Anda di halaman 1dari 164

EKSISTENSI SANAD DALAM HADIS

Zulheldi
Fakultas Tarbiyah IAIN Bonjol Padang.
Jl. Kampus IAIN Imam Bonjol Lubuk Lintah, Padang 25153
e-mail: zulheldi@yahoo.co.id

Abstract: The Existence of Chain of Transmitters of Prophetic


Tradition. The chain of transmitters (sanad) plays an important role not only in
determining the qualification of prophetic tradition but also in Islamic studies in
general. In addition, scholars of hadîth have regarded chain of transmitters as
citadel and mace of Muslim society. The author argues that the existence of sanad
distinguishes Islamic community from other religious groups in reconstructing
the authenticity of the teaching of the Islam. It is for this reason that scholars of
hadîth have invested a great deal of efforts and serious study on sanad until they
were finally capable of formulating a general theory that shall become guidelines
in the study of prophetic tradition. This paper is an attempt to discuss the
historical origin of sanad criticism as well as analyze the extent to which this
theory contributes to verifying the authenticity of Islamic precepts.

Kata Kunci: sanad, matn, shahîh, hadis maudhu

Pendahuluan
Secara umum, pengajaran hadis pada masa Nabi Muhammad SAW. dan beberapa
periode sesudahnya, tidak menggunakan media tulisan. Para sahabat berusaha
semaksimal mungkin merekam setiap ucapan, perbuatan, dan taqrîr rasul dalam memori
mereka. Banyak informasi yang menegaskan bahwa hanya sebagian kecil sahabat yang
membuat catatan hadis untuk dirinya. Kekhawatiran bercampurnya hadis dengan al-
Qur an merupakan alasan paling asasi dari realitas ini, karena ketika itu al-Qur an belum
dibukukan. Sahabat yang menghadiri kuliah hadis yang disampaikan secara lisan oleh
nabi menyampaikan materi pelajaran yang baru didapatkan kepada mereka yang tidak
hadir-sebagaimana pesan rasulullah-juga secara lisan.
Metode pengajaran dan perekaman hadis selanjutnya di masa itu tidak hanya
menyebutkan isi dari hadis (matan), tetapi juga menjelaskan siapa saja yang menjadi
sumber hadis tersebut (sanad) dan bagaimana dia menerimanya. Syuyûkh al-hadîts akan
mengungkapkan secara jujur, apakah dia langsung mendengar atau melihat hadis yang
163
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010

diajarkannya atau dia mempelajarinya dari orang lain. Format transmisi hadis dengan
menyebut sumber informasi dan menjelaskan cara mendapatkannya tersebut menjadi
tradisi dalam beberapa generasi.
Tulisan ini akan mendiskusikan seberapa besar nilai dan peran sanad dalam sebuah
hadis. Apakah deretan nama sebelum matan ini benar-benar dapat mengukuhkan isi
pesan rasul? Atau, apakah seperti persepsi sebagian orang awam, hanya sekedar pamer
ranji ala Arab yang tidak ada manfaatnya? Bahkan, mungkinkah keberadaan sanad itu
hanya mengganggu, karena sementara awam sangat kesulitan menemukan pesan inti
dari hadis tersebut?

Pengertian Sanad
Secara bahasa, sanad ( ) berarti sesuatu yang dijadikan pegangan ,
sesuatu yang tinggi dari bumi dan yang menghadang di gunung. Kata ini juga berarti
tempat sandaran, karena memang kata sanada, fi il mâdhi-nya, berarti bertelekan atau
bersandar. 1 Sedangkan menurut istilah, sanad berarti jalan matan ( ), yaitu
rangkaian nama-nama perawi yang menyampaikan sebuah hadis dari sumbernya atau
rangkaian para perawi yang menyampaikan kepada matan ( ).2
Menurut Muhammad Ajjaj al-Khatib, istilah sanad digunakan dalam hal ini karena orang
yang memiliki sanad senantiasa menyebutkan nama-nama perawi dalam menyandarkan
matan kepada sumbernya, atau para huffâzh selalu berpedoman kepada sanad dalam
menilai apakah sebuah hadis itu shahîh atau dha îf. Dengan demikian, dalam hal ini
sanad benar-benar menjadi tempat pijakan, sandaran, standar dan penentu kualitas
matan hadis.3
Ulama hadis juga menggunakan istilah isnâd ( ) untuk menyebutkan
rangkaian periwayat ini. Dengan kata lain, ulama hadis menyamakan pengertian sanad
dengan isnâd. Hal ini dapat dilihat dari ungkapan mereka .
Kadang-kadang, untuk maksud yang sama, kata asnâd dalam ungkapan di atas diganti
dengan asânîd.4 Dalam tulisan ini, sesuai pendapat jumhur ulama hadis, istilah sanad
dan isnâd juga dipakai untuk pengertian yang sama.

1
Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushûl al-Hadîts Ulûmuh wa Musthalâhuh (Beirût: Dâr al-
Fikr, 1975), h. 32; Mahmud Thahhan, Ushûl al-Takhrîj wa Dirâsat al-Asânîd (Riyâdh: Maktabah
al-Ma ârif, 1412/1991), h. 138; Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Hidakarya
Agung, 1990), h. 181.
2
Ibid.; Muhammad Mushthafa Azamî, Dirâsat fî al-Hadîts al-Nabawî (Riyâdh: Jamî ah al-
Riyâdh, 1396), h. 391.
3
Al-Khatib, Ushûl al-Hadîts, h. 33.
4
Ibid.; Ahmad al- Utsmani al-Tahanawî, Qawâ id fî Ulûm al-Hadîts, ed. Abd al-Fattah al-
Ghaddad (Beirût: Maktab al-Mathbû ah al-Islâmiyyah, t.t.), h. 26; Akram Dhiya al- Umarî,
Buhûts fî Târîkh al-Sunnah al-Musrifah, cet. 4 (Beirût: Basath, 1984), h. 47.

164
Zulheldi: Eksistensi Sanad dalam Hadis

Urgensi Sanad
Dalam wacana urgensi sanad hadis, akan ditemukan cukup banyak qaul ulama
yang dapat dijadikan referensi. Dari ungkapan mereka terlihat jelas bahwa keberadaan
sanad merupakan suatu keniscayaan. Abd-Allâh bin Mubârak (w. 181 H/797 M) pernah
mengatakan sebuah ungkapan yang sangat populer dalam khazanah ilmu hadis bahwa
sanad merupakan bagian dari agama, sekiranya tidak ada sanad, maka siapa saja akan bebas
mengatakan apa yang dikehendakinya ( ).5
Muhammad bin Sirin (w. 110 H/728 M) juga pernah mengatakan Sesungguhnya
pengetahuan terhadap hadis adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa engkau
mengambil agamamu itu ( ).6
Statemen kedua ulama tersebut mengukuhkan bahwa sanad menempati posisi sangat
vital. Sanad inheren dengan ajaran Islam karena hadis merupakan sumber kedua ajarannya,
dan hitam-putih sanad berpengaruh secara langsung pada pilar kedua bangunan Islam itu.
Maka tidaklah keliru jika Alî bin Madinî (w. 234 H) mengatakan 7
(mengetahui
rijâl atau sanad merupakan setengah dari ilmu [agama]). Sanad juga benteng dan kebanggaan
umat Islam yang membuat mereka berani menegakkan kepala ketika berhadapan dengan
umat lain. Ia adalah senjata umat Islam, seperti yang diungkapkan oleh Sufyan al-
Tsaurî (w. 161 H/772 M) 8
(isnâd
adalah senjata umat Islam. Apabila seorang mukmin tidak mempunyai senjata, maka
siapa saja akan mudah untuk membunuhnya).
Sanad melindungi umat Islam dari ketergelinciran dan serangan musuh yang tidak
diduga. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Muhammad bahwa perumpamaan orang
yang menuntut ilmu agama tanpa sanad sama halnya dengan orang yang menaiki tempat
yang tinggi tanpa menggunakan tangga.9 Syâfi î (w. 204 H/812 M) juga mengingatkan,
Perumpamaan orang yang mempelajari hadis tanpa sanad adalah seperti seseorang yang
membawa kayu bakar pada malam hari. Di dalam ikatan kayu itu ada seekor ular sangat
ganas yang siap menggigitnya, sedangkan dia tidak menyadari keadaan tersebut. 10
Beberapa nilai lebih sanad, sebagaimana disebutkan di atas, membuat sanad
menjadi pembeda umat Islam dari umat lainnya. Sanad merupakan suatu potensi

5
Al-Khatib, Ushûl al-Hadîts, h. 412; Muhammad Luqman al-Salafî, Ihtimâm al-Muhadditsîn
bi Naqd al-Hadîts Sanad wa Matn (Riyâdh: Maktabah al-Riyâdh, 1984), h. 155; al- Umarî,
Buhûts fî Târîkh, h. 53.
6
Al-Salafî, Ihtimâm al-Muhadditsîn, h. 153; al- Umarî, Buhûts fî Târîkh; Muhammad
Muhammad Abû Syuhbah, Fî Rihâb al-Sunnah al-Kutub al-Shihhâh al-Sittah (Azhâr: Majmâ
al-Turâts, 1969), h. 37.
7
Al- Umarî, Buhûts fî Târîkh, h. 47.
8
Al-Salafî, Ihtimâm al-Muhadditsîn, h. 155; al- Umarî, Buhûts fî Târîkh, h. 54.
9
Ibid., h. 155.
10
Ibid.

165
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010

kekuatan Islam yang tidak dapat ditandingi oleh umat lainnya. Dengan adanya sanad,
secara umum, ajaran Islam dapat steril dari segala macam bentuk perubahan, infiltrasi
dan pemutarbalikkan. Sedangkan di pihak lain, ajaran yang dibawa oleh rasul-rasul
selain dari Muhammad tidak memiliki imunitas semacam itu. Abû Hatim al-Radzî (w.
227 H) mengatakan, Tidak ada satu umat pun sejak Nabi Adam as. diciptakan yang
memiliki suatu standar (pegangan) untuk memelihara atsar para rasulnya selain dari
umat Islam ini. Muhammad bin Hatîm al-Mazhfar juga mengatakan, Sesungguhnya
Allah SWT. telah memuliakan dan melebihkan umat Islam dengan isnâd. 11
Secara lebih lugas Ibn Taimiyyah yang menyatakan, Ilmu sanad dan riwayat
adalah sesuatu yang dikhususkan Allah bagi umat Nabi Muhammad. Itulah yang akan
membuat mereka selamat. Adapun ahli Kitab, mereka tidak memiliki sanad yang akan
digunakan untuk meriwayatkan al-manqûlât (hadis-hadis) mereka. Orang-orang di luar
Islam memiliki akidah dan pandangan yang salah, karena mereka tidak memiliki sanad
yang dapat dijadikan sebagai pegangan. Mereka berkata tanpa dalil dan meriwayatkan
tanpa sanad.12 Abû Muhammad Alî bin Hazm turut menegaskan hal yang sama. Beliau
berkata Penukilan suatu hadis oleh seorang yang tsiqah dari yang tsiqah lainnya sampai
kepada Rasul hanya ada pada umat Islam, tidak terdapat di kalangan selainnya. Pondasi
asasi Islam dan syari ah serta segala yang terkait dengan semua itu menjadi kokoh karena
dinukilkan dengan menggunakan sanad. 13
Dari beberapa pernyataan di atas dapat dilihat dengan jelas bahwa sanad merupakan
karakteristik khusus umat Muhammad ini. Sebaliknya, kelemahan pokok dari umat-umat
selain Islam adalah tidak adanya tradisi penggunaan sanad di kalangan mereka. Hal ini men-
jadikan ajaran-ajaran yang ada pada mereka tidak bisa dipertanggung-jawabkan sampai
pada tingkatan yang meyakinkan bahwa semua itu benar-benar diajarkan oleh rasul mereka.

Penggunaan Sanad
Awal Penggunaan Sanad dalam Hadis
Menurut keterangan dari Mushthafa Muhammad Azamî, sanad telah digunakan
secara insidental dalam sejumlah literatur pra-Islam dengan makna yang tidak jelas.
Sanad juga dipakai secara luas dalam periwayatan syair-syair pada zaman Jahiliyah.
Akan tetapi, sama keadaannya dengan persoalan di atas, tidak ditemukan keterangan
lebih lanjut tentang realitas tersebut.14

11
Ibid., h. 162.
12
Ibid., h. 162-163.
13
Ibid., h. 163.
14
Muhammad Mushthafa Azamî, Studies in Hadith Methodology and Literature (Indiana:
American Truth Publication, 1977), h. 32; Ali Mustafa Ya kub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1995), h. 97.
166
Zulheldi: Eksistensi Sanad dalam Hadis

Tradisi sanad dalam Islam telah ada sejak zaman rasul. Seperti digambarkan di
atas, ketika seorang sahabat mengajarkan atau menyampaikan sebuah hadis kepada
sahabat lainnya, selalu disebutkan dari siapa hadis itu dipelajarinya sampai kepada Rasul
sendiri. Sahabat menjelaskan apakah dia menerima langsung atau tidak, lengkap dengan
cara penerimaannya. Menurut Imâm al-Nawâwî (w. 676 H/1277 M), seringkali dalam
rangkaian periwayatan (silsilat al-ruwat) terdapat empat orang sahabat, dan ada juga
dalam sanad yang lain terdapat empat orang tabi în.15
Dalam hal ini, al-Nawâwî ingin menegaskan bahwa sahabat dan tabi în sangat
jujur dan mementingkan deskripsi sanad secara utuh, tanpa adanya rasa rendah diri
dan takut dilecehkan. Sahabat yang berguru kepada tiga sahabat lain secara bertingkat,
sebenarnya berpeluang mengklaim bahwa dia menerima langsung dari nabi karena
sezaman dan sering bertemu. Begitu juga dengan tabi în yang melewati tiga tabi în
lainnya. Namun hal itu tidak mereka lakukan. Kejujuran ilmiah semacam ini, akhirnya,
tidak menggerogoti nilai hadis, tapi memberikan nilai tambah.
Bahkan, menurut Imâm Suyuthî (849-911 H/1445-1505 M), karena tingginya
perhatian sahabat terhadap sanad, pernah seorang sahabat meriwayatkan hadis dari
tabi în karena tabi în tersebut telah menerima suatu hadis dari sahabat lain yang
mendengarkannya langsung dari Nabi. 16
Untuk memastikan sebuahsanad, para muhadditsîn pernah melakukan perjalanan panjang,
walau hanya untuk satu sanad hadis saja. Jabîr bin Abd-Allâh (w. 78 H/697 M) pernah
melakukan rihlah dari Mekah ke Mesir untuk menanyakan sanad hadis ‫ ﻣ ﻦ ﺳ ﺘ ﺮ ﻣ ﺆ ﻣ ﻨ ـ ـ ﺎ‬...
kepada Uqbah bin Amîr. Begitu juga halnya yang dilakukan oleh Sa id bin Musayyab (w.
94 H/712 M), sebagaimana diungkapkannya sendiri, Saya pernah berjalan siang malam
untuk mencari sanad sebuah hadis. 17
Adapun mereka yang ditanya tentang keadaan dan nilai sebuah sanad juga
memberikan informasi yang benar. Dia tidak akan mengajarkan suatu hadis yang diketahuinya
memiliki cacat ( illat) pada sanad-nya kepada orang lain, atau mau mengajarkan tetapi
dilengkapi dengan penjelasan sebenarnya tentang realitas sanad hadis tersebut. Hal itu
seperti yang dilakukan oleh Abû Ishaq al-Sa bî (w. 126 H), di mana dia menjelaskan
dengan terus terang bahwa di dalam sanad yang dimilikinya terdapat pemalsuan (tadlîs),
ketika dia ditanya tentang hal itu oleh Syu bah bin al-Hajjaj (w. 160 H).18
Mushthafa Siba î menunjuk tahun 40 Hijrah sebagai batas pemisah antara kemurnian

15
Rif at Fauzi Abd al-Muthalib, Tautsîq al-Sunnah fî al-Qarn al-Tsânî al-Hijrî Ushushuh
wa Ittijâhâtuh (Mesir: Maktabah al-Khanjî, 1981), h. 36-37; Abû Husain Muslim ibn Hajjaj
ibn Muslim al-Qusyairî, Shahîh Muslim (Kairo: Mathba ah al-Mishriyyah, 1924), h. 83-85.
16
Al-Muthalib, Tautsîq al-Sunnah, h. 37.
17
Al-Salafî, Ihtimâm al-Muhadditsîn, h. 156.
18
Ibid., h. 157.

167
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010

hadis dengan pemalsuannya, karena saat itu terjadi perselisihan internal (politik) umat
Islam, antara Alî bin Abî Thalib (w. 40 H/661 M) dengan Mu awiyah bin Abî Sufyan (60
H/680 M).19 Ketika itu, orang menjadi sangat kritis terhadap sanad sebuah ungkapan yang
dikatakan sebagai hadis. Realitas seperti itu dapat dilihat dari pernyataan Muhammad bin
Sirin bahwa Pada mulanya umat Islam tidak begitu mempermasalahkan sanad. Namun,
setelah terjadi fitnah, jika menerima sebuah hadis, mereka akan mengatakan sebutkan
rijâl-mu (orang-orang yang menyampaikan hadis kepadamu)!. Hadis itu akan diterima
jika rijâl-nya adalah ahl al-sunnah dan akan ditolak jika rijâl adalah ahl al-bidâ .20 Setelah
terjadi peperangan Shiffin, mereka lebih berhati-hati terhadap sanad atau mulai
mempertanyakan secara ketat guru-guru hadisnya dan menelitinya dengan cermat.
Di penghujung abad pertama hijrah, ilmu sanad (dalam arti mencermati sanad hadis
dengan lebih teliti) berkembang dengan pesat dan mendapat perhatian lebih. Syu bah
bin al-Hajjaj (w. 160 H), misalnya, sengaja mengamati bibir Qatadah (w. 117 H) untuk
bisa membedakan apakah Qatadah mendapatkan hadis itu lewat tangan pertama atau
kedua dengan memperhatikan lafal al-tahammul wa al- dâ yang digunakannya.21
Bahkan, bukan hanya para ahli hadis yang meributkan masalah ini, tetapi juga pernah
seorang Arab Badui (Arâbî) menanyakan secara lengkap sanad sebuah hadis kepada
Sufyan bin Uyainah (w. 194 H).22
Dalam iklim lain, studi sanad hadis di kalangan sementara orientalis lebih diarahkan
kepada kapan mulainya umat Islam menggunakan sanad. Mereka terkesan menyembunyikan
kenyataan dan tidak mengakui bahwa sanad sudah mulai diberlakukan sejak zaman
rasul. Dengan demikian, mereka berkesimpulan bahwa sanad baru mulai dipakai sekitar
setengah abad setelah kematian Rasulullah. Tendensi mereka dalam hal ini bisa ditebak.
Logika yang ingin mereka kemukakan adalah kalau di masa nabi dan khalîfah al-râsyidîn
belum digunakan sanad dalam meriwayatkan hadis nabi, berarti bangunan ajaran Islam
didirikan di atas fondasi yang sangat rapuh. Jika hal ini dibenarkan, maka untuk
meruntuhkan bangunan Islam itu hanyalah menjadi persoalan waktu.
Seorang orientalis yang bernama Caetani, misalnya, mengatakan bahwa penggunaan
sanad baru dimulai antara masa Urwah bin Zubair (w. 94 H/ 712 M) dengan Ibn Ishaq
(w. 151 H/ 768 M). Dia menambahkan bahwa sebagian sanad yang terdapat dalam
kitab-kitab hadis hanyalah hasil kreasi ulama hadis abad kedua dan ketiga Hijrah.

19
Muhammad Mushthafa al-Siba î, Al-Sunnah wa Makânatuhâ fî Tasyrî al-Islâmî (Beirût:
Maktab al-Islâmî, 1978), h. 75.
20
Muhammad Mushthafa Azamî, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa
Ya kub (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 531; Abd al-Majid Mahmud, Amtsâl al-Hadîts wa
Taqdîmat fî Ulûm al-Hadîts (Kairo: Dâr al-Turâts, 1975), h. 25; al-Salafî, Ihtimâm al-Muhadditsîn,
h. 152-153; al- Umarî, Buhûts fî Târîkh, h. 49.
21
Azamî, Hadis Nabawi; al- Umarî, Buhûts fî Târîkh, h. 48.
22
Ibid., h. 54.

168
Zulheldi: Eksistensi Sanad dalam Hadis

Pendapat yang tidak memiliki dasar dan tidak bisa dipertanggung-jawabkan secara ilmiah
ini didukung oleh seorang orientalis lainnya, Sprenger. 23
Di lain pihak, orientalis Horovitz berpendapat lain. Dia mengatakan bahwa sanad
sudah mulai dipakai pada penggal ketiga abad pertama Hijrah (sekitar tahun 70-an Hijrah).
Sedangkan J. Robson mengatakan bahwa mungkin saja sanad sudah mulai digunakan
pada pertengahan abad pertama Hijrah. Puncak dari kekeliruan kajian sanad dari orientalis
ini terlihat dari pendapat Josept Schacht yang mengusung teori the projecting back. Menurutnya,
sanad hanyalah produk imajinasi orang-orang yang datang belakangan dengan mencoba
mengaitkan hadis-hadis yang didapatkannya kepada tokoh-tokoh terdahulu.24
Menanggapi pendapat orientalis semacam ini, Muhammad Mushthafa Azamî25
mengatakan bahwa kesalahan besar mereka berasal dari kesalahan metodologi yang
mereka gunakan, suatu ironi terjadi di kalangan sarjana Barat yang mengklaim diri
mereka sebagai pelopor studi ilmiah. Kesalahan mereka itu, menurut Azami, adalah
meneliti sanad hadis dari objek yang keliru. Mereka mengkaji hadis dari kitab-kitab
sejarah, biografi dan fiqih yang kebetulan banyak memuat hadis-hadis nabi. Mereka
tidak melakukan studi hadis secara langsung dari kitab-kitabnya.

Beberapa Usaha dalam Studi Sanad


Para ulama hadis telah melakukan upaya yang relatif maksimal dalam mengkoreksi
dan mengkritik setiap ungkapan yang dikatakan sebagai hadis Nabi, baik dari segi sanad
ataupun matan. Semua itu mereka lakukan dengan penuh keberanian, keikhlasan dan
tanggungjawab.
Muhadditsîn abad kedua Hijrah sangat selektif dalam menerima hadis, di antaranya
Abû Ishaq al-Sa bî (w. 126 H/ 742 M), Ibn Syihâb al-Zuhrî (w. 125 H/ 741 M), Hisyam bin
Urwah (w. 146 H) dan al-Amasî (w. 147 H). Mereka selalu kritis dalam memandang sanad
hadis, apakah ittishâl (bersambung) sampai kepada Nabi dan di dalamnya terdapat orang-
orang yang berkompeten.26 Begitu juga dengan Abd-Allâh bin Mubârak (w. 181 H) yang
sangat kritis ketika Abû Ishaq Ibrâhîm bin Isya al-Thalaqanî yang menyampaikan hadis
tentang shalat dan puasa yang dilakukan oleh seorang anak untuk kedua orang tuanya.27
Keseriusan ulama abad kedua Hijrah ini terhadap studi sanad dapat dibuktikan
dengan munculnya kitab-kitab musnad (jamaknya al-masânîd) di awal abad itu. Kitab-
kitab tersebut yang masih dapat dijumpai pada masa sekarang, di antaranya, musnad

23
Azamî, Hadis Nabawi, h. 532; Ali Mustafa Ya cub, Kritik Hadis, h. 99.
24
Ibid., h. 533; Ali Mustafa Ya cub, Kritik Hadis, h. 100.
25
Ibid., h. 582.
26
Ibid., h. 583.
27
Al-Salafî, Ihtimâm al-Muhadditsîn, h. 153-155.

169
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010

Ma mar bin Rasyîd (w. 152 H) dan musnad al-Tayalisî (w. 204 H), yang dijadikan salah
satu pegangan penulis kitab kutub al-sittah yang ditulis pada abad ketiga Hijrah. Begitu
juga dengan kitab musnad al-Humaidî (w. 219 H), musnad Ahmad bin Hanbâl (w. 241 H)
dan musnad Abû Ya la al-Maushilî (w. 307 H).28
Muhadditsîn menganalisa sanad, di antaranya, dengan cara membandingkan
beragam versi sanad, sehingga menghasilkan kesimpulan yang tepat, apakah sanad hadis
yang bersangkutan dapat diterima atau tidak. Mereka menyusun kaedah penelitian sanad
yang bisa dibuktikan keilmiahannya, membuat klasifikasi sanad dari segi diterima atau
ditolaknya, dan membuat istilah-istilah khusus untuk memudahkan dalam upaya
identifikasi sanad. Ulama hadis juga mengelompokkan para periwayat menjadi ahl al-
sunnah (orang yang riwayatnya dapat diterima) dan ahl al-bidâ (orang yang, secara
umum, riwayatnya harus ditolak).
Ulama hadis memutlakkan adanya kebersambungan sanad (ittishâl al-sanad) sebagai
salah satu syarat hadis shahîh,29 sekalipun terdapat berbagai pandangan tentang kriteria sanad
yang disebut dengan ittishâl tersebut. Menurut Imâm Bukharî (194-256 H/810-870 M),
sanad dapat dikatakan bersambung jika seorang periwayat dengan periwayat lain yang
dekat dengannya terbukti hidup dalam satu zaman (mu âsharah) dan pernah bertemu
walaupun hanya satu kali. Sementara menurut Imâm Muslim (206-261 H/821-875 M),
menurut kesimpulan beberapa ulama hadis yang mengkaji kitab Muslim, menekankan
pada mu âsharah-nya saja, sedangkan pertemuannya tidak mesti dapat dibuktikan. 30
Untuk membuktikan bersambung-tidaknya sanad, ulama hadis harus mengkaji
dengan tekun biografi setiap periwayat. Mereka juga melakukan kajian yang mendalam
terhadap lafal-lafal yang digunakan untuk menghubungkan seorang periwayat dengan
periwayat lainnya yang terdekat (seperti haddatsanâ, an akhbaranâ dan sebagainya).
Pendeknya, ulama hadis mengkaji sanad dari berbagai dimensi sehingga setiap
kebohongan, sampai kepada hal-hal kecil sekalipun, dapat terdeteksi dan diangkat ke
permukaan. Seperti yang dituturkan oleh al-Tsaurî (w. 161 H/772 M) bahwa Jika seorang
periwayat berbohong, maka kita akan mengujinya dengan menggunakan pendekatan
historis ( ).31 Maksudnya, jika seorang periwayat
mengatakan bahwa dia berguru kepada seseorang dan menerima hadis darinya, maka
hal itu harus dibuktikan dengan hasil kajian sejarah-otentik. Dari kajian historis terhadap
keduanya (mengenai biografi, siapa saja guru dan murid, penilaian orang-orang yang

28
Al- Umarî, Buhûts fî Târîkh, h. 56.
29
Al-Khatib, Ushûl al-Hadîts, h. 305.
30
Muhammad Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan
dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 108; Abd al-Mun im al-Nimr,
Ahâdîts Rasûl-Allâh Kaifa Wasalat Ilainâ (Beirût: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 1987), h. 102.
31
Jamila Syaukat, Isnad dalam Literatur Hadis, terj. Yanto Mustafa, dalam al-Hikmah,
vol. VI, h. 20.
170
Zulheldi: Eksistensi Sanad dalam Hadis

hidup pada masa itu dan sebagainya) akan dapat dibuktikan apakah di antara keduanya
memang pernah terdapat relasi guru-murid.
Melihat besarnya usaha ulama dalam melakukan studi sanad, sangatlah beralasan apa
yang diungkapkan oleh Muhammad Mushthafa Azamî, Kitab-kitab hadis yang ditemui
sekarang selalu siap untuk diperiksa, dikoreksi dan diteliti kembali sepanjang hal itu memenuhi
kriteria ilmiah dan objektif, bukan dimotivasi oleh rasa kebencian dan bermodalkan
ketidaktahuan. 32 Ini merupakan tantangan bagi setiap orang yang meragukan validitas hadis.

Pengaruh Kualitas Sanad terhadap Nilai Hadis


Ijma di kalangan ulama hadis, seperti ditulis Muhammad Luqmân al-Salafî,33 bahwa
sanad sangat penting artinya bagi sebuah hadis. Tidak mungkin adanya matan tanpa
sebuah sanad, sebagaimana tidak mungkin adanya sebuah bangunan tanpa fondasi
atau jasad yang hidup tanpa roh. Urgensi sanad terhadap hadis sama dengan pentingnya
nasab bagi seseorang. Sanad sangat berperan dalam menentukan nilai sebuah hadis.
Pernyataan yang sama dikemukakan oleh al-Amasî, Syu bah dan Bahz bin Asad. 34
Sanad menjadikan ukuran yang sangat menentukan dalam menerima dan menolak
sebuah hadis. Hadis tersebut akan diterima jika rijâl-nya adalah orang-orang yang tsiqah.
Menurut Imâm al-Nawawî bahwa Jika sanad suatu hadis berkualitas shahîh maka hadis
itu dapat diterima. Akan tetapi, jika sanad hadis tersebut tidak shahîh maka hadis itu ditolak. 35
Secara logika, lemahnya sanad suatu hadis belumlah menjadikan hadis tersebut
secara absolut tidak berasal dari Rasulullah. Hanya saja, sanad yang tidak shahîh dari
sebuah hadis tidak dapat memberikan bukti yang meyakinkan bahwa hadis itu memang
benar-benar berasal dari Rasul. Karena hadis merupakan salah satu dasar yang pokok
dari ajaran Islam, maka dia mesti steril dari segala macam bentuk keraguan, termasuk
ketidakyakinan seperti ini. Jadi, hadis yang sanad-nya tidak shahîh ditolak karena dia
diragukan berasal dari Rasul.
Dengan demikian, sanad hadis yang dapat diterima itu adalah yang muttashil
(bersambung), bukanlah sanad yang tergolong sebagai munqathi (terputus atau adanya
mata rantai yang hilang) dengan segala ragamnya. Sanad hadis yang diterima harus
terdiri atas orang-orang yang benar-benar terbukti keamanahannya dan ketangguhan
intelektualnya (al- adl wa al-dhabth atau tsiqah). Mereka bukanlah orang-orang yang
majhûl (tidak jelas) dan matrûk (ditinggalkan).

32
Azamî, Hadis Nabawi.
33
Al-Salafî, Ihtimâm al-Muhadditsîn., h. 157.
34
Al- Umarî, Buhûts fî Târîkh, h. 53-54.
35
Muslim ibn Hajjaj, Shahih Muslim, h. 88; Muhammad Syuhudi Ismail, Metodologi
Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 24.

171
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010

Sanad dan Hadis Maudhû


Sesuai dengan makna bahasa, yaitu sandaran, pegangan, referensi, pengaman
dan benteng, sanad merupakan pengayom matan hadis. Eksistensi matan, apakah
diterima atau ditolak, sangat tergantung pada kualitas dan kemampuan sanad dalam
mempertahankan, melindungi dan membentenginya. Apalagi, jika sebuah matan tidak
memiliki sanad, maka keberadaannya tidak bisa dipertahankan, atau matan itu harus
ditolak dan disingkirkan dari perbendaharaan hadis.
Sebagai sebuah benteng, sanad sangat berperan melindungi hadis nabi dari segala
macam bentuk serangan. Sebuah ilustrasi yang bagus dikemukakan oleh Imâm al-Syafi î,
seperti dikemukakan pada bagian terdahulu. Pada intinya, menurut Syafi î, jika tidak
ada sanad maka akan terbuka peluang yang sangat besar untuk menyerang dan
memporak-porandakan hadis Nabi. Karena, tanpa sanad, hadis telah mengidap cacat
internal yang sangat fatal, sewaktu-waktu bisa menjatuhkan hadis itu sendiri sekalipun
tanpa serangan yang berarti dari luar. Dalam bahasa Syafi î bahwa (bahaya itu) seperti
seekor ular ganas yang berada dalam ikatan kayu bakar yang dibawa oleh seorang
petani. Ular itu telah bersiap-siap mematoknya, sedang petani itu tidak menyadarinya. 36
Hadis maudhû merupakan salah korban radikalisasi muhadditsîn dalam
penerapan uji-sanad. Berbagai penipuan dan pemalsuan yang terdapat di dalam hadis
tersebut dapat dibongkar karena sanad yang membentenginya sangat rapuh. Maka
hadis-hadis itu berguguran satu demi satu dalam umur yang tidak panjang. Kriteria
kritik sanad yang tidak mengenal kompromi merupakan salah satu tembok penghalang
yang sukar ditembus oleh hadis-hadis ini.
Dengan mengetatkan penggunaan sanad (dalam arti mempertanyakan keabsahan
sanad secara tajam), ternyata sangat efektif dalam meredam gerakan pemalsuan hadis.
Seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Ajjaj al-Khatib bahwa salah satu usaha
untuk membela sunnah dari pemalsuannya adalah dengan memperketat penggunaan
sanad. Sahabat, tabi în dan generasi setelah mereka sangat menuntut eksistensi sanad
dari seseorang yang mengajarkan hadis kepadanya, dan mereka selalu menggunakan
sanad dalam mengajarkan hadis kepada orang lain. 37
Memang benar bahwa bukanlah kritik sanad satu-satunya instrumen untuk mengetahui
hadis palsu, tetapi bisa juga dengan kritik matan. Sekalipun demikian, kontribusi kritik
sanad sangatlah signifikan dalam membongkar gerakan makar terhadap hadis nabi
tersebut. Salah satu bukti sahihnya adalah bahwa kritik sanad diterapkan pertama kalinya
dengan ketat sebagai reaksi keras atas munculnya hadis-hadis palsu pada masa itu.
Dari studi sanad akan dapat diketahui orang-orang yang menciptakan jalur sanad sendiri

36
Al-Salafî, Ihtimâm al-Muhadditsîn, h. 155.
37
Al-Khatib, Ushûl al-Hadîts, h. 305.

172
Zulheldi: Eksistensi Sanad dalam Hadis

untuk dipasangkan pada matan hadis yang diciptakannya. Dan juga, dari studi ini akan
diketahui lebih lengkap keadaan seorang perawi, berkenaan dengan siapa saja guru dan
muridnya, kemana saja dia melakukan rihlat al-hadîts, berapa banyak hadis yang diriwayat-
kannya beserta kualitas masing-masingnya, terutama kualitas sanad dan sebagainya. Dengan
adanya data yang relatif lengkap ini, maka akan sangat membantu menanggapi setiap
informasi tentang perawi yang diketahui itu dan akan segera terdeteksi manakala nama
seorang perawi terkenal dipasang seenaknya pada sebuah jalur sanad imajinatifnya.

Penutup
Sanad memiliki peran vital dan menentukan dalam sebuah hadis nabi. Dalam
kaitan ini, al-Nawâwî memberikan sebuah ilustrasi yang menarik. Katanya bahwa
hubungan hadis dengan sanad-nya ibarat hubungan hewan dengan kakinya. 38 Hal
itulah yang menyebabkan ulama hadis, sejak zaman rasul, terlihat sangat concern
terhadap sanad. Mereka memberikan perhatian yang sangat serius terhadap bidang ini.
Hasil kerja mereka itulah, di antaranya, yang membuat bangunan ajaran Islam tetap
berdiri kokoh hingga hari ini.
Formulasi metodologi kritik sanad telah sampai pada tahap yang meyakinkan dan,
meminjam istilah Azami, tahan banting. Perjalanan intelektualisme Islam, terutama
kajian ilmu hadis dan sejarah, telah membuktikan kesahihan formulasi tersebut. Realitas
tersebut semakin menjustifikasi dan mengukuhkan peran sentral sanad dalam hadis
dan membuktikan kecemerlangan kultur distribusi informasi bertuan (menyebutkan
sumbernya) yang dimiliki masyarakat Islam awal.
Adalah sebuah anti-klimaks petualangan intelektual Barat (baca: orientalis) ketika
mereka memasuki ranah sanad, terutama tentang masa awal penggunaannya.
Kesimpulan kajian mereka memaksa penulis menyimpulkan bahwa mereka memiliki
keawaman, bahkan niat yang tidak terpuji, terhadap Islam. Dengan mengatakan bahwa
pada masa rasul dan khalifah yang empat belum dipergunakan sanad, berarti mereka
sedang mencoba menggoyang bangunan ajaran Islam, karena sanad merupakan salah
satu nyawa dari fondasinya. Namun, nampaknya mereka kekurangan bukti yang dapat
mendukung berbagai kesimpulan tersebut. Bahkan, berbagai kajian kontemporer
membuktikan adanya something wrong pada metodologi yang digunakan.

Pustaka Acuan
Abû Syuhbah, Muhammad Muhammad. Fî Rihâb al-Sunnah al-Kutub al-Shihhâh al-Sittah.
Kairo: Majmâ al-Turâts, 1969.

38
Muslim ibn Hajjaj, Shahih Muslim; Ismail, Metodologi.
173
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010

Azamî, Muhammad Mushthafa. Dirâsat fî al-Hadîts al-Nabawî. Riyâdh: Jamî ah al-Riyâdh,


1396 H.
Azamî, Muhammad Mushthafa. Studies in Hadith Methodology and Literature. Indiana:
American Truth Publication, 1977.
Azamî, Muhammad Mushthafa. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa
Ya cub. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.
Ismail, Muhammad Syuhudi. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan
dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
Ismail, Muhammad Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Al-Khatib, Muhammad Ajjaj. Ushûl al-Hadîts Ulûmuh wa Musthalâhuh. Beirût: Dâr al-
Fikr, 1975.
Mahmûd, Abd al-Majîd. Amtsâl al-Hadîts wa Taqdîmat fî Ulûm al-Hadîts. Kairo: Dâr al-
Turâts, 1975.
Al-Muthalib, Rif at Fauzî Abd. Tautsîq al-Sunnah fî al-Qarn al-Tsânî al-Hijrî Ushushuh wa
Ittijâhâtuh. Mesir: Maktabah al-Khanjî, 1981.
Al-Nimr, Abd al-Mun im. Ahâdîts Rasûl-Allâh Kaifa Washalat Ilainâ. Beirût: Dâr al-Kutub
al-Islâmiyyah, 1987.
Al-Qusyairî, Abû Husain Muslim ibn Hajjaj ibn Muslim. Shahîh Muslim. Kairo: Mathba ah
al-Mishriyyah, 1924.
Al-Salafî, Muhammad Luqman. Ihtijâj al-Muhadditsîn bi Naqd al-Hadîts Sanad wa Matan.
Riyâdh: Maktabah al-Riyâdh, 1984.
Al-Siba î, Mushthafa. Al-Sunnah wa Makânatuhâ fî Tasyrî al-Islâmî. Beirût: Maktab al-
Islâmî, 1978.
Syaukat, Jamila. Isnad dalam Literatur Hadis, terj. Yanto Mustafa, dalam al-Hikmah, no.
14, vol. VI, 1995.
Al-Tahanawî, Ahmad al- Utsmanî. Qawâ id fî Ulûm al-Hadîts, ed. Abd al-Fattah al-
Ghaddad. Beirût: Maktab al-Mathbû ah al-Islâmiyyah, t.t.
Thahhan, Mahmûd. Ushûl al-Takhrîj wa Dirâsat al-Asânîd. Riyâdh: Maktabah al-Ma ârif, 1991.
Al- Umarî, Akram Diya . Buhûts fî Târîkh al-Sunnah al-Musrifah, cet. 4. Beirût: Basath, 1984.
Ya cub, Ali Mustafa. Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung, 1990.

174
KEBEBASAN BERAGAMA DALAM PERSPEKTIF HADIS

Misrah
Fakultas Dakwah IAIN Sumatera Utara,
Jl. Williem Iskandar Pasar V Medan Estate, 20371
e-mail: dramisrah@yahoo.com

Abstract: Religious Freedom in the Perspective of Prophetic


Traditions. Al-Qu ran Paradigm concerning to belief have the character of
personal-privat and cannot be forced the becoming one of the Islam peaching to
constructing the harmonious relation and foundation between religion and fellow
being. (Q.S. al-Baqarah/2: 256). This matter indicated to shall no constraint for
someone in embracing a religion, including to embrace the Islam. If to embrace
the just religion of others may not be forced, more than anything else punish to
kill the others prohibited in Islam. War in Islam only resistance effort done to the
enemy attack bother, menace safety and dissipate the Islam people through clear
orders (not abysmal of boundary).

Kata Kunci: keyakinan, kebebasan, perdamaian, hadis

Pendahuluan
Islam senantiasa mengajarkan umatnya agar menjadi ummat al-wasatha yang
akan menjadikan dirinya bersifat toleran dan moderat dalam menyikapi setiap persoalan,
termasuk dalam menyikapi perbedaan agama. Sebab, disadari atau tidak, di dunia ini
terdapat keanekaragaman agama dan semakin terbuka eksistensinya selama dunia terus
berputar. Kenyataan ini membawa umat Islam pada tantangan dalam berinteraksi
dengan agama-agama lain tersebut.
Dalam sejarah hubungan antar agama, banyak bukti menunjukkan terjadinya
konflik, friksi, ketegangan dan bahkan peperangan antar agama. Konflik, friksi,
ketegangan, dan peperangan tersebut seringkali diwarnai dengan sentimen keagamaan,
sehingga selalu dinisbahkan kepada ajaran agama. Konflik antar agama ini sangat pelik
dan dapat dikatakan sulit untuk diselesaikan karena identitas keagamaan seringkali
terkristal menjadi identitas kepribadian seseorang.
Bangsa Indonesia juga terdiri dari berbagai suku, agama, etnis dan ras yang majemuk.
Agama-agama yang berkembang dan dianut bangsa Indonesia adalah agama Islam, Kristen,

175
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010

Hindu, Budha dan Konghucu. Menyadari hal ini, supaya tidak terjadi konflik antara pemeluk
agama yang satu dengan lainnya, dan terciptanya kerukunan hidup antar umat beragama,
diperlukan sikap yang terbuka dan menerima keberadaan keyakinan agama lain. 1
Alasan untuk menerima perbedaan dan tidak memaksakan agama seseorang kepada
yang lain sangat sederhana, bahwa keberadaan agama yang dianut itu sama halnya dengan
orang lain yang sama-sama memiliki truth claim (klaim kebenaran). Yang paling esensial
adalah bahwa keyakinan terhadap agama adalah bagian yang paling personal, individual,
eksklusif, tersembunyi dari manusia, dan karena itu tidak ada kekuatan apapun selain
kekuasaan Tuhan yang bisa memaksa suatu keyakinan. Nabi Muhammad SAW. sekalipun
tidak bisa memaksa siapapun agar mengikuti ajarannya, lasta alaihim bi mushaithir,
kamu bukan orang yang bisa menguasai mereka.(Q.S. al-Ghâsyiah/88: 22). Afa anta
tukrihu al-nâs hattâ yakûnû mukminîn yaitu apakah kamu hendak memaksa manusia
sehingga mereka beriman? (Q.S. Yûnus/10: 99). Sedangkan pada ayat lain, Allah melarang
umat Islam mencaci maki sesembahan pemeluk agama lain (Q.S. al-An âm/6: 108).
Paradigma al-Qur an tentang keyakinan dan kepemelukan agama yang bersifat
personal-privat dan tidak dapat dipaksakan kepada siapapun seperti tersebut di atas,
menjadi salah satu inti ajaran Islam yang luhur dalam membina hubungan harmonis
dan rukun antar sesama manusia di atas bumi ini. Karenanya, dengan tegas Allah
menyebutkan Tidak ada paksaan dalam memasuki agama (Q.S. al-Baqarah/2: 256).
Hal ini mengindikasikan bahwa tidak boleh ada paksaan bagi seseorang dalam memeluk
suatu agama, termasuk untuk memeluk agama Islam.
Lalu bagaimana pandangan hadis terhadap kebebasan beragama, apakah sama seperti
prinsip al-Qur an di atas. Tulisan ini akan coba mendeskripsikan dan mengkaji kebebasan
beragama dalam perspektif hadis.

Pengertian Kebebasan Beragama


Secara etimologi kebebasan beragama berasal dari dua kata, yaitu bebas yang artinya
merdeka, tidak terikat, tidak terpaksa dan dapat melakukan keinginannya, dan beragama
yaitu memeluk agama atau kepercayaan tertentu.2 Dari pengertian ini, maka kebebasan
beragama dapat dimaknai sebagai suatu sikap yang tidak terikat atau merdeka untuk memeluk
sesuatu agama atau keyakinan yang diinginkan. Kemudian, secara istilah, kebebasan beragama
menunjukkan paham keberagamaan yang didasarkan pada pandangan bahwa agama-
agama lain yang ada di dunia ini sebagai agama yang harus dihormati dan dihargai.
Selain itu, untuk menunjukkan sikap kesadaran yang dalam akan adanya kemajemukan.3

1
Amin Abdullah, Studi Agama: Normativasi atau Historitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996), h. 6.
2
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), h. 73-43.
3
Alwi Shihab, Islam Inklusif (Bandung: Mizan, 1998), h. 41.
176
Misrah: Kebebasan Beragama dalam Perspektif Hadis

Istilah kebebasan beragama menurut David E. Apter pada mulanya mengacu kepada
masyarakat-masyarakat yang majemuk. Sedangkan yang dimaksud dengan masyarakat
majemuk adalah masyarakat yang penduduknya tidak homogen, tetapi terbagi ke dalam
kelompok suku, etnis, rasial, agama dan kebudayaan. Ini artinya bahwa pluralisme di
Indonesia disebut dengan istilah majemuk yaitu masyarakat yang terdiri dari dua atau
lebih elemen-elemen yang hidup sendiri-sendiri dan memiliki tanda-tanda seperti tidak
ada pembauran satu sama lain dalam kesatuan agama, sosial dan politik, tidak adanya
kehendak bersama, sistem nilai yang berbeda-beda, anggota masyarakatnya kurang memiliki
homogenitas kebudayaan, dan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami
satu sama lain.4
Kebebasan beragama akan memberi pengaruh kepada toleransi agama, yaitu
timbulnya integrasi dan disintegrasi kelompok satu dengan kelompok masyarakat lain.
Menurut Pierre L. Van Bergke, ada beberapa karakteristik dasar dari suatu masyarakat
majemuk, yaitu:
1. Terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang sering kali memiliki
sub-ajaran (madzhab) yang berbeda satu sama lain.
2. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat
non-komplementer.
3. Kurang mengembangkan konsensus di antara para anggota masyarakat.
4. Secara relatif integrasi sosial dan agama tumbuh di atas paksaan dan saling
ketergantungan dengan kelompok lain.5

Dari pengertian bahasa dan istilah di atas dapat ditegaskan di sini bahwa kebebasan
beragama merupakan unsur yang tidak terpisahkan dari kehidupan dan sistem budaya umat
manusia. Kebebasan beragama berada di atas Sunnah adanya kemajemukan dalam sebuah
kerangka kesatuan dan keseimbangan. Dengan demikian, bahwa kebebasan beragama
merupakan suatu prinsip dan sikap seseorang dalam menghormati dan menghargai orang
lain untuk memeluk sesuatu agama apapun dengan pilihannya sendiri.

Identifikasi Hadis
Sebagai hasil identifikasi terhadap hadis yang memiliki content kebebasan beragama
tercermin paling tidak dalam 3 (tiga) hadis yang dianggap penting dan relevan berikut
ini:

4
David O. Moberg, The Church as A Sosial Institution (New Jersey: Prentice-Halla Inc,
1962), h. 29.
5
Dikutip dalam Muhammad Sofyan, Agama dan Kekerasan dalam Bingkai Reformasi
(Jakarta: Media Pressindo, 1999), h. 81.

177
Misrah: Kebebasan Beragama dalam Perspektif Hadis

  t y


yats bin Abd Allâh yaitu al-Sijistanî telah menyampaikan kepada
kami. (Pada jalur yang lain Abû Daud berkata:) Muhammad bin Basysyar telah menyampaikan
kepada kami, katanya Ibn Abî Adî telah menyampaikan kepada kami, ini adalah ungkapannya.
(Pada jalur yang lain pula, Abû Daud berkata:) al-Hasan bin Alî telah menyampaikan
kepada kami, katanya Wahb bin Jarîr telah menyampaikan kepada kami, dari Syu bah dari
Abî Bisyr dari Sa id bin Jubair dari Ibn Abbâs, ia berkata: Dahulu ada seorang perempuan
yang setiap kali anak yang dilahirkannya selalu meninggal, maka dia pun berjanji, kalau
sekiranya nanti anaknya bisa hidup, dia akan memasukkan ke agama Yahudi. Maka ketika
suku Bani Nadir telah masuk Islam, mereka masih punya anak-anak Anshâr (yang masih
beragama Yahudi). Mereka mengatakan: Kita tidak akan membiarkan begitu saja agama
anak-anak kita. Maka Allah menurunkan ayat: Tidak ada paksaan dalam beragama,
telah jelas yang benar dari yang sesat . (HR. Abû Dâud).

                     


               -      
       .             
              .  
      (habl min al-nâs)           .
        -     (    
!âr) yang pada waktu beragama Yahudi mereka tidak memiliki anak, sehingga
mereka bernazar kalau saja mereka mendapat anak, mereka akan menjadikan anak
mereka beragama Yahudi. Ketika mereka memeluk Islam, mereka bertanya kepada Rasul
SAW.: Ya Rasulullah, anak-anak dan saudara-saudara kami masih Yahudi, bersama
mereka yang belum memeluk Islam . Lantas Rasul SAW. terdiam. Maka turunlah ayat:

                 

         

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar
daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman
kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang
tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Q.S. al-Baqarah/2: 256).

Ayat yang paling sering dijadikan landasan toleransi adalah Q.S. al-Baqarah/2:
256 berbunyi seperti yang telah disebutkan di atas. Abû Muslim
dan al-Qaffal berpendapat, ayat ini hendak menegaskan bahwa keimanan didasarkan
atas suatu pilihan secara sadar dan bukan atas suatu tekanan. 12 Menurut Muhammad

12
Fakhr al-Dîn al-Razî, Mafatih al-Ghaib, jilid IV (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 16.

181
MIQOT "#$. %%%&" '#. 2 ()$*-+,-,./,0 2010

123234 2567234, 2829 :;: <=;8292>2; ?2@32 A=<2>B22; C;9C> <2BC> D252< BC29C
2E2<2 9:D2> D:?=;2F>2;.13 GF9:;82, A2F2 C52<2 B=A2>29 ?2@32 2829 :9C <=FCA2>2;
HI;D2B: 292B D2B2F A=;8:>2A2; JB52< 9=F@2D2A K2<:;2; >=?=?2B2; ?=F2E2<2.
GE2F 5=?:@ K=52B A=F5C D:>=92@C: sabab al-nuzul-;82, D:L=F:92>2; ?2@32 2829 :9C
9CFC; 9=F>2:9 A=F:B9:32 B=IF2;E 52>:-52>: G;B@âr, Abû al-Husein. Abû al-Husein adalah
seorang sahabat Nabi asal kota Madinah (Anshar) yang sangat taat beragama. Dia
mempunyai dua orang anak laki-laki yang bekerja sebagai pedagang minyak.
Suatu hari, kota Madinah kedatangan rombongan pedagang dari Syam. Mereka adalah
saudagar-saudagar yang biasa memasok barang dagangan ke Makkah dan Madinah.
Para saudagar itu beragama Kristen. Sambil berdagang mereka melakukan tugas misionaris
(dakwah) kepada penduduk di kawasan Jazirah Arabia. Kedua anak Abû al-Husein kerap
membeli minyak dan kebutuhan lainnya dari para pedagang itu. Seperti biasanya, para
pedagang itu mengkampanyekan agama mereka kepada para pedagang di Madinah,
termasuk kepada kedua anak Abû al-Husein. Karena khawatir tidak mendapat pasokan
barang-barang dari para saudagar itu, kedua anak tersebut akhirnya memutuskan diri
masuk Kristen. Mereka dibaptis oleh para saudagar itu, sebelum mereka kembali ke Syam.
Mendengar kedua anaknya masuk Kristen, Abû al-Husein sangat terpukul. Ia pun mendatangi
Nabi dan mengadukan perkara yang menimpanya itu. Lalu, turunlah ayat terkenal lâ
ikrâha fî al-dîn tidak ada paksaan dalam beragama. (Q.S. al-Baqarah/2: 256).14
Dalam mengomentari ayat tersebut, Muhammad Bâqir al-Nashirî, ahli tafsir asal
Iran, menjelaskan bahwa ada lima pendapat berkaitan dengan ayat tersebut. Pertama,
pelarangan itu hanya khusus kepada Ahl al-Kitab (Yahudi dan Kristen). Kedua, pelarangan
itu ditujukan kepada semua orang non-Islam. Ketiga, orang-orang yang masuk Islam
setelah perang tidak merasa dipaksa, tetapi mereka masuk secara sukarela. Keempat,
ayat tersebut ditujukan hanya kepada kaum Anshâr. Kelima, pilihan beragama bukanlah
sesuatu yang dipaksakan dari Allah, tapi ia merupakan pilihan manusia, karena persoalan
agama adalah persoalan keyakinan individual.15
Dari kelima pendapat di atas, Rasyid Ridha lebih cenderung setuju dengan pendapat
kelima. Yakni, bahwa maksud ayat lâ ikrâha fî al-dîn adalah bahwa tidak boleh ada
pemaksaan kepada seseorang untuk menentukan agamanya. Pesan ini bersifat umum
( am) dan ditujukan bukan hanya untuk kaum tertentu saja. 16
Mahmud bin Umar al-Zamakhsyarî (w. 528) dalam kitab tafsirnya yang terkenal,
al-Kassyaf, menjelaskan ayat di atas lewat metode tafsîr al-Qur an bi al-Qur an,

13
Muhammad Nawâwî al-Jawî, Marah Labib, jilid I (Kairo: Dâr al-Kutub, 1976), h. 74.
14
Ibid., h. 31.
15
Muhammad Bâqir al-Nashirî, Mukhtashar Majma al-Bayân (Kairo: Dâr al-Ma rifah,
t.t), h. 169.
16
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr al-Qur ân al-Hakîm, juz III (Beirut: Dâr al-Fikr, 1964), h. 31.

182
Misrah: Kebebasan Beragama dalam Perspektif Hadis

MNOPQRSTUPO RVPWV PXPW YNOZPO PXPW [PSOOXP. \NOVTVW mufassir XPOZ WNTUNOP[ UPTNOP
UNP][SPOOXP YP[PM balâghah YPO RPRWTP ^TP_ SWV, PXPW `lâ ikrâha fî al-dîn a MNTVbPUPO
UcORNUVNORS YPTS QSTMPO ^[[P] XPOZ [PSO, XPUOS:

                

Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi
seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-
orang yang beriman semuanya? (d.e. fûnus/10: 99).

Al-Zamaskhsyarî menegaskan bahwa persoalan keimanan adalah persoalan pilihan pribadi


manusia, dan tidak boleh ada unsur paksaan. Upaya pemaksaan untuk memilih atau beragama
bertentangan dengan sunnah Allah yang tercakup dalam surah Yûnus di atas. 17 Setelah
turun ayat di atas Rasul SAW. mengatakan: saudara-saudaramu itu memiliki pilihan,
jika anak-anak dan saudaramu itu memilih kamu, maka mereka bagian daripadamu
(seagama denganmu). Jika anak-anak dan saudaramu itu memilih yang belum masuk Islam
itu, maka mereka bagian dari yang belum masuk Islam itu .18

Pemahaman terhadap Konsep Kebebasan Beragama


Islam memandang bahwa warna kulit, suku, ras (etnis), bangsa tidak membedakan
manusia, kecuali hanya nilai-nilai ketakwaannya:

               

      

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah
orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal. (Q.S. al-Hujarât/49: 13)

Barangkali ayat di atas bisa diperluas pemahamannya termasuk kekuasaan,


pangkat, jabatan dan kekayaannya, tidak menjadi ukuran ketakwaan seseorang. Lebih
jauh, bagi Islam manusia itu dilahirkan dalam kondisi fitrah (suci), dengan anugerah

Menurut Ibn Abbas, ayat ini turun ketika Nabi berusaha supaya pamannya, Abû
17

Thalib beriman kepada Allah. Al-Qurthubî, Al-Jami lî Ahkâm al-Qur ân, juz IV (Kairo: Dâr al-
Ma rifah, t.t.), h. 680.
18
Abd al-Rahmân bin al-Kamal Jalâl al-Dîn al-Suyutî, Al-Durr al-Mansûr, juz II (Beirut:
Dâr al-Fikr, 1993), h. 20.

183
Misrah: Kebebasan Beragama dalam Perspektif Hadis

(Pasal Delegasi Najran menghadap Rasul SAW.) Ibn Ishaq berkata: Delegasi Kristen Najran diutus
menemui Rasul SAW. di Madinah. (kata Ibn Ishaq): Muhammad bin Ja far bin al-Zubair telah
menyampaikan kepadaku, ia berkata: tatkala delegasi Najran menghadap Rasul SAW., mereka
memasuki Masjid Nabawi setelah waktu shalat Ashar. Ketika tiba waktu kebaktian, mereka
melakukannya di Masjid Nabawi. Para sahabat ingin mencegat mereka, lantas Rasulullah mengatakan:
Biarkan mereka !. Para delegasi Najran itu melakukan kebaktian menghadap ke Timur .

ghijikl mlnjo lpl qlnj rlnlstkimjp qjouj pvp-gknils rlthwqvihomjp shsjnkml


sjnxlr. Arj tjprjpyjp kijsj zjpy qlnj rlxjrlmjp thyjpyjp nhthw{l Aqû Hanifah. Menurutnya,
orang Yahudi dan Nasrani diperbolehkan masuk masjid termasuk Masjid al-Haram.
Abû Hanifah berpendapat bahwa bukan hanya orang Yahudi dan Nasrani diperbolehkan
masuk masjid, tetapi seluruh umat non-Muslim yang menjalin hubungan baik dengan
orang Islam. Menurut Abû Hanifah, sekalipun tidak ada keperluan, orang kafir zimmi
diperbolehkan masuk masjid.21 Pendapat Abû Hanifah ini ditentang oleh mazhab lain
(Syafi î, Malikî, Hanbalî), bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani boleh memasuki masjid
manapun dengan tujuan kebaikan tetapi tidak Masjidil Haram karena innamâ al-
musyrikûna najisun artinya sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis, sehingga Masjid
al-Haram diharamkan bagi selain yang beragama Islam memasukinya. Kenapa Hanafî
berpendapat demikian?. Karena selain pedagang yang membutuhkan relasi dari berbagai
kalangan, ia juga berpendapat bahwa yang dimaksud najis itu ialah pemikirannya, maka
ia membolehkan melakukan hubungan baik terhadap non-Muslim meskipun di Masjid
al-Haram, hubungan yang dilakukannya sebatas hubungan mu amalah.
Jadi, kebebasan beragama di sini adalah bebas melaksanakan hubungan baik serta
berbuat adil terhadap sesama manusia. Artinya, hubungan baik itu dilakukan terhadap
siapa saja walaupun agama berbeda hal ini merupakan perwujudan toleransi dan hubungan
yang terjadi sebatas hubungan muamalat, bukan akidah maupun ibadah, karena dalam
agama Islam telah diatur tentang bagaimana seharusnya berhubungan dengan orang
lain baik dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang selalu disebut dengan
habl min al-nâs. Sekalipun ibu kandung, apabila melarang beribadah kepada Allah dan
memerintah agar beriman kepada selain Allah, maka tidak perlu dipatuhi tetapi tetap
melakukan hubungan baik. Sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Luqmân/31:15

                ~
  } ð|

       


       

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya

21
Pendapat ini dikutip oleh al-Qurthubî, Al-Jami lî Ahkâm al-Qur ân, h. 450.

185
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010

di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada
Ku-lah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Q.S.
Luqmân/31:15).

Dalam kitab Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur an, ayat di atas berkaitan dengan peristiwa masuk
Islamnya seorang anak yang menyebabkan ibunya marah. Alkisah, seorang anak bernama
Sa ad ibn Malik bersitegang dengan ibunya lantaran ia masuk Islam. Si ibu mengancam bahwa
ia tidak akan makan dan minum selama tiga hari tiga malam. Sa ad kokoh dengan pendiriannya
walaupun ibunya makan dan minum selama tiga hari tiga malam. Sa ad berkata kepada
ibunya, Ibu, demi Allah, seandainya engkau mempunyai seratus nyawa yang engkau keluarkan
satu demi satu, niscaya aku tidak akan keluar dari agamaku. Kalau ibu mau makan atau
tidak silahkan. Menghadapi keteguhan iman anaknya, akhirnya si ibu makan juga.
Kebebasan di sini bukan membiarkan agama yang satu memerangi agama yang
lain. Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur an yang artinya Dan perangilah dijalan Allah
orang-orang yang memerangi kamu. (Q.S. al-Baqarah/2: 190). Selain itu juga kebebasan
beragama bukan berarti mengakui kebenaran agama orang lain, tetapi bebas bagi setiap
penganut agama untuk menilai dan menganggap agamanya itu adalah agama yang
paling benar dan melaksanakan ajaran sesuai dengan agamanya masing-masing.
Dengan demikian akan terjadi hubungan yang harmonis antar umat beragama dan
intern umat beragama. Di sinilah sebenarnya yang menjadi kunci hidup damai meskipun
dalam perbedaan, dengan berlaku baik dan bersifat adil serta memberi kesempatan
kepada siapapun (non-Muslim) untuk mengamalkan ajaran agamanya, hal ini bertujuan
untuk kerukunan beragama.
Pendapat yang mengatakan berlaku baik kepada non-Muslim ini didukung oleh
al-Qur an surah al-Mumtahanah/60: 8.

         ƒ„ ˆ … †‡   ƒ
 „ ‚
   
 € 

    

Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak
memerangi kamu dalam urusan agama, dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu,
sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (Q.S. al-Mumtahanah/60: 8).

Ayat al-Qur an di atas dikuatkan lagi oleh ayat berikutnya bahwa Allah tidak
membolehkan menjadikan teman yang jelas-jelas memerangi dan mengusir kita dari
kediaman atau kampung halaman kita.

              

       

186
Misrah: Kebebasan Beragama dalam Perspektif Hadis

Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang


yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang
lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka
itulah orang-orang yang zalim. (Q.S. al-Mumtahanah/60: 9).

Dua ayat di atas menjelaskan bahwa boleh berbuat baik kepada Yahudi dan Nasrani
sepanjang mereka tidak mengganggu akidah dan ketentraman hidup. Maka berbuat baik
yang dimaksud di sini adalah sebatas toleransi di bidang mu amalah seperti silaturahmi,
menghormati tetangga, menjamu dengan baik, berlaku adil kepada orang-orang musyrik
yang telah melakukan perjanjian. Dalam bidang akidah dan ibadah tidak ada toleransi
sebagaimana disebutkan dalam surat al-Kâfirûn/109: 6, bagimu
agamamu bagiku agamaku. Artinya bahwa seluruh agama apapun mereka akan
mempertanggungjawabkannya di sisi Allah, Allah akan memberi keputusan di antara
mereka di akhirat.
Hal ini menunjukkan bahwa masalah akidah dan ibadah tidak ada toleransi, bagi
Allah yang menduakan Tuhan dan mencari Tuhan selain Allah adalah kafir, sebagaimana
disebutkan dalam al-Qur an surah al-Syurâ/42: 11, ... ... tidak ada
sesuatu yang menyerupai-Nya. Surah-surah lainnya yang mengungkapkan kemahasucian
Allah yang berbeda dengan makhluk-Nya.

Tinjauan Sejarah Kebebasan Beragama di Negara Madinah


Masyarakat madani adalah lukisan ideal Islam masa lalu yang dikenal dengan
masyarakat salaf,22 yang telah melahirkan sebuah negara (state), yang sudah sangat
maju dibandingkan dengan negara-negara pada masanya atau yang pernah ada dalam
sejarah sebelumnya. Ini digambarkan oleh Robert N. Bellah, sosiolog Amerika terkemuka:
Tidak lagi dapat dipersoalkan bahwa di bawah Nabi Muhammad masyarakat Arab
telah membuat lompatan jauh ke depan dalam kecanggihan sosial dan kapasitas
politik. Tatkala struktur yang telah terbentuk dikembangkan oleh para khalifah
pertama untuk menyediakan prinsip penyusunan suatu imperium dunia, hasilnya
sesuatu masa dan tempat yang sangat modern. Ia modern dalam hal tingginya tingkat
komitmen, keterlibatan dan partisipasi yang diharapkan dari kalangan rakyat jelata
sebagai anggota masyarakat. Ia modern dalam hal keterbukaan kepemimpinannya
untuk dinilai, kemampuan mereka menurut landasan-landasan universalitas dan
dilambangkan dalam upaya melembagakan kepemimpinan yang tidak bersifat turun-
temurun. Meskipun pada saat-saat yang paling dini muncul hambatan-hambatan
tertentu yang menghalangi masyarakat untuk sepenuhnya melaksanakan model yang
dicontohkan Nabi itu. Namun mereka sudah sedemikian cukup dekatnya

22
Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi (Jakarta: Paramadina, 1999),
h. 92-93.
187
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010

menampilkan suatu model bagi susunan masyarakat modern yang lebih baik dari
yang dapat dibayangkan. Upaya orang-orang Muslim modern untuk melukiskan
masyarakat dini tersebut sebagai contoh yang sesungguhnya terlihat dari nilai-nilai
nasionalisme, partisipatif dan egaliter yang sama sekali bukanlah suatu pembentukan
ideologis yang tidak historis. Eksperimen itu terlalu modern pada masa itu. 23

Masyarakat salaf ini, menurut Nurcholish, dalam bahasa modern sekarang menjadi
generasi yang menerapkan secara empiris prinsip normatif Islam tentang egalitarianisme,
demokrasi, partisipasi dan keadilan sosial sebagaimana dikatakan oleh Bellah di atas.
Masyarakat ini telah menyajikan kepada umat manusia, sebuah gambaran tatanan sosial
politik yang telah mengenal kehidupan berkonstitusi, di bawah naungan konstitusi yang
dikenal dengan sebutan Mitsaq al-Madinah (Piagam Madinah).24
Dalam kaitan ini, istilah masyarakat madani sebenarnya hanya salah satu di antara
beberapa istilah lain yang sering kali digunakan orang untuk menyebut masyarakat sejahtera,
padanan katanya adalah civil society. Di samping masyarakat madani, padanan kata lainnya
yang sering digunakan adalah masyarakat warga atau kewargaan, masyarakat sipil,
masyarakat beradab atau masyarakat berbudaya.25 Istilah civil society juga identik dengan
masyarakat berbudaya (civil society). Lawannya, adalah masyarakat liar (savage society).26
Pemahaman yang melatari arti ini, untuk memudahkan orang menarik
perbandingan di mana kata yang pertama merujuk pada masyarakat yang saling
menghargai nilai-nilai sosial keagamaan (termasuk dalam kehidupan politik), sedangkan
kata yang kedua jika dapat diberikan penjelasan menurut pemikiran Thomas Hobbes,
bermakna identik dengan gambaran masyarakat tahap keadaan alami (state of nature)
yang tanpa hukum sebelum lahirnya negara di mana setiap manusia merupakan serigala
bagi sesamanya (homo homini lupus). Eksistensi civil society sebagai sebuah abstraksi
sosial dihadapkan secara kontradiktif dengan masyarakat alami (natural society).27
Berdasarkan itu pulalah perlunya manusia kembali membangun suatu masyarakat
madani yang pernah dibangun oleh Nabi SAW., di mana ketika nabi berhijrah serta hidup
mapan di kota tempat hijrahnya itu, Nabi segera merubah nama Yatsrib menjadi al-Madinah.
Secara konvensional, perkataan madinah memang diartikan sebagai kota . Tetapi secara
ilmu kebahasan perkataan itu mengandung makna peradaban . Karena itu tindakan Nabi
mengubah nama Yatsrib menjadi madinah pada hakikatnya adalah sebuah pernyataan

23
Ibid., h. 32, 33 dan 35.
24
Oleh banyak ahli sejarah klasik Islam, seperti Ibn Ishâq (w. 152 H.) dan Muhammad
Ibn Hisyam (w. 218 H.) telah mendokumentasikan Piagam Madinah.
25
Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999), h. 3.
26
Lihat, Abdul Aziz Thaha, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (Jakarta: Gema
Insani Press, 1996).
27
Culla, Masyarakat Madani, h. 5.

188
Misrah: Kebebasan Beragama dalam Perspektif Hadis

niat, atau proklamasi, bahwa beliau bersama para pendukungnya yang terdiri dari kaum
Muhajirîn dan Anshâr hendak mendirikan dan membangun masyarakat beradab. 28
Membangun masyarakat madani atau masyarakat yang berperadaban itulah yang
dilakukan nabi selama sepuluh tahun di Madinah, di mana masyarakat demokratis,
masyarakat yang adil, terbuka, serta terwujudnya kebebasan beragama dengan landasan
takwa kepada Allah SWT. dan taat kepada ajaran-ajaran-Nya. Masyarakat tersebut
bercirikan egalitarianisme, yakni terbuka dan menghargai siapa saja. 29
Menurut Philip K. Hitti, hijrah yang menandai berakhirnya periode Makkah berganti
dengan periode Madinah merupakan peristiwa sejarah yang penting dalam catatan
kehidupan Muhammad, telah berakhirlah zaman penganiayaan, pengasingan dan
penindasan, berganti dengan zaman kesuksesan dan kejayaan Islam. Selama di Makkah
nabi diremehkan bahkan disakiti, sebaliknya di Madinah nabi tidak hanya sebagai
pemimpin yang dihormati tetapi sekaligus sebagai kepala negara Republik Madinah. 30
Dalam rangka memperkokoh masyarakat dan negara baru itu, nabi segera
meletakkan dasar-dasar kehidupan beragama masyarakat. Dasar pertama, pembangunan
masjid, selain untuk tempat salat, juga sebagai sarana penting untuk mempersatukan
dan mempertalikan jiwa mereka. Kedua, adalah ukhuwah Islâmiyah, persaudaraan
sesama Muslim. Nabi mempersaudarakan antara golongan Muhajirîn dan Anshâr. 31
Ketiga, hubungan persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tidak beragama Islam. Di
Madinah, di samping orang-orang Arab Islam, juga terdapat golongan masyarakat Yahudi
dan orang-orang Arab yang masih menganut agama nenek moyang mereka. Agar
stabilitas masyarakat dapat diwujudkan, Nabi Muhammad mengadakan ikatan
perjanjian dengan mereka. Sebuah piagam yang menjamin kebebasan beragama orang-
orang Yahudi. Setiap golongan masyarakat memiliki hak tertentu dalam bidang politik
dan keagamaan. Kemerdekaan beragama dijamin, dan seluruh anggota masyarakat
berkewajiban mempertahankan keamanan negeri dari serangan luar.
Piagam Madinah sangat besar artinya dalam sejarah kehidupan beragama umat
Islam. Ia dipandang sebagai undang-undang dasar tertulis yang pertama sepanjang
sejarah peradaban dunia. Sebelum Nabi Muhammad, para penguasa dunia tidak
menyertakan undang-undang tertulis untuk mengatur dasar-dasar kekuasaannya.
Bila dirujuk kepada teks Piagam Madinah dan diteliti secara cermat prinsip-prinsip
yang terkandung di dalamnya lebih luas dan lebih kaya. Prinsip-prinsip dimaksud adalah
persamaan, umat dan persatuan, kebebasan, toleransi beragama, tolong-menolong dan
membela yang teraniaya, musyawarah, keadilan, persamaan hak dan kewajiban, hidup

28
Nurcholish Madjid, Menuju Masyarakat Madani, dalam Ulumul Qur an. no. 2, h. 51.
29
Ibid., h. 52.
30
K. Ali, Sejarah Islam: Tarikh Pra-Modern (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), h. 42.
31
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), h. 26.

189
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010

bertetangga, pertahanan dan perdamaian, amar ma rûf dan nahi munkar, ketakwaan,
dan kepemimpinan yang terangkum dalam butir-butir piagam yang terdiri dari 47 pasal.32
Namun, dukungan tersebut belum membuat posisi beliau benar-benar mantap.
Karena penduduk Madinah menurut pembagian geneologi maupun etnis dan keyakinan
terbagi ke dalam beberapa kelompok sosial yang saling berbeda dalam cara berpikir
dan kepentingan. Untuk itu, beliau membuat perjanjian tertulis yang dapat diterima
oleh semua kelompok sosial.
Nabi Muhammad SAW., dalam membuat piagam tersebut, bukan hanya
memperhatikan kepentingan atau kemaslahatan masyarakat non-Muslim. Piagam itu
menjadi landasan bagi tujuan utama beliau, yaitu mempersatukan penduduk Madinah
secara integral yang terdiri dari unsur-unsur heterogen. Beliau tidak hendak menciptakan
persatuan orang-orang muslim saja secara ekslusif, terpisah dari komunitas-komunitas
lain di wilayah itu. Karenanya, ketetapan-ketetapan piagam menjamin hak semua
kelompok sosial memperoleh persamaan dalam masalah-masalah umum, sosial, dan
politik sehingga dapat diterima oleh semua pihak, termasuk kaum Yahudi. Fakta historis
ini, menurut Hitti, merupakan bukti nyata kemampuan Muhammad melakukan
negosiasi dan konsolidasi dengan berbagai golongan bangsa dan agama di Madinah.
Disebut piagam (charter), karena isinya mengakui hak-hak kebebasan beragama dan
berkeyakinan, kebebasan berpendapat dan kehendak umum warga Madinah supaya keadilan
terwujud dalam kehidupan mereka, mengatur kewajiban-kewajiban kemasyarakatan semua
golongan, menetapkan pembentukan persatuan dan kesatuan semua warga dan prinsip-
prinsipnya untuk menghapuskan tradisi dan peraturan kesukuan yang tidak baik. Disebut
konstitusi (constitution) karena di dalamnya terdapat prinsip-prinsip untuk mengatur
kepentingan umum dan dasar-dasar sosial politik yang bekerja untuk membentuk suatu
masyarakat dan pemerintahan sebagai wadah persatuan penduduk Madinah.
Munawir Sjadzali menulis bahwa batu-batu dasar yang telah ditetapkan oleh
Piagam Madinah sebagai landasan etika bagi kehidupan beragama untuk masyarakat
di Madinah adalah sebagai berikut:
1. Semua pemeluk Islam, meskipun berasal dari banyak suku, tetapi merupakan satu komunitas.
2. Hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dan antara anggota komunitas
Islam dan anggota komunitas-komunitas lain didasarkan atas prinsip-prinsip bertetangga
baik, saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, membela yang teraniaya,
saling menasehati, menghormati sesama kebebasan beragama, dan piagam itu
sebagai konstitusi negara Islam yang pertama tidak menyebut agama negara. 33

32
Ibid.
33
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI
Press, 1990), h. 15-16.

190
Misrah: Kebebasan Beragama dalam Perspektif Hadis

Muhammad bukanlah hanya sebagai penyebar agama (Rasul), tetapi beliau


sekaligus sebagai seorang negarawan yang besar. Negara Madinah membuktikan bahwa
Nabi Muhammad adalah negarawan terbesar, tidak hanya pada zamannya tetapi juga
sepanjang sejarah. Pasal-pasal yang dirumuskan dalam Piagam Madinah menunjukkan
bahwa Nabi Muhammad tidak hanya bermaksud memperkuat kekuasaannya untuk
menghadapi serangan musyrik Makkah, tetapi tujuan utama justeru untuk menggalang
kerukunan bagi warga negara di kota Madinah.

Penutup
Dari uraian sederhana di atas dapat disimpulkan bahwa hadis mengajarkan kepada
umat Islam agar tidak memaksakan agamanya kepada siapa pun. Islam memberikan
kebebasan kepada setiap manusia untuk memeluk dan menjalankan ibadah sesuai
agamanya. Sikap pemaksaan menganut agama terhadap orang lain dapat menimbulkan
sikap antipati dan menodai keluhuran ajaran Islam sendiri.
Perbedaan agama tidak membatasi umat Islam untuk berhubungan, berinteraksi
dan bersilaturrahmi dalam urusan dunia dengan penganut agama lain. Pada masa Rasul
SAW. sudah dicontohkan bagaimana hubungan ideal antara penganut beberapa agama
yang dapat hidup damai dan berdampingan dalam bingkai Piagam Madinah.

Pustaka Acuan
Abdullah, Amin. Studi Agama: Normativasi atau Historitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Ali, K.. Sejarah Islam: Tarikh Pra-Modern. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000.
Culla, Adi Suryadi. Masyarakat Madani. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999.
Ibn Ishaq. Al-Sîrah al-Nabawiyah, juz II. Kairo: Quththa al-Tsaqafah, 1998.
Ibn Katsir. Al-Bidâyat wa al-Nihâyah. Kairo: Dâr al-Hadits, 1992.
Al-Ja fî, Abû Abd Allâh Muhammad bin Ismâ îl al-Bukharî. Shahîh al-Bukhârî, juz III,
cet. 3. Beirut: Dâr Ibn Kasîr, 1987.
Al-Jauziyah, Muhammad bin Abî Bakar bin Ayyûb bin Sa ad Syams al-Dîn Ibn Qayyim.
Zâd al-Ma âd fî Hady Khair al- Ibâd, juz V. Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1994.
Al-Jawî, Muhammad Nawawî. Marah Labib. Kairo: Dâr al-Kutub, 1976.
Madjid, Nurcholish. Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi. Jakarta: Paramadina, 1999.
Madjid, Nurcholish. Menuju Masyarakat Madani, dalam Ulumul Qur an. no. 2, 1996.
Moberg, David O. The Church as A Sosial Institution. New Jersey: Prentice-Halla Inc, 1962.
Al-Naisaburî, Abû al-Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairî. Shahîh Muslim,
juz VII. Beirut: Dâr al-Jail, t.t.

191
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010

Al-Nashirî, Muhammad Baqîr. Mukhtashar Majma al-Bayân. Kairo: Dâr al-Ma rifah, t.t.
Rahman, Fazlur. Islam, terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka Salman, 2000.
Al-Razî, Fakhr al-Dîn. Mafâtih al-Ghaib. Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.
Ridha, Muhammad Rasyid. Tafsîr al-Qur ân al-Hakîm. Beirut: Dâr al-Fikr, 1964.
Al-Sijistanî, Abû Daud Sulaiman bin al-Asy as. Sunan Abî Dâud, juz III. Beirut: Dâr al-
Kitâb al- Arâbî, t.t.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI
Press, 1990.
Shihab, Alwi. Islam Inklusif. Bandung: Mizan, 1998.
Sofyan, Muhammad. Agama dan Kekerasan dalam Bingkai Reformasi. Jakarta: Media
Pressindo, 1999.
Al-Suyuthî, Abd al-Rahman bin al-Kamal Jalâl al-Dîn. Al-Durr Al-Mantsûr, juz II. Beirut:
Dâr al-Fikr, 1993.
Al-Qahtanî, Sa id bin Alî bin Wahhab. Fiqh al-Da wah fî Shahîh al-Imâm al-Bukhârî, juz
IV. t.t.p.: Dâr al-Ifta lî Idârât al-Buhûs al- Ilmiyah, 1421 H.
Al-Qurthubî. Al-Jami lî Ahkâm al-Qur ân. Kairo: Dâr al-Ma rifah, t.t.
Thaha, Abdul Aziz. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. Jakarta: Gema Insani
Press, 1996.
Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2001.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002.

192
ŒŽ RALISME GOLONGAN INKARUSSUNNAH
DI INDONESIA DAN MALAYSIA

Sulidar
F‘’“”• U•–’“’——˜™ IAIN S’š”›œ U”œ
J“ž W˜““˜›š I•‘™—œ P•œ V M›—™ E•””› Ÿ ¡¢£
›¤š˜“¥ ahmad.suid@yahoo.co.id

¦§ẗs©ª«t Liberalism of Anti-Prophetic Tradition in Indonesia and


Malaysia. Liberalism thought which is pursuant to free understanding in
comprehending ¬­s the syariat of non solely one branch of habit thought supported
by people of Islam in this world specially in Indonesia and Malaysia. Liberalism
thought supported by this Moslem people in fact form the system of ­q ®¯­° is
which finally concluding of conception and religious service separate . The
perpective Study of Hadith, ®¬±­² rsu¬¬­° basically support the liberalism thought
which in fact trussed with the free understanding in comprehending nas of the
syariat especially from text of Hadith of Prophet. This article will elaborate the
aspect of liberalism of faction ®¬±­² rsu¬¬­° trod in Indonesia and Malaysia and
its bearing with the past history forming liberalism rationale. This article will
become the theory base in liberalism thought in ®¬±­² rsu¬¬­° focusing to field
study especially in Indonesia and Malaysia.

Kata Kunci: liberalisme, inkarussunnah, hadis

Pendahuluan
Pemikiran liberal yang berdasarkan kepada pemahaman bebas di dalam memahami
nas hukum syariat bukan semata-mata satu cabang pemikiran biasa yang didukung
oleh segolongan umat Islam di dunia ini, khususnya di Indonesia dan Malaysia. Pemikiran
liberal yang didukung oleh segolongan umat Islam ini sebenarnya membentuk sistem
akidah (kepercayaan) tersendiri yang akhirnya menyimpulkan konsep dan praktik ibadah
yang tersendiri . Di dalam perspektif pengkajian hadis, golongan inkarussunnah pada
dasarnya mendukung pemikiran liberal yang sebenarnya terikat dengan pemahaman bebas
di dalam memahami nas hukum syariat, terutama dari teks-teks hadis Nabi Muhammad
SAW. Tulisan ini akan menguraikan aspek liberalisme golongan inkarussunnah yang
telah bertapak di Indonesia dan Malaysia dan kaitannya dengan sejarah lampau yang
membentuk dasar-dasar pemikiran liberalisme. Diharapkan tulisan ini bisa menjadi dasar
‰Š‹
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010

teori di dalam merinci pemikiran liberal dalam inkarussunnah yang berfokus kepada
kajian lapangan, terutama di Indonesia dan di Malaysia.

Golongan Inkarussunnah dan Liberalisme


Siapapun yang tidak mempercayai hadis Nabi Muhammad SAW. sebagai sumber
hukum Islam, maka tergolonglah ke dalam golongan yang sesat. Inilah yang dikenal
dengan kelompok anti-hadis.1 Ada tiga jenis kelompok anti-hadis.2 ³´µr¶·¶ . Kelompok
yang menolak hadis-hadis Rasulullah SAW. secara keseluruhan.3 ¸´¹¶uº Kelompok yang
menolak hadis-hadis yang tidak disebutkan di dalam al-Qur an secara tersurat ataupun
tersirat atau yang bertentangan dengan akal sehat manusia. 4 ¸´µ»¼¶º Kelompok yang
hanya menerima hadis-hadis ·¶tu¶w»tr 5
dan menolak hadis-hadis ahad6 walaupun sahih.
Mereka beralasan dengan ayat, sesungguhnya persangkaan itu tidak berguna sedikitpun

1
Pengertian anti-hadis sebagaimana dikemukakan oleh Ramli Abdul Wahid adalah
sebuah gerakan intelektual untuk tidak mempercayai autentisitas dan originalitas Sunnah
Rasul SAW. secara keseluruhan atau sebagian saja. Hal itu dilakukan bukan atas dasar legitimasi
ilmu hadis, melainkan karena alasan rasionalitas atau hawa nafsu semata. Ramli Abdul Wahid,
Studi Ilmu Hadis (Bandung: Citapustaka Media, 2005), h. 270.
2
Ishak Hj. Suliaman, et al., Autoriti Hadis: Menangani Gerakan Anti-Hadis (Kuala Lumpur:
Universiti Malaya, 2007), h. 145-147.
3
Menurut kelompok ini, hadis sudah terdapat dalam al-Qur an sendiri, jadi tidak perlu
lagi dengan keterangan hadis. Mereka beranggapan Rasulullah SAW. tidak ada hak dalam
urusan agama. Sebab, tugasnya hanya menyampaikan al-Qur an saja. Lihat, Ahmad Husnan,
Gerakan Ingkar Sunnah dan Jawabannya (Jakarta: Media Dakwah, 1981), h. 3-4.
4
Memang ada sebagian kaum Muslimin yang beramal dan berhujjah dengan hadis, dalam
hal-hal ibadah secara umum seperti sembahyang, zakat, dan haji. Namun, mereka tidak mau percaya
dan berpegang kepada hadis yang bertentangan dengan akal pikiran yang sehat, terutama pada
sebagian hadis-hadis yang menerangkan masalah ghaib, contohnya berkenaan dengan terjadinya
perjalanan Isra dan Mi raj Rasulullah SAW. kelompok ini tidak menerima semua hujjah hadis. Mereka
menolak hadis yang menurut penilaiannya bertentangan dengan akal pikiran yang sehat. Jadi,
mereka mengatakan tidak mungkin hadis yang sahih bertentangan dengan akal manusia.
5
Mutawatir menurut bahasa berarti mutatabi yakni yang (datang) berturut-turut dengan
tidak ada jaraknya. Bila ditinjau dari terminologi, hadis mutawatir adalah hadis yang
diriwayatkan oleh banyak orang, yang menurut adat, mustahil mereka bersepakat untuk
berdusta. (Jumlah banyak itu) sejak awal sanad sampai akhirnya, dengan syarat jumlah itu
tidak kurang pada setiap tingkatan sanadnya. Lihat, Ahmad bin Muhammad al-Fayyumî, Al-
Mishbah al-Munîr fî Gharib al-Syarh al-Kabîr lî al-Rafi î, juz II (Beirut: Dâr al-Kutub al- Ilmiyah,
1978), h. 321; Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushûl al-Hadis: Ulûmuhu wa Mustalahuh (Beirut:
Dâr al-Fikr, 1989), h. 301.
6
Secara bahasa, kata ahad, atau wahid berarti satu, maka khabar ahad atau khabar
wahid, adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu orang. Adapun yang dimaksud dengan
hadis ahad adalah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir (mâ lam yajma
syuruth al-mutawatir). Lihat, Jalâl al-Dîn al-Suyutî, Tadrib al-Rawi fî Syarh Taqrîb al-Nawawî,
juz II (Beirut: Dâr al-Fikr, 1988), h. 120, Mahmud al-Tahhan, Taisir Mustalah al-Hadîts (Beirut:
Dâr al-Qur ân al-Karîm, 1979), h. 22.

