs tehek fei_eg
igiu k`geaif dg_df k`gv`ake_i fheik wxhî Gharishah, bahwa ibadah yang pertama sebelum
salat diwajibkan adalah akhlak atau ajaran moral. Lama sebelum salat diwajibkan, di
Makkah telah turun wahyu Allah tentang moral, yaitu ajaran tentang budi pekerti
mengenai baik dan buruk. Ayat-ayat dimaksud bisa dilihat dalam Q.S. Al-Anyâm/6: 151-
153 dan Q.S. al-Isrâ /17: 23-39.3
Jamaluddin Kafie mengklasifikasi tujuan dakwah ke dalam beberapa tujuan.
z{|}~~. Tujuan hakiki yaitu mengajak manusia untuk mengenal Tuhannya dan
mempercayai-Nya sekaligus mengikuti jalan petunjuk-Nya. {~. Tujuan umum, yaitu
menyeru manusia untuk mengindahkan dan memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya.
{}~. Tujuan khusus, yaitu bagaimana membentuk suatu tatanan masyarakat Islam
yang utuh (
âffah).4 Rumusan tujuan ini agaknya telah mencakup sebagian besar prinsip-
prinsip dasar pengejawantahan ajaran Islam yaitu iman, ibadah, ketundukan pada
hukum-hukum Allah dan terwujudnya kehidupan masyarakat yang islami. Tidak seperti
Kafie, Abdul Rosyad Saleh membagi tujuan dakwah ke dalam dua bagian yaitu tujuan
utama dan tujuan departemental. Tujuan pertama adalah terwujudnya kebahagiaan
dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat yang diridhai oleh Allah SWT. Tujuan
kedua adalah nilai-nilai yang dapat mendatangkan kebahagiaan dan kesejahteraan yang
diridhai Allah SWT. sesuai dengan bidangnya.5 Tujuan pertama ini sejalan dengan rumusan
pengertian dakwah yang diajukan oleh Syaikh Alî Mahfûzh bahwa dakwah adalah
mengharuskan manusia melakukan kebaikan dan petunjuk memerintahkan yang ma rûf
dan mencegah yang munkar untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. 6
M. Bahri Ghazali, dengan berdasarkan pada aspek kelangsungan suatu kegiatan
dakwah, membagi tujuan dakwah kepada tujuan jangka pendek dan tujuan jangka
panjang. Yang pertama dimaksudkan untuk memberikan pemahaman tentang Islam
kepada masyarakat sasaran dakwah. Yang kedua, mengadakan perubahan sikap
3
Ajaran moral yang terdapat dalam Q.S. al-An âm/6: 151-153, adalah larangan-larangan
mempersekutukan Tuhan dengan sesuatu, membunuh anak-anak karena takut kemiskinan,
melakukan perbuatan keji, membunuh orang kecuali dengan hak, dan mempergunakan harta
anak yatim. Sedang perintah-perintah yang dimuat adalah berbuat baik kepada ibu bapak,
menyempurnakan timbangan, berlaku adil dan menepati janji. Adapun ajaran moral yang
dicakup dalam Q.S. al-Isrâ /17: 23-39, antara lain perintah bersikap sopan santun dan hormat
kepada kedua orang tua. Perintah ini diikuti dengan larangan-larangan boros dalam
menggunakan harta dan kikir, mendekati zina, mengikuti sesuatu yang tidak diketahui, dan
berjalan di muka bumi dengan sombong. Lihat Alî Gharishah, Du âtun la Bughâtun, terj. Abu
Ali (Solo: Pustaka Mantiq, 1979), h. 11-18.
4
Lihat Jamaluddin Kafie, Psikologi Dakwah: Bidang Studi dan Bahan Acuan (Surabaya:
Offset Indah, 1993), h. 66.
5
Lihat A. Hasymi, Dustur Dakwah Menurut al-Qur an (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 18.
6
Lihat Syaikh Alî Mahfûzh, Hidayat al-Mursyidîn (Kairo: Dâr al-Kutub al- Arâbîyyah, t
t.), h. 27.
\]^
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010
7
M. Bahri Ghazali, Dakwah Komunikatif: Membangun Kerangka Dasar Ilmu Komunikasi
Dakwah (Jakarta: Pedoman Ilmu, 1997), h. 7.
8
Ibid, h. 8.
9
Bandingkan dengan Sasa Djuarsa Sandjaja, et al., Pengantar Komunikasi (Jakarta:
Penerbit Universitas Terbuka, 1993), h. 45.
10
Lihat Abû Zahrah, Al-Da wat ilâ al-Islâm, terj. Ahmad Subandi dan Ahmad Sumpeno
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), h. 32.
288
Iftitah Jafar: Tujuan Dakwah dalam Perspektif al-Qur an
mengajak kepada kebaikan (ûna ilâ al-khayr) dan kelompok yang memerintahkan
yang ma rûf dan melarang yang munkar (ya murûna bi al-ma rûf wa yanhawna an al-
munkar). Kelompok kedua, menurutnya, adalah mereka yang memiliki kekuasaan.
Ajaran ilahi bermuara pada dua sisi. Pertama, nasehat dan penjelasan dan kedua,
melaksanakan kekuasaan memerintah dan melarang, agar ma rûf dapat terwujud dan
munkar dapat sirna.11
Dalam konteks yang berbeda, Amrullah Ahmad, sebagaimana dikutip Enjang AS.
dan Aliyuddin, juga membagi tujuan dakwah ke dalam tujuan jangka pendek dan tujuan
jangka panjang. Tujuan jangka pendek menukik pada upaya peningkatan sumber daya
manusia yang berkualitas, pembinaan insan-insan saleh, dan perubahan stratifikasi
sosial ke arah yang lebih terhormat. Sedangkan tujuan jangka panjang adalah
membangun kehidupan masyarakat yang berkualitas, masyarakat madani yang meliputi
nuansa iman dan takwa, atau dalam terma baldat thayyibat wa rabb ghafûr. Rumusan
tujuan jangka pendek searah dengan tujuan jangka panjang dalam pengertian kalau
tujuan jangka pendek tercapai, maka akan terwujud bentuk masyarakat yang diinginkan
dalam tujuan jangka panjang. Namun perlu ditegaskan bahwa baik tujuan
departemental maupun tujuan jangka pendek, hendaknya dirumuskan memenuhi
prinsip-prinsip dalam penentuan tujuan. George A. Steiner, pakar strategi, seperti dikutip
Wayudi, misalnya, menyebutkan tujuh prinsip, yaitu suitable (sesuai), achieveable (dapat
dicapai), flexible (lentur), motivating (memotivasi), understandable (dapat dimengerti),
linkage (terkait) dan measurable (dapat diukur).12
Dengan mendasarkan diri pada kelompok sasaran dakwah, H. A. Timur Djaelani
menulis bahwa dakwah kepada intern kaum muslimin bertujuan untuk menyempurnakan
Iman dan Islam mereka, sedang dakwah kepada non-Muslim bertujuan mengajak mereka
memeluk agama Islam.13 Tujuan dakwah internal ini sejalan dengan Q.S. al-Baqarah/
2: 208 dan Q.S. Âli Imrân/3: 102, yang menekankan peningkatan kualitas kehidupan
beragama. Tujuan dakwah eksternal menekankan pada pengenalan aspek-aspek
keunggulan dan keistimewaan nilai-nilai ajaran Islam, disertai ajakan secara
komunikatif dan persuasif atau melalui debat.
Dengan mengacu pada al-Qur an sebagai kitab dakwah, Syukri Sambas,
sebagaimana dikutip Agus Ahmad Safe i, merumuskan tujuan dakwah sebagai berikut.
Pertama. Membebaskan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang (Q.S. al-
Baqarah/2: 257). Kedua. Menegakkan shibghah (celupan) Allah dalam kehidupan (Q.S.
al-Baqarah/2: 138). Ketiga. Menegakkan fitrah insaniyah (Q.S. al-Rûm/30: 30). Keempat.
11
Lihat Sayyid Quthb, Tafsîr fî Zhilâl al-Qur ân, juz II (Beirut: Dâr al-Syurûq, 1992), h. 25.
12
Lihat penjelasannya dalam Agustinus Sri Wahyudi, Manajemen Strategik: Pengantar
Proses Berpikir Strategik (Jakarta: Binarupa Aksara, 1996), h. 74-75.
13
Lihat, H. A. Timur Djaelani, Pembahasan Umum Mengenai Dakwah, dalam Forum
Dakwah (Jakarta: Pusat Dakwah Islam Indonesia, 1972), h. 183.
289
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010
T ¡ a¢ £a¤w
ah ¥ ¦ a¢
Dalam pandangan Muhammad Husain Fadh Allâh, sejak permulaannya, al-Qur an
diturunkan Allah SWT. sebagai kitab dakwah, yakni kitab yang memuat ajakan untuk
menuju Allah SWT. dan mengikuti jejak Rasul-Nya, Muhammad SAW. Karena al-Qur an
berada dalam atmosfir dan realitas dakwah, maka ia mendorong terlaksananya dakwah.
Selain itu, al-Qur an juga menawarkan metode dan teknik pelaksanaannya, demikian
pula menegaskan tujuan yang hendak dicapai. Sebagai tambahan, al-Qur an juga
menunjukkan jalan pembinaan dai dalam mengemban tugasnya. 16 Menurut Sayyid
Quthb, sebagai sebuah kitab dakwah, al-Qur an berfungsi sebagai pembangkit, pendorong
dan pengawas dalam pelaksanaan dakwah. Lebih dari itu, al-Qur an juga menjadi
rujukan para penyeru dakwah dalam menyusun konsep gerakan dakwah dan melakukan
kegiatan dakwah.17
14
Agus Ahmad Safe i, Kajian Aksiologi Ilmu Dakwah, dalam Aep Kusnawan, et al.
Dimensi Ilmu Dakwah: Tinjauan Dakwah dari Aspek Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, hingga
Paradigma Pengembangan Profesionalisme (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), h. 104. Lihat
pula Asep Muhiddin, Dakwah dalam Perspektif al-Qur an: Studi Kritis atas Visi, Misi dan Wawasan
(Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 147-148.
15
Lihat Enjang AS. dan Aliyuddin, Dasar-Dasar Ilmu Dakwah: Pendekatan Filosofis dan
Praktis (Bandung: Widya, 2009), h. 98.
16
Lihat Muhammad Husain Fadh Allâh, Ushlûb al-Da wah fî al-Qur ân, terj. Tarmana
Ahmad Qosim (Jakarta: Lentera Basritama, 1997), h. 11.
17
Lihat Sayyid Quthb, Fiqh al-Da wah: Mawdhu ât fî al-Da wah wa al-Harâkah, terj. Suwardi
Effendi, BIS dan Ah. Rosyid Asyofi (Jakarta: Pustaka Amani, 1986), h. 11.
290
Iftitah Jafar: Tujuan Dakwah dalam Perspektif al-Qur an
18
Lihat Bakhyûl Khûlî, Tadzkirat al-Du ât (Beirût: Dâr al-Kutub al- Arabiyyah, t.t.), h. 17.
19
Lihat Muhammad Alî al-Shabûnî, Shafwat al-Tafâsir, vol. II (Beirût: Dâr al-Qur ân al-
Karîm, 1981), h. 90-91.
20
Lihat Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur ân, vol. IV (Kairo: Dâr al-Syurûq, 1992), h. 2085.
291
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010
ÐÑÒÓÑÔÕÖ×ØÖÒ Ù×ÖÒÓÚÙ×ÖÒÓ ÛÖÒÓ ÜÑ×ÝÐÖÒ ÞÖÒ ÐÑÒÓÑ×ßÖØÖÒ ÖÐÖÔ-ÖÐÖÔ ÛÖÒÓ àÖÔÑá ÞÖ×Ý
ØÑÓÑÔÖâÖÒ ØÑâÖÞÖ ãÖáÖÛÖ... Selanjutnya, di ayat lain diinformasikan tentang Allah
memberikan kitab kepada nabi-Nya, dengan kitab ini manusia akan dikeluarkan dari
kegelapan kepada cahaya yang terang benderang. Firman Allah dalam Q.S. al-Mâidah/
5: 16, äÑÒÓÖÒ ØÝåÖÜ ÝÕt ÔÖá æÔÔÖá ÐÑÒÕÒßÕØÝ Ù×ÖÒÓÚÙ×ÖÒÓ Ö y ÒÓ ÐÑÒÓÝØåuÝ ØÑ×ÝÞáÖÖÒ-çÖ
y
ØÑ ßÖÔÖÒ ØÑàÑÔÖÐÖåÖÒ, ÞÖÒ (ÞÑÒÓÖÒ ØÝåÖÜ ÝtuâÕÔÖ) æÔÔÖá ÐÑÒÓÑÔÕÖ×ØÖÒ Ù×ÖÒÓÚÙ×ÖÒÓ Ýut
ÞÖ×Ý ÓÑÔÖâ ÓÕÔÝåÖ ØÑâÖÞÖ ãÖáÖÖy Öy ÒÓ åÑ×ÖÒÓ ÜÑÒÞÑ×ÖÒÓ ÞÑÒÓÖÒ ÝÝzÒ-çÖy , ÞÖÒ ÐÑÒÕÒßÕØÝ
ÐÑ×ÑØÖ ØÑ ßÖÔÖÒ Öy ÒÓ ÔÕ×Õà. Sebagai tambahan, Allah berfirman dalam Q.S. al-Hadîd/
57: 9 äÝÖ-ÔÖá Öy ÒÓ ÐÑÒÕ×ÕÒØÖÒ ØÑâÖÞÖ áÖÐÜÖ-çÖ y ÖÖ
y t-ÖÖ
y tÖ
y ÒÓ åÑ×ÖÒÓ (ÖÔ-èÕ×ÖÒ)
àâuÖÖy äÝÖ ÐÑÒÓÑÔÕÖ×ØÖÒ ØÖÐÕ ÞÖ×Ý ØÑÓÑÔÖâÖÒ ØÑâÖÞÖ ãÖáÖÖy...