194
Sulidar: Liberalisme Golongan Inkarussunnah di Indonesia dan Malaysia

terhadap kebenaran (Q.S. al-Najm/53: 28). Cara mereka berhujjah dengan ayat ini,
tentu saja menurut penafsiran model mereka sendiri. Berdasarkan kepada fakta ini,
membuktikan bahwa pegangan dan sistem kepercayaan golongan inkarussunnah adalah
bersifat liberal, yaitu bebas di dalam memahami dan mempercayai otoritas dan autensitas
hadis Nabi Muhammad SAW. sebagaimana yang diimani oleh golongan paling awal di
kalangan sahabat dan tabi în. Pemahaman ini terus berkembang mengikuti zaman dan
didukung oleh sekelompok umat Islam yang berguru kepada dua musuh utama Islam,
yaitu Kristen dan Yahudi. Fakta ini dikemukakan berdasarkan kepada perkembangan
yang berlaku di dunia Islam, seperti di Indonesia dan di Malaysia.
Dalam konteks Indonesia, di antara kelompok inkarussunnah yang ada, salah
satunya ialah kelompok yang mengikuti pemikiran dari Rashad Khalifah, seorang
insinyur kimia lulusan Universitas Arizona. Gerakan ini dinamakan The Qur anic Society.
Gerakan ini hadir menyusul seminar missionaris Kristen dan Yahudi, di mana Rashad
Khalifah menyampaikan makalahnya yang berjudul Islam: Past, Present and Future .
Kampanye mendistorsi Islam di Indonesia ini memang sangat digalakkan oleh
pihak Amerika Serikat, antara lain melalui program iklan kampanye citra positif AS, 7
menyusul ditolaknya alasan penyerangan ke atas Irak dan Afghanistan. Gerakan ini
dilembagakan melalui USAID, dan juga Asia Foundation. Seorang aktivis jaringan Islam
liberal, Ulil Abshar Abdalla pernah mengaku secara terbuka bahwa dia menerima dana
dari Asia Foundation sebesar Rp. 1,4 Milyar pertahun.8
Pada tahun 2002, media-media di Indonesia memasang iklan mengenai kehidupan
muslim di Amerika dengan tawaran Rp. 250 juta untuk setiap iklannya. Pada tahun 2003,
Washington juga menyalurkan dana sebesar 170 juta U$ (sekitar Rp. 1,428 trilyun) untuk
sekolah-sekolah dan pesantren-pesantren di Indonesia untuk membendung ajaran-ajaran
radikal di Pesantren.9 Bantuan itu disalurkan ke sekolah negeri dan sekolah Islam yang
dinilai moderat .
Ramli Abdul Wahid menjelaskan bahwa secara historis, inkarussunnah sudah
muncul pada abad kedua Hijriah. Al-Syafi î (150-204 H) mengemukakan dialognya
dengan Inkarussunnah secara panjang lebar dalam kitabnya, al-Umm jilid VII. Kemudian,
pada zaman modern muncul pula sejumlah pemikir yang mengikuti, baik secara total
maupun secara parsial, corak berpikir inkarussunnah liberal, antara lain Taufiq Sidqi
dan Ali Hasan Abd. al-Qadir di Mesir, Said Ahmad Khan, Garrah Ali dan Gulam Ahmad
Parwez di India-Pakistan, Kassim Ahmad di Malaysia, Rasyad Khalifah di Amerika, Haji

7
Melalui Konsulat Jenderal Amerika di Medan-Indonesia, agen Amerika membagikan
buku-buku tentang Amerika Serikat secara gratis kepada mahasiswa IAIN-SU Medan tahun
2004. Buku-buku tersebut, berkenaan dengan gambaran politik, ekonomi, sosial budaya di
Amerika, yang maju, demokratis dan toleran terhadap penganut agama lain.
8
Suara Hidayatullah (05 Juni 2004).
9
Weekend Australia, dalam Indopos (5 Oktober 2003).
195
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010

Abdurrahman, Ustadz H. Sanwani, dan Ir. Irham Sutarto di Jakarta, dan Dailami Lubis
di Sumatera Barat.10
Sebelum mereka, terdapat dua orang tokoh orientalis sekaligus inkarussunnah
liberal terkenal yang juga boleh disebut sebagai perintis aliran sesat dan inkarussunnah
zaman moden yang bernama Prof. Dr. Ignaz Goldziher (1850-1921)11 dan Joseph F. Schacht
(1902-1969).12 Pemikiran kedua tokoh ini telah banyak dibantah oleh ulama dan ilmuan
Islam, di antaranya Mushtafa al-Siba î, dalam bukunya al-Sunnah wa mâ kânatuha fî al-
Tasyri al-Islâmî (1949), Muhammad Ajjaj al-Khatib dalam bukunya al-Sunnah Qabl al-
Tadwîn (1964), dan Muhammad Mushtafa Azamî dalam bukunya Studies in Early Hadis
Literature (1967). Sedangkan di Indonesia, Ali Mustafa Yakub juga menangkal pemikiran
kedua tokoh Inkarussunnah tersebut dalam bukunya Kritik Hadis (1995).13
Selanjutnya, menurut Ramli Abdul Wahid, hukum orang yang mengingkari Sunnah
yang berkualitas mutawatir adalah kafir, sedangkan orang yang mengingkari hadis ahad
adalah fasik.14 Dalam ilmu Hadis, dikatakan sesuatu itu hadis apabila ia berasal dari
rasul dan terdiri dari sanad (orang yang meriwayatkan hadis) dan matan (isi atau redaksi
dari hadis tersebut). Manakala suatu hadis tidak ada sanadnya, maka itu tidak dikatakan
hadis. Hadis Nabi Muhammad SAW. secara periwayatannya ada yang berlangsung secara
mutawatir dan ada yang ahad. Hadis yang berkategori mutawatir tidak perlu diadakan
penelitian terhadapnya dan wajib mengamalkannya, sementara untuk hadis yang
berkategori ahad perlu diadakan penelitian, baik sanad maupun matannya. Jika hadis
ahad itu sudah masuk dalam kategori maqbûl, maka wajib menerimanya sebagai sumber
ajaran Islam setelah al-Qur an.

10
Wahid, Studi Ilmu Hadis, h. 262-266.
11
Goldziher ialah seorang keturunan Yahudi. Beliau dilahirkan di Hongaria sekitar tahun
1850-an dan meninggal sekitar tahun 1921. Kedua orang tuanya adalah seorang tukang emas
di Hongaria dan beragama Yahudi. Dalam usianya yang cukup muda yaitu 19 tahun (1869),
Goldziher dilantik menjadi Doktor dalam bidang Islamologi di Jerman di bawah bimbingan
Prof. Rodiger. Beliau mendapat beasiswa untuk belajar di Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir,
pada tahun 1873 hingga 1974 guna memperdalam agama Islam. Beliau adalah sarjana Yahudi
pertama yang mendapat gelar Profesor di Universitas Budapest tahun 1894. Beliau
mempublikasikan bukunya yang cukup kontroversi, Muhammedanische Studien (1890) buku
inilah yang menguraikan bahwa hadis bukanlah sumber hukum Islam. Lihat, Patricia Crone.
Roman, Provincial and Islamic Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), h. 3.
12
Joseph F. Schacht ialah seorang orientalis, yang lahir pada 15 Maret 1902 di Ratibor
(Upper Silesia), Polandia. Beliau meninggal di Englewood, pada tanggal 1 Agustus 1969.
Beliau ialah seorang keturunan Inggris-Jerman. Beliau adalah Profesor dalam bidang kajian
Arab dan Islam di Universitas Columbia, New York. Beliau merupakan pembimbing para
sarjana Barat dalam bidang Hukum Islam. Bukunya yang terkenal ialah Origins of Muhammadan
Jurisprudence (1950). Lihat, Jeanette Wakin, Remembering Joseph Schacht (1902 1969)
(Cambridge-Amerika Serikat: Occasional Publications, 2003), h. ix-x.
13
Bukunya ini diterbitkan oleh Pustaka Firdaus, Jakarta, 1995.
14
Dikemukakan beliau dalam memberikan kuliah Hadis di PPS. IAIN-SU, Sabtu, 20
April 2002.
196
Sulidar: Liberalisme Golongan Inkarussunnah di Indonesia dan Malaysia

Beberapa ajaran pokok inkarussunnah yang liberal sesat, 15 yaitu:


1. Dasar ajaran Islam hanyalah al-Qur an, karena al-Qur an sudah lengkap dan sempurna.
2. Tidak percaya dan menolak seluruh hadis Nabi Muhammad SAW.
3. Nabi Muhammad SAW. tidak berhak untuk memberikan penjelasan apa pun tentang
al-Qur an.
4. Syahadah mereka adalah Isyhadu bi annanâ Muslimûn (saksikan kamulah bahwa
kami orang-orang Islam).
5. Jumlah Rakaat dan cara salat terserah kepada masing-masing, boleh dua rakaat
dan boleh dengan ingat saja. Sedangkan waktunya hanya tiga kali saja dalam sehari
semalam.
6. Puasa wajib bagi yang melihat bulan saja, tidak wajib bagi orang yang tidak melihatnya
dengan alasan ayat faman syahida minkumusy syahra falyashumhu (Barang siapa yang
melihat bulan di antara kamu maka hendaklah ia puasa) (Q.S. al-Baqarah/2:183).
7. Haji boleh dilakukan selama bulan-bulan haram, yaitu Muharram, Rajab, Sya ban,
dan Zulhijjah.
8. Pakaian ihram boleh dengan celana, baju, jas, dan dasi.
9. Orang yang meninggal tidak disalatkan karena tidak ada perintah dalam al-Qur an.
10. Pengajian-pengajian Inkarussunnah di Jakarta membuat semua salat dua-dua rakaat
tanpa azan dan iqamah.

Dalil-dalil Inkarussunnah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu dalil al-Qur an
dan alasan akal. Dalil al-Qur an antara lain adalah:
1. Q.S. al-Nahl/16: 89, yang artinya Kami turunkan kepadamu al-Qur an untuk menjelaskan
segala sesuatu.
2. Q.S. al-An âm/6: 38, Tidak Kami alpakan sesuatu pun di dalam al-Qur an.
3. Q.S. al-Mâ idah/5: 3, Pada hari ini telah Ku sempurnakan bagi kamu agamamu dan
telah Ku cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridhai Islam itu sebagai agamamu.
Ketiga ayat ini dan ayat-ayat yang senada menunjukkan bahwa al-Qur an telah
menjelaskan segala sesuatu sehingga al-Qur an tidak memerlukan keterangan
tambahan lagi karena penjelasannya tentang Islam sebagai agama sudah sempurna.
4. Q.S. al-Najm/53: 3-4, Dan ia (Muhammad) tidak bertutur menurut hawa nafsunya.
Ucapan itu tiada lain wahyu yang diwahyukan kepadanya. Yang diwahyukan itu sudah
termaktub dalam al-Qur an.
5. Q.S. al-Haqqah/69: 44-46, Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian

15
Tentang hal ini lihat, Ramli Abdul Wahid, Telaah Terhadap Paham dan Argumen Inkar
Sunnah (Medan: Pusat Penelitian IAIN-SU, 2007); Abduh Zulfidar Akaha, Debat Terbuka Ahl
Sunnah Versus Anti-Hadis (Jakarta: Al-Kautsar, 2006); M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut
Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya (Jakarta: Gema Insani Press, 1995).
197
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010

perkataan atas nama Kami niscaya Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian
Kami akan potong urat tali jantungnya.
6. Q.S. Âli Imrân/3: 20, Q.S. al-Mâ idah/5: 92, 99, Q.S. al-Ra d/13: 40, Q.S. al-Nahl/
16: 35, 82, Q.S. al-Nûr/24: 45, Q.S. al- Ankabût/29: 18, dan Q.S. al-Syûrâ/42: 48.
Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa tugas Nabi Muhammad SAW. hanyalah
menyampaikan pesan Allah SWT. dan tidak berhak memberikan penjelasan apa pun.
7. Q.S. Fathir/35: 31, Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yakni al-Qur an,
maka itulah yang benar (haq). Q.S. Yûnus/10: 36. Kebanyakan mereka tidak mengikuti
kecuali persangkaan belaka. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna
untuk mencapai kebenaran.
8. Hadis itu hanyalah persangkaan yang tidak layak dijadikan hujah.

Adapun dalil aqli-nya adalah sebagai berikut:16


1. Al-Qur an dalam bahasa Arab yang jelas. Orang yang paham bahasa Arab akan
memahami al-Qur an. Kelompok Inkarussunnah mengatakan bahwa ketika seseorang
itu memahami bahasa Arab, ia pun tidak memerlukan penjelasan lain. Sebab, al-
Qur an diturunkan dengan bahasa yang jelas. Sebab itu, Rasul tidak diperlukan dalam
menjelaskan al-Qur an yang memang sudah jelas.
2. Perpecahan umat Islam karena berpegang kepada hadis-hadis yang berbeda-beda.
3. Hadis hanyalah dongeng, karena baru muncul di zaman tabi în dan tabi it tabi în.
4. Tidak satu hadis pun dicatat di zaman Nabi. Dalam periode sebelum pencatatan
hadis, manusia berpeluang untuk melakukan pembohongan.
5. Kritik Sanad baru muncul setelah satu setengah abad Nabi Muhammad SAW. wafat.
6. Konsep tentang seluruh sahabat adil muncul pada akhir abad ketiga Hijrah.

Gerakan Inkarussunnah Liberal di Indonesia


Golongan Inkarussunnah liberal, sebagaimana dikemukakan di atas adalah mereka
yang tergolong mengingkari hadis Nabi SAW. sebagai dasar hukum Islam. Mereka hanya
mengakui dan meyakini dasar hukum Islam satu-satunya adalah al-Qur an. Keyakinan
mereka ini tidak hanya untuk kalangan sendiri, tetapi juga mempengaruhi orang lain
dengan menyebarkan paham mereka melalui berbagai dakwah yang dilakukannya seperti
majelis ta lim, penerbitan buku, sehingga membuka website dan e-mail group (milis) di
internet dengan nama Pengajian_Kantor@yahoogroups.com, dengan moderatornya
bernama Abdul Malik. Milis ini telah menimbulkan reaksi keras dari para pembela hadis,
di antaranya adalah seorang Ustadz bernama Abduh Zulfidar Akaha 17 sehingga terjadi

16
Ibid.
17
Abduh Zulfidar Akaha, adalah Manajer Redaksi penerbit Pustaka al-Kautsar, Jakarta.

198
Sulidar: Liberalisme Golongan Inkarussunnah di Indonesia dan Malaysia

dialog terbuka di internet. Hasil dialog tersebut telah dibukukan oleh Ustadz Abduh
Zulfidar Akaha, dengan judul Debat Terbuka Ahlu-Sunnah Versus Inkar-Sunnah yang
diterbitkan oleh Pustaka Al-Kautsar, Jakarta pada tahun 2006.
Bila membaca buku di atas, maka bagi orang Muslim yang memiliki keyakinan
bahwa Islam berlandasan al-Qur an dan Hadis akan terpicu emosinya. Sebab, uraian-uraian
inkarussunnah dalam buku tersebut terkadang melontarkan kata-kata penghinaan
kepada para ulama hadis, dan juga orang-orang Muslim pada umumnya. Sebagai contoh,
mereka mengatakan bahwa para perawi hadis seperti Bukharî dan Muslim adalah pendusta
dan penipu umat, sehingga umat terkecoh serta banyak menimbulkan perpecahan.
Selanjutnya, ibadah kelompok ini memang tidak berdasarkan hadis, contohnya salat
hanya tiga waktu saja, dengan tata caranya berdasarkan al-Qur an; tidak ada shalat
Idul Fitri dan Idul Adha, sebab tidak ada dalam al-Qur an; khitan tidak ada; dan puasa
dilakukan dari mulai subuh dan malam hari (Isya) baru berbuka, bukan maghrib
sebagaimana dilakukan umumnya masyarakat Islam. 18 Fakta ini jelas membuktikan
penghayatan liberalisme yang mendasari sistem kepercayaan golongan Inkarussunnah.
Ramli Abdul Wahid secara khusus telah mengulas inkarussunnah di Indonesia, pada
sub bab Inkarussunnah, dalam bukunya, Studi Ilmu Hadis.19 Ia menulis bahwa berdasarkan
penelitian Huda Ali, di Indonesia telah lahir Inkarussunnah pada tahun 1978.
Merujuk penelitian Huda Ali, para inkarussunnah memandang al-Qur an sudah
cukup menjadi dasar syariat. Alasannya adalah al-Qur an sebagai wahyu, isinya sudah
lengkap dan sempurna. Karena itu, Islam menurut inkarussunnah tidak perlu lagi kepada
penjelasan tambahan selain al-Qur an. Bahkan, penjelasan tambahan di luar al-Qur an,
seperti Sunnah atau Hadis dapat menyesatkan karena kandungan Sunnah itu sendiri
saling bertentangan antara satu dengan lainnya. Berdasarkan pemahaman liberal
demikian, kelompok inkarussunnah ini menamakan dirinya sebagai kelompok Qurani.
Sementara itu, masyarakat menyebutnya kelompok Inkarussunnah.
Huda Ali melakukan penelitiannya pada masjid al-Burhan yang terletak di sudut
Barat Daya Kompleks Pasar Rumput, Jakarta Selatan. Observasi dan wawancara
dilakukan juga di berbagai tempat pengembangan paham Qur an dan orang-orang yang

Beliau adalah alumnus dari Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir-Hadis, Universitas al-Azhar,
Kairo-Mesir, tahun 1997, selepas itu melanjutkan tingkat Master pada Universitas yang sama,
juga di Institute of Islamic Studies Zamalek, Kairo. Namun, pada tingkat Master-nya, karena
sesuatu hal belum selesai hingga kini. Beliau sangat aktif dalam menulis, baik karya sendiri
maupun terjemahan, serta sebagai editor, di antara karya tulisnya yang sudah diterbitkan
adalah Al-Qur an dan Qira at (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1996); Bila Kiyai Dipertuhankan
(Jakarta: al-Kautsar, 2001); 160 Kebiasaan Nabi SAW. (Jakarta: al-Kautsar, 2002); Terorisme
dan Konspirasi Anti Islam (Jakarta: Al-Kautsar, 2002); 13 Orang Terbaik Dalam Islam (Jakarta:
al-Kautsar, 2004); Debat Terbuka Ahl Sunnah Versus Anti Hadis (Jakarta: Al-Kautsar, 2006).
18
Baca Akaha, Debat Terbuka Ahl Sunnah.
19
Wahid, Studi Ilmu Hadis, h. 262-266.
199
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010

mengetahuinya. Pimpinan Jamaah Masjid al-Burhan pada mulanya adalah seorang


Ustadz yang menganut aliran PERSIS (Persatuan Islam). Ia memiliki kemampuan dalam
ilmu agama dan bahasa Arab sebagai hasil belajarnya di berbagai pesantren. Akan tetapi,
tidak pernah mengikuti pendidikan umum formal, sehingga hanya mampu membaca
huruf Latin. Ustadz ini terkenal di kalangan jamaah yang mengikuti pengajarannya.
Pada tahun 1982, ustadz kelahiran Jakarta yang sudah berusia 50 tahun lebih dan
berprofesi sebagai pengusaha tukang jahit, berubah pandangan keagamaannya dari
paham PERSIS yang sangat kuat berpegang pada sunnah kepada paham Qurani yang
menolak Sunnah dan memandang al-Qur an satu-satunya sebagai dasar Islam. Karena
itu, masyarakat sekitarnya menyebut Inkarussunnah.
Pengembangan pemahaman ini berasal dari sepucuk surat yang disampaikan
kepadanya ketika mengajar di satu masjid di kampung masjid belakang Pasar Rumput.
Surat ini dikirim oleh seorang ustadz yang lebih muda dan telah mengembangkan paham
Qurani di Jakarta sejak tahun 1978. Isinya adalah ajakan masuk al-Qur an. Ustadz
sepakat dengan jemaahnya untuk membalas surat tersebut dengan mengajukan
argumen dari ayat-ayat dan hadis. Demikianlah terjadi polemik keras antara jemaah
ustadz pimpinan Masjid al-Burhan yang berpaham PERSIS dan ustadz langgar Menara
Air yang sejak tahun 1978 mengembangkan paham Qur an.
Ternyata, Ustadz Masjid al-Burhan secara diam-diam telah menelaah argumen
ustadz Langgar Menara Air. Telaahnya terhadap argumen tersebut ternyata membuatnya
berubah sikap. Sejak itu, ia memandang hadis menyesatkan dan menyebabkan
perpecahan di kalangan umat Islam. Pandangan ini menambah keyakinannya terhadap
paham Qur an ketika ia berdiri hendak melaksanakan salat atas jenazah. Menurutnya
terdapat perbedaan cara menyalatkan jenazah menurut Sunnah. Dia khawatir kalau ia
mengikuti cara yang berbeda dengan cara yang lazim dilakukan makmumnya. Situasi
itu menimbulkan kesimpulan dalam dirinya bahwa hadis hanyalah penyebab perpecahan
di kalangan umat. Karena itu, pada akhir tahun 1982 Ustadz ini menyatakan diri masuk
kelompok Islam Qur an. Jemaahnya keberatan atas pernyataan itu dan mendesak agar
ia menjelaskan alasannya. Berbagai alasan dikemukakannya, namun jemaahnya
menolak. Akhirnya, Ustadz tersebut mengeluarkan pernyataan menantang, Kalau ada
ayat al-Qur an yang menyatakan bahwa kita mesti menjadikan hadis Shahih al-Bukharî
menjadi dasar dalam agama Islam, maka saya akan tetap memegang hadis.
Pernyataan di atas jelas menunjukkan keyakinan yang kuat atas paham baru yang
dianutnya, yaitu paham Qur an dan penolakannya terhadap seluruh hadis nabi. Sejak
itu pula, jemaah pengajian-pengajian PERSIS yang diasuhnya menolaknya. Karena itu,
ustadz ini tidak mengajar berkeliling lagi, tetapi hanya mengajar orang-orang yang
datang mempelajari paham Qur an darinya. Orang-orang inilah yang menjadi jemaah
pengajian ustadz tersebut pada setiap pagi dan malam di Masjid al-Burhan. Mereka
membawa al-Qur an dan terjemahan dan ustadz tersebut memimpin untuk membaca,
menelaah, dan menganalisis al-Qur an sesuai dengan pemahaman Qurani.
200
Sulidar: Liberalisme Golongan Inkarussunnah di Indonesia dan Malaysia

Berbeda dengan ustadz Masjid al-Burhan, ustadz Langgar Menara Air menemukan
paham Quraniyah berdasarkan telaahnya sendiri terhadap al-Qur an. Sebelum tahun
1978, ia tidak memihak kepada paham keagamaan tertentu. Dengan telaahnya, Ustadz
ini berkesimpulan bahwa apa yang dipahami oleh mayoritas umat Islam dewasa ini,
terutama tentang taat kepada Allah dan kepada Rasul kurang tepat. Pengertian tentang
Sunnah juga keliru. Menurut beliau, yang dimaksud dengan hadis sebagai wahyu tidak
lain dari al-Qur an. Karena itu, al-Qur an satu-satunya dasar hukum Islam.
Uraian di atas menunjukkan bahwa pemahaman atau doktrin Qurani di Indonesia berasal
dari ustadz Langgar Menara Air. Kemudian, paham liberal ini diterima dan dikembangkan ustadz
Masjid al-Burhan. Doktrin Qurani ini memiliki sejumlah argumen yang antara lain adalah:
1. Kandungan al-Qur an sudah lengkap dan sempurna menjadi pegangan bagi umat Islam.
2. Sunnah atau Hadis yang diyakini berasal dari Nabi SAW. hanyalah penyebab
perpecahan umat Islam. Sebab, hadis-hadis ini bertentangan antara satu dan lainnya.
3. Hadis yang dipercayai sebagai wahyu tidak lain dari al-Qur an yang dibacakan Nabi
kepada umat.

Secara resmi, gerakan Inkarussunnah ini telah dilarang oleh para ulama dan Pemerintah
Indonesia sebagaimana tertera dalam fatwa hasil keputusan Komisi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia Pusat tahun 1983 yang ditetapkan di Jakarta, 16 Ramadhan 1403 H/27 Juni 1994
M. dan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia, nomor KEP. 169/J.A/9/1983 dan nomor
KEP.085/J.A/9/1985. Tokoh-tokoh Inkarussunnah yang menulis tentang penolakannya
terhadap hadis Nabi SAW. yang disebutkan namanya oleh Keputusan Jaksa Agung RI di
atas ialah, Abdul Rahman, Moch. Ircham Sutarto, Nazwar Syamsu dan Dalimi Lubis.
Adapun buku-buku yang menyangkal pemikiran Inkarussunnah yang ditulis oleh
orang Indonesia, antara lain:
1. Ahmad Husnan, Gerakan Inkar al-Sunnah dan Jawabannya, Jakarta: Media Dakwah.
2. M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Jakarta:
Gema Insani Press, 1995.
3. Ali Mustafa Ya kub, Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, Agustus 1995.
4. Abduh Zulfidar Akaha, Debat Terbuka Ahlu Sunnah Versus Anti Hadis, Al-Kautsar,
Jakarta, 2006.
5. Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis, Bandung: Citapustaka Media, 2005

Penolakan tehadap inkarussunnah di Indonesia, pada dasarnya cukup banyak,


terutama mereka menulis di pelbagai majalah dan surat kabar yang terbit di Indonesia.20

20
Dapat disebutkan majalah tersebut antara lain Suara Muhammadiyah, Tabligh, Sabili,
Suara Hidayatullah, Majalah al-Sunnah, dan al-Furqan. Sedangkan surat kabar antara lain
Pelita, Republika, dan Waspada.
201
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010

Berdasarkan ini, jelas masyarakat Islam pada umumnya menolak pemahaman


inkarussunnah yang telah merusak ajaran Islam.

Gerakan Inkarussunnah Liberal di Malaysia


Golongan Inkarussunnah di Malaysia, memiliki pelbagai latar belakang. Adapun
Inkarussunnah di Malaysia bermula pada tahun 1980-an dengan pelbagai alasan. Hanya
saja pada saat itu tidak sebanyak ketika munculnya karya Kassim Ahmad, sehingga beliau
boleh disebut sebagai pelopor inkarussunnah di Malaysia. Hal itu, berdasarkan penelitian
Deden Suparman dalam disertasinya 21 yang berjudul, Inkarussunnah dan Engkar
Sunnah: Suatu Kajian Perbandingan Antara Malaysia dan Indonesia, menyatakan tokoh
yang masyhur dan utama berkenaan dengan Inkarussunnah ialah Kasim Ahmad. 22
Bukunya yang kontroversi berjudul, Hadis: Satu Penilaian Semula menguraikan secara
gamblang penolakannya terhadap hadis nabi sebagai landasan ajaran Islam.
Menurut Kasim Ahmad, apabila umat beriman kepada hadis sebagai sumber rujukan
setelah al-Qur an ialah dasar utama perpecahan umat. Karena itu, dia menyarankan supaya
umat Islam meninggalkan hadis. Sebab, menurutnya hadis ialah palsu dan pikiran-pikiran
yang menyesatkan manusia dari jalan Tuhan. Dengan demikian, menurutnya umat
Islam agar kembali kepada al-Qur an sebagai panduan hidup.23 Pada awalnya, Kasim Ahmad
tertarik pada kajian hadis setelah berguru dengan Rashad Khalifah.24 Selanjutnya, Kasim
Ahmad membentuk Jama ah Ahl al-Qur an, dan menyebarkan pemahamannya melalui
website Jama ah Ahl al-Qur an Malaysia. http://members.tripod.com.25

21
Deden Suparman, Anti Hadis dan Engkar Sunnah: Suatu Kajian Perbandingan Antara
Malaysia dan Indonesia (Disertasi: Jabatan Sejarah dan Tamaddun Islam, 2003), h. 188.
Disertasi ini sangat sedikit membicarakan tentang gerakan anti hadis, baik di Indonesia maupun
di Malaysia. Disertasi ini lebih banyak menguraikan berkenaan dengan hadis dan sunnah
secara normatif.
22
Kasim Ahmad ialah dilahirkan pada tanggal 9 September 1933 di Bukit Pinang, Kedah,
Malaysia. Beliau adalah seorang sarjana lulusan Universitas Malaya (Singapura, 1954-1958;
Kuala Lumpur, 1959-1961). Ijazah Sarjana Muda (B.A. Honours) 1958; Ijazah Sarjana (M.A)
1961. Beliau berpengalaman sebagai pensyarah Bahasa Melayu di School of Oriental & African
Studies, University of London (1960-1962), sebagai pengurus Partai Sosialis Malaya (1968-
1984) dan pernah mendapat anugerah ijazah Doktor Kehormatan oleh Universitas Kebangsaan
Malaysia (1985). Lihat, Kasim Ahmad, Hadis: Satu Penilaian Semula (Petaling Jaya: Media
Intelek, 1986), h. 33.
23
Ibid., h. 65.
24
Ibid., h. 190. Rashad Khalifah adalah pemimpin gerakan anti-hadis di Amerika dan
Eropa. Tujuan gerakan ini ialah menggunting para sarjana-sarjana Barat yang telah memeluk
Islam supaya mereka tidak sampai pada sumber Islam yang sebenarnya yaitu, berpegang
pada al-Qur an dan al-Sunnah (al-hadis). Golongan anti hadis ini menamakan dirinya sebagai
Golongan Qur ani. Lihat, Hj Isa Ismail dan Yusof Hj Wanjor, Inkarussunnah Jarum Yahudi
(Selangor: Thinker s Library SDN. BHD, 1996), h.10.
25
Ishak Hj. Suliaman, Autoriti Hadis, h. 153.
202
Sulidar: Liberalisme Golongan Inkarussunnah di Indonesia dan Malaysia

Dalam hal menanggapi aktivitas yang dilakukan oleh Rashad Khalifah, Syaikh Abd
al- Azîz Baz, yang pada waktu itu sebagai Direktur Umum, Urusan Penyelidikan Fatwa,
Dakwah dan Bimbingan Islam, Saudi Arabia, mengemukakan tausiyahnya dalam
majalah al-Dakwah, yaitu:
Gerakan Inkarussunnah yang dilakukan oleh Rashad Khalifah ialah gerakan batil
dan berbahaya, yaitu mengadakan kegiatan Inkarussunnah dengan cara memutar
balikkan tafsir al-Qur an secara batil. Atas nama Kerajan Arab Saudi, Ibnu Baz
menyerukan kepada seluruh kaum Muslimin/Muslimat agar berhati-hati terhadap
gerakan yang dilakukan oleh Rashad Khalifah dan jangan sampai terpengaruh
dengan ajaran sesat tersebut.26

Apabila ditelaah, gerakan inkarussunnah di Malaysia, memang tidak secepat


sebagaimana yang terjadi di Indonesia. Namun, pengaruh dari Indonesia dan negara-
negara lain yang masuk ke Malaysia boleh jadi tidak membuat cepatnya perkembangan
gerakan Inkarussunnah ini. Kendati demikian, secara resmi paham Inkarussunnah telah
dilarang di Malaysia lewat fatwa ulama Malaysia berdasarkan Akta Pentadbiran Undang-
Undang Islam (Wilayah-Wilayah Persekutuan) tahun 1993, yang ditetapkan dengan jelas
pada tanggal 15 Januari 1996 (JAWI/A/145: PN. (PU2) 530) yang disahkan oleh Tan Sri
Dato Abdul Kadir Bin Talib, Mufti Wilayah-wilayah Persekutuan.
Adapun buku-buku yang dilarang dalam keputusan di atas ialah:
1. Hadis: Satu Penilaian Semula, karya Kasim Ahmad
2. Hadis: Jawapan Kepada Pengkritik, karya Kasim Ahmad.
3. Pendedahan Kebenaran Adalah dari Tuhanmu-Hadis di dalam al-Qur an, karya Idris
Abdul Rahman.
4. Bacaan, karya Othman Ali.
5. The Computer Speaks-God s Message to The World, karya Rashad Khalifah.
6. Risalah Iqra , terbitan Jamaah Al-Qur an Malaysia.

Semua buku tersebut mengandung tentang penolakan terhadap hadis nabi sebagai
landasan ajaran Islam. Adapun buku-buku yang ditulis oleh ulama Malaysia berkenaan
dengan penyangkalan terhadap pemikiran Inkarussunnah, antara lain:
1. Amalududin Darus, Kasim Murtad atau Muallaf: Sanggahan Terhadap Kassim dan
Bukunya Hadis: Satu Penilaian Semula. Petaling Jaya: Pustaka Abad, 1986.
2. Mahyuddin Haji Yahaya (penyunting), Penjelasan Mengenai Hadis dan Kod 19: Reaksi
Terhadap buku Hadis: Satu Penilaian Semula. Kuala Lumpur: Persatuan Bekas
Mahasiswa Timur Tengah, 1986.
3. Panel Penyelidik Hadis MAIK, Salah Paham Terhadap Hadis: Satu Penjelasan. Kota
Bharu: MAIK, 1986.

26
Al-Dakwah (Agustus, 1983).
203
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010

4. Nahmar Jamil, Dari Kod 19 Kepada Anti Hadis: Nahmar Menjawab Cabaran Kassim
Ahmad. Kuala Lumpur: Pustaka al-Mizan, 1986.
5. Muhammad Abdul Rauf, Irrationality of the Anti-Hadis Heretics. Kuala Lumpur: JAKIM, t.t.
6. Said Hj. Ibrahim, Penolakan Terhadap Penilaian Semula Hadis. Kuala Lumpur: Media
Hasda, 1987.
7. Abdul Ghani Shamsuddin dan Engku Ibrahim Ismail, Kedudukan Hadis dalam Islam.
Kuala Lumpur: Persatuan Ulama Malaysia, 1987.
8. Panel Fakulti Pengajian Islam UKM, Jawapan kepada Buku Hadis Satu Penilaian
Semmula. Bangi: FPIUKM, 1988.
9. Mohd. Khir Zahri Abdul Ghani, Ulasan Buku Hadis Satu Peninjauan Semula, 1989.
10. Mahmud Saedon Awang Othman. Al-Sunnah: Kedudukan dan Peranannya di dalam
Syariah Islam. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990.
11. Abd. Halim El-Muhammady, Islam dan al-Hadis: Satu Analisis ke Atas Usaha-Usaha
Merosakkan Peribadi dan Autoriti Rasulullah SAW. Petaling Jaya: ABIM, 1991.
12. Mahmud Zuhdi Abd. Majid, Beberapa Pemikiran Tentang Ijtihad, Islam dan Tajdid.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1994.
13. BAHEIS, Clarification on the Inkarussunnah Concept. Kuala Lumpur: BAHEIS, JPM, 1996.
14. Mustaffa Suhaimi, Kemelut Terkini Anti Hadis, Kuala Lumpur: Milia Publications, 1996.
15. Hj Isa Ismail/Yusof Hj Wanjor, Anti Hadis-Jarum Yahudi, Selangor Darul Ehsan:
Thinker s Library SDN. BHD, 1996.
16. Abdul Fatah Haron Ibrahim, Kod 19 Menyesatkan, Kuala Lumpur: Yayasan Dakwah
Islamiyah Malaysia.
17. Akmal Hj. Mhd. Zain, Membongkar Kekeliruan Firqah Inkar al-Sunnah. Kuala Lumpur :
JAKIM, 1998.
18. Adlan bin Abd. Aziz, Soalan Hadis, Kuala Lumpur, 2005
19. Ishak Hj. Suliaman, at al., Autoriti Hadis Menangani Gerakan Antihadis. Kuala Lumpur :
Penerbit Universiti Malaya, 2007.

Dari gambaran di atas, bisa dikatakan masyarakat Malaysia menolak segala bentuk
pemahaman Inkarussunnah. Kendati demikian, paham Inkarussunnah tidak dapat
dihentikan, karena ia dipublikasikan lewat website yang mereka miliki. Tetapi, dengan
adanya pelbagai buku, majalah, surat kabar dan pelbagai bentuk lainnya yang menolak
paham Inkarussunnah dapatlah mencegah tersebarnya paham Inkarussunnah di
lingkungan masyarakat Islam.

Penutup
Bila ditelah gerakan Inkarussunnah, baik di Indonesia maupun di Malaysia, ada
beberapa hal yang melatarbelakanginya, kendatipun tidak persis sama, yaitu Pertama.

204
Sulidar: Liberalisme Golongan Inkarussunnah di Indonesia dan Malaysia

Gerakan liberalisme Inkarussunnah sangat berbahaya lantaran telah menyelewengkan


akidah dan ibadah Islam yang bersumberkan dalil naqli dan aqli yang sahih. Kedua.
Gerakan liberalisme Inkarussunnah didukung oleh misi-misi missionaris dan orientalis
Kristen dan Yahudi. Ketiga. Tidak valid-nya kesimpulan-kesimpulan dari para pengusung
gerakan ini karena mereka mengeneralisasikan semua kajian hadis. Misalnya, setelah
mengutip satu hadis, kemudian mereka mengemukakan kesalahannya atau
kelemahannya, kemudian mengatakan bahwa seluruh hadis sama seperti itu. Artinya,
jika satu hadis salah, maka hadis lainnya juga salah. Keempat. Melakukan penafsiran
bebas atau liberal terhadap nas al-Qur an. Mereka dalam menafsirkan al-Qur an tidak
memperhatikan Asbab al-Nuzûl, kaidah Ma tsur, dan lain sebagainya. Karena itu, pada
umumnya mereka menyelewengkan ayat tanpa yakin apa sebenarnya makna dari ayat-
ayat yang bersangkutan. Kelima. Penganut paham liberalisme Inkarussunnah tidak
melakukan telaah atau penelitian terhadap kaedah-kaedah yang telah berlaku
sebelumnya, dan membuat penolakan tanpa sebuah bukti yang nyata, hanya menurut
angan-angan saja. Meskipun begitu, biasanya polanya dibuat sedemikan rupa sehingga
pada akhirnya melahirkan wacana untuk diopinikan. Keenam. Penganut gerakan ini
melakukan ibadah menurut perasaan saja, tidak pada dalil-dalil yang nyata. Pada
umumnya, umat Islam menempatkan al-Qur an sebagai hukum dan al-Sunnah sebagai
petunjuk pelaksanaan. Tetapi tidak demikian dengan gerakan Inkarussunnah, boleh
jadi bangkai ikan pun dihukum haram. Hal ini, karena menurut al-Qur an semua
bangkai itu haram. Setelah itu, mungkin saja pada akhirnya nanti ada kejadian sebelum
dikonsumsi, maka ikan itu harus disembelih terlebih dahulu. Ketujuh. Peranan Amerika
Serikat sangat berpengaruh pada gerakan ini dengan tujuan untuk mendistorsi atau
menyelewengkan ajaran Islam.

Pustaka Acuan
Ahmad, Kasim. Hadis: Satu Penilaian Semula. Petaling Jaya: Media Intelek, 1986.
Akaha, Abduh Zulfidar. Debat Terbuka Ahl Sunnah Versus Anti-Hadis. Jakarta: Al-Kautsar.
2006.
Crone, Patricia. Roman, Provincial and Islamic Law. Cambridge: Cambridge University
Press, 2002.
Al-Dakwah. Agustus, 1983.
Al-Fayyumî, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbah al-Munîr fî Gharib al-Syarh al-Kabîr lî
al-Rafi î, juz II. Beirut: Dâr al-Kutub al- Ilmiyah, 1978.
Husnan, Ahmad. Gerakan Ingkar Sunnah dan Jawabannya. Jakarta: Media Dakwah. 1981.
Indopos. 5 Oktober 2003.
Ismail, Hj. Isa dan Yusof Hj. Wanjor. Inkarussunnah Jarum Yahudi. Selangor: Thinker s
Library SDN. BHD, 1996.
205
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010

Ismail, M. Syuhudi. Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya. Jakarta:
Gema Insani Press, 1995.
Al-Khatib, Muhammad Ajjaj. Ushûl al-Hadits Ulûmuhu wa Mustalahuh. Beirut: Dâr al-
Fikr, 1989.
Suara Hidayatullah. 05 Juni 2004.
Suliaman, Ishak Hj. et al.. Autoriti Hadis Menangani Gerakan Anti-Hadis. Kuala Lumpur:
Universiti Malaya, 2007.
Suparman, Deden. Inkarussunnah dan Engkar Sunnah: Suatu Kajian Perbandingan
Antara Malaysia dan Indonesia. Disertasi, Jabatan Sejarah dan Tamaddun Islam
Universiti Malaya, 2003.
Al-Suyuthî, Jalâl al-Dîn. Tadrib al-Rawi fî Syarh Taqrib al-Nawâwî, juz II. Beirut: Dâr al-
Fikr, 1988.
Al-Tahhan, Mahmud. Taisir Mustalah al-Hadits. Beirut: Dâr al-Qur ân al-Karîm, 1979.
Wahid, Ramli Abdul. Studi Ilmu Hadis. Bandung: Citapustaka Media, 2005.
Wahid, Ramli Abdul. Telaah Terhadap Paham dan Argumen Inkar Sunnah. Medan: Pusat
Penelitian IAIN-SU, 2007.
Wakin, Jeanette. Remembering Joseph Schacht (1902 1969). Cambridge: Occasional
Publications, 2003.

206
QISHÂSH: HUKUMAN MATI DALAM
PERSPEKTIF AL-QURAN

Chuzaimah Batubara
ÀÁÂÃÄÅÁÆ ÇÈÁÉÊËÁÌ ÍÎÍÏ ÇÃÐÁÅÑÉÁ ÒÅÁÉÁÓ
ÔÄÕ ÖÊÄÄÑÐ ÍÆÂÁ×ØÁÉ ÙÁÆÁÉ Ú ÛÑØÁ× ÜÆÅÁÅÑÓ ÝÞßàá
ÑÐÁÊÄâ ãÌÃäÁÊÐÁÌåæÈÁÌççÕãçÐ

Abstract: Qishâsh: Capital Sentence in Qur anic Perspective. è éêëìí


îëìï ñò óñôíêñõëêö÷ ëøùöíö éïñúìïï÷ ñõëê óìûùíìï öëôíëôóùôé ñê îëìíü ûëôìïí÷ý þüùóü
üìö ì ôÿ úëê ñò öíìÿôóü ñûûñôëôíö ìôî îëòëôîëêö ô öïì ý üñþëõëêý ìïíüñÿéü
ì ôÿ úëê ñò íüë íëøí ñò êëõëïìíùñôö îëìïö þùíü öÿóü ìô ùööÿëý í÷ûùóìïï÷ý óìûùíìï
óêù ëö ìêë õëê÷ óìêëòÿïï÷ ñÿíïùôëî ùô íüë þñêö ñò ÿêìôùó ëøëéëíëö ìôî öïì ùó
ïëéìï öóüñïìêö üë ìÿíüñê ìêéÿëö íüìí öïì éÿìêìôíëëö ìôî ûêñíëóíö ëõëê÷ öùôéïë
ïùòë ìôî íüÿö óìûùíìï öëôíëôóë öüñÿïî úë ÿöëî ùô õëê÷ êìêë óìöëö ìôî öüñÿïî úë
ìõñùîëî ìö ÿóü ìö ûñööùúïëý úÿí íüùö îñëö ôñí ôëóëööìêùï÷ ëìô íñ öíñû íüë
ûñööùúùïùí÷ ñò ùí ëôíùêëï÷ ô ìîîùíùñôý ùò óìûùíìï öëôíëôóë ùö òùôìïï÷ ÿöíùòùëî ìôî
ëøëóÿíëî íüùö ùö ôñí ìù ëî ìí ùïïùôé ûëñûïë úÿí êìíüëê ìùôíìùôùôé ìôî ûêñíëóíùôé
ïùõëö òêñ íüêëìíëôùôé òñêóëö üùö ûìûëê ùö ìô ìííë ûí íñ ìôìï÷ë íüë ÿêìôùó
õëêöëö íüë ìíùóìïï÷ ûëêíìùôùôé íñ óìûùíìï öëôíëôóëý üñþ íüë÷ öüñÿïî úë ÿôîëêöíññî
ìôî ûêìóíùóëî

Kata Kunci

   âsh, al-Qur an

Pendahuluan
Telah dipahami secara umum bahwa syariat diturunkan oleh Allah dalam bentuk
hukum-hukum taklîfî, baik berupa perintah maupun larangan yang ditujukan untuk
mewujudkan dan melestarikan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di
akhirat. Secara spesifik, pembebanan syariat bagi manusia ditujukan kepada lima hal,
yaitu pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.1 Ketika kelima hal pokok ini
tidak terjamin atau terusik, maka kemaslahatan, keselamatan dan perkembangan individu
manusia, keteraturan sosial dan kesejahteraan masyarakat menjadi mustahil didapatkan.
Jadi, bila salah satu dari lima unsur penting ini tidak terpelihara, akan lahirlah malapetaka

1
Alî Hasballah, Ushûl al-Tasyrî al-Islâmî (Mesir, Dâr al-Ma ârif, t.t.), h. 296.

½¾¿
MIQOT      !"#$%$&'$( )*)

+,-. /,012.,3 45,2 6,2,7 .0.8 29-,:, 5.06,;,0 <,0- 6,=,5 /9>1?16;,0 6,0 /9/9:.@,7,
:./, =A;A; .0. @,712 6.:,;1;,0 6,0 6.=97.05,@ A:9@ ,-,/,8 6,0 29+,:.;0<, 295.,=
5.06,;,0 <,0- /90-,0B,/ ;9:./,0<, 6.@,7,/;,0 ,5,1 @,712 6.@.06,7;,03
C.06,;,0 =.6,0, DjarîmahE <,0- /90-,0B,/ :./, 10217 ;9/,2:,@,5,0 1/,5 /,012.,
59729+15 597+,-. ;9=,6, 61, +9051;8 <,.51F G975,/,8 5.06,; =.6,0, <,0- /90--,0--1
;9=905.0-,0 =7.+,6. Dhaqq al- âdamiEH ;961,8 5.06,; =.6,0, <,0- /90--,0--1 ;9=905.0-,0
=1+:.; Dhaqq AllâhE3 I,0- =975,/, +97@1+10-,0 690-,0 ;9@A7/,5,0 0<,>, 6,0 ,0--A5,
51+1@ /,012.,8 6,0 <,0- ;961, +97@1+10-,0 690-,0 ;9@A7/,5,0 ,-,/,8 ;951710,08 6,0
;9,/,0,0 =1+:.;3J G,6, =7.02.=0<, 6,:,/ @1;1/ =.6,0, K2:,/8 29:171@ 5.06,; =.6,0,8 +,.;
<,0- /9:,0--,7 @,;L@,; =7.+,6. .06.M.61 /,1=10 ;9=905.0-,0 1/1/8 29+90,70<, ?1-,
/9:,0--,7 @,;L@,; 4::,@ NOC38 29+,+ ,6,:,@ @,; 4::,@ 597@,6,= @,/+,L@,/+,LP<, ,-,7
/979;, /90?,1@. 29-,:, :,7,0-,0LP<,3 G909/=,5,0 ?90.2 @1;1/ =.6,0, K2:,/ ,=,;,@ @,;
/,012., ,5,1 @,; 4::,@ 29/,5, @,0<, 1051; /9:.@,5 ;9=905.0-,0 /,0, <,0- :9+.@ 6.71-.;,08
6,0 2.,=, <,0- +97>90,0- 6,:,/ =7A292 9;29;12. 597@,6,= =9:,;1 5.06,; =.6,0,3 Q
N9B,7, -,7.2 +92,78 ;9?,@,5,0 =.6,0, 6,:,/ @1;1/ K2:,/ 597+,-. 6,:,/ +9+97,=, ?90.28
<,.51F G975,/,8 =.6,0, hudûd 29=975. +97R.0,8 /90B17.8 ;9:1,7 6,7. ,-,/, K2:,/ DriddahE8
/9/+97A05,; 597@,6,= =9/97.05,@,0 <,0- 2,@ (bughah)8 /90161@ A7,0- :,.0 +97R.0,
DqadzfE8 /.01/ /.01/,0 <,0- /9/,+1;;,0 Dsyarb al-khamrE8 6,0 /97,/=A;3 S,59-A7.
.0. 6.;9:A/=A;;,0 ;9=,6, 5.06,; =.6,0, <,0- :9+.@ +,0<,; /90--,0--1 ;9=905.0-,0
1/1/ Dpublic interestE8 >,:,1=10 ;9=905.0-,0 .06.M.61 ?1-, 51715 597-,0--13 G9:,;10<,
,;,0 6.9;29;12. A:9@ @,;./ ,5,1 =90-1,2, Dwaliy al-amrE 29+,-,. public authority3 S961,8
=.6,0, qishâsh 29=975. /9/+101@ 6,0 295.,= 5.06,;,0 =9:1;,,0 51+1@ ,5,1 ,0--A5, +,6,03T
N,:,@ 2,51 =97/,2,:,@,0 @1;1/ =.6,0, K2:,/ <,0- /906,5,0-;,0 +,0<,; 79,;2.
6,7. /,2<,7,;,5 1/1/ ,6,:,@ @1;1/,0 /,5. <,0- 597/,21; 6,:,/ +9051; =.6,0,
qishâsh /92;.=10 =9:1;,,0 ,0--A5, +,6,0 ,5,1 51+1@ ?1-, /,21; ;,59-A7. qishâsh3
U,.; 6. K06A092., /,1=10 6. 09-,7,L09-,7, :,.00<,8 29?,; 6,@1:1 =97/,2,:,@,0 qishâsh8
;@12120<, @1;1/,0 /,5.8 59:,@ /9/+,0-;.5;,0 792=A02 6,7. 295.,= :,=.2,0 /,2<,7,;,5
690-,0 +97+,-,. =906,=,5 /92;. 29/1,0<, +97/1,7, =,6, =7A 6,0 ;A057, 597@,6,=
=9:,;2,0,,0 @1;1/,0 /,5. .0.3 V G7,;5.; =90?,51@,0 @1;1/,0 /,5. /,2.@ 595,=
6.?,:,0;,0 1051; +97+,-,. ?90.2 5.06,; =.6,0, 29=975. =9/+101@,08 ;,212 0,7;A+, 6,0
=90<97,0-,03 U,@;,0 =97/,2,:,@,0 .0. 59:,@ /90.0-;,5;,0 21@1 =9769+,5,0 6.

WX!YZ[ \'û al-Hamid Ahmad Mûsâ, Al-Jarâ im wa al- Uqûbât fî al-Syarî ah al-Islâmiyah
(Kairo: Jâmiah al-Azhar, 1975), h. 36-37.
3
Abd al-Qadir Audah, Al-Tasyrî al-Jinâ i al-Islâmi (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1993),
h. 206.
4
Ibid., h. 205.
5
Seputar opini para ahli dan masyarakat dapat dilihat, Hendardi, Hak Hidup dan Hukuman
mati, di dalam http://artikel.sabda.org/hak_hidup_dan_hukuman_mati, diunduh 17 Oktober 2008;
Pan Muhamed Faiz, Hukuman Mati dan Hak untuk Hidup, di dalam http://jurnalhukum.blogspot.


`abcdefda gdhbidjdk Qishâsh lmbnbfdo pdhe qdrdf stjuvtnhew drxybjdoz

{|}~|€‚ ƒ„…ƒ‚†‚ †|‡ˆ‚|‰ }‚| €ƒˆ‚Š }ˆ‚‹…‹‚||Œ‚ „‚Ž‚ ‹€‹…€ ƒ„Ž}‚|‚


†‚ƒ ƒ„Š‚}‚Ž Ž|‡‚Š‚ƒ ƒ„~„€ ~† ‚ˆ {{ ‘†„~’ }‚| ‹‚“‚|”‹‚“‚|
•…‚€‚ Š…‹…† ƒ„Ž}‚|‚ †‚ƒ Œ‚|‰ ƒ„‹‚ƒ }|‰‚| ‹‚€…€ |‚„‹~ƒ‹‚ ††Ž„ƒ‚|Œ‚‹‚|
‹~|€ƒƒ…€~|‚ˆƒ‚€ Š…‹…†‚| †‚ƒ } {|}~|€‚ }‚| †„‹‚ …|ƒ…‹ Ž„ƒ‚†‚ ‹‚ˆ
†|‰‚‡…‹‚| judicial review †‚€‚ˆ‚Š | ‹ –‚Š‹‚†‚Š •~|€ƒƒ…€ —–•˜ } †‚|‚ ‹ƒ|ƒ…‚|
Ž}‚|‚ †‚ƒ }‚|‰‰‚Ž „ƒ|ƒ‚|‰‚| }|‰‚| ™™š ›œžŸ –|…„…ƒ †„‹‚ Š…‹…†‚|
ƒ„€…ƒ „ƒ|ƒ‚|‰‚| }|‰‚| Š‚‹ …|ƒ…‹ Š}…Ž Œ‚|‰ }‡‚†| ~ˆŠ  ‚€‚ˆ ¡¢ { ‚Œ‚ƒ —›˜
™™š ›œž —‘†‚|}†| •}…‚˜ †|Œ‚ƒ‚‹‚|£
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan
umum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa punŸ

–|†‚|‰ ‚|Œ‚‹|Œ‚ ‹~|ƒ„~¤„€ €Ž…ƒ‚„ Š…‹…†‚| †‚ƒ ‚†‚ƒˆ‚Š Ž|ƒ|‰ …|ƒ…‹


†|‰Š‚}„‹‚| Ž†‚Š‚€‚| †‚€‚ˆ‚Š Š…‹…†‚| †‚ƒ | }‚„ „‚‰‚ Ž„€Ž‹ƒ¥ ‹‚}ˆ‚|
€~€‚ˆ }‚| Š…‹…† ƒ„…ƒ‚†‚ Ž„€Ž‹ƒ¥ ‚ˆ”¦…„‚|Ÿ š‚ˆ‚† ‹„‚|‰‹‚ …Ž‚Œ‚ ††‚}…‹‚|
Œ…„€Ž„…}|€ Œ‚|‰ Ž„~‰„€¥ }‚| „‚ˆ€ €€…‚ Ž„‹†‚|‰‚| “‚‹ƒ… …„‰|€ Ž|Œˆ€‚‚|
Ž„†‚€‚ˆ‚Š‚| Œ‚|‰ ƒˆ‚Š †…|§…ˆ €‡‚‹ †‚€‚ ‹ˆ‚€‹ | †„…Ž‚‹‚| €‚ˆ‚Š €‚ƒ… Œ‚|‰
Š‚„…€ }ˆ‚‹…‹‚| ‡‹‚ †‚€Œ‚„‚‹‚ƒ –…€ˆ† {|}~|€‚ ‹Š…€…€|Œ‚ Ž‚„‚ Ž†„Š‚ƒ Š…‹…†
{€ˆ‚† |‚„”|‚„ |‰| †|Œˆ€‚‹‚| Ž„†‚€‚ˆ‚Š‚| Š…‹…† {€ˆ‚† }‚| †|„‚Ž‹‚||Œ‚
} |‰‚„‚ | €§‚„‚ €…|‰‰…Š”€…|‰‰…ŠŸ ¨}‚‹ ƒ„ˆ‚ˆ… ‚|Œ‚‹ €ƒ…} Œ‚|‰ Ž„|‚Š }ˆ‚‹…‹‚|
€§‚„‚ |ƒ|€¥ }‚| §…‹…Ž €„…€ }‚ˆ‚† Ž„†‚€‚ˆ‚Š‚| |Ÿ „‚|‡‚‹ }‚„ Ž†‹„‚| ‚Š“‚
Ž~ˆ†‹ †|‰|‚ Ž„†‚€‚ˆ‚Š‚| | ˆ…† „‚‹Š„ †‚‹‚ ‹‚‡‚| €„…€ †|‰|‚
Š…‹…†‚| †‚ƒ }‚ˆ‚† Ž„€Ž‹ƒ¥ Š…‹…† {€ˆ‚† Ž„ˆ… }ˆ‚‹…‹‚|Ÿ –‚‹‚ˆ‚Š €|‰‹‚ƒ |
†|§~‚ †|‰‚|‚ˆ€€ ‚Ž‚ †‚‹|‚ Š…‹…†‚| †‚ƒ Œ‚|‰ }‚ˆ‚† Š‚ˆ | ƒ„‹‚ƒ }|‰‚|
€ƒˆ‚Š qishâsh }‚ˆ‚† ‚ˆ”¦…„‚| ‚‰‚†‚|‚ †ƒ~} Ž|„‚Ž‚| qishâsh, }‚| ‡|€
‹‡‚Š‚ƒ‚| ‚Ž‚ Œ‚|‰ †…|‰‹| }‹|‚‹‚| €‚|‹€ }|‰‚| qishâsh ‚ƒ‚… Š…‹…†‚| †‚ƒ
€„ƒ‚ ‚‰‚†‚|‚ Ž|„‚Ž‚| qishâsh }‚ˆ‚† ‹~|ƒ‹€ |‰‚„‚ {|}~|€‚Ÿ

Makna Terminologi Qishâsh (Hukuman Mati)


©…‹…†‚| †‚ƒ }‚ˆ‚† Š…‹…† Ž}‚|‚ {€ˆ‚† }‹|‚ˆ }|‰‚| €ƒˆ‚Š qishâsh. –‚‹|‚
—al-qishâsh˜ ƒ„‚†ˆ }‚„ ‹‚ƒ‚ - —qashsha yaqushshu, qashashan˜
Œ‚|‰ ‚„ƒ …†…†|Œ‚ ‚}‚ˆ‚Š —tatabu al- atsar †|‰‹…ƒ ‡‡‚‹˜ }‚|
—al-qashashu˜ „†‚‹|‚ ‹‚€ª‡‡‚‹ €Ž„ƒ ¥„†‚| ‘ˆˆ‚Š£
—lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semulaŸ« š‚„ ‚‹‚„ ‹‚ƒ‚ Œ‚|‰ €‚†‚ ˆ‚Š„

¬­f®¯°°±®°²®vtotrehedoxabnbfxabnbfdoxfdhexqdoxadn³ahfr´ qeboqba µ± ¶nh­itj ¯°°·¸


¹mbnbfdo pdhe heqdn ptfitje ºwtn »tjd´ qdrdf Kompas´ µ¼ ½¾buhbu ¯°°·³
¿ y³À³ drxÁdawe®µ·k ¼³
]^_
MIQOT ÆÇÈÉ ÊÊÊËÆ ÌÇÉ Í ÎÏÈÐÑÒÓÔÓÕÖÓ× ÍØÙØ

ÚÛÜÛ qishshâh ÝÚÞßÛàá ÚÛâãäÛ åâÛäæ çÛäæ èãâÚÞßÛà éãäæÞÚêÜÞ ëãâÞßÜÞìÛ çÛäæ íÞÚÞßÛàÚÛääçÛ
ÜÛàÛë íãéÞ ÜÛàÛë ßãßêÛÞ íãäæÛä ÚâåäåîåæÞß ÚãïÛíÞÛääçÛð ñ ßãèÛæÛÞéÛäÛ ÜãâÜêÛäæ íÛîÛé
èãèãâÛëÛ ÛçÛÜ òîóôêâÛäõ ÝSesungguhnya ini adalah kisah yang
benaráö÷ ÝMaka Sesungguhnya akan Kami kabarkan
kepada mereka (apa-apa yang telah mereka perbuat), sedang (Kami) mengetahui (keadaan
mereka), dan Kami sekali-kali tidak jauh (dari merekaáöø ÝKami
menceritakan kepadamu kisah yang paling baikáö ùú
ÝSesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang
mempunyai akaláöùù íÛä ÛçÛÜ Ýdan menceritakan kepadanya cerita
(mengenai dirinyaáû ùü
ýãéãäÜÛâÛ qishâsh ßãäíÞâÞ èãâéÛÚäÛð ùþ ÛâÜÞäçÛ éãäæÞÚêÜÞÿéãéèÛîÛß
ëãäêéëÛàÛä íÛâÛà íãäæÛä èãäÜêÚ ëãâèêÛÜÛä çÛäæ ßÛéÛû èä Ûäàûr dalam bukunya
Lisân al-Arab menyebutkan: 14
,
maksudnya qishâsh itu suatu hukuman yang ditetapkan dengan cara mengikuti bentuk
tindak pidana yang dilakukan seperti bunuh dibalas bunuh atau pelukaan dibalas dengan
melukai. Mufassir Muhammad Alî al-Sâis menyatakan qishâsh berarti diperlakukan (kepada
seseorang) sama dengan apa yang dilakukan. Ketika seseorang diperlakukan seperti apa
yang dia lakukan, maka itu akan memberikan bekas (dampak yang sama) kepadanya.15
Hukuman mati masuk kategori hukuman qishâsh karena hukuman ini sama
dengan tindak pidana yang dilakukan, yang mengakibatkan hukuman qishâsh tersebut,
seperti membunuh dibalas dengan membunuh dan memotong kaki dibalas dengan
pemotongan kaki pelaku tindak pidana tersebut.
Al-Quran sendiri memberikan isyarat bahwa yang dimaksud dengan qishâsh ialah
sanksi hukum yang ditetapkan dengan semirip mungkin (yang relatif sama) dengan
tindak pidana yang dilakukan sebelumnya. Isyarat semacam ini dapat ditemukan pada
Q.S. al-Baqarah/2: 178-179 dan al-Mâ idah/5: 45.16 Dengan kata qishâsh, al-Quran

7
Al-Râghib al-Ashfahânî, Mufradât Alfâzh al-Qur ân, Cet. III (Beirut: Dâr Asy-Syâmiyyah,
t.t), h. 671.
8
Q.S. Ali Imrân/3: 62.
9
Q.S. al-Arâf/7: 7.
10
Q.S. Yûsuf/12: 3.
11
Q.S. Yûsuf /12: 111.
12
Q.S. al-Qashash/28: 25.
13
Al-Ashfahânî, Mufradât, h. 672.
14
Ibn Manzhûr, Lisân al-Arab, juz VII (Beirut: Dâr Shâdir, t.t.), h. 73.
15
Muhammad Alî as-Sâis, Tafsîr Ayât al-Ahkâm, Jilid II (Beirut: Dâr Ibn Katsîr, t.t.),
h.129.
16
Penjelasan umum mengenai makna ini, lihat Cholidi, Qishâsh , di dalam Ensiklopedia
al-Qur an: Kajian Kosa Kata, ed. M. Quraish Shihab (et al), vol. 3 (Jakarta: Lentera Hati,
2007), h. 772-774.

ÃÄÅ

    Qishâsh   
  
  

!"#$%&'( #!)*+)*$,%$) $-.$ $/$ 0$)* (+1$%'%$) ,!"-$($/ /!1$%' %!2$-$,$) /$($

-$%+%$,)0$ -$)0$ #!)*+%', 3$"$ ($) $%+ $, /!"1$%'$))0$ ,!"-$($/ &+ %4" $)5

6$,$ 7al-qishâsh8 ,!"3$),'# ($1$# 91:;'"$) &! $)0$% < %$1+= 0$+,' ($1$#

;5>5 $1:?$@$"$-ABC DEF= DEG= ($) DG< &!",$ ;5>5 $1:Hâ idah/5: 45. Keempat ayat ini
menggunakan kata qishâsh yang merujuk kepada salah satu dari alternatif sanksi hukum
bagi tindak pidana tertentu. Alternatifnya dimaksud adalah jenis hukuman qishâsh
termasuk hukuman mati dan diyah (hukuman berupa pembayaran dengan sejumlah
unta atau sesuatu yang bernilai ekonomis lainnya). Hukuman dasarnya adalah qishâsh.
Dengan demikian apabila tidak dilakukan kebijakan tertentu oleh yang berhak dan
berwenang maka hukum qishâsh yang harus dilakukan.

Ketentuan al-Qur an Mengenai Qishâsh Hukuman Mati


Ketetapan qishâsh diturunkan Allah kepada Rasulullah SAW. sebagai respons atas
perilaku masyarakat Jahiliyah yang memperlakukan para pembunuh secara berlebihan.
Dalam masyarakat Jahiliyah terkait masalah pembunuhan berlaku ketentuan hukum
adat yang menekankan pada keadilan pribadi suatu sistem yang memprioritaskan balas
dendam. Apabila terjadi pembunuhan atas anggota suatu kabilah atau suku oleh suku
lain, maka suku pihak pembunuh harus membayar dengan nyawa anggotanya, baik ia sendiri
yang membunuh sendiri atau orang lain. Sebelum dendam itu terlampiaskan, hati pihak
korban tidak akan bisa tenang. Akan tetapi, satu nyawa tidaklah cukup untuk membayar
satu nyawa yang terbunuh, karena kabilah atau suku cenderung menilai anggotanya secara
berlebihan. Untuk itu mereka menuntut dua nyawa atau lebih, sebab kabilah secara kolektif
bertanggung jawab atas masing-masing anggotanya.17 Jadi, kecenderungan masyarakat
Jahiliyah adalah mereka tidak saja menuntut dilakukannya pembunuhan atas pelaku yang
membunuh sebagai wujud keadilan, tetapi terkadang juga melaksanakan pembunuhan
beberapa orang bahkan satu suku untuk balasan atas pembunuhan satu orang.
Tradisi ini sangat berbeda setelah kedatangan Islam. Al-Qur an menetapkan untuk
kasus pembunuhan atau melukai badan patokan hukum berupa pembalasan yang adil
dalam artian setara. Dinyatakan secara tegas bahwa satu mata mengganti satu mata,
dan satu nyawa menjadi ganti satu nyawa, tertuang dalam firman Allah :

       

Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (al-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas)
dengan jiwa, mata dengan mata.18

17
N. J. Coulson, A History of Islamic Law (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1964),
h. 18.
18
Q.S. Al-Mâ idah/5: 45.

MIQOT KLMN OOOPK QLN R STMUVWXYXZ[X\ R]^]

_`abcdebf g`hbijbfbbf qishâsh kflki g`mlbnb j`ibhd odlkmkfibf phhbq obhbn

jkmbq bhrsbtbmbquvw xyz{ |bf} e`mekf|dw

                

                 

      

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishâsh berkenaan dengan orang-
orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan
wanita dengan wanita. Maka Barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya,
hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi
maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang
demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa
yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.~

€nbn €ef _bljdm n`f`mbf}ibf od obhbn lbjdmf|b asbâb al-nuzûl b|bl dfd‚ €nbn pek
ƒkqbnnbo def ped „bldn n`mdab|blibf{ …`hbq oddf†mnbjdibf i`gbob ibnd †h`q pek ‡kmbq{

ˆbq|b def peokhhbq def skibdm{ peokhhbq def ‰kqdbq{ obf Šplqb def ‹dfbm obmd Œbdo def kebdm

n`f}`fbd dmnbf phhbq{ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishâsh
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, yakni apabila dilakukan dengan sengaja orang
merdeka dengan orang merdeka‚ ƒ`m`ib n`f}blbibf ebqab gbob abilk dlk bob okb jkik
ebf}jb pmbe jbhdf} e`mg`mbf} gbob nbjb cbqdhd|bq{ e`e`mbgb abilk j`e`hkn oblbf}f|b €jhbn‚

ƒbib{ od bflbmb n`m`ib l`mcbodhbq g`nekfkqbf obf g`hkibbf{ j`qdf}}b n`m`ib n`nekfkq

ekobirekobi obf ibkn abfdlb{ i`nkodbf j`eb}dbf n`m`ib ldobi n`nebhbj blbj j`eb}dbf

|bf} hbdf j`qdf}}b oblbf}f|b b}bnb €jhbn‚ Œbhbq jblk obmd i`okb jkik dlk e`mldfobi e`mh`edqbf

l`mqbobg |bf} hbdf obhbn cknhbq obf qbmlb‚ ‰bflbj n`m`ib n`f}bobibf cbfcd j`ldb j`Žbmb

dfl`mfbh ebqab n`m`ib ldobi m`hb j`qdf}}b n`m`ib n`nekfkq †mbf} n`mo`ib j`ibhdgkf †mbf}

dlk Žknb n`nekfkq ekobi jbcb{ obf n`nekfkq hbidrhbid n`jidgkf hbidrhbid dlk qbf|b

n`nekfkq j`†mbf} g`m`ngkbf‚ _`nkodbf lkmkfhbq b|bl od blbj{ Orang merdeka (dibalas)
dengan (membunuh) orang merdeka, budak dengan budak, dan perempuan dengan perempuan‚ 
Œ`Žbmb knkn b|bl od blbj e`mnbifb g`f`lbgbf j|bmdbl qkiknbf qishâsh
e`mi`fbbf †mbf} |bf} odekfkq{ |bf} odhbikibf o`f}bf j`f}bcb{ |bdlk †mbf} n`mo`ib

odqishâsh ibm`fb n`nekfkq †mbf} n`mo`ib{ ekobi o`f}bf ekobi{ obf abfdlb o`f}bf

abfdlb‚ …`lbgd cdib i`hkbm}b l`mbfdb|b df}df n`nbbibf o`f}bf n`f}}k}kmibf jbfijd

dlk{ obf n`f}}bfldf|b o`f}bf l`ekjbf{ nbib dlk obgbl ode`fbmibf‚

p|bl dfd odnkhbd o`f}bf jkblk gbf}}dhbf |bdlkw ‘hai orang-

’“ ”N•N –MV—–˜–\–™šR› ^œN


žŸ  [û al-Fidâ Isma îl bin Umar
bin Katsîr, Tafsîr al-Qur ân al-Azhîm, juz I (Dâr Thaibah
Linnasyar wa al-Tauzi , 1999), h. 489.
IJI
Chuzaimah Batubara: Qishâsh (Hukuman Mati dalam Perspektif al-Qur an)

orang yang beriman¤¥ ¦§¨© ª«¨©¬­¦§®§¯°§¨ §±§¨¦§ ²³°³ª ¦§¨© §°§¨ ±¬¯«®§¨©°§¨´ µ§®¬
¶§¨©©¬·§¨ ¬¨¬ ­«¸·§²¹¸·§² º··§² ª«¨©§¯§°§¨» ¼§®«¨§ °§ª³ ¯«·§² ª«¨¦§¯§°§¨ °«¬ª§¨§¨ª³

°«¶§±§¹¼³¥ ª§°§ ±«¨©§®°§¨·§² ¶«®¬¨¯§² ½¯§°·¬¾¤ ¿«®¬°³¯ ¬¨¬´

½diwajibkan atas kamu qishâsh berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh¤´

º®¯¬¨¦§¥ º··§² ª«À§Á¬¿°§¨ ¸®§¨©¹¸®§¨© ª³°ª¬¨ ³¨¯³° ª«·§°­§¨§°§¨ qishâsh ­«¶«®¯¬


ÂÃ
°«À§Á¬¿§¨ ª«·§°­§¨§°§¨ ­²§·§¯ ±§¨ ¶³§­§¥ ­«¿§©§¬ª§¨§ ¦§¨© µ¬§ ¾¬®ª§¨°§¨»

              

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.

Ä«ª¿«¿§¨§¨ ¬¨¬ ±¬¯«®§¶°§¨ º··§² ²§¨¦§ °«¶§±§ ¸®§¨©¹¸®§¨© ¦§¨© ¿«®¬ª§¨ °§®«¨§

¬±«¨¯¬¯§­ ½¬ª§¨¤ ª«ª¬·¬°¬ °¸¨­«°³«¨­¬ ¿§²À§ ¦§¨© ¿«®­§¨©°³¯§¨ §°§¨ ª§³ ª«¨«®¬ª§

­«©§·§ ­«­³§¯³ ¦§¨© ±§¯§¨© ±§®¬ º··§²´ Å«®«°§ ¿«®¬ª§¨ °«¶§±§ º··§² ¯«¨¯§¨©

¶«¨­¦§®¬§¯§¨ qishâsh ¬¨¬´


¼§¯§ ½kutiba¤ ±§·§ª ½diwajibkan

atas kamu qishâsh berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh¤ ½¦§¨© ¿«®¿§®¬­ ±«¶§¨
§¯§³ madhmum¤ Á³©§ ª«¨³¨Á³°°§¨ ¿§²À§ ¸®§¨© ¦§¨© ¿«®¬ª§¨ ¬°³¯ ¿«®¶«®§¨ ±§·§ª

¶«·§°­§¨§§¨ °«¯«¯§¶§¨ ²³°³ª ¬¨¬´ Æ«®¿«±§ ±«¨©§¨ °§¯§ ½kataba¤ ¦§¨© ¯«®¯³§¨©

±§·§ª ¾¬®ª§¨¹Ç¦§» ½Allah telah menetapkan Aku dan

rasul-Ku pasti menang¥ ¦§¨© ·«¿¬² °«¶§±§ ¶«¨³¨Á³°§¨ ¯¬±§° ¯«®±§¶§¯¨¦§ ¶«®§¨ ­«®¯§
ÂÂ

ÂÉ
ª§¨³­¬§ ±§·§ª °«ª«¨§¨©§¨ ¦§¨© ¯«®È§¨¯³ª ±¬ ±§·§ª¨¦§´

Ê«¿¬² Á§³²¥ ˪§ª ̦§®§À¬ ª«¨«©§­°§¨ ¿§²À§ °§¯§ ½kutiba¤ ª«¨©¬­¦§®§¯°§¨

­«¿³§² °«ª§­·§²§¯§¨´ ͧ· ¬¨¬ ¯«®·¬²§¯ ±§®¬ °«·§¨Á³¯§¨ §¦§¯ ¿«®³¶§ ¶«¨«¯§¶§¨ ­§¨°­¬ qishâsh

°«¶§±§ ¶«ª¿³¨³² ¦§¨© ±«¨©§¨¨¦§ ·§²¬® ­«¿³§² °«ª§­·§²§¯§¨ ¿§©¬ °«®§¿§¯ ¦§¨© ±¬¿³¨³²

½wali ad-dam¤ §©§® ±§¶§¯ ª«¨³¨¯³¯´ Æ«©¬¯³ ¶³·§ ­«¿§·¬°¨¦§¥ °§®«¨§ ­«¯¬§¶ ¸®§¨© ª³¨©°¬¨

ª«¨Á§±¬ ¶«ª¿³¨³² §¯§³ ¦§¨© ±¬¿³¨³²´ ¼«¯¬°§ ¬§ ª«¨Á§±¬ ¶«ª¿³¨³²¥ ª§°§ qishâsh ª«¨Á§±¬

¿«¿§¨ ¦§¨© ²§®³­ ±¬¯«®¬ª§´ ǧª³¨¥ °«¯¬°§ ¬§ ¯«®¿³¨³²¥ ª§°§ qishâsh ª«®³¶§°§¨ °«ª§­·§²§¯§¨
ÂÎ
¿§©¬¨¦§´ µ«¨©§¨ ±«ª¬°¬§¨ ­¦§®¬§¯ ¬¯³ ª«¨¦«¨¯³² °« ­«·³®³² ·§¶¬­§¨ ª§­¦§®§°§¯´

Jenis Pembunuhan Untuk Pemberlakuan Qishâsh Hukuman Mati


µ§®¬ ¶«¨©©§·§¨ §¦§¯

½Hai orang-orang yang beriman,

ÏÐ ÑÒû Ja far Al-Thabarî, Jâmi`u al-Bayân fî Ta wîl al-Qur ân, juz III (Mu assasah al-Risâlah,

2000), h. 357.
22
Q.S. al-Mujâdilah/58: 2.
23
Muhammad Mutawally Sya râwî, Tafsîr al-Sya râwî, jilid V (t.t.p., t.t.), h. 758.
24
Ibid.
¡¢£
MIQOT Ö×ØÙ ÚÚÚÛÖ Ü×Ù Ý ÞßØàáâãäãåæãç Ýèéè

diwajibkan atas kamu qishâsh berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka
dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanitaêëìí îïðï ñòïóï
ôõö÷ øïù úïôûõð ûüîïýïú þï÷ÿï ï ïú õùõ óüùüúïîýïù ýüÿïõþïù óüùüðïîýïù qishâsh ñùúñý

îüóþñùñ÷ïù ïù ûüùïï ïúïñ øõùõïúýïùë ùïóñù úüðïøõ îüðþüøïïù îüóï÷ïóïù øõ

ïùúïðï îïðï ñòïóï øïù îïýïð ÷ñýñó óüùüùïõ þüùúñý øïðõ îüóþñùñ÷ïù ûüùïïë

ïîïýï÷ ðïù ïù óüðøüýï øõ qishâsh ïúïû îüóþñùñ÷ïù ïù øõï òïýñýïù úüð÷ïøïî

ûüðïù ÷ïóþï ïúïñ úõøïýë ïúïñ ðïù óñûòõó ýüîïøï ðïù ýïôõð ïúïñ ï÷òõ øõóóõ

óïó þû Hanîfah menilai bahwa ayat di atas bersifat umum untuk seluruh
pembunuhan, baik yang dilakukan oleh orang merdeka kepada seorang hamba dan
sebaliknya, ataupun seorang dzimmi kepada seorang Muslim dan sebaliknya. 26 Selain
dasar pikiran di atas, Imam Abû Hanîfah juga menyatakan bahwa pernyataan

        

hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu qishâsh berkenaan dengan orang-
orang yang dibunuh

dan ungkapan

orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita

merupakan dua ungkapan yang terpisah. Masing-masing merupakan kalimat yang


sempurna dan berdiri sendiri. Kalimat pertama menjelaskan secara umum mengenai
hukum qishâsh, sedangkan kalimat kedua merupakan penjelasan atau penyangkalan
terhadap kekeliruan orang-orang jahiliyah yang pada waktu itu, sering melakukan
pembalasan yang tidak seimbang. Sebagaimana yang tersebut di dalam asbâb an-nuzûl
ayat ini; yaitu apabila ada salah seorang dari kelompok mereka yang terbunuh maka
mereka menuntut balas lebih dari satu orang; yakni dengan membunuh beberapa orang.
Bukan merupakan pembatasan status sebagai hamba dengan hamba, melainkan
pembatasan satu banding satu.27
Sedikit berbeda, Sya râwî menyatakan bahwa kata secara zahir
menunjukkan bahwa orang merdeka tidak dibunuh atau dihukum mati (qishâsh) karena
membunuh hamba-sahaya. Namun, bagaimana halnya jika seorang hamba membunuh
orang merdeka, atau seorang wanita membunuh laki-laki? Pada dasarnya maksud ayat

25
Q. S. al-Baqarah/2: 178.
26
Alî as-Sâis, Tafsîr Ayât al-Ahkâm, jilid II (Beirut: Dâr al-Qâhirah, t.t.), h. 131.
27
Ibid.
ÓÔÕ
Chuzaimah Batubara: Qishâsh (Hukuman Mati dalam Perspektif al-Qur an)

               


            !    qishâsh
        " #   #    
    #   #         
                
 #  qishâsh   $        
      #%&
'       () '#âfi i, dan Ahmad ibn Hambal) berpendapat
bahwa seorang merdeka tidak boleh diqishâsh karena membunuh hamba sahaya. Dari
ayat 178 surah al-Baqarah di atas, terdapat pengertian bahwa Allah mewajibkan persamaan
karena di antara makna qishâsh itu sendiri adalah seimbang. Adapun penggalan berikut
ayat (orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita) merupakan penjelasan
selanjutnya dari pengertian seimbang untuk penjelasan awal ayat. Dengan kata lain,
ayat tersebut harus dipahami secara menyatu. Oleh karena di antara orang merdeka dan
hamba sahaya tidak seimbang maka seorang merdeka yang membunuh hamba sahaya
tidak dapat dihukum qishâsh.29 Jumhur ulama dan Imam Qurthubi juga berpendapat bahwa
orang Muslim tidak diqishâsh karena membunuh orang kafir, sebagaimana tertuang
dalam hadis nabi: (Tidak dibunuh seorang Muslim karena membunuh
orang kafir). (HR. Bukhari). 30

Dalam kasus ini terlihat bahwa para ulama dan Imam Qurthubî meletakkan ketentuan
ayat (diwajibkan atas kamu qishâsh berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh) dan juga ayat
(dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas)
dengan jiwa,31 sebagai lafaz âm (umum) yang kemudian ditakhshîsh (dikhususkan) oleh
hadis di atas.
Beberapa riwayat menyebutkan bahwa (diwajibkan
atas kamu qishâsh berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh) dinasakh oleh ayat 45
surah al-Mâ idah (dan Kami telah tetapkan
terhadap mereka di dalamnya (al-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa) yang
turun sesudahnya dan yang menjadikan pembalasan pembunuhan terhadap suatu jiwa
dengan dihukum bunuh juga si pelaku sendiri secara mutlak.
Akan tetapi, menurut Sayyid Quthb, surah al-Baqarah ayat 178 itu memiliki tempat
yang berbeda dengan ayat an-nafsu bin nafsi (jiwa dibalas dengan jiwa, Q.S. al-Mâ idah/

Sya râwî, Tafsîr al-Sya`râwî, h. 759.


28

29
Abû Abd Allâh Muhammad bin Ahmad al-Anshârî al-Qurthubî, al-Jâmi` al-Ahkâm al-
Qur`ân, juz IX (Cairo: Dâr al-Hadîts, t.t.), h. 636.
30
Ibid., h. 636-637.
31
Q.S. al-Mâ idah/5: 45.


MIQOT -./0 1112- 3.0 4 56/789:;:<=:> 4?@?

AB CA DEF GEHIFJKGEHIFJ GLGIMINI OIDEFJ PEFJ OLQOLDER SPET ITU


OIDEFJFPE EDEMEV WLQGUHUVEF PEFJ OLQHIXET WLQHLYQEFJEFZ DEQI HLHLYQEFJ TLQTLFTU TLQVEDEW
HLHLYQEFJ TLQTLFTU WUMEZ ETEU DEQI OLOLQEWE YQEFJ TLQTLFTU TLQVEDEW HLYQEFJ PEFJ
TLQTLFTU ETEU TLQVEDEW OLOLQEWE YQEFJ TLQTLFTUR [ENEZ HI WLMENU TIFDEN WIDEFE ITU DI\ETUVI
VUNUGEF NEMEU DIE GLGOUFUV TEDI DLFJEF HLFJE\E VLFDEN GLGOUFUVR SDEWUF EPET PEFJ
GLFPETENEF ]orang merdeka dengan
orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita^ EDEMEV DEMEG NYFTLNH
WLMEFJJEQEF NYMLNTIXZ HLWLQTI NLEDEEF DUE HUNU SQEO \EVIMIPEVZ DI GEFE TLQ\EDI WLMEFJJEQEF
YMLV HETU NLMUEQJE ETEH NLMUEQJE PEFJ MEIFZ HETU NEOIMEV ETEH HETU NEOIMEVZ ETEU HETU \EGEEV
ETEH HETU \EGEEVR _LVIFJJEZ TLQ\EDIFPE WLMEFJJEQEF ]WLGOUFUVEF^ ITU OIHE ETEH YQEFJ GLQDLNEZ
OUDENZ DEF `EFITER aEQLFE ITUZ EWEOIME TIGOEFJEF VUNUG qishâsh DITLJENNEF DEF EDE YQEFJ
GLQDLNE PEFJ DIOUFUV YMLV HETU WIVENZ OEMEHEFFPE IEMEV VEQUH DIOUFUV WUME HLYQEFJ GLQDLNE
DEQI WIVEN WLGOUFUV ITUZ HLYQEFJ OUDEN DLFJEF HLYQEFJ OUDENZ DEF HLYQEFJ `EFITE DLFJEF
HLYQEFJ `EFITER _LOEO NEMEU TIDEN OLJITUZ GENE OEJEIGEFE ENEF DEWET DIMENHEFENEF
qishâsh ]VUNUG WLGOEMEHEF^ TLQVEDEW NLEDEEF HLWLQTI IFI DI GEFE HETU NLMYGWYN GLMENUNEF
NL\EVETEF TLQVEDEW NLMYGWYN MEIFbcd eEQI WLFDEWET DI ETEHZ \LMEH OEV`E _EPPID fUTO
gLFDLQUFJ GLFEXINEF WLnasakhEF ]WLFJVEWUHEF^ EPET CA HUQEV EMK[EIDEV TLQVEDEW
EPET hij EMKkElEQEVZ DEF TIDEN EDE NYFTQEDINHI DI DEMEG EPETKEPET qishâshR

Pemaafan dan Penetapan Diyat


aLMEF\UTEF EPET hij HUQEV EMKkElEQEV PEFJ OLQOUFPIB
]Maka barang siapa yang mendapat suatu
pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang
baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan
cara yang baik (pula)^Z GLF\LMEHNEF OEV`E qishâsh ITU TIDEN DIMENUNEFZ OIME PEFJ
GLGOUFUV GLFDEWET NLGEEXEF DEQI EVMI `EQIH PEFJ TLQOUFUVZ PEITU DLFJEF GLGOEPEQ
DIET ]JEFTI QUJI^ PEFJ `E\EQR aLUGUGEF EPET PEFJ WEDE E`EMFPE GLFLTEWNEF NL`E\IOEF
qishâsh NLGUDIEF DIOLQI WLFJNVUHUHEF ]takhshîsh^Z PEITU OIME DIGEEXNEF YMLV HEUDEQEFPE
]EVMI `EQIH NYQOEF^ GENE qishâsh DIOETEMNEFR
mLGOUFUVEF TLQJYMYFJ TIFDEN WIDEFE PEFJ HLgEQE MEFJHUFJ GLFJJEFJJU XIHIN
HLHLYQEFJZ `EMEUWUF NLWLFTIFJEF UGUG \UJE TLQJEFJJU DI HIFIZ TEWI HIXETFPE TIDEN
MEFJHUFJR mLMENUFPE ENEF DITUFTUT ETEU DIOLQINEF EGWUFEF ]GEEX^ ETEH TIFDENEF PEFJ
DIMENUNEFFPE TLQHLOUT YMLV NYQOEF PEFJ OLQHEFJNUTEF ETEU NLMUEQJE NYQOEFR nE ENEF
DIWQYHLH DEMEG NLWLFTIFJEF HI NYQOEF DEF NLMUEQJEFPEZ OEIN DEMEG WLFPLMIDINEF DLMIN
WIDEFE ]investigating the crime^Z WLFJUHUTEF ETEU WLFUFTUTEF VUNUG qishâsh ]prosecuting
the punishment^R mLGLQIFTEV HLOEJEI public authority DEMEG VEM IFI TIDEN GLGIMINI
`L`LFEFJ UFTUN GLGOLQINEF IFTLQoLFHIR

pq rstt7u v6wx=y Fî Zhilâl al-Qur âny z6{ 2y al-Maktabah al-Syâmilahy x0 @|}0


*+,
Chuzaimah Batubara: Qishâsh (Hukuman Mati dalam Perspektif al-Qur an)

‚ƒ‚ „…‚†‡‚ˆ‚‰Š‚‹ Œ‰†ˆ†ƒ …Ž‚‚‰ †‘‚Œ‚ ƒˆ†ƒ‚Œ‚ †‘‚Œ‚ ’Š‚“Š‚” Œˆ†•†–


–—‚‡‚ …‚†‡‚ˆ‚ …‚‚Œ‚˜ –‚ˆ‰‚ qishâsh ƒ† ”‚‰Š‚ Žˆ‘‚–† ƒˆ”‚‡‚— ™ˆ‚‰ Š‚‰ …‚‚Œ‚
…‚•‚š ›‡‚– ‡Žˆ‘‚–†–‚‰ qishâsh Ž‚ ™ˆ‚‰ œ…‘‚Œ Š‚‰ ƒ‘‚” ŒŒŽ†‰†” …™ˆ‚‰ –‚“ˆ ‡ŒŒšžž
Ÿ‚–‰‚ …‚†‡‚ˆ‚ ‰ •†‚ Ž‚‰Š‚– ‡—‚”‚Œ ‡‰‚‰ …‚†‡‚ˆ‚ –‚‰‡†‰ ……†‚ ‡‰‚‰ “ˆŒ‚‰
 ‘‘‚”¡ „dan barangsiapa dibunuh secara
zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya‹šž¢
 …‚‘ ‡‚ˆ –‚ƒ‚ ‚‡‚‘‚” Š‚‰ ŒŒ‘– —ˆƒ‚‘‚‰ ‡‚ˆ‚” „–‚‰‡†‰ …‚ƒ† Ž† ‡‚‰ ‚Š‚”‹˜
‚ƒ‚† …‚‘‚” …‚ƒ† ‡‚ˆ—‚‡‚‰Š‚ „…Ž† …‚•‚ ‚ƒ‚† …‚Š‚”‹˜ ‡‚‰ •†‚ …‚ƒ† …†…†‚‰šž£ ¤‚‘‚Œ ‚‘¥¦†ˆ‚‰
ƒˆ–‚‡‚‰ ‡•†Œ—‚ –‚ƒ‚ Žˆ‚ˆƒ …‚†‡‚ˆ‚ …–‚‰‡†‰‚‰˜ ‡‚‰ ƒˆ–‚‡‚‰ ŽˆŒ‚–‰‚ …‚†‡‚ˆ‚
…Œ‚‰ …—ˆƒ “ˆŒ‚‰¥§Š‚¡ „Sesungguhnya mukmin itu bersaudara).
„¦š’š ‚‘¥¨†•†ˆât/49: 10). Pada dasarnya persaudaraan itu adalah persaudaraan seayah.
Sedangkan kata juga didapati dalam Al-Quran yang berarti persaudaraan tanpa
adanya hubungan darah,
(Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir (orang-orang
munafik) itu, yang mengatakan kepada saudara-saudara mereka).36 Apabila persaudaraan itu
semakin erat yang ditandai dengan iman yang sama, maka ketika itu berubah dari
menjadi . Seakan-akan persaudaraan seiman itu seperti persaudaraan seayah. Firman Allah,

(Dan ingatlah nikmat Allah atas kamu ketika kamu bermusuhan maka Allah menyatukan
hati kamu maka jadilah kamu bersaudara berkat nikmat-Nya).37 Kata dalam ayat ini
menunjukkan bahwa masih terdapatnya pertentangan dan pertikaian antara mereka.
Oleh karena itu, Allah tidak menyebutkan kata dalam menjelaskan tali persaudaraan
yang terjalin antar mereka.
Terkait dengan pemikiran ini, ungkapan (saudaranya) pada Q.S. al-Baqarah/
2: 178 menurut Sya rawi mengisyaratkan suatu keindahan makna Al-Quran. Allah
menggunakan kata ini untuk melunakkan hati mereka yang sedang bertikai, serta
menunjukkan bahwa sekalipun pertikaian terjadi, namun persaudaraan seiman jangan
sampai terputus. Meskipun saudara berhak menuntut balas karena korban memiliki
aliran darah yang sama, namun Allah lebih mengedepankan hubungan seiman dari
semua hubungan persaudaraan.38
Menurut Imam Syafi i, ayat ini menegasi tentang kemaafan untuk konteks tindak
pidana pembunuhan dengan sengaja.39 Tawaran pemberian maaf kepada pelaku pembunuhan

33
Al-Anshârî al-Qurthubî, al-Jâmi al-Ahkâm al-Qur ân, juz IX, h. 636-637.
34
Q.S. al-Isrâ/17: 33.
35
Al-Raghib al-Ishfahânî, Mufradât Alfâzh al-Qur ân, h. 68.
36
Q.S. Âli Imrân/3: 156.
37
Q.S. Âli Imrân/3: 103.
38
Sya râwî, Tafsîr al-Sya râwî, h.761.
39
Muhammad ibn Idrîs asy-Syâfi î, al-Umm, juz V (Beirut: Dâr al-Fikr, 1985), h. 4, 6, 13.
~€
MIQOT ¬­®¯ °°°±¬ ²­¯ ³ ´µ®¶·¸¹º¹»¼¹½ ³¾¿¾

ÀÁÂÃÄÂ ÅÁÂÃÄÆÄ ÇÂÇ ÈÄÃÇÉÈÄÃÇ ÀÇÈÄÊÄËÌÁÈÄÍÄÂÃÇ ÎÈÁÏ ÐÁÂÎÑÁÂÄ ÒÄÂÃ ÊÁËÆÄÀÇ ÓÄÀÄ ÅÁÌÄÃÇÄÂ
ÑÄÅÒÄËÄÍÄÊ ÔÄÏÇÈÇÒÄÏ ÀÇÑÄÂÄ ÑÁËÁÍÄ ÑÁÂÕÂÊÕÊ ÀÁÂÃÄÂ ÊÁÃÄÅ ÄÃÄË ÅÁÊÇÄÓ ÎËÄÂÃ ÒÄÂÃ
ÑÁÑÌÕÂÕÏ ÎËÄÂà ÈÄÇ ÆÕÃÄ ÀÇÌÕÂÕÏÖ×Ø
ÔÄÕÏ ÅÁÌÁÈÕÑ ÑÄÅÄ ÔÄÏÇÈÇÒÄÏÙ ÕÑÄÊ ÚÄÌÇ ÛÕÅÄ ÆÕÃÄ ÅÕÀÄÏ ÑÁÂÃÁÂÄÈ ÄÀÄÂÒÄ ÏÕÍÕÑ
qishâsh ÒÄÂÃ ÀÇÌÁËÇÍÄÂ ÍÁÓÄÀÄ ÓÁÈÄÍÕ ÓÁÑÌÕÂÕÏÄÂÖ ÚÄÑÕÂÙ ÍÁÊÁÂÊÕÄÂ ÏÕÍÕÑ ÑÁËÁÍÄ
ÊÇÀÄÍ ÑÁÂÃÁÂÄÈ ÄÀÄÂÒÄ ÓÁÑÌÁËÇÄÂ ÑÄÄÐ ÌÄÃÇ ÒÄÂÃ ÑÁÂÃÏÇÈÄÂÃÍÄÂ ÂÒÄÜÄ ÎËÄÂÃ ÈÄÇÂÖ
ÝÁËÊÎÈÄÍ ÌÁÈÄÍÄÂÃ ÀÁÂÃÄÂ ÍÁÊÁÂÊÕÄÂ ÇÂÇÙ ÓÄÀÄ ÕÑÄÊ ÚÄÌÇ ÞÅÄ ÆÕÅÊËÕ ÓÁÑÌÁËÇÄÂ ÑÄÄÐ
ÑÁËÕÓÄÍÄ ÅÁÌÕÄÏ ÍÁÜÄÆÇÌÄ ÄÃÄÑÄ ÒÄÂà ÏÄËÕÅ ÀÇÈÄÍÅÄÂÄÍÄÂÙ ÀÄ qishâsh ßÁÂÀÁËÕÂÃ
ÀÇÈÄËÄÂà ÕÂÊÕÍ ÀÇÊÁËÄÓÍÄÂÖ àÁÊÁÈÄÏ ÞÅÈÄÑ ÀÄÊÄÂÃÙ ÍÁÜÄÆÇÌÄ qishâsh ÓÄÀÄ ÕÑÄÊ ÚÄÌÇ
ÛÕÅÄ ÀÄÂ ÍÁÜÄÆÇÌÄÂ ÓÁÑÌÁËÇÄÂ ÑÄÄÐ ÓÄÀÄ ÕÑÄÊ ÚÄÌÇ ÞÅÄ ÀÇÓÄÀÕÍÄÂÙ ÅÁÏÇÂÃÃÄ ÍÁÀÕÄ
ÍÁÜÄÆÇÌÄ ÇÊÕ ÑÁÂÆÄÀÇ ÅÁÑÄßÄÑ ÊÄÜÄËÄ ÄÊÄÕ ÓÇÈÇÏÄ ÏÕÍÕÑ ÀÁÂÃÄ ÊÄÑÌÄÏÄ ÊÄÜÄËÄÂ
ÓÁÑÌÁËÇÄÂ ÀÇÄÊ ÌÄÃÇ ÍÁÈÕÄËÃÄ ÍÎËÌÄÂ ÕÂÊÕÍ ÑÁÂÁÂÊÕÍÄÂ ÓÇÈÇÏÄÂ ÏÕÍÕÑÂÒÄ ÍÄËÁÂÄ
ÅÄÈÄÏ ÅÁÎËÄÂà ÀÇ ÄÂÊÄËÄ ÑÁËÁÍÄ ÀÇÈÁÂÒÄÓÍÄ ÂÒÄÜÄÂÒÄ ÅÁßÄËÄ ÅÁÂÃÄÆÄ ÎÈÁÏ ÎËÄÂà ÈÄÇÂÖ×á
âÁÊÁÂÊÕÄ ÓÁÑÌÁËÇÄ ÑÄÄÐ ÀÇÓÁËÊÁÃÄÅ ÎÈÁÏ ÏÄÀÇÅ ÚÄÌÇ ÒÄÂà ÀÇËÇÜÄÒÄÊÍÄ ÎÈÁÏ ÄÊÉãÇËÑÇäÇ
ÀÄËÇ åÌÕ àÒÕËÄÇÏ ÄÈÉâÄÌÇ ÒÄÂà ÇÅÇÂÒÄæ
×î

Barangsiapa yang salah seorang anggota keluarganya dibunuh maka keluarganya dihadapkan
pada dua pilihan hukum, jika mereka mau, mereka dapat mengeksekusi mati (qishâsh) si
pembunuh, dan jika mereka mau, mereka dapat menerima diat. çèéÖ åÈÉãÇËÑÇÀäÇêÖ

ëÁÑÄÄÐÄ ÇÂÇ ÀÁÂÃÄ ÀÇÊÁËÇÑÄÂÒÄ ÀÇÄÊ ÎÈÁÏ ÍÁÈÕÄËÃÄ ÊÁËÌÕÂÕÏ ÀÄËÇ ÓÁÑÌÕÂÕÏ
ÅÁÌÄÃÄÇ ÇÑÌÄÈÄÂ ÅÁÏÇÂÃÃÄ ÓÁÈÄÍÕ ÍÁÆÄÏÄÊÄÂ çÓÁÑÌÕÂÕÏê ÇÊÕ ÊÇÀÄÍ ÀÇÌÄÈÄÅ ÌÕÂÕÏÖ åÓÄÌÇÈÄ
ÍÁÈÕÄËÃÄ ÅÇ ÊÁËÌÕÂÕÏ ÇÊÕ ÑÁÂÁËÇÑÄ ÀÄÂ ÑÁËÁÈÄÍÄÂÂÒÄÙ ÑÄÍÄ ÀÇÄ ÀÄÓÄÊ ÑÁÂÕÂÊÕÊ ÓÁÑÌÄÒÄËÄÂ
ÇÊÕ ÀÁÂÃÄ ßÄËÄ ÒÄÂà ÌÄÇÍÙ ËÁÈÄ ÏÄÊÇÙ ÀÄ ÅÇÍÄÓ ÍÄÅÇÏ ÅÄÒÄÂÃÖ ìÄ ÅÁÌÄÈÇÍÂÒÄÙ ÅÇ ÓÁÑÌÕÂÕÏ
ÄÊÄÕ ÜÄÈÇÂÒÄ ÜÄÆÇÌ ÑÁÑÌÄÒÄËÂÒÄ ÀÁÂÃÄÂ ÌÄÇÍ ÀÄÂ ÅÁÑÓÕËÂÄÙ ÕÂÊÕÍ ÑÁÑÌÕÍÊÇÍÄÂ
ÍÁÆÁËÂÇÏÄÂ ÏÄÊÇÙ ÑÁÂÃÎÌÄÊÇ ÈÕÍÄ ÆÇÜÄÙ ÀÄÂ ÑÁÂÃÕÄÊÍÄÂ ÕÂÅÕËÉÕÂÅÕË ÓÁËÅÄÕÀÄËÄÄÂ ÀÇ
ÄÂÊÄËÄ ÑÁËÁÍÄ ÒÄÂÃ ÑÄÅÇÏ ÏÇÀÕÓÙ çhendaklah
(yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma af)
membayar (diat) kepada yang memberi ma af dengan cara yang baik (pula êÖ×í ìÁÂÃÄÂ
ÍÄÊÄ ÈÄÇÂÙ ÓÁÑÌÄÒÄËÄÂ ÀÇÒÄÊ ÀÇÑÇÂÊÄ ÀÁÂÃÄÂ ÌÄÇÍÙ ÕÑÓÄÑÄÂÒÄ ÀÁÂÃÄÂ ÊÇÀÄÍ ÑÁÂÀÁÅÄÍ
ÒÄÂÃ ÑÁÑÌÕÂÕÏÙ ÀÄÂ ÒÄÂÃ ÑÁÑÌÕÂÕÏ ÏÁÂÀÄÍÈÄÏ ÑÁÑÌÄÒÄËÂÒÄ ÀÁÂÃÄÂ ÌÄÇÍÙ
ÕÑÓÄÑÄÂÒÄ ÊÇÀÄÍ ÑÁÂÄÂÃÃÕÏÉÂÄÂÃÃÕÏÍÄÂÂÒÄÖ
åÈÈÄÏ ÊÁÈÄÏ ÑÁÑÌÁËÇ ÂÇÍÑÄÊ ÍÁÓÄÀÄ ÎËÄÂÃÉÎËÄÂà ÒÄÂà ÌÁËÇÑÄ ÀÁÂÃÄ ÅÒÄËÇÄÊ

ïð Ibid¯ñ ò¯ ó¯
ïô Ibid.ñ ò¯ ¿¾¯
ïõ ö®·÷¶½»ø îùñî Sunan al-Tirmîdzîñ úµù ±¬ ûü¹¶½µýþ ¸âr al-Fikr, 1995), h. 56.
43
Q.S. al-Baqarah/2: 178.

©ª«
Chuzaimah Batubara: Qishâsh (Hukuman Mati dalam Perspektif al-Qur an)

  
 
   
     
   
 
 
   yang demikian itu adalah suatu
keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat  
     


    
 
   
         

qishâsh dan Kami telah tetapkan terhadap
mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa  
       

 

   
 

    
 
  

  

 
     !  
   

   "  
  
    
   
    
   



   

      qishâsh     
   


  
  

   Barangsiapa
yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih  
#
 

   
 
  

       
  
 $    

   
      
      qishâsh             
%
 
   
   "   

  

 

 
 
 
  

 

  



  
   
    
   


    

    !

  
 
 
  &
' ( 
   
        


         
   !  %
  
 !  

     
   )     * 
  
 
 
  qishâsh      %
  

 
   

 

+   

  


  

   ,  
   
  
  

 )
     

 
  - '
  
  
) 

 
  
qishâsh 
 
  
         
  
  
 
  )    

 
 

      
  
  qishâsh    

  
   +  
     
 
    

  "
     


    
 

 ! ! "! !    

.. Ibid.
./ 0121 3456â idah/5: 45.
46
Q.S. al-Baqarah/2: 178.
47
Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur ân, juz I, al-Maktabah al-Syâmilah, h. 136
48
Ibid.
ÿ 
MIQOT 9:;< ===>9 ?:< @ AB;CDEFGFHIFJ @KLK

MNOP NQRS TRMRPU NUNVPW XPUY QNZP[ \PUXP[ ZN]PWP^N _V`W \PUXP[ _aPUY XPUY ^`UY[aNQN[
ZPU ^`U_VP[ [`Q`UQRPU ]NZPUP bcVP^ Q`aRQP^P qishâsh WR[R^PU ^PQN c`dPaP ea_UQPV
QPU]P ^`^]`VPMPaNUXPS
fPZNg cPUYPQ cRVNQVPW ^`U`aN^P ]`UZP]PQ XPUY ^`UYPQP[PU \PWOP ]`U`aP]PU
WR[R^PU ^PQN ZPVP^ WR[R^ bcVP^ \`UPah\`UPa ^`VPUYYPa WP[ PiPcN ^PURcNPSjk l`a`[P
QNZP[ ^`^PWP^N \PWOP WR[R^PU ^PQN PQPR qishâsh \R[PUVPW [`]RQRcPU P[WNa QPU]P
ZP]PQ ZN`VP[[PUS mPa`UPg bcVP^ ^`UPOPa[PU ZNXPQ c`\PYPN YPUQN ZPaN qishâshg ZPU
QNUZP[PU ]`^\`aNPU ^PPe PZPVPW c`\RPW ]aNVP[R XPUY cPUYPQ Q`a]RMN ZPU ZNPYRUY[PU
_V`W nVVPWg c`\PYPN^PUP MRYP ZNUXPQP[PU nVhoRaPU

Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, Maka barang siapa memaafkan
dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak
menyukai orang-orang yang zalim.pq

r`aNVP[R ]`^\`aNPU ^PPe MRYP ^`aR]P[PU \`UQR[ ZPaN cN[P] cP\Pa PQPc d_\PPUg
c`\PYPN^PUP ZNRUY[P][PU nVVPWs

Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan
siksaan yang ditimpakan kepadamu, akan tetapi jika kamu bersabar, Sesungguhnya itulah
yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.pt

l`c[N]RU RUQR[ [PcRc ]`^PPePU \`aR]P ]`^\PQPVPU qishâsh NUN \`\`aP]P ]P[Pa
WR[R^ bcVP^ ^PcNW ^`aPYR[PU `e`[QNuNQPcUXP [WRcRcUXP Q`a[PNQ [PcRc ]`^\RURWPU
c`UYPMPS r`U`YPcPU PVhoRaPU ZPU vRUUPW ^`UY`UPN ]`^\`aNPU ^PPe V`\NW ]PZP \`UQR[
QPOPaPU \R[PU [`^`cQNPUS r`^\`aNPU ^PPe RUQR[ [PcRc ]`^\RURWPU Z`UYPU c`UYPMP
NUN ^`URaRQ b\aPWN^ w_c`Ug c`_aPUY ]P[Pa WR[R^ bcVP^ bUZ_U`cNPg \`aQ`UQPUYPU Z`UYPU
cPVPW cPQR QRMRPU ]`^NZPUPPU ZPVP^ WR[R^ ]NZPUP bcVP^g XPNQR RUQR[ ^`^\RPQ ]`VP[R
^`UMPZN M`aPSpx naQNUXPg [`QN[P \PUXP[ [`VRPaYP [_a\PU ]`^\RURWPU c`UYPMP ^`^\`aN[PU

yz {C|}~ F€F;}G}€ ‚FGHC; ƒ€„}J … ƒ†}€‡ˆ Pembaruan Hukum Pidana: Reformasi Hukum
Pidanaˆ ‰A}Š}J~}‹ ŒJ}GC€†:ˆ @KKŽˆ |< D‘’ {C|}~ B‡} ~B;CG}€ “F€†}J†Cˆ “}Š “C†B †}€ “BŠBH}€
H}~Cˆ †};}H |~~‹””}J~CŠF;<G}I†}<:J‡”|}Š•|C†B•†}€•|BŠBH}€•H}~Cˆ †CB€†B| L‘ –Š~:IFJ @KK’
—}€ ˜B|}HF† ™}Cšˆ “BŠBH}€ ˜}~C †}€ “}Š B€~BŠ “C†Bˆ †};}H |~~‹””BJ€};|BŠBH<I;:‡G:~<
›:H”@KK‘”Kœ”F€F;C~C}€D|BŠBH |BŠBH}€DH}~CD†}€D|}Š<|~H;ˆ †CB€†B| L‘ –Š~:IFJ @KK’
†}€ “BŠBH}€ ˜}~C ~C†}Š ˜FHIFJC žŸFŠ AFJ}ˆ †};}H Kompasˆ L  ƒ‡BG~BG @KK
¡¢ £<¤< };D¤¥¦J}” @‹  K<
¡§ £<¤< };D?}|;”L‹ L@<
¡¨ >IJ}|CH “:GF€ˆ AF€CGDF€CG “BŠBH —C†}€} >G;}H †}€ —FJIF†}}€ >~C|}† ©;}H} †};}H

778
Chuzaimah Batubara: Qishâsh (Hukuman Mati dalam Perspektif al-Qur an)

¬­­® ¯°±­²­ ±°³­¯´ ±°¬µ´¶´·­¶¸ ¬­¯­ ±°¶°¹­±­¶ ·´¯´¬ ±º²­¶­ »º²­¯ µ°¹¼­³­¶ °®°¯»º®
´¶»´¯ ¬°¶°¯­¶ ³­¼´ ¯¹º¬º¶­³º»­½ ±­²­ ¬­½¾­¹­¯­» ²­¶ »º²­¯ ­²­ ³­¿º ±°¹­½­­¶ »­¯´» µ­¿º
½°½°À¹­¶¿ ´¶»´¯ ¬°¶¾°¶¿­¼­ ¬°¶¿·º³­¶¿¯­¶ ¶¾­Á­ À¹­¶¿ ³­º¶Â ú¯­ º¶º »°¹¼­²º ¬­¯­
º¶º ­¯­¶ ¬°¶¼­²º ­¶Ä­¬­¶ µ°½­¹ µ­¿º ¯°¬­¶´½º­­¶Â
Ŷ»´¯ º»´³­·¸ Ƭâm Abû Hanîfah dahulu lebih menekankan pemberian maaf hanya
untuk tindak pidana tersalah, pemukulan, penghilangan (salah satu anggota tubuh),
dan jika kualitas tindak pidana tersebut sampai pada tindak pidana menghilangkan
nyawa orang lain secara sengaja maka pemberian maaf itu batal secara hukum. 53
Untuk konteks Indonesia di mana saat ini terjadi tingkat perkembangan kasus-
kasus pembunuhan semakin tinggi dan memprihatinkan karena bentuk pembunuhan
yang begitu sadis dan kejam hingga pemotongan (mutilasi) anggota tubuh pendapat
Abu Hanifah ini layak untuk dipertimbangkan. Dengan penolakan pemberian maaf
dan diyat sebagai ganti qishâsh mungkin dapat menimbulkan rasa takut dan efek jera
individu untuk melakukan kejahatan pembunuhan sengaja yang kejam.

Maqâshid Syar iyah Qishâsh (Hukuman Mati)


Terjadinya perdebatan para ahli hukum mengenai penerapan qishâsh khususnya terkait
hukuman mati di negara-negara Islam termasuk Indonesia dikarenakan kurangnya pemahaman
sebagian mereka mengenai tujuan ditetapkannya (maqâshid syar iyyah) dari qishâsh tersebut.
Hukuman qishâsh merupakan sanksi hukum terhadap kejahatan atau prilaku yang jelas
bertentangan dengan norma masyarakat berbeda dengan prilaku pengguna riba yang
masih menimbulkan perdebatan seberapa jauh dampak yang ditimbulkan standar-standar
etis (patokan moral/psikologis) nya. Jika pada Q.S. al-Baqarah/2: 178 sebelumnya Allah
telah menyatakan pensyari atan qishâsh bagi orang-orang mukmin, maka pada ayat
berikutnya (Q.S. al-Baqarah/2: 179, Dia menerangkan hikmah syariat ini, dan
dibangkitkannya mereka (orang mukmin) agar memikirkan dan merenungkan hikmah
tersebut, sebagaimana terhimpun di dalam hati mereka perasaan takwa, yang merupakan
perekat dan pengaman dalam masalah pembunuhan dan qishâsh. Allah berfirman:

        

Dan dalam qishâsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang
berakal, supaya kamu bertakwa.54

Penerapannya, dalam Mimbar Hukum No. 2, Tahun VI, Mei-Juni 1995 (Jakarta: al-Hikmah
DITBINPERA Islam), h. 16.
53
Muhammad ibn Ahmad as-Sarakhsî, al-Mabsûth, jilid II (Beirut: Dâr al-Ma rifah, t.t.),
h. 155.
54
Q.S. al-Baqarah/2: 179.

ªª«
MIQOT ÈÉÊË ÌÌÌÍÈ ÎÉË Ï ÐÑÊÒÓÔÕÖÕ×ØÕÙ ÏÚÛÚ

Qishâsh ÜÝÞßàáßâ ãäåÜßáßæßà ÝàçÝÞ åäàèßÞéçéê ÜÝÞßà ãÝáß ÝàçÝÞ åäáßåãéßæÞßà


æßÞéç âßçéë ìäçßãéê éß áäÜéâ ßíÝàí îßà áäÜéâ çéàííéê èßéçÝ ÝàçÝÞ ÞäáßàíæÝàíßà ÞäâéîÝãßàê
îé ïßáßà ÞäâéîÝãßàê ÜßâÞßà éß æäàîéðé åäðÝãßÞßà ïßåéàßà ÞäâéîÝãßàë ñäåÝîéßà ÝàçÝÞ
îéãéÞéðÞßà îßà îéðäàÝàíÞßà âéÞåßç îéòßðîâÝÞßààèßê ïÝíß ÝàçÝÞ åäàíâéîÝãÞßà âßçé
îßà åäåßàîÝàèß Þäãßîß ÞäçßÞóßßà Þäãßîß ôááßâê supaya kamu bertakwaë
ñäçßÞóßßà åäàïßîé éÞßçßà èßàí åäàßâßà ïéóß îßðé åäáßÞÝÞßà Þäïßâßçßàê èßÞàé
Þäïßâßçßà ãäåÜÝàÝâßà åßÝãÝà Þäïßâßçßà ãäàèäðßàíßà åäåÜßÜé ÜÝçß æäÜßíßé
ãäåÜßáßæßàë õÞßçßà îßà çßåÜßçßà éçÝ ßîßáßâ çßÞóßë ñäãäÞßßà âßçé îßà ðßæß çßÞÝçàèß
Þäãßîß ôááßâê èßàí åäàïßîéÞßààèß Üäðæäîéâ ÞßáßÝ îéåÝðÞßé ôááßâê îßà åäàÝàçÝçàèß
ÝàçÝÞ çäðÝæ åäàößðé ðéîâß÷øèßë
ìßàãß éÞßçßà îßà çßåÜßçßà éàé çéîßÞ åÝàíÞéà æèßðéßç îßãßç Üäðîéðé îäàíßà çäíßÞê
Ýàîßàí÷Ýàîßàí çéîßÞ ßÞßà îßãßç Üäðïßáßàê ãäáßÞÝ Þäïßâßçßà îßà ãäáßàííßðßà çßÞ ßÞßà
åäðßæß Üäðæäîéâ âßçé îäàíßà çéàîßÞßààèß éçÝê îßà çéîßÞáßâ åäåßîßé ãäðßçÝðßà÷
ãäðßçÝðßà îßà æäíßáß Ýàîßàí÷Ýàîßàí èßàí Þùæùàí îßðé ðÝâê æäàæéçéúéçßæê ðßæß çßÞÝçê
îßà ßàçÝæéßæåä çäðâßîßã ÞäÞÝßçßà èßàí áäÜéâ Üäæßð îßðéãßîß ÞäÞÝßçßà åßàÝæéß æäàîéðéëûû
õàéáßâ òßÞçùð èßàí åäàèäÜßÜÞßà ïßðßàíàèß çäðïßîé çéàîßÞ Þäïßâßçßà èßàí îéßàößå
îäàíßà âÝÞÝåßà âßî ãßîß üßåßà øßÜé ýôþëê îßà üßåßà ñâÝáßòßÝð ÿßæèéîéàë ñßáßÝ çäðïßîé
çéàîßÞ Þäïßâßçßà åßÞß ÞäÜßàèßÞßà ãäáßÞÝàèß îßçßàí ßçßæ ÞäåßÝßà æäàîéðé îßà îäàíßà
ãäàÝâ Þäæßîßðßà åäàíßÞÝé Þäæßáßâßààèßë ßá éçÝ çäðïßîé Þßðäàß îé îßáßå âßçéàèß ßîß
ðßæß çßóßë ýäæÝßé îäàíßà åßÞàß Þßçß çßóß éçÝ æäàîéðé èßàí Üäðßðçé åäàïßíß æäæÝßçÝ
îßðé âßá èßàí åäàèßÞéçé ßçßÝ åäåÜßâßèßÞßààèß ßçßÝ Üäðïßíß÷ïßíß îßà åäáéàîÝàíé îéðé îßðé
æäæÝßçÝë ðßàí èßàí åäáßÞÝÞßà Þäæßáßâßàê ãßîß âßÞéÞßçàèß çäáßâ åäáßÞÝÞßà Þäæßáßâßà
ãßîß îéðé æäàîéðéë äàíßà Þßçß áßéàê ßÞéÜßç àäíßçéòàèßê ßÞßà ÞäåÜßáé Þäãßîß îéðé æäàîéðéë
ßîéê çßÞóß Üäðßðçé ïÝíß åäáéàîÝàíé îéðé îßðé ßÞéÜßç÷ßÞéÜßç ãäðÜÝßçßà æäàîéðé èßàí ÜÝðÝÞ
îßà ïßâßçëû ßàßÞßáß çßÞóß âßîéð îßáßå ïéóßê åßÞß éß åäàïßîé ãäàïßíß èßàí æäáßáÝ
æßîßð îé îßáßå àÝðßàéê îé æäáÝðÝâ ðäáÝàí ÞßáÜÝê èßàí åäàßâßààèß ßíßð çéîßÞ åäàîäÞßçé
ãßíßð ãäåÜßçßæë ýäÜßáéÞàèßê îéÜßóßàèß âßçé éàé Þä æéæé æèßðéßç èßàí çäðßàí öäåäðáßàí
îßà æäáßáÝ åäåßàîßàí Þäãßîß ðäáÝàí÷ðäáÝàí òéçðßâ îßà ÝàæÝð÷ÝàæÝð ÜßàíÝàßà ÞßáÜÝë
é æéàé çßåãßÞê ßîßàèß æßáéàí åäáäàíÞßãé ßàçßðß ãäðßçÝðßà÷ãäðßçÝðßà îßà æèßðéßç
îßðé æßçÝ æäíéê îßà ãäàíßðßâßà÷ãäàíßðßâßà æäðçß éÜßîßç îßáßå æéæé áßéàë ðßàí èßàí
ÜäðçßÞóß ïäáßæ ßîßáßâ ùðßàí èßàí åäáßÞæßàßÞßà ãäðéàçßâ ôááßâ îßà åäàïßÝâé áßðßàíßà÷
øèß åäåßîÝÞßà ßàçßðß ãäðßçÝðßà îßà ãðßÞçéÞ éÜßîßâë ýäåÝßàèß ÜäÞäðïß æßåß ÝàçÝÞ
åäåÜßàíÝà åßæèßðßÞßç èßàí æäâßç ãßàîßàíßà îßà ãäðßæßßààèßê æÝöé íäðßÞßààèß
îßà Üäðæéâ ãäðéáßÞÝàèßê Þßðäàß éàçé Ýçßåß çßóß ßîß îßáßå âßçé àÝðßàéàèß æäàîéðéë
ßðé òéðåßà ôááßâ ÜäðéÞÝç ïÝíß çäðçßàíÞßã æéæé áßéà îßðé âéÞåßâ îéæèßðéßçÞßààèß qishâsh

Ò ÑØ Fî Zhilâl al-Qur ân Ñ Í Ë ÛË



 Ò   Ù ÉÉ ØÑÊ  ÑÙ Strategi Qur ani: Mengenali Diri Sendiri dan Meraih
Kebahagian Hidup É ! Ù " #ÕÊÑ! Ù #Ñ  ÏÚÚ$% Ë Û&ÚË

ÇÇÇ
gcab[hi[c j[\aX[^[k Qishâsh lmanai[Y o[\h p[q[i rs^]tsn\hu [qvwa^[Yx

                 

               

       

Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barang siapa yang
membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan
karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia
seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-
olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Sesungguhnya telah datang kepada
mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian
banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat
kerusakan dimuka bumi )*+,+ -./0-12-34 56 789+

:;<=;>?@-< A-<1 BCD-1. C;E-D- F3?C?C 2-.-G -=-@ 1<1 G;<H1C=-D-@F-< >-3I- F-?G
@;DC;>?@ @;.-3 G;<E-J-1 J?<E-F F;>?D?F-< 2-.-G J;G>?<?3-< F-D;<- =-<H G;D;F-
>?<?3 -2-.-3 G-<?C1-/G-<?C1- C?E1 =-<H 21?@?C K..-3 C;>-H-1 <->1 2-< D-C?./D-C?.+
:;<;@-J-< >-H1 A-<1 BCD-1. 1<1 @12-F >;D.-F? F3?C?CL F;@;<@?-< 1<1 M?H- >;D.-F? >-H1
?G-@ N->1 0?3-GG-2+ K..-3 G;<=;>?@ A-<1 BCD-1. ?<@?F G;<?<M?FF-< GO2;. -J.1F-@1P
@;D3-2-J -@?D-< 2-< -M-D-< ?<@?F G;<H-D-3F-< G-<?C1- J-2- J;<;D-J-< 3?F?G K..-3+
:-D- ?.-G- ?C3?. P1Q3 2-< M?H- -3.1 P1Q3 G;<M-21F-< -=-@ 21 -@-C 2-< =-<H
C;?GJ-G-<=- C;>-H-1 2-.1. =-<H G;<=-@-F-< >-3I- L C=-D1-@
RS
>-H1 OD-<H/OD-<H C;>;.?G F1@- -2-.-3 C=-D1-@ >-H1 F1@- M?H- 1C@1.-3 ?C3?. P1Q3<=-
syar u man qablanâL M1F- C=-D1-@ 1@? 21F;.?-DF-< G;.-.?1 F;@;@-J-< 2-< >;.?G 21<-C-F3+
:;<HH-.-< -=-@
)Barang siapa yang membunuh seorang
manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat
kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. dan
barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah dia telah
memelihara kehidupan manusia semuanya, )*+,+ -./0-12-34 56 789 21 -@-C G;<;H-CF-<
G;<H-J- K..-3 G;I-M1>F-< J;.-FC-<--< qishâsh >-H1 J-D- J;G>?<?3+ T-D1 -=-@ 1<1
@;DG-F@?> J;DC-G--< -<@-D- J;G>?<?3-< @;D3-2-J C;OD-<H G-<?C1- =-<H @12-F >;D2OC-
2;<H-< G;G>?<?3 C;G?- G-<?C1-L 2-< C;>-.1F<=- =-<H G;<=;.-G-@F-< C;OD-<H -<-F
G-<?C1- C-G- 2;<H-< G;<=;.-G-@F-< C;G?- G-<?C1-+
T;<H-< .OH1C 2-< G;<-I-< *?D-1C3 ,313-> G;<HH-G>-DF-< .OH1F- 2-D1 J;D<=-@--<
-=-@ 21 -@-C+
:;D-@?D-< >-1F -J- J?< =-<H 21@;@-JF-< O.;3 G-<?C1- -@-? O.;3 K..-3L J-2- 3-F1F-@<=-

UV WXY Z[\]^î_ Tafsîr al-Qur ân al-Azhîm _ `ab WWW_ cd efed


''(
MIQOT {|}~ €{ |~ ‚ ƒ„}…†‡ˆ‰ˆŠ‹ˆŒ ‚Ž

‘’ “”•“– –—˜™‘’•” ˜™š›–• ˜”“™œ ž” –‘“ –œ• ˜—”š—Ÿ“• –•
˜™š›–• ˜– –œ• ™—˜“ •’“  Ÿ’¡ œ ‘’ –“˜¢“‘” ›œ ™š  £” ”
œ  –“˜¢“‘” ›œ ˜”“™œ £‘’ ™”¤• ˜“™•’œ‘ ˜—˜œ™’–” ™—¥›”¤ ˜”“™œ
™—‘–“ ¢›œŸœ ” ˜™š›–•”š ¦—˜œ™’” œ”œ ’”š •—›§œ ¢ •›” ‘˜
•—¥›œ  •—•¢œ ‘˜ –—”š•” ™¥™œ¥‘¥¤œ™  Ÿ’–” ‘˜ –—”š•” ¢™œ–¥‘¥¤œ™  ˜”“™œ
•œ– ¢• œ¢œ™’–” ›œ ˜™š›–•”š  ¡‘“ –—•œ– œ ’œ“¢ œ ‘˜ ¤“
™—”œ›œ” ¨“–”–’ ˜”“™œ š”¤ Ÿ—› ™—”œ›œ” œ ¤“ ˜—”—˜“–” ˜–’‘“–
‘œ” Ÿ—›™˜”š  –‘“ Ÿ“–” ˜–’‘“– ™—§—”œ™”š  ˜– ’”•“ š”¤ ˜—”–“•–””š
•“ ˜‘œ–• š”¤ ˜—”“–“”¤”š ž—˜œ–œ”  ˜”“™œ ˜—˜Ÿ“•“’–” ™—‘œ””š
¦ ™• ˜”“™œ ˜—›™–” –—’œ›” ˜”“™œ©˜”“™œ ‘œ” Ÿ—›™˜”š  ™•
œ•“ ¢“‘  ™—¥›”¤ •“ ›œŸ“” ”¤¤¥• ˜™š›–•”š ˜—˜¢“”šœ –—““–” š”¤
™˜ Ÿ’¡ ™—˜“ ’›“™ œ’›¤œ ª—’œ”¤¤  Ÿ›”¤ ™œ¢ š”¤ ˜—˜Ÿ“”“’ ™—¥›”¤
˜”“™œ •”¢ ‘™” š”¤ ™’  ˜– ™—–”©–” œ •—‘’ ˜—˜Ÿ“”“’ ˜”“™œ
™—‘“›“’”š ž—˜œ–œ” §“¤ ™—Ÿ‘œ–”š«¬
­’Ÿâthabâ î, sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab, menguraikan makna dari
persamaan itu. Menurutnya, setiap manusia menyandang dalam dirinya nilai
kemanusiaan, yang merupakan nilai yang disandang oleh seluruh manusia. Seorang
manusia bersama manusia lain adalah perantara lahirnya manusia-manusia lain bahkan
seluruh manusia. Manusia diharapkan hidup untuk waktu yang ditetapkan Allah, antara
lain untuk melanjutkan kehidupan jenis manusia seluruhnya. Membunuh seseorang yang
berfungsi seperti yang dijelaskan di atas adalah bagaikan membunuh semua manusia,
yang keberadaannya ditetapkan Allah demi kelangsungan hidup jenis manusia. 59
Di sini terlihat bahwa pendapat Quraish Shihab dan Thabâthabâ î sejalan dengan
teori-teori sosial yang menyatakan bahwa manusia itu adalah makhluk sosial, yang
hidup bersama dan memiliki ketergantungan antara satu sama lainnya. 60 Tidak seorang
pun manusia di muka bumi ini dapat bertahan hidup sendiri. Setiap individu secara
alamiah akan mencari dan bergabung dengan manusia lain dan membentuk sebuah
komunitas (masyarakat). Pemisahan satu individu atau anggota komunitas berarti
mematikan jantung masyarakat tersebut.
Senada dengan pendapat di atas, Thâhir Ibn Âsyûr menegaskan bahwa perumpamaan
yang ditampilkan Al-Quran surah al-Ma idah ayat 32 di atas lebih pada penekanan untuk
mencegah manusia melakukan pembunuhan secara aniaya. Seorang yang melakukan
pembunuhan secara aniaya pada hakikatnya memenangkan dorongan nafsu amarah
dan keinginannya membalas dendam atas dorongan kewajiban memelihara hak asasi manusia
serta kewajiban mengekang dorongan nafsu. Siapa yang menuruti kehendak nafsu seperti

58
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur an, vol. III
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 81-82.
59
Ibid.,
60
Lihat, Stephen K. Sanderson, Makro Sosiologi: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas
Sosial, terj. Farid Wajidi, S. Menno (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), h. 43.
yyz
Chuzaimah Batubara: Qishâsh (Hukuman Mati dalam Perspektif al-Qur an)

°±²³ ´µ¶µ ±°·µ¶ µ·µ ¸µ´°¹µ¹ ²¹±²¶ ±°·µ¶ ´º»µ¶²¶µ¹ ¼µ» ½º¾²¿µ ¿µ·µ ¶º½º´¿µ±µ¹ Àµ¹Á
»µ°¹ ·µ¹ º¾²»µ¹Áò»µ¹Á³ ĵ»µ² ¿²¹ ·º¹Áµ¹ ´º´Â²¹²¼ ½º´²µ ´µ¹²½°µÅ ÆÇ
ȵ¿µ± ·°¶µ±µ¶µ¹ ¸²Áµ µ¼Äµ ¿º¾¹Àµ±µµ¹
ÉBarangsiapa yang membunuh seorang manusia,
bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan
dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya³ ÊÅËÅ Ì»Ã
͵°·µ¼Î ÏÐ ÑÒÓ ´º¾²¿µ¶µ¹ ¿º¹ºÁµ½µ¹ ¶º¼º¹·µ¶ Ì»»µ¼ ±º¹±µ¹Á ¿º´Âº¹±²¶µ¹ ¶º½µ±²µ¹
°´µ¹ ·µ»µ´ ¾µ¹Á¶µ ´º¹Ô°¿±µ¶µ¹ °¶µ±µ¹ ´µ½Àµ¾µ¶µ± Àµ¹Á º¾°´µ¹Å Õµ±µ ´º¹²¾²±
ÆÖ
ËÀµ¾µÄ° ´º´°»°¶° ´µ¶¹µ Àµ¹Á º¾µÁµ´Å ×µ´²¹³ ·µ¿µ± ·°±º±µ¿¶µ¹ ·µ»µ´ ·²µ ´µ¶¹µÐ
غ¾±µ´µ³ ´º´¿º¾±µ¼µ¹¶µ¹ º¶½°½±º¹½° ¾²¼ Àµ¹Á ´º¹ÁÁº¾µ¶¶µ¹ ´µ±º¾°Ù Õº·²µ³ ´º¹Á¼°·²¿¶µ¹
¾²¼ µ±µ² ½¿°¾°± ¶º°´µ¹µ¹ ½º¿º¾±° Àµ¹Á ·°¹Àµ±µ¶µ¹ Ì»»»µ¼Ð
ÉJawablah, apabila Allah dan Rasul menyeru kamu kepada suatu
yang memberi kehidupan kepada kamu³ ÉÊÅËÅ Ì»Ã̹ڵ»ÎÛÐ ÒÜÓ
Õº½µ±²µ¹ °´µ¹ ´º´Â²µ± ½º»²¾²¼ ´²¶´°¹ °Âµ¾µ± ½ºÂ²µ¼ µ·µ¹³ µ¿µÂ°»µ µ·µ ½µ»µ¼
½µ±² µ¹ÁÁݱµ ±²Â²¼¹Àµ Àµ¹Á ½µ¶°±³ ´µ¶µ µ¹ÁÁݱµ »µ°¹¹Àµ °¶²± ´º¾µ½µ¶µ¹Å Þº¾·µ½µ¾¶µ¹
¼²Â²¹Áµ¹ ½º´µÔµ´ °¹°³ °»µ µ·µ Àµ¹Á ´º¹Àµ¶°±° ´²¶´°¹³ ´µ¶µ Àµ¹Á »µ°¹¹Àµ ±°·µ¶
ÂÝ»º¼ ¼µ¹Àµ º¾¿µ¹Á¶² ±µ¹Áµ¹ µ±µ² ´º´Â²µ¹Á µ·µ¹ ±µ¹¿µ º¾Â²µ± µ¿µÃµ¿µ ²¹±²¶
´º¹Ý»Ý¹Á¹ÀµÅ Ì¿µÂ°»µ µ·µ ½ºÝ¾µ¹Á ´µ¹²½°µ ´º´Â²¹²¼ ´µ¹²½°µ³ ¹µ´²¹ ´µ½Àµ¾µ¶µ±
½º¶°±µ¾ ¼µ¹Àµ º¾·°µ´ ·°¾° ´º»°¼µ± ¿º¾Â²µ±µ¹ ±º¾½ºÂ²±³ ´µ¶µ ±°´Â²»»µ¼ ¶º¸µ¼µ±µ¹ ·°
´²¶µ ²´° °¹°Å Õµ¾º¹µ¹Àµ³ ´µ½Àµ¾µ¶µ± ¼µ¾²½ ´º¹Áµ´Â°» ±°¹·µ¶µ¹ ±ºÁµ½ µ¶µ¹ ¼µ» °¹°³
²¶µ¹ ½µ¸µ º¾·µ½µ¾¶µ¹ µ¼Äµ ݾµ¹Á ±º¾½ºÂ²± ±º»µ¼ ´º´Â²¹²¼ ½µ±² ¹ÀµÄµ³ ±µ¿° º¾±Ý»µ¶
·µ¾° µ¹ÁÁµ¿µ¹ µ¼Äµ ½ºÝ»µ¼ÃÝ»µ¼ ݾµ¹Á ±º¾½ºÂ²± ±º»µ¼ ´º´Â²¹²¼ ½º»²¾²¼ ´µ¹²½°µÅ
ߺ¹±²¹Àµ³ ¿º´Â²¹²¼µ¹ ±º¾½ºÂ²± ²¶µ¹ ¿º´Â²¹²¼µ¹ Àµ¹Á »ºÁµ»³ ½º¿º¾±° ¿º´Â²¹²¼µ¹
¶µ¾º¹µ ¿º´Âº¾»µ¶²µ¹ qishâsh µ±µ² ¶µ¾º¹µ ¶º¸µ¼µ±µ¹ Àµ¹Á ·°»µ¶²¶µ¹¹ÀµÅ
˺µ»°¶¹Àµ³ ¿º´º»°¼µ¾µµ¹ ¶º¼°·²¿µ¹ ½ºÝ¾µ¹Á µ¹µ¶ ´µ¹²½°µ ¸²Áµ ´º¾²¿µ¶µ¹
º¹±²¶ ¶º°´µ¹µ¹ ·µ»µ´ ´º»º½±µ¾°¶µ¹ ¶º»µ¹Á½²¹Áµ¹ ´µ½Àµ¾µ¶µ±³ ½ºÂµÁµ°´µ¹µ
¶º»µ¹¸²±µ¹ µÀµ±Ð
      

Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah
memelihara kehidupan manusia semuanya. ÉÊÅËÅ Ì»Ã͵°·µ¼Î ÏÐ ÑÒÓÅ

๰»µ¼ Ô°¾°ÃÔ°¾° ¶º½µ±²µ¹ °´µ¹Å غ¹°¹·µ½µ¹ µ±µ½ ½º½ºÝ¾µ¹Á Àµ¹Á ±°·µ¶ º¾·Ý½µ³
µÁµ°¶µ¹ ¿º¹°¹·µ½µ¹ µ±µ½ ½º»²¾²¼ ´µ¹²½°µÅ ÞºÁ°±² ¸²Áµ³ ´º¹Ý»Ý¹Á ½ºÝ¾µ¹Á ·µ¾° ½²µ±²
´µ»µ¿º±µ¶µ ·µ¹ º¹Ôµ¹µ³ °Âµ¾µ± ´º¹Ý»Ý¹Á ½º»²¾²¼ ¶º¼°·²¿µ¹ ´µ¹²½°µÅ

áâ ãäåæççæè éåêåëì íîï ðÂñòìó Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîró ôäõ ííó åö ÷øùó èæúæç æúû
ãæüýæîæå æúûþñêçëúæåö
áÿ þñæìâwî, Tafsîr al-Sya râwî, jilid V h. 3095-3096
®®¯
MIQOT   
  

Penutup
     ! "!# "$ %$  & %'  (! ))*+$
"* " , !* )$! $ & !- .+$ ) ,+  ! )+/$$
$$  * ")0 / ,+ " "  * " * $ *$$
$ 1" !*,0 $1  " $ ,+ "$ & !- 2)"!
!* *)"! ! ))! $ ",$ , ,+ "$%3,- 4 !
,+ ) qishâsh0 ",$ 5+ )+$ + !$) )0  ) 
)+$ //$6*)- 7$0 *) * $ !* ,+ ))"!
+ * $, !* ,+ "!-
( /, *  +"#! "!# 4 ) + "!%!  )
)/!$ !$)- 8!$ & %'  (! ))" * + ,+ 1$*
" $ )+! /!, $ * + ,+ "$ + ,# 
"- 9 0 *, "$ ,+ /$,  ! )55+ $ + $5"
$ )):$ *0  0 + :)%3,;

    

Memberi maaf lebih dekat kepada takwa. <'-(- & %8=!6>; >?@A-

B ! $, C  ! "";


63

Tidak satu pun ketetapan yang diajukan Rasul SAW., kecuali beliau menganjurkan kepada
(keluarga korban) untuk memaafkannya. <DC- 4" E/!  % A-

+  *)$  *  *$ *!,0 "!# * )+$
qishâsh6!$) ) !$, !$- F* $)+$ !$) )
/+ ! +$- 25,  ) )*$0 + * )+$
$  !$ * * ,+  ++- D$),  ) /  +0 +
)$  - 8$ !$), /+ * ! )$ *0 !++ ))" $
*  $$ ,+ )) )+$ "+  !$)- F* ,+ / 0
 *  ""+ ** *5  $5 !$) )0  ** 
!$, /+ )* "$ ! +- 7 ** $ "$* +  5%
$5)*5) !* $/!0 !* $$"0 !* 5-
2+)* ) $  $ " ))+ + $ !- 2+)*
 !    *5"- F$  *5"0 $  *+)*- 7+

GH I Jâjah, Sunan Ibn Mâjah, Bab Al afw fî al-Qishâsh, hadis ke 2682, dalam al-Maktabah
al-Syâmilah.


Chuzaimah Batubara: Qishâsh (Hukuman Mati dalam Perspektif al-Qur an)

MNM OMPMQ QRSRTMUV WRSRTMU TMXOY SMPMR ZRU NO[MPMUSMUY OM XONMS NOPMS\MUMSMU N]U^MU
TMS\RN T]T_RURQV `MXRa\MXRUbM XR[RMU QRSRTMU TMXO bMU^ \MQ MNMPMQ RUXRS
T]T]POQMcM NMU T]POUNRU^O S]QONRZMU NMcO S]SRMXMUaS]SRMXMU bMU^ T]U^MUdMTUbMV

Pustaka Acuan
eUfMcY g]\TOP h eNMU^V Pembaruan Hukum Pidana: Reformasi Hukum PidanaV iMSMcXMj
kcM\OUNlY mnnoV
eRNMQY e_N MPapMNOcV Al-Tasyrî al-Jinâ i al-IslâmV q]OcRXj rRM\\M\MQ MPasO\âlah, 1993.
Al-Awwa, Muhammad Salim. The Basis of Islamic Penal System, dalam The Islamic Criminal
Justice System, ed. M. Cherif Bassiouni. New York: Oceana Publication, Inc, 1991.
Al-Ishfahânî, al-Ghârib. Mufradât Alfâzh al-Qur ân, cet. 3. Beirut: Dâr Asy-Syâmiyyah. t.t.
Cholidi, Qishâsh, dalam M. Quraish Shihab, et al. (ed.). Ensiklopedia al-Qur an: Kajian
Kosa Kata, vol. III. Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Coulson, N. J. A History of Islamic Law. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1964.
Faiz, Pan Muhamed. Hukuman Mati dan Hak untuk Hidup, dalam http://
jurnalhukum.blogspot.com/2007/05/penelitian-hukum-hukuman-mati-dan-
hak.html, diunduh 17 Oktober 2008.
Ghafur, Waryono Abdul. Strategi Qur ani: Mengenali Diri Sendiri dan Meraih Kebahagiaan
Hidup. Yogyakarta: Belukar Budaya, 2004.
Hasballah, Alî. Ushûl al-Tasyrî al-Islâm. Mesir, Dâr al-Ma ârif, t.t.
Hendardi, Hak Hidup dan Hukuman mati, dalam http://artikel.sabda.org/
hak_hidup_dan_hukuman_mati, diunduh 17 Oktober 200.
Hosen, Ibrahim. Jenis-jenis Hukum Pidana Islam dan Perbedaan Ijtihad Ulama dalam
Penerapannya, dalam Mimbar Hukum No. 2, Tahun VI, Mei-Juni 1995.
Hukuman Mati Tidak Memberi Efek Jera, dalam Kompas, 14 Agustus 2008.
Ibn Katsîr. Abû al-Fidâ Isma îl ibn Umar. Tafsîr al-Qur ân al-Azhîm, juz I. Dâr Thaibah
Linnasyar wa al-Tauzi , 1999.
Ibn Mâjah. Sunan Ibn Mâjah, Bab Al afw fî al-Qishâsh, hadis ke 2682, dalam al-Maktabah
al-Syâmilah.
Ibn Manzhûr. Lisân al-Arab, juz VII. Beirut: Dâr Shâdir, t.t.
Muhammad Husain al-Thabâthabâ î. al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur ân. Beirut: Dar Ihya Turats
Arâbi, t.t.
Muhammad Thâhir Ibn Âsyûr. Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr, juz II, dalam al-Maktabah
al-Syâmilah.
Mûsâ, Abû al-Hamd Ahmad. Al-Jarâim wa al- Uqûbât fî al-Syarî ah al-Islâmiyah. Kairo:
Jâmi ah al-Azhar, 1975.

KKL
MIQOT vwxy zzz{v |wy } ~x€‚ƒ„ƒ…†ƒ‡ }ˆ‰ˆ

Š‹ŒŽ‘Ž’“” Š‹‹•‘ –Ž ‘—˜˜—” ™’š Š‘˜—” —‹ŒŠš›‘ârî. al-Jâmi al-Ahkâm al-


Qur ân, juz 9. Cairo: Dâr al-Hadîts, t.t.
Qutb, Sayyid. Fî Zhilâl al-Qur ân, juz I, dalam al-Maktabah al-Syâmilah.
Sanderson, Stephen K. Makro Sosiologi: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial, terj.
Farid Wajidi, S. Menno. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbâh: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur an, vol. 1.
Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Sya râwî, Muhammad Mutawally. Tafsîr al-Sya râwî, jilid t.P: t.p., t.t.
Al-Sâis, Muhammad Alî. Tafsîr Ayât al-Ahkâm, jilid 2. Beirut: Dâr al-Qâhirah, t.t.
Al-Sarakshsi, Muhammad ibn Ahmad. al-Mabsûth, jilid II. Beirut: Dâr al-Ma rifah, t.t.
Al-Syâfi î, Muhammad Ibn Idrîs. al-Umm, juz V. Beirut: Dâr al-Fikr, 1985.
Al-Thabarî, Abû Ja fa. Jâmi u al-Bayân fi Ta wil al-Qur an, juz III. Mu assasah al-Risâlah,
2000.
Al-Tirmîzî. Sunan at-Tirmîzî, juz IV. Beirut: Dâr al-Fikr, 1995.

ttu
CžŸ ¡ ¢£¤DE¡ ¥ ¤ DA¦A§ USHÛL AL-FIQH

Arip Purqon
¨©ª«¬­©® ¯°©±²³©´ µ©¶ ·«ª«¸ ¹º» ¯°©±²¼ ·²µ©°©­«¬¬©´ ½©ª©±­©¾
½¬¾ º±¾ ·¾ ½«©¶µ© »¿¾ ÀÁ ²ë­©­Ä Å©¶ÆDZ©¶ÆÄ È©¶­Ç¶
Çɸ©²¬Ê ©±²Ãë±Ë¿¶ÌƸ©²¬¾Í¿¸

ÎÏÐÑÒÓÔÑÕ ÎÖÖÒ×ÓÔØÙÐ Ñ× ÚÐÛÓÜÝÔ ÞßÒÝÐÖÒßàÙáÔÙ âãä åæçèéêë çäìèç íãäîïð


ñòóôûl al-fiqhõ êæ îöä î÷ íãä éîæí êéøîïíèöí æëêäöëäæ êö íãä ùäúäçîøéäöí î÷ åæçèéêë
íãîûìãí ûæäù ÷îï çäìèç ùäùûëíêîöü ýæ è çäìèç íãäîïðþ íãä æëêäöíê÷êë ëîééûöêíð
ñ ulamâ al-ûshûl õ ãèæ ùäúäçîøäù è úèïêäíð î÷ èøøïîèëã íî ushûl al-fiqhü âãêæ
èïíêëçä íêïäæ íî ùêæëûææ íãäæä èøøïîèëãäæ ÿãêëã ëîöæíêíûíä çèöìûèìä èøøïîèëã èöù
maqâshid al-syarî ah ñøû çêë ìîîùæõü âãä èûíãîï èïìûäæ íãèí íãäæä íÿî èøøïîèëãäæ
èïä êéøîïíèöí éäèöæ íî ëîéøïäãäöù ãîÿ íãä åæçèéêë ûïêæøïûùäöíæ ùäùûëä çèÿü
êöìûêæíêë èøøïîèëã êæ ïäûêïäù íî ûöùäïæíèöùêöì íãä íäí î÷ íãä ïäúäçèíêîöþ ÿãäïäèæ
íãä maqâshid al-syarî ah êæ öääùäù íî ëîöæêùäï íãä úäïð î äëíêúä î÷ íãä çèÿ èæ
ÿäçç èæ íî æää íãä úèçûäæ î÷ ãûéèö êöíäïäæí ÷îï äúäïð î çêìèíêîö æäöí ùîÿö ð
îùü îí ùäöðêöì íãä êéøîïíèöëä î÷ çèöìûèìä èøøïîèëãþ íãêæ èïíêëçä øûí ÷îïÿèïù
íãä æêìöê÷êëèöëä î÷ íãä maqâshid al-syarî ah êö îïùäï íî ëèíëã îùæ éäææèìäæ êö
íãä ûïèöü



    maqâshid al-syarî ah,  syar i

 !"#u$u"
%&&'&() *)+) ,'  ushûl al-fiqh - '  )' .( (
)()*) ' / -( ))- ,'0 1- ' ushûl
*))) ushûl al-fiqh (  2- *))) .( )-  
 '*/ 3 tarkîb idhâfî 4 .) (-) .( ))' -)   .(
. .) ushûl  al-fiqh ()  -()  .( 
 ))' 0 1-) (-) - ushûl fiqh 2- idhâfî ))
-'  - -)  )  .(  ))' ushûl
al-fiqh -0 5 ' *))) 2- )') .) (-) .( ))' -)
-() 6 .( )( ()  ()  )' -0 7
8- '  9 &: :) )' ushûl al-fiqh ' )6)

; <èã èã èç=>ûãèêçî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmi, jilid I (Beirut: Dâr al-Fikr, 1986), h. 15.
œœ
MIQOT BCDE FFFGB HCE I JKDLMNOPOQROS ITUT

VWVX YZW[\Z]YZW[\Z ^_`^abc`d eXfXYgh iVj\Ve]fVj\Ve jWX kjVlVmnV \jlZkXW \ZmoVm \Vpjp]
\Vpjp lnVqVr nVmo XYXY sct-cu^ttcd ct-_vcw ^vvcd ct-xytt^vvcdzg iZYX\jVm nVmo WZqYVlXf
ct-cu^ttcd ct-_vcw ^vvcd ct-xytt^vvcd \j VmWVqVmnV V\VpVe fVj\Ve]fVj\Ve kVeVlV nVmo
\j{V\jfVm |ZWXm{Xf [pZe Vepj }j~je XmWXf YZmZWV|fVm eXfXY lnVqVr \Vqj ac_d fVj\Ve]
fVj\Ve €^vâs \Vm fZhujjahanmnV kVWVlVm]kVWVlVm XYXY |ZqjmWVe s al-amrz \Vm
jm\jfVW[qmnV fVj\Ve]fVj\Ve pVqVmoVm sal-nahyz fVj\Ve muthlaq, muqayyad \Vm XYXYg
‚V\j \ZmoVm fVWV pVjm [k{Zf |ZYkVeVlVm ushûl al-fiqh kZqYXVqV |V\V eXfXY lnVqVr
sal-hukm al-syar iz \jWjm{VX \Vqj eVfjfVW fqjWZqjV \Vm YVƒVY]YVƒVYmnV |ZYkXVW eXfXY
sal-hâkîmz \Vqj lZoj \Vpjp \Vm |ZqjmWVemnV [qVmo nVmo \jkZkVmj eXfXY s al-mahkûm
alaihz \Vm ƒVqV kZqj{WjeV\mnVg„
…ZqkZ\V \ZmoVm \[oYV VoVYV VWVX |ZmoZWVeXVm lZYjlVp YZWV}jljfV jpYX YZYkVWVlj
\jqj eVmnV |V\V [k{Zf nVmo kZqlj}VW ZY|jqjlg †qWjmnV [k{Zf |ZmZpVVeVm jpYX YZmƒVfX|
lZpXqXe Vl|Zf fZej\X|Vm nVmo \V|VW \jX{j [pZe |VmƒVjm\ZqV YVmXljV \j YVmV [k{Zf]
[k{Zf nVmo kZqV\V \j pXVq {VmofVXVm YVmXljV Wj\Vf WZqYVlXf fZ \VpVY |ZmZpVVeVm jpYX
WZqlZkXWg‡ ˆZW[\Z |ZmoVYkjpVm eXfXY {XoV kZqV\V \VpVY kVWVl jmj \VpVY |ZmoZqWjVm
jV YZYkVmWX YVmXljV YZmoZmVp eXfXY ‰XeVm lZlXVj \ZmoVm kVWVl fZYVY|XVmmnV
lZkVoVj YVmXljVg ŠZmoVm fVWV pVjm jV YZm{V\j jpYX nVmo YZmƒ[kV XmWXf YZm{ZYkVWVmj
VmWVqV fZeZm\Vf ‰XeVm \ZmoVm |ZYVeVYVm nVmo kjlV \jWVmofV| [pZe YVmXljVg
‹|VnV |ZmooVpjVm eXfXY ŒlpVY \Vqj lXYkZq]lXYkZqmnV sistinbâth al-ahkâmz Wj\Vf
VfVm YZYkXVefVm eVljp nVmo YZYV\Vj fZƒXVpj \ZmoVm YZmZY|Xe ƒVqV]ƒVqV
|Zm\ZfVWVm nVmo WZ|VW nVmo \jW[|Vmo [pZe |ZmoZWVeXVm nVmo YZYV\Vj WZqXWVYV
YZmnVmofXW lXYkZq eXfXYg †pj VlVkVppVe YZpjeVW V\V \XV ƒVqV |Zm\ZfVWVm nVmo
\jfZYkVmofVm [pZe |VqV XpVYV ushûl al-fiqh \VpVY YZpVfXfVm istinbath nVjWX
|Zm\ZfVWVm YZpVpXj fVj\Ve]fVj\Ve fZkVeVlVVm \Vm |Zm\ZfVWVm YZpVpXj |ZmoZmVpVm
YVfmV VWVX YVflX\ lnVqjVe s maqâshid al-syarî ahzgŽ
†|V nVmo WZpVe \jfZYXfVfVm [pZe †pj VlVkVppVe WZpVe \jljmnVpjq |XpV [pZe VWej
Vp]ŠVqVjmjg ŒV YZmnZkXWfVm kVeV YVWZqj V|V lV{V nVmo VfVm \j{V\jfVm [k{Zf fV{jVm
YVfV |Zm\ZfVWVm fZjpYXVm |Vpjmo WZ|VW nVmo VfVm \jWZqV|fVm WZqeV\V| [k{Zf WZqlZkXW
eZm\VfpVe lZlXVj \ZmoVm VWVf [k{Zf jWX lZm\jqjg ‘ZkVk jWX {jfV nVmo VfVm YZm{V\j
[k{Zf fV{jVm jVpVe istinbath eXfXY nVmo YZmnVmofXW nash {jV \Vm WX{XVm lnVqjVW
YVfV |Zm\ZfVWVm nVmo VfVm \jWZqV|fVm eVqXlpVe |Zm\ZfVWVm nVmo YZmnVmofXW fZWjoV
eVp WZqlZkXWg ‹mWXf jWX |Zm\ZfVWVm nVmo WZ|VW jVpVe |Zm\ZfVWVm YZpVpXj fVj\Ve]fVj\Ve
fZkVeVlVVm \Vm maqâshid al-syarî ahg ’ZmooXmVVm |Zm\ZfVWVm YZpVpXj fVj\Ve
fZkVeVlVVm jVpVe fVqZmV fV{jVm VfVm YZmnVmofXW nash sWZflz lnVqjVW lZ\VmofVm

“ ”K•–QQ–— ˜Rû Zahrah, Ushûl al-Fiqh (Beirut: Dâr al-Fikr al- Arâbî, 1987), h. 8-9.
3
Abd al-Wahhab Khalaf, Ilm Ushûl al-Fiqh (Kuwait: Dâr al- Ilm, 1978), h. 12-13.
4
Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh, h. 9.
5
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), h. 15-16.
6
Ali Hasaballah, Ushûl al-Tasyrî al-Islâmi (Mesir: Dâr al-Ma arif, 1971), h. 3.
?@A
Arip Purqon: Corak Pendekatan dalam Ushûl al-Fiqh

œžŸ ¡¢¡ž £¤¡¤¥¦ §¨©âshid al-syarî ah ¡Ÿ¡¤¡ª  ¡«ž¡  ¡¬¦¡ž ¡ ¡ž £ž­¡ž® ¥¢


 ªžŸ¡  syâri ¯ ­¡ž® ª¡ž­¡ £¥ž® ¦ž Ÿ¡œ¡¢ Ÿ¦ ¢¡ª¥¦ £¤¡¤¥¦  ¡¬¦¡ž maqâshid al-syarî ah.°

±²³´²µ¶·¶³ ¸²¹¶º¶»¶¶³
¼¥£½« ¡¾¡¾¦ ª¥ ¥£ ¿¾¤¡£¯ ­¡¦¢¥ ¡¤ÀÁ¥«Â¡ž Ÿ¡ž ª¡Ÿ¦¾ Ÿ¦¥ž® ¡œ ¡ž Ÿ¡¤¡£ ½¡ª¡¾¡
ë¡½Ä Ş¢¥  Ÿ¡œ¡¢ ££¡ª¡£¦ ª¥ ¥£Àª¥ ¥£ ­¡ž® ¡Ÿ¡ Ÿ¦ Ÿ¡¤¡£ž­¡¯ £¡ ¡ ¾Æ«¡ž®
mujtahid ­¡ž® ¡ ¡ž £ž®®¡¤¦ ª¥ ¥£Àª¥ ¥£ ¢«¾½¥¢ ª¡«¥¾ ££¡ª¡£¦ž­¡ ¾Ç¡«¡
 Æ£œ«ªž¾¦ÈÄ Åž¢¥  ¦¢¥¯ ¦¡ ª¡«¥¾ ££¡ª¡£¦ É¡ª¡¾¡ 롽 Ÿž®¡ž ¾®¡¤¡ ¡¾œ ž­¡¯
¾½¡®¡¦ ½¡ª¡¾¡ ¡¤ÀÁ¥«Â¡ž Ÿ¡ž ª¡Ÿ¦¾Ä ¼¥¡¢¥ ª¡¤ ­¡ž® ¢¦Ÿ¡  £¡¾¥  ¡ ¡¤  ¡¤¡¥ ¾¾Æ«¡ž®
­¡ž® ¢¦Ÿ¡  ££¡ª¡£¦ ½¡ª¡¾¡ 롽 ¡ ¡ž Ÿ¡œ¡¢ £ž® istinbath ª¥ ¥£ ¾Ç¡«¡ £¡ ¾¦£¡¤
Ÿ¡«¦ ¡¤ÀÁ¥«Â¡ž Ÿ¡ž ª¡Ÿ¦¾ ­¡ž® ½«½¡ª¡¾¡ ë¡½Ä ¼½¡½ ¦¢¥¯ ¡¤Àʪ¡Ëâlî menyebut kaidah
kebahasaan sebagai pilar ushûl al-fiqh, yang dengannya para mujtahid dapat menggali
dan memetik hukum dari sumber-sumbernya. 8
Setiap usaha untuk memahami dan menggali hukum dari teks al-Qur an dan
Sunnah sangat bergantung kepada kemampuan memahami Bahasa Arab. Untuk maksud
itu, maka para ahli ushûl al-fiqh menetapkan bahwa pemahaman teks dan penggalian
hukum harus berdasarkan pada kaidah kebahasaan. Dalam hal ini mereka berpegang
pada petunjuk kebahasaan dan pemahaman kaidah bahasa Arab dari teks tersebut dalam
hubungannya dengan al-Qur an dan Sunnah, serta petunjuk nabi dalam memahami
hukum-hukum al-Qur an dan penjelasan Sunnah atas hukum-hukum Qur ani itu. Dalam
hal ini lafaz arâbî dipahami dalam ruang lingkup hukum syara .9
Kaidah pemahaman lafaz arâbî itu mencakup empat segi pokok pembahasan yaitu
pemahaman lafaz dari segi arti dan kekuatan penggunaannya terhadap maksud
kehendak Allah yang terdapat dalam lafaz, pemahaman lafaz dari segi penunjukannya
terhadap hukum, pemahaman lafaz dari segi kandungannya terhadap satuan pengertian
(afrâd) dalam lafaz dan pemahaman lafaz dari segi gaya bahasa yang digunakan dalam
menyampaikan tuntutan hukum (taklîf).10
Hal pertama yang menjadi perhatian ulama ushûl al-fiqh adalah pengertian lafaz-
lafaz dalam kaitannya dengan posisi lafaz-lafaz tersebut dalam nash. Dalam hal ini,
ulama ushûl al-fiqh membaginya atas dua bentuk, yaitu:
a. Al-asmâ al-lughawiyyah (isim-isim yang dipakai dalam tradisi kebahasaan, seperti

7
Fathî al-Darainî, Al-Manâhij al-Ushûliyah fî al-Ijtihâd bi al-Ra yi fi al-Tasyrî al-Islâm
(Damaskus: Dâr al-Kitab al- Arabi, 1975), h. 27.
8
Abû Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazâlî, Al-Mustashfâ fî
Ilm al-Ushûl (Beirut: Dâr al-Kutub al Ilmiyyah, 1993), h. 180.
9
Amir Syarifuddin, Ushul al-Fiqih, jilid II (Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran,
2000), h. 2.
10
Ibid., h. 2.
™š›
MIQOT ÎÏÐÑ ÒÒÒÓÎ ÔÏÑ Õ Ö×ÐØÙÚÛÜÛÝÞÛß Õàáà

âãäãå æç-èâbbah éêëìãâã êëêíãîí ïãðì ñëâãîãòó îëîãôõ öãâãñ î÷ãöõêõ øëùãúãêããð öõôãøãõ
íðîíø ñëðíðûíø ùõðãîãðì ïãðì ñëñõâõøõ ëñôãî øãøõü
b. Al-asmâ al-syar iyyah éisim-isim ïãðì öõôãøãõ êëùãìãõ õêîõâãú êïã÷õãîò êëôë÷îõ shalâtó
íðîíø ñëðíðûíø êíãîí ùëðîíø õùãöãú îë÷îëðîíü ýý

þãûõãð îëðîãðì âãäãå õîí øëñíöõãð ùë÷âãðûíî öëðìãð ôëñùãúãêãð âãäãå õîí öã÷õ ùë÷ùãìãõ
êõêõü þãûõãð ôë÷îãñã öõñíâãõ öëðìãð ôãðöãðìãð öã÷õ êõêõ øëîë÷øãõîãð âãäãå îë÷êëùíî öëðìãð ñãøðã
ïãðì öõøãðöíðìðïãü ÿãâãñ úãâ õðõó âëú ôã÷ã íâãñã ushûl al-fiqh øâãêõø öõùãúãê êëã÷ã
ôãðûãðì âëùã÷ öãâãñ ùëùë÷ãôã ùãù öãâãñ øõîãùøõîãù ñë÷ëøãü ãñíð âëú ôã÷ã íâãñã
ushûl al-fiqh ø ðîëñô ÷ë÷ó êëôë÷îõ ãúùãú ãâíúãõâó ñëð ùã ñëðìëâ ñô øøãððïã
öãâãñ ëñôãî øãîëì ÷õ ïãðì êëã÷ã ÷õðìøãê öãôãî öõíðìøãôøãð êëôë÷îõ öõ ùããú õðõ
Pertama. ÿõâõúãî öã÷õ êõêõ ôëðëñôãîãð êíãîí âãäãå îë÷úãöãô êíãîí ñãøðãü ÿãâãñ
úãâ õðõó ãöã êãîí âãäãå ïãðì öõîëñôãîøãð íðîíø ñëðíðûíøøãð êãîí ñãøðã îë÷îëðîí ékhâshò
öãð ãöã ôíâã êãîí âãäãå ïãðì öõîëñôãîøãð íðîíø ñëðíðûíøøãð ñãøðã íñíñ é ammòó
ãöã êíãîí âãäãå ïãðì öõîëñôãîøãð ñëðìãí øëôãöã öíã ñãøðã ãîãí âëùõú é musytarakò
öãð ãöã ûíìã öíã âãäãå ãîãí âëùõú ïãðì ñëðìãí øëôãöã êãîí ñãøðã é murâdifòü
Kedua. ÿõâõúãî öã÷õ êõêõ ôëðë÷ãôãð êíãîí âãäãå îë÷úãöãô êíãîí ñãøðãü ÿãâãñ úãâ
õðõó ãöã êíãîí âãäãå ïãðì öõìíðãøãð ñëðíðûíø øëôãöã ôëðìë÷îõãððïã ïãðì ãêâõ é al-
haqîqahò öãð ãöã ôíâã ïãðì öõìíðãøãð ñëðíðûíø øëôãöã ôëðìë÷îõãð âãõðó ïãðì ùíøãð
ñãøðã ãêâõó øã÷ëðã ãöã êíãîí õðöõøãêõ ïãðì ñëðìúëðöãøõ öëñõøõãð é al-majâzòü ÿõ âãõð
ôõúãøó ãöã ôíâã êíãîí âãäãå ïãðì ñëðìãí øëôãöã ôëðìë÷îõãð ïãðì ûëâãê øã÷ëðã
ôëðìë÷îõãð ïãðì öëñõøõãðâãú ïãðì îëâãú âãåõñ öõôãøãõ é sharîhòó êëñëðîã÷ã ãöã ûíìã
âãäãå ïãðì êãñã÷ ñãøêíöðïãó öãð âãäãå îë÷êëùíî ùã÷í öõøëîãúíõ øã÷ëðã ãöã õðöõøãêõ
âãõð ïãðì ñëñùãðîí íðîíø ñëðìëîãúíõ ñãøðãðïãü ãäãå õðõ öõêëùíî kinâyahü
Ketiga. ÿõâõúãî öã÷õ êõêõ ôëðíðûíø âãäãå ãîãê ñãøðãðïã öãâãñ úãâ øëûëâãêãð öãð
øëîë÷êëñùíðïõãððïãü ÿãâãñ úãâ õðõó ãöã êíãîí âãäãå ïãðì ôëîíðûíø ñãøðãðïã ûëâãêó
îãðôã ñëñë÷âíøãð âãäãå âãõð íðîíø ñëñôë÷ûëâãêðïã öãð ãöã ôíâã ïãðì îõöãø ûëâãê ôëîíðûíø
ñãøðãðïãó öãð õã ùã÷í ñëðûãöõ ûëâãê êëîëâãú ãöã âãäãå âãõð ïãðì ñëñùãðîí íðîíø
ñëðûëâãêøãððïãü ãäãå ïãðì ôëîíðûíø ñãøðãðïã ûëâãêó ñëðí÷íî íâãñã
ãðãäõïãúó ãöã
ëñôãîó ïãõîí al-zhâhir, al-nash, al-mufassar öãð al-muhkâmü ëöãðìøãð ñëðí÷íî ïãäõ
õïïãúó âãäãå ïãðì öëñõøõãð úãðïã öãôãî öõùãìõ ãîãê öíã ùëðîíøó ïãõîí al-zhâhir éïãðì
ñãêõú ñíðìøõð ñëðë÷õñã ta wîlò öãð al-nash éïãðì îõöãø ñëðë÷õñã ta wîlòü öãôíð
âãäãå ïãðì ôëîíðûíøðïã îõöãø ûëâãêó ñëðí÷íî íâãñã
ãðãäõïïãúó ãöã ëñôãî ôíâãó ïãõîí
al-khafî, al-musykil, al-mujmâl öãð al-mutasyâbihü ëöãðìøãð ïãäõ îyyah membagi lafaz
yang petunjuknya tidak jelas ini menjadi dua, yaitu al-mujmâl dan al-mutasyâbih.
Keempat, dilihat dari sisi cara pengungkapan kalimat dalam kaitannya dengan
makna yang dikandung oleh kalimat tersebut. Dalam hal ini, ulama Hanafiyyah

11
Hasaballah, Ushûl al-Tasyrî, h. 205-208.
ÌÍÌ
Arip Purqon: Corak Pendekatan dalam Ushûl al-Fiqh

     ârah al-nash, isyârah al-nash, dalâlah al-nash
 iqtidhâ al-nash! " #$% & ushûl fiqh  # &
&      al-mantûq  al-mafhûm!
"& '% &()  % *'   & % &
ushûl fiqh # '% $%( al-ma ânî  + $ 
 % ! ,+ % #  & istinbath
$ %  * % % %$  nash.-.
/ && # $ %   &$   %%
% + ushûl al-fiqh &! 0&   *#% %  istinbath
 $ % %  %$ 1%  %& # $
 &! "&  % &+"âtibi, yang lebih penting lagi adalah
pendekatan melalui pemahaman tujuan dan makna yang menjadi sasaran syâri dalam
menurunkan syariat, yang disebut maqâshid al-syarî ah. Untuk itu, al-Syâtibi menganjurkan
untuk tidak terlalu berlebihan dalam pendekatan kebahasaan, karena bangsa Arab sendiri
adalah umat yang ummi. Sebab itu, pendekatan kebahasaan yang dilakukan adalah
bersangkutan dengan kondisi kebahasaan umat ketika al-Qur an diturunkan. 13

2345367874 9:qâshid al-Syarî ah


Berbeda dengan pendekatan kebahasaan terhadap sumber hukum Islam yang
menitikberatkan pada pendalaman sisi kaidah-kaidah kebahasaan untuk menemukan
suatu makna tertentu dari teks-teks al-Qur an dan hadis, maka dalam pendekatan melalui
maqâshid al-syarî ah kajian lebih dititikberatkan untuk melihat nilai-nilai berupa
kemaslahatan manusia dalam setiap taklif yang diturunkan Allah. Pendekatan dalam
bentuk ini penting dilakukan, terutama karena ayat-ayat hukum dalam al-Qur an
terbatas jumlahnya, sementara permasalahan masyarakat senantiasa muncul. Dalam
menghadapi berbagai permasalahan yang timbul itu, melalui pengetahuan tentang
tujuan hukum, maka pengembangan hukum akan dapat dilakukan.
Secara etimologi, maqâshid al-syarî ah berarti maksud atau tujuan disyariatkan
hukum dalam Islam. Karena itu, yang menjadi bahasan utama di dalamnya adalah
mengenai masalah hikmat dan illat ditetapkannya satu hukum.14
Ulama berpendapat bahwa sejak zaman Rasulullah SAW. sudah ada petunjuk yang
mengacu pada peranan penting maqâshid al-syarî ah dalam pembentukan hukum Islam.

12
Al-Zuhailî, Ushûl al-Fiqh, h. 197-203.
13
Abû Ishâq al-Syâtibi, Al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî ah, jilid II (Kairo: Al-Maktabah al-
Taufîqiyyah, 2003), h. 73-74.
14
Ahmad al-Raisunî, Nazhariyat al-Maqâshid inda Al-Syâtibi (Rabath: Dâr al-Aman, 1991),
h. 67.


MIQOT >?@A BBBC> D?A E FG@HIJKLKMNKO EPQP

RSTUVWXU YUVUZ T[\]U^ ^UYST _UT]V]VVU^ Z[VU`UWa b`UWacb`UWa dTVUZ YS RUYSWU^


Z[WXSZeUW YUaSWa f]`\UW f[g]UVS T[f[YU` \[fUV ]Wh]f hSaU ^U`Si j[\[`UeU hU^]W
f[Z]YSUW UYU \[\[`UeU TU^U\Uh XUWa Z[WXUVU^S f[h[Wh]UW h[`T[\]hi k[hUeS _UT]V]VVU^
Z[Z\[WU`fUWWXU T[`hU Z[Wl[VUTfUW \U^mU nopqrsr ptr uvspwpxy tpszpx uvx{zu|pxx{p
tpwvxp tv|vx}zxypx ps-op~~pq (|pwp |vxop}pxy opwz |vwtpu|rxypx porz {pxy op}pxy tv
€pozxpq {pxy uvur}rqtpx opyzxy), vtpwpxy zu|pxspq opyzxy-opyzxy trwpx z}r. ‚ƒ
„U`S e[`SThSmU SWS YUeUh h[`VS^Uh U`hS e[WhSWaWXU maqâshid al-syarî ah YUVUZ
e[W[hUeUW ^]f]Zi „UVUZ e[`TbUVUW YUaSWa f]`\UW YS UhUT… VU`UWaUW Z[WXSZeUW YUaSWa
f]`\UW UYUVU^ ]Wh]f Z[Z\[`S f[VUeUWaUW \UaS †UfS` ZSTfSW XUWa YUhUWa YU`S
e[`fUZe]WaUW jUY]Si dWS UYUVU^ maqâshid al-syarî ah YU`S VU`UWaUW Z[WXSZeUW YUaSWa
f]`\UW h[`T[\]hi ‡fUW h[hUeS… T[h[VU^ b`UWacb`UWa ZSTfSW YU`S e[`fUZe]WaUW jUY]S
h[`T[\]h hSYUf VUaS Z[Z\]h]^fUW YUaSWa f]`\UW… VU`UWaUW Z[WXSZeUW YUaSWa f]`\UW
e]W hSYUf VUaS YS\[`VUf]fUW _UT]V]VVU^ ˆ‡‰i ˆ[UWYUSWXU YS T]Uh] TUUh \[`Sf]hWXU b`UWac
b`UWa jUY]S f[Z\UVS Z[Z\]h]^fUW YUaSWa f]`\UW… ZUfU f[h[Wh]UW _UT]V]VVU^ ˆ‡‰i
YUVUZ ^UYST h[`T[\]h UfUW \[`VUf] f[Z\UVSi
Š[`UWUW e[WhSWa maqâshid al-syarî ah T[\UaUSZUWU XUWa YSh]Wl]ffUW _UT]V]VVU^
ˆ‡‰i h[`T[\]h YSh[`]TfUW eU`U TU^U\Uh YUVUZ \[`SlhS^UY… fU`[WU e[`]\U^UW fbWYSTS TbTSUV
‹UZUW TU^U\Uh lU]^ V[\S^ e[TUh lSfU YS\UWYSWafUW Y[WaUW YS ‹UZUW _UT]V]VVU^ ˆ‡‰i
ŒU`[WU Sh]… YUVUZ \[`\UaUS e`UfhSf SlhS^UY XUWa YSVUf]fUW bV[^ eU`U TU^U\Uh… f^]T]TWXU
YS \SYUWa Z]UZUVU^… T[VUZU YUeUh YSf[hU^]S h]l]UW ^]f]ZWXU… ZUfU Y[WaUW Sh] YUeUh
YSVUf]fUW e[Wa[Z\UWaUW ^]f]Z Z[VUV]S Z[hbY[ qiyâs UhU] XUWa VUSWWXU YUVUZ `UWafU
Z[WlUmU\ e[`TbUVUW \U`] XUWa \[V]Z UYU eUYU ZUTU _UT]V]VVU^ ˆ‡‰i „[WaUW Y[ZSfSUW…
UXUhcUXUh ^]f]Z XUWa l]ZVU^WXU h[`\UhUT UfUW ZUZe] Z[WlUmU\ e[`]\U^UWc
e[`]\U^UW XUWa hSYUf h[`\UhUT l]ZVU^WXUi
UV SWS ZSTUVWXU YUeUh YSVS^Uh YU`S \[\[`UeU SlhS^UY XUWa YSVUf]fUW bV[^ ŽZU` \SW
Œ^UhU\ `Ui j[VSU] UWhU`U VUSW hSYUf Z[VUfTUWUfUW ^]f]Z ebhbWa hUWaUW \UaS e[Wg]`S…
‹UfUh \UaS Z]UVVU†… lUh]^WXU hUVUf hSaU T[fUVSa]T YUW XUWa VUSWWXUi Š[`]\U^UW ^]f]Z
T[gU`U †b`ZUV WUZeUfWXU YSVUf]fUW ŽZU` fU`[WU UYUWXU e[ZU^UZUW XUWa
fbZe`[^[WTS† h[`^UYUe e[TUWce[TUW UVc]`UW YUW ˆ]WWU^i ‰UVU]e]W e[`]\U^UW Sh]
h[VU^ h[`lUYS… h[hUeS ^UV SWS \]fUW \[`U`hS \[VSU] Z[WSWaaUVfUW UeUVUaS Z[Z\UhUVfUW
nashcnash UVc]`UWi ‡YUVU^ Z[`]eUfUW T]Uh] f[f[VS`]UW \UaS b`UWa XUWa Z[ZU^UZS
f[\SlUfUW ŽZU` T[\UaUS hSWYUfUW XUWa Z[WSWaaUVfUW T[\UaSUW nashcnash UVc]`UW
Y[ZS f[ZUTVU^UhUW YUW e[`hSZ\UWaUW e`S\UYSi ‡fUW h[hUeS XUWa T[\[WU`WXU ŽZU` h[VU^
Z[W[`UefUW Y[WaUW \USf YUW Z[ZU^UZS T[gU`U f`[UhS† h[`^UYUe h]l]UWch]l]UW TXU`SUhi‚‘

’“ ”HL•– @KNH– @K—˜™•š ›•š•œ ›H@H–•œ ›•@•M GL@HMž Shahîh Muslim, ŸH@H› CC  ¡KHOGœ¢ Jâr
al-Fikr, 1993), h. 252.
16
Muhammad Abû Zahrah, Târîkh al-Mazâhib al-Islâmiyah (Mesir: Dâr al-Fikr al- Arâbî,
t.t.), h. 20.