Mengeluarkan manusia dari situasi kekafiran kepada cahaya ketuhanan menandai
terutusnya Rasul-rasul Allah. Di saat syariat agama yang dibawa oleh seorang Rasul,
karena perjalanan waktu, mulai redup dan umat mulai terperosok ke dalam kegelapan,
maka Allah mengutus Rasul yang baru untuk membawa mereka kepada cahaya
ketuhanan. Kemunculan agama Yahudi tidak lepas dari upaya ilahi menunjuki manusia
ke arah kehidupan sesuai dengan hidayah Allah setelah ajaran yang dianut masyarakat
telah dirasuki dengan berbagai paham-paham yang mengaburkan prinsip-prinsip agama
yang benar. Dalam kasus yang sama, kemunculan agama Nasrani sesungguhnya
dimaksudkan untuk menolong manusia yang telah menyimpang jauh dari syariat yang
tedapat dalam agama Yahudi. Dalam pentas sejarah, Nabi Isa as. telah memainkan peran
penting dalam membimbing masyarakat dalam kehidupan yang penuh cinta kasih.
Sebagai tambahan, kasus serupa, kedatangan agama Islam, pada hakekatnya untuk
menyelamatkan manusia yang hanyut dalam arus jahiliyah. Dalam konteks historisnya,
Nabi Muhammad SAW. telah menunjukkan usaha keras dan tidak mengenal lelah
melepaskan manusia dari cengkeraman jahiliah menuju kehidupan yang penuh rahmat
dalam genggaman Islam.
21
Lihat Muhammad Asad, øùú ûúüüýþú ÿ ùú ý (Gibraltar: Dâr al-Andalus, 1980),
h. 621.
292
Iftitah Jafar: Tujuan Dakwah dalam Perspektif al-Qur an
, . Dalam pandangan Muhammad Asad, ketiga
formulasi agama ini, sangat dikenal pada zaman Nabi, adalah mereka yang dikontraskan
dengan disposisi alami yang terdapat dalam kognisi instinktif pada Tuhan dan
penyerahan diri (Islam) kepada-Nya. Terma orang tua di sini memiliki makna yang
lebih luas yaitu pengaruh sosial (
) atau lingkungan (
v
t ).22
22
Ibid., h. 621.
23
Lihat Ali Mustafa Ya qub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1997), h. 28.
293
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010
bahwa Tuhan adalah satu dalam Esensi-Nya, Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya, dan dalam
Perbuatan-Nya. Satu konsekuensi penting dari pengukuhan kebenaran sentral ini adalah
bahwa orang harus menerima realitas obyektif kesatuan alam semesta. Kosmos terdiri
atas berbagai realitas yang membentuk suatu kesatuan, karena ia mesti
memanifestasikan ketunggalan sumber dan asal-usul metafisiknya yang dalam agama
disebut Tuhan. Pada kenyatannya, al-Qur an dengan tegas menekankan bahwa kesatuan
kosmis merupakan bukti yang jelas akan keesaan Tuhan (Q.S. al-Anbiyâ /21: 22). 24
Agar lebih fungsional, dakwah diarahkan pada upaya mewujudkan keimanan yang
dapat memotivasi kehidupan. Menurut Syahrin Harahap, ada empat ciri keimanan yang
berfungsi sebagai motivasi ke arah dinamika dan kreativitas. (1) Keimanan yang dapat
mengembangkan sifat positif dan menekan sifat negatif dari manusia. (2) Keimanan
yang mempunyai daya tahan terhadap guncangan perubahan. (3) Keimanan yang
menjadi penggerak pandangan positif terhadap dunia, etos kerja, etos ekonomi dan
etos pengetahuan. (4) Keimanan yang berfungsi sebagai pengendali keseimbangan. 25
Pembinaan keimanan antara lain dengan memfungsikan dakwah sebagai pemelihara
iman, agar tetap konstan bahkan meningkat. Iman diarahkan agar dapat mewujudkan
kesalehan individual dan kesalehan komunal. Di samping itu, pemeliharaan juga dilakukan
dalam bentuk menghindarkan diri dari kemungkinan terkontaminasi dengan gerakan
yang merusak prinsip-prinsip akidah yang dihembuskan kelompok-kelompok sempalan
Islam, misalnya Ahmadiyah, al-Qiyadah, dan Lia Eden, yang banyak bermunculan lima
tahun terakhir ini.26 Demikian juga menjauhi segala bentuk praktek penyimpangan akidah
seperti takhayul, bid ah dan khurafat. Dalam konteks ini, termasuk praktek pedukunan,
ramalan dan pemujaan pada jin atau roh-roh. Adapun hikmah di balik pelarangan
praktek kemusyrikan ini antara lain, karena syirik menyamakan makhluk dengan Khalik
yang berarti menurunkan derajat Tuhan dan meninggikan derajat ciptaan-Nya.27 Menjauhkan
24
Lihat Osman Bakar, &'()*+ +', -'*,., terj. Yuliani Liputo, cet. 2 (Bandung: Pustaka
Hidayah, 1995), h. 11.
25
Lihat Syahrin Harahap, /.0'1 2*,'1*.3 45,56'77', 8*0'*98*0'* :;'<', '0-=(<>', +'0'1
?5)*+(@', 4A+5<, +* /,+A,5.*' (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), h. 75.
26
Di Sulawesi Selatan, misalnya ada kelompok/komunitas yang menyebut dirinya al-
Nadzir yang melaksanakan salat Idul Fitri dua hari sebelum yang ditetapkan pemerintah.
Penetapan satu Syawal tidak didasarkan pada bulan, melainkan pada pasang surutnya air
laut. Bahkan di daerah Palopo Selatan, muncul suatu aliran yang dipimpin oleh seseorang
yang mengklaim dirinya sebagai nabi pembawa pencerahan. Menurut kelompok ini, tugas
Nabi Muhammad SAW. berakhir 2010, dan dia-lah yang diutus Tuhan untuk melanjutkan
risalah kenabian. Kemunculan sempalan-sempalan ini antara lain disebabkan: 1. Mereka
menilai lembaga-lembaga keagamaan yang ada sudah tidak mampu membimbing umat kepada
kesejahteraan, 2. Mereka menginginkan penghargaan dan menjadi panutan di saat sulitnya
mencari sosok yang layak diteladani, dan 3. Keterbatasan pengetahuan agama.
27
Lihat Abd al-Hâmid al-Khatîb, :.1â al-Risâlât, terj. Bey Arifin, jilid II (Jakarta: Bulan
Bintang, 1977), h. 271.
294
Iftitah Jafar: Tujuan Dakwah dalam Perspektif al-Qur an
penyakit-penyakit rohani, seperti riya , takabbur, egoisme, dan dengki. Memelihara diri dari
kecintaan yang berlebihan pada harta, tahta dan hasrat seksual,28 karena semua ini dapat
menurunkan derajat manusia ke tingkat hewan atau bahkan lebih rendah dari itu.
,
WXYX[VTTV R^Re bRTV YXe_RbgR . Al-Thabathaba î mengemukakan munasabah ayat ini
sebagai berikut. 19 ayat terdahulu menjelaskan posisi tiga kelompok yaitu orang saleh
yang selalu mendapat petunjuk dari Tuhan, orang kafir yang hati, telinga dan TRR
t U ya
tertutup, dan orang munafik yang terdapat penyakit dalam hatinya dan Allah menambah
penyakit tersebut, sehingga mereka bisu tuli. Pada ayat ini, Allah memanggil manusia
untuk menjadi hamba yang baik, menyembah-Nya, bukan terhadap orang kafir dan
munafik tetapi kepada orang-orang saleh yang bertakwa kepada Allah SWT. 29
Dari penggalan ayat ây ayyuha al-nâs u budû rabbakum , diperoleh informasi tentang
ajakan/dakwah kepada manusia untuk beribadah. Ibadah ini sangat fundamental dalam
Islam, antara lain ia merupakan manifestasi tujuan penciptaan (Q.S. al-Dzâriyât/51: 56),
sebagai kewajiban (Q.S. al-Baqarah/2: 21) dan tanda syukur (Q.S. al-Kawtsar/108:1-3)
kepada Allah SWT., sebagai Pencipta manusia, bahkan sebagai kebutuhan mendasar manusia.
Ibadah sangat relevan dengan dakwah, karena ia dapat berfungsi sebagai materi dan
media dakwah itu sendiri. Sesudah Allah mengajak manusia untuk beribadah kepada-Nya
pada ayat tersebut, maka dalam ayat berikutnya, Allah SWT. menerangkan sebagian dari
rahmat dan karunia-Nya sebagai landasan argumen di balik perintah beribadah. Ayat
berikutnya juga memuat larangan mempersekutukan Tuhan dengan sesuatu, karena hanya
Dia-lah satu-satunya yang menciptakan manusia dan menyiapkan fasilitas kehidupan.30
28
Untuk penjelasan ketiga hal tersebut, lihat Muhammad Imaduddin Abdulrahman,
Kuliah Tauhid, cet. 3 (Jakarta: Kuning Mas, 1993), h. 64-72.
29
Lihat Muhammad Husain al-Thabathaba î, Al-Mîzan: An Exegesis of the Qur an, vol. I
(Jakarta: Institute for the Study of Religion and Philosophy, 1983), h. 84.
30
Term firasy (resting place) dalam Q.S. al-Baqarah/2: 22, tidak hanya bermakna istirahat
atau ketenangan, tetapi juga mengandung konsep yang menyenangkan dan hangat dengan
cuaca yang sedang. Frasa sama berarti udara tebal dengan massa gas yang menyelimuti bumi,
tebalnya ratusan kilometer. Konsep sama sendiri mencerminkan peran langit sebagai payung
yang melindungi manusia. Perlindungan berasal dari sistim gravitasi yang menjaga isi bumi
sehingga tidak terlontar ke angkasa. Perlindungan juga datang dari lapisan atmosfir yang
membungkus bumi sehingga aman dari segala benturan benda-benda angkasa. Sebagai
tambahan warna biru pada langit sangat cocok untuk penglihatan. Warna biru ini sendiri
sesungguhnya hanya refleksi sinar matahari yang dipantulkan atmosfir yang tebal dan berlapis-
lapis. Fasilitas lainnya adalah dengan curahan air hujan menjadikan tanah subur sehingga
menghasilkan berbagai jenis buah-buahan. Proses menghasilkan buah-buahan menjadi bukti
295
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010
Dakwah dengan ajakan untuk beribadah ini juga terlihat dalam tahapan dakwah
yang dilakukan oleh Muadz bin Jabâl ketika diutus ke Yaman sebagaimana diperintahkan
Rasul dalam salah satu hadisnya. Rasulullah berkata kepada Mua dz bin Jabâl sebelum
beliau melepasnya ke Yaman:
- .
hijklmmknlop ilmqpk pqpl rilsptplmu limivu oplm wilskskqlop xny py zutp{ |uqp qprk
, .
tiypn jprwpu qi jplp spq}pnuypn riviqp kltkq rilmuqvpvqpl qpyurpt jopnpspt |uqp riviqp
,
rivijw~l spq}pnrk rpqp jprwpuqplypn qiwpsp riviqp {pn}p xyypn ri}pu{qpl qiwpsp
. ,
riviqp jpypt yurp }pqtk jinpvu jirpypr |uqp riviqp rilpptu wivultpn ulu jprwpuqplypn
qiwpsp riviqp {pn}p xyypn ri}pu{qpl qiwpsp riviqp pqpt oplm supr{uy spvu ~vplm qpop
.
kltkq susujtvu{kjuqpl qiwpsp ~vplm rujqul su pltpvp riviqp |uqp riviqp rilpptu wivultpn
, - - , -
ulu rpqp {ivnptu nptuypn silmpl npvtp npvtp {ivnpvmp riviqp spl {ivnptu nptuypn wkyp
,
silmpl s~p ~vplm tivpyuru qpvilp s~p riviqp tuspq {ivnup{ kltkq jprwpu qiwpsp xyypn.