;<=
Arip Purqon: Corak Pendekatan dalam Ushûl al-Fiqh

¦§¨©ª«¬ ­®qâshid al-syarî ah


¯°±°² ²³´µ¶°·°¸¹ ¸³º»¼°±°´½¸³º»¼°±°´ ¾¼´¿³²¸¼º³ºÀ ¸³º±Á ·¹°·°¾°´ ¸³´³±¹¿¹°´
¿³º±³Â¹¶ ·°¶Á±Á ¶°¾¹¾°¿ ·°º¹ ¸³º»¼°±°´½¸³º»¼°±°´ ¿³º»³ÂÁ¿Ã ij´³±¹¿¹°´ ¿³º¶°·°¸ ²°»°±°¶
Å°´µ °¾°´ ·¹¿³¿°¸¾°´ ¶Á¾Á²´Å° »°²° ¸³´¿¹´µ´Å° ·³´µ°´ ¸³´³±¹¿¹°´ ¿³º¶°·°¸ »Á²Â³º
¶Á¾Á² Å°´µ °¾°´ ·¹Æ°·¹¾°´ ·°±¹±´Å°Ã Ǻ¿¹´Å°À °¶È° ·°±°² ²³´³º°¸¾°´ ÉÊËÌ ¿³º¶°·°¸
»°¿Á ¾°»Á» °ºÁÀ ¾°´·Á´µ°´ ¶°ºÁ» ·¹¿³±¹¿¹ ·³´µ°´ ͳº²°¿À ¿³º²°»Á¾ ²³´³±¹¿¹ ¿ÁÆÁ°´
·¹ËÎÊÏÐÊѾ°´ ¶Á¾Á² ¿³º»³ÂÁ¿Ã Ò³¿³±°¶ ¹¿Á ¸³º±Á ·¹°·°¾°´ »¿Á·¹ ¾³±°Å°¾°´ ÓÑÊÉÔÕÌ ÊÖ-
×ÊÉâthØÀ °¸°¾°¶ °Å°¿ °¿°Á ¶°·¹» ¿³º¿³´¿Á ±°Å°¾ Á´¿Á¾ ·¹¿³º°¸¾°´ ¸°·° ¾°»Á» Å°´µ °ºÁ
¹¿Áà ٰº³´° ¹»° Æ°·¹À °·° ¾°»Á» ¶Á¾Á² °ºÁ Å°´µ ²¹º¹¸ ·³´µ°´ ¾°»Á» ¶Á¾Á² Å°´µ
¿³º·°¸°¿ ·°±°² °±½ÚÁºÛ°´ ·°´ Ü°·¹»Ã Ä°·°¶°± »³¿³±°¶ ·¹°·°¾°´ ¸³´³±¹¿¹°´ Å°´µ »³¾»°²°À
¿³º´Å°¿° ¾°»Á» ¹¿Á ¿¹·°¾ »°²°Ã Ù¼´»³¾Á³´»¹´Å°À ¾°»Á» ¿³º»³ÂÁ¿ ¿¹·°¾ ·°¸°¿ ·¹»°²°¾°´
¶Á¾Á²´Å° ·³´µ°´ ¾°»Á» Å°´µ °·° ¸°·° ¾³·Á° »Á²Â³º ¶Á¾Á² Å°´µ Á¿°²° ¿³º»³ÂÁ¿Ã ¯¹
»¹´¹±°¶ ±³¿°¾ ¸³´¿¹´µ´Å° ¸³´µ³¿°¶Á°´ ¿³´¿°´µ ¿ÁÆÁ°´ Á²Á² ·¹»Å°º¹°¿¾°´ ¶Á¾Á² ·°±°²
Ý»±°²Ã Ù³µ¹°¿°´ ¸³´³±¹¿¹°´ ¿³º¶°·°¸ ¿ÁÆÁ°´ ¶Á¾Á² ¹´¹ ¿³±°¶ ·¹±°¾Á¾°´ ¼±³¶ ¸°º° °¶±¹
ushûl al-fiqh ¿³º·°¶Á±Áà DZ½ÞÁÈ°¹´î dapat dikatakan sebagai ahli ushûl al-fiqh pertama
yang menekankan pentingnya memahami maqâshid al-syarî ah dalam menetapkan
hukum. Ia secara tegas menyatakan bahwa seseorang tidak dikatakan mampu menetapkan
hukum dalam Islam sebelum ia dapat memahami benar tujuan Allah menetapkan
perintah dan larangan-Nya.17 Kemudian beliau mengelaborasi lebih lanjut maqâshid al-
syarî ah itu dalam kaitannya dengan pembahasan illat pada masalah qiyâs. Menurut
pendapatnya, dalam kaitannya dengan illat, ashl dapat dibedakan menjadi lima
kelompok, yaitu dharûriyyat, al-hâjat al- ammat, makramat, sesuatu yang tidak masuk
dharuriyyat dan hâjiyyat dan sesuatu yang tidak termasuk ketiga kelompok sebelumnya.18
Kerangka berpikir al-Juwainî kelihatannya dikembangkan oleh al-Ghazâlî. Al-
Ghazâlî menjelaskan maksud syariat dalam kaitannya dengan pembahasan al-munâsabat
al-mashlahiyyat dalam qiyâs.19 Sementara dalam kitabnya al-Mustashfâ, beliau
membicarakan hal ini dalam pembahasan istishlâh.20 Mashlahah baginya adalah
memelihara maksud pembuat hukum (Allah). Kemudian beliau merinci mashlahah itu
menjadi lima, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kelima aspek
maslahat ini berada pada tingkat yang berbeda bila ditinjau dari segi tujuannya yaitu
peringkat dharûrat, hâjat dan tahsînat.21
Ahli ushûl al-fiqh berikutnya yang membahas secara khusus aspek utama maqâshid
al-syarî ah adalah Izz al-Dîn ibn Abd al-Salâm. Beliau banyak mengelaborasi hakikat

17
Al-Juwainî, Al-Burhân fî Ushûl Fiqh, jilid I (t.t.p.: Dâr al-Anshâr, 1400 H), h. 295.
18
Ibid., h. 923-930.
19
Al-Ghazâlî, Syifâ al-Ghîl fî Bayân al-Syibh wa al-Mukhil wa Masâlik al-Ta lîl (Baghdad:
Mathba ah al-Irsyad, 1971), h. 159.
20
Ibid., h. 250.
21
Ibid.
£¤¥
MIQOT âãäå æææçâ èãå é êëäìíîïðïñòïó éôõô

ö÷øùú÷ù÷û üýþýÿ  ÿüý  ö÷


ø÷ ÷û üý ÿý  ÿý ýý ÷  ÷ú-ö÷
âshid
wa jalbu al-manâfi  ýý maslahat üý üý üýý üþýý üý  ý  ý
ý dharûriyyat, hajiyyat üý tatimmat ýý takmilat   þý þý ÿþýý
ýý taklîf  ÿý ý ýüý ÿýþýýý ÿýý ý ü üý ÿý ü ý ý 
üý ýþ ushûl al-fiqh ý ÿÿ ýý   maqâshid al-syarî ah ý ý 
ÿý üý þý ýüýþý þ!âtibi. Dalam kitabnya al-Muwâfaqât fî Ushûl al-syarî ah,
beliau menghabiskan kurang lebih sepertiga pembahasannya dalam masalah ini. Beliau
secara tegas menyatakan bahwa tujuan Allah mensyariatkan hukum-Nya adalah untuk
kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Karena itu, taklîf dalam bidang hukum
harus bermuara pada tujuan hukum tersebut. Sebagaimana ulama sebelumnya, beliau
juga membagi peringkat mashlahat menjadi tiga peringkat yaitu dharûriyyat, hâjiyyat
dan tahsîniyyat. Yang dimaksud dengan mashlahat baginya adalah memelihara lima
aspek utama, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. 24
Dalam kaitannya dengan upaya untuk memahami maqâshid al-syarî ah, para ulama
terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok pertama, ulama yang berpendapat bahwa
maqâshid al-syarî ah adalah sesuatu yang abstrak, tidak dapat diketahui kecuali melalui
petunjuk Tuhan dalam bentuk zahir lafal yang jelas. Petunjuk itu tidak memerlukan
penelitian yang pada gilirannya bertentangan dengan kehendak bahasa. Pandangan ini
menolak analisis dalam bentuk qiyâs. Kelompok ini disebut ulama al-zhâhiriyyah.25
Kelompok kedua, ulama yang tidak menempuh pendekatan zhâhir al-lafzh dalam
mengetahui maqâshid al-syarî ah. Kelompok ini terbagi menjadi dua, yaitu: pertama, yang
berpendapat bahwa maqâshid al-syarî ah bukan dalam bentuk zahir dan pula yang dipahami
dari penunjukan zahir lafaz. Maqâshid al-syarî ah merupakan hal lain yang ada di balik
tunjukan zahir lafaz. Kelompok ini disebut ulama al-bâthiniyah. Kedua, adalah yang
berpendapat bahwa maqâshid al-syarî ah harus dikaitkan dengan pengertian-pengertian
lafaz. Artinya, zahir lafaz tidak harus mengandung penunjukkan mutlak. Apabila terdapat
pertentangan zahir lafaz dengan nalar, maka yang diutamakan dan didahulukan adalah
pengertian nalar. Kelompok ini disebut ulama al-mu ammiqîn fî al-qiyâs.26
Kelompok ketiga adalah ulama yang melakukan penggabungan dua pendekatan
tersebut dalam suatu bentuk yang tidak merusak pengertian zahir lafaz dan tidak pula
merusak kandungan makna, agar syariat tetap berjalan secara harmoni tanpa kontradiksi.
Kelompok ini disebut ulama al-râsikhîn.27

22
Ibn Abd al-Salâm, Qawâ id al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm, jilid I (Kairo: al-Istiqamat,
t.t), h. 9.
23
Ibid., jilid II, h. 60-62.
24
Al-Syâtibi, Al-Muwâfaqât, h. 5-6.
25
Ibid., jilid II, h. 332-333.
26
Ibid.
27
Ibid.
ßàá
Arip Purqon: Corak Pendekatan dalam Ushûl al-Fiqh

%&'()(* +&*,(* ()-%.âtibi, Yûsuf al-Qaradhâwî juga membagi aliran dalam memahami
/01âshid al-syarî ah ini menjadi tiga, yaitu pertama. Aliran yang hanya memperhatikan nash-
nash yang juz î serta memahaminya dengan pemahaman yang literal tanpa melihat maksud
yang ada di balik nash syariah tersebut. Mereka adalah kelompok yang disebut neo-al-zhâhiriyah
(al-zhâhiriyyah al-judûd). Mereka adalah para pewaris aliran al-zhâhiriyyah yang
mengingkari adanya illat dalam hukum atau menghubungkannya dengan maksud tertentu.28
Kedua. Aliran yang sangat memperhatikan masalah maqâshid al-syarî ah dan spirit
agama, namun tidak peduli dengan nash-nash al-Qur an dan Sunnah yang sahih. Mereka
lebih senang berpegang dengan ayat-ayat mutasyabihât dan selalu berpaling dari yang
muhkam. Jargon mereka adalah pembaharuan.29
Ketiga. Aliran moderat, yaitu aliran yang tidak memahami nash secara terpisah
dari maqâshid al-syarî ah yang kulli tetapi selalu memahaminya dalam koridor maqâshid
al-syarî ah yang kulli tersebut.30

234567869 :69 ;3<=:3 ;346>648 ?@qâshid al-syarî ah


Ada tiga cara untuk memahami maqâshid al-syarî ah, yaitu cara pertama dengan
melakukan analisis terhadap lafal perintah dan larangan. Fokus cara ini adalah
melakukan penelaahan pada amr dan nahy yang terdapat dalam al-Qur an dan Sunnah
secara jelas sebelum dikaitkan dengan permasalahan-permasalahan yang lain. Artinya,
kembali pada perintah dan larangan secara hakiki. Dalam konteks ini, suatu perintah
harus dipahami menghendaki sesuatu yang diperintahkan itu diwujudkan atau dilakukan.
Perwujudan isi dari perintah itu menjadi tujuan yang dikehendaki oleh syâri (Allah).
Begitu pula halnya dalam masalah larangan. 31
Adapun cara kedua adalah dengan melakukan penelaahan illat pada amr dan nahy.
Pemahaman maqâshid al-syarî ah dapat pula dilakukan melalui analisis illat hukum yang
terdapat dalam ayat-ayat al-Qur an atau hadis. illat hukum ini adakalanya tertulis secara
jelas dan adakalanya tidak tertulis secara jelas. Apabila illat itu tertulis secara jelas, maka
harus mengikuti apa yang tertulis itu. Apabila tidak tertulis secara jelas, maka pada
dasarnya tidak dibenarkan melakukan perluasan cakupan terhadap apa yang telah ditetapkan
dalam nash. Namun hal itu dimungkinkan apabila tujuan hukum dapat diketahui. 32
Cara ketiga adalah dengan menganalisis terhadap sikap diam syâri dari penetapan
hukum sesuatu. Cara ketiga yang digunakan dalam memahami maqâshid al-syarî ah

28
Yûsuf al-Qaradhâwî, Al-Siyâsah al-Syar iyyah fî Dau Nushûsh al-syarî ah wa Maqâsidiâ
(Kairo: Maktabah Wahbah, 1998), h. 228.
29
Ibid.
30
Ibid., h. 229.
31
Al-Syâtibi, Al-Muwâfaqât, jilid II, h. 333-334.
32
Ibid., h. 334-336.
"#$
MIQOT DEFG HHHID JEG K LMFNOPQRQSTQU KVWV

XYXZX[ Y\]^X] _\ZX`a`X] b\_X[X_X] c\d[XYXb b\d_XeXZX[X]fb\d_XeXZX[X] [a`a_


gX]^ chYX` Yhe\iac jZ\[ klâri m n\d_XeXZX[X] [a`a_ c\de\iac bXYX [X`h`Xc]gX eX]^Xc
i\dYX_bX` bjehcho YXZX_ `\[hYabX]mpp
qhZh[Xc YXdh e\^h jir\`]gXs ta[X__XY u[X[îr ibn Asyûr membagi maqâshid al-syarî ah
menjadi tiga macam, yaitu pertama, apa yang disebutnya al-maqâshid al-ammah (tujuan-tujuan
umum), yaitu sesuatu yang dipelihara syariat serta diusahakan untuk dicapai dalam berbagai
bidang syariat, seperti menegakkan dan mempertahankan agama dari ancaman pihak musuh.
Adapun yang kedua adalah al-maqâshid al-khâshshah (tujuan-tujuan khusus), yaitu
tujuan yang hendak dicapai syariat dalam topik tertentu, seperti tujuan yang hendak
dicapai syariat dalam hukum yang terkait dengan masalah perkawinan dan keluarga,
tujuan syariat yang hendak dicapai dalam masalah ekonomi, tujuan syariat yang hendak
dicapai dalam bidang muamalat yang bersifat fisik, tujuan yang hendak dicapai syariat
dalam masalah hukum pidana, peradilan dan amal-amal kebaikan.
Ketiga adalah al-maqâshid al-juz iyyah, yaitu tujuan yang hendak dicapai syariat
dalam menetapkan hukum syara yaitu hukum wajib, sunnah, haram, makruh dan
mubah terhadap sesuatu atau menetapkan sesuatu menjadi sebab, syarat atau mani
(penghalang). Misalnya salat itu diwajibkan untuk memelihara agama dan perzinaan
diharamkan untuk memelihara keturunan dan kehormatan.34
Allal al-Fasî mengemukakan bahwa pembagian maqâshid al-syarî ah dari segi
objeknya ini menunjukkan bahwa syâri dalam mensyariatkan berbagai hukum tidak
bermaksud hanya membebani umat manusia dengan berbagai hukum, tetapi juga melalui
hukum-hukum tersebut manusia mendapatkan sesuatu kemaslahatan sekaligus terhindar
dari kemudaratan, baik di dunia maupun di akhirat. 35
Al-Syâtibi menyatakan bahwa untuk mewujudkan kemaslahatan dunia dan
akhirat, ada lima pokok yang harus diwujudkan dan dipelihara. Dengan mewujudkan
dan memelihara kelima pokok tersebut seorang mukallaf akan mendapat kebahagian
dunia dan akhirat. Berdasarkan hasil induksi ulama terhadap berbagai nash, kelima
masalah pokok itu adalah agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.36 Lima kemaslahatan
pokok ini wajib dipelihara seseorang dan untuk itu pula didatangkan syariat yang
mengandung perintah, larangan dan izin yang harus dipatuhi oleh setiap mukallaf. Akan
tetapi para ulama berbeda tentang urutan kelima pokok tersebut. 37

33
Ibid., h. 336-338.
34
Muhammad Thahîr ibn Asyûr, Maqâshid al-Syarî ah al-Islâmiyah (Kairo: Dâr al-Salâm,
2005), h. 67.
35
Allal al-Fasî, Maqâshid al-Syarî ah al-Islâmiyah wa Makârimuhu (t.t.p: Dâr al-Gharbi
al-Islâmi, 1993), h. 11-12.
36
Al-Syâtibi, Al-Muwâfaqât, jilid II, h. 3-8.
37
Uraian lebih lanjut lihat misalnya dalam Jamal al-Dîn Athiyah, Nahwa Taf îl Maqâshid
al-Syarî ah (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001), h. 28-48.
ABC
Arip Purqon: Corak Pendekatan dalam Ushûl al-Fiqh

yz{z| |}~€‚zƒ zƒ |}|}{„…z†z ‚}{„|z ‡ˆ‚ˆ‚ „ z‰zŠ‹ {z|z |}ƒŒ


‚z‰}Œˆ†„‚zƒƒŽz z{z| }}†z‡z ‰„ƒŒ‚z‰zƒ Š}Šz„ }ƒŒzƒ ‚z{„‰zŠ ‚}‰…zƒƒŽz‹ Žz„‰
‰„ƒŒ‚z‰zƒ ‡}†‰z|z zz{z… ‚}‰…zƒ ‘-’“”ûriyyat‹ Žz„‰ ‚}|zŠ{z…z‰zƒ |}ƒzŠz† ŽzƒŒ
|}|‡ƒŽz„ ‡}†zƒzƒ ‡}ƒ‰„ƒŒ z{z| |}~€‚zƒ zƒ |}{„ƒƒŒ„ }‚Š„Š‰}ƒŠ„ ‚}{„|z
‡ˆ‚ˆ‚ „ z‰zŠ• –‡z„{z ‚}|zŠ{z…z‰zƒ „ƒ„ …„{zƒŒ‹ |z‚z ‚}…„‡zƒ |zƒŠ„z „Šz …zƒ—†‹
‰„z‚ Š}{z|z‰‹ z„‚ ƒ„z |z‡ƒ z‚…„†z‰• ˜}ƒ†‰ –{™Žâtibi, di atas kelima hal inilah
agama dan dunia dapat berjalan seimbang dan apabila dipelihara akan dapat memberi
kebahagiaan bagi masyarakat dan pribadi. 38
Adapun tingkatan kedua adalah kebutuhan al-hâjiyyat, yaitu dalam rangka
perwujudan dan perlindungan yang diperlukan dalam melestarikan lima pokok tersebut,
tetapi kadar kebutuhannya berada di bawah kebutuhan al-dharûriyat. Tidak
terpeliharanya kebutuhan al-hâjiyat tidak akan membawa terancamnya eksistensi lima
pokok tersebut, tetapi membawa pada kesempitan dan kepicikan, baik dalam usaha
mewujudkan maupun dalam pelaksanaannya. 39
Tingkatan yang ketiga adalah kebutuhan al-tahsîniyyat, yaitu dimaksudkan untuk
mewujudkan dan memelihara hal-hal yang menunjang peningkatan kualitas kelima pokok
kebutuhan mendasar manusia tersebut dan menyangkut hal-hal yang terkait dengan akhlak
mulia. Tidak terwujudnya kebutuhan al-tahsiniyyat ini tidaklah membawa terancamnya
eksistensi kelima pokok tersebut serta tidak pula membawa pada kesulitan, tetapi hanya
dapat menyalahi kepatutan dan menurunkan martabat pribadi atau masyarakat. 40
Dalam upaya penerapan maqâshid al-syarî ah dalam ijtihad, ada dua corak
penalaran yang berkembang, yaitu corak penalaran ta lîli dan corak penalaran istishlâhi.
Corak penalaran ta lîli adalah upaya penggalian hukum yang bertumpu pada
penentuan illat- illat hukum yang terdapat dalam suatu nash. Berkembangnya corak
penalaran ta lili ini didukung oleh suatu kenyataan bahwa nash al-Qur an maupun hadis
dalam penuturannya tentang suatu masalah hukum sebagian diiringi dengan
penyebutan illat- illat hukumnya.41 Atas dasar illat yang terkandung dalam suatu nash,
permasalahan-permasalahan yang muncul diupayakan pemecahannya melalui
penalaran terhadap illat yang ada dalam nash tersebut. Dalam perkembangan pemikiran
ushûl fiqh, corak penalaran ta lili ini antara lain berbentuk metode qiyâs dan istihsân.
Adapun corak penalaran istishlâhi adalah upaya penggalian hukum yang bertumpu
pada prinsip-prinsip kemaslahatan yang disimpulkan dari al-Qur an dan Sunnah. Artinya
kemaslahatan yang dimaksudkan disini adalah kemaslahatan secara umum yang

38
Al-Syâtibi, Al-Muwâfaqât, jilid II, h. 3-8.
39
Ibid.
40
Ibid., h.9.
41
Muhammad Mushthafa Syalabî, Ta lîl al-Ahkâm (Beirut: Dâr al-Nahdah al- Arabiyah,
1981), h. 14-15.

vwx
MIQOT žŸ  ¡¡¡¢ £ž  ¤ ¥¦Ÿ§¨©ª«ª¬­ª® ¤¯°¯

±²³´µ¶´··¸µ ¹º»¼ ·»±´¸ ½´¾¿»À ¼´·´¾ Á½º¸¾Â ÃÀ³²µÄ¸ ·»¾¸½º¸¼¸³¸µ ²³´ ³²±¸· ±¸Å¸³
±²·»¾¿¸º²·¸µ Ÿ±¸ ½´¸³´ ¸Ä¸³ ¸³¸´ ¼¸±²½ ½»Æ¸À¸ º¸µÇ½´µÇÈ ¾»º¸²µ·¸µ ±²·»¾¿¸º²·¸µ
Ÿ±¸ ÅÀ²µ½²Å ´¾´¾ ·»¾¸½º¸¼¸³¸µ ĸµÇ ±²·¸µ±´µÇ ¹º»¼ ÉÊËÌ.ÍΠϸº¸¾ Å»À·»¾¿¸µÇ¸µ
Å»¾²·²À¸µ ÐËÌûl fiqhÈ Æ¹À¸· Å»µ¸º¸À¸µ istishlâhi ²µ² ¸µ³¸À¸ º¸²µ ³¸¾Å¸· ±¸º¸¾ ¾»³¹±»
al-maslahah al-mursalah ±¸µ al-dzarî ahÂ
ϲ ½¸¾Å²µÇ ±´¸ ƹÀ¸· Å»µ¸º¸À¸µ ³»À½»¿´³È ½»¿»µ¸ÀµÄ¸ ³»À±¸Å¸³ Å´º¸ ƹÀ¸·
Å»µ¸º¸À¸µ bayânîÈ Ä¸²³´ ´Å¸Ä¸ Å»µÇǸº²¸µ ¼´·´¾ ±¸À² ½´¸³´ nash ±»µÇ¸µ ¿»À³´¾Å´
Ÿ±¸ ·¸²±¸¼Ñ·¸²±¸¼ lughawî Ò·»¿¸¼¸½¸¸µÓÂÍÔ Õ¹À¸· ²µ² ±²Å¸·¸² ¶´Ç¸ ¹º»¼ úÑÖÄâtibi,
terutama dalam kaitannya dengan masalah ibadah. Dalam hal ini, maqâshid al-syarî ahnya
berbentuk sebab yang tidak langsung membawa pada kemaslahatan.
Ada beberapa kriteria yang harus terpenuhi agar suatu perkara dianggap menjadi bagian
dari maqâshid al-syarî ah, yaitu bersifat tetap (tsubût), dalam arti bahwa tujuan yang
dianggap maqâshid al-syari ah harus dapat dipastikan dengan pengukuhannya atau dianggap
dengan anggapan yang mendekati pasti; jelas (zhâhir), dengan pengertian bahwa tujuan
yang dianggap itu harus jelas serta diketahui tidak adanya perbedaan di kalangan ulama
ahli fiqih. Misalnya hifdz al-nasab itu merupakan bagian dari tujuan syariat di dalam
penetapan pernikahan. Hal ini adalah jelas karena perempuan itu hanya dapat ditentukan
anaknya apabila ia memiliki pasangan tertentu. Selain itu, sesuatu yang akan dijadikan
maqâshid al-syarî ah dimaksud harus dapat dibatasi (inzhibâth), yaitu adanya maksud
dari tujuan yang dicapai tersebut harus memiliki kadar atau batas yang tidak diragukan
lagi, dan pemberlakuannya bersifat universal (ithrâd), yaitu bahwa adanya maksud dari
tujuan yang dicapai tersebut tidak berbeda dalam berbagai zaman dan tempat. 44

×ØÙÚÛÚÜ
Dari pemaparan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa fungsi ilmu ushûl al-
fiqh secara umum adalah untuk membimbing manusia dalam menangkap maksud
Tuhan secara benar. Artinya, dengan mempelajari kaidah dan teori ushûl (al-qawâ id al-
ushûliyah), seseorang dapat menangkap makna yang terkandung dalam teks al-Qur an
dan Sunnah. Dengan kata lain, ia menjadi ilmu yang mencoba untuk menjembatani
antara kehendak Tuhan dengan pemahaman yang bisa ditangkap oleh manusia.
Sebab itu, karena yang menjadi kajian dalam ilmu ushûl al-fiqh adalah istinbath
hukum yang menyangkut nash, jiwa dan tujuan syariat, maka pendekatan yang akan
diterapkan haruslah pendekatan yang menyangkut ketiga hal tersebut. Untuk itu,
pendekatan yang tepat ialah pendekatan melalui kaidah-kaidah kebahasaan dan
maqâshid al-syarî ah.

42
Al-Zuhailî, Ushûl al-Fiqh, jilid II, h. 1069.
43
Ibid.
44
Ibn Asyur, Maqâshid, h. 50.
š›œ
Arip Purqon: Corak Pendekatan dalam Ushûl al-Fiqh

àáâããäâååâ æáâçáèåéåâ êáëåëäì èåìçåí èáîåíåïååâ êáâðåçì æáâéìâã èåñáâå èåðìåâ


åèåâ êáâòåâãèäé óôõö ÷éáèïø ïòåñìåéù ïáçåâãèåâ æáâçáèåéåâ êáëåëäì úôûüõöýþ ôÿ-
õ ôî ah êáâðåçì æáâéìâã èåñáâå èåðìåâ êáâòåâãèäé èáíáâçåè syâri ù òåâã íåâòå
êäâãèìâ çåæåé çìèáéåíäì êáëåëäì èåðìåâ maqâshid al-syarî ah

 A 

îû Zahrah, Muhammad. Târîkh al-Mazâhib al-Islâmiyah. Mesir: Dâr al-Fikr al-Arâbî, t.t.
Abû Zahrah, Muhammad. Ushûl al-Fiqh. Beirut: Dâr al-Fikr al-Arâbî, 1987.
Athiyah, Jamâl al-Dîn. Nahwa Taf îl Maqâshid al-syarî ah. Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005.
Al-Darainî, Fathî. Al-Manâhij al-Ushûliyah fî al-Ijtihâd bi al-Ra yi fî al-Tasyrî al-Islâmî.
Damaskus: Dâr al-Kitab al-Arâbî, 1975.
Al-Fasî, Allal. Maqâshid al-syarî ah al-Islâmiyah wa Makârimuhu. Dâr al-Gharb al-Islâmî, 1993.
Al-Ghazâlî, Abû Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad. Al-Mustashfâ fî
Ilm al-Ushûl. Beirut: Dâr al-Kutub al- Ilmiyyah, 1993.
Al-Ghazâlî, Abû Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad. Syifâ al-Ghalîl fî Bayân
al-Syibh wa al-Mukhil wa Masâlik al-Ta lîl. Baghdad: Mathba ah al-Irsyad, 1971.
Hasaballah, Alî. Ushûl al-Tasyrî al-Islâmî. Mesir: Dâr al-Ma ârif, 1971.
Ibn Asyur, Muhammad Thahîr. Maqâshid al-syarî ah al-Islâmiyah. Kairo: Dâr al-Salâm, 2005.
Al-Qusyairî, Abû Husain Muslim ibn Hajjaj ibn Muslim. Shahîh Muslim. Beirut: Dâr al-
Fikr, 1993.
Al-Juwainî, Al-Burhân fî Ushûl Fiqh. Dâr al-Anshâr, 1400 H.
Khallaf, Abd al-Wahhab. Ilm Ushûl al-Fiqh. Kuwait: Dâr al- Ilm, 1978.
Al-Raisunî, Ahmad. Nazhariyat al-Maqâshid inda Al-Syâtibi. Rabath: Dâr al-Aman, 1991.
Al-Qaradhâwî, Yûsuf. Al-Siyâsah al-Syar iyyah fî Dhau Nushûsh al-syarî ah wa
Maqâshidihâ. Kairo: Maktabah Wahbah, 1998.
Al-Salâm, Ibn Abd. Qawâ id al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm. Kairo: al-Istiqamat, t.t.
Syalabî, Muhammad Mushthafa. Ta lîl al-Ahkâm. Beirut: Dâr al-Nahdah al-Arâbiyah, 1981.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, 2000.
Al-Syâtibi, Abû Ishaq. Al-Muwâfaqât fî Ushûl al-syarî ah. Kairo: Al-Maktabah al-
Taufîqiyyah, 2003.
Al-Zuhailî, Wahbah. Ushûl al-Fiqh al-Islâmî. Beirut: Dâr al-Fikr, 1986.

ÝÞß
MIQOT  I N  JD 

 !" FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM


MUHAMMAD ABDUH

#$%&t Sulthoni Dhalimunthe


'(AIN M)*+,-..)*/0 L01,./-2)3/
J*4 (/56,- C0+, D+7+81 N14 9 L01,./-2)3/: A;/0 <7)8): =>?@A
/B2)+*C *)5)3)*),-2@D)0114;14+E

FGHIJKLIM NOPQRKISOQ OT MPUKVVKR WFGRPUXH PUSYOHOZU[ OT \HYKVSL


]RPLKISOQ^ _` abc abbdb b aab e d`d`ca cfcdb g
h M`aag iAg` f cfbcbfj ` b`j`b f Iac gcabf _`
kh cfcdb cfbbb ` lm f afn cbhn kfmgj afg a opqrsâqt
If ` cadacbh a a en M`aag iAg` gg fb fh udaf afg
d`av b` fbabf e b` cfcdb f gcabfn b a d`av
afw fg b afbaf ` eab` f Ggn a m a g fbacbf afjb
af ab ca l _` mb aj b`ab b` hfjc fbacbf caf fh 
ac`lg h af eecbl af b`j` Iac Ifbfb

xyzy x{|}~ €‚ƒ„… †‡‚ˆƒ‰‡Š ‹‡€‰€‡Œ †‡ƒ‡Ž‡€‡ŒŠ ‰†ˆ …„‚„Œ‡‹ˆ‡‚Š ‡€‹‡€

Pendahuluan
Mˆ‹‡††‡‘ A’‘ˆ‹ “”• –—˜™š ‡‘‡‡‹ ƒ„Ž‡‚ …„†‰€‰Ž Mˆƒ‰† ‡‚ ‹‡ƒ‰›‹‡ƒ‰
…„†‰€‰Ž‡‚‚‡ ƒ„‡ˆ ‘‰’‰œ‡Ž‡€‡‚ ‘‡‚ ‘‰Žˆˆ€ „‹ ’‡‚‡€ €‡‡‚‡‚• K‡Ž„‚‡‚‡Š †‡ƒ‰‹
’‡‚‡€ …„†‰€‰Ž‡‚ Mˆ‹‡††‡‘ A’‘ˆ‹ ‡‚ ‹‰‘ˆ… ƒ‡†…‡‰ ƒ„€‡Ž‡‚Š Œ„Ž†‡ƒˆ€ ‘‡‡†
’‰‘‡‚ …„‚‘‰‘‰€‡‚• ž„‡‰‚ ƒ„’‡‡‰ ‡‹‰ Œ‡Ÿƒ‰ŽŠ Mˆ‹‡††‡‘ A’‘ˆ‹ ‘‰€„‚‡ ˆ‡ƒ ƒ„’‡‡‰
…„†’‡‹‡ŽˆŠ ‘‡‚ ƒ‡‡‹ ƒ‡Œˆ ‡ƒ…„€ …„†’‡‹‡Žˆ‡‚‚‡ ‡‘‡‡‹ ‘‡‡† ’‰‘‡‚ …„‚‘‰‘‰€‡‚•
M„‚ˆŽˆŒ NˆŽœ‹‰ƒ‹ M‡‘‰‘Š A’‘ˆ‹ †„†‰‰€‰ …„†‰€‰Ž‡‚ †‘„Ž‚ ‡‚ ‘‰…„‚‡Žˆ‹‰
„‹ I’‚  ‡‰†‰‡‹ ‘‡‡† ’„Ž‰Œ‰‹‡‘Š ‘‡‚ ‘‰…„‚‡Žˆ‹‰ „‹ …‡‹‡† ¡‡‹‡’‰ ‘‡‡† ‹‡
…„†ˆŽ‚‰‡‚ ‡€‰‘‡‹• I‡ ˆ‡ ‘‰…„‚‡Žˆ‹‰ „‹ …„†‰€‰Ž‡‚ Mˆ¢Œ‡£‰‡‹Š ‘‰…„‚‡Žˆ‹‰ „‹
Ÿ‰ƒŸ Ž‡ƒ‰‚‡‰ƒ†„ Iƒ‡† ‘‡‚ ˆ‡ ƒƒ‰ Mˆƒ‰† I’‚ K‹‡‘ûn dalam kajian empirik.
Karena wawasan modernnya, membuat Abduh menjadi tokoh yang berpengaruh. 1 Ia
juga, lanjut Nurcholish Madjid, mampu menangkap kembali ajaran Islam yang dinamis

Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, cet. 4 (Jakarta: Paramadina, 2000), h
1

173-174.

Sehat Sulthoni Dhalimunthe: Landasan Filsafat Pendidikan Islam Muhammad Abduh

§¨© ª«¬©«­®¯° Kª±¬©«¨² ­©­ «¬³¨´ ±¬©¬±µ¨«®¨© A¶§·´ ¸¬¶¨¹¨­ ¸¬ª²¨©¹ º¨©¹ ­¸«­±¬»¨
§¨³¨± ¶­§¨©¹ µ¬±­®­²¨© I¸³¨±¼ ®¨²¬©¨ «¬²¶·®«­ »¨²­¸¨© ­³±­¨´©º¨ ±¨¸­´ §­©­®±¨«­ µ¨²¨
­³±·¨© ¸¨±µ¨­ ¸¬®¨²¨©¹ ­©­¯
½¨³¨´ ¸¬ª²¨©¹ ¹·²· A¶§·´ º¨©¹ «·²·« ¸­¹©­¾­®¨© ±¬±µ¬©¹¨²·´­©º¨ ¨§¨³¨´ ¨³¿
A¾¹´À©î. Ia pembaharu yang menyatakan bahwa Islam tidak bertentangan dengan
akal dan ilmu pengetahuan. Sedangkan orang yang membuktikan pernyataan itu adalah
Muhammad Abduh di Mesir dan Ahmad Khan di India. 3
Fazlur Rahman mengatakan bahwa Muhammad Abduh adalah seorang
pembaharu dalam bidang pendidikan di Universitas al-Azhar. 4 Setelah ia mengajar di
Universitas al-Azhar, pelajaran filsafat diajarkan kembali. Pengajaran filsafat ini
merupakan modernisasi yang dilakukan oleh Afghânî dan Abduh. 5 Al-Afghânî adalah
pembaharu yang menyatakan bahwa Islam tidak bertentangan dengan akal dan ilmu
pengetahuan.6 Lebih lanjut Fazlur Rahman mengatakan, Ia adalah seorang teolog
berpengalaman pada garis-garis tradisional, yang merasa yakin bahwa sains dan Islam
tidak mungkin bertentangan, dan ia menyatakan bahwa agama dan pekerjaan ilmiah
bekerja pada level yang berbeda. Karena itu, ia menyuguhkan ajaran dasar Islam dalam
batasan-batasan yang bisa diterima oleh pikiran modern. 7

Áiwayat Hidup Mu hammad Abduh


Charles C. Adams, sebagaimana dikutip Arbiyah Lubis, membagi periode kehidupan
Muhammad Abduh8 menjadi tiga yaitu periode pertumbuhan, periode kemunculan di
publik, dan periode puncak karir.9

2
Nurcholish Madjid, ÂÃÄÅ ÆÃÇÈÅÉ ÊÃÇ ËÌÍÃÊÃÎÃÇ (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 22.
Lihat juga Nurcholish Madjid, ÏÅÐÅÄ-ÏÅÐÅÄ ËÌÑÃÇÉÍÌÇ (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 53.
Dikatakan juga bahwa gerakan pembaharuan Muhammad Abduh ini diilhami oleh pemikiran
Ibn Taimiyah. Tentang pengaruh pemikiran pendidikan Abduh di Indonesia, baca: Mona
Abaza, ËÌÇÊÅÊÅÄÃÇ ÒÑÐÃÓ ÊÃÇ ËÌÍÈÌÑÌÍÃÇ ÔÍÅÌÇÉÃÑÅÕ ÖÉ×ÊÅ ÂÃÑ×Ñ ØÐ×ÓÇÅ ÙÇÅÚÌÍÑÅÉÃÑ ÃÐ-ØÛÜÃÍ
(Jakarta: LP3ES, 1999).
3
ÒÎÅÊ., h. 318.
4
Fazlur Rahman, ÒÑÐÃÓ, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1984), h. 280.
Lihat juga, Abdul Majid Abdussalam al-Muhtasib, ÝÃÞÑÅÍ ÃÐ-ß×ÍàÃÇ ÂáÇÉÌÓâáÍÌÍÕ ãÅÑÅ ÊÃÇ
ËÃÍÃÊÅÈÓÃ, terj. Moh. Magfur Wachid (Bangil: al-Izzah, 1997), h. 4. Dikatakan bahwa menurut
Abbas al- Aqqad bahwa Muhammad Abduh adalah äØÎåÃÍÅ× ÃÐ-ÒÑÜÐÃÜ æà ÃÐ-ÝÃàÐîm (orang yang
genius dalam bidang pembaharuan dan pendidikan). Dengan kata lain, Abduh adalah seorang
ahli pembaharuan Islam dan ahli dalam bidang pendidikan.
5
Rahman, Islam, h. 176.
6
Ibid., h. 318.
7
Ibid., h. 319.
8
Lihat Muhammad Quraish Shihab, Kata Pengantar, dalam Muhammad Abduh, Tafsîr
Juz Amma, terj. Muhammad Baqir, cet. 5 (Bandung: Mizan, 1999), h. v.
9
Charles. C. Adams, Islam and Modernism in Egypt (New York: Pussel & Russel, 1993), h. 18.
¤¥¦
MIQOT éêëì íííIé Nêì î JïëðñDòóòôõòö î÷ø÷

ioú ùúûtuýmþuÿn(1848-1877 M)
ùúûü
   

                 
             
         
 
   M    A    
     
M    A           H    
     M !
      G   M  A    A  I H  K "
Aâh. Ia lahir dalam keluarga petani yang hidup sederhana dan cinta ilmu pengetahuan.12
Muhammad Abduh pertama kali belajar membaca dan menulis al-Qur an kepada
orang tuanya. Selanjutnya, ia belajar al-Qur an dengan seorang hafiz. Dari guru itu, ia
mampu menghafal al-Qur an selama dua tahun.13 Pendidikan berikutnya, ia menempuh
pendidikan di Mesjid Ahmadi Thanta. Ia ingin belajar di Thantha selama dua tahun,
tetapi karena dominasi metode menghafal yang diberikan gurunya, maka ia pulang
kampung sebelum dua tahun dan dengan niat tidak akan kembali belajar lagi di sana.14
Pada tahun 1866 M, ia menikah dan empat puluh hari dari umur perkawinannya, ia
dipaksa orang tuanya kembali ke Thanta untuk belajar.15 Muhammad Abduh tidak pergi ke
Thanta, diduga karena kekesalannya dengan metode pengajaran yang menurutnya tidak
tepat. Muhammad Abduh akhirnya pergi ke tempat pamannya Syekh Darwisy Khadr.16 Atas
pengaruh pamannya ini, perubahan mental Muhammad Abduh terhadap belajar menuju
ke arah yang positif, sehingga ia siap kembali ke Mesjid al-Ahmadi Thanta untuk belajar.
Beberapa bulan di Thanta kemudian ia meneruskan studinya ke Universitas al-Azhar, Kairo.17
Dalam rangka memantau perkembangan studi Muhammad Abduh, Syaikh Darwisy Khadr
meluangkan waktunya untuk datang ke Mahallat Nasr. Di kampung itulah, Khadr berdialog
dengannya tentang pelajaran-pelajaran di al-Azhar. Mereka juga berdialog secara khusus
tentang ilmu-ilmu umum yang tidak diajarkan di al-Azhar.18 Menurut Ahmad Amîn, Abduh
juga membaca buku ilmu alam, filsafat, geografi, dan ilmu-ilmu lainnya dianggap haram.19

10
Harun Nasution, #$%&'(')*'+ ,'-'% ./-'% (Jakarta: UIP, 1987), h. 58.
11
Lihat Arbiyah Lubis, Muhammad Abduh dan Muhammadiyah (Disertasi, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1989), h. 112.
12
Muhammad Mushthafa Hidarah, 01+ 23-'%1 '--4')&15'( '--./-âmiyah, jilid V (Kairo:
Maktabah al-Tarbiyah al- Arâbi li al-Daui al-Khaliji, 1989), h. 290.
13
Ibid.;Lihat juga Rif at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Syaikh Muhammad Abduh
(Disertasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1993), h. 35.
14
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu tazilah (Jakarta: UI Press,
1987), h. 11.
15
Tidak diketahui pasti siapa identitas istrinya dan apakah ia mengikuti Abduh ke
Thanta yang akhirnya ia ( Abduh) lari ke desa Kanisah Urin tempat pamannya tinggal.
16
Lihat Abd Allah Mahmud Syahata, Manhaj, h. 9.
17
Harun Nasution, Muhammad Abduh, h. 12.
18
Lihat juga Syahata, Manhaj, h. 13.
19
Harun Nasution, Muhammad Abduh, h. 13.

çèè
Sehat Sulthoni Dhalimunthe: Landasan Filsafat Pendidikan Islam Muhammad Abduh

A9:;< =>=?>@AB>< CB=;DCB=; :;ECF GFEH :CIFEGFJFE AB>< ?F=FEEGF :C B;F@


KECL>@MCIFM FBDAN<F@O FCBMFPFIQ BAHCJFQ CB=; ;J;@Q MAFBDMAFB :;ECF :FE ?ABCICJ A9:;< ?>BFRF@C
:F@C SG>J< HFMFE FBDTFUCBO V>BFRF@FE :F@C HFMFE FBDTFUCBWX CEC IC:FJ =>=;FMJFE A9:;<
M>9FHFC=FEF ?>BFRF@FE :C KECL>@MCIFM FBDAN<F@Q M><CEHHF CF B>9C< I>@IF@CJ =>=9FYF 9;J;
:C ?>@?;MIFJFFEO M>MJC?;E CF IC:FJ I>@IF@CJ :>EHFE ?>BFRF@FE :C KECL>@MCIFM FBDAN<F@Q
I>IF?C CF I>IF? <F:C@ J;BCF<Q <FEGF MFRF :C J>BFM CF =>=9FYF 9;J;D9;J; GFEH CF 9FUF
:F@C @;=F<OWZ
DFBF= M;FMFEF J>IC:FJ?;FMFE UFUFMFE J>CB=;FE :FE =>IA:> ?>EHFRF@FEQ 9FCJ
:C KECL>@MCIFM FBDAN<F@ =F;?;E :C B;F@EGFQ JF=FB FBDDîn al-Afghânî datang ke Mesir,
ketika itu Afghânî dalam perjalanan ke Istanbul. Muhammad Abduh bersama teman-
temannya mengambil kesempatan untuk berdialog dengan Jamal al-Dîn al-Afghânî di
penginapannya. Dalam dialog itu Jamal al-Dîn al-Afghânî mengajukan beberapa
pertanyaan kepada mereka tentang arti ayat al-Qur an. Kemudian al-Afghânî memberikan
tafsirnya sendiri secara rinci dan luas. 22
Metode pengajaran yang diterapkan Jamal al-Dîn al-Afghânî dinamakannya
dengan metode praktis yang mengutamakan pengertian dengan cara berdiskusi. Di
samping itu, al-Afghânî juga mengajarkan pengetahuan teoritis. Pendidikan praktis
lainnya berupa pidato, menulis artikel, dan sebagainya.23 Aktivitas Abduh di luar Azhar
tidak melalaikan tugasnya sebagai mahasiswa, terbukti tahun 1877 M, ia berhasil lulus
dengan gelar [\]îm dan dipilih untuk mengajar di almamaternya. 24

io_ ^_bcdm
^_`a pecnai^uflik(1877-1882 M)
Periode ini dimulai setelah Abduh tamat dari Universitas al-Azhar tahun 1877
sampai ia diasingkan ke Beirut 1882. 25 Pada periode ini selain kegiatan mengajar di
berbagai sekolah,26 Abduh juga rajin menulis artikel untuk surat kabar, terutama al-
Ahrâm, yang mulai terbit tahun 1876. Tulisannya mencakup bidang-bidang ilmu
pengetahuan, sastra Arab, karang-mengarang, politik, agama, dan sebagainya. 27 Selain
kegiatan intelektual, atas pengaruh gurunya al-Afghânî, ia juga terlibat dalam kegiatan

20
Lihat juga Syahata, Manhaj, h. 13.
21
Harun Nasution, Muhammad Abduh, h. 13.
22
Darmu in, Pemikiran Muhammad Abduh dalam Pemikiran Pendidikan Islam (Semarang:
Pustaka Pelajar, 1999), h. 184.
23
Arbiyah Lubis, Muhammad Abduh, h. 114.
24
Harun Nasution, Muhammad Abduh, h. 161-162.
25
Arbiyah Lubis, Muhammad Abduh, h. 115.
26
Lihat Hidarah, Min Alami al-Tarbiyah al-Islâmiyah, h. 294.
27
Harun Nasution, Muhammad Abduh, h. 15. Lihat juga Harun Nasution, Pembaharuan,
h. 61-62. Tentang sepuluh prinsip pembaharuan Universitas al-Azhar, lihat Rasyid Ridha,
Tafsîr al-Manâr, jilid VIII (Kairo: Dâr al-Manar, t.t), h. 470-476.

678
MIQOT jklm nnnIj Nkm o JplqrDstsuvsw oxyx

z{|}~}€ C‚zƒ„ ~…†… {|{…}| I…††„}‡ ˆ… ‰Š„…‹}‡ ~Š„Œˆz MŠ‡}„ ‡…†~ ˆ}~Š…~…†
{|ŠŒ |AŽ†Œânî. al-Afghânî membangkitkan nasionalisme Mesir yang telah dirintis oleh
al-Tahtawî dan selanjutnya ia mendirikan -‘’“” -•–—˜’, Partai Nasional Mesir.
Pandangan-pandangan politik al-Afghânî ditransfer oleh Muhammad Abduh dalam
kuliah-kuliah dan tulisan-tulisannya di surat kabar. 28
Meskipun Muhammad Abduh telah terlibat dalam pemikiran dan aktivitas politik
al-Afghânî, namun pada dasarnya ia tidak setuju dengan ide nasionalisme Mesir. Karena
itu, Muhammad Abduh dalam pemberontakan Urabi Pasya menentang penguasa dan
parlemen tidak terlibat aktif. Menurutnya, rakyat Mesir belum ™–˜g untuk kehidupan
parlemen. Namun setelah gerakan Urabi Pasya berubah arah untuk perlawanan terhadap
Barat, ia melibatkan diri dalam gerakan itu dan akhirnya ia pun dipenjarakan selama
tiga bulan.29

io› šužnŸk Ÿri(1822-1905 M)
š›œ
Kesan keterlibatan Muhammad Abduh dalam pemberontakan Urabi Pasya
tampaknya belum terhapus di hati Khedewi Taufik. Permohonan Muhammad Abduh
untuk mengajar di Dâr al- Ulûm ditolaknya. Ia menawarkan kepada Muhammad Abduh
jabatan hakim di luar kota Kairo, karena jabatan ini dianggap Khedewi tidak dapat
menjadi sarana ampuh bagi penyebaran pikiran politik Abduh.30 Tetapi, berbagai jabatan
yang diemban oleh Muhammad Abduh dibuatnya menjadi sarana untuk pembaharuan.
Ada tiga sasaran pembaharuannya, yaitu pendidikan, hukum, dan wakaf. Pembaharuan
dalam bidang pendidikan ia pusatkan di Universitas al-Azhar.
Kedudukan Abduh sebagai wakil pemerintah Mesir dalam dewan pimpinan
Universitas al-Azhar yang dibentuk atas usulnya dimanfaatkan untuk mengadakan
pembaharuan pendidikan Universitas al-Azhar, yang tidak hanya menyangkut sistem
pengajaran seperti metode, kurikulum, administrasi dan kesejahteraan guru, tetapi juga
mencakup sarana fisik, seperti asrama mahasiswa, perpustakaan, dan peningkatan
pelayanan kesehatan bagi mahasiswa.31
Pada tahun 1899, Abduh diangkat menjadi mufti menggantikan Syekh Hasunah
al-Nadawî. Kesempatan ini ia gunakan untuk melakukan pembaharuan dalam bidang

28
Lihat Harun Nasution, ¡¢£¤¥¥¤¦ §¨¦¢£, h. 15-16.
29
Thahir al-Thanahî, ¡¢©¤ªª«¬¤­ (Kairo: Dâr al-Hilâl, t.t.), h. 124. Lihat juga Harun
Nasution, ¡¢£¤¥¥¤¦ §¨¦¢£, h. 16-17.
30
Lihat Rasyid Ridha, ®¯¬«ª£ ¤°-±²¤«ª£ ¡¢£¤¥¥¤¦ §¨¦¢£ (Mesir: Dâr al-Manâr, 1931),
h. 392 dan 398. Lihat juga Abd al-Muta al al-Sha idî, §°-¡¢³¤¦¦«¦ûna fî al-Islâm: Min al-Qarni
al-Awwâl ila al-Qorni al-Rabi Asyar (Kairo: Maktabah Adab, t.t.), h. 400-403.
31
Arbiyah, Muhammad Abduh, h. 117. Lihat juga Rasyid Ridha, Al-Manâr, jilid VII, h.
488-490.

ghi
Sehat Sulthoni Dhalimunthe: Landasan Filsafat Pendidikan Islam Muhammad Abduh

·¸¹¸º» ¼½¾·¾¿À¾ À¾¿Á ÂÃÄžº¾ ¾Æ¾Ç¾· ºÃĸȾ· ¾¿Æ¾¿Á¾¿ º¾½À¾Ä¾¹¾Å Åÿž¿Á º¸ÉÅÊ
À¾¿Á ÆÊŸ¿Ë¸¹ ¿ÃÁ¾Ä¾ ½ÃȾÁ¾Ê Âÿ¾½Ê·¾Å ·¸¹¸º ȾÁÊ ¹ÃÂÿÅÊ¿Á¾¿ ¿ÃÁ¾Ä¾» I¾ ºÃºÈÃÄʹ¾¿
¹Ã½ÃºÂ¾Å¾¿ ¹Ã¾ƾ º¾½À¾Ä¾¹¾Å Ǹ¾½ ¸¿Å¸¹ ºÃ¿ÁÁ¸¿¾¹¾¿ ˾½¾¿À¾» ÌÍ
ξƾ ž·¸¿ ÏÐÑÒÓ AÈƸ· ºÃ¿ÆÊÄʹ¾¿ ÔÄÁ¾¿Ê½¾½Ê ½Ô½Ê¾Ç ÕÖ×ØÙÖÚ ÖÛ-ÜÝÖØÞØßÖÚ ÖÛ-
àáÛâmiyyat ¸¿Å¸¹ ºÃ¿À¾¿Å¸¿Ê ɾ¹ÊÄ ºÊ½¹Ê¿ ƾ¿ ¾¿¾¹â¾¿¾¹ À¾¿Á ÅÊƾ¹ º¾ºÂ¸ ÆÊÈʾÀ¾Ê
Ôľ¿Á Ÿ¾¿À¾» IÆÃ Ê¿Ê ÅÊºÈ¸Ç ¾Å¾½ ¾½ÂÊľ½Ê ÂÿÁ¾Ç¾º¾¿¿À¾ ÆÊ EÄÔ¾» ÌÌ
ã¾¹¾É ºÃĸ¾¹¾¿ ½¾Ç¾· ½¾Å¸ Ê¿½ÅÊŸ½Ê ÂÿÅÊ¿Á ¹¾Äÿ¾ ºÃĸ¾¹¾¿ ½¸ºÈÃÄ Æ¾¿¾ À¾¿Á
½¾¿Á¾Å ÈÃľÄÅÊ Â¾Æ¾ º¾½¾ ÊŸ» K¾Äÿ¾ ¾ÆºÊ¿Ê½Åľ½Ê ä¾¹¾É ½¾¾Å ÊŸ ÅÊƾ¹ ÅÃÄÅÊÈÓ º¾¹¾ AÈƸ·
ºÃºÈÿŸ¹ M¾ËÇʽ AƺʿʽÅľ½Ê ã¾¹¾É ƾ¿ ʾ ƸƸ¹ ½ÃȾÁ¾Ê ½¾Ç¾· ½¾Å¸ ¾¿ÁÁÔž¿À¾»
D¾Ç¾º ¹ÃƸƸ¹¾¿¿À¾ ½ÃȾÁ¾Ê ¾¿ÁÁÔž M¾ËÇʽ AƺʿʽÅľ½Ê ã¾¹¾ÉÓ Ê¾ ÈÃÄ·¾½ÊÇ ºÃ¿Á¾Æ¾¹¾¿
ÂÃÄȾʹ¾¿âÂÃÄȾʹ¾¿ º¾½ËÊÆ» ξƾ ž¿ÁÁ¾Ç ÏÏ J¸ÇÊ ÏÑåæÓ AÈƸ· ºÃ¿Ê¿ÁÁ¾Ç Ƹ¿Ê¾» Ìç

Filsafat Manusia Menurut Muhammad Abduh


¼¿Å¸¹ ºÃºÈ¾¿Á¸¿ ¹Ô¿½Ã ÂúʹÊľ¿ ÂÿÆÊÆʹ¾¿ I½Ç¾º M¸·¾ºº¾Æ AÈƸ·Ó
ŸÇʽ¾¿ Ê¿Ê ¾¹¾¿ ºÃ¿ÁÁ¾ÇÊ Æ¾ÄÊ ÂúʹÊľ¿ ÉÊǽ¾É¾Å¿À¾ Åÿž¿Á º¾¿¸½Ê¾Ó º¾½À¾Ä¾¹¾ÅÓ ÊǺ¸
ÂÿÁÞ·¸¾¿Ó ƾ¿ ¾¹·Ç¾¹»
BÃÄƾ½¾Ä¹¾¿ è»é» ¾ÇâêAǾëìÑíî ÒÓ ºÃ¿¸Ä¸Å AÈƸ·Ó ¾ƾ º¾½¾ ˾¿Ê¿Ó ·¾ÄÊâ·¾ÄÊ
ÂÃÄžº¾Ó ÂÄԽý º¾¿¸½Ê¾ Æʺ¸Ç¾Ê ÈÃĸ¾ ƾľ· À¾¿Á Èù¸ ï al- alaqð» ñÊƾ¹ ¾Æ¾ À¾¿Á
º¾ºÂ¸ ºÃ¿òÊž¹¾¿ ƾÄÊ ½ÃÁ¸ºÂ¾Ç ƾľ· À¾¿Á Èù¸ ÊŸ ºÃ¿Ë¾ÆÊ ½ÃÔľ¿Á º¾¿¸½Ê¾
À¾¿Á ƾ¾ŠÈÃÄÈÊò¾Ä¾»Ìó DÿÁ¾¿ ÊǺ¸âNÀ¾Ó AÇǾ· ƾ¾ŠÆÿÁ¾¿ º¸Æ¾· ºÃǾ¹¸¹¾¿¿À¾Ó
¹¾Äÿ¾ Dʾ M¾·¾ K¸¾½¾ ¸¿Å¸¹ ºÃ¿òÊž» I¾ ÎÿòÊž ¾Ç¾º ½ÃºÃ½Å¾ ƾ¿ ½ÃÁ¾Ç¾ ʽʿÀ¾
ÆÿÁ¾¿ ¹ÃÅÃľŸľ¿ À¾¿Á ºÃ¿¾¹Ë¸È¹¾¿» éú¸¾ Ê½Ê Ç¾¿ÁÊŠƾ¿ ȸºÊ ÆÊòÊž¹¾¿ ¸¿Å¸¹
º¾¿¸½Ê¾ ƾ¿ ½ÃÈ¾È ÊŸǾ· º¾¿¸½Ê¾ ¾Æ¾Ç¾· òÊž¾¿ AÇǾ· éãñ» À¾¿Á ÅÃľ¹·ÊÄ»
ÎÄԽý ÂÿòÊž¾¿ º¾¿¸½Ê¾ À¾¿Á ½¸Æ¾· ÅÃĺ¾¹Å¸È ƾǾº ¾Çâè¸Ä꾿 ½Ã¹¾ÇÊÁ¸½
ÂÿÁÊ¿Á¹¾Ä¾¿ ÅÃÄ·¾Æ¾Â ÅÃÔÄÊ ÃôÔǸ½Ê ¾ƾ º¾½¾ ÉÊǽ¾É¾Å õ¾º¾¿ ö¸¿¾¿Ê ¹¸¿Ô ƾ¿ ÅÃÔÄÊ
ÃôÔǸ½Ê¿À¾ D¾ÄäÊ¿ ¾ƾ ¾È¾Æ ¹ÃâÏÑ» M¸·¾ºº¾Æ AÈƸ· ÅÿŸ ȸ¹¾¿Ç¾· Ôľ¿Á À¾¿Á
ÂÃÄžº¾ ¹¾ÇÊ ºÃ¿¾É½ÊĹ¾¿¿À¾» ξ¿Æ¾¿Á¾¿ ÔÄʽʿÊÇ¿À¾ Ⱦľ¿Á¹¾ÇÊ Èʽ¾ ÆÊÇÊ·¾Å ƾÄÊ ¸Ä¾Ê¾¿
ÈÃÄʹ¸Å¿À¾Ó ¹ÃÅʹ¾ ºÃ¿¾É½ÊĹ¾¿ è»é ¾Çâñîn/65: 4.

      

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.

Menurut Muhammad Abduh bahwa manusia adalah makhluk yang paling serasi

32
Rasyid Ridha, Târikh, h. 429. Lihat juga Rasyid Ridha, Al-Manâr, jilid VIII, h. 467-468.
33
Rasyid Ridha, Târikh, h. 429.
34
Ahmad Amîn, Zu amâ al-Ishlâh, h. 353.
35
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Quran (Bandung: Mizan, 1994), h. 37.
´µ¶
MIQOT úûüý þþþIú Nûý ÿ J üD ÿ 

  
         M      

    
     

      

        
      

 
      
     
  
A 
!     
 A
     
      
      
  
      " J  A
  

     "
#      
 
A

     " $  
    
  
      " %    
         
       
 
       
     " L&      
     '  
 

  
   " D
   A      ' D      
     
 &     '  "() A     
     

      
       
  '" D   
           

  A  %*#"
D    M
A
            
+,--.,-,/0
  


        
     
+,12,3 4,/5îm0     '             
 +rûh0   

  
' " D       
  

    
   H  N     

 
 
   F 6 7  " D   
'    
   

             


   " (8
M  M
A

      
  
   
  
      
        
 
 
  

 &    
 
  
  
   " D        

 


  " #            
  &      

  
     " K
    
 
  #în yang dapat dimakan semuanya, tidak ada sedikit pun yang harus dibuang. 38

36
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, jilid IV (Kairo: Dâr al-Manâr, 1365 H), h. 270.
37
Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok al-Qur an (Bandung: Pustaka, 1996), h. 26. Senada
dengan Fazlur Rahman, Abbas Mahmud Aqqad mengatakan bahwa roh dan jasad adalah dua
esensi pokok dan dengan keduanya manusia hidup, yang satu dengan yang lain tidak mungkin
berbeda atau terpisah. Abbas Mahmud Aqqad, Manusia Diungkap al-Qur an, cet. 3 (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1993), h. 32.
38
Lihat Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1999), h. 37. Unsur manusia
yang terdiri dari jasad dan roh telah dipahami para filosof Yunani, Kristen dan Hindu sebagai
suatu substansi yang berbeda dan bertentangan. Pendapat itu tidak didukung oleh al-Qur an

÷øù
Sehat Sulthoni Dhalimunthe: Landasan Filsafat Pendidikan Islam Muhammad Abduh

D<=> ?=<><@ A> <B<CD EFG<CG<H I<HJ< M?H<KK<A AIA?H IF=LF@A<L<B I<HJ< K<@?C><
L<A< A<C<=@M< <A<G<H I>I>B ?@NN?G M<@N I<>OD KFK>G>O> C>P<BQC>P<B RSâhiyah M<@N
A>>KLGFKF@B<C>O<@ A<G<K @>G<>Q@>G<> OFK<@?C><<@T KFK?G><<@ >@> BF@B? IF=G<@A<CO<@
OFL<A< A<M< =<C< K<@?C><T UFB<L> L<A< LF=OFKI<@N<@ CFG<@E?B@M<D E>J< K<@?C>< B>A<O
CB<I>G G<N>T KFB>A<OCB<I>G<@ E>J< >@>G<H M<@N KF@MFI<IO<@ K<@?C>< KF@E<A> B>A<O K?G><T

Filsafat Masyarakat Menurut Muhammad Abduh


M?H<KK<A AIA?H KF@N<B<O<@ I<HJ< AGG<H KF@V>LB<O<@ K<@?C>< ?@B?O
IF=K<CM<=<O<BTWX Y>P<B IF=K<CM<=<O<BD O<B< M?H<KK<A AIA?HD B>A<O A>IF=>O<@ ZGFH AGG<H
L<A< GFI<H A<@ CFK?BT AGG<H KFKIF=>O<@ <O<G OFL<A< K<@?C>< ?@B?O A<L<B IF=K<CM<=<O<BT[\
BF=K<CM<=<O<B M<@N A>K<OC?A AIA?H IF=<O<G A<@ AF@N<@ <O<G@M< >< IF=O=F<C>
CFV<=< A>@<K>CT K<G<? A>G>H<B A<=> V<=< H>A?L GFI<HD KF=FO< H>A?L B>A<O FNZ>CD BFB<L> KF=FO<
H>A?L IF=K<CM<=<O<B A<@D O<B< H<=?@ ]<HM<D KF=FO< KFK>G>O> Z=N<@>C<C> G?<= I><C<T
^F=B<K< O<G> A<B<@N@M< ICG<KD K<CM<=<O<B M<OO<H OFB>O< >B? IF=<A< L<A< _<K<@
J<H>G>M<H M<@N B>A<O IF=KZ=<GT MF=FO< KF@MFKI<H IF=H<G<QIF=H<G<D C?<B? LF=I?<B<@
syirik `KF@MFO?B?O<@ U?H<@aT MF=FO< IF=LF=>G<O? I?=?O KF@?E? M<@N GFI>H I?=?O G<N>T
D> M<OO<HD OFB>O< >B? K<@?C>< IF=I?<B EFGFO KF@?E? M<@N GFI>H EFGFO G<N>T AGG<H >@N>@
KF=?I<H K<CM<=<O<B M<@N B>A<O IF=KZ=<G >B? AF@N<@ KF@A<B<@NO<@ N<I> M?H<KK<A
YAbT I< KFKI<J< LFB?@E?O A<@ <N<K< M<@N IF@<=T D<G<K KF=?I<H LF=>G<O? E<H>G>M<H
K<@?C><D ICG<K A<B<@N AF@N<@ V<=<QV<=< M<@N cOF=<CdT AN<K< M<@N A>I<J< M?H<KK<A
YAbT KFK<A?O<@ ?=?C<@ <N<K< A<@ ?=?C<@ A?@><J>D I<>O A<G<K syariat K<?L?@ V<=<@M<T
U?E?<@ ICG<K <A<G<H KF@M<B?O<@ <G<K I?K> A<@ <G<K G<@N>B ?@B?O IF=K<CM<=<O<BT [e
M<CM<=<O<B M?CG>K KFKI<@N?@ LF@NH<KI<<@ M<@N EC<D OFB<<B<@ M<@N EC<D I?O<@
OFB<<B<@ OFL<A< L<=< LF@N?<C< <B<? OF K<@?C>< G<>@@M<T[f KFB>O< LF@NH<KI<<@ KF@M<B?
OFL<A< AGG<HD K<O< AF=<E<B K<@?C>< OFKI<G> KF@>@NO<B A<@ OF<A>G<@ K?G<> A>BFN<OO<@T DF@N<@
KFKI<@N?@ K<CM<=<O<B M<@N IF=B<?H>A ICG<K A<L<B KFKI<@N?@ K<CM<=<O<B M<@N IFC<=D
M<>B? K<CM<=<O<B M<@N KF@E?@E?@N B>@NN> LF=C<K<<@ AF=<E<BT M<CM<=<O<B M?CG>K AF@N<@
CFN<G< ?C<H<@M< KFKI<@N?@ K<CM<=<O<B M<@N A>>A<KQ>A<KO<@ ZGFH Z=<@N I<@M<OT [W

ghijklmn goio pqrpspjik Iitog uhtojonvon joqhno lhnvoqmw otxGwoyâlî mendukung pendapat
itu. Rahman, Tema-Tema Pokok al-Qur an, h. 26. Senada dengan Fazlur Rahman. Abbas Mahmud
al-Aqqad mengatakan bahwa roh dan jasad adalah dua esensi pokok dan dengan keduanya
manusia hidup, yang satu dengan yang lain tidak mungkin berbeda atau terpisah. Aqqad,
Manusia Diungkap al-Qur an, h. 32.
39
Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, juz I, h. 63.
40
Ibid.
41
Abd al-Hasan, Al-Tarbiyah al-Islâmiyah (Beirut: Dâr al-Fikr, 1977), h. 46.
42
Lihat kandungan Surat al-lkhlas dalam Muhammad Abduh, Juz Amma.
43
Abd al-Hasan, Al-Tarbiyah al-Islâmiyah fî al-Qarni al-Râbi al-Hijri (Beirut: Dâr al-Fikr,
1997), h. 46.
9:;
MIQOT }~€ I} N~€ ‚ Jƒ„…D†‡†ˆ‰†Š ‚‹Œ‹

DŽ Ž‘ ’ “” ’•“–— ’˜™“— š—› M—œœ’ Aš’— œ™–—“ œ‘”
›š š™Žœ”žŽ˜“Ÿ D–œ š™Žœ”žŽ˜“  ’ œ”¡œ” ž‘¢ ’•™Ž‘¢˜‘ ¢Ž
—’• ’•“ “™‘“™Žœ ’‘ œ‘  ž“ •™‘™¢˜‘ ˜™’–‘  •™Ž”œ‘ ’™Ž“  ž‘¢
•’ ¢–Ž‘‘ž •™‘¢—œš‘ —‘ž ˜™•’ £—‘Ÿ ¤¤
I ”–œ œ™œš‘¢‘ œ”žŽ˜“ ž‘¢ š™Ž–‘’”˜‘ ˜™š™Ž”œ‘Ÿ I ”–œ
œ™‘™‘“˜‘ •Ž‘”•¡•Ž‘”• ˜™Ž”œ ’Ž ”™¢– ‘”Ž ’‘ š™‘“˜Ÿ A’ “Ž‘
˜™Ž”œ ‘’¥’–  ˜™Ž”œ ‘’¥’ ’™‘¢‘ ˜™–Ž¢‘ž  ˜™Ž”œ ‘’¥’
’™‘¢‘ ˜™–¦œ•¦˜  ˜™–¦œ•¦˜ ’™‘¢‘ ˜™–¦œ•¦˜  ’‘ ”˜ ’™‘¢‘ ”˜Ÿ
K™Ž”œ ‘’¥’– œ™œš“ œ‘” “’˜ š™Žš“ ”™›™‘‘¢¡›™‘‘¢Ÿ §™œ
¦Ž‘¢ œ™‘’•“˜‘ • ž‘¢ œ™Ž™˜ •™Žš“ ”™” ’™‘¢‘ ”— œ™Ž™˜Ÿ K™Ž”œ
‘’¥’ ’™‘¢‘ ˜™–¦œ•¦˜ œ™‘¢˜“ “Ž‘¡“Ž‘ ”™š¢ š™Ž˜“¨ ¤©
ªŸ Aœ– K™š˜‘Ÿ «™Žš“‘ ž‘¢ š˜ ’–— š’— ˜™•’ A––— ˜Ž™‘ —”–
•™Žš“‘ ž‘¢ ˜—”” ’–— œ–˜ ˜™–¦œ•¦˜Ÿ
¬Ÿ H™‘’˜‘ž ‘’¥’¡‘’¥’ š™˜™Ž”œ ’™‘¢‘ ˜™–¦œ•¦˜ œ”žŽ˜“ ‘“˜
˜™•™‘“‘¢‘ ¦Ž‘¢ š‘ž˜ ’™‘¢‘ š“”‘¡š“”‘ ž‘¢ š˜ ­®¯-°±²² ³® ®¯- ´®µ²ûf¶Ÿ
·Ÿ §™“• ¦Ž‘¢ š™Ž“‘¢¢‘¢¡›š “™Ž—’• Ž”‘ ˜™š˜‘Ÿ J˜ “’˜  œ˜ 
š™Žš“ ’¦” ’‘ ”™˜‘¡˜‘ ”™“• ‘’¥’ ’š™š‘˜‘ ‘“˜ œ™‘¢—–‘¢˜‘
˜™œ‘¢˜Ž‘¡˜™œ‘¢˜Ž‘ ž‘¢ œ™Ž™˜ –—“Ÿ §™“• ‘’¥’ ž‘¢ œ™–—“
˜™œ‘¢˜Ž‘ ’‘ œ™œšŽ˜‘‘ž  œ˜  ˜‘ œ™‘’•“ —˜œ‘Ÿ
¸Ÿ §™“• ‘’¥’ š™Ž“‘¢¢‘¢¡›š ‘“˜ œ™‘¢ ˜™•™‘“‘¢‘ œ”žŽ˜“ ”™˜‘¡
˜‘  œ™‘’ •™‘¢ ˜™•™‘“‘¢‘ œ”žŽ˜“ ’‘ š™š‘ “ ’›˜–˜‘ ˜™•’‘žŸ

K™›š‘¡˜™›š‘ ˜™–¦œ•¦˜ “™Ž—’• ‘’¥’ ‘“Ž –‘¨ ¤¹


ªŸ §™”‘¢¢—‘ž œ”žŽ˜“ š™Ž“‘¢¢‘¢›š “” œ”žŽ˜“ ž‘¢ –™œ—Ÿ M™‘¢
˜™•™‘“‘¢‘ œ”žŽ˜“ œ”˜‘ š˜ –˜¡–˜  •™Ž™œ•‘  œ•‘ ¦Ž‘¢ “Ÿ
¬Ÿ M”žŽ˜“ š™Ž“‘¢¢‘¢¡›š “” ¦Ž‘¢¡¦Ž‘¢ º˜ŽŸ M™Ž™˜ œ™œš™Ž ”™š¢‘
—Ž“ œ™Ž™˜ ‘“˜ ˜™•™Ž–‘ œ”žŽ˜“ ž‘¢ º˜ŽŸ M™Ž™˜ ˜œ ž‘¢ –•Ž
œ‘¢˜‘ œ™Ž•˜‘ »š £—‘Ÿ
·Ÿ M”žŽ˜“ ›š œ™‘¢ ˜™š™Ž”œ‘ ’™‘¢‘ ˜“‘ œ‘ ˜™•’ A––— ’‘ Ž”–¡
Nž M—œœ’ §A¼Ÿ J˜ œ™Ž™˜ š™Ž”™–”—  œ˜ ˜™œš–˜‘–— —˜œ‘ž ˜™•’
A––— ’‘ Ž”–¡NžŸ
¸Ÿ A’•‘ ž‘¢ œ™œœ•‘ œ”žŽ˜“ I”–œ —Ž” š™Ž’”Ž˜‘ ”žŽ“ A––— ’™‘¢‘
“™“• œ™‘¢ ˜™’–‘Ÿ

«Ž‘”•¡•Ž‘”• ˜™•™œ–˜‘ š˜ ‘’¥’ ’‘ ˜™–¦œ•¦˜ ’–—¨


ªŸ §™“• ‘’¥’ š™˜™Ž ‘“˜ —Ž“‘žŸ §™”‘¢¢—‘ž ”™½Ž œœ ˜™•™œ–˜‘

¾¾ L„¿ÀÁ ÂÀ¿ˆÀÃÄ Tema-Tema Pokok al-Qur an, ¿€ Åƀ


¾Ç ÈA‰É À…HÀ‡ÀÃÄ Al-Tarbiyah, ¿€ Æʀ L„¿ÀÁ ˃ÌÀ ÂÀ‡Í„É „ɿÀÄ Tafsîr al-Manâr, ˄„É I€ ¿€ ÎÏЀ
z{|
Sehat Sulthoni Dhalimunthe: Landasan Filsafat Pendidikan Islam Muhammad Abduh

ÔÕÔÖÔ× ØÙÖÙÚ ØÔÛÜÔÝÔÚÔÞß MÔÛÜÔÝÔÚÔÞ àáâÔ ãäÝÞÔåââáåâàÔæÔã ÚäçÔÕÔ AÖÖÔ× ÞäåÞÔåâ


ÚäçäØÙÖÙÚÔå ÙÞáßèé
êß ëÙÕÔÚ ÔÕÔ ÙåÕÙìÙÕá ÜÔåâ ÕÙãíÖä×ÚÔå áåÞáÚ ØäØíåíçíÖÙ ×ÔÝÞÔ ÔÞÔá ãÔÝÔåâ ÞÔåçÔ
ÕÙÙÚáÞÛäÝÞÔÚÔå íÝÔåâ ÖÔÙåî ÔâÔÝ ×ÔÝÞÔ ÙÞá ãäÝçáÞÔÝ ÞÙÕÔÚ ÛÔàÔ çÔÕÔ íÝÔåâ ÚÔÜÔß
ïß AÕÔ ×ÔÝÞÔ ãäåÕÔ ÜÔåâ ÞÙÕÔÚ ãíÖä× ÕÙØÙÖÙÚÙ íÖä× ÙåÕÙìÙÕáî ÜÔÙÞá ÔÙÝî áÕÔÝÔî ÕÔå ÔçÙ
ÚÔÝäåÔ ÞÙâÔ áåÛáÝ ÙÞá ÛÔåâÔÞ çäåÞÙåâ ãÔâÙ Úä×ÙÕáçÔå ØÔåáÛÙÔß
ðß BÔâÙ ÛäÞÙÔç íÝÔåâ MáÛÖÙØ ØäØÙÖÙÚÙ ÚäæÔàÙãÔå ÔÞÔÛ MáÛÖÙØ ÖÔÙååÜÔß

LäãÙ× ÖÔåàáÞ Má×ÔØØÔÕ AãÕá× ØäåâÔÞÔÚÔåî ÙåÙÖÔ× âÔØãÔÝÔå ØÔÛÜÔÝÔÚÔÞ IÛÖÔØß


MÔÛÜÔÝÔÚÔÞ ÜÔåâ ÕÙãÔåâáå ÔÞÔÛ ÔÚÙÕÔ× IÛÖÔØî ÛÜÔÝÙÔÞ IÛÖÔØî çäÝáåÕÔåâñáåÕÔåâÔå IÛÖÔØ
ÜÔåâ ÞÙÕÔÚ ãíÖä× ØäåÙåÕÔÛ íÝÔåâ ÖÔÙå áåÞáÚ ÚäçäåÞÙåâÔå ØäÝäÚÔß MÔÛÜÔÝÔÚÔÞ ×äåÕÔÚåÜÔ
ÕÙÕíÝíåâ áåÞáÚ ÞáØãá× ÕÔå ãäÝÚäØãÔåâß MÔÛÜÔÝÔÚÔÞ ÕÙÕíÝíåâ ÛäÚáÔÞ ÞäåÔâÔ ÔâÔÝ
ØäÝäÚÔ ãäÝ×ÔÛÙÖ ÕÔÖÔØ ØäåòÙçÞÔÚÔå ØÔÛÜÔÝÔÚÔÞ ÜÔåâ ãäÝØíÝÔÖ ãÔÙÚ ÕÔå ÕäØíÚÝÔÞÙÛß
MÔÛÜÔÝÔÚÔÞ ×ÔÝáÛ ÕÙÕíÝíåâ áåÞáÚ ãäÝÙÖØá ÜÔåâ ãäåÔÝ ÕÔå ØäØãáÚÔÚÔå ãÔâÙ ØäÝäÚÔ
ÚäãáÕÔÜÔÔå ÕÔå çäÝÔÕÔãÔå ÜÔåâ ØÔàá ÞäÝ×ÔÕÔç ÔçÔñÔçÔ ÜÔåâ ãäåÔÝ ÕÔå ãÔÙÚß
MÔÛÜÔÝÔÚÔÞ ÜÔåâ ÕÙÙåâÙåÚÔå IÛÖÔØ ÔÕÔÖÔ× ØÔÛÜÔÝÔÚÔÞ ÜÔåâ àäåÙáÛ ØäåòÔÚáç çäÝÔÕÔãÔåß
óäÝÔÕÔãÔå ÙÞá ×ÔÝáÛ Øäåâ×ÔÛÙÖÚÔå àÙæÔñàÙæÔ ÜÔåâ ãäÝØíÝÔÖ ãÔÙÚ ÕÔÖÔØ ãÙÕÔåâ ÙåÕáÛÞÝÙ
ÕÔå çäÝÕÔâÔåâÔåß IåÙÖÔ× ôÙÖÛÔôÔÞ ãäÝØÔÛÜÔÝÔÚÔÞ ØäåáÝáÞ IÛÖÔØß èõ
DÔÖÔØ ÝÔåâÚÔ ØäåàÔâÔ Úä×ÔÝØíåÙÛÔå Úä×ÙÕáçÔå ãäÝØÔÛÜÔÝÔÚÔÞ ÜÔåâ ãäÝíÝÙäåÞÔÛÙ
çÔÕÔ ÚäØáÖÙÔÔåî ØäåáÝáÞ Má×ÔØØÔÕ AãÕá×î ÕÙçäÝÖáÚÔå çäåÕÙÕÙÚÔåß óäåÞÙåâåÜÔ
çäåÕÙÕÙÚÔå ÙÞá ãÔâÙ ÚäÛäÙØãÔåâÔå ×ÙÕáçî ãÔâÔÙÚÔå çäåÞÙåâåÜÔ ÕíÚÞäÝ áåÞáÚ ØäåàÔâÔ
ÚäÛä×ÔÞÔå ãÔÕÔåßèö
÷åÞáÚ ØäåòÔçÔÙ ÚäÞäåÞäÝÔØÔå ×ÙÕáç ãäÝØÔÛÜÔÝÔÚÔÞî çÔÝÔ çäåÜäÖäåââÔÝÔ åäâÔÝÔ
ÜÔåâ ØäåâáÝáÛÙ çäåÕÙÕÙÚÔå ×äåÕÔÚåÜÔ ØäåâÔÝÔ×ÚÔå çäåÕÙÕÙÚÔå ÞäÝÛäãáÞ çÔÕÔ
çäØãÙåÔÔå ÔÚ×ÖÔÚ ÜÔåâ ãÔÙÚß MäØãäÝÙ çäåÕÙÕÙÚÔå ÔÚÔå ãÔ×ÔÜÔ çäÝÙÖÔÚáñçäÝÙÖÔÚá ÜÔåâ
ÞäÝòäÖÔ ÕÔå ØÔåôÔÔÞåÜÔ çäÝÙÖÔÚáñçäÝÙÖÔÚá ÜÔåâ ÞäÝçáàÙî Ûä×ÙåââÔ ØÔåáÛÙÔ Øäåáàá
ÚäØáÖÙÔÔå ÕÔå ÚäÛäØçáÝåÔÔå ãÔâÔÙÚÔå ÕíÚÞäÝ ÜÔåâ ØäåâáÔÛÔÙ ÙÖØá ÞäåÞÔåâ çäÝÙÖÔÚá
ØÔåáÛÙÔî ÙÖØá ÞáØãá×ñÞáØãá×Ôå ÕÔå ×äæÔåß
øäÖÔÙå ÙÞá ÕíÚÞäÝ àáâÔ ØäåâäÞÔ×áÙ çäåÜäãÔã ÛáÔÞá çäåÜÔÚÙÞ ÕÔå ØäåÕÙÔâåíÛÔ ÚáÔÖÙÞÔÛ
ÛáÔÞá çäåÜÔÚÙÞ ÔåÞÔÝÔ ÜÔåâ ÝÙåâÔå ÕÔå ÚÝíåÙÛßùú óÔÝÔ Ýí×ÔåÙÔæÔå ÕÔå Ýí×ÔåÙÔæÔÞÙ àáâÔ
æÔàÙã ØäåâáÔÛÔÙ ÙÖØáñÙÖØá ÞäåÞÔåâ àÙæÔî Ûä×ÙåââÔ ØÔåáÛÙÔ ÕÔçÔÞ ãäÝÚíåÛáÖÞÔÛÙ áåÞáÚ
ØäåÕÔçÔÞÚÔå ÚäÞäåÔåâÔå àÙæÔ ÕÔå ãÔÞÙå ûüýñþûhÿßù øäÖÔÙå ÙÞá Ýí×ÔåÙÔæÔå ÕÔå Ýí×ÔæÔåÙÔæÔÞÙ

 Ibid,  
 L
   H   
 A H   Al-Tarbiyah,  
! Ibid.,  
"# $ % $   Tarikh,  &
"' M( )
G *âlî, nafs atau jiwa itu memiliki beberapa makna, dua di antaranya

tempat tumpukan sifat marah dan syahwat. Nafsu dalam arti kedua mempunyai sifat yang

ÑÒÓ
MIQOT -./0 111I- N.0 2 J3/45D676896: 2;<;

=>?@ A@B>C DEF?>@C@G GHD>IGHD> CJCG@H K@F CE=@B@A LEM>K@N@@F D@CN@B@L@OP MEBEL@
=>?@ AEFK@LFN@ MGC@ DEFKG@?FJCGC QEFN@LGO =GR@ K@F M>L@F DEBEC@AL@F =GR@P

D@BG >B@G@F OEFO@F? D@CN@B@L@O KG @O@C =EH@C M@AR@ M>A@DD@K AMK>A DEDGHGLG
QEDGLGB@F @L@F QEFOGF?FN@ LEAGK>Q@F MEBD@CN@B@L@O K@F OGK@L MGC@ AGK>Q DEFNEFKGBGP

BEBD@CN@B@L@O M@?G D@F>CG@ @K@H@A LEM>O>A@F AGK>QP D@H@D OEJBG MEBD@CN@B@L@OS


CEQEBOGFN@ M>A@DD@K AMK>A HEMGA KEL@O KEF?@F OEJBG GFOE?B@HGCOGL K@BG Q@K@ OEJBG

JB?@FGCDE K@F @OJDGCOGLP

Filsafat Ilmu Pengetahuan Menurut Muhammad Abduh


AMK>BB@AD@F T@HEA DEF?@O@L@F M@AR@ L@O@ UVW K@H@D @HIX>BY@F C@H@A C@O> GCOGH@A
N@F? DEF>F=>LL@F Q@K@ QEF?EO@A>@FP ZJCEFOA@H DEF[@O@O \BEL>EFCG D>F[>HFN@ ]^_Vûb

L@O@ ` alima KGQEBOGDM@F?L@F KEF?@F CE?@H@ LE[EBD@O@FFN@P aEFOGF?FN@ GHD>

QEF?EO@A>@F =>?@ KGOED>L@F K@H@D @HIX>BY@FP AN@OI@N@O GFG MEBGBGF? >FO>L DEF>F=>LL@F

QEB@F@F QEFOGF?FN@ GHD> QEF?EO@A>@F N@F? MGC@ DEDM>@O CECEJB@F? DEF[@Q@G KEB@=@O

N@F? OGF??GP IMF M@CY>K DEF?@O@L@F M@AR@ JB@F? N@F? KGMEBGL@F GHD> DEDQ>FN@G
bc
KEB@=@O N@F? OGF??G K@BGQ@K@ JB@F? N@F? DEDQ>FN@G GD@F O@QG OGK@L MEBGHD>P

MEF>B>O Q@FK@F?@F @HIX>BY@FS CEQEBOG KGGCN@B@OL@F JHEA R@AN> QEBO@D@S GHD>

OEBKGBG K@BG K>@ D@[@DP Pertama, GHD> N@F? KGQEBJHEA O@FQ@ >C@A@ D@F>CG@ K@F LED>KG@F

KGCEM>O GHD> laduni.bd KeduaS GHD> N@F? KGQEBJHEA KEF?@F >C@A@ D@F>CG@ K@F LED>KG@F
KGCEM>O GHD> kasb. MEF>B>O X>B@GCA TAGA@MS @N@OI@N@O @HIX>BY@F DEF?GCN@B@OL@F M@AR@
be

GHD> kasb HEMGA M@FN@L =>DH@AFN@ K@BG Q@K@ GHD> laduni.bb D@H@D QEDM@A@C@F GFGS GHD>

N@F? KGMG[@B@L@F @K@H@A GHD> kasb.

96:fg6hf :fif8 7673f4 j6gifg h6fjffggkfl nafs muthmainnah h6m4hf nafs 4m3 m6gfgi m6:n4gjf:
jf:4 ifgii3fg 7kfnofml nafs al-ammarah bi al-su p4hf nafs 4m3 qfjf 7kfnofml jfg nafs lawwamah,
nafs 4m3 76/f/3 86g6gmfgi nafs syahwat 76n4giif h6m6gfgifg nafs m4jfh 768q3:gf0 L4nfm
f/5Gnfrâlî, Keajaiban Hati, terj. Tim Penerjemah Tintamas (Jakarta: Tintamas, 1984), h. 34.
p4hf

Roh juga memiliki dua arti, roh jenis yang halus bersumber dari rongga hati jasmani dan roh
yang halus pada manusia yang dapat mengetahui segala sesuatu dan dapat menangkap segala
pengertian. Roh dalam artinya yang kedua inilah yang terkandung dalam ayat qul al-rûh min
amri rabbî . Ibid., h. 2-3. Menurut Quraish Shihab, nafs terkadang diartikan totalitas manusia
yang menghasilkan tingkah laku manusia. Terkadang nafs diartikan untuk menunjukkan diri
Tuhan seperti (Q.S. al-An âm/6: 12). Tetapi secara umum dapat dikatakan bahwa nafs dalam
konteks pembicaraan tentang manusia, menunjuk kepada sisi dalam manusia yang berpotensi
baik dan buruk. Lihat Quraish Shihab, Wawasan al-Qur an, h. 285-286.
52
Lihat Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan al-Qur an,
terj. M. Arifin dan Zainuddin, cet. 2 (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 89-90.
53
Mengenai ilmu laduni ini terkandung dalam Q.S. al-Kahf/18: 65.
54
Muhammad Quraish Shihab lahir di Rappang, Selawesi Selatan, 16 Februari 1994. Ia
memperoleh gelar Doktor di Universitas al-Azhar dengan yudisium summa cum laude tahun 1982.
55
Lihat Quraish Shihab, Wawasan al-Qur an, h. 435-436; Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr,
jilid III, h. 119.

+,+
Sehat Sulthoni Dhalimunthe: Landasan Filsafat Pendidikan Islam Muhammad Abduh

Ivwx yz{|z}~x~{ €}{‚~x €~ƒ zy„}zw…v…|{†~ wz{xƒx} Mx~ww~€ A‡€x


}zƒ‡~| €x~ˆ ~‰~v €~{ Š~†x‹ A‰~v €|x{~‰~{ x{}x‰ wzw~~w Š~†x €~{ wzw{}~
‰…{Œƒw~„ ‰zy~€~ Š~†x x{}x‰ wzwyzƒ‰x~} yz{€~y~}{†~ €~ƒ ~‰~vŽ‹ zwz{}~ƒ~

Š~†x „zv~{ wzw‡zƒ {Œ…ƒw~„ €~{ wzwyzƒ‰x~} yz{€~y~} ~‰~vˆ ~ Š~†xŽ ‚x|~
‘
‡zƒŒx{|„ x{}x‰ wzvxƒx„‰~{ yzw‰ƒ~{ ~‰~v †~{| „~v~‹

’“kl
Kz~ƒx„~{ ‡zƒy‰ƒ ‡x‰~{ „~‚~ {~vxƒ ‰zw~{x„~~{ˆ }z}~y }zƒ€~y~} ‚x|~ yzƒ{}~
€~v~w ~v”•xƒ–~{ x{}x‰ wz{€…ƒ…{| ‡zƒy‰ƒ €~{ wzv~ƒ~{| w~{x„~ x{}x‰ ‡zƒ}~‰v€‹ —

A†~}”~†~} ~v”•xƒ–~{ wz{†z‡x} „Œ~}”„Œ~} ˜x~{ˆ ‰~}~ Mx~ww~€ A‡€xˆ }z}~y w~{x„~
}€~‰ €w{}~ yzƒ™~†~ ‡z|}x „~‚~‹ š

F~v„~Œ~ Šx‚x€ wz{xƒx} Mx~ww~€ A‡€x ‡x‰~{v~ ‡zƒ„xw‡zƒ €~ƒ Š~†x „~‚~
}z}~y ‚x|~ ~‰~v‹ A‰~vˆ €z{|~{ ‰z‰x~}~{ †~{| ~€~ y~€~ €ƒ{†~ˆ ‡zƒx„~~ wzwyzƒ…vz

yz{|z}~x~{ }z{}~{| }x~{ €~{ Š~†x‹ Mx~ww~€ A‡€xˆ ‰~}~ H~ƒx{ N~„x}…{ˆ

‰zv~}~{{†~ yz{|~{x} Œ~v„~Œ~ zw~{~„ †~{| wz{|~}~‰~{ ‡~Š~ ‚Š~ w~{x„~ €~y~}

wz{|~€~‰~{ ‰…wx{‰~„ €z{|~{ ~v~w ~‡„}ƒ~‰  ›œžŸŸ›  ›¡Ÿž¢Ž‹ £ Avv~ˆ wz{xƒx}

Mx~ww~€ A‡€xˆ wzwv w~{x„~ }zƒ}z{}x †~{| ‚Š~{†~ wz{™~y~ yx{™~‰

‰z„zwyxƒ{~~{ˆ „z{||~ wzƒz‰~ €~y~} wz{zƒw~ y~{™~ƒ~{ vwx †~{| €„{~ƒ‰~{”N†~‹‘¤

D }zwy~} v~{ˆ Mx~ww~€ A‡€x wz{|~}~‰~{ ‡~Š~ ~€~ ‚Š~”‚Š~ w~{x„~ †~{|

‡z|}x „x™ „z{||~ wzƒz‰~ €~y~} wz{zƒw~ vwy~~{ ™~~†~”N†~ ¥Ÿ-¦§›¨© ¥Ÿ-›ŸâhiŽ‹

JŠ~”‚Š~ †~{| „x™ }x €~y~} „~wy~ wz{|z}~x ˜x~{‹ ‘ª


Kx~v}~„ ~‰~v †~{| €~{x|ƒ~‰~{ Avv~ ‰zy~€~ w~{x„~ˆ wz{xƒx} Mx ~ww~€
A‡€xˆ }€~‰ „~w~‹ Mzƒz‰~ †~{| €~{x|zƒ~‰~{ …vz Avv~ ~‰~v †~{| ‡zƒ‰x~v}~„ }{||‘«
€„z‡x} ‰~xw khawasˆ „z€~{|‰~{ †~{| wzwv‰ ‰x~v}~„ ƒz{€~‘¬ €„z‡x} ‰~xw –awam‹

­z{€~y~} { €€~„~ƒ‰~{ A‡€x y~€~ •‹‹ ~v”B~®~ƒ~¯°± ²³´ˆ †~{| ‡zƒ‡x{†±

               

                  
µ¶ L·¸¹º H¹»¼½ N¹¾¼º·¿½À 
Muhammad
 Abduh,
 ¸ÁÂÃÀ
 Ĺ½  B¹Æ¹
ÅÅÁ   ÉÊË̹ͷ

ι¾Ï·Ä ηĸ¹À Tafsîr al-Manâr, ǼРIÀ ¸Á ÑÂÒÑÅÁ
ÂÂÀ Ǽȹ

µÓ M¼¸¹ËË¹Ä AÌļ¸À Risâlah al-Tauhîd ÔK¹·»¿Õ Dâr al-Manâr, 1366 H.), h. 23.
Harun Nasution, Muhammad Abduh, h. 44.
58

Ibid., h. 6.
59

60
Harun Nasution, Muhammad Abduh, h. 93.
61
Ibid., h. 111.
62
Yang dimaksud akal berkualitas tinggi menurut Muhammad Abduh adalah mereka
yang sampai untuk mengetahui Tuhan dan alam abstrak lainnya. Harun Nasution, Muhammad
Abduh, h. 34.
63
Yang dimaksud akal berkualitas rendah menurut Muhammad Abduh adalah mereka

stu
MIQOT ÙÚÛÜ ÝÝÝIÙ NÚÜ Þ JßÛàáDâãâäåâæ Þçèç
               

                  

        

éêëìíîîìïíðñ òñóñô õêíö÷õøññí óñíî÷ø òñí ùìô÷, ë÷ó÷ï ùêúîñíø÷íðñ ôñóñô òñí ë÷ñíî, ùñïøêúñ

ðñíî ùêúóñðñú ò÷ óñìø ôêôùñûñ ñõñ ðñíî ùêúîìíñ ùñî÷ ôñíìë÷ñ, òñí ñõñ ðñíî üóóñï øìúìíýñí

òñú÷ óñíî÷ø ùêúìõñ ñ÷ú, óñóì òêíîñí ñ÷ú ÷øì þ÷ñ ï÷òìõýñí ùìô÷ ëêëìòñï ôñø÷ (ýêú÷íî)-íðñ
òñí þ÷ñ ëêùñúýñí ò÷ ùìô÷ ÷øì ëêîñóñ ÿêí÷ë ïêûñí, òñí õêíî÷ëñúñí ñíî÷í òñí ñûñí ðñíî

ò÷ýêíòñó÷ýñí ñíøñúñ óñíî÷ø òñí ùìô÷. éìíîîìï (øêúòñõñø) øñíòñ-øñíòñ (ýêêëññí òñí

ýêùêëñúñí üóóñï) ùñî÷ ýñìô ðñíî ôêô÷ý÷úýñí.  B




M  A   óñâyat liqaum ya qilûn  


             
   M         
   !!   sunnah Allâh"# A  
!!  khawas    D    A 

        

Kamu mendapat hidup dengan (peraturan) qishash itu, hai orang-orang yang berakal,
mudah-mudahan kamu bertakwa.  B
$%

K   ûlu al-bâb  M  A   
      A    !!  khawas"&
M  A   ûlu al-bâb      
lub)  "" H     '     
  M     "(

)     M  A    
!        *  
          "+

D  M  A      , 
    ! !,   -    
*       !   N  

./01 2à3/4 ã/ä5/à ß02ß4 äâ01â2/6ßà 7ß6/0 3/0 /Û/ä /åã2æ/4 Û/à00./Ü B/8/ Mß6/ää/3 Aå3ß69
Risâlah al-Tauhîd, 6Ü ::; H/æß0 N/ãß2àÚ09 Muhammad Abduh, 6Ü <=Ü
>? Là6/2 @/ã.à3 @à36/9 Tafsîr al-Manâr, AàÛà3 II BK/àæÚC Dâr al-Manâr, 1365 H), h. 63-64.
65
Ibid., h. 133.
66
Ibid., h. 229.
67
Muhammad Abduh, Risâlah al-Tauhîd, h. 77.
68
Ibid., h. 110.
Ö×Ø
­Œ{…‰ ­„‰{’Š D{…Š†„’‰{Œ¥ L…’‡…‘…’ FŠ‘…–…‰ ®Œ’‡Š‡Š‹…’ I‘…† M„{…††…‡ Aˆ‡„{

FGHGIJGKLIMNI MLONPPNJ AQJLO RNJN SGTKU NNSUVUWPG JNI EPRUKUWPG XGQUO XNIYLS
SUJNF JUFGSNOLUZ DNKU FNXUPNS[ \SGKLSNPN TXGO RGKQGJNNI RGPQN]NNI NXNPU^_ JNRNS
JURNONPU QNO]N UN XGQUO HTIJTIM RNJN SGTKU NNSUVUWPGZ NNPLI WNSL ONX `NIM RNWSU[ UN
WNIMNS NRKGWUNSUa SGKONJNR FGKYN NFNXZ DGIMNI JGPUFUNI FGXUONSNII`N UN XGQUO HTIJTIM
RNJN EPRUKUWPG[ ONI`N WNYN JNXNP PGIMGSNOLU bLONI JNI NXNP NQWSKNF XNUII`N PLIMFUI
UN HTIJTIM RNJN SGTKU NNSUVUWPGZ DNXNP FNSN XNUI[ RGPUFUKNI KTIVGKMGIWU MLONPPNJ
AQJLO SGISNIM JN`N NFNX XGQUO QNI`NF JURGIMNKLOU TXGO SGTKU EPRUKUWPGZ

Wahyu
MLONPPNJ AQJLO PGIJGWFKURWUFNI QNMNUPNIN QNONWN NXcdLKeNI NSNL ]NO`L
QGKFGPQNIM WGWLNU JGIMNI RGKFGPQNIMNI NFNX PNILWUNZ MGILKLSI`N[ PNILWUN USL
RNJN PLXNI`N FGHUX[ XNXL PGIYNJU JG]NWNZ DGPUFUNI YLMN[ AXXNO QNMNUFNI TKNIM SLN
QNMU NINFcNINFI`NZ fPNS SGKJNOLXL PNWUO NINFcNINF[ WGOUIMMN RGKUISNO RLI PLSXNF
JUFGKYNFNI[ XNKNIMNI FGKNW ONKLW JUSUIMMNXFNII`N[ WGOUIMMN WGSGXNO JG]NWN PNILWUN
UIU[ bLONI RLI QGKQUHNKN JGIMNI NFNXZ gh

fPNS PNILWUN FGSUFN IWXNP JNSNIM WLJNO PGIYNJU JG]NWN JNI PGIMOGIJNFU NMNPN
`NIM KNWUTINXZ KNKGIN USLXNO FUSN SUJNF WLXUS PGIJNRNSFNI QNMNUPNIN NXcdLKeNI QGKQUHNKN
QLFNI WNYN RNJN RGKNWNNI PNILWUN[ SGSNRU RNJN NFNX PGKGFNZ DGPUFUNI YLMN INQU QGKQUHNKN
JGIMNI NFNX QNOFNI PGIYNJUFNI NFNX WGQNMNU ONFUP NISNKN `NIM QGINK JNI `NIM WNXNOZij

KLNXUSNW NFNX PNILWUN NJN `NIM SUIMMU JGKNYNSI`N JNI NJN `NIM KGIJNO[ FGPLJUNI
TKNIMcTKNIMI`N JUWGQLS FNLP klmnmo JNI FNLP mnmpZ qLIMMLO RLI NFNX FNLP klmnmo
PGPRLI`NU JN`N `NIM FLNS[ SGSNRU NFNX PGKGFN SUJNF JNRNS PGPRGKTXGO WGXLKLO
RGIMGSNOLNI `NIM ]NYUQ QNMUI`N SGISNIM bLONI JNI NXNP MNUQZir qUaNScWUaNS bLONI WGRGKSU
QGKQUHNKN[ PGXUONS[ JNI PGIJGIMNK `NIM FGPLJUNI JUWGQLSFNI TXGO MLONPPNJ AQJLO
WUaNScWUaNS `NIM ]NYUQ QNMUcN`N SUJNF JNRNS JUFGSNOLU TXGO NFNXZis MNILWUN JNRNS PGIMGSNOLU
WUaNScWUaNS bLONI ONI`N JNKU ]NO`LZ qGXNUI USL[ NFNX YLMN SUJNF JNRNS PGIMGSNOLU ONFUFNS
OUJLR JU NXNP MNUQ INISUZ qGHNKN KUIHU[ NFNX SUJNF PGIMGSNOLU FGQNONMUNNI JNI FGWGIMWNKNNI
JU NFOUKNS INISUZ LGQUO XNIYLS[ MLONPPNJ
AQJLO PGIMNSNFNI QNO]N NFNX SUJNF JNRNS
PGIMGSNOLU HNKN PGIMOUSLIM RGKQLNSNI QNUF JNI QLKLF JU NFOUKNS INISUZit DGIMNI XNSNK
QGXNFNIM RGPUFUKNI JU NSNW[ PNFN PNILWUN PGPQLSLOFNI ]NO`L LISLF PGPQNISLI`N

uv wxyz., {| }~|
€ wxyz., {| }~‚|
€ƒ M„{…††…‡ Aˆ‡„{ ‰Š‡…‹ †Œ†ŠŠ‹Š ‹…‰…ŽŠ Ž…Šˆ ‘Œˆ…Ž…Š†…’… M„‰{…‡{… M„‰{…{{…Š “…’Ž
†Œ†ˆ…ŽŠ Ž…Šˆ †Œ’”…‡Š ‡„… ”„Ž…• “…Š‰„ Ž…Šˆ Œ…‰Š–• ‡…’ Ž…Šˆ “…’Ž …ˆ‘„‰| G…Šˆ “…’Ž …ˆ‘„‰
Š‰„…{ Œ‘Œ’‘Š —„{…’• ‘Œ‡…’Ž‹…’ Ž…Šˆ Œ…‰Š– …‡……{ ‰Œ‘Œ†ˆ„’“Š• ‹…Œ’… ‰Œ{……’Ž ‰Œ†˜…‰ †…„˜„’
™…‹‰„| š…‘„„…{ ˆ…ŽŠ ‹Š‰… ‘Œ‹……’Ž Ž…Šˆ• ˜…‡…{… ‡…{„„ ˆ…ŽŠ Aˆ„ B…‹… ‰Š‡…‹ Ž…Šˆ• Š‰„ ‹…Œ’…
˜Œ‘……’ ™…‹‰„| M„“…‡Š KŒ‰…’ŒŽ……• ›œœž Ÿ y¡y¢£ ¤J…‹…‰…¥ E…’ŽŽ…• ¦§§¨©• {| }§}|
€ª wxyz., {| ~~«~¨|
€¬ wxyz., {| ¨¨|

DEE
MIQOT ²³´µ ¶¶¶I² N³µ · J¸´¹ºD»¼»½¾»¿ ·ÀÁÀ

ÂÃÂÄÃÅÆÇÃÈ ÄÃÉÊÃËÌÈÍÌÉ ÇÃÎÏÈ ÇÍÌÐ ËÃÉËÌÉÊ ÑÍÈÌÉ ÒÌÉ ÂÌÐÌ ÒÃÄÌÉÉÓÌ ÒÏ ÌÇÌÂ ÊÌÏÎ
ÉÌÉËÏÔÕÖ

×ÃÎÌÊÌÏ ØÆÉÐÃØÍÃÉÐÏ ÄÃÂÎÌÊÏÌÉ ÂÌÉÍÐÏÌ ÂÃÉÍÅÍË ØÍÌÇÏËÌÐ ÌØÌÇ ÄÌÒÌ ØÌÍÂ


ÙÚÛÜÛÝ ÒÌÉ ÞÛÜÛßà MÍÈÌÂÂÌÒ AÎÒÍÈ ÂÃÉÊÌËÌØÌÉ ÎÌÈáÌ ÌÒÌ áÌÈÓÍ ÓÌÉÊ ÒÏËÍâÍØÌÉ
ÍÉËÍØ ØÌÍ ÙÚÛÜÛÝ ÒÌÉ ÌÒÌ âÍÊÌ áÌÈÓÍ ÓÌÉÊ ÒÏËÍâÍØÌÉ ÍÉËÍØ ØÌÍ ÛÜÛßÔÕã HÌÉÓÌ
ÐÌâÌ MÍÈÌÂÂÌÒ AÎÒÍÈ ÂÃÉÊÌËÌØÌÉ ÎÌÈáÌà ÌÊÌÅ ÄÌÅÌ ÉÌÎÏ ÎÃÅÈÌÐÏÇ ÒÌÇÌ ÒÌØáÌÈà
ÂÃÅÃØÌ ÈÌÅÍÐ ÎÃÅÎÏäÌÅÌ ÒÃÉÊÌÉ ÎÌÈÌÐÌ ÓÌÉÊ ÒÌÄÌË ÒÏÂÃÉÊÃÅËÏ ÍÂÌË ÂÃÅÃØÌ ÂÌÐÏÉÊå
ÂÌÐÏÉÊà ØÌÅÃÉÌ ÂÌÓÆÅÏËÌÐ ËÏÌÄåËÏÌÄ ÍÂÌË ËÃÅÒÏÅÏ ÒÌÅÏ ØÌÍ ÛÜÛßÔ KÌÅÃÉÌ ÏËÍà ÎÌÈÌÐÌ
ÒÌØáÌÈ ÄÌÅÌ ÉÌÎÏ ÈÌÅÍÐ ÒÌÄÌË ÒÏÄÌÈÌÂÏ ÆÇÃÈ ØÌÍ ÛÜÛß ÒÌÉ ØÌÍ ÙÚÛÜÛÝÔÕæ

MÃÐØÏÄÍÉ ØÌÍÂ ÙÚÛÜÛÝ ÂÃÂÏÇÏØÏ ØÍÌÇÏËÌÐ ÌØÌÇ ÓÌÉÊ ËÏÉÊÊÏà ËÃËÌÄÏ ËÏÒÌØ ÐÃÂÍÌ
ÎÌÈÌÐÌ ØÌÍ ÛÜÛß ÒÌÄÌË ÒÏÂÃÉÊÃÅËÏ ÆÇÃÈ ÂÃÅÃØÌÔ AÒÌ ÍäÌÄÌÉåÍäÌÄÌÉ ÄÌÅÌ ÉÌÎÏ ÓÌÉÊ
ÒÏËÍâÍØÌÉ ÍÉËÍØ ØÌÍ ÛÜÛßÔ KÌÍ ÙÚÛÜÛÝ ËÏÒÌØ ÂÃÉÊÃÅËÏ ÍäÌÄÌÉåÍäÌÄÌÉ ÏËÍ ØÃäÍÌÇÏ
ÐÃËÃÇÌÈ ÂÃÇÌÇÍÏ ÄÅÆÐÃÐ ÏÉËÃÅÄÅÃËÌÐÏÔÕÕ

MÃÉÍÅÍË HÌÅÍÉ NÌÐÍËÏÆÉà ØÃÇÏÈÌËÌÉÉÓÌ ÂÌØÐÍÒ ÒÌÅÏ ÍäÌÄÌÉåÍäÌÄÌÉ ÓÌÉÊ ÒÌÄÌË


ÒÏÄÌÈÌÂÏ ÆÇÃÈ ØÌÍ ÛÜÛßà ËÃËÌÄÏ ÎÃÇÍ ÒÌÄÌË ÒÏÄÌÈÌÂÏ ØÌÍ ÙÚÛÜÛÝ ØÃäÍÌÇÏ ÐÃËÃÇÌÈ
ÄÅÆÐÃÐ ÏÉËÃÅÄÅÃËÌÐÏ ÏËÍà ÐÏçÌËåÐÏçÌË âÌÐÂÌÉÏ ÑÍÈÌÉ ÒÌÉ áÌÈÓÍ ËÃÉËÌÉÊ ØÃÈÏÒÍÄÌÉ ØÃÇÌØ ÒÏ
ÌÇÌÂ ÊÌÏÎÔÕè

AÒÌ âÍÊÌ çÏÅÂÌÉ ÑÍÈÌÉ ÓÌÉÊ ËÏÒÌØ ÂÌÂÄÍ ÒÏÄÌÈÌÂÏ ÆÇÃÈ ØÌÍ ÛÜÛß ØÃäÍÌÇÏ
ÐÃËÃÇÌÈ ÌÒÌÉÓÌ ÄÃÉâÃÇÌÐÌÉ ÄÌÉâÌÉÊ ÇÃÎÌÅ ÓÌÉÊ ÂÃÂÎÍËÍÈØÌÉ áÌØËÍ ÓÌÉÊ ËÏÒÌØ ÐÃÒÏØÏËÔ
×ÃÂÃÉËÌÅÌ ØÌÍ ÙÚÛÜÛÝ ÒÌÄÌË ÂÃÉÌÉÊØÌÄ ÂÌØÐÍÒ çÏÅÂÌÉ ÏËÍÔ éÌÈÓÍ ÐÃÂÌäÌ ÏÉÏà
ÂÃÉÍÅÍË MÍÈÌÂÂÌÒ AÎÒÍÈ ÒÏËÍâÍØÌÉ ØÃÄÌÒÌ ØÌÍ ÙÚÛÜÛÝÔÕê MÃÉÍÅÍË HÌÅÍÉ
NÌÐÍËÏÆÉà çÏÅÂÌÉ ÑÍÈÌÉ ÓÌÉÊ ÒÏÂÌØÐÍÒ ÏËÍ ÏÌÇÌÈ ËÌÉÒÌåËÌÉÒÌ ÑÍÈÌÉ ÓÌÉÊ ËÃÅÒÌÄÌË ÒÏ
ÌÇÌÂà ÐÃÄÃÅËÏ ÂÌËÌÈÌÅÏà ÎÍÇÌÉà ÄÇÌÉÃËåÄÇÌÉÃËà ÐÃÅËÌ ÊÃÅÌØ ÂÌÐÏÉÊåÂÌÐÏÉÊ ÓÌÉÊ ÎÃÅÐÏçÌË
ËÃËÌÄ ÏËÍÔèë ÑÍâÍÌÉ ËÌÉÒÌåËÌÉÒÌ ÏËÍ ÂÃÉÍÅÍË MÍÈÌÂÂÌÒ AÎÒÍÈ ÍÉËÍØ ÂÃÉÌÅÏØ ÄÃÅÈÌËÏÌÉ
ÆÅÌÉÊ ÄÌÒÌ ÅÌÈÌÐÏÌåÅÌÈÌÐÏÌ ÓÌÉÊ ËÃÅØÌÉÒÍÉÊ ÒÏ ÒÌÇÌÂÉÓÌ ÒÌÉ ÈÏØÂÌÈ ÄÃÉäÏÄËÌÌÉÉÓÌÔèì

BÌÏØ áÌÈÓÍ ÓÌÉÊ ÒÏËÍâÍØÌÉ ÍÉËÍØ ØÌÍ ÙÚÛÜÛÝ ÂÌÍÄÍÉ áÌÈÓÍ ÓÌÉÊ ÒÏËÍâÍØÌÉ
ÍÉËÍØ ØÌÍ ÛÜÛß âÍÂÇÌÈÉÓÌ ÈÌÉÓÌ ÐÃÒÏØÏËÔèí ×ÃÇÌÏÉ ØÃÒÍÌ áÌÈÓÍ ÓÌÉÊ âÍÂÇÌÈÉÓÌ ÐÃÒÏØÏË
ÏËÍà ÂÃÉÍÅÍË MÍÈÌÂÂÌÒ AÎÒÍÈ ÌÒÌ áÌÈÓÍ ÎÃÉËÍØ ØÃËÏÊÌÔ éÌÈÓÍ ÏËÍ ÌÒÌÇÌÈ ÐÃÎÌÊÏÌÉ

îï Hð¿¸ñ Nð¼¸ò¹³ñó ôõö÷øø÷ù úûùõö, üµ ýþµ


îÿ M¸üð½½ð A¾ ¸üó âlah al-Tauhîdó üµ Á·ýµ ððñó M¸üð½½ð A¾ ¸ü ò¹ ð
½»ñ»´ð¼ðñ ¼» ð¿ð ¿¹ñ ¹ ò»ñòðñ
»½¾ð¹ðñ ðü¸ ¹ñ¹ ðñ ¹ð ¸ð ò¹ ð ½»½¾»¿¹ ³ñò³üº
³ñò³üñðµ
î Hð¿¸ñ Nð¼¸ò¹³ñó Muhammad Abduh, üµ ýþµ
îî M¸üð½½ð A¾ ¸üó Risâlah al-Tauhîd, üµ Á·ýµ
î Hð¿¸ñ Nð¼¸ò¹³ñó Muhammad Abduhó üµ ýþµ L¹üðò ¸ð M¸üð½½ð A¾ ¸üó Risâlah al-
Tauhîd, üµ ·À·º·Àýµ
î Ibid., üµ Á·ýµ
 Hð¿¸ñ Nð¼¸ò¹³ñó Muhammad Abduh, üµ ýµ
 M¸üð½½ð A¾ ¸üó Risâlah al-Tauhîd, üµ Á··µ
 Ibid., üµ Á·ýµ
¯°±
maJRW mT_WJYUX DJR_X`TUWJap LRUbRVRU FX_VRyRW zaUbXbXcRU IV_R` MTJR``Rb AfbTJ

    !"#$% &$' ()" $'$ *+" $' )' $ ($""
H"$ N",$- $ $  $' ($'$"$' .$+ ). ($" "$")
( )$)$ )*/$)*/$ () +. 0"+$ $  ( )$% 12
D$'$ ()$- ($"" M"+(( A"+  ' (3( *+"4 15
6% 7+" $' "/")$ "$") )"( 89:;:< $ :;:=% 7+" " '$ 
  !"#$%
>% 7+" $' "/")$ )+"" "$") )"( :;:=% J"( + *+" $  (  !"#$
+$ )%
?% 7+" $' "/")$ )+"" "$") )"( 89:;:<% J"( + *+" $  (  
!"#$ . $' )%

D $ " "(  ("  - ) $ *+"- .)+ )"$ $$'$@
M$"" M"+(( A"+ +* $ *+" $ ) ) ("$')$  .$$'$%
B$ +* ) +" .3 ). (" . $' * *+" $ ("$')$ 
 $$ $' )  )+" +))$% B'" ."$ ) ) */ ($( .
$' ("+ - . "$ "  $' $$'$ " $ " $'
 *$$  " (. . *)" $' (- )$ '( "3  + + $'
". "% J) *+" ((* "" $' . +$ ) +$ $$'$ $'$
) - ()$  + $/" ($/ )$- */ ' ) "$") ()$ +* . $'
()" ")$ +  +A+- ) )("$ ((."$ )$ (( $.
). *+" " ($+)$ ()" $$  *+" $')"$ ). A +%

Filsafat Akhlak85
I (" )+ )- ($"" M"+(( A"+-  +  (" $' ((+ )"($
)"($ $ 3 ($) ($" ' . ((., +$% B $ "-  (" $
/"' ((+ $$' . )". )" 3  $ 3 ($) ($" "$")
+$ ( )")$$%1C
M$"" A"+-  (" )+ ) $' $' .$$' $   (  !"#$- H-
*  + $ D:EFGîn% 0' "( $ $'$ .$/$'  $) ((+

HI Ibid., JK LMNOPNNK
HQ HRSTU NRVTWXYUZ Muhammad Abduh, JK [\O[]K
H^ DR_R` KR`TV BaVRS BRJRVR IUbYUaVXRZ cRWR dRcJ_Rce bXRSWXcRU VafRgRX fTbX hacaSWX
RWRT ca_RcTRUK MaVcXhTU RcJ_Rc bXR`fX_ bRSX fRJRVR ASRfZ UR`TU cRWR XWT WXbRc RbR bR_R`
R_OiTSeRUK DX bR_R` R_OiTSeRU JRUjR RbR cRWR k khuluqlK KRWR khuluq RbR bR_R` iKmK R_O
iR_R`no]p qK KRWR kRcJ_Rcl bXWa`TcRU bR_R` JRbXVOJRbXV NRfX MTJR``Rb mArKZ bX RUWRSRUjR
JRbXV jRUg bXSXsRjRWcRU Y_aJ MR_Xc jRUg faSfTUjX innamâ bu itstu li utammima makârim al-
akhlâqK ASWXUjR kAcT JRUjR bXTWTV TUWTc `aUja`hTSURcRU RcJ_Rc jRUg `T_XRlK iTSRXVJ mJXJRfZ
Wawasan al-Qur an, JK Pt[K
Hu vRVjXb vXbJRZ Tafsîr al-Manâr, wX_Xb IxZ JK qLK

MIQOT ~€ ‚‚‚I~ N ƒ J„€…†D‡ˆ‡‰Š‡‹ ƒŒŒ

Ž‘ ’“”’“• D’’ –Ž—’˜™ ’“”’“š A–—‘” ›’˜™’œ œž“›’˜ —˜™’˜ ‘Ÿ’ ’˜ ›’”’–’œ ¡’ž –Ž˜
K”’œœ’– œ˜œ’˜™ “”Ž—‘ ’˜ –ž“‘’ž™’• ¡’ž ˜™’œ’“’˜ –’”¢’ ’—’ ›£ž’˜™ Ž›œžŽ ¤’˜™
—˜™’˜ œž‘› œž’˜™ ˜™’œ’“’˜ “ ’—’ ›‘’Ž˜¤’ –’”¢’ Ž’ œŽ—’“ ›‘“’ ¥ŸŽ˜œ’¦ ›’’
›‘’Ž˜¤’• K‘—Ž’˜ ¡’ž –Ž˜ K”’œœ’– ˜™’œ’“’˜š §¨Ž“’ ’—’ —Ž ’˜œ’ž’ “’Ž’˜ ¥Ž›œžŽ©
Ž›œžŽ¦ ¤’˜™ œŽ—’“ ˜¤‘“’Ž ’“Ž©’“Ž ¥›‘’Ž¦š ’“’ “’Ž’˜ ¨’˜™’˜  ž”Žœ‘˜™“’˜˜¤’ ’™Ž
¥œŽ—’“ –žœž‘› œž’˜™š ›”Ž˜™™’ ›‘’Ž ›’“Žœ ”’œŽ¦š “’ž˜’ “”Ž—‘ ’˜ ž‘’” œ’˜™™’ ›—Ž“Žœ
›“’Ž ¤’˜™ —Ž–’˜™‘˜ ’œ’› —’›’ž “’›Ž” ›’¤’˜™• ª›‘˜™™‘”˜¤’ ’˜‘›Ž’  ’Ž˜™ –ž“›’˜
—˜™’˜  £›Ž›Ž —’˜ ’“”’“•«¬ K’Ž’œ œž›–‘œ ˜‘ž‘œ M‘”’’— A–—‘” œŽ—’“ ’“’˜
“‘’ž —˜™’˜ Ž˜—’” “Ÿ‘’Ž —’žŽ ‘‘œ £ž’˜™ ¤’˜™ –Ž¨’“›’˜’š —Ž ’˜’  ’—’ —ŽžŽ˜¤’
œ’” ž›’  Ž‘ ’“”’“ —’˜ Ž‘ ›£›Ž’•««
D’žŽ —­Ž˜Ž›Ž ’“”’“ —’˜ ‘˜™“’ ’˜ ¡’ž –Ž˜ K”’œœ’– —’ ’œ’” —Ž›Ž ‘“’˜ –’”¢’ Ž‘
’“”’“ ˜‘ž‘œ A–—‘” ’—’’” Ž‘ ¤’˜™ –’”’›  žŽ’“‘ –’Ž“ —’˜ –‘ž‘“• DŽ ’¨’žŽ˜¤’
Ž‘ œ˜œ’˜™  žŽ’“‘ ¤’˜™ –’Ž“ ‘˜œ‘“ —’ ’œ —Žœ’‘’—’˜Ž• DŽ ’¨’žŽ˜¤’ Ž‘  žŽ’“‘
œ˜œ’˜™ ¤’˜™ –‘ž‘“ ‘˜œ‘“ —’ ’œ ˜™”Ž˜—’žŽ˜¤’• D’’ ”Ž—‘  Ž˜Žš ’˜‘›Ž’ –ž–‘’œ
”’ž‘›  ˜‘”  ž”Žœ‘˜™’˜ —’˜ –ž—’›’ž“’˜ ’¨’ž’˜ I›’• A“”’“ ¨‘™’ ˜‘ž‘œ M‘”’’—
A–—‘” –ž›‘–ž —’žŽ ’©®‘ž¯’˜š H’—Ž›š —’˜  ž“’œ’’˜  ’ž’ ›’”’–’œ —’˜ °±²³´în•«µ
M‘”’’— A–—‘” ’”Žž —’˜ œ‘–‘” —¢’›’ ›’ ’Ž Ž’ ˜Ž˜™™’ —’’ “’—’’˜
¤’˜™ “‘ž’˜™ –’”’™Ž’“’˜ —Ž ’˜’ ž’¨’’˜¤’ œ’“Ž— —’˜ “”‘ž’­’œ• ªŽ“’  “”‘ž’­’œ
Ž˜Ž œ˜œ‘ ˜™’˜—‘˜™ “–¨’œ’˜ £ž’ ¥’“”’“¦• K’ž˜’ Žœ‘’”š ’“’ Ž’ œŽ—’“ –’˜¤’“
˜™‘˜™“’ “’˜ “£˜›  ’“”’“š œœ’ Ž —’’ “’ž¤’©“’ž¤’˜¤’ œž’›‘“ “’ž¤’ œ’­›Žž˜¤’
Ž’ ›žŽ˜™ ˜¤–‘œ §’“”’“¶• ¡˜œ‘“ ˜‘›‘žŽ  Ž“Žž’˜˜¤’ œ˜œ’˜™ ’“”’“š ’“’˜ —ŽœŽœŽ
œ‘Ž›’˜©œ‘Ž›’˜˜¤’ ¤’˜™ –ž”‘–‘˜™’˜ ’˜™›‘˜™ ’œ’‘ œŽ—’“ ’˜™›‘˜™ œž”’—’  ’“”’“•
G‘˜’ ˜™“’ Ž  ’”’’˜ œž”’—’   Ž“Žž’˜˜¤’ œ˜œ’˜™ ’“”’“š —Ž ’˜œ’ž’˜¤’
’“’˜ —Žœ‘›‘žŽ œ’­›Žž’˜ A–—‘” œ˜œ’˜™ “’œ’©“’œ’ —’’ ’©®‘ž¯’˜ ¤’˜™ –ž’žœŽ “–’Ž“’˜ ’œ’‘
¤’˜™ ›ž‘ ’ —˜™’˜˜¤’• K’œ’©“’œ’ Žœ‘ Ž’’” al-khair, al-ma rûf, —’˜ al-birr-al-hasan. ª’Ž˜
Žœ‘š ’“’˜ —ŽŽ”’œ  ˜’­›Žž’˜˜¤’ œ˜œ’˜™ ›Ž­’œ©›Ž­’œ ·’›‘‘’” ªA¸• ¤’Žœ‘ shiddîq, amânah, tablîg,
dan fathânah. ¹ž’“”Žžš —Žœ‘›‘žŽ “£˜›  ’“”’“ ¤’˜™ —Ž“‘“’“’˜ £”  ’ž’ ’”Ž•
D’’ ®•ª• ’©NŽ›â /4: 5, Allah SWT. berfirman:

                

Janganlah kamu berikan harta-harta orang bodoh kepadanya, sedangkan Allah menjadikan
kamu untuk memeliharanya dan berikanlah belanja dan pakaian untuk mereka daripada
hartanya itu, serta katakanlah kepadanya perkataan yang baik. (Q.S. al-Nisâ /4: 5).

Ibid.
87

Ibid., h. 41-42.
88

89
Menurut Muhammad Abduh bahwa manusia berpeluang untuk menjadi baik dan buruk,
tetapi ia lebih potensial untuk menjadi baik. Lihat Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, jilid V, h. 61.

{|}
Sehat Sulthoni Dhalimunthe: Landasan Filsafat Pendidikan Islam Muhammad Abduh

M½¾¿ÀÀ¿Á AÂÁ½¾ ÀÃÄ¿ÅÆÇÈÉ¿Ä ÊË-ÌÊÍÎûf ¿Ï¿Ð¿Ï¿ Ñ¿ÄÒ ÁÇÉÃÓ¿¾½Ç ÔÕþ ÖÇ׿ÐÖÇ׿


Ñ¿ÄÒ À½ÕÇ¿ Øal-nufûs al-karîmahÙÚ Û¿ÄÒ Â¿ÇÉ Øal-ma rûf٠տ׿ÄÄÑ¿ À½ÄÒÉ¿È Øal-munkarÙÚ
KÿÇÉ¿Ä Ö½Ò¿ ÀÃÕÇϽÓÇ ÉÿÇÉ¿ÄÐÉÿÇÉ¿Ä ¾¿ÓÇÚ ÜÝ
D¿Õ¿À ÞÚßÚ ¿ÕÐNÇÆâ /4: 8, Allah SWT. berfirman:

             

Apabila datang waktu pembagian pusaka, karib-karib (yang diada mendapat bagian),
anak-anak yatim dan orang-orang miskin, berilah mereka itu sekedarnya dan katakanlah
kepada mereka perkataan yang baik. (Q.S. al-Nisâ/4: 8)

Muhammad Abduh menafsirkan al-ma rûf dalam ayat ini apa-apa yang membuat
jiwa-jiwa orang yang membutuhkan menjadi tenang tetapi ia tidak berat melakukannya.
Kebaikan juga termasuk meridhai apa-apa yang diberikan oleh pemberi (Allah). 91
Dalam Q.S. al-Baqarah/2: 177, kebaikan dengan kata al-birr ditafsirkan oleh
Muhammad Abduh bahwa secara bahasa berarti kebaikan yang luas al-tawâssu fî al-
khair, luasnya kebaikan itu bagaikan laut. Secara terminologi, al-birr apa-apa yang
mendekatkan seseorang kepada Allah yang terdiri dari iman, akhlak, dan amal shaleh.92
Dalam menafsirkan ayat ini juga ia mengutip surah al-Ahzâb/33: 21.

                 

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu)
bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah.

Dalam menafsirkan ayat ini, Muhammad Abduh mengatakan Hendaknya kamu


berakhlak dengan akhlaknya para nabi . 93 Yang menarik lagi ia mengatakan bahwa
mengeluarkan zakat adalah termasuk rukun kebaikan (al-birr) .94
Ketika menafsirkan Q.S. al-Nisâ /4: 35, Abduh mendefinisikan akhlak suatu
kebaikan dalam bermu amalah dengan Allah dan bermu amalah dengan makhluk lain.95
Lebih lanjut, Muhammad Abduh mengatakan bahwa meskipun dalam ayat ini membahas
hubungan keluarga, tetapi Allah menginginkan perintah kebaikan (ihsân) secara umum,
yaitu hubungan baik antar sesama manusia. Perbuatan baik itu dijadikan suatu kebiasaan

90
Lihat Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, jilid IV, h. 385.
91
Ibid., h. 396-397.
92
Lihat Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, jilid II, h. 110-111.
93
Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, jilid II, Ibid., h. 114-115.
94
Ibid., h. 115.
95
Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, jilid V, h. 81-82.

º»¼
MIQOT ãäåæ çççIã Näæ è JéåêëDìíìîïìð èñòñ

óôõôö÷ø øùúûúüý Aþüÿúþ ø÷ ùúúøþú õô÷úø ú ôúú óúúüú ÷ þ þôù ÷ üú
üøû õúý Lôùøü ÿú ÷ øú ôú÷úþú ùúüú ú ûøúþó û øùúûúü ûø óøø ù þú óúú
÷ô÷ú ÷ú üøû ÷ô÷úõø øùúûúü óôúöú  ý 
Dúöø ûô
øøóø úþüÿúþ ûø ú÷úó M üúúû Aùû ü ôùúø úþüÿúþ þôõúûú û ú úþüÿúþ
þôõúûú Aÿÿúü ûú úþüÿúþ þôõúûú úþüÿ þý Aþüÿúþ þôõúûú úþüÿ þ øø ûúõú÷ ûøúùúöþú
ôúûø úþüÿúþ þôõúûú ú óøú úþüÿúþ þôõúûú üôú úþüÿúþ þôõúûú ÷ ù ü ÷ ù üú
ûú úþüÿúþ þôõúûú ùôûú ú÷øý
Aõúùøÿú ûøÿúúþ þôõöøùúûøú M üúúû Aùû ü úþú úþú ûø÷ô þú úþüÿúþú
ú  ÿøú ûú ûøþú÷úþú ùúüú öøóúÿúü ú÷ú øóøú úûúÿúü õôùúüúö ú úúú
ùôöûúóúöþú úþüÿúþý ô÷ôÿúü ôøúÿþú øôöóø÷úó úÿ Aüúö øú ôüúùøóþú
úþ÷ ú ÷ þ ôõôöüú÷øþú úóúÿúü úþüÿúþ ûú õôöù ú÷ú úóúöúþú÷ý Iûøþúóø
øø ùøóú ûøÿøüú÷ ûúöø úþ÷øø÷úóú þô÷øþú øú ûøù ú þô Bôøö ÷ ûú þô ûøú þô Eöõúý Dø
Eöõú øú ûú Júúÿ úÿ Dîn al-Afghânî mendirikan -  -â (suatu organisasi
surat kabar), di mana setiap langkah mereka berorientasi pada peningkatan akhlak. 98
Gerakan pembaharuan agama yang dilaksanakan Abduh berawal dari perbaikan
akidah dan pada gilirannya dapat memperbaiki akhlak manusia yang tercela. Selanjutnya
ia mengatakan dengan terus terang maksud semua gerakan yang saya lakukan dalam
membangun masyarakat Islam adalah untuk membenarkan atau meluruskan akidah
atau keyakinan kepada Allah. Menurutnya, jika akidah masyarakat selamat dari
khurafat, maka pada gilirannya bersinarlah ilmu-ilmu yang benar, baik ilmu-ilmu dunia
maupun ilmu agama, dan perbaikan akhlak. 99
Agama adalah sarana pendidikan akhlak karena tidak perlu lagi dijelaskan lebih
lanjut.100 Menurut Muhammad Abduh, agama adalah sarana yang paling efektif dalam
membina akhlak, sehingga perbuatan manusia menjadi benar dan baik. Selain itu hati mereka
juga akan tenang dan berbahagia. Dengan akhlak ini pula keadilan dapat ditegakkan.101
Muhammad Abduh sadar bahwa dalam menegakkan akhlak yang baik dengan
melalui pendidikan prosesnya sangat lambat, tetapi pengaruhnya sangat baik bagi
kehidupan masa yang akan datang. Inilah cara Muhammad Abduh dalam menegakkan
akhlak yang baik dalam dunia Islam khususnya di Mesir. 102

96
Ibid., h. 82.
97
Muhammad Imârah, Al-Imâm Muhammad Abduh Mujaddidu al-Dunyâ bi Tajdîd al-Dîn
(Kairo: Dâr al-Syurûq, 1408 H.), h. 61.
98
Ibid.
99
Ibid., h. 62.
100
Agama yang dimaksud adalah menjadikan al-Qur an sebagai petunjuk, karena itu
wahyu tidak perlu diragukan kebenarannya lagi.
101
Ibid., h. 62.
102
Meskipun Muhammad Abduh dalam menggunakan akalnya mengarang berbagai
buku, tetapi ia tetap saja kepribadiannya masih dominan pada akhlak yang mulia. Ibid.

àáâ
_`abc _decafgh Dabehidgca`j Lbgkblbg Fhelbmbc n`gkhkhobg Ilebi Mdabiibk Apkda

D"#$ %#"$"& '$ "(")* '"+"( '$+","-$ .",/" 0"&'")"& "1,0"1 "("% ($&21", 0"1%
3"&2 '$,"#"+1"& 405, A.'%, )5)%"$ '5&2"& '41(#$& "067%#8"& '"& H"'$)9 D"0"- 1"("
0"$&* .",/" %1%#"& "1,0"1 $(% ,"#%) )5)%"$ '5&2"& "067%#8"& '"& ,"'$)9 J$1" "'" +5#$0"1%
."$1 3"&2 '$"1%$ 405, -")3"#"1"( (5#(5&(% :(#"'$)$; (5("+$ .5#(5&("&2"& '5&2"& "067%#8"&
'"& ,"'$)* -"1" ,5&'"1&3" ($'"1 '$$1%($9 <5("+$ =$1" (#"'$)$6(#"'$)$ '"0"- -")3"#"1"(
$(% ($'"1 .5#(5&("&2"& '5&2"& "067%#8"&* -"1" +5#$0"1% $(% '"+"( '$.5&"#1"&9

>?n
utp
D"#$ %#"$"& '$ "(")* '$ "&("#"&3" '"+"( '$)$-+%01"& .",/" 0"&'")"& @$0)"@"(
+5&'$'$1"& I)0"- M%,"--"' A.'%, )5."2"$ .5#$1%(9 ABCDEFE. M%,"--"' A.'%,
-50$,"( -"&%)$" '"#$ +4(5&)$ 3"&2 +4)$($@9 <"@)$#"& +4(5&)$ +4)$($@ 3"&2 '$-"1)%' A.'%,
"'"0", +4(5&)$ "1"09 G4(5&)$ 3"&2 +4)$($@ $(% -5-.%"( -"&%)$" .$)" 1#5"($@ '"&
1#5"($H$(")&3" .$)" -5&="'$1"&&3" -"1,0%1 3"&2 (""( 15+"'" A00", IJ<9 G4(5&)$ +4)$($@
$(% (5#&3"(" ($'"1 )5-%" '$"1(%)1"& 405, )5-%" -"&%)$"9 I5."2$"& -5#51" .5#.%"(
)"-" '5&2"& .$&"("&2* -50"1%1"& "+" 3"&2 '$0"1%1"& 405, .$&"("&2 ("&+" "'" #")"
-"0% 3"&2 -5&K52", 15,4#-"("& '$#$ -5#51"9 LBMNE. M%,"--"' A.'%, -5-"&'"&2
.",/" -"&%)$" /"=$. .5#-")3"#"1"(9 D"0"- .5#-")3"#"1"( "'" -$)$6-$)$ 3"&2
'$+5#=%"&21"& "2"# ,$'%+ '"+"( -5&="'$ (5&(5#"- '"& "-"&* 3"$(% +5&52"1"& 15"'$0"&*
+5#)"-""& '5#"="(9 G"'" 2$0$#"&&3"* +5&2,"-.""& )54#"&2 -"&%)$" +%& ,"&3" 15+"'"
<%,"& )"="9 I)0"- -5-."&2%& -")3"#"1"( 3"&2 .5#0"&'")1"& 15.5#)"-""&9 I)0"-
-5&5&(%1"& +#$&)$+6+#$&)$+ 15#=")"-" '"#$ )52"0" %&)%# '"& .5&(%19 LBDOPE. G5-$1$#"&
M%,"--"' A.'%, (5&("&2 $0-% +5&25(",%"& .5#,%.%&2"& '5&2"& +"&'"&2"&&3"
(5&("&2 "1"0 '"& /",3%9 D"0"- +5#)4"0"& "1"0* $" +5&2"&%( 14&H5#25&)$ 3"&2
-5&22".%&21"& %&)%# N"($H$)-5 '"& E-+$#$)-5 '5&2"& ."(")"& 3"&2 )"&2"( =50")9
I5="1 '"0"- 1"&'%&2"& )"-+"$ '%" (",%& %-%# -"&%)$"* -")" N"($H$)-5 '"& )5(50",
'%" (",%& -")" .5#)$&52$#&3" N"($H$)-5 '"& E-+5#$)$)-59 G"'" +5-","-"& $&$0",
A.'%, .5#+5&'"+"( .",/" +5&'$'$1"& )"&2"( '$.%(%,1"&9 LBBFQEDR F$0)"@"( "1,0"1
-5&%#%( M%,"--"' A.'%, .5#.$K"#" (5&("&2 +5#$0"1% ."$1 '"& .%#%19 A1,0"1 $(%
.5#)%-.5# '"#$ "067%#8"&* ,"'$)* '"& +5#1"(""& +"#" )","."( '"& DESOTîn9 M5&%#%(&3"*
"1,0"1 '$."2$ -5&="'$ '%"* 3"$(% "1,0"1 15+"'" A00", IJ< '"& "1,0"1 15+"'" -"1,0%19
A1,0"1 15+"'" -"1,0%1 '"0"- +"&'"&2"&&3" ($'"1 (5#."(") 15+"'" habl min al-nâs*
("+$ (5#-")%1 -"1,0%1 ,$'%+ 0"$&&3" '"& =%2" .5&'" -"($9

stuUk VWUun
>U
A."X"* M4&"9 Pendidikan Islam dan Pergeseran Orientasi: Studi Kasus Alumni Universitas
al-Azhar. J"1"#("Y LGZEI* [\\\9
A.'%,* M%,"--"'9 Tafsîr Juz Amma. (5#=9 M%,"--"' B"]$#9 K5(9 ^9 B"&'%&2Y M$X"&* [\\\9

!
MIQOT stuv wwwIs Ntv x Jyuz{D|}|~|€ x‚

Aƒ„…†‡ M…†ˆ‰‰ˆ„Š ‹Œâlah al-Tauhîd. KˆŽ‘ Dâr al-Manar, 1366 H.


Abdullah, Abdurrahman Saleh. Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan al-Quran, terj. M. Arifin
dan Zainuddin, cet. 2. Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
Adam, Charles. C. Islam and Modernism in Egypt. New York: Pussel & Russel, 1993.
Aqqad, Abbas Mahmûd. Manusia Diungkap al-Qur an. cet. 3. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.
Darmu in. Pemikiran Muhammad Abduh dalam Pemikiran Pendidikan Islam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1999.
Al-Hasan, Abd. al-Tarbiyah al-Islâmiyah fî al-Qarni al-Râbi al-Hijri. Beirut: Dâr al-Fikr, 1997.
Al-Hasan, Abd. Al-Tarbiyah al-Islâmiyah. Beirut: Dâr al-Fikr, 1977.
Hidarah, Muhammad Mushthafa. Min Alâmî al-Tarbiyah al-Islâmiyah. jilid V. Kairo:
Maktabah al-Tarbiyah al- Arâbî lî al-Dau al-Khalijî, 1989.
Imârah, Muhammad. Al-Imâm Muhammad Abduh Mujaddidu al-Dunyâ bi Tajdîd al-Dîn.
Kairo: Dâr al-Syurûq, 1408 H.
Kertanegara, Mulyadi. Nalar Religius. Jakarta: Erlangga, 2007.
Lubis, Arbiyah. Muhammad Abduh dan Muhammadiyah. Disertasi, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1989.
Al-Muhtasib, Abd al-Majîd Abd al-Salâm. Tafsir al-Qur an Kontemporer: Visi dan Paradigma,
terj. Moh. Magfur Wachid. Bangil: al-Izzah, 1997.
Madjid, Nurcholish. Bilik-Bilik Pesantren. Jakarta: Paramdina, 1997.
Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban. cet. 4. Jakarta: Paramadina, 2000.
Madjid, Nurcholish. Kaki Langit dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, 1997.
Nasution, Harun. Islam Rasional. Bandung: Mizan, 1999.
Nasution, Harun. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu tazilah. Jakarta: UI Press, 1987.
Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam. Jakarta: UIP, 1987.
Nawawi, Rif at Syauqi. Rasionalitas Tafsir Syaikh Muhammad Abduh. Disertasi, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 1993.
Rahman, Fazlur. Islam, terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka Hidayah, 1994.
Rahman, Fazlur. Tema-Tema Pokok al-Qur an. Bandung: Pustaka, 1996.
Ridha, Muhammad Rasyid. Tafsîr al-Manâr. jilid II. Kairo: Dâr al-Manâr, 1365 H.
Ridha, Muhammad Rasyid. Tafsîr al-Manâr. jilid IV. Kairo: Dâr al-Manâr. 1365 H.
Ridha, Muhammad Rasyid. Tafsîr al-Manâr. jilid VIII. Kairo: Dâr al-Manâr, t.t.
Ridha, Muhammad Rasyid. Târikh al-Imâm al-Syaikh Muhammad Abduh. Kairo: Dâr al-
Manâr, 1931.
Al-Sha idî, Abd al-Muta al. Al-Mujaddidûna fî al-Islâm: Min al-Qarni al-Awwâl ila al-Qorni
al-Rabi Asyar. Kairo: Maktabah Adab, t.t.
Shihab, Muhammad Quraish. Wawasan al-Quran. Bandung: Mizan, 1994.
qrq
Sehat Sulthoni Dhalimunthe: Landasan Filsafat Pendidikan Islam Muhammad Abduh

•–—–˜™š M›–˜œœ˜ ž›Ÿ˜— –¡ ¢K˜£˜ ¤¥¦§˜¦£˜Ÿš¨ ˜©˜œ M›–˜œœ˜ A™›–¡ ª«¬­îr Juz
Amma, £¥Ÿ®¡ M›–˜œœ˜ B˜¯—Ÿš °¥£¡ ±¡ B˜¦›¦§² M—³˜¦š ´µµµ¡
A©¶·–˜¦˜–¸š ·–˜–¸Ÿ¡ Muzakkirat¡ K˜—Ÿ¹² Dâr al-Hilâl, t.t.

’“”
MIQOT ½¾¿À ÁÁÁ½ þÀ Ä ÅÆ¿ÇÈÉÊËÊÌÍÊÎ ÄÏÐÏ

ÑÒÓÔÕÖ×ØÑ ÑÙÓ Ú×Û×Ü ÝÔÒÚÑÚÑÞ×Ò ÑØÛ×Ü


ßàáâà ãäâåæçáâèé êåçëåìáâáç êåíîåäáïáæáç ðáñá òåóáç

ôõoö÷øù
úûüýþÿû ûû û
ýýû  ýþÿû û   ûý
þ  û  
üûûý 

ûþ !ûüû"ÿûþ#

$b%&'ac&( )*&e+'a&,-* - f ).T ,* )%/a0,c 1d2ca&,-*( $* $/&e'*a&,ve


$33'-ac4 -f 52&2'e 6ea'*,*+ 78 Ê ÇÌ9¾Î:;<=Ê ¾> :8Ê ÆËÊ ¾> Ç<>¾ÎÌ;:Ǿ< ;<?
:Ê¿Ê=¾ÌÌÆ<Ç=;:Ǿ< :Ê=8<¾¿¾@A Ç< ÂË¿;ÌÇ= Ê?Æ=;:Ǿ< ÇË Æ<?Ê<Ç;Í¿ÊÀ 78Ê ÌÊÎÇ: ¾>
:8Ê ÆËÊ ¾> ËÆ=8 BÇ<? ¾> :Ê=8<¾¿¾@A <¾: ¾<¿A ÍÊ=;ÆËÊ Ç: 9ξCÇ?ÊË @ÎÊ;: <ÆÌÍÊÎ ¾>
Æ9È:¾È?;:Ê =¾¿¿Ê=:Ǿ< ¾> Ç<>¾ÎÌ;:Ǿ< ÍÆ: ̾ÎÊ ÇÌ9¾Î:;<:¿A :8ÇË ;¿Ë¾ Ì;BÊË Ç: ̾ÎÊ
;== ÊËËÇÍ¿Ê D >; Ë : ÊÎ ;<? Ê = ¾ < ¾ÌÇ=;¿À 78 Ê ; Æ:8 ¾Î : Î ;= ÊË :8 Ê 8 ÇË : ¾ÎÇ=; ¿ ξ¾: ¾ >
Ç<>¾ÎÌ;:Ǿ< ;<? =¾ÌÌÆ<Ç=;:Ǿ< 9ξ=ÊËË Ç< ÂË¿;Ì ;<? =¾Ì9;ÎÊË Ç: :¾ :8Ê ÊÌÊÎ@Ç<@
EÈÊ?Æ=;:Ǿ< Ç< :8Ê ¿;Ë: ?Ê=;?ÊËÀ Â: ÇË ;Î@ÆÊ? :8;: EÈÊ?Æ=;:Ǿ< FÇ¿¿ 9ξCÇ?Ê Ì¾ÎÊ
ξ¾Ì >¾Î ¾9:ÇÌÆÌ ÆËÊ ¾> CÇÎ:Æ;¿¿A ÊGÆÇ99Ê? Ê?Æ=;:Ǿ< >;=Ç¿Ç:ÇÊË F8Ç=8 ÇË ?ÊCÊ¿¾9Ç<@
>;Ë:ÊÎ :8;< ÊCÊÎ 9ÎÊ?Ç=:Ê?À 78Ê =8;¿¿Ê<@Ê >¾Î :8Ê >Æ:ÆÎÊ ÇË :8;: :8Ê Ç<:Ê@Î;:Ǿ< ¾>
Ç<>¾ÎÌ;:Ǿ< ;<? =¾ÌÌÆ<Ç=;:Ǿ< :Ê=8<¾¿¾@A Ç< ÂË¿;ÌÇ= Ê?Æ=;:Ǿ< ÇË <¾: ˾ÌÊ:8Ç<@
: ¾ ÍÊ ;C ¾Ç?Ê? ÍÆ: Î ;:8ÊÎ ;< ;¿: ÊÎ <;: ÇC Ê ¿Ê ;Î<Ç<@ ;99ξ;=8 F8 Ç=8 ÍÊ= ¾ÌÊË ;
<Ê=ÊËËÇ:A Ç< :8Ê =¾Ì9Ê:Ç<@ 9ξ>ÊËËǾ<;¿ Ê?Æ=;:¾ÎËÀ

a a HJKcLM
H I - , ,
NOPQ R STUVWXWY ZXV[\U] ^_`abcdebfQ ghNij^k lmWno[V\o[XpXnq

rstuvwxyxvt

Pdz{|`|}b N{~|cf€b ef{ i|c_{bzf€b faf_ W‚mVqU[XmW UWƒ lmqq\WXoU[XmW

„To…Wm]mY† ‡NOPˆ ed‰f€f b{b eb}_{fzf{ €dŠff }`|‹f`Q zfd{f NOPQ zŒ_€_€{f b{ad{daQ

cd{debfzf{ €dŽ_c`fŒ z|`dz€b b{~|cf€b adzb{b ed{}f{ ‹d‹f}fb fbf€b{f f{} effa

ebfz€d€ €dŠff ŠdfaQ c_efŒ ef{ c_fŒ efb b‹_f{ Žfb{}f{ }`|‹f` f{} €f`b{}
’
adz|{dz€b‘ gd{}}_{ff{ NOP cdcb`bzb ‹f{fz zd_{}}_`f{ ad_afcf ef`fc cdc‹f{a_

cf{_€bf _{a_z cd{effazf{ b{~|cf€b }_{f cd{d`d€fbzf{ €d}f`f __€f{ ed{}f{

d~dzab~ ef{ d~b€bd{‘ “d|`_€b b{b ad`fŒ cd{d‹f zd €dc_f €dza| zdŒbe_f{ cf€ffzfaQ

Æ Ç –Æ:Ê?—¾ É8;ÎÌ; ˜Ê:¾Ì¾D ™š›œžŸ ¡¢ £ ¡¤¥¦,


” • ? §¥¨¡ © ªŸ š¡ «¦©Ÿ¨¤Ÿ ¬¡ž¥­¡¥ž
¾ Î Ê ÊÎÍÇ: ³ÃÉÂD ÄÏÏÄ´D 8À ÐÐÀ
®¥¡šŸšŸ¨¡ ¯° @A;B; :;± ² <

º»¼
.%# /'"012 /34 5 .0'!' /25
¸¹º»¼½¾¿ À¾Á¼ ùÁÀÂÀ¿¼ÁÄ ½¹ÅÂÁÆƼ ¸ÂÀ¼¿ ½¼Ç¼Å È¿¼ À¿¼¸¼¿¼Á ɼÅʼ ÂÁ¸¹ºÁ¹¸ ¼À¼Ç¼Å

-
»Ë¸Ëº ¸¹ºÉ¹Á¸¾¿Á̼ ÍÎÏ ÐÑÒÓÔÕÖ×ØÔÙ ÚÛÜÕÎÝ ¼¸¼¾ ̼ÁÆ ÃËþǹº À½¹É¾¸ Î ÐÑÒÓÔÕÖ×Ø Î , -
, - , - -
ÚÓÞ××Ù Î ßÔÝàÒÜ Î áÎÔâØÖØã ¼¸¼¾ Î äØÖåÎâÜÖÕÛæ

-
繿ÁËÇËÆ ÂÁ¸¹ºÁ¹¸ »¹º¾Ã¼¿¼Á ȹÁ½ »¹À¼ Î ÐÑÒÓÔÕÖ×Ø Ì¼ÁÆ À¼Ã¼¸ ÀÂƾÁ¼¿¼Á ¾Á¸¾¿

»¹ÁƼÀ¼¿¼Á ÂÁ¸¹º¼¿½Â À¾¼ ¼º¼Å ½¹è¼º¼ ×ØÙÖØÎæ é¹À¼ ÂÁ ½¹»¼¿ÂÁ ÃËþǹº ÀÂƾÁ¼¿¼Á

¾Á¸¾¿ ùÁƹ»É¼ÁƼÁ ú˽¹½ ù»É¹Ç¼È¼º¼ÁÄ ¿¼º¹Á¼ ½¹Ç¼ÂÁ ɹº½Â꼸 ÂÁ¸¹º¼¿¸ÂêÄ È¾Æ¼

¸¹º¿ËÁ¹¿½Â À¹ÁƼÁ ȼºÂÁƼÁ ÆÇËɼÇÄ ½¹ÅÂÁÆƼ ȼÁÆ¿¼¾¼Á ¼¿½¹½Á̼ ¸ÂÀ¼¿ ¸¹ºÉ¼¸¼½æ 繿ÁËÇËÆÂ

ÂÁ¸¹ºÁ¹¸ ¸¹Ç¼Å »¹Á̹ɼɿ¼Á ÃËǼ ùÁÀÂÀ¿¼Á ¸º¼À½ÂËÁ¼Ç »¹ÁÆżÀ¼Ã ¸¼Á¸¼ÁƼÁ

ùº¾É¼Å¼ÁÄ ¿¼º¹Á¼ ½¹È¾»Ç¼Å ½¼º¼Á¼ ùÁÀÂÀ¿¼Á ɹºÉ¼½Â½ ÂÁ¸¹ºÁ¹¸ ¸¹Ç¼Å ¸¹ºèÂø¼Ä ½¹Ã¹º¸Â

- - , - ,
Î ë××ìÄ Î íÔãÔîÖØÎ Î áÖïâÔâÛ ðÖâÕÒÔÙ ßÙÔÜÜ ¼¸¼¾ ¿¹Ç¼½ »¼Ì¼ À¼Á ½¹É¼Æ¼ÂÁ̼æ

ñÁ¸¹ºÁ¹¸ ¸¹Ç¼Å »¹Á¼Ê¼º¿¼Á ɹºÉ¼Æ¼Â »¼Áê¼¼¸ üÀ¼ ½¹¿¸Ëº ùÁÀÂÀ¿¼ÁÄ ½¹Ã¹º¸Â ¿¹è¹Ã¼¸¼Á

À¼Ç¼» ùÁÆ¿Ë»¾Á¿¼½Â¼Á ɼżÁ ¼È¼ºÄ »¼¸¹ºÂ ̼ÁÆ Òà Õ× ÑÔÕÎÄ ¼À¼Á̼ ê¼½ÂǸ¼½ ¾Á¸¾¿

»¹Ç¼Áƽ¾ÁÆ¿¼Á À½¿¾½Â ¿¹ÇË»ÃË¿ ½¹è¼º¼ åÖâÕÒÔÙÄ ¿¹É¹É¼½¼Á »¹»ÂÇŠʼ¿¸¾Ä ¸¹»Ã¼¸Ä À¼Á

½¾¼½¼Á¼ ɹǼȼº ̼ÁÆ ÀÂÁ¼»Â½Ä ùºÅ¼¸Â¼Á ¸¹ºÅ¼À¼Ã ùºÉ¹À¼¼Á ÂÁÀÂòÂÀ¾ À¼Á ½¹É¼Æ¼ÂÁ̼æ

ó¹¹ê¹¿¸Âê¼Á ùÁÆƾÁ¼¼Á ñôç À¼Ç¼» À¾Á¼ ùÁÀÂÀ¿¼ÁÄ ¸¹ºÆ¼»É¼º üÀ¼ ùÁÂÁÆ¿¼¸¼Á ¿¾¼Ç¸¼½

ù»É¹Ç¼È¼º¼Áæ õ¹ÁÆƾÁ¼¼Á ñôç À¼Ã¼¸ »¹»É¼Á¸¾ ùÁƼȼº »¹ÁƼÀ¼¿¼Á ò¼ºÂ¼½Â À¼Ç¼»

ùÁÆƾÁ¼¼Á »¹¸ËÀ¹ ù»É¹Ç¼È¼º¼ÁÄ ½¹ÅÂÁÆƼ »¼»Ã¾ »¹ÁÂÁÆ¿¼¸¿¼Á »ÂÁ¼¸ ɹǼȼºæ õ¹ÁÂÁÆ¿¼¸¼Á

»ÂÁ¼¸ ɹǼȼº À¿¾¸Â þǼ ËǹŠùÁÂÁÆ¿¼¸¼Á ¼¿¸Âò¸¼½ ɹǼȼºÄ ɼ¿ ½¹è¼º¼ ¿¾¼Á¸Â¸¼½ »¼¾Ã¾Á

¿¾¼Ç¸¼½æ ö¹É¼Æ¼Â èËÁ¸ËÅÄ »¹ÁȹǼȼÅ ½¹Æ¼Ç¼ ÂÁê˺»¼½Â ̼ÁÆ ¸¹º½¹À¼ À¼Ç¼» º¾¼ÁÆ ÇÂÁÆ¿¾Ã

ñôç ¼Æ¼º ùÁƾ¼½¼¼Á ɼżÁ ùǼȼº¼Á ½¹»¼¿ÂÁ »¹ÁÂÁÆ¿¼¸Ä ½¹ÅÂÁÆƼ »¹»É¼Á¸¾

¸¹ºè¼Ã¼ÂÁ̼ ¸¾È¾¼Á ù»É¹Ç¼È¼º¼ÁÄ Ì¼¿Á ¾Á¸¾¿ »¹ÁÆż½ÂÇ¿¼Á ×ÒÕ àÒÕ Ì¼ÁÆ ¿Ë»Ã¹¸Â¸Âêæ

ñÁ¸¹ºÁ¹¸ ½¹É¼Æ¼Â ȼºÂÁƼÁ ¾ÁÂò¹º½¼Ç À¹ÁƼÁ ɹºÉ¼Æ¼Â ¼ÃÇ¿¼½ÂÁ̼ »¹»¾ÁÆ¿ÂÁ¿¼Á

¾Á¸¾¿ À»¼Áê¼¼¸¿¼Á À¼Ç¼» ùÁ̹ǹÁÆƼº¼¼Á ùÁÀÂÀ¿¼Á ɹºÉ¼½Â½ ¸¹¿ÁËÇËÆ ÂÁê˺»¼½Â

-
÷øù ëÔÜÎÑ ÐÑÒÓÔÕÖ×Øúæ û¹ÁƼÁ À¹»Â¿Â¼ÁÄ ¼¿¼Á ¸¹ºÉ¾¿¼ ùǾ¼ÁÆ É¼Æ ǹ»É¼Æ¼ ùÁÀÂÀ¿¼Á

¾Á¸¾¿ »¹»Ã¹ºÇ¾¼½ ¿¹½¹»Ã¼¸¼Á ɹǼȼº ɼÆ ½Â¼Ã¼Ã¾Á ̼ÁÆ »¹»¹Á¾Å ùº½Ì¼º¼¸¼Á ¼¿¼À¹»Â½æ

û¹ÁƼÁ »¹Á¹º¼Ã¿¼Á ¿ËÁ½¹Ã À¼½¼º ÀË»¼ÂÁ ¸¹¿ÁËÇËÆ ùÁƼȼº¼Á ÷Ñ×ÝÔÖØ ×ü ÖØÜÕâÒÓÕÖ×ØÔÙ

-
ÕÎÓÞØ×Ù×ãÛúÄ »¼¿¼ øù ëÔÜÎÑ áÎÔâØÖØã »¹º¾Ã¼¿¼Á ½¾¼¸¾ ùǾ¼ÁÆ À¼Á ½¹¿¼ÇÂƾ½ ¸¼Á¸¼ÁƼÁ

-
ɼÆ ǹ»É¼Æ¼ ùÁÀÂÀ¿¼Á ¾Á¸¾¿ »¹»¾Ç¼Â »¹ÁÆ»Ãǹ»¹Á¸¼½Â¿¼Á øù ëÔÜÎÑ ÐÑÒÓÔÕÖ×Ø .ý
é¹Ç¼Åº¿¼Á ½¾»É¹º À¼Ì¼ ÂÁ½¼Á ̼ÁÆ »¹»ÂÇ¿ ¿¹»¼»Ã¾¼Á À¼Á ¿¹¸¹º¼»ÃÂǼÁ ̼ÁÆ

½¹Â»É¼ÁÆ À¼ºÂ ½¹Æ¼Ç¼ ¼½Ã¹¿ ɾ¿¼ÁǼŠ»¹º¾Ã¼¿¼Á ùº½Ë¼Ç¼Á ̼ÁÆ »¾À¼ÅÄ ¿¼º¹Á¼ ¾Á¸¾¿

»¹ÁƼ¿¸¾¼Ç½¼½Â¿¼ÁÁÌ¼Ä ¼Ã¼Ç¼Æ À þ¼»¼Á ½¹¿¼º¼ÁÆ ÂÁÂÄ »¹»¹ºÇ¾¿¼Á ¿¹Ã¼¿¼º¼ÁÄ ¸ÂÀ¼¿

żÁ̼ ¿¹¼ÅǼÁ À¼Ç¼» ÉÂÀ¼ÁÆ ¿¹ÂÇ»¾¼Á À¼Á ùÀ¼ÆËÆÂ¿Ä ¸¹¸¼Ã ȾƼ À¼Ç¼» ù»¼Áê¼¼¸¼Á

¸¹¿ÁËÇËÆ ¸¹Ã¼¸ ƾÁ¼ À¼Á ¸¹¿ÁËÇËÆ ¿º¹¼¸Âêæ 󼺹Á¼ ÂÁ¸¹Æº¼½Â ñôç À¼Ç¼» ùÁÀÂÀ¿¼Á À¼Ã¼¸

»¹»¾À¼Å¿¼Á ú˽¹½ ù»É¹Ç¼È¼º¼Á ̼ÁÆ ¼¿¼Á »¹»É¼Ê¼ ¿¹Ã¼À¼ ùÁè¼Ã¼Â¼Á ż½ÂÇ Ì¼ÁÆ

»¼¿½Â»¼Ç À¼Á ½¹»Ã¾ºÁ¼Ä ̼¸¾ ¸¹ºèÂø¼Á̼ öûé ̼ÁÆ ¾ÁÆÆ¾Ç À¼Á ¿Ë»Ã¹¸Â¸ÂêÄ »¼¿¼

¼ÃÇ¿¼½Â À¼ºÂ ÂÁ¸¹Æº¼½Â ñôç À¼Á ùÁÀÂÀ¿¼Á ùºÇ¾ À½˽¼Ç½¼½Â¿¼Áæ

 

          !"#
ÿ

$%&"'% ())*+ , -,
µ¶·
MIQOT 89:; <<<=8 >9; ? @A:BCDEFEGHEI ?JKJ
LMNMOPMQMRSQT RUQNNSQMMQ OQVUWQUV XSNM PUQYMRMV ZWOVOZ YMQ VMQVMQNMQ YMWO
ZM[MQNMQ RUQYOYOZ \S][OPT ZMWUQM ^M_M`MQ`M `MQN YMRMV PUWS]MZ RWa]U] RUQYOYOZMQ
]U_OQNNM YOZ_MbMVOWZMQ MZMQ PUWS]MZ NUQMWM]O \S][OPc dM[M_ ]MVS RUQ`U^M^Q`M MYM[M_
PSYM_Q`M ^M_MQe^M_MQ RU[MXMWMQ YOPM]SZO YMQ YOVSPRMQNO a[U_ ]OVS]e]OVS] RaWQaNWMfO
`MQN ^UW]U^UWMQNMQ YUQNMQ VSXSMQ RUQYOYOZMQ g][MPc LMQ`MZ hijk RUQYOYOZMQ `MQN
]UQNMXM YO_S^SQNZMQ a[U_ RO_MZeRO_MZ `MQN OQNOQ PUWMSR ZUSQVSQNMQ YUQNMQ ]OVS]e]OVS]
QaQeRUQYOYOZMQT `MQN PUP^SMV RUQNNSQM ]UPMZOQ ZUM]`OZMQ PUQOZPMVO OQfaWPM]O `MQN
YO]SNS_ZMQT ^UW]U[MQlMW YMWO ]MVS OQfaWPM]O ZU OQfaWPM]O ^UWOZSV`MT ]U_OQNNM PU[SRMZMQ
VSXSMQ ]UPS[M YM[MP WUQVMQN bMZVS `MQN ]SYM_ YORUW]OMRZMQc mUQNMQ PUQNNSQMZMQ
gnoT VUWSVMPM OQVUWQUVT ^UWMWVO PUP^MbM MQMZ YOYOZ PUP^UWO XM[MQ ]UWVM RU[SMQN ZURMYM
PUWUZM SQVSZ PS[MO PUQYUZMVO RUW^SMVMQ pOQMT RMYM_M[ OVS YO[MWMQN g][MPc LO[M MQMZ
YOYOZ ZUWMXOQMQ ^UW]U[MQlMW YO OQVUWQUVT YOZ_MbMVOWZMQ QO[MOeQO[MO RUQYOYOZMQ g][MP `MQN
]UPS[M OQNOQ YOVSXST XS]VWS PM[M_ ^UW^M[OZ MWM_ PUQXMYO ]UPMZOQ VUWXMS_Oc
qM[S RUWVMQ`MQ `MQN PSQlS[ MYM[M_ ^O]MZM_ gno YOOQVUNWM]OZMQ YUQNMQ rUQYOYOZMQ
g][MPs LMNMOPMQMZM_ PaYU[ RUQNOQVUNWM]OMQ gno YMQ RUQYOYOZMQ g][MPs tRMZM_
OQVUNWM]O gno YMQ g][MP PUWSRMZMQ ]MVS ZUPU]VOMQ SQVSZ Ra[M RUQYOYOZMQ g][MP PM]M
YURMQs LU^UWMRM M]RUZ `MQN MZMQ YO[O_MV MYM[M_ gno YM[MP RUQYOYOZMQ PUQSWSV
RUW]RUZVOf g][MPT RUWMQ gno YM[MP PUQNUfUZVOfZMQ RUP^U[MXMWMQT RWa^[UPMVOZM
RUQNNSQMMQ gno YM[MP RUQYOYOZMQT YMQ VMQNNSQNXMbM^ RUQYOYOZ \S][OP YM[MP
RUQNOQVUNWM]OMQ gno YM[MP RUQYOYOZMQT ]UWVM VMQVMQNMQ PM]M YURMQc

uvw xyzy{ |}~xx€y~ }~‚ƒ‚„ |}ƒ…†}€„‡ u…zy{


rU]MQ RUWVMPM MNMPM g][MP `MQN YOMXMWZMQ t[[M_ ZURMYM ˆM]S[S[[M_ \S_MPPMY
dt‰c PU[M[SO PM[MOZMV ŠO^Wîl merupakan model awal komunikasi pembelajaran dalam
konteks pendidikan Islam. Komunikasi pembelajaran pada tahap ini berlangsung secara
manual-tradisional, tanpa sentuhan teknologi kreatif, terutama teknologi komunikasi.
Rasulullah Muhammad SAW. berupaya menyimpan informasi yang diterimanya dengan
cara menghafalnya, sehingga informasi itu dapat diberikan kembali saat diminta persis
sebagaimana ia diterima. Melalui kemampuan daya hafal Muhammad SAW. dan sahabat-
sahabatnya terhadap ayat-ayat al-Qur an dan hadis, sehingga tidak satu pun ayat al-Qur an
yang mengalami distorsi sebagai bukti jaminan Allah tetap memelihara kemurniannya.3
Hal ini dapat menjadi sinyal betapa perlunya bantuan teknologi untuk menyamai
kemampuan mereka, khusus bagi umat yang tidak memiliki daya kognitif seperti mereka.
Dengan adanya bantuan teknologi, maka proses penghafalan al-Qur an bisa
dipercepat, mudah dan sebagainya. Dalam kajian Psikologi Kognitif, kemampuan ingatan
seseorang terbagi kepada tiga jenis yaitu kemampuan menerima, menyimpan dan

3
Q.S. al-Hijr/15: ‹ŒŒâ nahnu nazzalnâ al-dzikra wa innâ lahu lahâfizûn.
677
Promadi: Integrasi ICT dalam Pendidikan Islam

‘’“”’•–—“ –‘˜—•™ ™“š›œ—™ž Ÿ“ —¡—“ ‘¢’“£—™ ¢‘“ —œ’¤ £—“  ”’–’¢ ˜‘—œ


¡‘œ¤—¥—¢ –‘˜‘œ¤—™•—“ ¢‘˜‘•—¦—œ—“ž §‘—–™“ ˜—™– –‘—¢’—“ ™“ —¡—“ ‘‘›œ—“ ¨ —–—
‘—–™“ ˜—“£—– ™“š›œ—™ £—“  ¥—¢—¡ ¥™— ¡‘œ™—¨ ™¢—“¨ ¥—“ ’“”’•–—“ –‘˜—•™ž ©
ª‘“ —“ ˜—“¡’—“ «‘–“›•› ™ Ÿ“š›œ—™ ¥—“ ¬›’“™–—™ —¡—’ Ÿ­«¨ –‘—¢’—“ ‘“‘œ™—¨
‘“£™¢—“¨ ¥—“ ‘’“”’•–—“ –‘˜—•™ ™“™ ¥—¢—¡ ¥™—–‘•‘œ—™¨ ‘¤™“  — •‘˜™¤ ‘š‘–¡™š
¥—“ ‘š™™‘“ž ®‘“£™¢—“ —“ ™“š›œ—™ ¥—“ ¢‘“ œ’—–—“ ‘•—— ¥—•— ¢‘œ¦—•—“—“ ¥—¢—¡
¥™¤™“¥—œ™ž ª‘“ —“ ¥‘™–™—“¨ –‘˜‘œ¤—™•—“ ¢‘˜‘•—¦—œ—“ ¥—¢—¡ ¥™¡™“ –—¡–—“ž
ª™ ™“™•—¤ ¡‘œ•™¤—¡¨ ˜‘¡—¢— «‘–“›•› ™ Ÿ“š›œ—™ ¥—“ ¬›’“™–—™ ‘—™“–—“
¢‘œ—“—“ £—“  —“ —¡ ¢‘“¡™“  ¥—•— ‘˜—“¡’ —“’™— ‘“ ›•—¤ ¢‘—“¨ ‘“£™¢—“
¥—“ ‘’“”’•–—““£— –‘˜—•™ ——¡ ¥™™“¡—  ’“— ‘“ ¤™“¥—œ™ ¥™¡›œ™ ¥—“ œ‘¥’–™
‘—“¡™–ž §—•—¤ —¡’ ˜‘“¡’– ™“£—• «‘–“›•› ™ Ÿ“š›œ—™ ¥—“ ¬›’“™–—™ ¡‘œ—¯—• ¥—•—
Ÿ•— —¥—•—¤ ¢œ›‘ °±²³´µ ¥—¡— ¥‘“ —“ ”—œ— ‘“ ¤—š—• —£—¡¶—£—¡ £—“  ¥™¡’œ’“–—“
‘”—œ— ¢‘œ™›¥™– –‘¢—¥— ·’¤——¥ §¸¹ž ¥‘“ —“ ‘¡›¥‘ —“’—•ž ®œ›‘ ™“™ ‘˜‘“—œ“£—
‘œ’¢—–—“ ™“£—• —–—“ –‘˜’¡’¤—“ «Ÿ¬ £—“  •‘˜™¤ ”—“  ™¤ ¥™ –‘’¥™—“ ¤—œ™¨ ‘˜— —™
¢‘“ ‘˜—“ —“ ¡‘–“™– ‘“ ¤—š—• ‘“  ’“—–—“ ’•¡™‘¥™—ž
¬—œ‘“— –›’“™–—™ ‘œ’¢—–—“ ¢‘œ¡’–—œ—“ —–“— ¥™ —“¡—œ— ˜‘˜‘œ—¢— ›œ—“ 
¥‘“ —“ ‘“  ’“—–—“ ™¡‘ ¡—“¥— £—“  ’’ º»¼½¾ ¾x¿½±´µ¾ ÀÁ ¾±´³´µ° þ¾wt ¾´
³´Ä³³vÄűÆs½t ÇÀµu½ ± ¿ÀÂÂÀ´ ¾sty ÀÁ Â
sy ÃÀÆ È¨ —–— ¢—•™“  ¡™¥—–¨ –‘¥’— ˜‘•—¤ ¢™¤—–
¤—œ’ —•™“  ‘“ ‘œ¡™ –›¥‘ £—“  ¥™ ’“—–—“¨ –—œ‘“— –›’“™–—™ ¡™¥—– —–—“ ¯’¦’¥ –—•—’
–‘¥’— ˜‘•—¤ ¢™¤—– —•™“  ¡™¥—– ‘—¤—™ –›¥‘ ˜—¤—— £—“  ¥™ ’“—–—“ž ª—•— –—’
—•¶É—••âj, perbedaan semantik Ê´â al-Haq antara al-Hallaj dan kaum Muslim
kemungkinan tidak menemukan titik temu, dan differensiasi telah mencatat sejarah
duka dalam perkembangan mistik Islam.
Melalui Malaikat Jibrîl, proses peleburan bahasa dapat terjadi, sehingga antara
Jibrîl dan Rasulullah SAW. terjadi komunikasi, karena Jibrîl menggunakan simbol-simbol
dan kode bahasa yang digunakan Rasul. Kemudian Rasulullah SAW. mempresentasikan
dan mensosialisasikan ajaran-ajaran Allah melalui bahasanya yang sekaligus bahasa
yang dipahami umatnya.5 Ini membuktikan bahwa Allah memang tidak pernah mengutus
utusan-Nya kecuali yang menguasai bahasa kaum yang bersangkutan, agar informasi
yang diberikan jelas dan komunikatif. 6 Dalam komunikasi, kedua belah pihak harus
saling mengerti kode, tiada komunikasi kalau saling tidak memahami kode. Komunikasi
yang efektif terjadi apabila kedua belah pihak mengerti tanda dan sistem masing-masing,
komunikasi akan sukar terjadi apabila kedua belah pihak menggunakan sistem atau
kode (morfologis, sintaksis dan semantik) yang berbeda.

4
Promadi, Psikologi Kognitif dalam Perspektif Islam: Aplikasinya dalam Pembelajaran
Kuantum Untuk Pembentukan Kepribadian Islam, dalam Khaidzir Hj. Ismail (ed.), Psikologi
Islam: Falsafah, Teori dan Aplikasi (Kuala Lumpur: Institut Islam Hadhari UKM, 2009), h. 113.
5
Wamâ arsalnâ min rasûlin illâ bilisâni qoumihi, liyubayyina lahum (Q.S. Ibrâhîm/14: 4).
6
Saya tidak bisa membaca.
Ž
MIQOT ÎÏÐÑ ÒÒÒÓÎ ÔÏÑ Õ Ö×ÐØÙÚÛÜÛÝÞÛß Õàáà
âãäåæç èåéêîl meminta Muhammad SAW. membaca pesan pertama Allah yang beliau
bawa berbentuk teks, Muhammad SAW. selaku seorang yang tidak pernah mempelajari
dan tidak memiliki pengetahuan tentang representasi sinyal-sinyal grafis terhadap fonologis
walaupun terhadap bahasa Arab yang merupakan bahasa ibu bagi beliau, menolak
untuk membaca dan dengan jujur mengakui keterbatasan pengetahuan kognitifnya dengan
mengatakan ëâ Ana bi Qari .7 Bahkan sampai tiga kali diminta membaca, beliau tetap
saja tidak melakukannya. Penolakan Rasulullah SAW. untuk membaca ternyata
membuahkan hasil terhindarnya distorsi komunikasi. Selain itu terciptalah efektifitas
komunikasi, karena keefektifan komunikasi ditentukan oleh kemampuan seseorang
mengenal tanda-tanda daripada seseorang, mengetahui bagaimana tanda-tanda itu
digunakan dan memahami maksudnya.8 Meskipun al-Qur an diturunkan dalam bahasa
Arab, akan tetapi apabila seseorang tidak mengerti simbol-simbol grafis yang
merepresentasikan fonologisnya, maka tidak akan terjadi komunikasi.
Setelah gagal melakukan transaksi komunikasi melalui media teks, Jibrîl mengubah
pesan teks menjadi pesan audio yang dibacakannya langsung kepada Muhammad SAW.
Kata pertama iqro diterima Rasulullah SAW., melalui ketrampilan mendengar terhadap
informasi yang disampaikan oleh Jibrîl dalam bahasa Arab. Sistim informasi yang
berlangsung kala itu adalah dalam bentuk face to face antara Jibrîl dan Muhammad SAW.
Berbicara tentang sinyal visual yang diterima Rasulullah SAW. beberapa saat setelah
beliau kembali dari Isra , satu perjalanan malam yang jauh, dari dan kembali ke Masjid
al-Haram melalui Masjid al-Aqsa dan Sidrat al-Muntaha, adalah berupa video Masjid al-
Aqsa. Dengan sistem informasi berupa penayangan bentuk fisik Masjid al-Aqsa kepada
Muhammad SAW., telah membantu beliau menjelaskan setiap karakteristik masjid
tersebut yang ditanyakan kaum Quraisy sebagai respon atas ketidakpercayaan mereka
akan peristiwa Isra .
Bentuk pesan lain yang menarik ketika Isra adalah gambar animasi tentang
peristiwa yang bakal dialami umat manusia di akhirat kelak, sebagai gambaran balasan
atau ganjaran atas aktifitas yang dilakukannya selama di dunia. Peristiwa yang
diperlihatkan dalam bentuk gambar bergerak, seperti orang yang sedang memukul-
mukul kepalanya sendiri, merupakan gambaran balasan atau hukuman yang bakal
diterima. Gambar animasi itu adalah proyeksi futuristis tentang akibat pelanggaran
hukum Allah dan sebagai sinyal diperlukannya teknologi kreatif dalam menyampaikan
informasi agar akurat dan tidak mengalami perubahan bahkan penyimpangan.
Sistim informasi dalam bentuk teks, grafis, audio, visual dan animasi yang dialami
Rasulullah SAW., ketika menerima wahyu pertama, saat menjalani perjalanan Isra , dan

7
Joseph A. DeVito, Communication (t.t.p.: Englewood Cliffs, N.J: Prenctice Hall, t.t.),
h. 13.
An Ta abbuda al-Lâh Kaannaka Tarahu, Fain Lam Takun Tarahu, Fainnahu Yarâka (HR.
8

Bukharî & Muslim)


ËÌÍ
Promadi: Integrasi ICT dalam Pendidikan Islam

ïðñòïó ôóõö ÷óøó ïðùôóúò ûóõò üýþÿ óï òõ ó ùð øóûò þ ïð òûö ó ùó ö÷òó óôóû ò ò          

ûð ó ùð ûó óñ ÷ð ñö ó ñðï ú ò ïõðóñò ð÷ïò ö ñðï ú ò ïõðóñò ò ò ôöïó ó÷òú


       

  

 

ïóøòó ó ò ñð ÷ò ñðõ óûó ÷ò óú ÷ò óú ñðï ú ò ò õùóñòïó ûóõò ïð òûö ó ûó


          


   

ð óúóùó ó÷öúöúúó
   ñðõ÷ðôöñ ó ïó ð ó ó÷ ð ðùö ÷ðõñó ðùóò ûò
          

÷ðïñ õ ò ò ùó õòñó÷ ôöïó ûóõò ïóúó ó ö÷úòù ÷ð ûòõò ó óòùó ó ö ÷ò÷ñðù



 
       

ò õùó÷ò ò ò ùóù ö ûòõðï ÷ñõöï÷ò ûòóïñöóúò÷ó÷òïó ûó ûò ö óïó ö ñöï ïðùöûó ó



 
       

 òûö ù ûðõ ûò ôðõôó óò ÷ðïñ õ ñðõùó÷öï ÷ðïñ õ ð ûòûòïó





  

ð÷öóò ðõøóúó ó óïñö ûó ðõïðùôó ó ïðùóøöó ñðï ú ò ïõðóñò ó


          

 

÷ðùóïò ó ò ûð ó ôó ñöó òúùö ð ðñó öó ûó ñðï ú ò ó ûòòú óùïó


             

   

 úúó ïð óûó ùó ö÷òó ôðúóïó ó ò ò ûòñðùöïó ôðõôó óò ï ÷ð ó ñðõñöó ûóúóù


      
    

ñðï òï ò õùóñòïó ö ñöï ùðùôó ñö ùðù ðõùöûó ùó ö÷òó ôðõï ùö òïó÷ò ûó


 
    
 

ùð òõòù ò õùó÷ò ûð ó úðôò óïöõóñ ð ðïñò ûó ð ò÷òð


 
    

óõò ó óõó ûò óñó÷ ûó óñ ûò ó óùò ôó ó ÷öûó ûò óùôóõïó ÷ðøóï ùó÷ó


           

ùó÷ó ó óú ïðùö öúó ó óùó ÷úóù ûó ûòòïöñò óûó õ ÷ð÷ ðõøóúó ó ïð òûö ó
      
     

 ó÷öúöúúó ñðõöñóùó ïðñòïó ùð øóúó ò õ ÷ð÷ ðùôðúóøóõó ï ÷ð ï ÷ð ó óùó


    
 
 
 

÷úóù ÷óóñ ùð ðõòùó ó ö ðôðõó ó ÷ò óú ñðï ú ò ïõðóñò ñð ñó ïðúó òõó


    ûò   

    

ïðùöûòó óõò ùðõö óïó ñ óï ïðïöóñó ó óùó ò ò ó ðõúö ûòïóøò ûó


   
      

ûòïðùôó ïó úð öùóñ ó ð ó ûðùòïòó ïóöù ö÷úòù óõò ò ò ñòûóï ó ó


 
         

÷ðôó óò ð ö ó
ñó ò ÷ðôó óò ð ðùö ûó ð ò ñó ñðï ú ò ïõðóñò ö ñöï
           



 ðùóøöó ÷úóù ûó ïóöù ö÷úòù ûóúóù ñóñóõó ú ôóú ùóñ ÷úóù ûò óõó ïó ùð øóûò
  
     

öùóñ ó ùóøö ïóõð ó ùðùó óóñïó óøóõó ÷úóù ûó ñòûóï úó ò ÷ðôó óò öùóñ ó
         

ñðõñò óú ïóõð ó ùð ò óúïó óøóõó ó óùó ó


      

P ! "#$%$& ' ()*+ ,- oo # %$ .&#+$/'$ (+*-+$0

úúó ó ðï÷ò÷ñð ÷ò ó ûóúóù ðõ÷ ðïñò ïóöù ÷ö ò øóö ûó ûðïóñ ÷ð óõó ñðõò ñð õóú
           

ùðõö óïó ÷ ÷ ï þ ÿ ó ûó óñ ûòûðïóñò ôòúó ûòóûóïó ö ó ó ï ñóï ï ùö òïó÷ò òïòõ


 

12 3 4      

 5

ó ñóõó ùó ö÷òó ûð ó ó ðôóúòï ó ôðñó ó òó óïó ñðõó÷ó ÷ó óñ øóö ôòúó ïðñòóûóó


   6        

ï ùö òïó÷ò ùð÷ïò ö òó óûó ûò ÷ðïòñóõ ïòñó ÷ð ü ýân ó ùð ó øöõïó ó óõ



    7
  8     

÷ð õó ö÷úòù ôðõòôóûó ÷óùôòú ùðùôó ó ïó ôó ó ÷ð úó úó ûòó ùðúò óñ úúó



     

   

ûó øòïó ûòó ñòûóï ùóù ö ùðúò óñ ó öïö ùð óïò ò ôó ó ÷óóñ òñö úúó ùðúò óñ ó
   6         
9

øö ó ùðõö óïó ò÷ óõóñ ÷óò ÷ ò õùóñòïó ñð ñó ôðñó ó ûðïóñ ûó ùöûó ó


    
   : ;  

ôðõï ùö òïó÷ò ûð ó úúó ö ó÷ ùó ö÷òóúó ôðõö ó ó ùðùòúò ûó ùð ð ñöïó ñðï òï



               

ôó óòùó ó ôðõï ùö òïó÷ò ûð ó ó ó ñòûóï øóö òñö úúó øö ó ùð ÷ ÷òóúò÷ó÷òïó



  6      


ï ÷ð Ud ûnî Astajib Lakum ö ñöï ùð ö øöïïó ôðñó ó òó ñòûóï øóö ûóõò öùóñ

  : ;       : ;

ð ó ðùôðõòñó öó ôó ó òó óïó ùðõð÷ ÷ðñòó ðùò ñóó óñóö û ó óùôó


         
   
<  

6 ó ùð ö øöïïó ôó ó òó ôð òñö ùöûó ûò öôö ò ùðúóúöò øóúöõ ï ùö òïó÷ò õðúò òö÷


       


=
>?@? > âf/50.

ìíî
MIQOT DEFG HHHID JEG K LMFNOPQRQSTQU KVWV

XYZY[\]\ \^\_ \`abc[d\e fYfZY[gh\e gi^\[\_ i\gei j\e _Yhek`klg gemk[f\_gh\ ^\el

hYfcjg\e j\]\_ jg_Y[\]h\e j\`\f jceg\ ]Yejgjgh\en oYZ\l\g pke_kqr \^\_ st utvuw

-
txytzw {|t{v{ }{u vwz| t| sty îd,~ ^\el fYell\fZ\[h\e ZY_\]\ jYh\_e^\ €``\q jYel\e

f\ecig\r Z\qh\e `YZgq jYh\_ j\[g]\j\ c[\_ `YqY[ fY[Yh\ iYejg[gr \j\`\q gi^\[\_ i\gei

gemk[f\_gh\ ce_ch fYel\_\ig \[\h `Y‚\_ fYjg\ hkfcegh\ign ƒYel\e \j\e^\

hkfcegh\igr jc\ ][gZ\jg ^\el „ZY[\cq\e… j\e _gj\h j\]\_ fY`\hch\e hk_\h mgigh iYp\[\

face to facer ci_[c fY[\i\ jYh\_ jYel\e _Y[\jge^\ hkfcegh\ign ƒg igeg`\q ]Y[\e

hkfcegh\ig \[\h \cq † distant communication ‡ j\e hkfcegh\ig f\^\ † virtual


communication‡ fYecechh\e \ejg`e^\ j\`\f fYejYh\_h\e jc\ ]gq\h ^\el ZY[\j\

_gj\h ]\j\ ‚\h_cr `kh\igr j\e ig_c\ig ^\el i\f\n ˆY[ik\`\ee^\ \j\`\q Z\l\gf\e\

fYejYh\_g j\e ZY[hkfcegh\ig jYel\e €``\q‰ €j\h\q €``\q fYfZY[gh\e gi^\[\_ _Ye_\el

_Yhek`klg hkfcegh\ig j\e gemk[f\ig _Y[c_\f\ Zg`\ fYel\j\h\e hkfcegh\ig ge_Y[\h_gm

jYel\eaŠ^\‰ €]\ \`\_ Z\e_c hkfcegh\ig virtual jYel\eaŠ^\‰


‹i^\[\_ j\[g \`abc[d\e _Ye_\el ]Y[\e Z\e_c\e fYjg\ gemk[f\ig j\e hkfcegh\igr

iYh\[\el `YZgq ]k]c`Y[ ‹Œr j\`\f h\g_\ee^\ jYel\e ]Yejgjgh\e icj\q _Y[ig[\_ j\`\f

bnon \`aŽ€`\‘’“ ”n

·§ · ¤¶¡§ª¤µ  ¯°±²³´ž  ¡¢£¤ ¬­® ¥¡¦£§¨©ªž «  ¡¢£¤ ðœžŸ

Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajari manusia apa yang
tidak diketahuinya.