Untuk mencapai tujuan tersebut, dakwah difokuskan pada upaya mengajak orang
beribadah secara kontinyu, meningkatkan ibadah mereka secara kuantitas dan kualitas,
menjaga ibadah mereka agar tetap konsisten. Menjelaskan hikmah-hikmah dan manfaat
di balik pelaksanaan ibadah. Masyarakat dijauhkan dari perasaan menganggap telah
banyak melakukan ibadah, atau tidak hati-hati dalam ibadah mereka. Ibadah
dimaksudkan untuk mendapatkan keridhaan Allah, diposisikan sebagai suatu kewajiban,
tujuan hidup, sebagai tanda syukur bahkan sebagai kebutuhan mendasar manusia.
Ibadah hendaknya dilakukan sesuai petunjuk syariat, dengan niat ikhlas dan sesuai
salat yang dicontohkan Rasulullah SAW.
utk Dalam banyak kasus, term lpj mempunyai cakupan makna yang sangat luas.
Pada ayat ini, ia didenotasikan diri atau kepribadian manusia sebagai suatu keseluruhan,
yakni sesuatu yang terdiri dari fisik dan jiwa. py-kûr berarti melakukan perbuatan
yang mendatangkan kerugian dan kebinasaan pada diri seseorang, sedangkan al-
taqwâ adalah melakukan perbuatan yang dapat mencegah seseorang dari akibat buruk
atas sikap dan tindakannya. Setelah menafsirkan kedua kata kunci ini, Muhammad
Abduh menjelaskan bahwa di antara penyempurnaan penciptaan jiwa manusia adalah
yang sangat berharga tentang eksistensi Tuhan. Dari air tidak berwarna Tuhan dapat
menciptakan ribuan warna dalam buah-buahan dan biji-bijian yang memiliki kegunaan yang
berbeda bagi manusia. Elaborasi selengkapnya, lihat A Group of Muslim Scholars: An
Enlightening Commentary into the Light of the Holy Qur an, terj. Sayyid Akbar Sabr Ameli
(Isfahan: Islamic Republic of Iran: Amir al-Mu mineen Ali Library, 1998), h. 111-116.
31
Imâm Muslim, Shahîh Muslim (Riyâd: Dâr al-Salâm, 1999), h. 125.
296
Iftitah Jafar: Tujuan Dakwah dalam Perspektif al-Qur an
dengan memberinya akal yang mampu membedakan antara kebaikan dan kejahatan. Perbuatan-
perbuatan yang menyengsarakan dapat diketahui dengan akal, sebagaimana halnya perbuatan-
perbuatan yang dapat mendatangkan kebahagiaan. Dengan demikian, Allah SWT. telah
melengkapi manusia dengan potensi îz (kemampuan membedakan antara yang baik
dan yang buruk), sebagaimana juga mengaruniai potensi ikhtiyâr (kemampuan memilih).
Karena itu, barang siapa yang mengutamakan jalan kebaikan, ia akan beruntung, dan
barang siapa mengutamakan jalan kedurhakaan, ia akan kecewa dan menyesal. 32
Muhammad Asad menafsirkan fa alhamahâ fujûrahâ wa taqwâhâ dengan
realitasnya adalah manusia setara dalam liabilitas untuk meningkat pada level spiritualitas
yang hebat atau terjatuh ke dalam tindakan amoral sebagai suatu karakter esensi watak
manusia. Dalam maknanya yang paling dalam, kemampuan manusia bertindak salah
sebanding dengan kemampuannya untuk bertindak benar. Dengan kata lain, polaritas
inheren dari berbagai kecenderungan yang memberikan pilihan yang benar suatu nilai
dan karenanya mempengaruhi manusia dengan moralitas kehendak bebas. 33
32
Lihat Muhammad Abduh, Tafsîr Juz Amma, terj. Muhammad Bagir (Jakarta: Mizan,
1998), h. 192.
33
Ibid., h. 954-955.
34
Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur an, jilid
I (Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. 420.
35
Lihat Hamka, Tafsir al-Azhar, juz II (Jakarta: Panjimas, 1984), h. 50.
297
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010
36
Lihat M. Isa Anshari, Mujahid Dakwah, cet. 3 (Bandung: Diponegoro, 1984), h. 265.
37
Lihat Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur an: Text, Translation and Commentary (Maryland:
Amana Corporation, 1989), h. 17.
38
Lihat Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur an (Minneapolis: Bibliotheca Islamica,
1994), h. 28-29.
298
Iftitah Jafar: Tujuan Dakwah dalam Perspektif al-Qur an
orang-orang yang ingin dilindungi, (4) Penghor»¼½¼¾ yang berhubungan dengan cinta,
karena ia takut melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan obyek cinta. Takut jenis
¿ÀÁ½¼»¼ tidak bermanfaat bagi manusia, yang ÂÀÃļ, perlu bagi orang yang belum
ÈË̼»Ó Ayat ini didahului dengan informasi bahwa orang yang berpegang teguh pada
agama Allah akan diberi petunjuk jalan yang lurus. Sedangkan dalam ayat sesudahnya,
memuat perintah untuk berpegang teguh pada agama Allah dan larangan bercerai-berai.
Adapun ciri-ciri orang bertakwa berdasarkan petunjuk al-Qur an antara lain
sebagai berikut. Mereka beriman kepada yang gaib, mendirikan salat, menafkahkan
sebagian hartanya, percaya kepada kitab-kitab yang telah diturunkan serta yakin adanya
kehidupan akhirat (Q.S. al-Baqarah/2: 3-4). Ciri-ciri lainnya adalah berinfak di waktu
lapang maupun sempit, menjaga amarahnya, memaafkan kesalahan orang. Kalau
melakukan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka mengingat Allah dan
memohon ampun atas dosa-dosanya dan tidak meneruskan perbuatan kejinya (Q.S.
Âli Imrân/3: 134-135). Terdapat beberapa kelebihan bagi orang-orang yang bertakwa,
antara lain akan diberi jalan keluar dari masalah yang dihadapinya dan akan diberi
rezki dari sumber yang tak terduga (Q.S. al-Thalâq/65: 2-3), akan dimudahkan segala
urusannya (Q.S. al-Thalâq/65: 4), akan dihapus segala kesalahannya dan diberi ganjaran
yang besar (Q.S. al-Thalâq/65: 5).
Untuk formulasi insan takwa yang lebih luas, menarik untuk dicermati rumusan
yang diajukan Syahrin Harahap. Dengan berdasar pada petunjuk kitab suci, referensi
tradisi yang dikemas dengan idiom-idiom modern, Harahap memformulasi orang
bertakwa adalah orang beriman yang: (1) Dapat memainkan fungsi-fungsi kekhalifahannya
39
Lihat The Presidency of Islamic Researches, Ifta , Call and Guidance, ØÙÚ ÛÜÝyÞßàáâã
y (Madinah: King Fahd Holy Printing Complex, 1410 H),
h. 170-171.
äâåÝæçÙ ØàáâçÝáèæÜâ áâé êÜëëÚâèáà
299
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010
dan mampu membaca ayat-ayat ìíîïðñíò dan ayat-ayat óíîôðñíò, (2) Senantiasa menegakkan
salat sebagai realisasi dari pengakuannya terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha
Pencipta dan Maha Gaib, (3) Memiliki iman yang fungsional, yang dibuktikan dengan
aktivitas dan amal saleh, (4) Mempunyai visi yang jelas mengenai masa depan yang
hendak dibangunnya, (5) Menangani pekerjaan secara õöí÷ îøùó yang kompak yang
tercermin dalam úóòúîíò ðûïâmiyah, (6) Mampu menunda kesenangan sesaat, karena
mengutamakan kesenangan abadi.40
üý nutp
Sebagai kewajiban dan tugas suci, dakwah seharusnya diarahkan sesuai dengan
petunjuk al-Qur an. Hal ini dimaksudkan agar dakwah tetap berjalan di atas tujuan
yang telah dirumuskan al-Qur an. Tujuan-tujuan tersebut ditentukan oleh Tuhan yang
mewajibkan dakwah itu sendiri. Tugas dai atau lembaga dakwah adalah menyesuaikan
dan mengarahkan dakwahnya pada tujuan dimaksud. Munculnya agama Islam pada
awalnya memang dimaksudkan untuk melepaskan manusia dari alam kegelapan
menuju cahaya yang terang benderang. Tujuan ini akan tercapai bilamana manusia
mengenal Tuhan, Penciptanya dan bagaimana mereka bersikap dan berbuat kepada-
Nya. Iman yang benar dari upaya dakwah akan terefleksi dalam ibadah dan akhlak.
Dakwah yang berhasil akan mampu memenangkan ilham atas fujûr, mampu mengantar
manusia menemukan fitrahnya, mendorong tercapainya manusia paripurna. Tujuan-
tujuan ini sesungguhnya akan bermuara pada terwujudnya insan-insan yang bertakwa.
stuk
ü þþ ÿ un
þ
Abduh, Muhammad. Tafsîr Juz Amma, terj. Muhammad Bagir. Bandung: Mizan, 1998.
Abdulrahman, Muhammad Imaduddin. Kuliah Tauhid, cet. 3. Jakarta: Kuning Mas, 1993.
A Group of Muslim Scholars. An Enlightening Commentary into the Light of the Holy Qur an,
trans. Sayyid Akbar Sabr Ameli. Isfahan: Amir al-Mu mineen Ali Library, 1998.
Ali, Abdullah Yusuf. The Holy Qur an: Text, Translation and Commentary. Maryland: Amana
Corporation, 1989.
Anshari, M. Isa. Mujahid Dakwah, cet. 3. Bandung: Diponegoro, 1984.
AS, Enjang dan Aliyuddin, Dasar-Dasar Ilmu Dakwah: Pendekatan Filosofis dan Praktis.
Bandung: Widya, 2009.
Asad, Muhammad. The Message of the Qur an. Gibraltar: Dâr al-Andalûs, 1980.
Bakar, Osman. Tauhid dan Sains, terj. Yuliani Liputo, cet. 2. Bandung: Pustaka Hidayah, 1995.
40
Untuk penjelasan detail, lihat Harahap, Islam Dinamis, h. 111-112.
300
Iftitah Jafar: Tujuan Dakwah dalam Perspektif al-Qur an
301
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010
The Presidency of Islamic Researches, Ifta , Call and Guidance,
! "##. Madinah: King Fahd Holy Printing Complex, 1410 H.
Ya qub, Ali Mustafa. $% ! &! '() *+. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.
Zahrah, Muhammad Abû. ,-' ) â al-Islâm, terj. Ahmad Subandi dan Ahmad
Sumpeno. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.
302
-./-0 1234-05/0-0 -.26 1-7.- 87/0-39
:; <=>? @;AB>CDEC>C F;=>G>GH>C IGJ>A
KLkiman
MNOPQRNS TSUPQPVVWX YZY[ \P]NR^_N TRN_N `^VNX.
aQ. bWQQ^] YSONXVN_ cNSN_ d `^VNX eSRNR^, 20731
^-]NWQ: fWXSPOW]NXghNUii.ji]
«¬®¯°±²±¯
³´µ¶ ¨©ª µ · · ´¸ £¹ª £¶ ¡¢º¸£¸ ¹¸ »¡¶ ¼ ¶¡ µ¢¡¸¶£
¡ ½£¹, ¡´ ¶¹ª ¾·¸´ ¼µ¡¸¶ ½£¹ £¸ ££ ´ª¸· £ª¡¸-
ª¡¸. ½£¹ µ ·¸ ¶ ¸¶ ¶¹ª ¡´¡ £¾´ ½£¹ £ ´ ´ ¿¸¹µª ¨©ª £´¸¶¡
· ´¶¸ ¹£ ·¸ £¸£¸¡ À¡¹´.1 Á¿£ ¸¸ ¡ ´ ´¡¾ ½£¹ ·¸ ¨£¸
¡ µ ¶¹ª · £¾´ · ´ ¹£ · ´¶ ¾ ª ¹£ 㪸. ¼¾´ ¸¶ ¹ª
½£¹ ¶¡ £ ¡´, £ª¸ ¨©ª ¾·¸ £¶ ½£¹ ·¸ ¨£¸ ¡. à ¡ ¶
1
Äwuu ~}z ÅzywÅu wys yzu su vztÆuxw Åz{uÆuut ruv Çuvsx{u Èuruw, uÅut
xuuv Åwyu ÉÊËÌ Í-ÎÏÏ ÐÑ ÒÑÍÑÍÌ ÓÔ ÍÕ vztzsyÅut uu rzÆuÅ uux Åzrzvwut
xw Èz{uÅ rsxu z{xw{w Öz{uÆuut ruv. Öwyu wtw xwyswr |z rz|{ut ztswr rzÆu{u z{tuvu
~s râq al-Makranî al-Fasî. Ia berasal dari keluarga Mekran Baluchistan (Pakistan Barat)
yang sejak lama tinggal di Pasai. Dalam kitab itu dikatakan, kerajaan Perlak didirikan pada
tahun 225 H/847 M, dan diperintah berturut-turut oleh delapan Sultan. Taufik Abdullah, ×
Í. (ed.), ØÑÕÍÙÑ ÊÍÚ (Jakarta: Ichtiyar Baru van Hove, 2002), h. 12.