ƒ\`\f \^\_ gegr €``\q o•n fYeY`\ih\e Z\q‚\ ƒg\ fYel\\[ f\ecig\r \_\c

fYe^\f]\gh\e gemk[f\ig ^\el ZY[gig ]Yi\ea]Yi\e ]Yejgjgh\er jYel\e ]Y[\e_\[\\e

fYjg\ _c`gi Z\p\ \_\c fYjg\ _Yhin

‹i^\[\_ `\ge j\`\f ‹i`\f _Ye_\el Yhek`klg ‹emk[f\ig j\e –kfcegh\ig \j\`\q iYZc\q

q\jgir jg f\e\ —\ic`c``\q o€•n fYfZY[gh\e gei_[chig ce_ch fYe^\f]\gh\e ]Yi\ea]Yi\e

~~
‹i`\f hY]\j\ iYi\f\r fYihg]ce j\`\f hc\e_g_\i ^\el i\el\_ fgegfr i\_c h\`gf\_n o\el\_

jgi\^\elh\er \]\Zg`\ i\_c h\`gf\_ geg jgi\f]\gh\e q\e^\ _Y[Z\_\i hY]\j\ i\_c gejg˜gjcr

]\j\q\` q\jgi geg q\e^\ fYfZ\_\ig Z\_\i fgegf\` ]Yi\e j\e Zch\e \cjgYen –\[Ye\e^\r

i\el\_ fYfcelhgeh\e ]Yi\e ^\el _Y[Z\_\i geg jgi\f]\gh\e hY]\j\ \cjgYe ^\el _gj\h

_Y[Z\_\ir Z\gh ]\j\ _\_\[\e lYkl[\mgir ‚\h_cr ig_c\ig j\e hkejgigr iY[_\ fYjg\r Z\gh fYjg\

hkfcegh\ig igeh[keg f\c]ce \aigeh[kegn ™e_ch fYep\]\g hc\e_g_\i ^\el fYfc\ih\er

iYk[\el šci`gf q\[ci ZY[c]\^\ iYjYfghg\e [c]\ fYe^\f]\gh\e hY iYi\f\ šci`gf

iYZ\e^\haZ\e^\he^\ _\e]\ \j\e^\ `gfg_\ign ›\jgi geg cl\ _gj\h fYfZ\_\ig iYp\[\ i]Yigmgh

_Yhegh ^\el jglce\h\e j\`\f ]Ye^\f]\g\er fc`\g j\[g _Yhek`klg f\ec\`a_[\jgigke\` i\f]\g

hY _Yhek`klg p\ellgq fc`_gfYjg\n –Y_g\j\\e ]YeYe_c\e ZYe_ch hkfcegh\ig j\`\f ]Ye^YZ\[\e

¸¹
Ballighu cannî walau ayatan º»¼½NR¾G
¿À¼À½¼ ÁQÂÃE ÄÅ Anti Kaget Internet ºL¼Æ¼U¼Ç
¸¸
ÈUQ¼ÂNÉQ ÊQ½N¼Å ÂGÂG¾Å ËG ÌG

ABC
Promadi: Integrasi ICT dalam Pendidikan Islam

ÐÑÒÓÔÕÖ×Ð ÐÑÐØ ÕÙÕÚÙÔÐÛÖÑ ÜÙÝÞÖÑß ÛÙÜÖàÖ ÞÕÖá ÞÑáÞÛ ÕÙÑâÐÜáÖÛÖÑ áÙÛÑÓÝÓßÐ ÛÔÙÖáÐÒ

×Ð×áÐÕ ÐÑÒÓÔÕÖáÐÛÖã äÛÖÑ áÙáÖÜÐØ ×ÖáÞ ÔÖÕÚÞåÔÖÕÚÞ ÜÙÔÝÞ àÐÜÙÔæÖáÐÛÖÑ ÖßÖÔ ÜÙÑçÖÕÜÖÐÖÑ

ÐÑÒÓÔÕÖ×Ð àÐ×Ù×ÞÖÐÛÖÑ àÙÑßÖÑ âÖÝÓÑ ÜÙÑÙÔ ÜÙ×ÖÑã èÖæÛÖÑ éÖ×ÞÝÞÝÝÖæ êäëã ÕÙÕÚÙÔÐÛÖÑ

ÜÙáÞÑìÞÛ Ü×ÐÛÓÝÓßÐ× ÖßÖÔ ÜÙ×ÖÑ çÖÑß àÐ×ÖÕÜÖÐÛÖÑ ÙÒÙÛáÐÒã íÑßÛÖÜÖÑ éÖ×ÞÝÞÝÝÖæ êäëã

- ú
îïñòóôõö ò÷ øòù ò÷ â Qadri Uqûlihim Ø ÖàÖÝÖæ ÚÐÕÚÐÑßÖÑ éÖ×ÞÝÞÝÝÖæ ÖßÖÔ ÜÙÑçÖÕÜÖÐÖÑ

ÐÑÒÓÔÕÖ×Ð ÚÙÔÝÖÑß×ÞÑß ÙÒÙÛáÐÒ àÙÑßÖÑ ÕÙÕÜÙÔáÐÕÚÖÑßÛÖÑ ÛÖÔÖÛáÙÔÐ×áÐÛ ÖÞàÐÙÑØ àÖÔÐ

ÚÙÔÚÖßÖÐ ÝÖáÖÔ ÚÙÝÖÛÖÑß ×Ó×ÐÖÝ áÙÔÞáÖÕÖ Ö×ÜÙÛ ÛÓßÑÐ×Ðã

êÙâÖÔÖ ÛÙ×ÙÝÞÔÞæÖÑØ ÚÙÑáÞÛ ûüý ßÔÖÒÐ×Ø ÖÞàÐÓØ þÐ×ÞÖÝØ àÖÑ ÕÞÝáÐÕÙàÐÖ çÖÑß àÐßÞÑÖÛÖÑ

îl dalam proses presentasi ajaran Islam kepada Rasulullah SAW. dapat dikembangkan dengan
ÿÐÚÔ

menggunakan integrasi Teknologi Informasi dan Komunikasi terkini untuk proses pembelajaran
dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan Islam yang lebih efektif, efisien dan menarik.

P   


        
Dilihat dari kacamata komunikasi, pendidikan pada dasarnya merupakan suatu
proses komunikasi informasi dari pendidik kepada peserta didik yang berisi informasi-
informasi pendidikan. Pendidik sebagai sumber informasi, media sebagai sarana
penyajian materi pendidikan, serta peserta didik itu sendiri merupakan unsur-unsur
dari komunikasi pendidikan. Beberapa bagian unsur ini mendapat sentuhan media
teknologi informasi, sehingga mencetuskan lahirnya ide tentang e-learning.
Dewasa ini, ICT telah mengubah cara hidup manusia dalam berkomunikasi dan
beraktifitas dalam berbagai sektor, termasuk sektor pendidikan. Tantangan dalam pendidikan
ini membawa implikasi yang besar kepada pembelajaran. Prasarana telekomunikasi
dan sistem informasi berbasis multimedia memungkinkan pembelajar berinteraksi secara
aktif dengan menggunakan komunikasi sinkroni atau a-sinkroni. Piranti tambahan seperti
CD ROM interaktif, teknologi video dan digital telah menyediakan satu lingkungan media
yang serbaguna untuk keperluan pengajar, pembelajar dan desain pembelajaran.
Komputer, berbeda dari koran, radio, atau televisi, bukanlah secara otomatis menjadi
media informasi, tanpa terhubung dengan jaringan internet. Sesuai namanya, internet
merupakan suatu sistem informasi global dari jaringan komputer yang terorganisir dan
terinterkoneksi antara satu dengan lainnya. Aplikasi dasar internet adalah TELNET
(TELeNETworking) yaitu cara penggunaan paling awal yang fungsinya mirip seperti
penggunaan terminal komputer, menghubungkan sejumlah komputer yang sedang digunakan
dengan komputer induk (server) dan menstimulasikan seakan pengguna sedang berada
di depan komputer induk tersebut. Dengan aplikasi ini, seorang pengguna bisa secara langsung
menggunakan semua sumber daya yang terhubung dengan komputer induk. 12

Ann Jones, et al., Personal Computers for Distance Education: The Study of an Educational
12

Innovation (London: t.p., 1992), h. 1.

ÍÎÏ
MIQOT    !"#$%&'&()&* +,+

-./01234 51678 69:1;7<7; 67=7/ >967;: 03;6969<7; 53?7< 2781; @ABCD7;E F9


G;::495H 03;::1;77;;I7 >34<.;.2759 0767 J3=7?74 J34>7;21<7; -./01234 7271 KLMNOPQR-
STTUTTPQV WQXRYUYZ [\]^_H 69 /7;7 <./01234 69:1;7<7; 53>7:79 /3697 1;21< /3/>349<7;
212.497=H =72987;H 047<23<H 59/1=759 67; 53>7:79;I7 23487670 >787; 03=7?747;E`a ]b7=;I7H
03;::1;77; <./01234 67=7/ 03;6969<7; 87;I7=78 67=7/ >3;21< cVRUdd XYV NRXePUeQf
[=72987; 67; 047<23<_ >34107 03;:1=7;:7; 23487670 >787; I7;: 51678 6903=7?749 69
<3=75H 234127/7 >967;: 52169 /723/729<7 67; >78757 63;:7; 21?17; 7:74 03/>3=7?747;
=3>98 >3459g72 0345.;7= 67; /3;:7<./.694 034>3677; 9;69h961 67=7/ >3=7?74H ?1:7 7:74
03=7?74 67072 >3=7?74 535179 63;:7; <3049>7697;;I7E -3/1697; 699<129 .=38 /.63= POPLRUXdH
69 /7;7 >787; 03=7?747; 6957/079<7; 67=7/ >3;21< 23<5H 697:47/H :7/>74H 7;9/759
67; 53>7:79;I7H >741 699<129 VRUdd XYV NRXePUeQE F99<129 <3/1697; .=38 /.63= 59/1=759H
1;21< /3/>349<7; 03;:7=7/7; >3=7?74 <30767 595b7 234127/7 7503<D7503< I7;: 27<
/1;:<9; 69767<7; 3<50349/3; 69 67=7/ 67; 69 =174 <3=75H 5303429 437<59 ;1<=94H 67;
53>7:79;I7E i3=7=19 0347:77; 59/1=759 63;:7; <./01234H 03/>3=7?74 67072 /3/787/9
67; /3;:7=7/9 53;6949E`j
k772 9;9H 9;234;32 >3;74D>3;74 /34107<7; 59523/ ?749;:7; <./01234 =9;275 >7275H
=9;275 ;3:747H <743;7 23467072 472157; ?127 03;::1;7 I7;: 23481>1;: =3b72 ?749;:7;
9;9E J3=7<7;:7; 9;9 9;234;32H 034=787; 2709 07529H ?1:7 51678 /3;?769 >7:97; 6749
<3896107; 538749D8749 /75I747<72 1/1/ 67; 57;:72 >340.23;59 /3;?769 <7;7=
<./1;9<759 67; 03421<747; 9;g.4/759 23403;29;: 69 /757 /3;6727;: I7;: 69?769<7;
274:32 03421/>187; 9;g475241<214 .=38 >34>7:79 ;3:747E i3;1412 51612 07;67;:
<3>12187; 538749D8749 7<7; 9;g.4/759 234<9;9 I7;: /1678H /1478H l3072 67; 7<1472H
67; /3=9872 7<7; 03572;I7 03421/>187; 03/>7;:1;7; 69 >967;: 9;g475241<214
23=3<./1;9<759 67; 9;234;32 I7;: /3/>7;21 >7;I7< 03=17;: >95;95H /7<7 <3=7<
<3>12187; 9;234;32 ?1:7 7<7; /3;?769 <3>12187; 538749D8749 53>7:79/7;7 <3>12187;
41/78 27;::7 =79;;I7 5303429 794 >34598H =95249< 67; =79;;I7E
m;21< /751< <3 9;234;32 I7;: /34107<7; ?7=7; 47I7 51034 9;9H 5353.47;: 87415
/3;::1;7<7; nQo pRLOTQRH 2967< .>78;I7 >7:79<7; /3;79<9 53>178 <3;63477; 23423;21
>957 /3=7?1 69 7275 ?7=7; 47I7 2.= I7;: 7<7; /3;34?3/78<7; 9;g.4/759 I7;: 23453697
5389;::7 67072 69>7l7H 69=9872H 6963;:74 67; 6927/>78 7271 69<147;:9E F3b757 9;9 nQo
pRLOTQR I7;: 07=9;: 234<3;7= 767=78 qYPQRYQP rxNdLRQR (qr), sQtseXNQ, tNQRXu, vLzUddXs
wURQxLx,vLXs Ue, VXY WYy x. i.y9==7 /34107<7; I7;: 234>741 67; /34107<7; I7;: 234>79<
/3;1412 h3459 03415787; ]/349<7E `z
J7:79<7; 53>178 ?7=7; 47I7 51034 7271 {NuQR |UZ}Xwy H 03;::1;77; 9;234;32 >7:9

~ !€&' ‚ƒ„…s †‡ˆ ‰…Š‹Œƒ„,s Ž $


~‘ ’“”Ž& • –Ž“€ —†ƒ„†ƒt˜™˜ š››œ žŽ& &Ÿ  “''  &¡#"( ¢* £##œ#€' ¤“'#¥ ¦#›§
¨€©# ¤")#'Ž#€¥ €” ››ª Ž «¬
~­ ‚„…Š‡®¯° ‚ƒ†®ƒ±‡‡† ²…ŠŒ†¯±‡¯³ ®‡ˆ‡Š ‚ƒŠ´ƒˆ‡µ‡„‡† ¶‡·‡‡s ¸„‡´ ¹ƒˆ‡ˆŒ¯ ²ƒˆ‡s¹‡y‡
š¤&º“€)“*" »"'º“ ¤*&'' ++¼ª Ž ,,«

@"
&'$#3 A 6 2"' # A0B $'C'& @ $#$#D' A C'&

ÀÁÂÃÁÄÁÅÁÆ ÇÀÇÀ ÆÈÄÉÁÊÆÇÊÉ ËÁÌÁ ÍÈÊÎÂ ÅÈÊÌÁÄÁÁÊ ÃÁÊÉ ÀÈÏÇÊÐÇÄ ÌÎ ÁÆÁÂ ÍÁÏÁÊ ÄÁÃÁ
ÂÇËÈÄ ÎÊÎÑ ÌÁÊ ÃÁÊÉ ËÁÏÎÊÉ ËÒËÇÏÈÄ ÁÌÁÏÁÓ ÔÕÖ×ØÙÚÛÜ× ÝÞÜÕ, ßÖàá âÙÚãä, åÚÙÕæ åÜæÖ åÖç
(ååå), èÛØÖÙÛÖØ éÚÜ×Ö, æÞÛ èÛØÖÙÛÖØ êÖÕÞë ìíÞØ (èêì).
îÈÀÇÁ ÁËÏÎÅÁÂÎ ÌÎ ÁÆÁ ÌÁËÁÆ ÌÎÉÇÊÁÅÁÊ ÇÊÆÇÅ ÆÇÍÇÁÊ ËÈÊÌÎÌÎÅÁÊï ðÈÊÉÉÇÊÁÁÊ
ñòó ÌÁÏÁÀ ËÈÀôÈÏÁÍÁÄÁÊ ÌÁËÁÆ ÌÎÏÁÅÇÅÁÊ ÇÊÆÇÅ ÀÈÀôÈÄÎÅÁÊ ÆÇÆÒÄÎÁÏÑ ÏÁÆÎÓÁÊÑ ËÈÊÐÁÄÎÁÊÑ
ÌÁÊ ÁËÏÎÅÁÂÎ ÄÎÎÏ ÁÆÁÇ ËÄÁÅÆÈÅÑ ÃÁÊÉ ôÈÄËÈÄÁÊ ÌÁÏÁÀ ÀÈÀôÁÊÆÇ ÀÈÊÎÊÉÅÁÆÅÁÊ ÀÎÊÁÆ
ôÈÏÁÍÁÄï õÈÁÌÁÁÊ ÎÊÎ ÂÈÐÁÄÁ ÆÎÌÁÅ ÏÁÊÉÂÇÊÉ ÁÅÁÊ ÀÈÀÇÌÁÓÅÁÊ ËÄÒÂÈÂ ËÈÀôÈÏÁÍÁÄÁÊÑ
ÌÁÊ ÁÅÓÎÄÊÃÁ ÌÁËÁÆ ÀÈÊÎÊÉÅÁÆÅÁÊ ÓÁÂÎÏ ôÈÏÁÍÁÄï öÁÏÁÀ ÅÁÍÎÁÊ ðÂÎÅÒÏÒÉÎ õÒÉÊÎÆÎ÷Ñ ÅÈÀÁÀËÇÁÊ
ÎÊÉÁÆÁÊ ÂÈÂÈÒÄÁÊÉ ÆÈÄôÁÉÎ ÅÈËÁÌÁ ÆÎÉÁ ÍÈÊÎÂ ÃÁÎÆÇ ÅÈÀÁÀËÇÁÊ ÀÈÊÈÄÎÀÁÑ ÀÈÊÃÎÀËÁÊ
ÌÁÊ ÀÈÀÇÊÐÇÏÅÁÊ ÅÈÀôÁÏÎ ÎÊ÷ÒÄÀÁÂÎï ñÊÉÁÆÁÊ ÀÈÀËÇÊÃÁÎ ËÈÊÉÁÄÇÓ ÃÁÊÉ ÐÇÅÇË ôÈÂÁÄ
ÆÈÄÓÁÌÁË ÅÈôÈÄÓÁÂÎÏÁÊ ËÈÀôÈÏÁÍÁÄÁÊï îÈÀÁÅÎÊ ôÁÎÅ ÅÈÀÁÀËÇÁÊ ÎÊÉÁÆÁÊ ÂÈÂÈÒÄÁÊÉÑ ÀÁÅÁ
ÂÈÀÁÅÎÊ ôÁÊÃÁÅ ÎÊ÷ÒÄÀÁÂÎ ÃÁÊÉ ÀÁÀËÇ ÌÎÁ ÐÈÄÁËÑ ÂÈÀÁÅÎÊ ôÁÊÃÁÅ ÎÊ÷ÒÄÀÁÂÎ ÃÁÊÉ ôÎÂÁ
ÌÎÁ ÂÎÀËÁÊÑ ÌÁÊ ÂÈÀÁÅÎÊ ôÁÊÃÁÅ ËÇÏÁ ÎÊ÷ÒÄÀÁÂÎ ÃÁÊÉ ÀÁÀËÇ ÌÎÁ ÀÇÊÐÇÏÅÁÊ ÅÈÀôÁÏÎïøù
öÈÊÉÁÊ ôÁÊÆÇÁÊ óÈÅÊÒÏÒÉÎ ñÊ÷ÒÄÀÁÂÎ ÌÁÊ õÒÀÇÊÎÅÁÂÎ ÁÆÁÇ ñòóÑ ÅÈÀÁÀËÇÁÊ ÀÈÊÈÄÎÀÁÑ
ÀÈÊÃÎÀËÁÊÑ ÌÁÊ ÀÈÀÇÊÐÇÏÅÁÊ ÅÈÀôÁÏÎ ÌÁËÁÆ ÌÎÁÅÂÈÏÈÄÁÂÎÑ ÂÈÓÎÊÉÉÁ ÏÈôÎÓ È÷ÈÅÆÎ÷ ÌÁÊ
È÷ÎÂÎÈÊï öÈÊÉÁÊ ÌÈÀÎÅÎÁÊÑ ÅÈôÈÄÓÁÂÎÏÁÊ ËÈÀôÈÏÁÍÁÄÁÊ ÌÁËÁÆ ÌÎÆÎÊÉÅÁÆÅÁÊï
ñòó ÍÇÉÁ ÌÁËÁÆ ÀÈÊÎÊÉÅÁÆÅÁÊ ÅÒÀÇÊÎÅÁÂÎ ËÈÀôÈÏÁÍÁÄÁÊ ÌÁÏÁÀ ÁÄÆÎ ÃÁÊÉ ÏÈôÎÓ
ÏÇÁÂÑ ÀÈÊÐÁÅÇË ÎÊÆÈÄÁÅÂÎ ÁÊÆÁÄÁ ËÈÀôÈÏÁÍÁÄ ÌÁÊ ËÈÊÉÁÍÁÄÑ ÌÁÊ ÁÊÆÁÄÁ ÂÈÂÁÀÁ ËÈÀôÈÏÁÍÁÄï
õÒÀÇÊÎÅÁÂÎ ðÈÀôÈÏÁÍÁÄÁÊ ÎÊÎ ôÁÓÅÁÊ ÌÁËÁÆ ÌÎËÈÄÏÇÁ ÏÁÉÎ ÀÈÊÍÁÌÎ ÎÊÆÈÄÁÅÂÎ ÁÊÆÁÄÁ ËÈÏÁÍÁÄ
ÌÁÊ ËÄÒÉÄÁÀ ÌÁÏÁÀ ÅÒÀËÇÆÈÄÑ ÎÊÆÈÄÁÅÂÎ úÞ×Ö ØÞÚ úÞ×Ö ÁÊÆÁÄÁ ËÈÏÁÍÁÄ ÌÁÊ ËÈÏÁÍÁÄ ÏÁÎÊ
ôÈÄôÁÂÎÂ ËÄÒÉÄÁÀ ÌÁÏÁÀ ÅÒÀËÇÆÈÄÑ ÌÁÊ ôÁÓÅÁÊ ÎÊÆÈÄÁÅÂÎ ËÈÏÁÍÁÄ ÌÁÊ ËÈÏÁÍÁÄ ÏÁÎÊ ÀÈÏÁÏÇÎ
ÀÈÌÎÁ ÅÒÀËÇÆÈÄ ÂÈÐÁÄÁ ÀÁÃÁ ÁÆÁÇ ÀÈÏÁÏÇÎ ÅÈÏÁÂ ûÜÙØãÞÕï
öÇÁ ôÈÊÆÇÅ ÇÆÁÀÁ ÅÒÀÇÊÎÅÁÂÎ ôÈÄôÁÂΠÅÒÀËÇÆÈÄ ÁÌÁÏÁÓ ÂÇÄÁÆ ÈÏÈÅÆÒÊÎÅ üÈýÀÁÎÏþ
ÌÁÊ ÅÒÊ÷ÈÄÈÊÂÎ ÅÒÀËÇÆÈÄ ü×ÚÿäãØÖÙ ×ÚÛúÖÙÖÛ×Öþï õÈÌÇÁÊÃÁ ÀÈÊÃÈÌÎÁÅÁÊ ÷ÁÂÎÏÎÆÁ ÌÎ ÀÁÊÁ
ÂÈÂÈÒÄÁÊÉ ÀÈÀÇÊÉÅÎÊÅÁÊ ôÁÉÎÊÃÁ ÇÊÆÇÅ ôÈÄÅÒÀÇÊÎÅÁÂÎ ÌÈÊÉÁÊ ÒÄÁÊÉ ÏÁÎÊ ôÁÎÅ ÂÈÐÁÄÁ
ÎÊÌÎ ÎÌÇ ÁÆÁÇ ÅÈÏÒÀËÒÅ ÀÈÏÎÊÆÁÂÎ ÍÁÄÁÅ ÌÁÊ ÁÅÆÇÑ ×ÚÿäãØÖÙ ×ÚÛúÖÙÖÛ×Ö ÀÈÀôÈÄÎÅÁÊ
÷ÁÂÎÏÎÆÁ ÏÈôÎÓ ÌÎÀÁÊÁ ËÁÄÁ ËÈÂÈÄÆÁ ÌÁËÁÆ ôÈÄôÎÊÐÁÊÉ ôÈÄÌÁÂÁÄÅÁÊ ÆÒËÎÅ ÆÈÄÆÈÊÆÇï ÌÁ
ÌÇÁ ÅÁÄÁÅÆÈÄÎÂÆÎÅ ÇÆÁÀÁ õÒÀÇÊÎÅÁÂÎ ÈÄËÈÄÁÊÆÁÄÁÁÊ õÒÀËÇÆÈÄ üìÚÿäãØÖÙ ÝÖæÜÞØÖæ
ìÚÿÿãÛÜ×ÞØÜÚÛþ ÁÆÁÇ òò ÇÊÆÇÅ ÆÇÍÇÁÊ ËÈÊÌÎÌÎÅÁÊ ÃÁÎÆÇ ôÎÂÁ ÌÎÉÇÊÁÅÁÊ ÇÊÆÇÅ
ÅÒÀÇÊÎÅÁÂÎ ÏÎÂÁÊÑ ÌÁÊ ôÎÂÁ ÌÎÉÇÊÁÅÁÊ ÇÊÆÇÅ ÅÒÀÇÊÎÅÁÂÎ ÅÈÏÒÀËÒÅïø öÁÏÁÀ ËÈÀôÈÏÁÍÁÄÁÊ
ôÁÓÁÂÁ ÁÂÎÊÉÑ ÀÎÂÁÏÊÃÁÑ ÅÈÀÇÌÁÓÁÊ ôÈÄÅÒÀÇÊÎÅÁÂÎ ôÈÄôÁÊÆÇÅÁÊ ÅÒÀËÇÆÈÄ ÎÊÎ
ÀÈÀÇÊÉÅÎÊÅÁÊ ËÈÏÁÍÁÄ ÇÊÆÇÅ ôÈÄÎÊÆÈÄÁÅÂÎ ÏÁÊÉÂÇÊÉ ÌÈÊÉÁÊ ÛÞØÜûÖ áäÖÞÖÙá ÁÆÁÇ ËÈÊÇÆÇÄ
ÁÂÏÎ ÂÈÏÁÀÁ ËÄÒÂÈÂ ËÈÀôÈÏÁÍÁÄÁÊï õÒÀÇÊÎÅÁÂÎ ÌÁËÁÆ ÌÎÏÁÅÂÁÊÁÅÁÊ ÂÈÐÁÄÁ ÏÎÂÁÊ ÁÆÁÇ
ÆÇÏÎÂÁÊï îÈÌÁÊÉÅÁÊ ËÄÒÂÈÂÊÃÁ ôÎÂÁ ÁÊÆÁÄ ÎÊÌÎ ÎÌÇ ÁÆÁÇ ÅÈÏÒÀËÒÅï öÈÊÉÁÊ ÌÈÀÎÅÎÁÊÑ
ËÈÀôÈÏÁÍÁÄÁÊ ôÁÓÁÂÁ ôÈÊÁÄýôÈÊÁÄ ôÈÄÏÁÊÉÂÇÊÉ ÂÈÐÁÄÁ ÁÏÁÀÎ ÌÁÊ ÅÒÊÆÈÅÂÆÇÁÏï


  ,  
 !" #$ %&'$    , ()) (*) + ()) ,-.*)
/0'&1"#$2 3 0'&1"#$2 4 #5 " #67 8"
!9 :;<=>  ?

½¾¿
MIQOT HIJK LLLMH NIK O PQJRSTUVUWXUY OZ[Z

\]^_`^ `a`^b` c^d]e`fgc hij a`k`l m]^acacf`^n d]eo`ac m]kcp`d`^ b`^_ `fdcq `^d`e`
m]^_`o`e a`^ m]lp]k`o`en b`^_ g]k`^ord^b` a`m`d l]^_`fg]k]e`gc m]lp]k`o`e`^ g]sc^__`
k]pcs ]qcgc]^t \]^_`^ a]lcfc`^n c^d]_e`gc hij a`k`l m]^acacf`^ l]l`c^f`^ m]e`^`^
b`^_ p]g`e a`^ m]^dc^_ a`k`l l]^c^_f`df`^ fr`kcd`g m]lp]k`o`e`^t
u`sv` fwlmrd]e mecp`ac a`m`d l]^_rp`s l]dwa] m]lp]k`o`e`^ de`acgcw^`kn ac l`^`
pc`g`^b` m]^_`o`e l]lp]ec c^gderfgcn p]emc^a`s f] m]^a]f`d`^ xyz{|} ~{ b`^_ g]m]^rs^b`
l]^__r^`f`^ gcq`d c^frcec b`^_ `a` a`k`l acec m]lp]k`o`et €wlmrd]e mecp`ac l]lr^_fc^f`^
l]e]f` l]^o]k`o`sc `k`l e`b` _r^` l]^`ec c^qwel`gc g]gr`c f]g`^__rm`^ a`^ f]l`lmr`^
l`gc^_‚l`gc^_t ƒ]^_]^`k`^ f]m`a` hij a`m`d l]lp`v` f]m`a` gcf`m mwgcdcqt „`k c^c acf`e]^`‚
f`^ p`sv` hij l]^b]ac`f`^ m]kr`^_ b`^_ kr`g a`k`l `fdc…cd`g m]lp]k`o`e`^ acp`^ac^_f`^
l]dwa] de`acgcw^`kt †]k`krc m]^__r^``^ c^d]e^]dn m]lp]k`o`e pwk]s l]^clp` cklr m]^_]d`sr`^
g]ed` w^dws‚w^dws b`^_ me`fdcg a`^ fw^d]fgdr`k g]ed` eckt €]lra`s`^ y‡ˆ‰Š‹‰|Œz a`^ lrkdc‚
l]ac` d]k`s l]lra`sf`^ m]^a]f`d`^ a`^ l]dwa] p]k`o`e b`^_ dca`f lr^_fc^ a`m`d
ack`fg`^`f`^ g]fce`^b` l]^__r^`f`^ l]dwa] de`acgcw^`kt hij l]^b]ac`f`^ l]dwa] dca`f
s`^b` a`k`l lwa]k m]^]ecl``^ cklr g]`e` g`dr `e`s g`o`n `f`^ d]d`mc or_` a]^_`^ l]lp]ec
m]^]f`^`^ f]m`a` m]^cmd``^ a`^ m]^o]k`o`s`^ `d`r m]^]ewf``^ cklr g]`e` `fdcqn c^w…`dcqn
fe]`dcqn ]q]fdcq a`^ p`sf`^ l]^b]^`^_f`^t €w^g]m ƒ]lp]k`o`e`^ ƒh€Ž† a`m`d accmd`f`^
a]^_`^ m]^__r^``^ lrkdcl]ac` a]^_`^ m]^_c^d]_e`gc`^ hij f] a`k`l m]lp]k`o`e`^t
h^cgc`dcq r^drf l]^_c^d]_e`gcf`^ hij a`k`l m]lp]k`o`e`^ `a`k`s d]m`dt \`k`l
fw^d]fg m]lp]k`o`e`^n m]^__r^``^ hij a`m`d acf`d]_wecf`^ g]p`_`c drdwec`kn k`dcs`^n
m]^`ec`^n `mkcf`gc a`^ fwlr^cf`gct \`k`l fw^d]fg m]^_`o`e`^n hij ac_r^`f`^ g]p`_`c
drdwe a`^ `k`d a]lw^gde`gct ^drf l]^`m`c dror`^ l]^cmd`f`^ l`gb`e`f`d
lwa]e^ l]vroraf`^ l`gb`e`f`d b`^_ c^qwel`dcqn l`f` c^cgc`dcq r^drf
l]^_c^d]_e`gcf`^ m]^__r^``^ hij a`^ lrkdcl]ac` a`k`l m]lp]k`o`e`^ `a`k`s m]ekrt
u]p]e`m` l]^r^orff`^ p`sv` hij a`m`d l]lp`^dr l]^_`d`gc f]k]l`s`^
m]^acacf`^ g`c^g b`^_ ac`o`e g]`e` de`acgcw^`k g]ed` a`m`d l]^c^_f`df`^ m]kcp`d`^
m]^_`o`e a`^ m]k`o`e a`k`l m]^__r^``^ fwlmrd]e g]`e` k]pcs mewarfdcqt ƒ]^_`o`e s`erg
l`lmr l]^_c^d]_e`gcf`^ f]l`sce`^ d]f^wkw_c a`^ m]kr`^_ m]lp]k`o`e`^ fw^gderfdc…cg
r^drf l]kcs`d f]]q]fdcq`^ m]^__r^``^ d]f^wkw_ct †]gfcmr^ a]lcfc`^n c^d]_e`gc hij a`k`l
m]lp]k`o`e`^ l]l]ekrf`^ f]l`sce`^ fsrgrg a`^ fwlcdl]^ m]^_`o`e g]`e` d]eqwfrgt
u]p]e`m` f`e`fd]ecgdcf r^cf b`^_ aclckcfc c^d]e^]dn b`cdr `fg]g r^c…]eg`kn f`b` `f`^
‹‘’Œ‹‰|Œz Š‰}~Š“‰}, ‹‰|Œz ˆ”‘Œ}yŒ{•n a`^ l]ac` c^d]e`fdcqt–— €wlmrd]e l]lckcfc
f]l`lmr`^ l]^bclm`^n l]^_we_`^cgcen l]^_rp`sn l]^_cecl a`^ l]^b`ocf`^ g]orlk`s
p]g`e a`d` a`k`l f]]m`d`^ b`^_ dc^__cn p`cf a`d` p]ep]^drf `^_f`n d]fgn _e`qcfn gr`e`n
a`^ p`sf`^ lr^_fc^ f] a]m`^ a`d` p]ep]^drf g]^drs`^ a`^ p`rt ˜`gckcd`g hij b`^_
l`lmr l]^bclm`^n l]^_`dre a`^ l]^b`ocf`^ f]lp`kc g]orlk`s p]g`e c^qwel`gc
l]lp]ecf`^ grlp]e p]k`o`e p]ep`gcg m]^_]d`sr`^ b`^_ g`^_`d f`b` f]m`a` m]k`o`et

™š ›œYRJ IœUJUVVž Ÿ ¡ ¢£¤¡ £¥ ¦§Ÿ ¨I©ªI©« ¬I©­R©QWž OZZ®¯ž °K ±K

EFG
$%&'( )*%+' ),- &. $&'&'/ )+.

µ¶·¸¹· º¶·¸¸»·¹¼¹· º¶½¾¹ ¾·¿¶À·¶¿ ½¹· ÁµÂµÃµÄ ŶƹǹÀ ½¹Å¹¿ º¶·¸¹¼È¶È


¾·ÉÊÀº¹È¾ ˹·¸ ¿¾½¹¼ ¿¶Àȶ½¾¹ ½¾ ½¹Æ¹º ¼¶Æ¹È ¹¿¹» ŶÀŻȿ¹¼¹¹· ȶ¼ÊƹÌÄ È¶Å¶À¿¾ ¸¹ºÍ¹ÀÎ
¸¹ºÍ¹À ¹À¿¶É¹¼ ½¹À¾ º»È¶º º¹·¹Å»· ½¾ ȶƻÀ»Ì ½»·¾¹Ä ¼ÊÀ¹·Ä º¹Ç¹Æ¹ÌÄ À¶¼¹º¹· ž½¹¿ÊÄ
¹¿¹» ɾƺ ½¹· ȶ͹¸¹¾·Ë¹Ï зÉÊÀº¹È¾ º»Æ¿¾º¶½¾¹ º¶·Ñ¹¼»Å ¿Êž¼Î¿Êž¼ ȶǹ¼ Ò¹º¹· ¼»·ÊÏ
µÊ¼»º¶·Î½Ê¼»º¶· ½¹· ½¹¿¹Í¹È¶ ˹·¸ ͶÀ¹½¹ ½¾ Ӿƹ˹ÌÎÓ¾Æ¹Ë¹Ì ¿¶ÀŶ·Ñ¾ÆÄ ½¹Å¹¿
½¾Å¶ÀÊÆ¶Ì º¶Æ¹Æ»¾ ǹÀ¾·¸¹· ¼ÊºÅ»¿¶À ¾·¿¶À·¹È¾Ê·¹ÆÏ Ôʺ»·¾¼¹È¾ ¶Æ¶¼¿ÀÊ·¾¼ ½¹Å¹¿ ½¾Æ¹¼È¹·¹¼¹·
¹·¿¹À¹ ½»¹ ž̹¼ ˹·¸ ȹƾ·¸ º¶º¶ÀÆ»¼¹· ½¾ ȶ¹·¿¶ÀÊ ½»·¾¹Ä ͹̼¹· ½¹Å¹¿ º¶Æ¹¼»¼¹·
ŶºÍ¾Ñ¹À¹¹· ½¶·¸¹· ŹÀ¹ ÅÀÊɶÈÊÀ º¶Æ¹Æ»¾ ÕÖ×ØÙÚÚÛ ¹¿¹» À»¹·¸ º¶·¸ÊÍÀÊÆÏÜÝ

Þßàágâãäi Þåæ çãß èáßçéçéêãßë ìíßäáî çãß èáßáâãîãß


µ¶Ó¹È¹ ¾·¾ ½»·¾¹ Ŷ·½¾½¾¼¹· ¿¶À»È ͶÀ¸¶À¹¼ ȶѹÀ¹ ½¾·¹º¾ÈÄ ¼Ì»È»È·Ë¹ »·¿»¼ º¶·Ñ¾Å¿¹¼¹·
Ŷ·½¶¼¹¿¹·Ä º¶¿Ê½¶Ä È¿À¹¿¶¸¾ ŶºÍ¶Æ¹Ç¹À¹·Ä º¶½¾¹ ½¹· º¹¿¶À¾ Ŷ·½¾½¾¼¹· ˹·¸ ȶº¹¼¾·
¾·¿¶À¹¼¿¾É ½¹· ¼ÊºÅÀ¶Ì¶·È¾ÉÏ ïÀ¹ 𶼷ÊÆʸ¾ ÔʺŻ¿¹È¾ ñ»Æ¿¾º¶½¾¹ º¶À»Å¹¼¹· ȹ¿» ¶À¹
͹À» ½¹Æ¹º ½»·¾¹ ¾·ÉÊÀº¹È¾ ºÊ½¶À· ˹·¸ È»½¹Ì ͶÀ¼¶ºÍ¹·¸ Ŷȹ¿ ½¹· ͶÀ¾·¿¶¸À¹È¾ ½¶·¸¹·
½»·¾¹ Ŷ·½¾½¾¼¹·Ï ò¶Ñ¹À¹ »º»º º»Æ¿¾º¶½¾¹ ½¾¹À¿¾¼¹· ȶ͹¸¹¾ ¼ÊºÍ¾·¹È¾ ¿¶¼ÈÄ ¸¹ºÍ¹ÀÄ È¶·¾
¸À¹É¾¼Ä ¹·¾º¹È¾Ä È»¹À¹ ½¹· 󾽶ÊÏ ôõ ö·¶¼¹ º¶½¾¹ ¿¶Àȶͻ¿ ½¾¸¹Í»·¸¼¹· º¶·Ç¹½¾ ȹ¿»
¼¶È¹¿»¹· ¼¶Àǹ ˹·¸ ¹¼¹· º¶·¸Ì¹È¾Æ¼¹· È»¹¿» ¾·ÉÊÀº¹È¾ ˹·¸ º¶º¾Æ¾¼¾ ·¾Æ¹¾ ¼Êº»·¾¼¹È¾
˹·¸ ȹ·¸¹¿ ¿¾·¸¸¾Ï ÔʷȶŠ¿¶¼·ÊÆʸ¾ ¾·¾ ȶͶ·¹À·Ë¹ ¹½¹Æ¹Ì ͹¸¹¾º¹·¹ º¶·Ë¹Ç¾¼¹·
¾·Éʺ¹È¾ ½¹Æ¹º Ͷ·¿»¼ ˹·¸ º¶·¹À¾¼Ä º»½¹Ì ½¹· ¾·¿¶À¹¼¿¾É ͹¸¾ Ŷº¹¼¹¾·Ë¹Ï
÷¶·Ë¹ºÅ¹¾¹· º¹¿¶À¾ ŶƹǹÀ¹· ½¹Å¹¿ ½¾È¶È»¹¾¼¹· ½¹· º¶·¸¹¼ÊºÊ½¾À ͶÀ͹¸¹¾ Ŷ·¶·¿»¹·
¸¹Ë¹ ͶƹǹÀ ŶȶÀ¿¹ ½¾½¾¼Ä ͹¾¼ ¹»½¾¿¾ÉÄ ó¾È»¹ÆÄ º¹»Å»· ¼¾·¶È¿¶¿¾¼ ½¶·¸¹· ¼Ê·È¶Å
÷¶ºÍ¶Æ¹ÇÀ¹· ö¼¿¾ÉÄ Ð·Ê󹿾ÉÄ ÔÀ¶¹¿¾ÉÄ ïɶ¼¿¾ÉÄ ½¹· ñ¶·Ë¶·¹·¸¼¹· ø÷öÐÔïñùÏ ÷¶ºÍ¶Æ¹Ç¹À¹·
ͶÀÍ¹È¾È ¿¶¼·ÊÆʸ¾ ÐÁð ;ȹ º¶·¸¹¿¹È¾ ŶºÍ¶Æ¹Ç¹À¹· ¼Ê·ó¶·È¾Ê·¹Æ ˹·¸ Ѷ·½¶À»·¸
ºÊ·Ê¿Ê· ½¹· ̹·Ë¹ ȶȻ¹¾ »·¿»¼ ¸¹Ë¹ ͶƹǹÀ ¿¶À¿¶·¿» È¹Ç¹Ä È¶Å¶À¿¾ ѶÀ¹º¹Ì ˹·¸ ̹·Ë¹
ȶȻ¹¾ ͹¸¾ ŶºÍ¶Æ¹Ç¹À ˹·¸ º¶º¾Æ¾¼¾ ¸¹Ë¹ ͶƹǹÀ ¹»½¾¿¾ÉÏ ú·¿»¼ º¶·Ñ¾Å¿¹¼¹· È»¹¿»
¼Êº»·¾¼¹È¾ ¾·¿¶À¹¼¿¾É ½¹À¾ ȶͻ¹Ì ¾·ÉÊÀº¹È¾Ä º¹¼¹ ¿¶¼·ÊÆʸ¾ ¼ÊºÅ»¿¹È¾ º»Æ¿¾º¶½¾¹
º¶·¸¾·¿¶¸À¹È¾¼¹· ¿¶¼ÈÄ ¸À¹É¾¼Ä È»¹À¹Ä ¹·¾º¹È¾ ½¹· ó¾½¶Ê Ë¹·¸ º¹ºÅ» º¶ºÅ¶·¸¹À»Ì¾
͹·Ë¹¼ ¾·½¶À¹ ˹·¸ ½¾º¾Æ¾¼¾ º¹·»È¾¹ ȶŶÀ¿¾ Ŷ·¸Æ¾Ì¹¿¹·Ä Ŷ·½¶·¸¹À¹·Ä ½¹· ŶÀ¹È¹¹·
ȶÀ¿¹ ŶÀÍ»¹¿¹·Ï û¾Æ¹ ¿¶¼·ÊÆʸ¾ º»Æ¿¾º¶½¾¹ ¾·¾ ½¾¹Åƾ¼¹È¾¼¹· ½¹Æ¹º ŶºÍ¶Æ¹Ç¹À¹·Ä º¹¼¹
Ⱦȿ¶º Ŷ·½¾½¾¼¹· ƶӹ¿ ¾·¿¶À·¶¿ ȶѹÀ¹ ¾·¿¶À¹¼¿¾É ½¹· ¼ÊºÅÀ¶Ì¶·È¾É ½¹Å¹¿ ¿¶Àƹ¼È¹·¹Ï
üýþÕØÙÚÿ Õ × ý º¶À»Å¹¼¹· ¹Æ¹¿ ¼Êº»·¾¼¹È¾ ¹·¿¹À ÅÀ¾Í¹½¾ º¶·¸¸»·¹¼¹· ¼ÊºÅ»¿¶À
˹·¸ ȹƾ·¸ ¿¶À¼Ê·¶¼È¾ º¶Æ¹Æ»¾ ǹƻÀ ¿¶Æ¶ÅÊ·Ï ò¶Í¹¸¹¾º¹·¹ È»À¹¿ ;¹È¹Ä Ŷ·¸¸»·¹¹··Ë¹
¹½¹Æ¹Ì »·¿»¼ º¶·¸¾À¾º Ŷȹ· ½¹À¾ ȶȶÊÀ¹·¸ ¼¶Å¹½¹ ÊÀ¹·¸ ƹ¾·Ä ¹¿¹» ¼¶Å¹½¹ ͹·Ë¹¼
ÊÀ¹·¸ ȶ¼¹Æ¾¸»ÈÄ Ì¹·Ë¹ ȹǹ ˹·¸ ¾·¾ ½¾Æ¹¼»¼¹· ȶѹÀ¹ ¶Æ¶¼¿ÀÊ·¾ÈÏ ïÎñ¹¾Æ ½¹Å¹¿ ½¾¸»·¹¼¹·
»·¿»¼ ȹƾ·¸ ͶÀ͹¸¾ ¾·ÉÊÀº¹È¾ ͹̹· ŶƹǹÀ¹· ¹·¿¹À¹ ȶȹº¹ ŶƹǹÀÄ ¹¿¹» º¶·¸¹Ç»¼¹·
ŶÀ¿¹·Ë¹¹· ¼¶Å¹½¹ Ŷ·¸¹Ç¹À ȶѹÀ¹ ¿¹¼ ¿¶À͹¿¹È ½¹· ŶÀÈÊ·¹ÆÏ


,  



  101,  !"#

²³´
MIQOT 3456 77783 946 : ;<5=>?@A@BC@D :EFE

GHIJKLMNOJ PQPRPS TPTPU TVUWXYXYPU VRVZ[\]U^Z _PUW Q^]\WPU^`^\ XU[XZ RVa^S QP\^

`VTXRXS \^aX TVUWWXUP QVUWPU `^`[VY TVUPYPPU _PUW YXQPS aPW^ YV\VZP XU[XZ

YVUVYXZPUU_Pb GHIJKLMNO Q^WXUPZPU XU[XZ `VaPWP^ c]\XY Q^`ZX`^ [VU[PUW aV\aPWP^

[]T^Zd Q^ YPUP YV\VZP QPTP[ `PR^UW YVYaPePd YVUW^\^Y P\[^ZVR QPU `PR^UW aV\[XZP\ T^Z^\PU

QVUWPU TV`V\[P RP^U `VeP\P WR]aPRb fV\VZP YVYTXU_P^ ghijLMMk P[PX \XPUW ZSX`X` XU[XZ

aV\Q^`ZX`^ [VU[PUW []T^Zl[]T^Z [V\[VU[Xb GHIJKLMNO `PUWP[ T][VU`^PR Q^WXUPZPU XU[XZ

YVUQ^`ZX`^ZPU aPSPU TVRPmP\PU PU[P\ `V`PYP TVRPmP\ _PUW YVUWPYa^R a^QPUW ZPm^PU `V\XTPb

nMLop nqpH nHr stttu YV\XTPZPU `PRPS `P[X ^U]vP`^ [VZU]R]W^ Z]YXU^[P` ^U[V\UV[

_PUW aV\cXUW`^ YVU_VaP\RXP`ZPU ^Uc]\YP`^ QPRPY aVU[XZ W\Pc^Zd [VZ`d `XP\Pd WPYaP\d v^QV]d

P[PX PU^YP`^ QP\^ aV\aPWP^ `XYaV\ Q^ `VRX\XS QXU^Pb wXWP Q^WXUPZPU XU[XZ YVU`]`^PR^`P`^ZPU

^Uc]\YP`^l^Uc]\YP`^ _PUW YXUeXR `VeP\P [\PQ^`^]UPR QPRPY `X\P[ ZPaP\d YPmPRPSd mX\UPRd

T]`[V\d aXZXd [VRVv^`^ P[PX c^RYb ttt `PUWP[ aV\WXUP XU[XZ YVYTV\ZP_P `XYaV\ aVRPmP\

aPW^ TVRPmP\d `VS^UWWP YV\VZP Q^aV\^ZPU aPSPU _PUW [^QPZ [V\aP[P`d [V\YP`XZ aPSPU

_PUW ZVYXUWZ^UPU `PUW WX\X `VUQ^\^ [^QPZ YVUWV[PSX^ QPU YVUWXP`P^U_Pb

- -
xyjHLyHj zMq{H mXWP Q^ZVUPR QVUWPU zMq{H M|HL xyjHLyHj}~LMjM{Mo (zMx~u YV\XTPZPU
mVU^` [VZU]R]W^ _PUW YVYXUWZ^UZPU `V`V]\PUW YVRPZXZPU TPUWW^RPU [VRVT]U

YVUWWXUPZPU Z]UVZ`^ ^U[V\UV[ aV\ZVeVTP[PU [^UWW^ Q^aPUQ^UW YVUWWXUPZPU `PYaXUWPU



[VRVT]U a^P`Pb xyjHLyHj zMq{H `PUWP[ [VTP[ Q^WXUPZPU QPRPY TVU_PYTP^PU T\V`VU[P`^

_PUW TPUmPUW ZP\VUP QPTP[ YVUePZXT `VmXYRPS aV`P\ YP[V\^ TVRPmP\PU QPU YVUePZXT

`VmXYRPS aV`P\ PXQ^VU QVUWPU a^P_P _PUW `PUWP[ Y^U^Yb

xyjHLyHj Hoi‚ ghij (xg) YV\XTPZPU `^`[^Y Z]YXU^ZP`^ Y^\^T `^`[^Y Z]YXU^ZP`^
ƒLiLq _PUW YVYXUWZ^UZPU `V`V]\PUW YVRPZXZPU TV\ePZPTPU Q^ ^U[V\UV[ QPRPY aVU[XZ

[VZ`b „V\ePZPTPU a^`P Q^RPZXZPU ]RVS aPU_PZ T^SPZd aVaV\PTPd TXRXSPU QPU aPSZPU \P[X`PU

]\PUW TPQP `PP[ aV\`PYPPUb …PRPY `^`[VY †‡ˆ ^U^d XU[XZ [VYTP[ TV\ePZPTPU Q^aXP[ `VUQ^\^

`VYPePY \XPUW `VeP\P v^\[XPR _PUW a^P`P Q^`VaX[ ˆSPUUVRb …PRPY TV\ZVYaPUWPUU_Pd

†‡ˆ `XQPS [^QPZ RPW^ SPU_P QPRPY aVU[XZ [VZ`d UPYXU mXWP a^`P YVUWWPaXUWZPU `XP\P

P[PXTXU v^QV] QPRPY TV\ePZPTPUU_Pb †‡ˆ `PUWP[ T][VU`^PR Q^WXUPZPU PWP\ TP\P

PTVRPmP\ a^`P aV\QVaP[d aV\Q^`ZX`^d aPSZPU aV\a^UePUW `Ve\P [PZ [V\aP[P`b

„P\P TPZP\ TVUQ^Q^ZPU [VRPS YVUe]aP XU[XZ YVUWPQPZPU TVUVR^[^PU QVUWPU YVUWPQPZPU

VZ`TV\^YVU XU[XZ YVUe^T[PZPU YV[]QV aVRPmP\ _PUW aP\Xd `VaX[ `PmP ˆP\P ‰VRPmP\ Š^`‹P

ŒZ[^c sˆ‰ŠŒud ˆP\P ‰VRPmP\ Š^`‹P fPUQ^\^ sˆ‰Šfud fV[]QV ‰VRPmP\ XY]Ud ŠVYT]Pd Ž{jq|H

HiLyqyKd „Œ†fd QPU ‘NiyjNk HiLyqyKb ŠVYXP X`PSP [V\`VaX[ Q^\XYX`ZPU QVUWPU

[XmXPU PWP\ TVYaVRPmP\ QPTP[ RVa^S YXQPS QPU `VQV\SPUP XU[XZ YVUeV\UP `VeP\P R]W^`

YP[V\^ TVUQ^Q^ZPU _PUW `XQPS Q^[V[PTZPUb

fVRPRX^ ^U[VW\P`^ †ˆ’ QPRPY TVYaVRPmP\PUd e]\PZ TVUQ^Q^ZPU PZPU aPU_PZ aV\XaPS

ZP\VUPd [VZU]R]W^ _PUW [V\^U[VW\PR YVYTXU_P^ ZVRVa^SPU YVUWWPaXUWZPU v^`XPR \VPR^`[^Z

“”
•@–—4 ˜6™ š›œ žŸ ¡œ ¢›œ¡£›¡œ¤ ¥6 ¦6
““
§D4B¨©=™ š›Ÿª«Ÿ ¬› ­«œ® ¯¡®« š£Ÿ° ±§@²¨³C¨D<´ •<A²¨ §D@AA™ :EEµ¶™ ¥6 FF·6

012
'$# 0 & 1()2$3 145 0 '(0 0 %( 13

º»¼½¾¼ ¿»ÀÁ º¾¼ ÁÂ¾Ã¾Ä Å»Æ¾ÆÂÇ Ç¼¿»½Ã¾ÁÇ ÈÉÊ Ë»Ë»Ã¾Ì¾ Ì»ÃÂ˾;¼ ̾º¾ Ì»¼º»À¾¿¾¼

ÌÃÎÁ»Á Ì»Ï˻ƾоþ¼ º¾Ì¾¿ ºÇƾÀÁ¾¼¾À¾¼Ä ÑÇ ¾¼¿¾Ã¾¼Ò¾ Ì»ÃÂ˾;¼ ÓÎÀÂÁ Ì»Ï˻ƾоþ¼

Ë»ÃÌǼº¾Í º¾ÃÇ Ì»¼½¾Ð¾Ã¾¼ Ë»ÃÌÂÁ¾¿ ̾º¾ Ì»¼½¾Ð¾Ã ÔÕÖ×ØÙÖÚ ØÖÛÕÖÚÖÜÝ À»Ì¾º¾ Ì»¼½¾Ð¾Ã¾¼

Ò¾¼½ Ë»ÃÌÂÁ¾¿À¾¼ ̾º¾ Ì»Ï˻ƾоà ÔÞÖ×ÚÛÖÚß ØÖÛÕÖÚÖÜÝÄ àÀ¿ÇÓÇ¿¾Á Ì»Ï˻ƾоþ¼ ¿»ÃÓÎÀÂÁ

̾º¾ ¾À¿ÇÓÇ¿¾Á Ò¾¼½ Ë»ÃÎÃÇ»¼¿¾ÁÇ Ì¾º¾ ÌÃÎÁ»Á Ì»¼á¾ÃǾ¼ º¾¼ Ì»¼»Ï¾¼ ˻ú¾Á¾ÃÀ¾¼ ̾º¾

.
¿»ÎÃÇ Ë»Æ¾Ð¾Ã âãÛßÕÚäåÕæçæßèÖ Ñ¾Æ¾Ï ¿»ÎÃÇ Ë»Æ¾Ð¾Ã âãÛßÕÚäØÕæçæßè ºÇÌ»Ãá¾Ò¾Ç ˾Íé¾ Ë»Æ¾Ð¾Ã

Ï»ÃÂ̾À¾¼ ÌÃÎÁ»Á Á»Á»Îþ¼½ Ï»ÏË»¼¿ÂÀ Ì»¼½»¿¾Í¾¼ê ¾Ì¾À¾Í ˻ú¾Á¾ÃÀ¾¼ Á¿ÇÏÂÆÂÁ

¾¿¾Â þÁ¾ Ǽ½Ç¼ ¿¾Í Ҿ¼½ À¾¿Ä

ȼ¿»½Ã¾ÁÇ ¿»À¼ÎÆÎ½Ç º¾Æ¾Ï Ì»Ï˻ƾоþ¼ ϻϻÃÆÂÀ¾¼ Ì»¼½¾Ð¾Ã Ò¾¼½ ÁÇ¾Ì Ì¾À¾Ç

Á»Ã¿¾ ÓÆ»ÀÁÇË»Æ º¾Æ¾Ï Ï»¼½½Â¼¾À¾¼ ¿»À¼ÎÆÎ½Ç Á»ÁÂ¾Ç º»¼½¾¼ л¼ÇÁ Ͼ¿¾ ̻ƾоþ¼ Ò¾¼½

ºÇ¾ÏÌÂÄ ë»À»º¾Ã Ï»Ï̻ƾоÃÇ Ë¾½¾ÇϾ¼¾ á¾Ã¾ Ï»¼½½Â¼¾À¾¼ ÀÎÏÌ¿»Ã Ë»ÆÂÏ áÂÀÂÌ

¼¿ÂÀ Ï»Ï˾¿ Á»Îþ¼½ ¿»¼¾½¾ Ì»¼½¾Ð¾Ã ¼¿ÂÀ ϾÏÌ ϻ¼½½¾Ë¼½À¾¼ ¿»À¼ÎÆÎ½Ç º¾Æ¾Ï

Ì»Ï˻ƾоþ¼Ä ìƻϻ¼ Ò¾¼½ Ì»¼¿Ç¼½ º¾Æ¾Ï Ì»¼½Ç¼¿»½Ã¾ÁǾ¼ ¿»À¼ÎÆÎ½Ç Ç¾Æ¾Í Ì»Ï¾Í¾Ï¾¼

Ì»¼½¾Ð¾Ã ¿»Ã;º¾Ì ÇÁÇ Ì»¼½¾Ð¾Ã¾¼ º¾¼ ÇÏÌÆÇÀ¾ÁÇ Ò¾¼½ Ë»ÃÀ¾Ç¿¾¼ º»¼½¾¼ ¿»À¼ÎÆνÇÄ

í»½¾½¾Æ¾¼ Ì»¼½¾Ð¾Ã º¾Æ¾Ï Ï»Ï˾¿ º»Á¾Ç¼ Ò¾¼½ ˾ÇÀ º¾¼ ¿»ÆÇ¿Ç ¾À¾¼ ϻýÇÀ¾¼

Ì»Ï˻ƾоà º¾¼ ¾À¾¼ Ï»¼Ð¾ºÇÀ¾¼ ÌÃÎÁ»Á Ì»Ï˻ƾоþ¼ Ï»¼Ð¾ºÇ ÀÂþ¼½ »Ó»À¿ÇÓÄ ë»á¾Ã¾

À»Á»ÆÂÃÂ;¼¼Ò¾ê é¾Æ¾Â̼ ¿Çº¾À º¾Ì¾¿ ºÇ̾Á¿ÇÀ¾¼ Á»Ð¾ÂÍ Ï¾¼¾ Ǽ¿»½Ã¾ÁÇ »Ó»À¿ÇÓ º¾Æ¾Ï

Ï»¼Ç¼½À¾¿À¾¼ À¾ÆÇ¿¾Á Ì»Ï˻ƾоþ¼ê ¼¾Ï¼ ËÇƾ Ç¼Ç ºÇÌþÀ¿»ÀÀ¾¼ Á»Ï¾ÀÁÇÏ¾Æ Ï¼½ÀǼ

º¾Æ¾Ï Ì»Ï˻ƾоþ¼ê ϾÀ¾ Í¾Æ Ç¼Ç ¿»¼¿Â ¾À¾¼ º¾Ì¾¿ Ï»ÏÌ»ÃÆÇ;¿À¾¼ À»»Ó»À¿ÇÓ¾¼ Ò¾¼½

¼½½ÂÆÄ Ñ¾Æ¾Ï ËǺ¾¼½ Ì»¼ºÇºÇÀ¾¼ê ÈÉÊ ºÇ ½Â¼¾À¾¼ ¼¿ÂÀ Ï»¼Ð¾ºÇÀ¾¼ Ì»Ï˻ƾоþ¼

Æ»ËÇÍ Ë»ÃÀ»Á¾¼ º¾¼ Ï»¼¾ÃÇÀ Á»Ã¿¾ ϾÏÌ ϻ¼¾ÃÇÀ ÏǼ¾¿ ÏÂÃǺîÏÂÃǺ ¼¿ÂÀ ˻ƾоÃÄ

Ñ»¼½¾¼ ¾º¾¼Ò¾ Ǽ¿»Ã½Ã¾ÁÇ ÈÉÊ º¾Æ¾Ï Ì»¼ºÇºÇÀ¾¼ ¾À¾¼ Ï»¼Ð¾ºÇ Æ»ËÇÍ Ïº¾Í º¾¼

˾¼Ò¾À ǼÓÎÃϾÁÇ º¾Ì¾¿ ºÇºÇÁ¿ÃÇËÂÁÇÀ¾¼ À»Ì¾º¾ ̻ƾоÃÄ ë»Æ¾Ç¼ Ç¿Âê Ǿ º¾Ì¾¿ Ï»Ï˾¼¿Â

ÏÂÃǺ ¼¿ÂÀ Ï»¼½Â¾Á¾Ç Æ»ËÇÍ Ë¾¼Ò¾À ÇÆÏ º¾¼ ˻ú¾Ò¾ Á¾Ç¼½ º¾Æ¾Ï »Ã¾ Ì»¼ºÇºÇÀ¾¼

Ò¾¼½ Æ»ËÇÍ Ï»¼¾¼¿¾¼½Ä ï¾½Ç Ì»¼½¾Ð¾Ãê ÈÉÊ º¾Ì¾¿ Ï»Ï˾¼¿Â Ï»Ïð¾ÃǾÁÇÀ¾¼ Ï»¿Îº»

Ì»Ï˻ƾоþ¼ ÁÂ̾Ҿ Ǿ ¿Çº¾À Ï»ÏËÎÁ¾¼À¾¼Ä

ÅÂÆ¿ÇÏ»ºÇ¾ º¾Æ¾Ï ÈÉÊ Ò¾¼½ Ï»¼½½¾Ë¼½À¾¼ Ë»¼¿ÂÀ ½Ã¾ÓÇÁê ¾ÂºÇÎê ðǺ»Î º¾¼

¾¼ÇϾÁÇ Á»Ã¿¾ Ǽ¿»Ã¾ÀÁÇ Ï»¼Ð¾ºÇ ¿Ã»¼º Ïκ»Æ Ì»¼ºÇºÇÀ¾¼ ¾Ë¾º ǼÇÄ ñ»Ï˻ƾоþ¼ ò¾Ã¾À

ò¾ÂÍ Ò¾¼½ Ǽ¿»Ã¾À¿ÇÓ º¾Ì¾¿ ºÇƾÀÂÀ¾¼ ˾ÍÀ¾¼ º¾Æ¾Ï À»Æ¾Á Ï¾Ò¾Ä Ñ¾Æ¾Ï Ì»Ï˻ƾоþ¼

˾;Á¾ê ÏÇÁ¾Æ¼Ò¾ê Ì»¼º»À¾¿¾¼ óÉôÊ ÔõæÚÕä×Þ âãèèäÛæØ×ÕæçÖ ö×Û÷ä×÷Ö øÖ×ØÙæÛ÷Ý º¾Ì¾¿

Ï»Ï˾¼¿Â ̻ƾоà ¼¿ÂÀ ˻ƾоà ˾;Á¾ º»¼½¾¼ Ï»ÏÌþÀ¿»ÀÀ¾¼ ƾ¼½Á¼½ ˾;Á¾ Ò¾¼½

Á»º¾¼½ ºÇ̻ƾоÃÇ º»¼½¾¼ Ì»¼Â¿Âà ¾ÁÆÇ ÔÛ×ÕæçÖ ßùÖ×åÖÚßÝ Ï»Æ¾ÆÂÇ ÀÎϼÇÀ¾ÁÇ ÁǼÀÃμÇ

º¾¼ ¾ÁǼÀÃÎ¼Ç Ï»¼½½Â¼¾À¾¼ Öîè×æÞê ØÙ×ÕÕæÛ÷ê º¾¼ ÕÖÞÖåãÛúÖÚÖÛß .ûü ñ¾Ã¾ ̾À¾Ã Ï»¿ÎºÎÆνÇ
Ì»Ï˻ƾоþ¼ ˾;Á¾ Á»Ì¾À¾¿ ˾Íé¾ À»ÁÂÀ»Á¾¼ ˻ƾоà ¿»ÃоºÇ ºÇ Ͼ¼¾ ¿»Ãº¾Ì¾¿ »ÀÁÌÎÁ

Ò¾¼½ Ë»ÃϾÀ¼¾ ¿»Ã;º¾Ì ˾;Á¾ ¿¾Ã½»¿ º¾¼ Ǽ¿»Ã¾ÀÁÇ Ò¾¼½ Ǽ¿»¼ÁÇÓ º¾Æ¾Ï º¾¼ º»¼½¾¼

.
˾;Á¾ ¿¾Ã½»¿ê ˾ÇÀ º»¼½¾¼ ¾¿¾Â ¿¾¼Ì¾ À»Í¾ºÇþ¼ ÓÇÁÇÀ Û×ÕæçÖ ßùÖ×åÖÚ Å»Ï¾¼½ ˾¼Ò¾À

ýþ
ÿ     
                
   ! "#$%& '$()  *
+,,,-
 ./

¸¹¹
MIQOT 9:;< ===>9 ?:< @ AB;CDEFGFHIFJ @KLK

MNOPO QRSTUPR QR UNVN WTXNYNZ [N\NON UTV]NWNR SRV^MNS MTOPMOTONV SNVWN UTV^NQNMNV

M_VSNM XNV^OPV^ QTV^NV UNO`NZNMNS SNZ^TS abcdefb ghgijcbkhlmn oNXNPWPV QTURMRNV

STSNW QRNMPR WPXN [N\pN RVSTZNMOR WORM_X_^RO QTV^NV [N\NON NORV^ UTU[NVSP WZ_OTO

WTUTZ_XT\NV [N\NON NORV^n qTUPQN\NV `NV^ QRSNpNZMNV rst NQNXN\ UTUPV^MRVMNV

WTXNYNZ [N\NON NORV^ PVSPM UTV^NQNMNV M_VSNM XNV^OPV^ QTV^NV [N\NON SNZ^TSn

uTZNV OT_ZNV^ ^PZP QNXNU WTV^RVST^ZNORNV rst QTV^NV WTVQRQRMNV UTVYNQR

SPUWNV^ SRVQR\ NSNP dfvilvclbw QR UNVN xPV^OR WTV^NYNZNV UTZTMN QR^NVSRMNV _XT\

UTORVw OTQNV^MNV ^PZP \NV`N ZRXTMOn yMNV STSNWRw WTZNV UTZTMN OT[TVNZV`N UTVYNQR

OTUNMRV WTVSRV^w MNZTVN WTZNV STZOT[PS NMNV [TZ[TQNz[TQN OTOPNR SN\NWzSN\NW

WTU[TXNYNZNVw OT[TXPU WTXNYNZNV QRUPXNRw OTXNUN WZ_OTO WTU[TXNYNZNVw QNV OTSTXN\

WTXNYNZNV [TZNM\RZn {T[TXPU WTXNYNZNV QRUPXNRw ^PZP NQNXN\ OT[N^NR WTZNV]NV^w

UTV^T]TM OPU[TZ [TXNYNZ QNV WTZXTV^MNWNV rtw UTXNMPMNV WTVRVYNPNV NpNX agdf|kf}m

STZ\NQNW [N\NV WTXNYNZNVw QNV UTV^NVSRORWNOR [TZ[N^NR MTUPV^MRVNV WTZUNONXN\NV

`NV^ NMNV SRU[PX OTXNUN WZ_OTO WTU[TXNYNZNVn {TXNUN WZ_OTO WTU[TXNYNZNVw ^PZP

UTU_VRS_Z NMSR~RSNO RVOSZPMOR_VNX QNV UTUxNORXRSNOR [TZ[N^NR ~NZRNOR [TXNYNZ `NV^

UTUWZ_OTO WTV^NXNUNV [TXNYNZ OROpNn {TXTONR WTU[TXNYNZNVw ^PZP WTZXP UTdf|kf} UNSTZR

QNV WTV^NXNUNV [TXNYNZ OROpN [TZ[NORO rstw QNV UTUWNOSRMNV NQNV`N MTSTZMNRSNV `NV^


YTXNO UNSTZR QNV WTV^NXNUNV [TXNYNZ QTV^NV MPZRMPXPU QNV WZ_OTQPZ WTVRXNRNVn

rVST^ZNOR rst QNXNU WTVQRQRMNV UTV^NM_U_QRZ ST_ZR [TXNYNZ f‚c|khdkbƒ `NV^

QRW_WPXTZMNV _XT\ „n…n {MRVVTZw QR UNVN WTXNYNZ NMNV UTV^TU[NV^MNV [TVSPM ZTOW_VV`N

OT]NZN [TZSN\NW STZ\NQNW OSRUPXPO MTSRMN ZTOW_V UTZTMN QRRMPSR _XT\ dfkl†hd‡fˆflb

STZSTVSPn tP^NO `NV^ QR[TZRMNV UTXNXPR M_UWPSTZ OT[N^NR OSRUPXPO QRZTOW_V _XT\ OROpN

QTV^NV UTU[TZRMNV YNpN[NVw MTUPQRNV QR[TZR WTV^PNSNV _XT\ WZ_^ZNUw PUWNUNV`N

QTV^NV UTUPV]PXMNV pNYN\ `NV^ STZOTV`PUw NWN[RXN YNpN[NV UTZTMN [TVNZn ‰TV^NV

]NZN RVRw WTXNYNZ NMNV UTV^TU[NV^MNV WTV^TSN\PNV QNV MTSZNUWRXNVV`Nn tP^NOzSP^NO

UTZTOW_V QNV dfkl†hd‡fˆflb RVR QRNU[RX NXR\ _XT\ UTORV M_UWPSTZ QNV WZ_^ZNUV`Nn

rVST^ZNOR rst QNXNU WTVQRQRMNV YP^N UTV^NM_U_QRZ ST_ZR [TXNYNZ Šhelkbk|kƒˆw QR

UNVN QTV^NV [NVSPNV rstw OROpN UTXNMPMNV WZ_OTO [N^NRUNVN RVx_ZUNOR QRSTZRUN aSTMOw

OPNZNw ^NU[NZw ^ZNxROw NVRUNOR NSNP UPXSRUTQRN RVSTZNMSRxmw QRWZ_OTO QNV QRORUWNV QNXNU

M_UW_VTV UTU_ZRw [NRM YNV^MN WTVQTM UNPWPV YNV^MN WNVYNV^n sNZN MTZYN _SNM OROpN

QNXNU WTU[TXNYNZNV [TZ[NORO rst QRNZN\MNV UTV^RMPSR ]NZN MTZYN M_UWPSTZw `NV^ _XT\

‹TX~RV Œn {RX[TZUNVVw PZP „TONZ qNYRNV uORM_X_^R uTVQRQRMNV QR tTUWXT ŽVR~TZORS`


yUTZRMN {TZRMNSw QRNVNX_^RMNV SRQNM YNP\ [TZ[TQNw MNZTVN MTQPNV`N SRQNM \NV`N OTMTQNZ

UTVTZRUN RVx_ZUNORw STSNWR UTV^_XN\V`Nn {T[N^NRUNVN M_UWPSTZw _SNM WTZXP QR\RQPWMNV

STZXT[R\ QN\PXPw [NZP QRN NMNV UTVTZRUN klgib QNSNn qTSRMN MT^RNSNV [TXNYNZ ORxNSV`N

‘
’F;“C” •< –C;IFJHF”— ˜™š›œ žŸ ¡›¡¢£ 101 ¤š Ÿš¢›¥ š¦ §Ÿ™¨ ˜¡© ¤ª«¬™š ­®:G¯:”°

±;;²” ³”´ ®³µ:”— L¶¶·¸<


¹
º»:”´³ ®²J”F— §¨ ¤™ š— ¯FJ¼< –BGC ½BJ¾:¿: ­A³¿³J¯³° ÀJ³HF´C³— ¯<¯<¸— »< LÁ<

678
  !"# $% & !' #&

,
ÅÆÇÈÉÊ ÈËÌ ÍÎÏÆÏËÈ ÐËÆÑ ËÈÒÆÑ ÇÎÒÆÓÔ ÕÈÒÌÅ ÆËÆÌ ÍÎÏÆÒÆ ÅÆÒÆ ÅÐÇÈÇÈ Ö×× ÒÆÓ ÅÎÏØÌ ÒÈÕÈÒÌÅÑÆÓ

ËÎÏØÎÍÈÕ ÒÆÕÌØÌÙ ÚÈÇÛÆ ÒÈÍÈÜÍÈÓÔ ÌÓËÌÑ ÜÎÓÔÈÓËÎÏÅÏÎËÆÇÈÑÆÓ ÒÆËÆ ÆÔÆÏ ÒÈÅÆÕÆÜÈ ÒÆÓ

ÑÎÜÌÒÈÆÓ ÒÈÇÈÜÅÆÓ ÆÔÆÏ ÍÈÇÆ ÒÈÜÈÓËÆ ÑÎÜÍÆØÈ ÍÈØÆ ÒÈÅÎÏØÌÑÆÓÙ

ÝÓËÎÏÆÑÇÈ ÅÎÓÒÈÒÈÑÆÓ ÒÆØÆÜ ÝÞß ÆËÆÌ ÈÓËÎÏÆÑÇÈ ÑÐÜÅÌËÎÏ ÍÎÏÍÎÒÆ ÒÆÏÈ ÈÓËÎÏÆÑÇÈ

ÅÎÓÒÈÒÈÑÆÓ ËÆÓÅÆ ÝÞßÙ ÝÓËÎÏÆÑÇÈ ÜÎÜÍÆàÆ ÍÌÑÌ ÍÎÏÌÍÆÕ ÜÎÓáÆÒÈ ÜÎÜÍÆàÆ ØÆâÆÏ ÜÐÓÈËÐÏÙ

ãÎÓàÆÏÈ ÍÌÑÌÊ ÍÎÏÌÍÆÕ ÜÎÓáÆÒÈ ÜÎÜÍÌÑÆ ÉÈØÎÊ ÜÎÜÍÌÑÆ ÕÆØÆÜÆÓ ÍÎÏÈÑÌË ÍÎÏÌÍÆÕ

ÜÎÓáÆÒÈ ÑØÈÑ äÕÆØÆÜÆÓ ÍÎÏÈÑÌËÓâÆå ÆËÆÌ æçè éè êëìè xt Ù ãÎÓÒÎÓÔÆÏÑÆÓ àÎÏÆÜÆÕ ÔÌÏÌ

ÍÎÏÌÍÆÕ ÜÎÓ áÆÒÈ ÜÎÓ ÒÎÓÔÆÏÑÆÓ ÇÌÆÏÆ ÏÎÑÆ ÜÆÓ Æ ÌÒÈÐÊ ÅÎÜÎàÆÕÆÓ ÜÆÇÆØÆÕ

ÍÎÏÑÎØÐÜÅÐÑ ÍÎÏÌÍÆÕ ÜÎÓáÆÒÈ ÅÎÜÎàÆÕÆÓ ÜÆÇÆØÆÕ ÜÎØÆØÌÈ áÆÏÈÓÔÆÓ ÑÐÜÅÌËÎÏ ÆËÆÌ

ÍÎÏÒÈÆØÐÔ ÒÎÓÔÆÓ ÑÐÜÅÌËÎÏ ÅÈÓËÆÏÙ íÆÓâÆÑ ÜÐÒÎØ ÈÓËÎÏÆÑÇÈ ÅÎÜÍÎØÆáÆÏÆÓ ÆÑÆÓ ÒÆÅÆË

ÒÈØÆÑÌÑÆÓ ÒÎÓÔÆÓ ÝÞß ÍÎÏÍÆÓÒÈÓÔ ÅÎÜÍÎØÆáÆÏÆÓ ÑÐÓîÎÓÇÈÐÓÆØÊ ÇÎÅÎÏËÈ ÍÎÏÈÓËÎÏÆÑÇÈ

s
ÒÎÓÔÆÓ îÎÏÇÈ Ö×æïëðè s
âÆÓÔ îÆÏÈÆËÈÉÊ ÈÓËÎÏÆÑÇÈ ÒÎÓÔÆÓ ÒÆËÆ ÏÈØØÊ ÒÎÓÔÆÓ Ö×æïëðè ØÆÈÓÊ

ÒÎÓÔÆÓ ÅÎÓÔÔÌÓÆ ØÆÈÓÊ ÒÎÓÔÆÓ ØÈÓÔÑÌÓÔÆÓ ÒÌÓÈÆ ØÌÆÏÊ ÒÆÓ ÒÎÓÔÆÓ ÈÓÉÐÏÜÆÇÈ âÆÓÔ

ÒÈÒÈÇËÏÈÍÌÇÈÑÆÓ ÒÆÏÈ ÍÎÏÍÆÔÆÈ ÇÌÜÍÎÏ ÈÓÉÐÏÜÆÇÈ ØÌÆÏÙ

-
ñ ñòóôëæõÖö ÜÎÜÍÎÏÈ ÅÎØÌÆÓÔ ÌÓËÌÑ ÜÎØÆÑÌÑÆÓ áÆÓÔÑÆÌÆÓ ÑÎÅÆÒÆ ÅÎÜÍÎØÆáÆÏ

âÆÓÔ ØÎÍÈÕ ØÌÆÇ ÒÎÓÔÆÓ ÇÆÏÆÓÆ ÅÎÓÒÈÒÈÑÆÓ âÆÓÔ ÇÎÏÍÆ îÈÏËÌÆØÊ ÇÎÅÎÏËÈ ÅÎÏÅÌÇËÆÑÆÆÓ

ÎØÎÑËÏÐÓÈÑÊ ØÆÍÐÏÆËÐÏÈÌÜ ÎØÎÑËÏÐÓÈÑÊ ÍÌÑÌ ÎØÎÑËÏÐÓÈÑÊ ÑÐÏÆÓ ÎØÎÑËÏÐÓÈÑÊ ÜÆáÆØÆÕ

ÎØÎÑËÏÐÓÈÑÊ áÌÏÓÆØ ÎØÎÑËÏÐÓÈÑÊ ÑÐÓÇÌØËÆÇÈ ÎØÎÑËÏÐÓÈÑÊ ÒÈÇÆÈÓ ÅÎÜÍÎØÆáÆÏÆÓÊ ÒÈÇÑÌÇÈÊ ôçëõöì t Ê

v
Î÷ÜÆÈØÊ õòèÖ ôÖö×èðèöôè , w
ÒÆÓ èø ùëìè Ù

úÎÜÌÒÆÕÆÓ÷ÑÎÜÌÒÆÕÆÓ âÆÓÔ ÒÈÇÎÒÈÆÑÆÓ ÈÓËÎÏÓÎË ÈÓÈ ÒÆÅÆË ÒÈÆÅØÈÑÆÇÈÑÆÓ ÒÆÓ

ÒÈÈÓËÎÔÏÆÇÈÑÆÓ ÑÎÅÆÒÆ ÒÌÓÈÆ ÅÎÓÒÈÒÈÑÆÓ ÌÓËÌÑ ÜÎÓâÆÜÅÆÈÑÆÓ ÜÆËÎÏÈ ÅÎØÆáÆÏÆÓÊ

ÜÎÜÍÎÏÈ ËÌÔÆÇ ÅÎÓÒÆØÆÜÆÓ ÜÆËÎÏÈ ÑÎÅÆÒÆ ÅÎØÆáÆÏÊ ÜÎÜÍÎÏÈ ÑÎÇÎÜÅÆËÆÓ ÑÎÅÆÒÆ ÅÎØÆáÆÏ

ÌÓËÌÑ ÜÎÓáÎØÆáÆÕÈ ÈÓÉÐÏÜÆÇÈ âÆÓÔ ËÆÑ ËÎÏÍÆËÆÇÊ ÍÎÏËÆÓâÆÊ ÍÎÏÒÈÇÑÌÇÈÊ ÍÎÏÒÎÍÆËÊ

ÜÎÓÔÈÏÈÜÑÆÓ ÜÆÑÆØÆÕÊ ÐÅÈÓÈÊ ÑÏÈËÈÑÊ ÜÎÜÍÌÆË ËÎÜÌÆÓÊ ÍÎÏÒÈÆØÐÔ ÒÎÓÔÆÓ ÅÏÐÉÎÇÐÏÊ ÇÆØÈÓÔ

ÍÎÏÑÐÜÌÓÈÑÆÇÈ ÒÆØÆÜ ÌÅÆâÆ ÜÎÜÅÏÎÆÑËÎÑÑÆÓ ÍÆÕÆÇÆ ÆÇÈÓÔ âÆÓÔ ÇÎÒÆÓÔ ÒÈÅÎØÆáÆÏÈÊ

ËÎÏÜÆÇÌÑ ÅÏÆÑËÎÑ ÍÎÏÍÆÕÆÇÆ ÆÇÈÓÔ ÒÎÓÔÆÓ öëæõè ùèëûèðv s t


ÜÎØÆÌÈ üöæèðöè ýÖõôè ÆËÆÌ

ÜÎÒÈÆ ØÆÈÓÓâÆÙ þÅÆ âÆÓÔ ÒÆÕÌØÌ ÑÆØÆ ËÈÒÆÑ ÅÎÏÓÆÕ ËÎÏÅÈÑÈÏÑÆÓ ÑÎËÈÑÆ ÿÆÜÆÓ ÝÞß ÍÎØÌÜ

ÆÒÆÊ ÇÎÑÆÏÆÓÔ ÇÌÒÆÕ ÍÌÑÆÓ ÜÎÏÌÅÆÑÆÓ ÜÈÜÅÈ ØÆÔÈÙ ßÈÓÔÔÆØ ÍÆÔÆÈÜÆÓÆ ÅÎÓÎÏÆÅÆÓÓâÆ

ÐØÎÕ ÅÎØÆÑÌ ÅÎÓÒÈÒÈÑÆÓ ËÎÏÌËÆÜÆ ÅÎÓÒÈÒÈÑÆÓ ÝÇØÆÜ ÒÆØÆÜ ÜÎÓáÆØÆÓÈ ÅÏÐÇÎÇ ÅÎÓÒÈÒÈÑÆÓ

ÝÇØÆÜ ÒÈ ÜÆÇÆ ÒÆËÆÓÔ âÆÓÔ ÇÎÜÆÑÈÓ ÍÆÓâÆÑ ËÆÓËÆÓÔÆÓ ÔØÐÍÆØÙ

P i P gg
    

ÆØÆÌÅÌÓ -
ÜÐÒÎØ è ñòóôëæõÖö ÜÎÜÈØÈÑÈ ÒÆâÆ ÅÈÑÆË âÆÓÔ ÇÆÓÔÆË ÍÎÇÆÏÊ ÍÎÍÎÏÆÅÆ

ÅÎÏÇÐÆØÆÓ ÍÎÇÆÏ ËÎÏÒÆÅÆË ÒÆØÆÜ ÑÐÓËÎÑ ÍÌÒÆâÆ ÈÓËÎÔÏÆÇÈ ÒÆÓ ÆÅØÈÑÆÇÈ ÝÞß ÒÆØÆÜ

ÅÎÓÒÈÒÈÑÆÓÙ ÆØ ÈÓÈ ÑÆÏÎÓÆ ÈÓËÎÔÏÆÇÈ ÝÞß ÒÆØÆÜ ÅÎÓÒÈÒÈÑÆÓÊ ËÎÏÌËÆÜÆ ÒÈ ÝÓÒÐÓÎÇÈÆ ØÎÍÈÕ÷
ØÎÍÈÕ ØÆÔÈ ÅÆÒÆ ËÆËÆÏÆÓ ÇÎÑÐØÆÕ÷ÇÎÑÐØÆÕ ÒÈ ÍÆÛÆÕ ÓÆÌÓÔÆÓ ÎÅÆÏËÎÜÎÓ þÔÆÜÆÊ ÜÆÇÈÕ
ÍÎÏÆÒÆ ÅÆÒÆ ÌÇÈÆ ÍÆâÈ ÒÆÓ ÍÎØÌÜ ÜÎÓàÆÅÆÈ ËÆÕÆÅ âÆÓÔ ÜÎÜÍÆÓÔÔÆÑÆÓÙ ÆÜÍÆËÆÓ è-
u
ñòôëæõÖö ÒÈ ÝÓÒÐÓÎÇÈÆ ÆÒÆØÆÕ 

ÂÃÄ
MIQOT +,-. ///0+ 1,. 2 34-567898:;8< 2=>=

?@ABCDC. EFGHI JFKLFMJHNMOP QRSQ BATUB UVWR@BX OPYJH ZFKHLP[PM LH\POP LFGP]PK
\PKY Z^GP LFGP]PK N^M_FM`Y^MPGa JFKHJPIP Z^GP Z^M\^N ZF`PMJKFM \PM IP\KP`P[a NF
LH\POP LFKLP`Y` bcde fJYNP ZFM\Y\YNPM LFKLP`Y` YMJFKMFJ LFGHI JFKHIH`NPM \PM
JFK`^`YPGY`P`Ya LFgYJH ]HgP JYMgNPJ NFZFKhPOPPM IP`OPKPNPJ OPMg IP`Y[ IFKPgHNPM
_PGY\YJP` [P`YGMOPe iFKHLP[PM Z^GP ZFILFGP]PK \PKY OPMg hFM\FKHMg ZP`Yj IFMHMggH
IPJFKY ZFM\Y\YNPM NFZP\P ZFILFGP]PK OPMg PNJYj IFMhPKY IPJFKY ZFM\Y\YNPMe

k@lTC. mPKPMP \PM ZKP`PKPMP LFGHI IFIP\PYa `F[YMggP jP`YGYJP` OPMg \Y`F\YPNPM
IP`Y[ LFGHI GFMgNPZa \PM NFLPMOPNPM `FN^GP[ hHIP \YGFMgNPZY \FMgPM LFLFKPZP
ZK^]FNJ^K nco `P]P \PM `FJYPZ NFGP` IP`Y[ LFGHI IFIZHMOPY `PJH nco ZK^]FNJ^Ke
pNYLPJMOPa gHKH OPMg `H\P[ IFIYGYNY NFJKPIZYGPM IFMgYMJFgKP`YNPM bcd \PGPI
ZFILFGP]PKPMa ]H`JKH JY\PN IFMgPZGYNP`YNPMMOP \PGPI ZK^`F` ZFILFGP]PKPMe qHKH LY\PMg
`JH\Y dbr `FM\YKY [PMOP IPIZH IFMgP]PKNPM PZP OPMg P\P \PGPI LHNH JFN`a JPMZP \YP
`FM\YKY JFKGYLPJ GPMg`HMg \PGPI ZFMgYMJFgKP`YPM dbr \PGPI ZFILFGP]PKPMe

k@BRSC. sYMYIMOP mos OPMg IFIP[PIY \PM IFMgHP`PY \FMgPM LPYN N^M`FZ \PM
YIZGFIFMJP`Y bcd \PGPI ZFM\Y\YNPMe mF[YMggP hPKP ZFILFGP]PKPM IFKFNP IP`Y[
LFKLFMJHN JKP\Y`Y^MPG OPYJH \FMgPM IFMggHMPNPM ZPZPM JHGY` t[YJPI PJPH ZHJY[u \PM
NPZHK JHGY` PJPH `ZY\^Ge dbr [PMOP IFM]P\Y IPJP ZFGP]PKPM OPMg [PMOP \Y[PjPG
LFK\P`PKNPM LHNH JFN` \PM LFKP\P ZP\P JPJPKPM GF_FG N^gMYJYj OPMg ZPGYMg LPvP[ OPYJH
`FNF\PK wxVyz@lS@a \PM JY\PN `PIZPY ZP\P GF_FG PZGYNP`Ye bMY IFMgPNYLPJNPM ZPKP ZF`FKJP
\Y\YN [PMOP JP[H JPZY JY\PN JKPIZYG IFM]PGPMNPMMOPa PZPGPgY JFKPIZYG IFKPvPJ ZFKPGPJPM
dbr \PM IFMgFILPMgNPM ZK^gKPI OPMg P\P \Y \PGPIMOPe rFPGZPPM YGIH \PM
NFJKPIZYGPM IFM]PGPMNPM bcd YMY IFM]P\Y ZFMg[PGPMg \PGPI YMJFgKP`Y bcd \PGPI
ZFM\Y\YNPMe

k@@D{CB . |PGPHZHM [PKgP ZFM\Y\YNPM \PZPJ \YJFNPMa MPIHM LYPOP HMJHN


IFMOF\YPNPM JFNM^G^gY ZFMgPN`F`MOP LFKJPILP[e

k@zRDCe fJYNP \PM I^KPGYJP` IP`Y[ LFGHI IFM\PZPJ JFIZPJ OPMg JFZPJa `F[YMggP
`Y`JFI @ - }lTWCBRVx \YIPMjPPJNPM ^GF[ ZY[PN~ZY[PN JFKJFMJH HMJHN IFGPNHNPM
ZFGPMggPKPM FJYNP \PM I^KPGYJP`a `FZFKJY IFM]P]PNPM `YJH` Z^KM^gKPjYe

k@@xCD dFKLPJP`MOP ZFK`F\YPPM PGYKPM GY`JKYNe c^MJ^[MOP `FN^GP[~`FN^GP[ \Y


ZF\PGPIPMa NFLPMOPNPM JY\PN \YGFMgNPZY \FMgPM ZFKPGPJPM bcda IPGP[ P\P OPMg
ZFMggHMPPM GY`JKYN [PMOP HMJHN € ]PIe sP`PGP[ GY`JKYN IFKHZPNPM ZFK`^PGPM LF`PK
\PM HJPIP LP[NPM ]HgP \Y ZFKN^JPPM \Y IPMP GY`JKYN JY\PN `JPLYGe dFK\PZPJ SC{ OPMg
`PMgPJ LF`PK PMJPKP `FN^GP[ \Y ZFKN^JPPM \PM \Y ZF\F`PPM \PGPI NFJFK`F\YPPM jP`YGYJP`
bcde oY ZFKN^JPPMa ZPKP JFMPgP ZFM\Y\YNPM \PZPJ IFMgFG^GP NFGP` bcd \FMgPM GPMhPK
\FMgPM P\PMOP PGYKPM GY`JKYN OPMg hHNHZ \PM IFIP\PYe oFMgPM \FIYNYPM `Y`vP \PM
gHKH JY\PN JFKFN`Z^` GPMg`HMg \FMgPM ZFMggHMPPM bcde pN[YKMOPa N^IZHJFKa
`FLPgPYIPMP \Y`FLHJNPM \Y PJP`a [PMOP \Y]P\YNPM LP[PM ZP]PMgPM `P]Pe

k@BT‚TQ. p\PMOP ZFK`FZ`Y OPMg NHKPMg Z^`YJYj \Y NPGPMgPM ZPKP ZFM\Y\YN JFMJPMg

()*
ÒÓÔÕÖ×ØÙ ÚÛÜÝÞÓÖßØ Úàá ×ÖâÖÕ ÒÝÛ×Ø×ØãÖÛ ÚßâÖÕ

†‡ˆ‰ Š‹Œ‹Ž ‘’“”• –—˜Œ™Ž‹ š›œ ˜‹œ›œ›Œ †‡ˆ Š‹ž›› ž››œ ˜‹Ÿ›  ¡›œ ™œŽ™–
˜‹œ›Œ¢–›Š–›œœš› ˜‹˜‹¢™–›œ –‹› ¢›œ – ™Š™Š£ ¤‹Š‹ŒŠ œ ˜‹œ›–ž›Ž–›œ Œ››
Œ‹œ¡¡– Ž¡›– ˜›™ ˜‹œ™œ›–›œ –—˜Œ™Ž‹‰ –›‹œ› Ž›–™Ž ›–›œ Ž‹¥›¡ –‹™Š›–›œ£
¦– œš›‰ ˜‹‹–› Ž¡›– ˜›™ ˜‹œ™œ›–›œ –—˜Œ™Ž‹ ™œŽ™– ˜‹˜ž›œŽ™ ˜‹‹–› ¡›¢›˜
Œ—§‹Šœš› Š‹ž›› Ž‹œ›› –‹Œ‹œ¡¡–›œ‰ Œ›¡› ›¢ œ ˜‹™Œ›–›œ Š›Ž™ –‹˜‹ŠŽ›œ ¡ ›ž›¡
œ£ ¨›¢›  Š›Ž™ Š‹ž›ž ˜‹œ›Œ› —›œ Ž¡›– ˜‹œ¡›Œ›Ž–›œ ›Œ› š›œ ˜‹‹–› œœ–›œ
›¡›¢›  –›‹œ› ˜‹‹–› ¢‹ž  ˜‹˜––›œ ›Œ› š›œ Ž¡›– ˜‹‹–› œœ–›œ ¡›Œ›¡› ›Œ›
š›œ ˜‹‹–› œœ–›œ£ ©™–™˜ Ž›– ˜‹œ›– Ž¡›– ˜‹˜ž‹¡›–›œ ›Œ› š›œ ¡œœ–›œ
¡›œ ›Œ› š›œ Ž¡›– ¡œœ–›œ£ ª‹Ž–› Œ–›œ Š‹Š‹—›œ ž‹§—–™Š Œ›¡› Š‹Š™›Ž™‰ Ž‹¢‹Œ›Š
¡› ›Œ› Œ™œ Š‹Š™›Ž™ Ž™‰ Š‹ž‹œ›œš› ¡› Š‹¡›œ ˜‹˜›œ¢ Š‹Š™›Ž™ Ž™ ™œŽ™–  ›¡£ «¬
ª‹Ž–› Š‹—›œ ™™ ˜‹˜›œ­›–›œ Šœš›¢ –‹Œ™Ž™Š›Š››œ ¡›¢›˜ Œ–›œœš› ¡›œ
˜‹œ›œ›Œ –—˜Œ™Ž‹ Š™¢Ž ¡—Œ‹›Š–›œ‰ ˜›–› Ž™¢›  š›œ ›¡› ¡›¢›˜ –‹ ¡™Œ›œœš›‰
Š‹ œ› –—˜Œ™Ž‹ ž›œš› ˜‹œ¥›¡ Š‹Š™›Ž™ š›œ ž‹œ›®ž‹œ› Š™¢Ž ™œŽ™– ¡—Œ‹›Š–›œ£
ª‹Ž–› Š‹Š‹—›œ Ž¡›– œœ Š‹Š™›Ž™ ˜‹œ¥›¡ ¥‹¢‹–‰ Š‹Œ‹Ž ™Š›–œš› –—˜Œ™Ž‹‰ ¡›œ
Œ–›œœš› Š‹Ž›Œ Š››Ž ˜‹˜›œ­›–›œ Šœš›¢®Šœš›¢ Ž™ –‹ ™¡››‰ ˜›–› ¥™ŠŽ™ š›œ ¥‹¢‹–
Ž™¢›  š›œ ˜™œ­™¢ ¡›¢›˜ –‹ ¡™Œ›œœš›‰ –›‹œ› Šœš›¢®Šœš›¢ š›œ ¡Œ›œ­›–›œœš›
Š‹Ž›Œ ¡‹Ž– Ž™ ž‹œ›®ž‹œ› –‹˜ž›¢ –‹Œ›¡›œš›£

¯°±²²³±²´°µ°¶ ·¸±¹º¹º» ¹°¼°½ ·¸±²º±¾¸²¿°Àº°± Á¯ ¹°¼°½ ·¸±¹º¹º»°±

Û¢›˜ ›œ–› ˜‹˜—¡‹œŠ›Š–›œ Œ‹˜ž‹¢›¥››œ ¡‹œ›œ Œ‹œ™œ››œ †‡ˆ‰ ž››®


˜›œ›Œ™œ‰ Œ›› Œ‹œ›¥›  ›™Š Ž‹¢‹ž  ¡› ™¢™ ˜‹œ™›Š› –‹˜› ›œ Œ‹œ™œ››œ †‡ˆ
¡›¢›˜ Œ‹˜ž‹¢›¥››œ£ ¤›› Œ‹˜ž‹¢›¥› ¥™›  ›™Š ˜‹˜›œ§››Ž–›œ Œ‹¢™›œ ™œŽ™– ˜‹˜Œ‹®
–›š› –‹Ž‹›˜Œ¢›œ ˜‹‹–› ¡‹œ›œ †‡ˆ£ ˆ¡›– ¡›Œ›Ž ¡Š›œ–›¢ ¢› ž› Ÿ› œŽ‹›Š †‡ˆ
¡›¢›˜ Œ‹œ¡¡–›œ  ›œš› ›–›œ ‹§‹–Ž§ ¥–› –‹Ž‹Š‹¡››œ Œ‹›œ–›Ž ¡›œ §›Š¢Ž›Š †‡ˆ
¢‹œ–›Œ ¡›œ Œ›› Œ‹œ›¥› ˜‹˜¢– ›Š™˜Š š›œ Œ—ŠŽ§ ¡›œ Ž¡›– ›¡› ‘’“”• –—˜Œ™Ž‹£

¤›› Œ‹œ¡¡–‰ Ž‹™Ž›˜› Œ‹œ¡¡– ˜›Š› ¡‹Œ›œ‰ ¡ ››Œ–›œ ¡›Œ›Ž ˜‹¢›–™–›œ Œ—Š‹Š
Œ‹˜ž‹¢›¥››œ ¡‹œ›œ ˜‹œ™œ›–›œ Œ‹œ¡‹–›Ž›œ ÄŐ’Æ”Ç’È”‰ ”ÉÅʔȔ‰ ¡›œ Ž‹— ž‹¢›¥›
˒ÉÆÌÇÈÊÌǔ͔ÆÎ ¡‹œ›œ †‡ˆ£ ¤‹œ™œ››œ †‡ˆ ¡›¢›˜ Œ‹˜ž‹¢›¥››œ Äx’”sǒȔ, ”ÉÏʔÈy
¡›œ ̒ÉsÇÈÊÌǔ”vsÎ ˜‹œ™œŽ™Ž Œ‹œ›¥› ¢‹ž  ž‹Œ‹›œ£ Ћ‹–› Œ‹¢™ –‹›Ž§ ¡›¢›˜
Œ‹˜ž‹¢›¥››œ ™œŽ™– ˜‹œ›– ˜œ›Ž ¡›œ –‹Š›Œ›œ ž‹¢›¥› Œ›› Œ‹Š‹Ž› ¡¡–£
ќŽ™– ˜‹œŠ™–Š‹Š–›œ œŽ‹›Š †‡ˆ ¡›¢›˜ Œ‹œ¡¡–›œ ¥™› Œ‹¢™ ›¡› œŽ‹›–Š
›œŽ›› Œ‹œ›Š™  ˜›Ž›Œ‹¢›¥››œ ¡‹œ›œ Œ‹˜ž‹¢›¥›£ ¤‹œ›¥› ¥™› ¡›Œ›Ž ˜‹œ–——¡œ
Œ‹˜ž‹¢›¥› – ™Š™Šœš› Œ‹¢›¥› š›œ ›Ž›–Ž§ ¡ ¡›¢›˜ –‹¢›Š‰ Š‹ œ› Œ‹œ™œ››œ †‡ˆ
¡›¢›˜ Œ‹˜ž‹¢›¥››œ ›–›œ ˜‹œ›– ˜œ›Ž Œ‹˜ž‹¢›¥› ž‹˜›Š›¢›  œ ™œŽ™– ˜‹œ–™Ž
Œ‹˜ž‹¢›¥››œ ¡ ¡›¢›˜ –‹¢›Š£ ¤‹œ›¥› ž‹Œ‹›œ ˜‹œ¥›¡ –—œŠ‹¢— ¡›œ Œ‹˜›œŽ›™ ™œŽ™–
˜‹˜ž˜žœ‰ ¡ Š›˜Œœ ˜‹œ‹–ŠŒ—Š ˜‹‹–› Ž‹ ›¡›Œ Ž‹–œ—¢— †‡ˆ£ ¨‹¢›œ Ž™‰
Œ‹œ›¥› ¡›Œ›Ž ˜‹˜ž‹ ¢›Ž ›œ Œ‹œ›š››œ ™œŽ™– ˜‹˜ž›Ž™ Œ‹˜ž‹¢›¥› š›œ ­‹Œ›Ž
¡›œ ‹˜‹¡›¢ ž› š›œ ¢‹˜›  ˜‹¢›¢™ †‡ˆ ¡‹œ›œ ˜‹œ™œ›–›œ ž‹ž›› §›Š¢Ž›Š †‡ˆ
¡›œ Œ—›˜ ›Ž›™ ˜—¡‹¢ ž‹¢›¥› š›œ ›¡› ¡ ¡›¢›˜œš›£
ƒ„…
MIQOT æçèé êêêëæ ìçé í îïèðñòóôóõöó÷ íøùø

úûüýþýÿ ýþþþýýü ûýþý ûûÿÿý ýþ 


û ÿ
ý  ý ý û ýý
ý ýþý ÿ û
ý û
ý ûý ýý ý ý ûþþýý  ûþýý ý  û ý
ûþýý ý  ý ûþþýý  ý ý ûüû ýý ý úû ýþ ýþý
û ûý ÿý ü ý  

ý ûüýþýÿ ý ý  ûþýý ûû ûý ý ÿ û

 û   ûþýý  ! "# ý ûüýþýÿý ýý ÿý ý ýý

ûüû ýý ÿÿ ý ûþý ÿý ÿý ûþû ýý û ûü ý ý ûû ýý ÿ ûý

üÿýþ ÿ ý þý ýýüÿ ý û ý ý ûüû ýý ý û ÿþý ýþ ûüÿ ÿþþÿ
ý ÿ úû ý ý ý ý û ý ûÿÿ ýý ýþÿ ûÿÿ 
û ÿ
ý ý ý ûý ý 

ûÿ ÿÿ ûÿ ý ý û ýÿ ý ûþþýý  ý ý ûüû ýý ý ý ý

ûýþ ûý ûý ýþ ûÿ ÿÿ ÿÿý   ûýÿ ûýþý ûûÿÿý ýþ

û ÿ
ý ý ûÿ ÿÿ ÿ ýÿ 
û ÿ ÿ ÿ ÿý þ
üý 

P$%&'&(
)û ûüýþý  ý ûû  ýÿ ûý ý û ûÿý 
û 

û*ý ý þ
üý  )ûþÿ ûþ ý ÿý  ý ý ûÿÿý ûüýý û üýý üû ý ý ý
ÿý ûÿÿý üýÿ ýý ý ý ý 
 û û
ÿ ý ý ÿý ÿ )ûûý ý û

ý  ûÿ ûüû ýý ý üý  üû ý ý  ÿý üû ûüýþ û ýÿ û ûüýþý


 ÿ  ûÿ ÿ + ûÿÿý üû ýüû  ,-!#-./, -0/./1, - , -0. 2

ÿý ûý ÿ ý ý ý ý ÿý ÿ )ûþÿ ûþ ý ÿý  ý ý ûÿÿý  ý ûüýþýÿ


ý  ÿ û ý ÿ úÿ û )ûÿÿý 3ý ÿ
ý 
û ÿý ýý ý ý  ûû ÿý 4
 û
!#./"/, ýþ û ýý ûþþýüþý ûÿÿý ý ÿü ý ûý ÿ üýüý

üý  ÿý ûÿÿý û ý  )ûÿÿý  ý

5û ýý ÿ ÿ  ûÿ ýý ,60".- +#!.2 ûû ÿ ý 7 8ý úý ý  9ýÿ ý

úûý ý :ÿý 5ý ý ý : ýü 5ýý ý þþ ÿ ý ûüýþýÿý ÿý ýþÿ û ûý
ÿ  û û ý ÿ  ý  û *ý ý ý  ý  ýÿ ÿ
ý  ý  ý  û ý  ÿ û* ý ý 
û  ÿ  û ý  ÿ
ûþþýý  ÿûÿý ý ý üû üýþýÿ üû  ý û ûÿý ÿ üû üýþýÿ ûý ÿ

ÿý þ
üý  ÿ ûÿýý
û üû üýþýÿ üû ý ýý ÿý û ûþý ý *ûý 

ý  ý ýý ÿþýý ý ý û ý ýÿ ÿ


ý ý ý ý û ý ýý ý ý
;.#0 4
ÿ ÿ ÿÿ ýý ÿý û  üû ûüýþ ûþÿ ÿ ûýý üû ÿÿ ý ý ýý
ý û ý ûÿÿý 
û ÿ
ý  <= . )>4 û  ýý  ÿý ýý ýý
ûüý þ  
û ý ý ý ûÿÿ ýý û ÿþþý ý üýý ýý ÿý ûÿ ÿÿ
ýþ ý  û û ý ý   üû ý ý  ý ý üÿýþý  ý û ý û ý þ
üý ÿ ý ÿ
ûþ ýýý ý û 
û ÿ ÿ þý ûýÿ   ûÿÿý )ûÿÿ ýþ ÿý
ûÿ ÿÿ 
û û ÿ ý ý ûûýþý û *ý  ý þ
üý  ýý ûþý û*ý ý

û ý  û ÿ ÿý
û 
ÿ ÿ ýþ ÿý ÿ û*ýýý

?ý ý ûý ýý ý û ý  ýþ ý ÿ üû üý ý ý ý û ý üû  û üýý

ÿ  ýý ý û ý  ýþ ÿý ý ÿ )ûûý ý ?û


û ú ý ûþÿ ý ?
û )ûÿÿý
 ý ý ý ûý ý ÿ ûþý ýÿ û üýý ýÿüý û û ý ûþý üû üýþýÿ
ý û û ý  û ûüýþý û

þÿ 
ý ÿ ý 4
ÿý ÿ :ý û ýÿ 

äåä
¦§¨©ª«¬­ ®¯°±²§ª³¬ ®´µ «ª¶ª© ¦±¯«¬«¬·ª¯ ®³¶ª©

CDE FGEHIJ KGLIFDMDE KGECNCNJDE OPQDR HNCDJ CDKDH CNKDPHNJDES TGFGLDKD KLGCNJPN KGLQI

CNFIDH FGLCDPDLJDE UGEVRGED WDEX FGLQDJI PDDH NENS YXDL PGVLDEX KGECNCNJ FNPD GJPNP CN

RDPD CGKDEZ CNKGLQIJDE [NPN \DIM JG CGKDEZ CDE RGLDE]DEX PG\DJ CNEN JGPNDKDE CDE

KGLPNDKDE DKD WDEX MGECDJ CNFD^D XIED GJPNP CN RDPD CGKDES _GECNCNJ RGRNQNJN HIXDP

CDE HDEXXIEX\D^DF RGRKGLPNDKJDE DEDJ CNCNJ PIKDWD FNPD MNCIK HNCDJ CN `DRDE CND

RGEGLNRD NQRI KGEXGHDMIDE CDE JGHLDRKNQDEZ HDKN PGHGQDM CND CG^DPDS

_GLJGRFDEXDE Oab JG CGKDE HDRKDJEWD DJDE PGRDJNE QGFNM MGFDH CDLN WDEX DCD

PDDH PGJDLDEXS cdefgh HGJEVQVXNZ MDEWD DJDE RGECDHDEXJDE idefgh NHI PGECNLN JG CDQDR

JGMNCIKDE JNHDZ JDLGED MIJIR HDLNJjRGEDLNJ HNCDJ RGEXG]IDQNJDE DKD WDEX JNHD

NEXNEJDE CDE DKD WDEX HNCDJ JNHD NEXNEJDES YKD WDEX PGQDQI CNJNLNR VQGM KNJNLDE JNHDZ

\IPHLI NHI WDEX DJDE JGRFDQN CDE FGEDLjFGEDL JGRFDQN JGKDCD JGMNCIKDE JNHDS bDEHDEXDE

JG CGKDEZ OEHGXLDPN Oab CDQDR KGECNCNJDE OPQDR DCDQDM FIJDE PIDHI WDEX MDLIP CNMNECDLN

DJDE HGHDKN RGLIKJDE PIDHI DQHGLEDHNU KGECGJDHDE KGRFGQD\DLDE WDEX RGLIKDJDE PDHI

JGRGPHNDES kDQDI RDI HNCDJ HGLPNPNMJDE CN RDPD CGKDE CDQDR JVRKGHNPN KLVUGPNVEDQ

KDLD KGECNCNJZ PGVLDEX ]DQVE KGECNCNJ CDE KGQDJI KGECNCNJ PDDH NEN MDLIP RGRDPIJN

CDE FGLDCDKHDPN CGEXDE KGLJGRFDEXDE OabS _DQNEX HNCDJ FNPD PGFDXDN KGEXXIED CDQDR

RGRDEUDDHJDE Oab IEHIJ KGRFGQD\DLDEZ FNQD HNCDJ RDRKI PGFDXDN KGE]NKHD RGECNPDNE

CDE RGE]NKHDJDE PGECNLN lemnohpq KGECNCNJDE OPQDRS OENQDM \IXD FDLDEXJDQN HGLRDPIJ

PGQGRDMjQGRDM IKDWD CDQDR DEDQVXN JVEPGK ORDES rEHIJ JGFIHIMDE KGECNCNJDE DEDJj

DEDJ sIPQNR PGECNLNZ DCDQDM PIDHI WDEX RIPHDMNQ CNPGLDMJDE JGKDCD KDLD KGECNCNJ CDLN

JDQDEXDE EVEjsIPQNRZ JDLGED DJDE HNCDJ RGEXMDPNQJDE PGKGLHN WDEX CNJGMGECDJN CDQDR

HI\IDE KGECNCNJDE OPQDRS kGL\DPDRD KDJDL Oab CDE KGECNCNJDE OPQDR DJDE PGRDJNE

RGEXIFDM ^D\DM KGECNCNJDE OPQDR JG CGKDES tNRFDIDE CDE D\DJDE JGKDCD KDLD KGQDJI

KLVUGPN KGECNCNJDE OPQDR CDE ]DQVE KGECNCNJNU OPQDRZ DXDL RGE\DCNJDE Oab PGFDXDN PDHI

DQHGLEDHNU CDQDR KGLNQDJI FGLJDLWD CDQDR KLVUGPN PGFDXDN KGECNCNJ CDQDR HDHDLDE

KGECNCNJDE OPQDRS

Puvwxyx z{ux|
YCLNZ sIMDRRDCS }~p~ }e €e‚ ƒing„h€glhlg €e ~…n~† cq„fq€h‡hph…. ˆDJDLHD‰
kVRKIHNECVZ Š‹‹ŒS

YMRDCZ kMILPMNCZ qn h€S e„i~nqpl, Žh…~hq Žqhp…g… h… Žh…~hq qh‘dg…S aDRFLNCXG‰
aDRFLNCXG rEN[GLPNHW ’LVIKZ “”Œ•S

TWLEGZ –MVECDS dq —q‘pqnZ HGL\S ˜IPN _IL^VJVS ˆDJDLHD‰ ’LDRGCNDZ HSHS

™GšNHVZ ˆVPGKM YS e„„~…g‘hnge…. ›EXQG^VVC aQNUUPZ œSˆ‰ _LGE]HN]G tDQQZ HSHS

ˆVEGPZ YEEZ qn h€SS cqple…h€ e„i~nqpl mep glnh…‘q ž~‘hnge…‚ dq —n~Ÿ em h… ž~‘hnge…h€
 ……e¡hnge…S ¢VECVE‰ HSKSZ “””ŠS

kMDEZ –D]MGQ ›S  …nqp…qn 101‚ dq £qo ¤hll ¤qg~„ mep ¥g€gig…elS _DPNX aNHW‰ YE[NQ
_IFQNPMNEXZ OE]Z HSHS

@AB
MIQOT »¼½¾ ¿¿¿À» Á¼¾  ÃĽÅÆÇÈÉÈÊËÈÌ ÂÍÎÍ

ÏÐÑÒÓÒÔ ÕÖ×Ø ÙÖÑÐ×ÚÒ ÛÜÝÞÓÝß àáâãäåæçèé êçèëìí, îìïèçðçñæ áäè òíðæïäëæ óèåìôèìå
õìèáæáæïäè. öÒ÷øÝùÝÞÑÝú ûÐüÐÞýØÑ þÿÛ Ô ß

ûÞÒÓÝ×Ø, õìèáìïäåäè êçâèæïäåæ áäðä õììðääôäè ääëä òôä ìðäðâæ êìðäë ä


ä.
õìïäè äôâé âëïä õôìëë, 200 .
ûÞÒÓÝ×Øß û ØùÒÒ÷Ø Ò÷üØÑØ ×ÝÝÓ ûÐÞ ÐùÑØ ÝÓú þØùÝ ØüøÝ ×ÝÝÓ ûÐÓýÐÝÚÝÞÝü
ÖÝüÑÖÓ üÑÖù ûÐÓýÐüÑÖùÝü ÐÞØýÝ×ØÝü ÝÓ, ×ÝÝÓ ÜÝØ×ØÞ Úß ÓÝØ Ð×ßß

õs
æïçðçñæ óðsäé äðä
s ä, îìçôæ áäè òíðæïäsæ. ÖÝÝ ÖÓÖÞú ü ÑØÑÖÑ ÝÓ Ý×ÜÝÞØ

Ô ß

s æèñâæåsæï îìïsòôä
ûÞÒÓÝ×Øß òèäðæä suä õôìs,  .
ß õìïäèäôâé ï

ÙÐÑøÒ ßÔ þüÝü×Ýß òèæt êäñìtóèì


t ôèìt. ÝùÝÞÑÝú !ÞÐÝÑØ"Ð Ð×ØÝÔ ÑßÑß

ÙØýÐÞÓÝüÔ Ð"Øü ßÔ òãætì


v ìäôèæèñé ## åôäìt ñæìsåç îìäã òèy uìã.t ÕÒ ÑÒüú þøü
Ýü× ÕÝ$ÒüÔ %&ß

'ØØÝÓÔ Ø$ÜÝÐ Ûß óèåìñôäåæèñ îìãèçðçñ


óèåç îìäãæèñ äèá ìäôèæèñé (çèãìítäèá

òííððæãäåæçè. ÿÐ) öÒÞùú ûÞÐüÑØ$Ð ÝÔ ß

¸¹º
TU -./0 1/23/4 1/5/6 78 RS 7829:; /5<= UR>/0

? e@AeBCDED@ FGHIJ daK LBieKCDJi MaHw


ah NODhi

Iftitah Jafar
PQRSTUQV WQRXQY ZQ[ \]^S[_RQV_ `[_abcV_UQV dVTQ^ ebfbc_ g`deh iTQSZZ_[j
kTl mSTUQ[ iTQSZZ_[ e]l noj pQRQVVQcj qrsst
bu^Q_Tv YQVw_Y^Sxy^Q_Tlz]^

{|}~€~‚ ƒ„… †‡ˆ‰}…} ‰Š ‹…ŒŽ‰‡} }}‰  ‘}Œ€’ ˆ…}ˆ…~“…”


•–—˜ ™š›™œž Ÿ–ž  ¡—œ¢£¤™¥ ¡ Ÿ™ ¦¡œ§¤¨–¢¡— ¡¦ ©ª«¬ª ¡£­™ ¢®™ž¯ °Ÿ™¢œ
¡£­™ ¢®™ž –œ™ §¡ž¨˜ £–ž™¥ ¡— Ÿ™ ›™¡›¨™ ±Ÿ¡  ¡—¥¤  ©ª«¬ª – ¢®¢˜ ²©â i³ ¡œ
œ™¨¢´¢¡¤ž ¡œ´–—¢µ–¢¡—ž Ÿ– Ÿ¡¨¥ da wa –¦¦–¢œž¯ °Ÿ™ ¡£­™ ¢®™ž  –— –¨ž¡ £™ ¥™ž¢´—™¥
¡— Ÿ™  ¡—ž¢¥™œ–¢¡— ¡¦ Ÿ™ –¤¥¢™— ™ ² mad u ³¶ da wa –››œ¡– Ÿ™ž –ž ±™¨¨ –ž
 ¡—™§›¡œ–œ˜ ž¡ ¢–¨  ¡—™š¯ ·¡±™®™œ¶ –ž – Ÿ¡¨˜ –ž¸¶ da wa žŸ¡¤¨¥ £™ £–ž™¥ ¡—
Ÿ™ ¡£­™ ¢®™ž Ÿ– ¹¤œº–— ›œ¡›¡ž™¥¯ »ž – £¡¡¸ ¡¦ da wa¶ ¹¤œº–— ›¡¢—™¥ ž¡§™ da wa
¡£­™ ¢®™ž —–§™¨˜¼ œ–—ž¦¡œ§¢—´  ¡§§¤—¢˜ ¦œ¡§ ¥–œ¸—™žž ² zulumât³ ¡ Ÿ™ ¥¢®¢—™
¨¢´Ÿ ²nûr³¯ °Ÿ¢ž  –— £™ – Ÿ¢™®™¥ ›–œ¨˜ £˜ ™—Ÿ–— ¢—´ ›™¡›¨™ºž ¦–¢Ÿ ² îmân³ –—¥
¢§›œ¡®¢—´ Ÿ™¢œ ±¡œžŸ¢› ²½ ibâdah³¯ Da wa ¢ž –¨ž¡ ¥¢œ™ ™¥ ¡ ±¢— ¾¡¥¿ ¡—ž ¢¡¤ž—™žž
²taqwâ³ ¡®™œ ¢§§¡œ–¨ ¥¡¢—´ž ²fujûr³ –—¥ ™§›¡±™œ™¥ —–¤œ–¨ ¥¢ž›¡ž¢¢¡— ² fithrah³¯
À— –¥¥¢¢¡—¶ §¡¢®–¢—´ ›™¡›¨™ ¡ ž¤œœ™—¥™œ Ÿ™§ž™¨®™ ±Ÿ¡¨¨˜ ¤—¡ ¾¡¥ –—¥
– Ÿ¢™®¢—´ ¦¢—–¨ ž›¢œ¢¤–¨ –¥®™—¤œ™ Ÿ– ¢ž ›¢™˜ –œ™ ¡Ÿ™œ da wa ¡£­™ ¢®™ž¯ »£¡®™
–¨¨¶ da wa – ¢®¢¢™ž žŸ¡¤¨¥ £™ ¦¡ ¤ž™¥ ¡— Ÿ™ –£¡®™ ¡£­™ ¢®™ž¯

ÁÂÃÂ ÁÄÅÆÇÈ ÉÊËÊÌÍ ÎÌÏÐÌÑÒ fithrah insaniyah, ÎÌÏÐÌÑ ÓÊÔÕÌÍÖ

e dahÙÚÙaØ
× Ø

ÛÌÏÐÌÑ ÎÌÜÌÝ ÞßÔÞÌàÌÖ ÞßÍÉÊÏÍáÌ âßÍÌÍÉÖÌâÌ ÝßÍàÖâÖ ÔßÜÊÍàãÔßÜÊÍà ÏßÑÖÎÊäÌÍå

ÛÌÏÐÌÑ ÎÖÜÌÏÊÏÌÍ ÎßÍàÌÍ æÌÔÖÌâÖ âÉÔÌÉßàÖ ÎÌÍ ÝßÉçÎßÒ âßÔÉÌ ÝßÜÖÞÌÉÏÌÍ ÞßÔÞÌàÌÖ

ÏÌÜÌÍàÌÍ ÞÌÖÏ ÖÍÎÖæÖÎÊ ÝÌÊäÊÍ ÏßÜçÝäçÏ ÌÉÌÊ ÜßÝÞÌàÌå ÛÌÏÐÌÑ ÖÍÖ äÊÍ ÝßÍààÊÍÌÏÌÍ

âßÜÊÔÊÑ ÝßÎÖÌ ÏçÝÊÍÖÏÌâÖ áÌÍà ÝßÝÊÍàÏÖÍÏÌÍ âßâÊÌÖ ÏßÞÊÉÊÑÌÍå èÌÑÏÌÍ ÎÌÜÌÝ ÐÌÏÉÊ

ÉßÔÉßÍÉÊÒ ÏÑÊâÊâÍáÌ ÎÖ ÞÊÜÌÍ âÊéÖ êÌÝÌÎÌÍÒ éßÔÌÝÌÑ ÌàÌÝÌ ÝßÝÞÌÑÌÍÌ ÎÖ âßÜÊÔÊÑ

ÝßâËÖÎ ÎÌÍ ÝÊâÌÜÌÒ ÞÌÖÏ ÎÖ ÝÌÜÌÝ ÑÌÔÖ ÝÌÊäÊÍ äÌÎÌ âÖÌÍà ÑÌÔÖÍáÌå ëÌÝÊÍÒ äßÔÉÌÍáÌÌÍ

áÌÍà âßÔÖÍà ÝÊÍéÊÜ ÌÎÌÜÌÑ âßËÌÊÑÝÌÍÌ ÏßÞßÔÑÌâÖÜÌÍ ÎÌÏÐÌÑ ÉßÔâßÞÊÉ ÎÌÍ ÌäÌ ÏÔÖÉßÔÖÌ

ÎÌÍ ÖÍÎÖÏÌÉçÔ áÌÍà ÎÖàÊÍÌÏÌÍ ÊÍÉÊÏ ÝßÍÖÜÌÖ ÞßÔÑÌâÖÜ ÉÖÎÌÏÍáÌ ÎÌÏÐÌÑå ìßÞÌàÌÖ âÊÌÉÊ

ÏßàÖÌÉÌÍ ÏçÝÊÍÖÏÌâÖÒ âßÑÌÔÊâÍáÌ ÌÏÉÖæÖÉÌâ ÎÌÏÐÌÑ ÞÖâÌ ÉßÔÊÏÊÔÒ ÝßâÏÖäÊÍ ÝßÝÌÍà

ÝßÝßÔÜÊÏÌÍ âÏÌÜÌ äßÍàÊÏÊÔÌÍ ÎÌÍ âÉÌÍÎÌÔ ÉßÔâßÍÎÖÔÖå íÌÏÌÔ ÎÌÏÐÌÑ ÎÖÑÌÔÌäÏÌÍ ÎÌäÌÉ

*+,
MIQOT ñòóô õõõöñ ÷òô ø ùúóûüýþÿþ þ ø


      
                

                 
        
         
 
           
       
      
            !"           
             

   
      # # #    #         
   !" 
   #           
       $   
      %  
        
         
    
   &        

        
  
             !"       
##        
     
   #  %  


   !"                 '()*îl Allâh+ dâr
al-salâm al-jannah,    
          
     ,               
    
         !"             
          

   !" - .  
      
 
        /
   review  
 
          !" 

012314 Te56ada7 T898a: ;a<w ah


   
             


        
           
 
                      
  

#   #       
        
  #     
     %  
        

 
                    

#   # 
#  %         
#   
      %  
   = ,              
    'akhlâq al-karîmah+       
     
   >  =   ,?     
    @   
   A innamâ bu B itstu li utammima makârim al-akhlâq C '      

    +D %          
                  &  =  E 
    
 >     
   >      
    >     
 
A amar ma rûf nahy al-munkarCF  

G HûIJK Lô MNJOJJK PJûQ Buku Pedoman Dakwah RùJSJKJT UûVWJNJQ XYøZQ Iô øXô
[ Ibid.Q Iô øXô
îïð
Iftitah Jafar: Tujuan Dakwah dalam Perspektif al-Qur an

_`ab`cd_ efeg h`cij k`gdfif life mifde_feg m`gneg eoe_peoe_ ehpqdaregs tehek fei_eg
igiu k`geaif dg_df k`gv`ake_i fheik wxhî Gharishah, bahwa ibadah yang pertama sebelum
salat diwajibkan adalah akhlak atau ajaran moral. Lama sebelum salat diwajibkan, di
Makkah telah turun wahyu Allah tentang moral, yaitu ajaran tentang budi pekerti
mengenai baik dan buruk. Ayat-ayat dimaksud bisa dilihat dalam Q.S. Al-Anyâm/6: 151-
153 dan Q.S. al-Isrâ /17: 23-39.3
Jamaluddin Kafie mengklasifikasi tujuan dakwah ke dalam beberapa tujuan.
z{|}~~. Tujuan hakiki yaitu mengajak manusia untuk mengenal Tuhannya dan
mempercayai-Nya sekaligus mengikuti jalan petunjuk-Nya. €{‚~. Tujuan umum, yaitu
menyeru manusia untuk mengindahkan dan memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya.
€{}ƒ„~. Tujuan khusus, yaitu bagaimana membentuk suatu tatanan masyarakat Islam
yang utuh (…âffah).4 Rumusan tujuan ini agaknya telah mencakup sebagian besar prinsip-
prinsip dasar pengejawantahan ajaran Islam yaitu iman, ibadah, ketundukan pada
hukum-hukum Allah dan terwujudnya kehidupan masyarakat yang islami. Tidak seperti
Kafie, Abdul Rosyad Saleh membagi tujuan dakwah ke dalam dua bagian yaitu tujuan
utama dan tujuan departemental. Tujuan pertama adalah terwujudnya kebahagiaan
dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat yang diridhai oleh Allah SWT. Tujuan
kedua adalah nilai-nilai yang dapat mendatangkan kebahagiaan dan kesejahteraan yang
diridhai Allah SWT. sesuai dengan bidangnya.5 Tujuan pertama ini sejalan dengan rumusan
pengertian dakwah yang diajukan oleh Syaikh Alî Mahfûzh bahwa dakwah adalah
mengharuskan manusia melakukan kebaikan dan petunjuk memerintahkan yang ma rûf
dan mencegah yang munkar untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. 6
M. Bahri Ghazali, dengan berdasarkan pada aspek kelangsungan suatu kegiatan
dakwah, membagi tujuan dakwah kepada tujuan jangka pendek dan tujuan jangka
panjang. Yang pertama dimaksudkan untuk memberikan pemahaman tentang Islam
kepada masyarakat sasaran dakwah. Yang kedua, mengadakan perubahan sikap

3
Ajaran moral yang terdapat dalam Q.S. al-An âm/6: 151-153, adalah larangan-larangan
mempersekutukan Tuhan dengan sesuatu, membunuh anak-anak karena takut kemiskinan,
melakukan perbuatan keji, membunuh orang kecuali dengan hak, dan mempergunakan harta
anak yatim. Sedang perintah-perintah yang dimuat adalah berbuat baik kepada ibu bapak,
menyempurnakan timbangan, berlaku adil dan menepati janji. Adapun ajaran moral yang
dicakup dalam Q.S. al-Isrâ /17: 23-39, antara lain perintah bersikap sopan santun dan hormat
kepada kedua orang tua. Perintah ini diikuti dengan larangan-larangan boros dalam
menggunakan harta dan kikir, mendekati zina, mengikuti sesuatu yang tidak diketahui, dan
berjalan di muka bumi dengan sombong. Lihat Alî Gharishah, Du âtun la Bughâtun, terj. Abu
Ali (Solo: Pustaka Mantiq, 1979), h. 11-18.
4
Lihat Jamaluddin Kafie, Psikologi Dakwah: Bidang Studi dan Bahan Acuan (Surabaya:
Offset Indah, 1993), h. 66.
5
Lihat A. Hasymi, Dustur Dakwah Menurut al-Qur an (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 18.
6
Lihat Syaikh Alî Mahfûzh, Hidayat al-Mursyidîn (Kairo: Dâr al-Kutub al- Arâbîyyah, t
t.), h. 27.

\]^
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010

masyarakat itu sendiri. Dengan tujuan pertama diharapkan pemahaman masyarakat


tentang Islam, sehingga masyarakat akan terhindar dari perbuatan †‡ˆ‰Š‹. Sedangkan
dengan tujuan kedua, diharapkan terwujudnya perubahan sikap dan perbuatan
masyarakat dari kecenderungan berperilaku tidak terpuji menjadi masyarakat yang
terbebas dari segala bentuk kemaksiatan. Kedua tujuan ini, menurutnya, tergambar
dalam Q.S. Âli Imrân/3: 104.7 Ayat ini dinilainya, selain mengandung tujuan dakwah
jangka pendek dan jangka panjang, juga menekankan sasaran dari tujuan itu yakni
tercapainya masyarakat sejahtera, bahagia di dunia dan di akhirat (istilah al-Qur an ŠŒ-
†‡ŒŽûn). Implikasinya adalah dakwah komunikatif tidak hanya menarik, mempesona
dan lucu, melainkan juga mencerminkan esensi dakwah yaitu terwujudnya perubahan
sikap mental yang positif bagi masyarakat. Dengan kondisi ini akan tercipta
ketenteraman lahir dan batin dalam kehidupan masyarakat. 8
Rumusan tujuan dakwah tersebut kelihatannya sejalan dengan tujuan kegiatan
komunikasi yang menekankan terjadinya perubahan pada tiga aspek mendasar pada
audien setelah mendapatkan informasi keagamaan. Yang pertama adalah perubahan
aspek kognitif dalam artian dari tidak tahu menjadi tahu, dari yang kurang ilmu menjadi
lebih banyak ilmu. Kedua, perubahan pada aspek sikap, yakni dari sikap acuh dan tidak
apresiatif menjadi concern pada nilai-nilai ajaran agama yang didakwahkan kepadanya.
Ketiga, perubahan pada aspek konasi yaitu dari tidak melakukan menjadi tekun
mempraktekkan apa yang disampaikan kepadanya. 9 Inilah tujuan yang tertinggi dari
kegiatan komunikasi yang tentunya juga sebagai tujuan yang dikehendaki dalam setiap
pelaksanaan dakwah.
Yang menjadi catatan penulis adalah ayat yang digunakan sebagai landasan disain
tujuan dakwah tersebut. Q.S. Âli Imrân/3: 104, dalam kajian tafsir dakwah, ayat ini
dipahami antara lain: (1) sebagai landasan kewajiban dakwah apakah fardhu ain atau
fardhu kifayah, (2) dasar pembentukan lembaga dakwah, dan (3) janji keberuntungan
bagi orang yang berdakwah. Abû Zahrah mengklaim bahwa ayat tersebut menunjukkan tiga
hal. Pertama, kewajiban berdakwah pada kebaikan. Kedua, perlu adanya suatu kelompok yang
akan mengajak kepada ma rûf dan melarang yang munkar. Ketiga, jika tidak berbuat ma rûf
dan nahî munkar, maka kezaliman akan berkembang subur di tengah-tengah masyarakat.10
Sayyid Quthb sendiri meyakini bahwa ayat tersebut mengimplikasikan keharusan
adanya dua kelompok dalam masyarakat Islam. Kelompok pertama yang bertugas

7
M. Bahri Ghazali, Dakwah Komunikatif: Membangun Kerangka Dasar Ilmu Komunikasi
Dakwah (Jakarta: Pedoman Ilmu, 1997), h. 7.
8
Ibid, h. 8.
9
Bandingkan dengan Sasa Djuarsa Sandjaja, et al., Pengantar Komunikasi (Jakarta:
Penerbit Universitas Terbuka, 1993), h. 45.
10
Lihat Abû Zahrah, Al-Da wat ilâ al-Islâm, terj. Ahmad Subandi dan Ahmad Sumpeno
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), h. 32.

288
Iftitah Jafar: Tujuan Dakwah dalam Perspektif al-Qur an

mengajak kepada kebaikan (‘’“ûna ilâ al-khayr) dan kelompok yang memerintahkan
yang ma rûf dan melarang yang munkar (ya murûna bi al-ma rûf wa yanhawna an al-
munkar). Kelompok kedua, menurutnya, adalah mereka yang memiliki kekuasaan.
Ajaran ilahi bermuara pada dua sisi. Pertama, nasehat dan penjelasan dan kedua,
melaksanakan kekuasaan memerintah dan melarang, agar ma rûf dapat terwujud dan
munkar dapat sirna.11
Dalam konteks yang berbeda, Amrullah Ahmad, sebagaimana dikutip Enjang AS.
dan Aliyuddin, juga membagi tujuan dakwah ke dalam tujuan jangka pendek dan tujuan
jangka panjang. Tujuan jangka pendek menukik pada upaya peningkatan sumber daya
manusia yang berkualitas, pembinaan insan-insan saleh, dan perubahan stratifikasi
sosial ke arah yang lebih terhormat. Sedangkan tujuan jangka panjang adalah
membangun kehidupan masyarakat yang berkualitas, masyarakat madani yang meliputi
nuansa iman dan takwa, atau dalam terma baldat thayyibat wa rabb ghafûr. Rumusan
tujuan jangka pendek searah dengan tujuan jangka panjang dalam pengertian kalau
tujuan jangka pendek tercapai, maka akan terwujud bentuk masyarakat yang diinginkan
dalam tujuan jangka panjang. Namun perlu ditegaskan bahwa baik tujuan
departemental maupun tujuan jangka pendek, hendaknya dirumuskan memenuhi
prinsip-prinsip dalam penentuan tujuan. George A. Steiner, pakar strategi, seperti dikutip
Wayudi, misalnya, menyebutkan tujuh prinsip, yaitu suitable (sesuai), achieveable (dapat
dicapai), flexible (lentur), motivating (memotivasi), understandable (dapat dimengerti),
linkage (terkait) dan measurable (dapat diukur).12
Dengan mendasarkan diri pada kelompok sasaran dakwah, H. A. Timur Djaelani
menulis bahwa dakwah kepada intern kaum muslimin bertujuan untuk menyempurnakan
Iman dan Islam mereka, sedang dakwah kepada non-Muslim bertujuan mengajak mereka
memeluk agama Islam.13 Tujuan dakwah internal ini sejalan dengan Q.S. al-Baqarah/
2: 208 dan Q.S. Âli Imrân/3: 102, yang menekankan peningkatan kualitas kehidupan
beragama. Tujuan dakwah eksternal menekankan pada pengenalan aspek-aspek
keunggulan dan keistimewaan nilai-nilai ajaran Islam, disertai ajakan secara
komunikatif dan persuasif atau melalui debat.
Dengan mengacu pada al-Qur an sebagai kitab dakwah, Syukri Sambas,
sebagaimana dikutip Agus Ahmad Safe i, merumuskan tujuan dakwah sebagai berikut.
Pertama. Membebaskan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang (Q.S. al-
Baqarah/2: 257). Kedua. Menegakkan shibghah (celupan) Allah dalam kehidupan (Q.S.
al-Baqarah/2: 138). Ketiga. Menegakkan fitrah insaniyah (Q.S. al-Rûm/30: 30). Keempat.

11
Lihat Sayyid Quthb, Tafsîr fî Zhilâl al-Qur ân, juz II (Beirut: Dâr al-Syurûq, 1992), h. 25.
12
Lihat penjelasannya dalam Agustinus Sri Wahyudi, Manajemen Strategik: Pengantar
Proses Berpikir Strategik (Jakarta: Binarupa Aksara, 1996), h. 74-75.
13
Lihat, H. A. Timur Djaelani, Pembahasan Umum Mengenai Dakwah, dalam Forum
Dakwah (Jakarta: Pusat Dakwah Islam Indonesia, 1972), h. 183.
289
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010

Memproporsikan tugas ibadah (Q.S. al-Baqarah/2: 21). ”•–—˜™. Mengestafetkan tugas


kenabian dan kerasulan (Q.S. al-Hasyr/59: 7). ”••š™˜. Menegakkan aktualisasi
pemeliharaan agama, jiwa, akal, generasi dan kualitas hidup. ”•›œœž. Perjuangan
memenangkan ilham takwa atas ilham Ÿœûr.14 Sebagian besar rumusan ini sesuai dengan
poin-poin tujuan dakwah Qur ani yang diajukan penulis dalam pembahasan inti tulisan
ini, khususnya rumusan pertama, ketiga, keempat dan ketujuh.
Sebagian penulis, seperti Enjang AS. dan Aliyuddin berpendapat bahwa salah satu
tujuan dakwah menurut al-Qur an adalah membentangkan jalan Allah di atas bumi agar
dapat dilalui umat manusia. Landasan skripturalnya adalah firman Allah dalam Q.S.
Yûsuf/12: 108 Katakanlah: Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku
mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada
termasuk orang-orang yang musyrik. 15 Membentangkan jalan Allah yang dipahami dari
ayat ini tidak mencerminkan tujuan dakwah, melainkan sebagai bagian dari upaya
dakwah atau proses dakwah. Ayat ini di mata penulis tidak menunjukkan tujuan dakwah,
melainkan sebagai dasar bahwa pesan dakwah hendaknya didasarkan pada argumen
rasional, pembuktian logis termasuk hasil-hasil penelitian para pakar di bidangnya.

T ¡ a¢ £a¤w
ah ¥ ¦ a¢
Dalam pandangan Muhammad Husain Fadh Allâh, sejak permulaannya, al-Qur an
diturunkan Allah SWT. sebagai kitab dakwah, yakni kitab yang memuat ajakan untuk
menuju Allah SWT. dan mengikuti jejak Rasul-Nya, Muhammad SAW. Karena al-Qur an
berada dalam atmosfir dan realitas dakwah, maka ia mendorong terlaksananya dakwah.
Selain itu, al-Qur an juga menawarkan metode dan teknik pelaksanaannya, demikian
pula menegaskan tujuan yang hendak dicapai. Sebagai tambahan, al-Qur an juga
menunjukkan jalan pembinaan dai dalam mengemban tugasnya. 16 Menurut Sayyid
Quthb, sebagai sebuah kitab dakwah, al-Qur an berfungsi sebagai pembangkit, pendorong
dan pengawas dalam pelaksanaan dakwah. Lebih dari itu, al-Qur an juga menjadi
rujukan para penyeru dakwah dalam menyusun konsep gerakan dakwah dan melakukan
kegiatan dakwah.17

14
Agus Ahmad Safe i, Kajian Aksiologi Ilmu Dakwah, dalam Aep Kusnawan, et al.
Dimensi Ilmu Dakwah: Tinjauan Dakwah dari Aspek Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, hingga
Paradigma Pengembangan Profesionalisme (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), h. 104. Lihat
pula Asep Muhiddin, Dakwah dalam Perspektif al-Qur an: Studi Kritis atas Visi, Misi dan Wawasan
(Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 147-148.
15
Lihat Enjang AS. dan Aliyuddin, Dasar-Dasar Ilmu Dakwah: Pendekatan Filosofis dan
Praktis (Bandung: Widya, 2009), h. 98.
16
Lihat Muhammad Husain Fadh Allâh, Ushlûb al-Da wah fî al-Qur ân, terj. Tarmana
Ahmad Qosim (Jakarta: Lentera Basritama, 1997), h. 11.
17
Lihat Sayyid Quthb, Fiqh al-Da wah: Mawdhu ât fî al-Da wah wa al-Harâkah, terj. Suwardi
Effendi, BIS dan Ah. Rosyid Asyofi (Jakarta: Pustaka Amani, 1986), h. 11.
290
Iftitah Jafar: Tujuan Dakwah dalam Perspektif al-Qur an

Sebagai kitab dakwah, al-Qur an tidak hanya menetapkan dakwah sebagai


kewajiban, memberikan tuntunan pelaksanaannya, tetapi juga telah menggariskan arah
dan tujuan dakwah yang akan dicapai. Dakwah bagaimanapun bentuknya, demikian
pula metodenya dan siapapun pelaksananya, seharusnya diarahkan pada tujuan dakwah
yang telah digariskan al-Qur an. Hal ini dimaksudkan untuk mempertajam fokus dan
orientasi dakwah dan menghindarkan bias-bias yang dapat mengaburkan hakikat tujuan
dakwah itu sendiri. Sejauh pengamatan penulis, tujuan dakwah Qur ani antara lain
dapat dilihat sebagai berikut:

§¨ ©eªge«¬ a­®aª ¯aª¬°ia da­i ®ege«a±aª ¯eª¬²¬ ³ahaya yaªg ´e­aª g


beªde­aªg
Tujuan ini didasarkan pada firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah/2: 257, µ¶¶·¸
¹º¶»¼½¾¼¿ ÀÁ·¼¿-ÀÁ·¼¿ ·¼¿ úÁ»Ä·¼, Å»· ĺ¼¿º¶¾·ÁÆ·¼ ĺÁºÆ· ½·Á» ƺ¿º¶·Ç·¼ (ƺƷȻÁ·¼)
ƺǷ½· É·¸·Â· (»Ä·¼). Å·¼ ÀÁ·¼¿-ÀÁ·¼¿ Æ·È»Á, Ǻ¶»¼½¾¼¿-Ǻ¶»¼½¾¼¿¼Â· ·½·¶·¸ ʺ˷¼, ·¼¿
ĺ¼¿º¶¾·ÁÆ·¼ ĺÁºÆ· ½·Á» É·¸·Â· ƺǷ½· ƺ¿º¶·Ç·¼ (ƺƷȻÁ·¼). ̺ÁºÆ· »Ë¾ ·½·¶·¸
Ǻ¼¿¸¾¼» ¼ºÁ·Æ·, ĺÁºÆ· ƺƷ¶ ½» ½·¶·Ä¼Â·. Pada ayat sebelumnya disebutkan bahwa
seseorang yang ingkar pada Thagut dan beriman kepada Allah, maka ia berpegang
pada tali yang amat kuat dan tidak akan putus, tujuan dakwah tersebut sangat sejalan
dengan pengertian dakwah yang dikemukakan oleh Bakhyul Khûlî dalam karyanya
Í·½ÎÆ»Á·Ë ·¶-žÏât, yaitu dakwah adalah memindahkan manusia dari suatu situasi ke
situasi yang lain.18 Tentunya dari situasi negatif ke situasi positif atau dari yang positif
kepada yang lebih positif lagi.
Menurut al-Raghib al-Ishfahânî, istilah zhulumât dalam ayat ini mengandung dua
makna, yaitu pertama kegelapan, dan kedua kebodohan, kemusyrikan dan kefasikan. Makna
kedua menurutnya dapat dilihat dalam Q.S. Ibrâhîm/14:5. Muhammad Alî al-Shabunî
melihat bahwa lafazh zhulumât yang terdapat pada ayat 1 dan 5 surah Ibrâhîm bermakna
kebodohan, kesesatan dan kekafiran.19 Penafsiran yang lebih elaboratif berasal dari Sayyid
Quthb, dia menafsirkan lafal zhulumât pada ayat 1 surah Ibrâhîm dengan kegelapan
akibat angan-angan, kegelapan yang berpangkal pada tradisi, kegelapan akibat politeistis,
kegelapan akibat kerancuan tata nilai dan pertimbangan-pertimbangan. 20
Dalam ayat lain disebutkan bahwa pengutusan Rasul untuk mengemban tugas
yang sama yaitu mengeluarkan manusia dari belenggu kegelapan kepada cahaya Allah.
Allah berfirman dalam Q.S. Thalâq/65: 11 (Dan mengutus) seorang Rasul yang membacakan
kepadamu ayat-ayat Allah yang menerangkan (bermacam-macam hukum) supaya Dia

18
Lihat Bakhyûl Khûlî, Tadzkirat al-Du ât (Beirût: Dâr al-Kutub al- Arabiyyah, t.t.), h. 17.
19
Lihat Muhammad Alî al-Shabûnî, Shafwat al-Tafâsir, vol. II (Beirût: Dâr al-Qur ân al-
Karîm, 1981), h. 90-91.
20
Lihat Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur ân, vol. IV (Kairo: Dâr al-Syurûq, 1992), h. 2085.
291
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010

ÐÑÒÓÑÔÕÖ×ØÖÒ Ù×ÖÒÓÚÙ×ÖÒÓ ÛÖÒÓ ÜÑ×ÝÐÖÒ ÞÖÒ ÐÑÒÓÑ×ßÖØÖÒ ÖÐÖÔ-ÖÐÖÔ ÛÖÒÓ àÖÔÑá ÞÖ×Ý
ØÑÓÑÔÖâÖÒ ØÑâÖÞÖ ãÖáÖÛÖ... Selanjutnya, di ayat lain diinformasikan tentang Allah
memberikan kitab kepada nabi-Nya, dengan kitab ini manusia akan dikeluarkan dari
kegelapan kepada cahaya yang terang benderang. Firman Allah dalam Q.S. al-Mâidah/
5: 16, äÑÒÓÖÒ ØÝåÖÜ ÝÕt ÔÖá æÔÔÖá ÐÑÒÕÒßÕØÝ Ù×ÖÒÓÚÙ×ÖÒÓ Ö y ÒÓ ÐÑÒÓÝØåuÝ ØÑ×ÝÞáÖÖÒ-çÖ
y
ØÑ ßÖÔÖÒ ØÑàÑÔÖÐÖåÖÒ, ÞÖÒ (ÞÑÒÓÖÒ ØÝåÖÜ ÝtuâÕÔÖ) æÔÔÖá ÐÑÒÓÑÔÕÖ×ØÖÒ Ù×ÖÒÓÚÙ×ÖÒÓ Ýut
ÞÖ×Ý ÓÑÔÖâ ÓÕÔÝåÖ ØÑâÖÞÖ ãÖáÖÖy Öy ÒÓ åÑ×ÖÒÓ ÜÑÒÞÑ×ÖÒÓ ÞÑÒÓÖÒ ÝÝzÒ-çÖy , ÞÖÒ ÐÑÒÕÒßÕØÝ
ÐÑ×ÑØÖ ØÑ ßÖÔÖÒ Öy ÒÓ ÔÕ×Õà. Sebagai tambahan, Allah berfirman dalam Q.S. al-Hadîd/
57: 9 äÝÖ-ÔÖá Öy ÒÓ ÐÑÒÕ×ÕÒØÖÒ ØÑâÖÞÖ áÖÐÜÖ-çÖ y ÖÖ
y t-ÖÖ
y tÖ
y ÒÓ åÑ×ÖÒÓ (ÖÔ-èÕ×ÖÒ)
àâuÖÖy äÝÖ ÐÑÒÓÑÔÕÖ×ØÖÒ ØÖÐÕ ÞÖ×Ý ØÑÓÑÔÖâÖÒ ØÑâÖÞÖ ãÖáÖÖy...
Mengeluarkan manusia dari situasi kekafiran kepada cahaya ketuhanan menandai
terutusnya Rasul-rasul Allah. Di saat syariat agama yang dibawa oleh seorang Rasul,
karena perjalanan waktu, mulai redup dan umat mulai terperosok ke dalam kegelapan,
maka Allah mengutus Rasul yang baru untuk membawa mereka kepada cahaya
ketuhanan. Kemunculan agama Yahudi tidak lepas dari upaya ilahi menunjuki manusia
ke arah kehidupan sesuai dengan hidayah Allah setelah ajaran yang dianut masyarakat
telah dirasuki dengan berbagai paham-paham yang mengaburkan prinsip-prinsip agama
yang benar. Dalam kasus yang sama, kemunculan agama Nasrani sesungguhnya
dimaksudkan untuk menolong manusia yang telah menyimpang jauh dari syariat yang
tedapat dalam agama Yahudi. Dalam pentas sejarah, Nabi Isa as. telah memainkan peran
penting dalam membimbing masyarakat dalam kehidupan yang penuh cinta kasih.
Sebagai tambahan, kasus serupa, kedatangan agama Islam, pada hakekatnya untuk
menyelamatkan manusia yang hanyut dalam arus jahiliyah. Dalam konteks historisnya,
Nabi Muhammad SAW. telah menunjukkan usaha keras dan tidak mengenal lelah
melepaskan manusia dari cengkeraman jahiliah menuju kehidupan yang penuh rahmat
dalam genggaman Islam.

éê ëìíegaîîaí fiïðah iíñaíiyah


Landasan teologis tujuan ini adalah Q.S. al-Rûm/30: 30 òÖØÖ áÖÞÖâØÖÒÔÖá
ÖwßÖáÐÕ ÞÑÒÓÖÒ ÔÕ×Õà ØÑâÖÞÖ ÖÓÖÐÖ (æÔÔÖá), (åÑåÖâÔÖá ÖåÖà) óÝå×Öá æÔÔÖá Öy ÒÓ åÑÔÖá
ÐÑÒãÝâÖt ØÖÒ ÐÖÒàuÝÖ ÐÑÒ×utuóÝ×tÖá Ýu.t ôÝÞÖØ ÖÞÖ âÑ×ÜuÖáÖÒ âÖÞÖ óÝ×tÖá æÔÔÖá. (õÔutÖá)
ÖÓÖÐÖ Öy ÒÓ ÔÕ×Õà, åÑÖt âÝ ØÑÜÖÒÖy ØÖÒ ÐÖÒàuÝÖ ÝtÞÖØ ÐÑÒÓÑåÖáÝu. Menurut Muhammad
Asad, terma óÝåá×Öá berarti kecondongan alami, melukiskan kemampuan intuitif untuk
membedakan antara yang benar dan yang salah, yang áÖö dengan yang ÜÖåáÝÔ, hingga
makna keesaan dan eksistensi Tuhan.21 Dalam hadis riwayat Bukharî Muslim disebutkan
÷ÑÝtÖâ ÖÒÖØ ÖyÒÓ ÔÖáÝ× ÞÝÔÖáÝ×ØÖÒ ÐÑÒ×utuóÝ×tÖáÒÖy, Ù×ÖÒÓ Öut ÒÖyÔÖá ÖyÒÓ ÐÑÒÑyÜÖÜØÖÒ

21
Lihat Muhammad Asad, øùú ûúüüýþú ÿ ùú ý (Gibraltar: Dâr al-Andalus, 1980),
h. 621.
  

292
Iftitah Jafar: Tujuan Dakwah dalam Perspektif al-Qur an


  ,     . Dalam pandangan Muhammad Asad, ketiga
formulasi agama ini, sangat dikenal pada zaman Nabi, adalah mereka yang dikontraskan
dengan disposisi alami yang terdapat dalam kognisi instinktif pada Tuhan dan
penyerahan diri (Islam) kepada-Nya. Terma orang tua di sini memiliki makna yang
lebih luas yaitu pengaruh sosial (  

) atau lingkungan (
v
t ).22

  a!i "#"$ be%ia#


Dakwah bertujuan untuk mengantarkan obyek dakwah ( û ) untuk beriman
kepada Allah dan mengesakan-Nya. Dalam bingkai akidah islamiyah dikenal dua
pengesaan kepada Allah. Pertama, pengesaan Allah dalam arti meyakini bahwa pencipta
alam semesta dan segala isinya adalah Allah SWT. Pengesaan seperti ini disebut tauhîd
rubûbiyah. Kedua, pengesaan Allah dalam arti hanya tunduk, taat dan pasrah kepada-
Nya. Pengesaan ini disebut tauhîd ulûhiyah atau tauhîd ilâhiyah.23 Dasar tujuan dakwah
ini adalah firman Allah dalam Q.S. al-Fath/48: 8-9 Sesungguhnya Kami mengutus kamu
sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, supaya kamu beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)-Nya, membesarkan-Nya. Dan bertasbih
kepada-Nya di waktu pagi dan petang. Nilai dan aspek dakwah dalam ayat ini terwakilkan
dalam fungsi rasul sebagai pembawa berita gembira (mubasysysiran) dan pemberi peringatan
(nazîran). Sementara ungkapan litu minû billâhi wa rasûlih yang mencerminkan tujuan
dakwah yang akan dicapai, yaitu agar manusia mempercayai Tuhan dan Rasul-Nya
dengan iman yang baik, keimanan yang tegak di atas keyakinan, tidak mengandung
persangkaan dan keraguan.
Dakwah mendorong orang agar beriman dengan sebenar-benarnya. Ciri-ciri orang
beriman seperti ini antara lain apabila disebut nama Allah hatinya gemetar, jika
dibacakan ayat-ayat Allah imannya bertambah, dan bertawakkal kepada Allah. Di
samping itu, mereka mendirikan salat dan menafkahkan sebagian rezki yang diberikan
Allah (Q.S. al-Anfâl/8: 2-3). Orang-orang yang beriman sebagian mereka menjadi penolong
sebagian yang lain, mereka menyuruh mengerjakan yang ma rûf dan mencegah yang
munkar, mendirikan salat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-
Nya (Q.S. al-Tawbah/9: 71). Orang-orang yang beriman dengan sebenarnya adalah mereka
yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian tidak ragu-ragu dan mereka
berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah (Q.S. al-Hujurât/49: 15).
Dakwah diarahkan pada upaya pembinaan keimanan yang berbasis pada tauhid.
Menurut Osman Bakar, kesadaran beragama orang Islam pada dasarnya adalah kesadaran
akan keesaan Tuhan. Memiliki kesadaran akan keesaan Tuhan berarti meneguhkan kebenaran

22
Ibid., h. 621.
23
Lihat Ali Mustafa Ya qub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1997), h. 28.
293
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010

bahwa Tuhan adalah satu dalam Esensi-Nya, Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya, dan dalam
Perbuatan-Nya. Satu konsekuensi penting dari pengukuhan kebenaran sentral ini adalah
bahwa orang harus menerima realitas obyektif kesatuan alam semesta. Kosmos terdiri
atas berbagai realitas yang membentuk suatu kesatuan, karena ia mesti
memanifestasikan ketunggalan sumber dan asal-usul metafisiknya yang dalam agama
disebut Tuhan. Pada kenyatannya, al-Qur an dengan tegas menekankan bahwa kesatuan
kosmis merupakan bukti yang jelas akan keesaan Tuhan (Q.S. al-Anbiyâ /21: 22). 24
Agar lebih fungsional, dakwah diarahkan pada upaya mewujudkan keimanan yang
dapat memotivasi kehidupan. Menurut Syahrin Harahap, ada empat ciri keimanan yang
berfungsi sebagai motivasi ke arah dinamika dan kreativitas. (1) Keimanan yang dapat
mengembangkan sifat positif dan menekan sifat negatif dari manusia. (2) Keimanan
yang mempunyai daya tahan terhadap guncangan perubahan. (3) Keimanan yang
menjadi penggerak pandangan positif terhadap dunia, etos kerja, etos ekonomi dan
etos pengetahuan. (4) Keimanan yang berfungsi sebagai pengendali keseimbangan. 25
Pembinaan keimanan antara lain dengan memfungsikan dakwah sebagai pemelihara
iman, agar tetap konstan bahkan meningkat. Iman diarahkan agar dapat mewujudkan
kesalehan individual dan kesalehan komunal. Di samping itu, pemeliharaan juga dilakukan
dalam bentuk menghindarkan diri dari kemungkinan terkontaminasi dengan gerakan
yang merusak prinsip-prinsip akidah yang dihembuskan kelompok-kelompok sempalan
Islam, misalnya Ahmadiyah, al-Qiyadah, dan Lia Eden, yang banyak bermunculan lima
tahun terakhir ini.26 Demikian juga menjauhi segala bentuk praktek penyimpangan akidah
seperti takhayul, bid ah dan khurafat. Dalam konteks ini, termasuk praktek pedukunan,
ramalan dan pemujaan pada jin atau roh-roh. Adapun hikmah di balik pelarangan
praktek kemusyrikan ini antara lain, karena syirik menyamakan makhluk dengan Khalik
yang berarti menurunkan derajat Tuhan dan meninggikan derajat ciptaan-Nya.27 Menjauhkan

24
Lihat Osman Bakar, &'()*+ +', -'*,., terj. Yuliani Liputo, cet. 2 (Bandung: Pustaka
Hidayah, 1995), h. 11.
25
Lihat Syahrin Harahap, /.0'1 2*,'1*.3 45,56'77', 8*0'*98*0'* :;'<', '0-=(<>', +'0'1
?5)*+(@', 4A+5<, +* /,+A,5.*' (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), h. 75.

26
Di Sulawesi Selatan, misalnya ada kelompok/komunitas yang menyebut dirinya al-
Nadzir yang melaksanakan salat Idul Fitri dua hari sebelum yang ditetapkan pemerintah.
Penetapan satu Syawal tidak didasarkan pada bulan, melainkan pada pasang surutnya air
laut. Bahkan di daerah Palopo Selatan, muncul suatu aliran yang dipimpin oleh seseorang
yang mengklaim dirinya sebagai nabi pembawa pencerahan. Menurut kelompok ini, tugas
Nabi Muhammad SAW. berakhir 2010, dan dia-lah yang diutus Tuhan untuk melanjutkan
risalah kenabian. Kemunculan sempalan-sempalan ini antara lain disebabkan: 1. Mereka
menilai lembaga-lembaga keagamaan yang ada sudah tidak mampu membimbing umat kepada
kesejahteraan, 2. Mereka menginginkan penghargaan dan menjadi panutan di saat sulitnya
mencari sosok yang layak diteladani, dan 3. Keterbatasan pengetahuan agama.
27
Lihat Abd al-Hâmid al-Khatîb, :.1â al-Risâlât, terj. Bey Arifin, jilid II (Jakarta: Bulan
Bintang, 1977), h. 271.

294
Iftitah Jafar: Tujuan Dakwah dalam Perspektif al-Qur an

penyakit-penyakit rohani, seperti riya , takabbur, egoisme, dan dengki. Memelihara diri dari
kecintaan yang berlebihan pada harta, tahta dan hasrat seksual,28 karena semua ini dapat
menurunkan derajat manusia ke tingkat hewan atau bahkan lebih rendah dari itu.

BC DEFGHIJ aKi LMHLN beOibadah


Dakwah juga bertujuan untuk mendorong dan memotivasi orang agar beribadah
kepada Tuhannya. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah/2: 21
PQRS TRUVWSR WXTYRZ[RZ \VZRUTV ]RU^ _X[RZ TXU`Sa_RbRUTV cRU deRU^fdeRU^ ]RU^

,
WXYX[VTTV R^Re bRTV YXe_RbgR . Al-Thabathaba î mengemukakan munasabah ayat ini
sebagai berikut. 19 ayat terdahulu menjelaskan posisi tiga kelompok yaitu orang saleh
yang selalu mendapat petunjuk dari Tuhan, orang kafir yang hati, telinga dan TRR
t U ya
tertutup, dan orang munafik yang terdapat penyakit dalam hatinya dan Allah menambah
penyakit tersebut, sehingga mereka bisu tuli. Pada ayat ini, Allah memanggil manusia
untuk menjadi hamba yang baik, menyembah-Nya, bukan terhadap orang kafir dan
munafik tetapi kepada orang-orang saleh yang bertakwa kepada Allah SWT. 29
Dari penggalan ayat ây ayyuha al-nâs u budû rabbakum , diperoleh informasi tentang
ajakan/dakwah kepada manusia untuk beribadah. Ibadah ini sangat fundamental dalam
Islam, antara lain ia merupakan manifestasi tujuan penciptaan (Q.S. al-Dzâriyât/51: 56),
sebagai kewajiban (Q.S. al-Baqarah/2: 21) dan tanda syukur (Q.S. al-Kawtsar/108:1-3)
kepada Allah SWT., sebagai Pencipta manusia, bahkan sebagai kebutuhan mendasar manusia.
Ibadah sangat relevan dengan dakwah, karena ia dapat berfungsi sebagai materi dan
media dakwah itu sendiri. Sesudah Allah mengajak manusia untuk beribadah kepada-Nya
pada ayat tersebut, maka dalam ayat berikutnya, Allah SWT. menerangkan sebagian dari
rahmat dan karunia-Nya sebagai landasan argumen di balik perintah beribadah. Ayat
berikutnya juga memuat larangan mempersekutukan Tuhan dengan sesuatu, karena hanya
Dia-lah satu-satunya yang menciptakan manusia dan menyiapkan fasilitas kehidupan.30

28
Untuk penjelasan ketiga hal tersebut, lihat Muhammad Imaduddin Abdulrahman,
Kuliah Tauhid, cet. 3 (Jakarta: Kuning Mas, 1993), h. 64-72.
29
Lihat Muhammad Husain al-Thabathaba î, Al-Mîzan: An Exegesis of the Qur an, vol. I
(Jakarta: Institute for the Study of Religion and Philosophy, 1983), h. 84.
30
Term firasy (resting place) dalam Q.S. al-Baqarah/2: 22, tidak hanya bermakna istirahat
atau ketenangan, tetapi juga mengandung konsep yang menyenangkan dan hangat dengan
cuaca yang sedang. Frasa sama berarti udara tebal dengan massa gas yang menyelimuti bumi,
tebalnya ratusan kilometer. Konsep sama sendiri mencerminkan peran langit sebagai payung
yang melindungi manusia. Perlindungan berasal dari sistim gravitasi yang menjaga isi bumi
sehingga tidak terlontar ke angkasa. Perlindungan juga datang dari lapisan atmosfir yang
membungkus bumi sehingga aman dari segala benturan benda-benda angkasa. Sebagai
tambahan warna biru pada langit sangat cocok untuk penglihatan. Warna biru ini sendiri
sesungguhnya hanya refleksi sinar matahari yang dipantulkan atmosfir yang tebal dan berlapis-
lapis. Fasilitas lainnya adalah dengan curahan air hujan menjadikan tanah subur sehingga
menghasilkan berbagai jenis buah-buahan. Proses menghasilkan buah-buahan menjadi bukti
295
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010

Dakwah dengan ajakan untuk beribadah ini juga terlihat dalam tahapan dakwah
yang dilakukan oleh Muadz bin Jabâl ketika diutus ke Yaman sebagaimana diperintahkan
Rasul dalam salah satu hadisnya. Rasulullah berkata kepada Mua dz bin Jabâl sebelum
beliau melepasnya ke Yaman:
- .
hijklmmknlop ilmqpk pqpl rilsptplmu limivu oplm wilskskqlop xny py zutp{ |uqp qprk

, .
tiypn jprwpu qi jplp spq}pnuypn riviqp kltkq rilmuqvpvqpl qpyurpt jopnpspt |uqp riviqp

,
rivijw~l spq}pnrk rpqp jprwpuqplypn qiwpsp riviqp {pn}p xyypn ri}pu{qpl qiwpsp

. ,
riviqp jpypt yurp }pqtk jinpvu jirpypr |uqp riviqp rilpptu wivultpn ulu jprwpuqplypn

qiwpsp riviqp {pn}p xyypn ri}pu{qpl qiwpsp riviqp €pqpt oplm supr{uy spvu ~vplm qpop

.
kltkq susujtvu{kjuqpl qiwpsp ~vplm rujqul su pltpvp riviqp |uqp riviqp rilpptu wivultpn

, - - , -
ulu rpqp {ivnptu nptuypn silmpl npvtp npvtp {ivnpvmp riviqp spl {ivnptu nptuypn wkyp

,
silmpl s~p ~vplm tiv€pyuru qpvilp s~p riviqp tuspq {ivnup{ kltkq jprwpu qiwpsp xyypn.‚

Untuk mencapai tujuan tersebut, dakwah difokuskan pada upaya mengajak orang
beribadah secara kontinyu, meningkatkan ibadah mereka secara kuantitas dan kualitas,
menjaga ibadah mereka agar tetap konsisten. Menjelaskan hikmah-hikmah dan manfaat
di balik pelaksanaan ibadah. Masyarakat dijauhkan dari perasaan menganggap telah
banyak melakukan ibadah, atau tidak hati-hati dalam ibadah mereka. Ibadah
dimaksudkan untuk mendapatkan keridhaan Allah, diposisikan sebagai suatu kewajiban,
tujuan hidup, sebagai tanda syukur bahkan sebagai kebutuhan mendasar manusia.
Ibadah hendaknya dilakukan sesuai petunjuk syariat, dengan niat ikhlas dan sesuai
salat yang dicontohkan Rasulullah SAW.

ƒ„ …†‡ eˆaˆg‰aˆ iŠ‹a‡ Œ‰w


a aŒŽ iŠ‹a‡ f‘’
Tujuan ini didasarkan pada firman Allah dalam Q.S. al-Syams/91: 8-10, spl u}p
jivtp wiloirwkvlppllop (“uwtppllop), rpqp xyypn rilmuynprqpl qiwpsp u}p utk (pypl)

qi”pjuqpl spl qitpq}ppllop. hijklmmknlop {ivkltklmypn ~vplm oplm rilok“uqpl u}p

utk• Dalam banyak kasus, term lp”j mempunyai cakupan makna yang sangat luas.

Pada ayat ini, ia didenotasikan diri atau kepribadian manusia sebagai suatu keseluruhan,
yakni sesuatu yang terdiri dari fisik dan jiwa. py-–kûr berarti melakukan perbuatan
yang mendatangkan kerugian dan kebinasaan pada diri seseorang, sedangkan al-
taqwâ adalah melakukan perbuatan yang dapat mencegah seseorang dari akibat buruk
atas sikap dan tindakannya. Setelah menafsirkan kedua kata kunci ini, Muhammad
Abduh menjelaskan bahwa di antara penyempurnaan penciptaan jiwa manusia adalah

yang sangat berharga tentang eksistensi Tuhan. Dari air tidak berwarna Tuhan dapat
menciptakan ribuan warna dalam buah-buahan dan biji-bijian yang memiliki kegunaan yang
berbeda bagi manusia. Elaborasi selengkapnya, lihat A Group of Muslim Scholars: An
Enlightening Commentary into the Light of the Holy Qur an, terj. Sayyid Akbar Sabr Ameli
(Isfahan: Islamic Republic of Iran: Amir al-Mu mineen Ali Library, 1998), h. 111-116.
31
Imâm Muslim, Shahîh Muslim (Riyâd: Dâr al-Salâm, 1999), h. 125.
296
Iftitah Jafar: Tujuan Dakwah dalam Perspektif al-Qur an

dengan memberinya akal yang mampu membedakan antara kebaikan dan kejahatan. Perbuatan-
perbuatan yang menyengsarakan dapat diketahui dengan akal, sebagaimana halnya perbuatan-
perbuatan yang dapat mendatangkan kebahagiaan. Dengan demikian, Allah SWT. telah
melengkapi manusia dengan potensi —˜™šîz (kemampuan membedakan antara yang baik
dan yang buruk), sebagaimana juga mengaruniai potensi ikhtiyâr (kemampuan memilih).
Karena itu, barang siapa yang mengutamakan jalan kebaikan, ia akan beruntung, dan
barang siapa mengutamakan jalan kedurhakaan, ia akan kecewa dan menyesal. 32
Muhammad Asad menafsirkan fa alhamahâ fujûrahâ wa taqwâhâ dengan
realitasnya adalah manusia setara dalam liabilitas untuk meningkat pada level spiritualitas
yang hebat atau terjatuh ke dalam tindakan amoral sebagai suatu karakter esensi watak
manusia. Dalam maknanya yang paling dalam, kemampuan manusia bertindak salah
sebanding dengan kemampuannya untuk bertindak benar. Dengan kata lain, polaritas
inheren dari berbagai kecenderungan yang memberikan pilihan yang benar suatu nilai
dan karenanya mempengaruhi manusia dengan moralitas kehendak bebas. 33

›œ žŸ d ¡ Ÿg  ¡aŸg ¢eŸ£¤di ¥¦§¨¢ ¦e¥©¥hŸay


Kalau ayat ini dipahami sebagai dakwah internal, maka tujuannya adalah
peningkatan kualitas keislaman seseorang yakni menjadi muslim paripurna. Landasan
skripturalnya adalah Q.S. al-Baqarah/2: 208, Hai orang-orang yang beriman, masuklah
ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah kamu menuruti langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan musuh yang nyata bagimu. Menurut M. Quraish Shihab, dalam
ayat ini orang beriman diminta untuk masuk ke dalam keislaman secara totalitas, dalam
artian melaksanakan seluruh ajaran Islam. Tidak hanya percaya dan mengamalkan
sebagian dan menolak atau mengabaikan sebagian yang lain. 34
Hamka dalam Tafsir al-Azhar, menafsirkan ayat ini dengan bahwasanya kalau
seseorang telah mengaku beriman dan telah menerima Islam sebagai agamanya,
hendaklah mengamalkan seluruh ajaran Islam secara konsekwen. Hendaknya seluruh
isi al-Qur an dan tuntunan Nabi diakui dan diikuti, diakui kebenarannya yang mutlak,
meskipun misalnya, belum diamalkan semuanya. Tidak boleh dibantah dan tidak boleh
mengakui adanya peraturan lain yang lebih baik dari peraturan Islam. Dalam pada itu,
hendaklah umat Islam melatih diri agar sampai meninggalkan dunia yang fana ini tetap
menjadi orang Islam 100%.35

32
Lihat Muhammad Abduh, Tafsîr Juz Amma, terj. Muhammad Bagir (Jakarta: Mizan,
1998), h. 192.
33
Ibid., h. 954-955.
34
Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur an, jilid
I (Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. 420.
35
Lihat Hamka, Tafsir al-Azhar, juz II (Jakarta: Panjimas, 1984), h. 50.
297
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010

Dakwah dalam konteks ini diarahkan pada upaya-upaya untuk senantiasa


meningkatkan kualitas keislaman seseorang. Dalam dataran teoretis ilmiah, umat Islam
didorong untuk senantiasa menambah dan meningkatkan ilmu agamanya. Sementara
dalam dataran praksis aplikatif, mereka diharapkan agar dengan tegas menjauhi
pengamalan Islam secara minimalis, karena ini menyangkut keselaª«¬«­ mereka bukan
hanya di dunia, tetapi teristimewa di akhirat kelak. Peningkatan kualitas keislaman ini
antara lain dilihat dari segi apresiasi, penghayatan dan pengamalan terhadap dimensi
keyakinan, ibadah dan akhlak.

7® ¯°± d²³²±g ´e±µa´aia± ¶·¸w


a
Takwa termasuk satu tindakan kesalehan yang diperintahkan untuk dicapai dan
ia juga merupakan bekal yang paling baik untuk menghadap ke hadirat Ilahi (Q.S. al-
Baqarah/2: 197). Menurut M. Isa Anshari, takwa adalah tujuan terakhir dari perjalanan
spiritual umat Islam. Umat takwa ialah umat yang senantiasa menjaga, memelihara,
mengawasi dan mengendalikan dirinya. 36 Di mata Abdullah Yusuf Ali, kata takwa
mempunyai tiga arti: (1) Takut kepada Allah, (2) Menahan atau menjaga lidah, tangan
dan hati dari segala bentuk kejahatan, dan (3) Kesalehan, ketaatan dan kelakuan baik.37
Dalam pandangan Fazlur Rahman, term ¬«¹ºâ biasa diterjemahkan dengan takut
pada Tuhan (fear of God) dan kesalehan (piety). Meskipun terjemahan ini tidak salah,
Muslim menolaknya karena mereka mengira frasa ini menyimpang dalam melihat
gambaran salah yang secara luas dipahami Barat, hingga dewasa ini, bahwa Tuhan
Islam adalah diktator atau tiran, dalam konteks di mana takut pada Tuhan mungkin
tidak bisa dibedakan dengan, katakanlah takut pada serigala. Akar kata takwa adalah
wqy yang berarti menjaga atau melindungi dari sesuatu. Karenanya, takwa berarti
melindungi diri dari akibat yang berbahaya dari perbuatan. Lalu jika takut pada Tuhan
seseorang memahaminya dengan takut dari konsekuensi perbuatan, apakah di dunia
atau di akhirat (takut pada siksaan hari kemudian) orang itu benar. Dengan kata lain,
takut yang lahir dari rasa tanggung jawab, di dunia dan di akhirat, dan bukan takut
pada serigala atau tiran, karena Tuhan dalam al-Qur an memiliki kasih sayang yang tak
terbatas, meskipun Dia juga menyiapkan pembalasan, baik di dunia maupun di akhirat.38
Di mata peneliti Muslim, takut banyak jenisnya: (1) Takutnya para pengecut, (2)
Takutnya seorang anak yang belum berpengalaman menghadapi bahaya yang tidak
diketahui, (3) Takutnya orang pantas yang ingin menghindari bahaya pada dirinya atau

36
Lihat M. Isa Anshari, Mujahid Dakwah, cet. 3 (Bandung: Diponegoro, 1984), h. 265.
37
Lihat Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur an: Text, Translation and Commentary (Maryland:
Amana Corporation, 1989), h. 17.
38
Lihat Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur an (Minneapolis: Bibliotheca Islamica,
1994), h. 28-29.

298
Iftitah Jafar: Tujuan Dakwah dalam Perspektif al-Qur an

orang-orang yang ingin dilindungi, (4) Penghor»¼½¼¾ yang berhubungan dengan cinta,
karena ia takut melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan obyek cinta. Takut jenis
¿ÀÁ½¼»¼ tidak bermanfaat bagi manusia, yang ÂÀÃļ, perlu bagi orang yang belum

dewasa, ÂÀ½ÅƼ, tindakan pencegahan secara jantan melawan kejahatan sepanjang ia


tidak terkalahkan, dan ÂÀÀ»¿¼½, adalah cikal bakal kesalehan. Mereka yang dewasa
dalam iman akan memilih yang keempat, pada tingkatan-tingkatan lebih awal, ketiga
atau kedua mungkin perlu, mereka takut namun bukan kepada Allah. Yang pertama,
suatu perasaan yang setiap orang seharusnya merasa malu. 39
Bagi orang-orang takwa disiapkan surga dan kenik »¼½¼¾, dan mereka kekal di
dalamnya (Q.S. al-Thûr/52: 17). Perintah dan anjuran bertakwa ini sangat penting
kedudukannya dalam dakwah, karena itu disyaratkan dalam khutbah Jum at atau ÇÈÃ,
baik khutbah pertama maupun khutbah kedua. Dasar perintah bertakwa antara lain
disebutkan dalam Q.S. al-Nisâ /4: 1 ÉʼŠËÀ¼Ìż¾ »¼¾ÄËż, ÍÀÁ½¼ÂÎ¼Ì¼Ï ÂÀ¿¼Ã¼ ÐÄϼ¾»Ä
Ѽ¾Æ ½ÀÌ¼Ï »À¾ÒÅ¿½¼Â¼¾ ¼»ÄÓ .. Selanjutnya dalam Q.S. Âli Imrân/3: 102, Allah
berfirman ʼŠÔÁ¼¾Æ-ÔÁ¼¾Æ ¼
y¾Æ ÍÀÁÅ»¼¾, ÍÀÁ¼ t ¼
wÌ¼Ï ÂÀ¿¼Ã¼ ÕÌÌ¼Ï ËÀÍÀ¾¼Á-ÍÀ¾¼Á ¼
t ¼w
ÂÀ¿¼Ã¼-Öy¼, ü¾ ×¼¾Æ¼¾Ì¼Ï ËÀ¼ÌÅ -¼ÌŠ¼»Ä »¼½Å »À̼ž¼¾ ü̼» ÂÀ¼Ã¼¼¾ ÍÀÁ¼Æ¼»¼

ÈË̼»Ó Ayat ini didahului dengan informasi bahwa orang yang berpegang teguh pada

agama Allah akan diberi petunjuk jalan yang lurus. Sedangkan dalam ayat sesudahnya,
memuat perintah untuk berpegang teguh pada agama Allah dan larangan bercerai-berai.
Adapun ciri-ciri orang bertakwa berdasarkan petunjuk al-Qur an antara lain
sebagai berikut. Mereka beriman kepada yang gaib, mendirikan salat, menafkahkan
sebagian hartanya, percaya kepada kitab-kitab yang telah diturunkan serta yakin adanya
kehidupan akhirat (Q.S. al-Baqarah/2: 3-4). Ciri-ciri lainnya adalah berinfak di waktu
lapang maupun sempit, menjaga amarahnya, memaafkan kesalahan orang. Kalau
melakukan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka mengingat Allah dan
memohon ampun atas dosa-dosanya dan tidak meneruskan perbuatan kejinya (Q.S.
Âli Imrân/3: 134-135). Terdapat beberapa kelebihan bagi orang-orang yang bertakwa,
antara lain akan diberi jalan keluar dari masalah yang dihadapinya dan akan diberi
rezki dari sumber yang tak terduga (Q.S. al-Thalâq/65: 2-3), akan dimudahkan segala
urusannya (Q.S. al-Thalâq/65: 4), akan dihapus segala kesalahannya dan diberi ganjaran
yang besar (Q.S. al-Thalâq/65: 5).
Untuk formulasi insan takwa yang lebih luas, menarik untuk dicermati rumusan
yang diajukan Syahrin Harahap. Dengan berdasar pada petunjuk kitab suci, referensi
tradisi yang dikemas dengan idiom-idiom modern, Harahap memformulasi orang
bertakwa adalah orang beriman yang: (1) Dapat memainkan fungsi-fungsi kekhalifahannya

39
Lihat The Presidency of Islamic Researches, Ifta , Call and Guidance, ØÙÚ ÛÜÝyÞßàáâã
y (Madinah: King Fahd Holy Printing Complex, 1410 H),
h. 170-171.
äâåÝæçÙ ØàáâçÝáèæÜâ áâé êÜëëÚâèáà

299
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010

dan mampu membaca ayat-ayat ìíîïðñíò dan ayat-ayat óíîôðñíò, (2) Senantiasa menegakkan
salat sebagai realisasi dari pengakuannya terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha
Pencipta dan Maha Gaib, (3) Memiliki iman yang fungsional, yang dibuktikan dengan
aktivitas dan amal saleh, (4) Mempunyai visi yang jelas mengenai masa depan yang
hendak dibangunnya, (5) Menangani pekerjaan secara õöí÷ îøùó yang kompak yang
tercermin dalam úóòúîíò ðûïâmiyah, (6) Mampu menunda kesenangan sesaat, karena
mengutamakan kesenangan abadi.40

üý nutp
Sebagai kewajiban dan tugas suci, dakwah seharusnya diarahkan sesuai dengan
petunjuk al-Qur an. Hal ini dimaksudkan agar dakwah tetap berjalan di atas tujuan
yang telah dirumuskan al-Qur an. Tujuan-tujuan tersebut ditentukan oleh Tuhan yang
mewajibkan dakwah itu sendiri. Tugas dai atau lembaga dakwah adalah menyesuaikan
dan mengarahkan dakwahnya pada tujuan dimaksud. Munculnya agama Islam pada
awalnya memang dimaksudkan untuk melepaskan manusia dari alam kegelapan
menuju cahaya yang terang benderang. Tujuan ini akan tercapai bilamana manusia
mengenal Tuhan, Penciptanya dan bagaimana mereka bersikap dan berbuat kepada-
Nya. Iman yang benar dari upaya dakwah akan terefleksi dalam ibadah dan akhlak.
Dakwah yang berhasil akan mampu memenangkan ilham atas fujûr, mampu mengantar
manusia menemukan fitrahnya, mendorong tercapainya manusia paripurna. Tujuan-
tujuan ini sesungguhnya akan bermuara pada terwujudnya insan-insan yang bertakwa.

stuk
ü þþ ÿ un
þ

Abduh, Muhammad. Tafsîr Juz Amma, terj. Muhammad Bagir. Bandung: Mizan, 1998.
Abdulrahman, Muhammad Imaduddin. Kuliah Tauhid, cet. 3. Jakarta: Kuning Mas, 1993.
A Group of Muslim Scholars. An Enlightening Commentary into the Light of the Holy Qur an,
trans. Sayyid Akbar Sabr Ameli. Isfahan: Amir al-Mu mineen Ali Library, 1998.
Ali, Abdullah Yusuf. The Holy Qur an: Text, Translation and Commentary. Maryland: Amana
Corporation, 1989.
Anshari, M. Isa. Mujahid Dakwah, cet. 3. Bandung: Diponegoro, 1984.
AS, Enjang dan Aliyuddin, Dasar-Dasar Ilmu Dakwah: Pendekatan Filosofis dan Praktis.
Bandung: Widya, 2009.
Asad, Muhammad. The Message of the Qur an. Gibraltar: Dâr al-Andalûs, 1980.
Bakar, Osman. Tauhid dan Sains, terj. Yuliani Liputo, cet. 2. Bandung: Pustaka Hidayah, 1995.