303
MIQOT ÛÜÝ. ÞÞÞßÛ àÜ. 2 áâÝã-äåæåçèåé 2010
êëìíîï ðñòìóóëô, ðõöô ÷öóëô øöùúëøëóïëù ûüóëø üöõëýë þÿ ÿ üöøìýùë òëù øöùõëëî
ïöëëëù ëòë øëüë ïöüìó÷ëùëù ðõöô òëýî ÷ëôìù 1514-1912 . öùìýì÷ ñöóîëì, ïöëëëù
ðõöô îùî òîýëîô ïëýöùë öøîøîù øöýöïë øëøì øöøñëùúìù øëüëýëïë÷ùë üöñëúëî
ìøë÷ ëùú üëóöô ü÷ýìï÷ìý öøöýîù÷ëô ûüóëø ëùú öóëü, 2 îù÷öúýëüî ëù÷ëýë ûüóëø òöùúëù
ëòë÷ îü÷îëòë÷ ðõöô3 òëù øöøîóîïî öùòîòîïëù ëùú ñöýïìëóî÷ëü. ûùî ÷öýñìï÷î òöùúëù
÷öýëùúïë÷ùë ðõöô øöùëòî ìüë÷ öùòîòîïëù òî ðüîë êöùúúëýë, øöøîóîïî ÷ììô ñöóëü íëïìó÷ëü
òëóëø ñöýñëúëî ñîòëùú îóøì ëùú ÷öóëô øëüôìý ëòë øëüë ìó÷ëù ûüïëùòëý ìòë. 4
ëòë ëëó öýìëùúëù ïöøöýòöïëëù öìñóîï ûùò
ùöüîë, øëüëýëïë÷ ðõöô ÷öóëô øöøîóîïî
üöøëùúë÷ ïöîüóëøëù ëùú øëøì øöøöý÷ëôëùïëù ïöòëìóë÷ëù ðõöô òëýî öùëëô öóëùòë,
üöôîùúúë ðõöô ììò üöñëúëî òëöýëô ø
òëó5 òëóëø ýëùúïë øöýëîô ïöøöýòöïëëù öìñóîï
ûùò
ùöüîë ëòë ÷ëôìù 1945. ëóëììù ñëýì øöùúôîýì üìëüëùë øöýòöïë òëýî öùëëô öóëùòë
÷ëôìù 1946, ðõöô øöùúëóëøî ýö
óìüî ü
üîëó òöùúëù ÷öýëòîùë öýëùú ìøñ
ï ëùú øöùú
ý-
ñëùïëù 1.500
ýëùú öùòìòìïùë.6 öüïîìù òöøîïîëù õî÷ë-õî÷ë øëüëýëïë÷ ðõöô ìù÷ìï
øöøöý÷ëôëùïëù ûüóëø òî ÷ëùëô ðõöô 7 üöëïëù-ëïëù üöóëóì øöùòëë÷ ôëøñë÷ëù òëýî
öøöýîù÷ëô
ìüë÷ ûùò
ùöüîë, ñëôïëù
ý
îùüî ðõöô òîôëìüïëù òëù òîúëñìùúïëù òöùúëù
ìøë÷öýë ÷ëýë. öñëñ î÷ì, ëòë 21 ö÷öøñöý 1953 øöóö÷ìüóëô öýîü÷îë ëýìó ûüóëø ë÷ëì
êöù÷ëýë ûüóëø ûùò ùöüîë û/êûû òî ðõöô ëùú òîîøîù óöô ìôëøøëò ëìò öìýöìöô.
2
äÝç æéââé åæâÝ å åé â åÝÜçÜ åé çåÝæ
â æ æåæâã å èæ åâæ çæã-çæã. !"#$# , %âæãÜéãæ Ýç
çæÝ âã &' 1. ()*"#+ Ýç âã åæâÝ; 2. ,* -#*#+. Ýç âã /#+..!0; 3. #+.*1$#
(#.0 Ýç âã 2#.1; 4. 3 4#*# 5)61$ Ýç âã $)61$; 5. 3 )716 Ýç âã $ )+#2#8
â .#$4)+.. 3 9)#, %âæãÜéãæ Ýç çæÝ ç &æéã' ãâ: 1. :#981 5#*16 ;<91*
åçã 2)*"#+= 2. :#981 )* -#*#+. åçã )* -#*#+.; 3. >$)$ 5)61$ åçã
åÝ $)61$; 4. ? )+.6u5 )+#2#8 âã $ )+#2#8 â .#$4)+. . >-19., @ 220.
3
äÝç åÝæ ßæÝç å çååæâã éã ç å éãæã â
ãæã ãâ åéåéçã Ýç â å æ ÜâÝåé ãâ A #9#" +.0+ 8u60$
z " +.0+ 21C )"D éã E#9#" 9#+ 2#y !1#" >2*#$ "19#6 9#4#" 91412#86#+, 2 4 !"1 # z"
.
8#+B )" 7! #
äã æã ã å ßæÝ ç æâ çåéâ è ã éã ãæ ã å ä Ý ç
çæé å â èåâ ââç èåéÝâ, ãÝ 4 !"#$#, Ý 8#+# )-#8
9 +.#+ 21C#" @
21)$u$#2# &ååâ ÝÝ FGH.' ã èåéâè æåI çæ@ 3 9)#, Ý #*-
5u8#66#$#8 & åèãæ çæé èåéæé çæé ßæÝç. >-19, @ 219.
èâ áãJ <2#* ,2)* 3 !#B##+ <7 8 (#$4#1 <7 8 5 !9 6# &@@: @., 2002', @ 2.
4
5
äåé çÜÝ èåéç èK å åÝ çãÝ æåèã æâ-æâ KãÝ ã
LåâèÝã ßÜåæã æâ çå ååéèâ MåÝ Ýç â Ýã ååé,
æåã æååÝ ãâ ãæIâ æåãã Ýã ÜÝå Néåæãå FÜåéÜ åã èåéâIâ å
å èâÝ áâã 1948. Néåæãå çåçèåéã åÝé åÜé $#"#+ èã å å äåé OÜÝ.
Pã . QæIçã, ( $#+.#" 5 !9 6# RS ?#8)+ 5 + $4)8 T#*#+ !.0*#6#+ 9#+ !B)#+.#+
3 $ !9 6##+ &áéU MâÝ Mã, 1985', @ 396.
Nåé VâçèÜ Ý æâæ åçèââ åé âç *u -#*#+. ã FãÝã, éå âç
6
,
Z[\[ ]^[ _^\] `[^a \b c[d[e f]g]hbhgbi[i jk]e[^lk mn]e h]io[p[hb h[q[p[e q]f[pb
. ,
p[ob Z]h]^bil[e Zaq[l lb\[f c]obla [\bp f]g[\[ mn]e l]^al[h[ f]lbf[ g^kr]f g^kr]f c]q[^ -
.
mn]e sl[^[ hap[b \b^bilbq tbiof[l g]ir]^[g[i l]i[o[ f]^u[ pkf[p q]i[ilb[q[ \bgbioob^f[i
l]l[gb l[i[e h]^]f[ \boai[f[i ailaf g]hc[ioai[i .8 v[qbp f]f[r[[i cahb q]g]^lb hbir[f,
o[q \[i g^k\af p[biir[ c[ir[f \b[hcbp \[^b cahb mn]e q]ebioo[ ^[fr[l h]^[q[ \b^aobf[i.
mfbc[lir[, q]fbl[^ l[eai 1976 f]hc[pb h]p]laq g]^ua[io[i mn]e w]^\]f[ xmwy r[io h]^ag[f[i
p[iual[i o]^[f[i z{|t{{} ~]^[f[i bib c]^laua[i h]daua\f[i f]^[u[[i {qp[h \b mn]e
r[io \bgbhgbi kp]e wae[hh[\ v[q[i tb^k .9 ~]^[f[i bib \[g[l \b[l[qb kp]e g]h]^bil[e[i
jk]e[^lk \]io[i h]iu[\bf[i mn]e q]c[o[b z[]^[e _g]^[qb wbpbl]^ xz_wy g[\[ l[eai 1989.
z_w \b mn]e bib \bp[faf[i \]io[i [p[q[i ailaf h]hapbef[i f][h[i[i. Z]^bp[fa l]il[^[
\b mn]e bib l]p[e h]hc]^b g]io[^ae i]o[lb f]g[\[ h[qr[^[f[l mn]e q]ebioo[
h]inbgl[f[i qa[q[i[ r[io h]in]iof[h l]^e[\[g ^[fr[l mn]e ][\[[i \]hbfb[i c]^p[fa .
q]ebioo[ f]fa[q[[i jk]e[^lk u[lae h]p[pab aiuaf ^[q[ i[qbki[p g[\[ l[eai 1998.
, ..
Z[\[ h[q[ _^\] ]k^h[qb \b c[d[e Z^]qb\]i ` v[cbcb] r[io h]i]^[gf[i g^biqbg
f]l]^caf[[i l]^h[qaf h]hc]^bf[i e[f \]hkf^[qb \[i klkikhb \[]^[e r[io \[g[l
- .
h]hg]^pa[q dbp[r[e h[qbio h[qbio ][\[[i bib h]hc]^b g]pa[io f]g[\[ ^[fr[l mn]e
ailaf h]p[faf[i xh]i]ilaf[i gbpbe[i q]i\b^b h]p[pab u[u[f g]i\[g[l ^[fr[l
. -
mn]ey ]cbe p]cbe p[ob g[\[ h[q[ f]g]hbhgbi[i mc\a^^[eh[i [eb\ r[io q[io[l h]hc]^b
g]pa[io ailaf c[iofblir[ ~]^[f[i mn]e w]^\]f[ x~mwy Z^]qb\]i mc\a^^[eh[i [eb\ .
q]laua h]io[\[f[i
\b mn]e \[i b[ r[fbi c[ed[ ^[fr[l mn]e h]hgair[b
.
h]i]^b[ff[i ~]^[f[i mn]e w]^\]f[ w]^]f[ h]ir]cal [n[^[ bib q]c[o[b jb\[io shah
.
w[qr[^[f[l Z]ua[io
xjswZy tbo[ e[^b f]ha\b[i h[e[qbqd[ mn]e h]ikp[f
kgqb r[io \bl[d[^f[i Z^]qb\]i mc\a^^[eh[i [eb\ f[^]i[ lb\[f [\[ gbpbe[i
ailaf h]^\]f[ . `]pb[a e[ir[ h]i[d[^f[i ailaf ^[fr[l mn]e \]io[i
h]hc]^b gbpbe[i [il[^[ klkikhb feaqaq \]io[i [alkikhb lkl[p h[agai \]io[i
.
g]^bhc[io[i f]a[io[i gaq[l \[i \[]^[e {qa
l]^q]cal q]h[fbi fa[l q]ebioo[ ,
d[^o[ mn]e l]^al[h[ ]libq [d[ h]ibioo[pf[i mn]e q]n[^[ ^[h[b ^[h[b f[^]i[ -
fe[d[lb^ [f[i l]^u[\b g]^[io q[a\[^[ f]lbf[
bla \bp[fq[i[f[i .10
8
., 81.
9
¡ ¢£¤ ¥ ¡ ¤ ¦¤ §¡¡ ¦ ¨
¤ ¨¤¦¨ ¦ ¦¡¡ ®¤¯ °¨, ¢¤¨ ±¤¨¦² ¤«¡ ¯ ³¨ ¦ ¨
¤§¤©¡¨ ¤ ¢£¤ ¤© ¨¤© ª ¥¡ «¤§ ¬¤§« ¨ ª¤
´ « µ¶¤¦¥, ¤«¡ ¦· ¸¤¯¨ ª¤ ®¤¯ °¨. ±¤©¨ « ±¤§¦¤«¤
1954
¨¤ ©¡ ¤ ¦¤ . ª £ ¤«¡ ¹¦ ¤ ¬¤§« ¨ ª ª¤
¤£ ¤¡¤©¦¨ ¦¨ © ¨¤ ¥¨¦ ª¤² ¨ ¦¤¦§
¢¤¨ ¸¤¦ ¡º¡ . ® » ª«¥, ¼½¾¿ÀÁ ÂÁÃÄÅÅÄ ÆÄÁ ǽȽÁ½Ã
Éʨ¦Ë Ì¡ ¢¡¡, 1986Í, 13.
¸« ±² ǽÈÎÄ Ï½ÈÐÎÑÄ ÒÓ ¼ÄÃÁ¾ ÔÄÐÕÄÄ É¤: ¸¨ ¢« ¸¤, 2006Í,
10
148.
305
MIQOT Ö×Ø. ÙÙÙÚÖ Û×. 2 ÜÝØÞ-ßàáàâãàä 2010
åæçèèèé êëæì íæîèïðé ïñéòóðï ðéðóèì ôèçè ìèõð öðé÷÷ø , 26 ùæíæîúæõ 2004 ïðõè-
ïðõè ôøïøó 08.58 ôè÷ð ûèïüø ýéçñéæíðè úè÷ðèé þèõèü üæõÿèçðóèì ÷æîôè úøîð èé÷
úæõïæïøèüèé 9.0 ôèçè ïèóè ðëìüæõ èé÷ îæéðîúøóïèé üíøéèîð çð õñðéíð
èé÷÷õñæ êëæì ùèõøííèóèî. æîôè úøîð çèé üíøéèîð ðéð üæóèì îæé÷ìèéëøõïèé
11
ïñüè-ïñüè ïæëðó çð íæôèéÿèé÷ ôèéüèð êëæì öøíðúèì ðéð üæóèì îæé÷ìèéëøõïèé úèé÷øéèé-
úèé÷øéèé, õøîèìõøîèì ôæéçøçøï, çèé ôøíèüôøíèü ôèíèõ õè è. æéçæïé è, úæéëèéè
ðéð üæóèì îæõøíèï ïæìðçøôèé îèí èõèïèü êëæì íæôæõüð ïæìðóèé÷èé íèéèï íèøçèõè,
ïæìðóèé÷èé ôæïæõÿèèé çèé ïæüæõüðé÷÷èóèé ôæéçðçðïèé çèé øíèìè. æõðíüðûè ÷æîôè úøîð
çèé üíøéèîð çæé÷èé úæúæõèôè çæõæüèé ïñéòóðï èé÷ úæõôèéÿèé÷èé ðéð üæóèì îæõøíèï
ïæìðçøôèé îèí èõèïèü ýíóèî êëæì ýè üæóèì îæé÷æîúèóðïèé îèíè óèóøé è èé÷ ôæéøì
,
çæõðüè ïæíæé÷íèõèèé çèé ïæüðé÷÷èóèé . 12
íøéèîð îæõøôèïèé ôøéëèï ôæéçæõðüèèé îèí èõèïèü åæéèôè îøíðúèì úæíèõ ðéð
úæõóèïø çð êëæì. æúæóøî ðéð ôøé, ôèçè üèìøé 1953 üæóèì üæõÿèçð úèéÿðõ úæíèõ íæìðé÷÷è
îæéæé÷÷æóèîïèé íæóøõøì êëæì. èçè üèìøé 1964 üæõÿèçð ïæîúèóð ÷æîôè úøîð úæõíïèóè
6.7 íïèóè õðëìüæõ. èçè üèìøé 1983, üæóèì úæõóèïø íæïèóð óè÷ð úèéÿðõ úæíèõ çèé ÷æîôè
úøîð ïøèü èçè üèìøé 1999, üæõÿèçð óè÷ð úèéÿðõ èé÷ úæíèõ ìðé÷÷è îæéæé÷÷æóèîïèé
þèéçè êëæì. öæé÷æéèé÷ îøíðúèì ðéð, . è æç øèç èïèõðè, åæüøè ùæûèé æõûèïðóèé
13
. ,
ðüø üæõÿèçð ÿøíüæõø çð üèéèì íæõèîúð öèïïèì èé÷ ôæéçøçøïé è ìèîôðõ íæóøõøìé è
úæõè÷èîè ýíóèî öæé÷èôè îøíðúèì èé÷ èîèü üõè÷ðí ðüø çðõèíèïèé ñóæì õèï èü çð
. /
úøîð ýíïèéçèõ öøçè èé÷ üæóèì çðé èüèïèé íæúè÷èð çèæõèì èé÷ úæõóèïø í èõðèü
ýíóèî öæé÷èôè üèéèì õæéëñé÷ èé÷ üæóèì îæóèìðõïèé õðúøèé øóèîè çèé ôèìóèûèé
11
àâ ãÝâÞ Ø 26 ßàáàâãàä 2004 â 08.58 à àÝ 9,0
Ø Þàä , àãÞáààä 3 0 !" ß#Û 95 0 $% ãàä Þ Øàá Þ Ýâàä Þ
"ä ÝØÝ ÞâàÝØÝà. &Ýá àâ à àØâ 30 '( àä×Ø× àâ Ø
á âàäÝá, ãàä ãÞ àØ Øàâà à×Þ $ Þäâ) Øàâà à×Þ âÞä×
( âä ãàä Þ âÝàä ÚÞ ×áÞáÞ à×ä*Þá ä + 2 0 !" , 6 0 !" + 92 0 $%
, 96 0 $% Ü× %äÞ, Þ-Þá Øàâà à×Þ ( âä â àäâà. !Þ.
/01203 4056070 10 ÜÝäÞ 2005.
12
'à áààäÞ ÞÞ àäÞ Þ 8Ø âá ã ÝãàÝä #. 9áâÞ ÞØÞ
Ø 27 ÜÝäÞ 1957 âà8äÞáÞ ãÝâÞ #à. àØ. .Ýä, ×ä-×ä) àÝÝ
àØ . â âààäÞ, àã - ÝáÞ áà×Ø. Þ ãàäàáàâ ãàØä,
à××âÞ ä àØ. ãàä, á8. Ø àäãàØÞ, äÝâ.:äÝâ. ã
àäãä, áä-áä áÝ Þ, àäà Þ âàÞ âÞ äà äàØ âàâ äÞ àØ
(Ø àØ. Þã×ä, Ø-Ø ä àØ. àä××-××, àäà. àäâÝáÝ.
âàà â âá ä , ààâá àÝ àÝÝ , ÞäÞ .Þ, .áÝ * Þ.
âàä×ãà-ä×ãà àäÝÝ àäâÞ. 9áâÞ, ;<=03>0? @<17<A0 , .B 555.
13
#Câ ÚáâÞØ, <? 0D., /2A=0E F5G30=2 72 H02?G110E=03 $ #à.I &àÝäÝá (áÞ
$ÞÝää.â $ #à. àäáâ à ß&ß Ûä×à #à. ßäÝááØâ, 2005,
.B 106.
306
Sukiman: Acuan Pembangunan Aceh Pasca Tsunami
JKLMNON PQRLJ SQTQRLJ UQTOLOLVTKN MWOLU ONXNS OQRWPN ONT JQTYJNRN KNTY
ZQRUNT[NTYNT.14
\NXNS UNTONTYNT PQ]X]YW ^JXNS, SLJWZNM NPNL ZQT_NTN KNTY OWPWSUNVNT VQUNON
SNTLJWN JQRWTY OWVNWPVNT OQTYNT VQJNXNMNT NPNL UQTKWSUNTYNT ONRW JKNRWNP ^JXNS KNTY
OWPLRLTVNT `XXNM abc. aNPL TQYQRW KNTY NSNT, PQTNTY ONT JQ[NMPQRN, PQPNUW ]XQM VNRQTN
defeg PQRMNONU TWVSNP `XXNMh SNVN `XXNM VWRWSVNT UQRWTYNPNT ZQRLUN VQXNUNRNT ONT
VQPNVLPNT ijka. NXlmNMXno6: 112p.15 q]ZNNT ZQRLUN PQYLRNT ONRW `XXNM WPL Z]XQM JN[N
ONPNTY ONRW NPNJ VQUNXN irst fuevsderp NPNL ONRW ZNwNM VNVW irst xuyxs ugze{sderp NPNL
ONRW JQJNSN SNTLJWN i|u{}s~uder ~s|uup ijka. NXl`Tâm/6: 65).16
Gubenur Aceh masa itu H. Azwar Abu Bakar berkata:
Musibah gempa dan tsunami 26 Desember 2004, setidaknya dapat dilihat dari dua
sisi. gxuru, ia sebagai peringatan dari Allah SWT. dan deu, sebagai pembelajaran.
Sebagai peringatan mengharuskan kita melakukan penilaian terhadap iman dan
melakukan dalam bentuk amal kita selama ini, sebagai sebuah daerah yang telah
pula menyatakan diri untuk melaksanakan syariat Islam, apakah kita sudah
melaksanakan dengan sungguh-sungguh. Atau jangan-jangan kita masih setengah
hati dengan syariat Allah Yang Maha Kuasa. Jika pun masa ini masih saja terdapat
berbagai bentuk maksiat pada tingkat pejabat serta dalam kehidupan masyarakat,
maka saatnya segera kita hentikan. Sebagai sebuah pembelajaran, hendaknya kita
boleh hidup cerdas dan bermartabat.17
Mungkinkah bencana ini merupakan peringatan dari Allah SWT. agar sistem kehidupan
di Aceh menggunakan acuan pembangunan Islam, karena syariat Islam diberlakukan
14
., h. 106.
15
Bacaan ayat tersebut:
()
,
()
-
,
y u
16
Bacaan ayat tersebut :
³´ µ¶·¸¹ º·»¼» ´½¾, ¼¶¾¼¿ À·Á»¼¿Â¾¿¼¿ ÃÄżÁ µ¶·¸ ļ¿Â¼½ ķľ¼´ ³¼¿ Àƽ·Ä´¼Å ¾¿½¾Ç
³´Â¾¿¼Ç¼¿ Ǽȷ¿¼: ÉÊËÌÍÎÍ. µ¶·¸ Á·ÁÀ¾¿Ï¼´ ķмȼ¸ Ƿ·Á´Å¼¿Â¼¿ ³¼¿ Ä·Á¼¿Â¼½ ÃÄżÁ
ϼ¿Â ǾǾ¸. ÑÊÒÓÍ. µ¶·¸ Á·Á´Å´Ç´ Դżϼ¸ ϼ¿Â ľ»¾È ³¼¿ Á·Á´Å´Ç´ ľÁ»·È ¼Å¼Á ϼ¿Â
Á·Å´ÁÀ¼¸¹ Õ¼·È¼¸ ´¿´ ´»¼È¼½ Ä·Àƽƿ ½¼¿¼¸ ³¼È´ ľÈ¼ Ä·À·È½´ ¿·Â·È´ º¼»¼Ö ϼ¿Â ½·Å¼¸
³´Ç´Ä¼¸Ç¼¿ ÆÅ·¸ ¼Å×ؾÈÖ¼¿.18
18
¬¯
®²
¦°
.. ¦-±/34:15 °®
± ®««
®®²¬ ± °®°¬¦¬¬ « ±¬ ®±« ¬ ¯®±®¦ ¬²¬ ¯«±«², °°«²
°®°®²¥¦® ²¬ ¦¦ . ®«²«
¬
«
«±, «° ± ¬¦ ¯
« «°
¬¦
¬ ¯®±®¦ ¯®¦
°, ®
¯«±«² ¬
° ¯®²
®²«¯-°®®²«¯ «
«
°® ¬
² ¬« ¯®
®², °®°¬¦¬ ¬ ¦®°±
² « ««. ®²®
°®°±«
¬²¬¯¬
² ¯®¦
¬°«², ¯®¬ °®¬ ¯«°±®² °
¬² °®¦¬²
®²
«
«, ¯®²
°®²® °
«
« ®°°«² ®®²¬, ¬²¬¯¬ ¬
« °®²® °
® . !¬
¬
«
«±, " # $î al-Tharîq %&®¬²«
' âr al-Syurûq, 1973), h. 290.
Menurut al-Marâghî bahwa penduduk negeri Saba ini terdiri atas raja-raja Yaman, hidup
dalam kenikmatan besar dan rezeki yang luas, mereka mempunyai kebun yang subur dan
tanaman-tanaman yang lapang di sebelah kanan lembah dan kirinya. Begitu pula telah
mengutus kepada mereka rasul-rasul-Nya yang menyuruh mereka supaya memakan rezeki
dari Allah, agar mereka bersyukur kepada Allah dengan cara mengesakan dan beribadah kepada-
Nya sebagai imbalan atas karunia-karunia tersebut. Lihat: Ahmad Mushthafâ al-Marâghî, Tafsîr
al-Maraghî (Beirut: Dâr Fikr, 1974), h. 117.
19
Said, Berita Peristiwa, h. 1650.
20
Kemudian lahirlah Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Nanggroe Aceh
Darussalam-Nias. Misi dari lembaga ini ialah untuk memulihkan keadaaan dan memperkukuh
masyarakat Aceh dengan merancang dan mengawasi pembangunan yang terorganisasi dan
tertumpu pada masyarakat tempatan dengan standar profesionalisme Badan Rehabilitasi dan
Rekonstruksi NAD-Nias. Lembar Fakta, 2005, h. 1.
308
q\XTcVb: Qf\Vb [dcaVbe\bVb QfdO [V]fV r]\bVcT
21
TAP MPR RI M2003N, OP 77.
22
QRSTUVS, Tsunami Aceh Adzab atau Bencana MWVXVSYVZ [\]YVXV Q^-_V\Y]VS, 2005N, OP 2.
23
`T]TX-aT]TX TbT cdb\S\Y RdbeV matan ]dcdbYVSV UT QfdO YdS\YVcV UT RVbYVT-RVbYVT
SVcVT YdcRVYgYdcRVY cVX]TVY ]dRdSYT Rd^Vf\SVb UVb h\UT iVbe UTU\X\be j^dO ]daVeTVb RdhVaVY
UVb YdbYVSV iVbe eVeVO RdSXV]VP Ibid., OP 5.
24
`VbiVX XdhVUTVb iVbe cdcT^\XVb OVYT VYV] Rd^VbeeVSVb OVX V]V]T cVb\]TV UT QfdOP
Q^-kOVTUVS, Gerakan Aceh Merdeka MWVXVSYVZ [dbdaVS `\X\ lVUVbT, 2003N, OP 13.
25
TAP. MPR RI M2003N, OP 79-80.
26
Ibid, OP 77-81.
27
kTYVgfTYV TbT ]dadbVSbiV cdS\RVXVb Tb]RTSV]T adSV]V]XVb VcVbVY mbUVbe-mbUVbe nV]VS
op, iVbe adSa\biT Dan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang
309
MIQOT stu. vvvws xt. 2 yzu{-|}~}} 2010
2020
,
visit
2020
. 28
,
. ¡
,
¢
/¢
. ¡
£
£
£
,
29
, 30
£
,
,
,
,
,
,
,
,
£
,
. 31
¤¥¦n¥§n¥n¨©ªm¥§nn¥un«¥¬¥m®¯ °¯ ±¦©²
³
15 2005
Memorandum of Understanding ¡
´
´¡ µ ¶
.
·
·
.
-
. µ
£
£
.
-
¡
¸. 11
2006
40
273
³
-
,
-
.
¹
£
£
,
berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang
kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur.
28
TAP. MPR. RI º2003», ¼½133.
29
¾¿À}Á¿ ÂÃ}¼Ä Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam Tahun 2007-2012 º¾¿ÅÁ¿ ÂÃ}¼Æ ¾¿À}Á¿ xÂ|, 2007», ¼½ 3.
30
Ç}¿ÅÈzÅ¿Å {ÅÁz~É{, À}É¿Å{¿Å Á}ÅÈ¿Å ~¿~¿¿Å }Å{ÅÈÊ¿ÉÊ¿Å ÀtÁzÊÉ{Ë{É¿~,
À}Å{ÅÈÊ¿É¿Å }Ê~Àt, Ê}}¼¿~{u¿Å ¿Ê¿Å¿Å, u¿À¿ÅÈ¿Å Ê}Ì¿Ä À}¿ÅÍ¿¿É¿Å u¿¼¿Å Êt~tÅÈ Á¿Å
À}ÅÈ}¿ÅÈ¿Å ÊttÁ{É¿~ zÉ¿¿ Á¿Å À}Á¿È¿ÅÈ¿Å, À}ÅÈ}¿ÅÈ¿Å z~¿¼¿ Á¿}¿¼Ä ÊtÀ}¿~{,
À}{Å¿¿Å À}ÅÈz~¿¼¿ Ê}Ã{u Á¿Å }Å}ÅÈ¿¼½ Ibid., ¼½ 7-20.
31
Ibid., ¼½ 23.
310
Sukiman: Acuan Pembangunan Aceh Pasca Tsunami
32
UUPA ö2006÷, øù 21.
33
Ibid., øù 25.
úûüû ýþÿ øû
34
þ ûø 2005 û û þ û û þ üû û
þ , ýû üû û û üû û û øû ÿþÿþ ø û ûø û û û þ û
ÿþÿ û û û - û û ü þø ÿ û ü û û þø ÿ ú øû ÿ ÿ.
35
- û âbî menyebutkan syarat seorang kepala pemerintahan ialah pertama, sempurna
;20'-'8:, Qadâ 972.'*)1'0:, Tarbiyah 9720*)*)('0:, da wah, syiar *'0 725321''0 <,1'5.
40
,
='1'5 521'(,'0'('0 >-'.)'8 <,1'5 ?632.06. @A2+ 821'+ 5204216'.('0 ,'86 72.'86.'0
8'8' (2.;' =)0', >-'.)'8 <,1'5 @A2+ =)0', )0) 32.864', 521'(,'0'('0 864', 6565 *'0 (+6,6,
. , ,
B252.)08'+ ='2.'+ *'0 7253'0460'0 ,2.8' 32.8'044604;'D'3 *) 3)*'04 721'(,'0''0
>-'.)'8 <,1'5 G'.20' )86 864', *)0', )0) )'1'+ 52536'8 qânûn 721'(,'0''0 ,-'.)'8 <,1'5
, ,
, 5253)53)04 ,2.8' 5204'D',) 721'(,'0''0 >-'.)'8
7253)0''0 ,6532. *'-' 5'06,)' 521'0A'.('0 721'(,'0''0 72.)3'*'8'0 720'8''0 ,'.'0'
6086( 520A'7') 5',-'.'('8 @A2+ -'04 5'*'0) )0) *)8256('0 86;6+ 5),) ,272.8) 32.)(68:
Pertama, 52D6;6*('0 721'(,'0''0 ,-'.)'8 <,1'5 ,2A'.' kaffah *'1'5 ,256' ',72(
(2+)*67'0 5',-'.'('8 ,2.8' @*'8 @A2+ -'04 32.;)D' <,1'5). Kedua, 520A)78'('0
. Ketiga,
824'(0-' ,67.25',) +6(65 *'0 +'( 'H',) 5'06,)' 32.*','.('0 (2'*)1'0 *'0
,
(6'1)8', 5',-'.'('8 *'0 ,6532. 5C*'1 )0,'0 521'16) 720)04('8'0 5686 720*)*)('0
*'0 (2,2+'8'0 -'04 525)1)() '(+1'( 561)' )5'0 *'0 8'(D' ,2.8' 525)1)()
. Kelima,
(2604461'0 (C5728)8)I *'1'5 72046',''0 *'0 7202.'7'0 )156 720428'+6'0 *'0
,
82(0C1C4) 5253'0460 *'0 5204253'04('0 2(C0C5) (2.'(-'8'0 -'04
.
32.86576 7'*' 52('0),52 7','. -'04 32.(2'*)1'0 32.',', 7'*' ,6532. '1'5 *'0
5C*'1 )0,'0 -'04 7.C*6(8)I ,2.8' 32.D'D','0 '1'5 ,2()8'. *'0 32.(21'0;68'0
Keenam, 52028'7('0 72.2(C0C5)'0 @A2+ 7'*' 7C,),) -'04 (C5728)8)I *'1'5 '.6,
41C3'1),',) *'0 1)32.'1),',) D)1'-'+ *'0 <082.0',)C0'1 . Ketujuh, 52D6;6*('0
42
721'(,'0''0 (2),8)52D''0 @A2+ ,2A'.' 520-216.6+L
39
,
, #"R# W"PQYRT S #"TQ&. RQ, Q QRR$ #R$ RQR R#Y"W
O"%P QR& S #"%"TR&TUR RVR&RT #R$ SQRW S"&%RSR# PRTUR SXR R#Y"W S"SRY $"TZRWY
\QRYT Y"RW#RTRRTTUR QRS& QRR$ ^"&RS&RT !R"&RP ^&_T# \Z"P . 5 `RPT
"WT$ Y"TQQWRT YSW W"#"TRT
40
2000, Q RTSR&RTUR YRQR %R% 4 R#Y"W Y"RW#RTRRT aUR&RS #R$ S"&Q& QR&, bRc. \WQRPd b%c.
%RQRP bZc. eR$RRPd bQc. \WPRW, b"c. ^"TQQWRT QRT !RWfRP #R$URPd bgc. ]RS eRR ,
bXc. h"$R#UR&RWRSRT, bPc. aUR& #R$, bc. ^"$%"RRT #R$, bVc. Qada Jinayat, bWc Munakahat.
i"TZRTR #SRS"X# T S"RP Q%RS YRQR SRPT 2001 %"%"&RYR SRPT #"%"$ S#TR$,
43
312
¬ : ¦§ ½©¤ ¦§ ½§ ¾
Pertama, jklmnloplm: qnr skjtnlmplnl ukvwxy zklo{o{vnl, qtr skjtnlmplnl t{onlm nmnjn,
q|r skjtnlmplnl t{onlm nonw, onl qor. skl{lmvnwnl zkynlnl p}njn
44
on}nj jklkwnzvnl
zkywnl{nl, tnlwpnl jxon} plwpv pun~n vk|{} onl ypjn~ wnlmmn, jkl{lmvnwvnl onl
zklmkjtnlmnl tnonl pun~n j{}{v onkyn~ pun~n vk|{} jklklmn~ onl vxzkynu{ ukywn
znun}
- ,
nlm tkyvpn}{wnu onl u}nj{ tn~vnl zklo{o{vnl o{uk}klmmnynvnl tkyonunyvnl nwnu
zy{lu{z zy{lu{z okjxvynu{ onl vkno{}nl oklmnl jklplplm w{lmm{ ~nv nunu{ jnlpu{n
, . 46
-
- ,
l{}n{ u}nj tponn onl vkjnjpvnl tnlmun konlmvnl zklo{o{vnl lxl xyjn} wk}n~
47
o{wnjz{}vnl n|nln n|nln tnyp wkwnz{ tn~nlln upon~ }njn non o{ |k~ ukzkyw{
Pertama, onznw jklpupl nnl o{ ukw{nz un}nw nyo~p. Kedua, zklko{nnl nu{}{wnu nlm
jkjnon{ plwpv vktn{vnl un}nw. Ketiga, wkjznw nvw{{wnu tazkirah onl zklmn{nl n}-pynl.
Keempat, wkjznw jklkwnzvnl nj tk}nny vnjzxlm. Kelima, zpunw nvw{{wnu un}nw tkynjnn~
onl wnyn{~ zky{lmnwnl jnp}{o nt{. Keenam, zpunw nvnw {lnv onl ukokvn~
48
{vn jnu{o onl meunasah o{plmu{vnl oklmnl tn{v, jnvn zklo{o{vnl u}nj nvnl onznw
, Pertama, ¡ ¢£ . Kedua, ¡ ¤¤
Ketiga, © ¢¢ ¡ª « Keempat, ©¤
« ¥ ¤¤, Ibid., ¨ 24.
¥ ¦§ ¨
¥¡ ©
44
,
.
¬ ® ¦§ ©
. -
© «¤ © ¯ « ¬ °¡ ¬¡ ¡¤
, . ,
« « ± © «¤ ¤ ¤ ¤ « «
,
²¤ ± « ¥ « « ²
,
« §«¥ « ¡ ± «© © ³© « §
« ¡¤ « © §¡ £¢ ¢« ¢¢¤. Serambi Indonesia ´19
45
, Syari at Islam, 92.
UUPA, ¨ 158.
¦©© ¨
46
47
- , -
·§³¥§ © «¤ ¤ ¬¡ ± « ««
-
£¢ « ¢ © ©§ ¸ © « « ¤ ¤
©« « ¤¡ ¢ ¢ ¤
,
«« ¤ « ©©¤ ©¤ «« « ¤
48
, Bunga Rampai Pelaksanaan Syariat Islam ´º« ¦§ » ¼ ¬¡
, 2005¶, 142.
¦ ¹ ¦©©
± ¨
313
MIQOT ¿ÀÁ. ÂÂÂÿ ÄÀ .2 -
ÅÆÁÇ ÈÉÊÉËÌÉÍ 2010
ÎÏÐÑÏÒÓÔ ÕÏÖ×ØÓÙÓÐ ÎÓÚÛÜÓÙ ÝÏÖØÙÓÎÓ ÞÏÐÒÓÐ ÎÏÎÕÏÖ×ÓÜÚÜ ÚØÓßÜÙÓÛ ÛÓßÓÙ ÞÓÐ Ü×ÓÞÓÔ .
ßÓÜÐÐàÓ ÚÓÖÏÐÓ ÕÏÐÒÓÎÓßÓÐ ÛÓßÓÙ ÛÏÑÓÖÓ ×ÏÐÓÖ ÞÓÕÓÙ ÎÏÐÞáÖáÐÒ ÕÏßÓÚØÐàÓ ØÐÙØÚ ÎÏßÓÚØÚÓÐ
amar ma rûf nahi munkar ØÐÙØÚ ÞÜÖÜÐàÓ ÞÓÐ áÖÓÐÒ ßÓÜÐ.49 âÏÐÒÔÓàÓÙÓÐ ÞÓÐ ÕÏÐÒÓÎÓßÓÐ
50
ãÛßÓÎ ÛÓÐÒÓÙ ÞÜÕÏÖßØÚÓÐ ÎÏßÓßØÜ ÕÏÐÞÜÞÜÚÓÐ ×ÏÖÓÛÓÛÚÓÐ ÛÓßÓÙ ÞÓßÓÎ ÚÏÔÜÞØÕÓÐ ÚÏßØÓÖÒÓ
,
ÚÏßÏçÓÙÓÐ èÜÛÜÚ ÓÚÓÐ ÙÏÙÓÕÜ ÕÏÖÚÓåÜÐÓÐ ÓÚÓÐ ×ÏÖßÓÐÒÛØÐÒ ØÐÙØÚ ÎÏÐÑÓÕÓÜ ÚÏ×ÓÔÓÒÜÓÓÐ
ÞÓÐ Ó×ÓÞÜ ÛÓÎÕÓÜ ÓÚÔÜÖ ÔÓàÓÙ ÕÏÐØÔ sakinah, mawaddah ÞÓÐ rahmah, ÞÜÚÓÖØÐÜÓÚÓÐ
ÓÐÓÚ ÞÓÐ ÚÏÙØÖØÐÓÐ ÛÏ×ÓÒÓÜ ÒÏÐÏÖÓÛÜ ÕÏÐÏÖØÛ àÓÐÒ ÙÓÓÙ ÚÏÕÓÞÓ éßßÓÔ êëÝ .
n n n m nnun
ìíîíïí ðñòíïí óíôí m õö÷ø ùúûüý ìñþþÿ osntrus îñ
Blue Print ÏÚáÐÛÙÖØÚÛÜ éÑÏÔ ÜÓßÓÔ ÛÓßÓÔ ÛÓÙØ ÖÓÐÑÓÐÒÓÐ ÕÏÎ×ÓÐÒØÐÓÐ éÑÏÔ ÕÓÛÑÓ-
ÙÛØÐÓÎÜ . ÓÐÑÓÐÒÓÐ ÜÐÜ ÛÓÐÒÓÙ ÛÜÛÙÏÎÓÙÜÚ, ßÏÐÒÚÓÕ ÞÓÐ ÎÏÐÑÓÚØÕ ÛÏßØÖØÔ ÛÏÚÙáÖ
âÏÎ×ÓÐÒØÐÓÐ ÓÛÜáÐÓß, âÏÎÏÖÜÐÓÔ ÓÏÖÓÔ âÖáÜÐÛÜ é ÞÓÐ ÐÜÏÖÛÜÙÓÛ êàÜÓÔ ØÓßÓ.
âÖáÛÏÛ ÕÏÎ×ØÓÙÓÐÐàÓ ÕÓÞÓ ÓåÓßÐàÓ ÎÏßÓßØÜ ÕÏÐÞÓÕÓÙ ÓÛÕÜÖÓÛÜ ÞÓÖÜ ÛÏßØÖØÔ ÏßÏÎÏÐ
. 52
,
ÖÓÚàÓÙ éÑÏÔ ÎÏÐÒÏÐÓÜ ÕÏÎ×ÓÐÒØÐÓÐ ÚÏÎ×ÓßÜ éÑÏÔ ÕÓÛÑÓ ÙÛØÐÓÎÜ ÏÖæÓÛÓÎÓ ÜÙØ
ÎÏåØæØÞÚÓÐ ÎÏÎáÖÓÐÞØÎ ÚÏÛÏÕÓÚÓÙÓÐ àÓÐÒ ÞÜÜÚØÙÜ áßÏÔ ßÜÎÓ ØÐÜ ÏÖÛÜÙÓÛ àÓÜÙØ
, ,
, , .
ÐÜ ÏÖÛÜÙÓÛ êàÜÓÔ ØÓßÓ êãé ÐÜ ÏÖÛÜÙÓÛ ãÐÞáÐÏÛÜÓ ã ãÐÛÙÜÙØÙ âÏÖÙÓÐÜÓÐ áÒáÖ
ÏÖæÓÛÓÎÓ ÜÐÜ ØÐÙØÚ ÎÏÐÑÓÖÜ ÓÛÕÜÖÓÛÜ ÎÓÛàÓÖÓÚÓÙ ÎÏßÓßØÜ ÛÏÎÜÐÓÖ ÞÓÐ ßáÚÓÚÓÖàÓ ØÐÙØÚ
Ibid.,
192.
49
ÆÍ ÇÊ Ç Ì Æ Ç Ç
.
%
51
. '
(
&
É ÆÍÆ Ä ÊÇÍ Å ËÇÁ Ì ËÉËÌÇ É ÍÆË ÊÉÌ Ç Ê Ê
Ç ÉÍÁÆ Ë Ë É (
Ç Á ÆÍ É Ç ÆË ÇÌÆ É Ç ÍÉË ÉËÆ
É Å Æ ÍÇ
. -
Nota
ÉÍ Á Ë ÊÉ Ç Í É Á Ë Æ É Ç ÊÇ Ê ÁÉËÌ
ÉÌÍÆ ÍÇ
314
se\aZ_f: ole_f ~WZb_fcef_f olWg ~_hl_ jhef_Za
231 >38?B 80/?13A ?5;B3> D31: 2?5;31:631 23B3/ Blue Print 40/931:;131 <=0>E
<234;1 80657A 40/931:;131 D31: 2?A01=313631 /0B?4;5?: Pertama. F353 A;31:
40A5313>31, /01=36;4 40135331 6040/?B?631 5313> Gland owner shifH, 60808;3?31 5313>
;15;6 40A/;6?/31 231 401D31::3 80A53 40/9;3531 site plan G40A531?31, 40/;6?/31,
50/435 ;83>3, I38?B?538 4012;6;1:H. J0B31C;51D3 40135331 63K3831 /0B?4;5? 40/9;3531
A01=313 50A40A?1=? L713, 5353 931:;131 231 B?1:6;1:31, 63K3831 6>;8;8, /0/9;35
A01=313 67185A;68? 231 6720 931:;131. M0/?6?31 C;:3 501531: 40135331 40A;/3>31
50A2?A? 23A? 401:63C?31 67185A;68? 931:;131 53>31 :0/43 231 58;13/?, 9015;6 A;/3>N
8?850/ 40B31, 85A;65;A C3B31, A;/3> ;15;6 40/;6?/31, 40135331 63K3831 6>;8;8. 54
Kedua, O?1:6;1:31 231 8;/90A 23D3 3B3/ 2?/;B3? 23A? /01;/9;>631 608323A31
/38D3A3635 50A>3234 4015?1:1D3 /01C3:3 3B3/ B?1:6;1:31 231 60831::;431 /01:013B
4385? 60C32?31 901=313 3B3/. P02;3 >3B ?5; 831:35 90A63?531 201:31 1?B3?-1?B3? 3:3/3.
55
Q;:3 2?A01=313631 501531: 608?3431 Early Warning System , 231 40A8?3431 40/931:;131
63K3831 401D31::3 90AC3A36 1.5 6/ 23A? :3A?8 43153?. J0B3?1 ?5; ;8;B31-;8;B31 D31:
2?53K3A631 831:35B3> 478?5?I 93:? 40/931:;131 3B3/ B?1:6;1:31. R01=313 40/931:;131
3B3/ 806?53A /0/40A>35?631 4A?18?4-4A?18?4 8040A5? 90A?6;5S G3H R067185A;68? 8;/90A
3B3/ 90A3838 6032?B31 3153A3 :010A38?, G9H P032?B31 23B3/ 835; :010A38?, G=H TA?18?4
401=0:3>31 3K3BN G2H T0AB?12;1:31 6031063A3:3/31 >3D35?, G0H P080?/931:31 5?:3
38406 40/931:;131 /0B?4;5? ;18;A 06717/?, 878?3B 231 B?1:6;1:31. 56
Ketiga, TA383A313 231 83A313 ;/;/ 90A;43 40A93?631 C3B31 D31: A;836 A?1:31 207.
48 6/, 231 C3B31 D31: A;836 43A3> 57.17 6/ 3:3A 93?6 60/93B?. J0B3?1 40/931:;131 C3B31,
2?B36;631 4;B3 40/931:;131 8040A5? 90A?6;5 G3H @0A0>39?B?538? 4A383A313 40A>;9;1:31,
G9H @0B36;631 401:3B?>31 B7638?, G=H @0/931:;1 C3B31-C3B31 3B50A135?I, G2H @0/9;63
93>3:?31 40B7876 231 4;B3; U<M. J0B3?1 ?5;, 2?B36;631 40/931:;131 83A313
401:31:6;531 23A35N B3;5 231 ;23A3, A0>39?B?538? 8;/90A 3?A 231 50B067/;1?638?.
57
53
VWXYZ[Y\ \W]^_ `ab_ca \W[_`_ d_d_ ]e_fc `_f [W]d_f_g_f, Xafc\efc_f ga`e[ `_f
heZbW] _X_Z , []_h_]_f_ `_f h_]_f_ eZeZ , W\YfYZa `_f \WdWf_c_\W]^__f , hahdWZ
\WXWZb_c__f , hYha_X be`_i_ `_f heZbW]`_i_ Z_feha_ , ge\eZ , _\efd_baXad_h `_f
[WZW]afd_g_f. Ibid.
54
jW_Z j_h\kY]lW, Blue Print Rekonstruksi Aceh mn_f`_ olWgp qfarW]had_h sia_g Ve_X_t
2005u, gv 16.
55
w_X_Z xhX_Z _`_ a\gda_] Z_feha_ hW[W]da ka]Z_f oXX_g i_fc Z_\f_fi_p y Allah tidak
merubah nasib suatu kaum, sehingga mereka itulah yang dapat merubahnya. z.s. _X-{_|`}
13:11.
56
jW_Z j_h\kY]lW, Bule Print, gv 105.
57
~W]b_a\_f [Wfc_fc\ed_f `_]_d efde\ b_ca_f daZe], b_]_d, dWfc_g, \W[eX_e_f.
~Wfc_fc\ed_f afa h_fc_d hd]_dWcah b_ca \WZ_^e_f hWbe_g \Yd_. ~W]b_a\_f dW]Zaf_X beh,
[WX_beg_f X_edt `_f [W]b_a\_f [Wfc_fc\ed_f e`_]_v Ibid., gv 105.
315
MIQOT . . 2
- 2010
Keempat.
¡ ¢ ¢ £Priority Reconstruction Program¤ ¢ :
£¤ ¥¢ ¢ ¢ ¦¢ £ ¢- ¢ ¡ ¤, £¤ §
¨¢-¨¢ ¢ , ,
©¢, £¤ § - ¡ ¦¢
, £¤ § ¢ ¢ ¡
¢ ¢ , £¤ ª ¡ ¡
¢¡ ¡ - £
, ¢« ¦¢¢ , ¢ ¤. 58
Kelima. ¬¢ ¡ ¢
¢ ¢. © ¢¢
59
¡ , ¡ ®¢. ¬
, ¢ ¢
¢- ¢ . ¬ ¢ ¢ ¡ ¢ ¢¢ ¡
¦¢ ¢¢ ¦ ¢ ¢¡ ¢ (right-sizing). ¬ ,
60
ª ¡ ° ¡ ¡ , 62
58
Ibid.,±² 133.
59
³´µ ³¶··¸µ¶ ·µ¶ ¹µº±µ¶ »·¸µº¼ ¶ ·µ± ¶½µ· ¸µ¾µ¶ µ ·µ
µ·¶ºµ »¿·¼, ÀÁÁ¶µ¶ »³ ¼ ·µ¶ ³ . ¿·µÁ¶ µ±µ¶ ·¸µº ¶
µµ± Pertama, º¸¶´ ¶Âµ ·µµ Á¶ºµ±µ¶. Kedua, º µºµ ¶·¸µº
Áµ¶´¶µ¶. Ketiga, ¸ÁÁ¶µ¶ · µµ º¸µ² Keempat, º¸¶¸-º¸¶¸ Á¶´µ¶.
Kelima, µ¶µµ ¸½µ¸µ¶ . Keenam, º Á¶´µ¶ Áµ¶´¶µ¶. Ketujuh,
·µÃµ¸µ¶ ·µÃµ µ¶µ² Kedelapan, Áµ¶´¶µ¶ ·µµ± ¸º ·µ¶ ¶µ¶µ.
Kesembilan, ĸ, µ·¶ºµ ¶´µµ, Kesepuluh, ŵƵ ¶µÆµ, ¸µµ, ·µ¶ ½¶½µ¶´ ¸½µ.
Kesebelas, Á¶´µ¶´µ¶ ÁµÃµ¶µ¶ õ¶´ ºµµ² Keduabelas, ¸ÁÁ¶µ¶ ·µµ ´µ¶µ.
Ketigabelas, µ¶´¶ Á¶ºµ±µ¶ õ¶´ µ¸. Keempatbelas, Á¶´µ¶´µ¶ ¸¸µºµ¶
·. Kelimabelas, µ¸ºÂ ·µ¶ Á¶´¸µ¶ ¸¶½µ² ¹µ´µ ¿·¶ºµ ´µµÇ 2004-2005.
60
ŵ ŵ¸ÂÈ, Blue Print, ±² 148.
61
Ibid., ±² 157.
62
ɶ´ºµµ¸µ¶ µ¸µ¶ ¶µ, ¸µ¶ ·µ¶ µÃ µ´µ Á¶·µÁ¶´ ¶µ, µ¸µ¶µ¶ õ¶´
ºµ±µ¶ µµ Áº ··, Ƶ½¸, haluwa, õ¶´, keukarah, bungong Áµµ, ¸µ¶ ¸µÃ ·µ
316
,
: "# "# # &
ÊËÌËÍÎÏÎÐ ÑÎÐ ÒÓÔÓ, ÕÖ×Î ÕËØÎÑÎÏÎÐ, ÍÙÚÙÐÒÎÐ ÊËØÎÚÎÏ, ÕÖ×Î ÚËØÊË×ÙÎØÒÎ, ÑÎÐ ÕÖ×Î
63 64 65 66
ÚËØÕÎÊÎÓÎÐ. ÛËØÓ×ÎÊÙ ÜËØËÊÎ ÑÓÏËØÓÜÎ ÑÎÐ ÑÓÓÊÙÏÓ Ö×ËÍ ÜÎÌÝÎØÎÊÎÏ ÒËÐËØÎÌÓ ÚËØÓÊÙÏÐÝÎ.
67
ÑËÐÒÎÐ ÜÖØÎ× ÑÎÐ ËÏÓÊÎ ÊËÎÒÎÜÎÎÐ ÓÏÙ Ë×ÎÌ ÜËÐÒÒÎÜÚÎØÊÎÐ ÊËÏÓÑÎÊÌËÌÙÎÓÎÐ ÎÐÏÎØÎ
ÎÎØÎÐ ÎÒÎÜÎ ÑËÐÒÎÐ ÕËÜÎÍÎÜÎÐ ÑÎÐ ÕËÐÒÎÜÎ×ÎÐ. 69
,
ma meugang puasa, ma meugang
woe raya du woe haji
,
. Ibid., 173.
63
!
!
"# $
!
! !
!
. %
!
! , makjun 44
&
"# !
'
$
<=>? @A><AB=BC=> DACAEF==> DA?=G=H DA@AEH>I=J KLAJ @A>F=MH CNE=>? CEA=IHO M=>
IHM=C BAEM=<= B=?H CADA>IH>?=> @=P<=E=C=I KLAJQ IAE@=PNC DAR=<=>=> N@N@.
71 72
B. VA?=G=H DA@AEH>I=J <=>? BAEPHJ, CT@DAIA> M=> BAEGHB=G=, PAEI= BAB=P M=EH
DA><=R=J?N>==> CACN=P==>. 74
Z>INC GNFNMC=> YHPH M=> @HPH <=>? IAR=J MHD=D=EC=> MH =I=P, MHIAI=DC=> PIE=IA?HP
DA@B=>?N>=> KLAJ <=>? @ARHDNIH BHM=>? DA@AEH>I=J=> M=> DTRHIHC, @A@BH>= PIENCINE
TE?=>HP=PH DA@AEH>I=J, @A>H>?C=IC=> CN=RHI=P PN@BAE M=<= @=>NPH=, DA@AEH>I=J, @A@BH>=
@AC=>HP@A M=> @A>AEH@= VA?=G=H \A?AEH ]HDHRQ @A>LHDI=C=> CAPAF=JIAE==> >A?=E=. 76
71
^7_7;/4`a b7;87:4b 97/5_4b5 /58b;5c, `5; 95a49, _7ad5d5c`a, c787e`b`a d`a _7/`f`a`a
4949. Ibid., eg 72.
72
Pertama, _7/`f`a`a h`b`b`a i5_5/ :`j5 `cb5k5b`8 _7ad4d4c 87_7;b5 c7/`e5;`a, c79`b5`a,
_7;_5ad`e`a, _7;c`l5a`a, _7;m7;`5`a, d`a _7;4:`e`a 8b`b48. Kedua, _7;5n5a`a 48`e` ;`cf`bg
Ketiga, c7594a58`85`a, d`a Keempat, c7b7;b5:`a 4949 b7;9`84c _7/`f`a`a _7a7j`c`a e4c49,
_7a7j`c`a f`aj :4c`a c;595a`/, _7aj7/./``a c7b7;b5:`a 9`8f`;`c`bg Ibid., eg 77.
73
o7959_5a pm7e d`;5 b5ajc`b q4:7;a4;, r4_`b5, s`/5c.b` d`a h`9`b 97at`d5 m.ab.e
b7/`d`a f`aj :`5c, b``b :7;`j`9`u e5d4_ 87d7;e`a`u 97a7j`cc`a c7`d5/`a, b``b e4c49, b5d`c
97/`c4c`a rasuah, c`;7a` 97;7c` _7959_5a f`aj 97aj79:`a `9`a`e. 1:a4 ^e`/dûn,
Muqaddimah (t.t.p: t.p, t.t.), h. 193-194, mengemukakan Kepala Negara (pemimpin) harus
adil, menurutnya adil penting karena imâmah ialah lembaga yang mengawasi lembaga-lembaga
lainnya yang memerlukan keadilan. Pimpinan yang adil akan melenyapkan tindakan
penyalahgunaan kekuasaan, dan ia akan mampu menegakkan hukum.
Untuk mengatasinya telah dibuat konsep Good Governance, yaitu penyelenggara negara
74
318
Ñ·´º¿ÀÂ: ÊË·À Ͼ¿ÁÀÂÅ·ÂÀ ÊË¾Ä ÏÀ¹ËÀ Ò¹·ÂÀ¿º
v~|ª
« ¬ Pertama,
©¢ ¨ §
, ¢ ©
©¢ . Kedua,
® ¤ ©
¢ ¢ ¢ ©
¢ ¬ Ketiga,
- ¯°¨, ±-± ® Blue Print
, ²§ ¢ ³ ¢
¢ , ® .
¢ ¢ . Keempat, ¢
,
´µ¶·¸¹º, ¸µ»º¼º´ ½¾¿µ´¶À¼º¹, ´¾¼¾¶¼ºÁÀ ·¿·¿ ½À ´¾À¿ÀÂÀÂ, ¸¾ÂúÀ¸À ¼ÀÂÀÄ ½À ¸¾¿·´º¿ÀÂ
¸¾Â½·½·´, ½À ¿¾ÂºÂÅ´À¼´À ´¾¼¾¶À¿¸º»À ¿À¹ÃÀ¶À´À¼ Æ·¹»º¿ ÃÀÂÅ duafa. Ibid., ÄÇ 4.
77
ÈÀ½À ɾÄÀÁº»º¼À¹º ½À ɾ´µÂ¹¼¶·´¹º Ê˾ÄÌ Aceh dan Nias Dua Tahun Setelah Tsunami
ÍÈÀ½À Ê˾ÄÎ ÈÉÉ ½À ƺ¼¶À Ͼ»À´¹ÀÂÀÌ 2006Ð, ÄÇ 1.
319
MIQOT ÓÔÕ. ÖÖÖ×Ó ØÔ. 2 ÙÚÕÛ-ÜÝÞÝßàÝá 2010
âãäå æäçèéèê ëèäìèå æäìèíçê îèïïèå ëèð íäðéèíèñïèð òóèìêèô õæñèí. öäðéèíèñèð
õæñèí kaffah ëê âãäå íäì÷øèïèð ïìêôäìêè óèðé ëèøèô íäíèù÷ïèð âãäå ïä ëäøèð æäåêðééè
ìèïóèô âãäå èïèð íèïí÷ì, èíèð, ëèíèê, ëèð çèåèéêè ë÷ðêè èïåêìèôú
ûüstuýü þÿüun
âçë÷ññèå è÷ êï, et al.. Ensiklopedi Islam. èïèìôè: õãåôêèì èì÷ èð ä ä 2002.
âç÷çèïèì, âñ èæè. Bunga Rampai Pelaksanaan Syariat Islam. èðëè âãäå êðèæ òóèìêèô
õæñèí, 2005.
âç÷çèïèì, âñ èæè. Syariat Islam di Provinsi Aceh Darussalam. èðëè âãäå: êðèæ òóèìêèô
õæñèí, 2006.
âøìêëèì. Tsunami Aceh: Adzab atau Bencana. èïèìôè: ö÷æôèïè èñ è÷ôæèì, 2006.
èëèð äåèçêñêôèæê ëèð äï ðæôì÷ïæê âãäåú Aceh dan Nias Dua Tahun Setelah Tsunami.
ëèð îêôìè öäñèïæèðè, 2006..
èøäëè âãäåú Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam Tahun 2007-2012. èðëè âãäå: èøäëè â , 2007.
ñ õçìèåêíó, îú ÷ì. Tengku Muhammad Daud Beurueh. èïèìôè: ÷ð÷ðé âé÷ðé, 1986.
Ismail, Azman. Hikmah Tsunami di Baiturrahman. Banda Aceh: Pengurus Masjid Raya
Baiturrahman Banda Aceh Kerjasama dengan DPRD Nanggroe Aceh Darussalam, 2005.
Abu, Jihad. Asal Usul Kerajaan Aceh Sampai Aceh Merdeka. t.t.p: t.p, 2002.
Lembaga Kantor Berita Antara. Aceh Dalam Berita. Jakarta: Kantor Berita Antara, 2004.
Al-Marâghî, Ahmad Mushthafa. Tafsîr al-Marâghî. Beirut: Dâr Fikr. 1974.
Qutub, Sayid. Ma âlim fî al-Thariq. Beirut: Dâr al-Syurûq, 1973.
Said, Muhammad. Aceh Sepanjang Abad. Medan: Harian Waspada, 1990.
Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur an. Bandung: Mizan, 1992.
Syaraf, Muhammad Jalâl. Al-Fikr al-Siyâsi fî al-Islâm. Kairo: Iskandariyah Dâr al-Jannah,
1978.
Said, Prabudi. Berita Peristiwa 60 Tahun Waspada. Medan: Prakarsa Abadi Press, 2006.
Serambi Indonesia. 19 Januari 2007.
TAP MPR RI. 2003.
320
456789: : ;<59: =>8?9:@5:9: ;<>A =9B<9 CB5:987
. Blue Print Rekonstruksi Aceh. : !"#"$ %&" , 2005.
'()
321
MIQOT Vol. XL No. 2 Juli-Desember 2016
M I QOT
Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman
1. Tulisan merupakan karya ilmiah orisinal penulis dan belum pernah dipublikasikan
atau sedang dalam proses publikasi oleh media lain;
2. Naskah yang dikirim dapat berupa konseptual, resume hasil penelitian, atau pemikiran
tokoh;
3. Naskah dapat berbahasa Indonesia, Inggris, dan Arab;
4. Naskah harus memuat informasi keilmuan dan atau teknologi dalam bidang ilmu-
ilmu keislaman;
5. Sistematika naskah konseptual, atau pemikiran tokoh adalah:
a. Judul;
b. Nama penulis (tanpa gelar akademik), afiliasi penulis berikut e-mail;
c. Abstrak ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan Inggris. Maksimal
abstrak memuat 80-100 kata;
d. Kata-kata kunci, antara 3-7 konsep;
e. Pendahuluan;
f. Sub-judul (sesuai dengan keperluan pembahasan);
g. Penutup;
h. Pustaka acuan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk);
6. Sistematika resume hasil penelitian adalah:
a. Judul;
b. Nama Penulis (tanpa gelar akademik), afiliasi penulis berikut e-mail;
c. Abstrak ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan Inggris. Maksimal abstrak
memuat 80-100 kata. Abstrak berisi tujuan, metode dan hasil penelitian;
d. Kata kunci, antara 3-7 konsep;
e. Pendahuluan, yang berisi latar belakang, sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan
penelitian
f. Metode;
g. Hasil dan pembahasan;
h. Kesimpulan dan saran;
i. Pustaka acuan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk);
7. Naskah yang dikirim harus mengikuti aturan penulisan karya ilmiah dan menggunakan
catatan kaki serta pustaka acuan;
8. Naskah yang dikirim diketik 1, 5 spasi dengan panjang berkisar 20-25 halaman;
Petunjuk Pengiriman Naskah
9. Naskah yang dikirim harus disertai CD berisi file naskah dan biodata singkat penulis,
atau dikirim melalui e-mail ke: miqot@ymail.com, miqot@uinsu.ac.id.
10. Artikel yang dikirim menggunakan transliterasi Arab-Indonesia sebagai berikut:
Untuk kata yang memiliki madd (panjang), digunakan sistem sebagai berikut:
â = a panjang, seperti, al-islâmiyah
î = i panjang, seperti, al- aqîdah wa al-syarî ah
û = u panjang, seperti al-dustûr
Kata-kata yang diawali dengan alif lam ( )الbaik alif lam qamariyah maupun alif lam
syamsiyah), ditulis dengan cara terpisah tanpa meleburkan huruf alif lamnya, seperti
al-Râsyidûn, al-syûrâ, al-dawlah.
11. Kata majemuk (idhâfiyah) ditulis dengan cara terpisah pula kata perkata, seperti al-
Islâm wa Ushûl al-Hukm, al- Adâlah al-Ijtimâ iyah.
12. Kata Al-Quran diseragamkan penulisannya, yaitu al-Qur an (dengan huruf a kecil
dan tanda koma [apostrof] setelah huruf r), sedangkan kalau terdapat dalam ayat atau
dalam nama kitab, maka penulisannya mengikuti pedoman transliterasi. Sementara
untuk nama-nama penulis Arab ditulis mengikuti pedoman transliterasi, seperti al-Mâwardî,
Muhammad Iqbâl, Abû al-A lâ al-Maudûdi, Thâhâ Husein, Mushthafâ Kamâl.
13. Penulisan catatan kaki (foot note) harus dibedakan dengan penulisan Pustaka Acuan:
a. Catatan kaki (foot note)
Muhammad Alî al-Shabûnî, Rawâ î al-Bayân: Tafsîr al-Âyât al-Ahkam min
1