40
Untuk penjelasan detail, lihat Harahap, Islam Dinamis, h. 111-112.

300
Iftitah Jafar: Tujuan Dakwah dalam Perspektif al-Qur an

Djaelani, H. A. Timur. Pembahasan Umum Mengenai Dakwah. dalam   


.
Jakarta: Pusat Dakwah Islam Indonesia, 1972.
Fadh Allâh, Muhammad Husain.
ûb al-Da wah fî al-Qur ân, terj. Tarmana Ahmad
Qosim. Jakarta: Lentera Basritama, 1997.
Gharishah, Alî. Du âtun lâ Bughâtun, terj. Abu Ali. Solo: Pustaka Mantiq, 1979.
Ghazali, M. Bahri. Dakwah Komunikatif: Membangun Kerangka Dasar Ilmu Komunikasi
Dakwah. Jakarta: Pedoman Ilmu, 1997.
Habib, M. Syafaat Buku Pedoman Dakwah. Jakarta: Widjaya, 1982.
Hamka, Tafsir al-Azhar, juz II. Jakarta: Panjimas, 1984.
Harahap, Syahrin. Islam Dinamis: Menegakkan Nilai-Nilai Ajaran al-Qur an dalam
Kehidupan Modern di Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997.
Hasymi, A. Dustur Dakwah Menurut al-Qur an. Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
Kafie, Jamaluddin. Psikologi Dakwah: Bidang Studi dan Bahan Acuan. Surabaya: Offset
Indah, 1993.
Al-Khatîb, Abd al-Hâmid. Asmâ al-Risâlât, terj. Bey Arifin, jilid II. Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
Khûlî, Bakhyûl. Tadzkirat al-Du ât, Beirût: Dâr al-Kutub al-Arâbîyyah, t.t.
Mahfûzh, Syaikh Alî. Hidayat al-Mursyidîn. Kairo: Dâr al-Kutub al- Arâbîyyah, t.t.
Muhiddin, Asep. Dakwah dalam Perspektif al-Qur an: Studi Kritis atas Visi, Misi dan
Wawasan. Bandung: Pustaka Setia, 2002.
Muslim, Imâm. Shahîh Muslim. Riyâdh: Dâr al-Salâm, 1999.
Quthb, Sayyid. Tafsîr fî Zhilâl al-Qur ân, juz II dan IV. cet. 17. Beirut: Dâr al-Syurûq, 1992.
Quthb, Sayyid. Fiqh al-Da wah: Mawdhu ât fî al-Da wah wa al-Harakah, terj. Suwardi
Effendi dan Ah. Rosyid Asyofi. Jakarta: Pustaka Amani, 1986.
Rahman, Fazlur. Major Themes of the Qur an. Minneapolis: Bibliotheca Islamica, 1994.
Safe i, Agus Ahmad. Kajian Aksiologi Ilmu Dakwah, dalam Aep Kusnawan, et al..
Dimensi Ilmu Dakwah: Tinjauan Dakwah dari Aspek Ontologi, Epistemologi, Aksiologi,
hingga Paradigma Pengembangan Profesionalisme. Bandung: Widya Padjadjaran, 2009.
Sandjaja, Sasa Djuarsa, et al. Pengantar Komunikasi. Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka,
1993.
Al-Shabûnî, Muhammad Alî. Shafwat al-Tafâsir, vol. II, cet. 4. Beirût: Dâr al-Qur ân al-
Karîm, 1981.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur an, jilid I. Jakarta:
Lentera Hati, 2000.
Sri Wahyudi, Agustinus. Manajemen Strategik: Pengantar Proses Berpikir Strategik. Jakarta:
Binarupa Aksara, 1996.
Al-Thabathaba î, Muhammad Husain. Al-Mîzan: An Exegesis of the Qur an, vol. I. Jakarta:
Institute for the Study of Religion and Philosophy, 1983.

301
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010

The Presidency of Islamic Researches, Ifta , Call and Guidance,     
 ! "##. Madinah: King Fahd Holy Printing Complex, 1410 H.
Ya qub, Ali Mustafa. $% ! &! '() *+. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.
Zahrah, Muhammad Abû. ,-' ) â al-Islâm, terj. Ahmad Subandi dan Ahmad
Sumpeno. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.

302
-./-0 1234-05/0-0 -.26 1-7.- 87/0-39
:; <=>? @;AB>CDEC>C F;=>G>GH>C IGJ>A

KLkiman
MNOPQRNS TSUPQPVVWX YZY[ \P]NR^_N TRN_N `^VNX.
aQ. bWQQ^] YSONXVN_ cNSN_ d `^VNX eSRNR^, 20731
^-]NWQ: fWXSPOW]NXghNUii.ji]

Aklmnopm: Reference of Development in the Post-Tsunami Aceh: An


Analysis Toward Islamic Based Development. qrstuvw xwruryz{ |}}s{{zx
wt ~}z }usrzr t|y |t€ wt yz €|ry |‚ u ƒ{zuy tsv„z{ €w…zr „sy u€r| wt …z{ rz{w|sr
xzry{s}yw|t |‚ wt‚{ury{s}ys{z utx z…z{ ur†z}y |‚ €w…zr. qsr, wt †|ry qrstuvw, {z„sw€xwtƒ
~}z „z}|vzr yz †{w|{wy |‚ yz ƒ|…z{tvzty‡ qwr u{yw}€z y{wzr y| utu€yw}u€€
xzr}{w„z …u{w|sr ƒ|…z{tvzty †{|ƒ{uvr wt {z„sw€xwtƒ ~}z wt yz †|ry qrstuvw.
ˆt rs} u }|tyz‰yŠ yz usy|{ u{ƒszr yuy „zrwxzr {z‚z{{wtƒ y| tuyw|tu€ xz…z€|†vzty
†{|ƒ{uv ‹ŒŽ‘’“” {z„sw€xwtƒ ~}z u€r| {z‚z{ y| yz {zƒs€uyw|t |‚ •’‘–‘ |‚ ~}zŠ
u {zƒs€uyw|t |‚ —w} }|trywysyzr yz †{wt}w†€zr |‚ ˆr€uvw} yzu}wtƒr y| „z srzx ur
u „€sz †{wty ‚|{ {zu„w€wyuywtƒ utx {z}|try{s}ywtƒ wt yz †|ry˜qrstuvw ~}z‡

Kata Kunci: ™š›œžŸ žž, ™¡¢™šž£, ¤¥¦§¦ ¨©šª

«¬­®¯°±²±¯­
³´µ¶ ¨©šª µžŸ ›šž· · ´¸ £¹ª £¶  ™¡¢º¸ž£¸ ™¹¸žŸ »¡¶ ¼ ›¶š¡ ›µ¢¡¸¶£
œš¡Ÿ› ½£¹›, ›š¡š´ ¶š¹ª ›šž¾·¸´ž ¼µ¡¸¶ ½£¹› £šœŸ¸ ££ ´šª¸· ™ž £šª¡¸-
ª¡¸. ½£¹› µžŸ ·¸ž ¶ ¸¶  ¶š¹ª œš¡´¡ £š¾´ ½£¹› ›£ ´ ´š ¿¸¹µª ¨©šª £š´¸¶¡
œ· ´š¶¸Ÿ œš¹£ ·¸ ™š£¸£¸¡ Àš¡¹´.1 Á¿£ž ¸ž¸ ›š¡ ™´ž ´š¡¾ž ½£¹› ·¸ ¨£¸
šžŸŸ¡ µžŸ ¶š¹ª · £š¾´ œ· ´ššž› œš¹£ ·ž ´š¶ ¾ ª œš¹£ Ý£šª¸. ¼š¾´ ¸¶ ¹ª
½£¹› ¶š¡ £ œš¡´š›œžŸ, £šª¸žŸŸ ¨©šª ›šž¾·¸ ™ £¶ ½£¹› ·¸ ¨£¸ šžŸŸ¡. ڞ ¡ ¶

1
Äw€uu ~}z ÅzywÅu wys yz€u †s€u vztÆuxw Åz{uÆuut ˆr€uv Çuvsx{u Èuruw, „uÅut
xu€uv Åwyu„ ÉÊË̒ ’Í-ΒÏÏ ÐÑ ÒÑ͓ÑÍ’Ì Ó’Ô’ ŒÍ’Õ vztz„syÅut „u—u rzÆuÅ u„ux Åzrzv„w€ut
xw Èz{€uÅ rsxu „z{xw{w Öz{uÆuut ˆr€uv. Öwyu„ wtw xwys€wr |€z rz|{utƒ †zts€wr rzÆu{u „z{tuvu
~„s ˆrâq al-Makranî al-Fasî. Ia berasal dari keluarga Mekran Baluchistan (Pakistan Barat)
yang sejak lama tinggal di Pasai. Dalam kitab itu dikatakan, kerajaan Perlak didirikan pada
tahun 225 H/847 M, dan diperintah berturut-turut oleh delapan Sultan. Taufik Abdullah, ×
’Í. (ed.), ؑ“ÑÕ͎ÙÑ Ê“Í’Ú (Jakarta: Ichtiyar Baru van Hove, 2002), h. 12.
303
MIQOT ÛÜÝ. ÞÞÞßÛ àÜ. 2 áâÝã-äåæåçèåé 2010

êëìíîï ðñòìóóëô, ðõöô ÷öóëô øöùúëøëóïëù ûüóëø üöõëýë þÿ ÿ üöøìýùë òëù øöùõëëî
ïöëëëù ëòë øëüë ïöüìó÷ëùëù ðõöô òëýî ÷ëôìù 1514-1912 . öùìýì÷ ñöóîëì, ïöëëëù
ðõöô îùî òîýëîô ïëýöùë öøîøîù øöýöïë øëøì øöøñëùúìù øëüëýëïë÷ùë üöñëúëî
ìøë÷ ëùú üëóöô ü÷ýìï÷ìý öøöýîù÷ëô ûüóëø ëùú öóëü, 2 îù÷öúýëüî ëù÷ëýë ûüóëø òöùúëù
ëòë÷ îü÷îëòë÷ ðõöô3 òëù øöøîóîïî öùòîòîïëù ëùú ñöýïìëóî÷ëü. ûùî ÷öýñìï÷î òöùúëù
÷öýëùúïë÷ùë ðõöô øöùëòî ìüë÷ öùòîòîïëù òî ðüîë êöùúúëýë, øöøîóîïî ÷ììô ñöóëü íëïìó÷ëü
òëóëø ñöýñëúëî ñîòëùú îóøì ëùú ÷öóëô øëüôìý ëòë øëüë ìó÷ëù ûüïëùòëý ìòë. 4

ëòë ë ëó öýìëùúëù ïöøöýòöïëëù öìñóîï ûùò ùöüîë, øëüëýëïë÷ ðõöô ÷öóëô øöøîóîïî
üöøëùúë÷ ïöîüóëøëù ëùú øëøì øöøöý÷ëôëùïëù ïöòëìóë÷ëù ðõöô òëýî öùëëô öóëùòë,
üöôîùúúë ðõöô ììò üöñëúëî òëöýëô ø òëó5 òëóëø ýëùúïë øöýëîô ïöøöýòöïëëù öìñóîï
ûùò ùöüîë ëòë ÷ëôìù 1945. ëóëììù ñëýì øöùúôîýì üìëüëùë øöýòöïë òëýî öùëëô öóëùòë
÷ëôìù 1946, ðõöô øöùúëóëøî ýö óìüî ü üîëó òöùúëù ÷öýëòîùë öýëùú ìøñ ï ëùú øöùú ý-
ñëùïëù 1.500 ýëùú öùòìòìïùë.6 öüïîìù òöøîïîëù õî÷ë-õî÷ë øëüëýëïë÷ ðõöô ìù÷ìï
øöøöý÷ëôëùïëù ûüóëø òî ÷ëùëô ðõöô 7 üöëïëù-ëïëù üöóëóì øöùòëë÷ ôëøñë÷ëù òëýî

öøöýîù÷ëô
ìüë÷ ûùò ùöüîë, ñëôïëù
ý îùüî ðõöô òîôëìüïëù òëù òîúëñìùúïëù òöùúëù

ìøë÷öýë ÷ëýë. öñëñ î÷ì, ëòë 21 ö÷öøñöý 1953 øöóö÷ìüóëô öýîü÷î ë ëýìó ûüóëø ë÷ëì

êöù÷ëýë ûüóëø ûùò ùöüîë û/êûû òî ðõöô ëùú òîîøîù óöô ìôëøøëò ëìò öìýöìöô.

2
äÝç æéââé åæâÝ å åé â åÝÜçÜ åé  çåÝæ
â æ æåæâã å èæ  åâæ çæã-çæã.  !"#$# , %âæãÜéãæ Ýç
çæÝ âã &' 1. ()*"#+ Ýç âã åæâÝ; 2. ,* -#*#+. Ýç âã /#+..!0; 3. #+.*1$#
(#.0 Ýç âã 2#.1; 4. 3 4#*# 5)61$ Ýç âã $)61$; 5. 3 )716 Ýç âã $ )+#2#8
â .#$4)+.. 3 9)#, %âæãÜéãæ Ýç çæÝ ç &æéã' ãâ: 1. :#981 5#*16 ;<91*
åçã 2)*"#+= 2. :#981 )* -#*#+. åçã )* -#*#+.; 3. >$)$ 5)61$ åçã
åÝ $)61$; 4. ? )+.6u5 )+#2#8  âã $ )+#2#8 â .#$4)+. . >-19., @ 220.
3
äÝç åÝæ ßæÝç å çååæâã éã ç å éãæã â 
ãæã ãâ åéåéçã Ýç â å  æ ÜâÝåé ãâ A #9#" +.0+ 8u60$
z " +.0+ 21C )"D éã E#9#" 9#+ 2#y !1#" >2*#$ "19#6 9#4#" 91412#86#+, 2 4 !"1 # z"
.
8#+B )" 7! #
äã æã ã å ßæÝ ç æâ çåéâ è ã éã ãæ ã å ä Ý ç
çæé å  â èåâ ââç  èåéÝâ, ãÝ 4 !"#$#, Ý  8#+# )-#8
9 +.#+ 21C#"              @ 

21)$u$#2# &ååâ ÝÝ FGH.'  ã èåéâè æåI çæ@ 3 9)#, Ý #*-
5u8#66#$#8 & åèãæ çæé èåéæé çæé ßæÝç. >-19, @ 219.

èâ áãJ <2#* ,2)* 3 !#B##+ <7 8 (#$4#1 <7 8 5 !9 6# &@@: @., 2002', @ 2.
4

5
äåé çÜÝ èåéç èK å åÝ çãÝ æåèã æâ-æâ KãÝ ã
LåâèÝã ßÜåæã  æâ çå ååéèâ MåÝ Ýç â Ýã ååé,
æåã æååÝ ãâ ãæIâ æåãã Ýã ÜÝå Néåæãå FÜåéÜ åã èåéâIâ å
å èâÝ áâã 1948. Néåæãå çåçèåéã åÝé åÜé $#"#+ èã å å äåé OÜÝ.
Pã . QæIçã, ( $#+.#" 5 !9 6# RS ?#8)+ 5 + $4)8 T#*#+  !.0*#6#+ 9#+  !B)#+.#+
3 $ !9 6##+ &áéU MâÝ Mã, 1985', @ 396.

Nåé VâçèÜ Ý æâæ åçèââ åé âç *u -#*#+. ã FãÝã, éå âç
6

)* -#*#+. èåéåãã çååçèÝã åâæ MåÝ  çåÝâ åéIæç å


åéI MåÝ@ Ý-Vãé, <7 8 W !21$-#8 X#!#8 &áéU Nâæ Ý-Yâæé, 1998', @ 1.
7
äÝç âIâ Néåæãå FÜåéÜ å å èâÝ áâã 1948 ãâ, Néåæãå åÝ
çåIIã  çåçèåéã  ÜÜÜçã Ýâæ èã å æåã  çåIÝ Féã
ßæÝç. >-19., @ 96.
304
±•¨—–›: ¢£•–› ¸¤—«–›¡•›–› ¢£¤’ ¸–š£– œš•›–—

,
Z[\[ ]^[ _^\] `[^a \b c[d[e f]g]hbhgbi[i jk]e[^lk mn]e h]io[p[hb h[q[p[e q]f[pb

. ,
p[ob Z]h]^bil[e Zaq[l lb\[f c]obla [\bp f]g[\[ mn]e l]^al[h[ f]lbf[ g^kr]f g^kr]f c]q[^ -
.
mn]e sl[^[ hap[b \b^bilbq tbiof[l g]ir]^[g[i l]i[o[ f]^u[ pkf[p q]i[ilb[q[ \bgbioob^f[i

l]l[gb l[i[e h]^]f[ \boai[f[i ailaf g]hc[ioai[i .8 v[qbp f]f[r[[i cahb q]g]^lb hbir[f,
o[q \[i g^k\af p[biir[ c[ir[f \b[hcbp \[^b cahb mn]e q]ebioo[ ^[fr[l h]^[q[ \b^aobf[i.

mfbc[lir[, q]fbl[^ l[eai 1976 f]hc[pb h]p]laq g]^ua[io[i mn]e w]^\]f[ xmwy r[io h]^ag[f[i

p[iual[i o]^[f[i z{|t{{} ~]^[f[i bib c]^laua[i h]daua\f[i f]^[u[[i {qp[h \b mn]e

r[io \bgbhgbi kp]e wae[hh[\ v[q[i tb^k .9 ~]^[f[i bib \[g[l \b[l[qb kp]e g]h]^bil[e[i
jk]e[^lk \]io[i h]iu[\bf[i mn]e q]c[o[b z[]^[e _g]^[qb wbpbl]^ xz_wy g[\[ l[eai 1989.

z_w \b mn]e bib \bp[faf[i \]io[i [p[q[i ailaf h]hapbef[i f][h[i[i. Z]^bp[fa l]il[^[

\b mn]e bib l]p[e h]hc]^b g]io[^ae i]o[lb f]g[\[ h[qr[^[f[l mn]e q]ebioo[

h]inbgl[f[i qa[q[i[ r[io h]in]iof[h l]^e[\[g ^[fr[l mn]e €][\[[i \]hbfb[i c]^p[fa .
q]ebioo[ f]fa[q[[i jk]e[^lk u[lae h]p[pab aiuaf ^[q[ i[qbki[p g[\[ l[eai 1998.
, ..
Z[\[ h[q[ _^\] ]k^h[qb \b c[d[e Z^]qb\]i ` ‚ v[cbcb] r[io h]i]^[gf[i g^biqbg

f]l]^caf[[i l]^h[qaf h]hc]^bf[i e[f \]hkf^[qb \[i klkikhb \[]^[e r[io \[g[l

- .
h]hg]^pa[q dbp[r[e h[qbio h[qbio €][\[[i bib h]hc]^b g]pa[io f]g[\[ ^[fr[l mn]e

ailaf h]p[faf[i ƒ„…„ƒ„†‡ˆ‰ xh]i]ilaf[i gbpbe[i q]i\b^b h]p[pab u[u[f g]i\[g[l ^[fr[l

. -
mn]ey Š]cbe p]cbe p[ob g[\[ h[q[ f]g]hbhgbi[i mc\a^^[eh[i ‹[eb\ r[io q[io[l h]hc]^b

g]pa[io ailaf c[iofblir[ ~]^[f[i mn]e w]^\]f[ x~mwy Z^]qb\]i mc\a^^[eh[i ‹[eb\ .
q]laua h]io[\[f[i ƒ„…„ƒ„†‡ˆ‰ \b mn]e \[i b[ r[fbi c[ed[ ^[fr[l mn]e h]hgair[b

fkhblh]i l]^e[\[g ]gacpbf {i\ki]qb[ . Œ[hai q]fbl[^ 2 ual[ ^[fr[l c]^fahgap \b

e[p[h[i w[qub\ [r[ `[bla^[eh[i \b `[i\[ mn]e h]ir]^af[i f]h]^\]f[[i \[i

.
h]i]^b[ff[i ~]^[f[i mn]e w]^\]f[ w]^]f[ h]ir]cal [n[^[ bib q]c[o[b jb\[io shah

.
w[qr[^[f[l Z]ua[io „…„ƒ„†‡ˆ‰ xjswZy tbo[ e[^b f]ha\b[i h[e[qbqd[ mn]e h]ikp[f

kgqb ƒ„…„ƒ„†‡ˆ‰ r[io \bl[d[^f[i Z^]qb\]i mc\a^^[eh[i ‹[eb\ f[^]i[ lb\[f [\[ gbpbe[i

ailaf h]^\]f[ . `]pb[a e[ir[ h]i[d[^f[i ƒ„…„ƒ„†‡ˆ‰ ailaf ^[fr[l mn]e \]io[i

h]hc]^b gbpbe[i [il[^[ klkikhb feaqaq \]io[i [alkikhb lkl[p h[agai \]io[i

.
g]^bhc[io[i f]a[io[i gaq[l \[i \[]^[e {qa ƒ„…„ƒ„†‡ˆ‰ l]^q]cal q]h[fbi fa[l q]ebioo[ ,
d[^o[ mn]e l]^al[h[ ]libq ‚[d[ h]ibioo[pf[i mn]e q]n[^[ ^[h[b ^[h[b f[^]i[ -
fe[d[lb^ [f[i l]^u[\b g]^[io q[a\[^[ f]lbf[ ƒ„…„ƒ„†‡ˆ‰ bla \bp[fq[i[f[i .10

8
Ž‘., ’“ 81.
9
” •’–— —– ˜ ™–š– › œ žŸ – ˜– –’ Ÿž –›¡ ¢£¤ ’ ¥– ›¡ —¤ž – š– ¦¤ ž §–›¡¡  •›¦ •¨

­¤ –• ¨¤¦¨– ¦• ¦›¡¡–  ˜ ®¤¯ °Ÿž¨, ¢—¤ž¨– ±¤ž¨–¦² š¤«–¡– —–’–šš¯– ³–¨• ¦–š ™•¨•— ˜
—¤—§¤ž©•–›¡¨–› ˜–¤ž–’ ¢£¤’ —¤›©–˜ ¨¤ž–©––› ªš –— ¥–›¡ «¤ž§š–’ ˜–ž ¬¤§•« ¨ ª›˜Ÿ›¤š–“

´Ÿ •—«– µ›¶¤žš¦¥, ˜–› š¤«–¡– š¦–· ¸¤ž¯–¨ –› ª›˜Ÿ›¤š– ˜ ®¤¯ °Ÿž¨. ±¤©–¨ «• –› ±¤§¦¤—«¤ž
1954
˜¨¤›–  ©•¡– Ÿ ¤’ ˜•›– ›¦¤ž›–šŸ›– . ª– —•›£•  š¤«–¡– ¹•¦– ­¤š–ž ¬¤§•« ¨ ªš –— ª›˜Ÿ›¤š–
š¤£–ž– —¤›¡¤©•¦¨–› ™–š–› œžŸ ¦˜–¨ š–©– ˜¨¤›–  —–š¥–ž–¨–¦ ª›˜Ÿ›¤š–² –¨–› ¦¤¦–§

˜ ¢—¤ž¨– ˜–› ¸¤žš–¦•–› ­–›¡š–º­–›¡š–“ ”. ®•ž »  ª«ž–’—¥, ¼½¾¿ÀÁ ÂÁÃÄÅÅđ ÆÄÁ‘ ǽȽÁ½Ã
Éʖ¨–ž¦–Ë ̕›•›¡ ¢¡•›¡, 1986Í, ’“ 13.
¸ž–«•˜ ±–˜² ǽȐÎÄ Ï½ÈÐΐÑÄ ÒÓ ¼ÄÃÁ¾ ÔÄÐÕÄ‘Ä É”¤˜–›: ¸ž–¨–žš– ¢«–˜ ¸ž¤šš, 2006Í,
10

’“ 148.
305
MIQOT Ö×Ø. ÙÙÙÚÖ Û×. 2 ÜÝØÞ-ßàáàâãàä 2010

åæçèèèé êëæì íæîèïðé ïñéòóðï ðéðóèì ôèçè ìèõð öðé÷÷ø , 26 ùæíæîúæõ 2004 ïðõè-
ïðõè ôøïøó 08.58 ôè÷ð ûèïüø ýéçñéæíðè úè÷ðèé þèõèü üæõÿèçðóèì ÷æîôè úøîð èé÷
úæõïæïøèüèé 9.0 ôèçè ïèóè ðëìüæõ  èé÷ îæéðîúøóïèé üíøéèîð çð õñðéíð

èé÷÷õñæ êëæì ùèõøííèóèî. æîôè úøîð çèé üíøéèîð ðéð üæóèì îæé÷ìèéëøõïèé
11

úæúæõèôè ïñüè úæíèõ íæôæõüð þèéçè êëæì öæøóèúñì ð÷óð, ðé÷ïðó


ìñïíæøîèûæ çèé

ïñüè-ïñüè ïæëðó çð íæôèéÿèé÷ ôèéüèð êëæì öøíðúèì ðéð üæóèì îæé÷ìèéëøõïèé úèé÷øéèé-

úèé÷øéèé, õøîèì õøîèì ôæéçøçøï, çèé ôøíèü ôøíèü ôèíèõ õè è. æéçæïé è, úæéëèéè

ðéð üæóèì îæõøíèï ïæìðçøôèé îèí èõèïèü êëæì íæôæõüð ïæìðóèé÷èé íèéèï íèøçèõè,

ïæìðóèé÷èé ôæïæõÿèèé çèé ïæüæõüðé÷÷èóèé ôæéçðçðïèé çèé øíèìè. æõðíüðûè ÷æîôè úøîð

çèé üíøéèîð çæé÷èé úæúæõèôè çæõæüèé ïñéòóðï èé÷ úæõôèéÿèé÷èé ðéð üæóèì îæõøíèï


ïæìðçøôèé îèí èõèïèü ýíóèî êëæì ýè üæóèì îæé÷æîúèóðïèé îèíè óèóøé è èé÷ ôæéøì

,
çæõðüè ïæíæé÷íèõèèé çèé ïæüðé÷÷èóèé . 12

íøéèîð îæõøôèïèé ôøéëèï ôæéçæõðüèèé îèí èõèïèü åæéèôè îøíðúèì úæíèõ ðéð
úæõóèïø çð êëæì. æúæóøî ðéð ôøé, ôèçè üèìøé 1953 üæóèì üæõÿèçð úèéÿðõ úæíèõ íæìðé÷÷è

îæéæé÷÷æóèîïèé íæóøõøì êëæì. èçè üèìøé 1964 üæõÿèçð ïæîúèóð ÷æîôè úøîð úæõíïèóè

6.7 íïèóè õðëìüæõ. èçè üèìøé 1983, üæóèì úæõóèïø íæïèóð óè÷ð úèéÿðõ úæíèõ çèé ÷æîôè
úøîð ïøèü èçè üèìøé 1999, üæõÿèçð óè÷ð úèéÿðõ èé÷ úæíèõ ìðé÷÷è îæéæé÷÷æóèîïèé

þèéçè êëæì. öæé÷æéèé÷ îøíðúèì ðéð, . è æç øèç èïèõðè, åæüøè ùæûèé æõûèïðóèé
13

èï èü êëæì ïæüðïè ðüø îæé÷èüèïèé:


þèìûè úèé èï õèï èü çð íæïðüèõ ïðüè úæõüèé è îæé÷èôè îèóèôæüèïè èé÷ çèìí èü

. ,
ðüø üæõÿèçð ÿøíüæõø çð üèéèì íæõèîúð öèïïèì èé÷ ôæéçøçøïé è ìèîôðõ íæóøõøìé è

úæõè÷èîè ýíóèî öæé÷èôè îøíðúèì èé÷ èîèü üõè÷ðí ðüø çðõèíèïèé ñóæì õèï èü çð

. /
úøîð ýíïèéçèõ öøçè èé÷ üæóèì çðé èüèïèé íæúè÷èð çèæõèì èé÷ úæõóèïø í èõðèü

ýíóèî öæé÷èôè üèéèì õæéëñé÷ èé÷ üæóèì îæóèìðõïèé õðúøèé øóèîè çèé ôèìóèûèé

11
àâ ãÝâÞ  Ø 26 ßàáàâãàä 2004 â 08.58 à àÝ 9,0 
Ø Þàä , àãÞáààä   3 0 !" ß#Û 95 0 $% ãàä Þ Øàá Þ Ýâàä Þ
"ä ÝØÝ ÞâàÝØÝà. &Ýá àâ à àØâ 30 '( àä×Ø× àâ Ø 
á âàäÝá, ãàä  ãÞ àØ Øàâà à×Þ $ Þäâ) Øàâà à×Þ âÞä×
( âä ãàä Þ âÝàä ÚÞ  ×áÞáÞ à×ä*Þá ä + 2 0 !" , 6 0 !"  + 92 0 $%
, 96 0 $% Ü× %äÞ, Þ-Þá Øàâà à×Þ ( âä â àäâà. !Þ.
/01203 4056070 10 ÜÝäÞ 2005.
12
'à áààäÞ ÞÞ àäÞ Þ 8Ø âá ã ÝãàÝä #. 9áâÞ ÞØÞ 
Ø 27 ÜÝäÞ 1957 âà8äÞáÞ ãÝâÞ #à.  àØ. .Ýä, ×ä-×ä) àÝÝ 
àØ . â âààäÞ, àã  - ÝáÞ áà×Ø. Þ ãàäàáàâ ãàØä,
à××âÞ ä  àØ. ãàä, á8.  Ø àäãàØÞ, äÝâ.:äÝâ. ã  
àäãä, áä-áä áÝ Þ, àäà Þ âàÞ âÞ äà äàØ   âàâ äÞ àØ
(Ø àØ. Þã×ä, Ø-Ø ä  àØ. àä××-××, àäà.  àäâÝáÝ.
âàà â âá ä , ààâá  àÝ àÝÝ , ÞäÞ .Þ, .áÝ  * Þ.
âàä×ãà-ä×ãà àäÝÝ  àäâÞ. 9áâÞ, ;<=03>0? @<17<A0 , .B 555.
13
#Câ ÚáâÞØ, <? 0D., /2A=0E F5G30=2 72 H02?G110E=03 $ #à.I &àÝäÝá (áÞ
  $ÞÝää.â $ #à. àäáâ à ß&ß Ûä×à #à. ßäÝááØâ, 2005,
.B 106.

306
Sukiman: Acuan Pembangunan Aceh Pasca Tsunami

JKLMNON PQRLJ SQTQRLJ UQTOLOLVTKN MWOLU ONXNS OQRWPN ONT JQTYJNRN KNTY
ZQRUNT[NTYNT.14

\NXNS UNTONTYNT PQ]X]YW ^JXNS, SLJWZNM NPNL ZQT_NTN KNTY OWPWSUNVNT VQUNON
SNTLJWN JQRWTY OWVNWPVNT OQTYNT VQJNXNMNT NPNL UQTKWSUNTYNT ONRW JKNRWNP ^JXNS KNTY
OWPLRLTVNT `XXNM abc. aNPL TQYQRW KNTY NSNT, PQTNTY ONT JQ[NMPQRN, PQPNUW ]XQM VNRQTN
defeg PQRMNONU TWVSNP `XXNMh SNVN `XXNM VWRWSVNT UQRWTYNPNT ZQRLUN VQXNUNRNT ONT
VQPNVLPNT ijka. NXlmNMXno6: 112p.15 q]ZNNT ZQRLUN PQYLRNT ONRW `XXNM WPL Z]XQM JN[N
ONPNTY ONRW NPNJ VQUNXN irst fuevsderp NPNL ONRW ZNwNM VNVW irst xuyxs ugze{sderp NPNL
ONRW JQJNSN SNTLJWN i|u{}s~uder ~s|uup ijka. NXl`Tâm/6: 65).16
Gubenur Aceh masa itu H. Azwar Abu Bakar berkata:
Musibah gempa dan tsunami 26 Desember 2004, setidaknya dapat dilihat dari dua
sisi. €gxuru, ia sebagai peringatan dari Allah SWT. dan d‚eu, sebagai pembelajaran.
Sebagai peringatan mengharuskan kita melakukan penilaian terhadap iman dan
melakukan dalam bentuk amal kita selama ini, sebagai sebuah daerah yang telah
pula menyatakan diri untuk melaksanakan syariat Islam, apakah kita sudah
melaksanakan dengan sungguh-sungguh. Atau jangan-jangan kita masih setengah
hati dengan syariat Allah Yang Maha Kuasa. Jika pun masa ini masih saja terdapat
berbagai bentuk maksiat pada tingkat pejabat serta dalam kehidupan masyarakat,
maka saatnya segera kita hentikan. Sebagai sebuah pembelajaran, hendaknya kita
boleh hidup cerdas dan bermartabat.17

Mungkinkah bencana ini merupakan peringatan dari Allah SWT. agar sistem kehidupan
di Aceh menggunakan acuan pembangunan Islam, karena syariat Islam diberlakukan

14
ƒ„…†., h. 106.
15
Bacaan ayat tersebut:

‡ˆ‰Š ‹ŒŒ‰ ŽŒ‰ „‘‰Ž ’‘‰Ž‘ “”‘“‰‰‰Š (†Š•‰Š) ’„‘‰ Š•”… –‰Š• †‰‘Œ‘Š–‰ ‰‰Š Œ‰•…
ŽŠŽ”‰, ”—˜…Š–‰ †‰Ž‰Š• ˜“‰†‰Š–‰ Œ…“‰ ”‘‰ †‰”… ’•Š‰“ Ž“‰Ž™ ŽŽ‰“… (“Š†‘†‘˜)Š–‰
Š•…Š•˜‰”… Š…˜‰Ž-Š…˜‰Ž ‹ŒŒ‰š ˜‰”Š‰ …Ž‘ ‹ŒŒ‰ ”‰’‰˜‰Š ˜“‰†‰ ”˜‰ “‰˜‰…‰Š ˜Œ‰“‰”‰Š
†‰Š ˜Ž‰˜‘Ž‰Š, †…’„‰„˜‰Š ‰“‰ ‰y Š• ’Œ‰Œu”˜‰ “”„‘‰Ž›œ
16
Bacaan ayat tersebut :

‡‰Ž‰˜‰ŠŒ‰ž ‡ˆ…‰Œ‰ ‰y Š• „”˜‘‰’‰ ‘ŠŽ‘˜ Š•…”…˜‰Š ‰‰z „ ˜“‰†‰,u†‰”… ‰Ž‰’ ˜‰u‰Ž‰u


†‰”… „‰‰w ˜‰˜…u‰Ž‰uˆ…‰ ŠŸ‰“‘”˜‰Š ˜‰u†‰Œ‰ • Œ Š•‰Š-• Œ Š•‰Š (y‰Š• ’‰Œ…Š•
„”ŽŠŽ‰Š•‰Š) †‰Š (”‰’‰˜‰Š ˜“‰†‰ ’„‰‰•…‰Š) ˜‰ u˜•‰Š‰’‰Š ’„‰•…‰Š y‰Š• Œ‰…Š.
¡”‰Ž…˜‰ŠŒ‰, „Ž‰“‰ ‰… Š†‰Ž‰Š•˜‰Š Ž‰Š†‰-Ž‰Š†‰ ˜„’‰”‰Š ‰… ’…Œ… „”•‰ŠŽ… ‰•‰” ”˜‰
‰‰… (Š‰y ).
17
Ismail, ¢…˜‰ £’‘Š‰…, h. 106.
307
MIQOT ¤¥¦. §§§¨¤ ©¥. 2 ª«¦¬-­®¯®°±®² 2010

³´ µ¶·¸¹ º·»¼» ´½¾, ¼¶¾¼¿ À·Á»¼¿Â¾¿¼¿ ÃÄżÁ µ¶·¸ ļ¿Â¼½ ķľ¼´ ³¼¿ Àƽ·Ä´¼Å ¾¿½¾Ç
³´Â¾¿¼Ç¼¿ Ǽȷ¿¼: ÉÊËÌÍÎÍ. µ¶·¸ Á·ÁÀ¾¿Ï¼´ ķмȼ¸ Ƿ·Á´Å¼¿Â¼¿ ³¼¿ Ä·Á¼¿Â¼½ ÃÄżÁ
ϼ¿Â ǾǾ¸. ÑÊÒÓÍ. µ¶·¸ Á·Á´Å´Ç´ Դżϼ¸ ϼ¿Â ľ»¾È ³¼¿ Á·Á´Å´Ç´ ľÁ»·È ¼Å¼Á ϼ¿Â
Á·Å´ÁÀ¼¸¹ Õ¼·È¼¸ ´¿´ ´»¼È¼½ Ä·Àƽƿ ½¼¿¼¸ ³¼È´ ľÈ¼ Ä·À·È½´ ¿·Â·È´ º¼»¼Ö ϼ¿Â ½·Å¼¸
³´Ç´Ä¼¸Ç¼¿ ÆÅ·¸ ¼Å×ؾÈÖ¼¿.18

nÚÜnÚnÝÞßmÚÜnnÚunàÛÞá ÝÚÛsÚ âãäåÚæç


ÙÚÛ

èéêëéìí èîíïìðëñðìð òìóôêðìõ (èö÷èøöòùú)


º¼Å¼¸ ļ½¾ ǷԼд»¼¿ û·Á·È´¿½¼¸ û¾Ä¼½ ´¼Å¼¸ Á·Á»·È´ ¼È¼¸¼¿ ½·È¸¼³¼À
À·Á»¼¿Â¾¿¼¿ ³´ ķžȾ¸ Դżϼ¸ ÿ³Æ¿·Ä´¼. û¼³¼ Á¼Ä¼ żž, ¼È¼¸¼¿ ´¿´ Ծо³ Á·Å¼Å¾´
Ç·À¾½¾Ä¼¿ ü¼Ð·Å´Ä û·ÈÁ¾ÄϼԼȼ½¼¿ ý¼Çϼ½ ý·À¾»Å´Ç ÿ³Æ¿·Ä´¼ þüûý ýÃÿ ϼ¿Â ³´Ð¼³´Ç¼¿
À·³ÆÁ¼¿ »¼Â´ À·Å¼Çļ¿¼¼¿ À·Á»¼¿Â¾¿¼¿ ³¼·È¼¸¹ ü·ÄÇ´À¾¿ ³·Á´Ç´¼¿, û·Á·È´¿½¼¸
Õ¼·È¼¸ о¼ Á·Á´Å´Ç´ ¸¼Ç ¾¿½¾Ç Á·Á»¾¼½ È·¿¶¼¿¼ ÀÈÆÂȼÁ À·Á»¼¿Â¾¿¼¿ ³¼·È¼¸
Á¼Ä´¿Â-Á¼Ä´¿Â »·È³¼Ä¼ÈǼ¿ ¼È¼¸¼¿ û·Á·È´¿½¼¸ û¾Ä¼½. ûÈÆÂȼÁ û·Á»¼¿Â¾¿¼¿ ¼Ä´Æ¿¼Å
þûýû µºÿ ½·Å¼¸ ³´Å¼Çļ¿¼Ç¼¿ ³´ µ¶·¸ Ä·»·Å¾Á ½Ä¾¿¼Á´, Á·ÄÇ´À¾¿ »·Å¾Á ½·ÈżÇļ¿¼
³·¿Â¼¿ »¼´Ç. ý¼¿¶¼¿Â¼¿ ´¿´ ½·ÈÇ·¿³¼Å¼ Ǽȷ¿¼ »·ÈżǾ¿Ï¼ Á¾Ä´»¼¸ ½Ä¾¿¼Á´. ·¼³¼¼¿
À·Á·È´¿½¼¸ µ¶·¸ À¼³¼ Á¼Ä¼ ´½¾ ³¼Å¼Á Ç·¼³¼¼¿ žÁÀ¾¸ Ä·¸´¿Â¼ û·Á·È´¿½¼¸ û¾Ä¼½
Á·¿Â¼Á»´Å ¼Å´¸ ¼Ç½´ ´½¼Ä À·Á»¼¿Â¾¿¼¿ µ¶·¸. 19 º·Å¼Á¼ »·»·È¼À¼ Լǽ¾ , ¿¼³´
À·Á»¼¿Â¾¿¼¿ µ¶·¸ ½·È¼Ä¼ È·³¾À ³¼¿ ¿Ï¼È´Ä »·È¸·¿½´. ü·È·Ç¼ ¸¼¿Ï¼ Á·Å¼Ç¾Ç¼¿
À·Á»¼¿Â¾¿¼¿ Ä·À·È½´ Á·ÁÀ·È»¼´Ç´ ǷȾļǼ¿ ¼Ç´»¼½ ¸¼¿½¼Á¼¿ ½Ä¾¿¼Á´, Á·Å¼Å¾´
ÀÈÆÂȼÁ È·¸¼»´Å´½¼Ä´ ³¼¿ È·ÇƿĽȾÇÄ´ µ¶·¸. 20

18
¬¯ 
®²  
¦° .. ¦-±/34:15  °® 
 ± ® « «
®®²¬ ± °®°¬¦¬¬ « ±¬  ®±« ¬ ¯®±®¦   ¬²¬ ¯«±«², °°«² 
°®° ®²¥¦® ²¬  ¦¦ . ®«²«
 ¬ «
«±, «° ± ¬¦ ¯
« «° 
¬¦
¬ ¯®±®¦ ¯®¦
 °, ® 
  ¯«±«² ¬
° ¯®²
®²«¯-°®®²«¯ «
«
°® ¬

² ¬ «  ¯®
®², °®°¬¦¬ ¬ ¦®°± 
² « ««. ®²®
°®°±«
¬²¬¯¬ 
² ¯®¦
 
¬°«², ¯®¬ °® ¬ ¯«°±®² °
 ¬²  °®¦¬²

®²
«
« , ¯®²
 °®²® °
 «
« ®°°«² ®®²¬, ¬²¬¯¬ ¬
« °®²® °
®  . !¬
 ¬ «
«±, " # $î al-Tharîq %&®¬²«
' ­âr al-Syurûq, 1973), h. 290.
Menurut al-Marâghî bahwa penduduk negeri Saba ini terdiri atas raja-raja Yaman, hidup
dalam kenikmatan besar dan rezeki yang luas, mereka mempunyai kebun yang subur dan
tanaman-tanaman yang lapang di sebelah kanan lembah dan kirinya. Begitu pula telah
mengutus kepada mereka rasul-rasul-Nya yang menyuruh mereka supaya memakan rezeki
dari Allah, agar mereka bersyukur kepada Allah dengan cara mengesakan dan beribadah kepada-
Nya sebagai imbalan atas karunia-karunia tersebut. Lihat: Ahmad Mushthafâ al-Marâghî, Tafsîr
al-Maraghî (Beirut: Dâr Fikr, 1974), h. 117.
19
Said, Berita Peristiwa, h. 1650.
20
Kemudian lahirlah Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Nanggroe Aceh
Darussalam-Nias. Misi dari lembaga ini ialah untuk memulihkan keadaaan dan memperkukuh
masyarakat Aceh dengan merancang dan mengawasi pembangunan yang terorganisasi dan
tertumpu pada masyarakat tempatan dengan standar profesionalisme Badan Rehabilitasi dan
Rekonstruksi NAD-Nias. Lembar Fakta, 2005, h. 1.
308
q\XTcVb: Qf\Vb [dcaVbe\bVb QfdO [V]fV r]\bVcT

()*)+ ,)-. /,/ 01-1-)2)3 45647589( /)*)+ 8:;:< =/>45/2000 -13-)3?


41;)3-)2)3 41<,)-.)3 @)3 A1,)-.)3 8),/:3)*. A1-1-)2)3 /3/ ;13?.3?0)20)3 B1<B)?)/
;),)*)+ B)3?,) ,121<-/ 3/*)/-3/*)/ )?);) @)3 B.@)C) -/@)0 @/D)@/0)3 ,.;B1< 1-/0) @)*);
21;B)3?.3)3 B)3?,) @)3 31?)<). 90/B)-3C), -1<@)2)- 0</,/, )0+*)0 @)3 ;:<)* ,121<-/
01-/@)0)@/*)3, 21*)3??)<)3 +.0.; @)3 21*)3??)<)3 +)0 ),),/ ;)3.,/). 21
A</,/, )0+*)0 @)3 ;:<)* -1*)+ )@) C)3? B1<*)0. @/ 9E1+ ,1B1*.; F,.3);/, G)*).2.3
,1E)<) .;.; ;),/+ *1B/+ B)3C)0 ;13?);)*0)3 H,*);, -1-)2/ 2)@) +)0/0)-3C) G.D.@
01B1B),)3 .3-.0 ;1*)0.0)3 ;)0,/)- ,121<-/ D.@/, ;/3.;)3 01<),, ?)3D) @)3 :B)--:B)-
-1<*)<)3? -1*)+ B)3C)0 2.*) -1<D)@/. >13.<.- 92</@)<, 22 ,1B1*.; -,.3);/ )3)0-)3)0
;.@) ;1*)0.0)3 ;)0,/)- @/ -12/--12/ 2)3-)/. 9@) C)3? ;13?)-)0)3 9E1+ B.0)3 *)?/
,1B)?)/ (1<);B/ >)00)+ -1-)2/ -1*)+ B1<.B)+ ;13D)@/ ,1<);B/ ;)0,/)-I 23 92)*)?/
21*)3??)<)3 +)0 ),),/ ;)3.,/) ,121<-/ 0101<),)3, 21<);2:0)3 @)3 21;B.3.+)324 -/@)0
@)2)- @/+/-.3? *)?/, ,1+/3??) -1*)+ ;1<.,)0 01)@))3 ;),C)<)0)- 9E1+. J3-.0
;1;21<B)/0/ 01)@))3 -1<,1B.- @/21<*.0)3 )<)+)3 45647589( C)3? ;13?+13@)0/
G.D.@3C) 3/*)/-3/*)/ )?);) @)3 B.@)C) ,1B)?)/ ,.;B1< 1-/0) .3-.0 B1<B.)- B)/0 @)3
;13D).+/ 21<B.)-)3 -1<E1*) C)3? B1<-13-)3?)3 @13?)3 +.0.; @)3 +)0 ),),/ ;)3.,/).
9<)+)3 -1<,1B.- ;13?+13@)0/ )?)< 3/*)/-3/*)/ )?);) @)3 B.@)C) B)3?,) @/D)@/0)3
,1B)?)/ ,.;B1< 1-/0) 21;B)3?.3)3 01+/@.2)3 B)3?,) @)3 31?)<) @)*); <)3?0)
;1;21<0.0.+ )0+*)0 213C1*13??)<) 31?)<) @)3 ;),C)<)0)-I 25
(1*)/3 /-., ;13.*)<3C) ?1D)*) 0:<.2,/, 0:*.,/ @)3 312:-/,;1 C)3? ;13?.3-.3?0)3
,)-. 2/+)0 )-). 01*:;2:0 213?.,)+) ;13?)0/B)-0)3 -1<D)@/3C) 0</,/, 10:3:;/,
213?)3??.<)3 ,1;)0/3 ;13/3?0)- ,1<-) 21<B1@))3 ,:,/:-10:3:;/ C)3? ,1;)0/3 -)D);,
@)3 01)@))3 10:3:;/ <)0C)- 9E1+ -1<., ;13?)*);/ 01;/,0/3)3. J3-.0 ;1;21<B)/0/
01)@))3 /-., 2<:?<); 21;B)3?.3)3 10:3:;/ 9E1+ /)*)+ .3-.0 ;13/3?0)-0)3
01;)0;.<)3 @)3 01,1D)+-1<))3 ;),C)<)0)-, 0+.,.,3C) ;1*)*./ 21;B)3?.3)3 10:3:;/
C)3? B1<-.;2. 012)@) ;13.;B.+0)3 10:3:;/ <)0C)- @)3 @)1<)+. 26 (1*)/3 /-.,
A1-1-)2)3 >45 -13-)3? K/,/ H3@:31,/) 2020 /)*)+ G.D.@3C) ;),C)<)0)- H3@:31,/) C)3?
B1<)?);), ;)3.,/)G/, -1<2)@., @1;:0<)-/,, )@/*L ,1D)+-1<), ;)D., ;)3@/</ ,1<-) B)/0
@)3 B1<,/+ @)*); 213C1*13??)<))3 81?)<).27 =/,/ -1<,1B.- ,)3?)-*)+ ;.*/) 0)<13) E/-)-

21
TAP MPR RI M2003N, OP 77.
22
QRSTUVS, Tsunami Aceh Adzab atau Bencana MWVXVSYVZ [\]YVXV Q^-_V\Y]VS, 2005N, OP 2.
23
`T]TX-aT]TX TbT cdb\S\Y RdbeV matan ]dcdbYVSV UT QfdO YdS\YVcV UT RVbYVT-RVbYVT
SVcVT YdcRVYgYdcRVY cVX]TVY ]dRdSYT Rd^Vf\SVb UVb h\UT iVbe UTU\X\be j^dO ]daVeTVb RdhVaVY
UVb YdbYVSV iVbe eVeVO RdSXV]VP Ibid., OP 5.
24
`VbiVX XdhVUTVb iVbe cdcT^\XVb OVYT VYV] Rd^VbeeVSVb OVX V]V]T cVb\]TV UT QfdOP
Q^-kOVTUVS, Gerakan Aceh Merdeka MWVXVSYVZ [dbdaVS `\X\ lVUVbT, 2003N, OP 13.
25
TAP. MPR RI M2003N, OP 79-80.
26
Ibid, OP 77-81.
27
kTYVgfTYV TbT ]dadbVSbiV cdS\RVXVb Tb]RTSV]T adSV]V]XVb VcVbVY mbUVbe-mbUVbe nV]VS
op, iVbe adSa\biT Dan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang
309
MIQOT stu. vvvws xt. 2 yzu{-|}~}€} 2010

‚ƒ„… †‡ˆ‰‡Š‹ƒ… 2020 …Œ…‡ ŠŽ…‡‡ ‡ŠŠ‘ƒ ƒ‡ƒ Š‘…ƒ’ „“…‡ ŒŠ…Œ‘…‡, ˆ…‡
ŒŠ‹Š“…’„Š‘…‡ ‘…Œ”…„• –‡„Œ Š‡‚…—…ƒ ˜ƒ‹ƒ „Š‘‹ŠŽ„™ š›œ „Š…’ Š‡…‘…’Œ…‡ ‹Š…
—Š‡”ŠŠ‡…‘… ‡Š…‘… ……‘ ŽŠ‘—Šˆ‰…‡ ŒŠ—…ˆ… visit †‡ˆ‰‡Š‹ƒ… 2020 Ž…ƒ Š‡Š„…—Œ…‡
ŒŠŽƒ“…Œ‹…‡……‡ —‘‰‘… —ŠŽ…‡‡…‡ ŒŠ’ƒˆ—…‡ Ž…‡‹… ˆ…‡ ‡Š…‘…. 28
žŠ“……‡ ˆŠ‡…‡ ŒŠ„Š„…—…‡ š›œ „Š‘‹ŠŽ„, „Š…’ ˆƒ„Š„…—Œ…‡ ‘…‡‚…‡…‡ —ŠŽ…‡‡…‡
Ÿ‚Š’ ‹Š—Š‘„ƒ ŽŠ‘ƒŒ„.  ƒ¡ šŠ…Œ‹…‡…Œ…‡, Š…‡„…—Œ…‡ ˆ…‡ Š—Š‘…‹ ‰„‰‡‰ƒ ˆ…Š‘…’
‹Š‚…‘… ŽŠ‘„ƒ‡Œ…„ ˆŠ‡…‡ Š‡ƒ„ƒŒŽŠ‘…„Œ…‡ ŒŠ—…ˆ… ˆ…Š‘…’ „ƒ‡Œ…„ ¢…Ž—…„Š‡/¢‰„…
‹Š’ƒ‡… „Š‘‚ƒ—„…‡”… ŒŠ…‡ˆƒ‘ƒ…‡ ˆ…‡ Š—Š‘‚Š—…„Œ…‡ —ŠŽ…‡‡…‡ ‡„Œ
Š‡ˆŒ‡ —ŠŽ…‡‡…‡ ‡…‹ƒ‰‡….  ƒƒ¡ šŠ‡Ž’Œ…‡ ‹ƒŒ…— ˆ…‡ „ŠŒ…ˆ ŒŠ…‡ˆƒ‘ƒ…‡
…‹”…‘…Œ…„ Ÿ‚Š’ ”…‡ ŽŠ‘£…£…‹…‡ ‡‹…‡„…‘… ˆ…‡ —Š‘„…‡ƒ…‡ ˆ…… ‘…‡Œ…
Š‡ƒ‡Œ…„Œ…‡ Œ…ƒ„…‹ ‹ŽŠ‘ ˆ…”… …‡‹ƒ… ‡„Œ Š£“ˆŒ…‡ ŒŠ‹Š“…’„Š‘……‡ …’ƒ‘
Ž…„ƒ‡ ”…‡ ‹Š…‘…‹, …ˆƒ ˆ…‡ Š‡”Š‘’• 29 –‡„Œ Š‡‚…—…ƒ ŒŠ‹Š“…’„Š‘……‡ ‘…Œ”…„ Ÿ‚Š’
ˆƒ…ŒŒ…‡ ŽŠ‘Ž……ƒ ‹…’… —ŠŽ…‡‡…‡ ‹Š—Š‘„ƒ ˆ…… Žƒˆ…‡ ŠŒ‰‡‰ƒ, 30 —…‘ƒ£ƒ‹…„…,
—‰‹ ˆ…‡ „ŠŠŒ‰‡ƒŒ…‹ƒ, —Š‘…’…‡ ˆ…‡ —ŠŒƒ…‡, „…„… ‘…‡ ˆ…‡ ƒ‡Œ‡…‡ ’ƒˆ—,
—Š‡ˆƒˆƒŒ…‡, ŒŠŽˆ…”……‡ ˆ…Š‘…’™ —Šˆ… ˆ…‡ ‰…’ ‘……, ŒŠ—Š‡ˆˆŒ…‡ ˆ…‡ ŒŠ…‘…
‹Š“…’„Š‘…, ŒŠ‹Š“…’„Š‘……‡ ‹‰‹ƒ…™ ŒŠ‹Š’…„…‡, —Š‘…‡…‡ £…‡ƒ„…, …‡…Œ ˆ…‡ ‘Š…“…. 31

¤¥¦n¥§n¥n¨©ªm¥§nn¥un«¥¬¥m­®¯ °¯ ±¦©²
³Š…—…‡ Ž…‡ —…‹‚… „‹‡…ƒ Ÿ‚Š’ —…ˆ… 15 Ÿ‹„‹ 2005 ŽŠ‘…‡‹‡
—Š‡…‡ˆ…„…‡…‡…‡ Memorandum of Understanding  š‰–¡ …‡„…‘… ›ŠŠ‘ƒ‡„…’ œŠ—ŽƒŒ
†‡ˆ‰‡Š‹ƒ… ˆŠ‡…‡ —ƒ’…Œ ´Š‘…Œ…‡ Ÿ‚Š’ šŠ‘ˆŠŒ…  ´Ÿš¡ ˆƒ µŠ‹ƒ‡Œƒ ¶ƒ‡…‡ˆƒ….
šŠ‰‘…‡ˆ ŒŠ‹Š—…Œ…„…‡ ƒ‡ƒ ‹ŠŽ……ƒ ‹…„ ‹…’… —Š‡”ŠŠ‹…ƒ…‡ Œ‰‡·ƒŒ Ÿ‚Š’ ‹Š‚…‘…
Œ‰—‘Š’Š‹ƒ· Š…ƒ —…”… ŒŠ…‡‹ƒ……‡. ž……’ ‹…„ ƒ‹ƒ ŒŠ‹Š—…Œ…„…‡ ƒ„ ƒ……’
—Š‡”ŠŠ‡…‘……‡ —ŠŠ‘ƒ‡„…’…‡ ˆƒ Ÿ‚Š’ ŽŠ‘ˆ…‹…‘Œ…‡ ‡ˆ…‡-‡ˆ…‡. µ… ƒ‡ƒ ŽŠ‘„“…‡
‡„Œ Š‡…„‘ ‹ƒ‹„Š —ŠŠ‘ƒ‡„…’…‡ ”…‡ Œ‰Œ‰’™ ŽŠ‘‹ƒ’ ˆ…‡ ŽŠ‘£ƒŽ…£…. žŠŽ……ƒ
‘Š…ƒ‹…‹ƒ‡”… „Š…’ ˆƒ‹…’Œ…‡ ˆ…‡ ˆƒ„Š‘Žƒ„Œ…‡ –‡ˆ…‡-–‡ˆ…‡ ›ŠŠ‘ƒ‡„…’…‡ Ÿ‚Š’  ––›Ÿ¡
¸‰. 11 „…’‡ 2006 ”…‡ „Š‘ˆƒ‘ƒ ˆ…‘ƒ 40 Ž…Ž ˆ…‡ 273 —…‹…• ³…… ‡ˆ…‡-‡ˆ…‡
›ŠŠ‘ƒ‡„…’…‡ Ÿ‚Š’ ƒ„, „Š‘ˆ…—…„ —Š‘‡”…„……‡-—Š‘‡”…„……‡ „Š‡„…‡ †‹…. Ÿ‡„…‘…‡”…
ŽŠ‘Ž‡”ƒ ¹‘‹…‡ £…“ƒŽ …ƒ‡‡”… ”…‡ Š‡“…ˆƒ ŒŠ£Š‡…‡…‡ —ŠŠ‘ƒ‡„…’…‡ Ÿ‚Š’, …‡„…‘…

berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang
kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur.
28
TAP. MPR. RI º2003», ¼½133.
29
¾¿À}Á¿ ÂÃ}¼Ä Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam Tahun 2007-2012 º¾¿ÅÁ¿ ÂÃ}¼Æ ¾¿À}Á¿ xÂ|, 2007», ¼½ 3.
30
Ç}€¿ÅÈzÅ¿Å {ÅÁz~Ɂ{, À}É¿Å{¿Å Á}ÅÈ¿Å ~¿~¿¿Å }Å{ÅÈÊ¿ÉÊ¿Å ÀtÁzÊÉ{Ë{É¿~,
À}Å{ÅÈÊ¿É¿Å }Ê~Àt, Ê}€}¼¿~{u¿Å ¿Ê¿Å¿Å, u¿À¿ÅÈ¿Å Ê}Ì¿Ä À}¿ÅÍ¿¿É¿Å u¿¼¿Å Êt~tÅÈ Á¿Å
À}ÅÈ}€¿ÅÈ¿Å ÊttÁ{É¿~ zÉ¿¿ Á¿Å À}Á¿È¿ÅÈ¿Å, À}ÅÈ}€¿ÅÈ¿Å z~¿¼¿ Á¿}¿¼Ä ÊtÀ}¿~{,
À}€{Å¿¿Å À}ÅÈz~¿¼¿ Ê}Ã{u Á¿Å }Å}ÅÈ¿¼½ Ibid., ¼½ 7-20.
31
Ibid., ¼½ 23.

310
Sukiman: Acuan Pembangunan Aceh Pasca Tsunami

ÎÏÐÑ ÒÓÑÔÓÎÓÑÕÕÏÖÏÏÑ ×ÓØÐÙÚÒÏÑ ÛÓÖÏÕÏÜÏ ÙÏÎÏÜ ÛÓÑÝÚ× ÒÓÎÏ×ÞÏÑÏÏÑ ßÔÏÖÐÏÝ àÞÎÏÜ


ÛÏÕÐ ÒÓÜÓÎÚ×ÑÔÏ ÙÐ áâÓØ ÙÓÑÕÏÑ ÝÓÝÏÒ ÜÓÑãÏÕÏ ×ÓÖÚ×ÚÑÏÑ ØÐÙÚÒ ÏÑÝÏÖÏ ÚÜÏÝ
ÛÓÖÏÕÏÜÏ. 32 äÏÝÏ àÞÎÏÜ ÙÐÒÏ×ÏÐ ÞÓÛÏÕÏÐ ÏÞÏÞ ÒÓÜÓÖÐÑÝÏØÏÑ áâÓØå 33 æÓÝÏÒÐ ÏÞÏÞ àÞÎÏÜ
ÐÑÐ ÛÓÎÚÜ ÞÓâÏÖÏ ÖÐÑâÐ ÙÐãÓÎÏÞ×ÏÑ ÙÏÎÏÜ ÒÓÑÔÓÑÕÕÏÖÏÏÑ ÒÓÜÓÖÐÑÝÏØÏÑ ÙÐ áâÓØ.
çÓÜÐ×ÐÏÑÒÚÑ, ÒÓÖÑÔÏÝÏÏÑ ÐÑÐ ÝÓÎÏØ ÜÓÑÚÑãÚ××ÏÑ ÏÙÏÑÔÏ ×ÓÜÏÚÏÑ ÙÏÖÐ ÞÓÜÚÏ ÒÐØÏ×
ÚÑÝÚ× ÜÓÑãÏÙÐ×ÏÑ àÞÎÏÜ ÞÓÛÏÕÏÐ ÏÞÏÞ ÒÓÜÓÖÐÑÝÏØÏÑ áâÓØ ÒÏÞâÏ ÝÞÚÑÏÜÐ. èÓÞÏÑÏÑ ÐÑÐ
ÞÓÛÏÕÏÐ ÞÏÝÚ ÐÞÔÏÖÏÝ ÏÕÏÖ ÒÏÖÏ ÒÓÑÔÓÎÓÑÕÕÏÖÏ ÒÓÜÓÖÐÑÝÏØÏÑ áâÓØ ÛÓÖÐÜÏÑ ÙÏÑ ÛÓÖÝÏ×éÏ
×ÓÒÏÙÏ áÎÎÏØê34 ÞÓÖÝÏ istiqamah ÜÓÑÕÏÜÏÎ×ÏÑ àÞÎÏÜ. ëÏÎÏÚÒÚÑ ÒÓÞÏÑ ÝÓÖÞÓÛÚÝ ÛÓÎÚÜ
ÎÏÕÐ ÞÓÛÏÕÏÐ ÞÔÏÖÏÝ ÚÝÏÜÏ ÒÓÜÓÖÐÑÝÏØ ÔÏÑÕ àÞÎÏÜ. 35
æÏÑÕÕÚÑÕ ãÏéÏÛ ÒÚâÚ× ÒÓÜÓÖÐÑÝÏØÏÑ ÛÏÕÐ ÜÓÑÓÕÏ××ÏÑ àÞÎÏÜ ÙÐ áâÓØ ÙÏÎÏÜ ììèá
ÝÓÖÎÓÝÏ× ÒÏÙÏ ÒÓÎÏ×ÞÏÑÏÏÑ ÝÚÕÏÞ íÚÛÓÑÚÖ ÙÏÑ îÚÒÏÝÐ ÔÏÑÕ ÛÓÖÛÚÑÔÐ ïÛÏØéÏ ÝÚÕÏÞ ÙÏÑ
éÓéÓÑÏÑÕ íÚÛÓÑÚÖ ÙÏÑ îÚÒÏÝÐ ÐÏÎÏØ ÜÓÎÏ×ÞÏÑÏ×ÏÑ ÙÏÑ ÜÓÑÕ×ððÖÙÐÑÏÞÐ×ÏÑ
ÒÓÎÏ×ÞÏÑÏÏÑ ÞÔÏÖÐÏÝ àÞÎÏÜ ÞÓâÏÖÏ ÜÓÑÔÓÎÚÖÚØ. 36 ìÑÝÚ× ÜÓÑãÏÎÏÑ×ÏÑ ÏÜÏÑÏÝ ÐÑÐ,
íÚÛÓÖÑÚÖ áâÓØ ÝÓÎÏØ ÜÓÑÓÝÏÒ×ÏÑ ñÐÞÐ ÒÓÜÓÖÐÑÝÏØÏÑ áâÓØ ÔÏÐÝÚ ÜÓéÚãÚÙ×ÏÑ ÜÏÞÔÏÖÏ×ÏÝ
áâÓØ ÔÏÑÕ ÜÏÙÏÑÐ ÛÓÖÙÏÞÏÖ×ÏÑ àÞÎÏÜ.37
èÓÎÏ×ÞÏÑÏÏÑ ÞÔÏÖÐÏÝ àÞÎÏÜ ÙÐ áâÓØ ÒÏÙÏ ÙÏÞÏÖÑÔÏ ÝÓÎÏØ ÙÐ×ÓÎÚÏÖ×ÏÑ ÜÓÎÏÎÚÐ
×ÓÒÚÝÚÞÏÑ èÖÓÞÐÙÓÑ òÓÒÚÛÎÐ× àÑÙðÑÓÞÐÏ óð. 44 ÝÏØÚÑ 1999 ÝÓÑÝÏÑÕ ÒÓÑÔÓÎÓÑÕÕÏÖÏÏÑ
×ÓÐÞÝÐÜÓéÏÏÑ áâÓØ ÒÏÙÏ ÒÏÞÏÎ 4 ÏÔÏÝ 1 ÙÐÞÓÛÚÝ×ÏÑ ÛÏØéÏ ïÒÓÑÔÓÎÓÑÕÕÏÖÏÏÑ ×ÓØÐÙÚÒÏÑ
ÛÓÖÏÕÏÜÏ ÙÐ ÙÏÓÖÏØ ÙÐéÚãÚÙ×ÏÑ ÙÏÎÏÜ ÛÓÑÝÚ× ÒÓÎÏ×ÞÏÑÏÏÑ ÞÔÏÖÐÏÝ àÞÎÏÜ ÛÏÕÐ
ÒÓÜÓÎÚ×ÑÔÏ ÙÏÎÏÜ ÛÓÖÜÏÞÔÏÖÏ×ÏÝå 38 áÜÏÑÏÝ ÐÑÐ ÝÓÎÏØ ÙÐÝÏÜÒÚÑÕ ÒÚÎÏ ÙÏÎÏÜ ììèá
ÒÏÙÏ ÛÏÛ 17 ÒÏÞÏÎ 125 ÜÓÑÔÏÝÏ×ÏÑ: ô1õ. ßÔÏÖÐÏÝ àÞÎÏÜ ÔÏÑÕ ÙÐÎÏ×ÞÏÑÏ×ÏÑ ÙÐ áâÓØ ÜÓÎÐÒÚÝÐ

32
UUPA ö2006÷, øù 21.
33
Ibid., øù 25.
úûüû ýþÿ øû
34
þ ûø 2005 û û þ û û þ üû û
þ , ýû üû û û üû û û øû ÿþÿþ ø û ûø û û û þ û
         
        

ÿþÿ û û û - û û ü þø ÿ û ü û û þø ÿ ú øû ÿ ÿ.
            



    


               
   

35
- û âbî menyebutkan syarat seorang kepala pemerintahan ialah pertama, sempurna
  

anggota jasmaninya. Kedua, luas pengetahuannya. Ketiga, bagus tanggapannya. Keempat,


sempurna ingatannya. Kelima, pandai dan bijaksana. Keenam, mencintai pengetahuan. Ketujuh,
tidak hidup berfoya-foya. Kedelapan, tidak serakah makan, minum dan hubungan seks.
Kesembilan, cinta kepada kebenaran dan membenci kebohongan. Kesepuluh, cinta kepada
keadilan dan benci kepada kezaliman. Kesebelas, sanggup menegakkan keadilan. Keduabelas,
mampu ekonominya. Menurut al-Mawardî, syarat menjadi pemimpin haruslah berlaku adil
dengan segala persyaratannya. Syarat adil haruslah lebih dahulu berlaku amanah. Pendapat
al-Ghazâlî mensyaratkan pemimpin harus wara dan sikap ini diterjemahkan dengan akhlak,
dan salah satu ajaran akhlak ialah amanah. M. Jalal Syaraf, Al-Fikr al-Siyâsi fî al-Islâm (Kairo:
Iskandariyah Dâr al-Jannah, 1978), h. 395.
36
UUPA, h.45.
37
Al Yasa Abubakar, Syariat Islam di Provinsi Aceh Darussalam (Banda Aceh: Dinas Syariat
Islam, 2006), h. 23.
38
Dinas Syariat Islam, Himpunan Undang-Undang Keputusan Presiden, Peraturan Daerah/
Qanun Instruksi Gubernur Berkaitan dengan Pelaksanaan Syariat Islam (Banda Aceh: Dinas
Syariat Islam NAD, 2006), h. 6
311
MIQOT .  .2 -
 !"#"$%"& 2010

, ,39 ,23'4')5'0' *)5'(,6* 7'*' '-'8 1 521)768) )3'*'+ Ahwal


al-Syakhsiyah 9+6(65 (216'.4':, Mu âmalah 9+6(65 56'5'1'8:, Jinâyah 9+6(65
'()*'+ ,-'.)/'+ *'0 '(+1'(

;20'-'8:, Qadâ 972.'*)1'0:, Tarbiyah 9720*)*)('0:, da wah, syiar *'0 725321''0 <,1'5.
40

,
='1'5 521'(,'0'('0 >-'.)'8 <,1'5 ?632.06. @A2+ 821'+ 5204216'.('0 ,'86 72.'86.'0

33 F'+60 2001 8208'04 ,6,60'0 C.4'0),',) *'0


.
='2.'+ B.C7)0,) ='2.'+ <,8)52D' @A2+ EC

8'8' (2.;' =)0', >-'.)'8 <,1'5 @A2+ =)0', )0) 32.864', 521'(,'0'('0 864', 6565 *'0 (+6,6,

. , ,
B252.)08'+ ='2.'+ *'0 7253'0460'0 ,2.8' 32.8'044604;'D'3 *) 3)*'04 721'(,'0''0

>-'.)'8 <,1'5 G'.20' )86 864', *)0', )0) )'1'+ 52536'8 qânûn 721'(,'0''0 ,-'.)'8 <,1'5

, ,
, 5253)53)04 ,2.8' 5204'D',) 721'(,'0''0 >-'.)'8
7253)0''0 ,6532. *'-' 5'06,)' 521'0A'.('0 721'(,'0''0 72.)3'*'8'0 720'8''0 ,'.'0'

*'0 720-25'.'('0 ,-'.)'8 <,1'5

<,1'5 ,2.8' 7253)0''0 720-'57')'0 ,-'.)'8 <,1'5. >21'0;680-', *)(256('('0 3'+D'


41

6086( 520A'7') 5',-'.'('8 @A2+ -'04 5'*'0) )0) *)8256('0 86;6+ 5),) ,272.8) 32.)(68:

Pertama, 52D6;6*('0 721'(,'0''0 ,-'.)'8 <,1'5 ,2A'.' kaffah *'1'5 ,256' ',72(
(2+)*67'0 5',-'.'('8 ,2.8' @*'8 @A2+ -'04 32.;)D' <,1'5). Kedua, 520A)78'('0

. Ketiga,
824'(0-' ,67.25',) +6(65 *'0 +'( 'H',) 5'06,)' 32.*','.('0 (2'*)1'0 *'0

(2320'.'0 -'04 32.,)I'8 60)J2.,'1 520)04('8('0 7.CI2,)C0'1),52 *'0

,7).)86'1),52 '7'.'86. B252.)08'+ ='2.'+ -'04 32.I604,) 521'-'0) 5',-'.'('8K

rasuah, 72.,2(C04(C1'0 *'0


. Keempat,
7.C*6(8)I *'0 323', *'.) 027C8),52K ,2+)044' *'7'8

521'+).('0 7252.)08'+'0 -'04 32.,)+ *'0 32.D)3'D' 520)04('8('0

,
(6'1)8', 5',-'.'('8 *'0 ,6532. 5C*'1 )0,'0 521'16) 720)04('8'0 5686 720*)*)('0

*'0 (2,2+'8'0 -'04 525)1)() '(+1'( 561)' )5'0 *'0 8'(D' ,2.8' 525)1)()

. Kelima,
(2604461'0 (C5728)8)I *'1'5 72046',''0 *'0 7202.'7'0 )156 720428'+6'0 *'0

,
82(0C1C4) 5253'0460 *'0 5204253'04('0 2(C0C5) (2.'(-'8'0 -'04

.
32.86576 7'*' 52('0),52 7','. -'04 32.(2'*)1'0 32.',', 7'*' ,6532. '1'5 *'0

5C*'1 )0,'0 -'04 7.C*6(8)I ,2.8' 32.D'D','0 '1'5 ,2()8'. *'0 32.(21'0;68'0

Keenam, 52028'7('0 72.2(C0C5)'0 @A2+ 7'*' 7C,),) -'04 (C5728)8)I *'1'5 '.6,
41C3'1),',) *'0 1)32.'1),',) D)1'-'+ *'0 <082.0',)C0'1 . Ketujuh, 52D6;6*('0
42
721'(,'0''0 (2),8)52D''0 @A2+ ,2A'.' 520-216.6+L

M086( 521'(,'0'('0 5),) *) '8', *)828'7('0 761' 257'8 .20A'0' ,8'824),

9N20,8.': .43 =6' *) '08'.'0-' 32.(20''0 *204'0 720-212044'.''0 (2),8)52D''0 @A2+.

39
,
, #"R# W"PQYRT S #"TQ&. RQ, Q QRR$ #R$ RQR R#Y"W
O"%P QR& S #"%"TR&TUR RVR&RT #R$ SQRW S"&%RSR# PRTUR SXR R#Y"W S"SRY $"TZRWY

, , ,, QRT RP &RXR[ \% ]RWR&, Syari at Islam, P[ 19.


%QRTX RT URTX VRP "%P R#

\QRYT Y"RW#RTRRTTUR QRS& QRR$ ^"&RS&RT !R"&RP ^&_T# \Z"P . 5 `RPT
"WT$ Y"TQQWRT YSW W"#"TRT
40

2000, Q RTSR&RTUR YRQR %R% 4 R#Y"W Y"RW#RTRRT aUR&RS #R$ S"&Q& QR&, bRc. \WQRPd b%c.
%RQRP bZc. eR$RRPd bQc. \WPRW, b"c. ^"TQQWRT QRT !RWfRP #R$URPd bgc. ]RS eRR ,

bXc. h"$R#UR&RWRSRT, bPc. aUR& #R$, bc. ^"$%"RRT #R$, bVc. Qada Jinayat, bWc Munakahat.

b$). Mawaris. !TR# aUR&RS #R$, Himpunan Undang-Undang, P[ 98.


41
Ibid., P[ 3-4.
\%%RWR&, Syari at Islam, P[ 23.
42

i"TZRTR #SRS"X# T S"RP Q%RS YRQR SRPT 2001 %"%"&RYR SRPT #"%"$ S#TR$,
43

312
¬ž“•—š : ¦§ž—š ½”•©—š¤žš—š ¦§”  ½—›§— ¾›žš—•

Pertama, jklmnloplm: qnr skjtnlmplnl ukvwxy zklo{o{vnl, qtr skjtnlmplnl t{onlm nmnjn,
q|r skjtnlmplnl t{onlm nonw, onl qor. skl{lmvnwnl zkynlnl p}njn
44
on}nj jklkwnzvnl

nyn~nl zkjtnlmplnl onkyn~ Kedua, jklpjtp~vnl kvxlxj{ jnu€nynvnw ukzkyw{

zkl€kjzpylnnl {lynuwypvwpy, zklmnlmvpwnl, jkl{lmvnwvnl zyxopvw{‚{wnu onl vpn}{wnu

zkywnl{nl, tnlwpnl jxon} plwpv pun~n vk|{} onl ypjn~ wnlmmn, jkl{lmvnwvnl onl

zklmkjtnlmnl tnonl pun~n j{}{v onkyn~ƒ pun~n vk|{}ƒ jklklmn~ onl vxzkynu{ ukywn

.45 „{onlm zklo{o{vnl on}nj ……s†,


216 €nlm tkytpl€{ ‡tn~ˆn ukw{nz zklopopv †|k~ tky~nv jklonznwvnl zklo{o{vnl
jkl{lmvnwvnl onl jklmkjtnlmvnl pun~n zkjnunynl

znun}

- ,
€nlm tkyvpn}{wnu onl ‰u}nj{ tn~vnl zklo{o{vnl o{uk}klmmnynvnl tkyonunyvnl nwnu

zy{lu{z zy{lu{z okjxvynu{ onl vkno{}nl oklmnl jklŠplŠplm w{lmm{ ~nv nunu{ jnlpu{n

, . 46
-
- ,
l{}n{ ‰u}nj tpon€n onl vkjnŠjpvnl tnlmun ‹konlmvnl zklo{o{vnl lxl xyjn} wk}n~

47
o{wnjz{}vnl ˆn|nln ˆn|nln tnyp wkwnz{ tn~nll€n upon~ }njn non o{ †|k~ ukzkyw{

Meunasah znon ukw{nz okun qvnjzplmr.


Œklpypw n} nun †tptnvny, meunasah qjnoynun~r onl jnuŠ{o jkjzpl€n{ plmu{ tky{vpw.
zk}nvunlnnl ‹€ny{nw ‰u}nj tkytnu{u jnuŠ{o onl

Pertama, onznw jkl€pupl nŽnl o{ ukw{nz un}nw nyo~p. Kedua, zkl€ko{nnl nu{}{wnu €nlm
jkjnon{ plwpv vktn{vnl un}nw. Ketiga, wkjznw nvw{‚{wnu tazkirah onl zklmnŠ{nl n}-pynl.

Keempat, wkjznw jklkwnzvnl Šnj tk}nŠny vnjzxlm. Kelima, zpunw nvw{‚{wnu un}nw tkyŠnjnn~
onl wnynˆ{~ƒ zky{lmnwnl jnp}{o ‘nt{. Keenam, zpunw Žnvnwƒ {lnv onl ukokvn~
48

’{vn jnuŠ{o onl meunasah o{plmu{vnl oklmnl tn{v, jnvn zklo{o{vnl ‰u}nj nvnl onznw

“””•–—˜ ™”š› ˜œ—  ˜ž —Ÿ—   , Pertama, –” š¡”Ÿ”› —— š “ ¢š£Ÿ“ . Kedua, – ”š¡”Ÿ” š¤¤—œ——š
Ketiga, •”šž•©ž “—š ”“¢š¢• •—›¡—œ—“—˜ª «—š Keempat, –”•©—š¤žš—š
«—š “—¥—›—š ˜”œ˜š¤¤—Ÿ, Ibid.,  ¨ 24.
“”›˜•”¥——š ¦§” ¨

¥Ÿ—¡—  –”œ©—˜—›—š

44
,
.
¬”­—“ ®—•—š “”›žŸ˜—š—š ¦§”  –”œ—š—š žŸ—•— žš˜ž“ •”š”˜—–“—š “”©­—“›—š——š

. -
–”•”œš˜—  ©”œ­—Ÿ—š «”š¤—š ©—“ ¯—Ÿ š ˜”Ÿ—  «•žŸ— “”˜“— ¬žŸ˜—š °—š›¡žœ ¬¡—  ¡—š¤

, . ,
›—Ÿ”  «—š —«Ÿ ±— •”•©ž“— “”›”•–—˜—š Ÿž—› “”«—˜—š¤—š ¤žœž ¤žœž —¤—•— «—š žŸ—•— «—œ

,
Ÿž—œ ²”¤”œ –”•”œš˜—  ±›Ÿ—• «­—Ÿ—š“—š ›—Ÿ—˜ Ÿ•— ¥—“˜ž «—š –ž—›— ™—•—« —š ²—•žš

,
–”œ—š—š žŸ—•— «—š §”š«“—¥—š « ›——˜ ›¡—œ—˜ ±›Ÿ—• «©”œŸ—“ž“—š Ÿ”© ³Ÿ”©  –—«— –—›§—

ijma , syara , ijtihad. ¯—Ÿ Ÿ—š ¡—š¤ «—–—˜


˜›žš—• ›—š¤—˜Ÿ—  ©”œ—˜ª ˜ž¤—›š¡— —š˜—œ— Ÿ—š •”š¡”¤”œ—“—š –”•— —•—š œ—“¡—˜ ¦§”  ˜”š˜—š¤

›¡—œ—˜ «—š •”š”œ—–“—š “¢š›”– ›¡—œ—˜ ›”–”œ˜

bid ah «—š a dah. Bid ah —«—Ÿ—  –œ—“˜“ “”—¤—•——š ¡—š¤ ˜«—“


«–”œ“”š—š“—š ¢Ÿ”  ›¡—œ—˜ , ›”«—š¤“—š a dah —«—Ÿ—  –”œž©— —š “”©—›——š –”œŸ—“ž «—š
•”š­—ž “—š ž•—˜ «—œ–—«—

—«—–˜—› ¡—š¤ ˜”œ­—« —“©—˜ •žš§žŸš¡— £—“˜¢œ –œ¢«ž“› —˜—ž ˜”“š¢Ÿ¢¤. Serambi Indonesia ´19

µ—šž—œ 2007¶,  ¨ 18.

45
, Syari at Islam, 92.
UUPA,  ¨ 158.
¦©ž©—“—œ  ¨
46

47

- , -
·—§—š—³¥—§—š— ˜ž ©”œ“—˜—š «”š¤—š –”š¤”š—Ÿ—š ¬¡—œ—˜ ±›Ÿ—• «—Ÿ—• –”š««“—š

-
£¢œ•—Ÿ « ›”“¢Ÿ—  ›”–”œ˜ ©”Ÿ—­—œ •”•©—§— —Ÿ ¸žœ—š ©”Ÿ—­—œ «—›—œ «—›—œ –”š¤”˜— ž—š ˜”š˜—š¤

©—«—  «—š “”˜”œ—•–Ÿ—š •”š¤—•—Ÿ“—šš¡— ›”œ˜— •”•–”œ¢Ÿ”  ›¢›—Ÿ›—› šŸ— šŸ— “”—¤—•——š

,
“žœ“žŸž• –”š««“—š —¤—•— « ©”œ©—¤— Ÿ”•©—¤— –”š««“—š š « —œ—–“—š —“—š ˜”œš˜”¤œ—›

. , Syari at Islam, 183.


«”š¤—š “žœ“žŸž• •—˜— –”Ÿ—­—œ—š Ÿ—š —œ˜š¡— ©— ¥— “”›—«—œ—š –”š¤”˜— ž—š «—š –”š¤—•—Ÿ—š

—¤—•— —“—š •”š­—« ›”•—š¤—˜ «—š œ¢  –”š««“—š ¦©ž©—“—œ  ¨

48
, Bunga Rampai Pelaksanaan Syariat Islam ´º—š«— ¦§” » ¼š—› ¬¡—œ—˜
, 2005¶, 142.
¦Ÿ ¹—›— ¦©ž©—“—œ

±›Ÿ—•  ¨

313
MIQOT ¿ÀÁ. ÂÂÂÿ ÄÀ .2 -
ÅÆÁÇ ÈÉÊÉËÌÉÍ 2010

ÎÏÐÑÏÒÓÔ ÕÏÖ×ØÓÙÓÐ ÎÓÚÛÜÓÙ ÝÏÖØÙÓÎÓ ÞÏÐÒÓÐ ÎÏÎÕÏÖ×ÓÜÚÜ ÚØÓßÜÙÓÛ ÛÓßÓÙ ÞÓÐ Ü×ÓÞÓÔ .
ßÓÜÐÐàÓ ÚÓÖÏÐÓ ÕÏÐÒÓÎÓßÓÐ ÛÓßÓÙ ÛÏÑÓÖÓ ×ÏÐÓÖ ÞÓÕÓÙ ÎÏÐÞáÖáÐÒ ÕÏßÓÚØÐàÓ ØÐÙØÚ ÎÏßÓÚØÚÓÐ

amar ma rûf nahi munkar ØÐÙØÚ ÞÜÖÜÐàÓ ÞÓÐ áÖÓÐÒ ßÓÜÐ.49 âÏÐÒÔÓàÓÙÓÐ ÞÓÐ ÕÏÐÒÓÎÓßÓÐ
50
ãÛßÓÎ ÛÓÐÒÓÙ ÞÜÕÏÖßØÚÓÐ ÎÏßÓßØÜ ÕÏÐÞÜÞÜÚÓÐ ×ÏÖÓÛÓÛÚÓÐ ÛÓßÓÙ ÞÓßÓÎ ÚÏÔÜÞØÕÓÐ ÚÏßØÓÖÒÓ

ÞÓÐ ÎÓÛàÓÖÓÚÓÙä âÏÐÞÜÞÜÚÓÐ ÚÏßØÓÖÒÓ


51
ÞÜÓåÓßÜ ÞÓÖÜ ÕÏÎÜßÜÔÓÐ æáÞáÔ ÞÓÐ ÕÏÖÚÓåÜÐÓÐ .
âÏÖÚÓåÜÐÓÐ ÞÓßÓÎ ãÛßÓÎ ×ØÚÓÐ ÛÓæÓ ÛÏÚÏÞÓÖ ÎÏÐÒÔÓßÓßÚÓÐ ÔØ×ØÐÒÓÐ ÛÏÚÛØÓß ÓÙÓØ

,
ÚÏßÏçÓÙÓÐ èÜÛÜÚ ÓÚÓÐ ÙÏÙÓÕÜ ÕÏÖÚÓåÜÐÓÐ ÓÚÓÐ ×ÏÖßÓÐÒÛØÐÒ ØÐÙØÚ ÎÏÐÑÓÕÓÜ ÚÏ×ÓÔÓÒÜÓÓÐ

ÞÓÐ Ó×ÓÞÜ ÛÓÎÕÓÜ ÓÚÔÜÖ ÔÓàÓÙ ÕÏÐØÔ sakinah, mawaddah ÞÓÐ rahmah, ÞÜÚÓÖØÐÜÓÚÓÐ

ÓÐÓÚ ÞÓÐ ÚÏÙØÖØÐÓÐ ÛÏ×ÓÒÓÜ ÒÏÐÏÖÓÛÜ ÕÏÐÏÖØÛ àÓÐÒ ÙÓÓÙ ÚÏÕÓÞÓ éßßÓÔ êëÝ .

n n n m nnun
ìíîíïí ðñòíïí óíôí m õö÷ø ùúûüý ìñþþÿ osntrus îñ 
Blue Print ÏÚáÐÛÙÖØÚÛÜ éÑÏÔ ÜÓßÓÔ ÛÓßÓÔ ÛÓÙØ ÖÓÐÑÓÐÒÓÐ ÕÏÎ×ÓÐÒØÐÓÐ éÑÏÔ ÕÓÛÑÓ-
ÙÛØÐÓÎÜ . ÓÐÑÓÐÒÓÐ ÜÐÜ ÛÓÐÒÓÙ ÛÜÛÙÏÎÓÙÜÚ, ßÏÐÒÚÓÕ ÞÓÐ ÎÏÐÑÓÚØÕ ÛÏßØÖØÔ ÛÏÚÙáÖ

ÕÏÎ×ÓÐÒØÐÓÐ éÑÏÔ . ãÓ ÞÜ×ØÓÙ ÓÙÓÛ ÚÏÖæÓÛÓÎÓ ÓÐÙÓÖÓ ÏÎÏÐÙÏÖÜÓÐ âÏÖÏÐÑÓÐÓÓÐ

âÏÎ×ÓÐÒØÐÓÐ ÓÛÜáÐÓß, âÏÎÏÖÜÐÓÔ ÓÏÖÓÔ âÖáÜÐÛÜ é ÞÓÐ ÐÜÏÖÛÜÙÓÛ êàÜÓÔ ØÓßÓ.

âÖáÛÏÛ ÕÏÎ×ØÓÙÓÐÐàÓ ÕÓÞÓ ÓåÓßÐàÓ ÎÏßÓßØÜ ÕÏÐÞÓÕÓÙ  ÓÛÕÜÖÓÛÜ ÞÓÖÜ ÛÏßØÖØÔ ÏßÏÎÏÐ

. 52 
,
ÖÓÚàÓÙ éÑÏÔ ÎÏÐÒÏÐÓÜ ÕÏÎ×ÓÐÒØÐÓÐ ÚÏÎ×ÓßÜ éÑÏÔ ÕÓÛÑÓ ÙÛØÐÓÎÜ ÏÖæÓÛÓÎÓ ÜÙØ

ÎÏåØæØÞÚÓÐ ÎÏÎáÖÓÐÞØÎ ÚÏÛÏÕÓÚÓÙÓÐ àÓÐÒ ÞÜÜÚØÙÜ áßÏÔ ßÜÎÓ ØÐÜ ÏÖÛÜÙÓÛ  àÓÜÙØ

   
,    ,
, ,   .
ÐÜ ÏÖÛÜÙÓÛ êàÜÓÔ ØÓßÓ êãé ÐÜ ÏÖÛÜÙÓÛ ãÐÞáÐÏÛÜÓ ã ãÐÛÙÜÙØÙ âÏÖÙÓÐÜÓÐ áÒáÖ

ãâ ãÐÛÙÜÙØÙ ÝÏÚÐáßáÒÜ ÓÐÞØÐÒ ãÝ ÞÓÐ   ÐÜ ÏÖÛÜÙÓÛ êØÎÓÙÏÖÓ  ÙÓÖÓ ê

 ÏÖæÓÛÓÎÓ ÜÐÜ ØÐÙØÚ ÎÏÐÑÓÖÜ ÓÛÕÜÖÓÛÜ ÎÓÛàÓÖÓÚÓÙ ÎÏßÓßØÜ ÛÏÎÜÐÓÖ ÞÓÐ ßáÚÓÚÓÖàÓ ØÐÙØÚ

Ibid.,  192.
49

           .       


50

    .,                 .


Á ÌÉÍ Æ ÊÇ ÊÉÌ Ç ËÉ Ç ËÉ Ç ÁÁ Æ ÊÉÌ Ç ËÉ Ç ÌÉÍ ÀËÆ Ç ÊÇ

.     , Membumikan al-Qur an   :  !, 2006",  #$ .


É ÁÁ Æ Æ ËÉ É Ë ÆÊÇ ÍÇ ËÉÁ Æ ÉÍÌÆ É Ç ËÆ Í

ÆÍ ÇÊ Ç Ì Æ Ç Ç

   .    %
51
        
      . '      (   &
É ÆÍÆ Ä ÊÇÍ Å ËÇÁ Ì ËÉËÌÇ É ÍÆË ÊÉÌ Ç Ê Ê

   & 


    ,  &       
ÉËÌÇ Ë Ê Í ÌÉÁÆË ÌÉÍ ÉÍ ÊÉ Í À ÇË Á ÉÁÆ Í ÊÉË Ç Í Æ ÌÉÍ ËÌ

(         


               . )  &      
ÊÆÊ ÉÍ ÉÍ Ç ËÆ ÆÁ Ê Ç ÉÁ ËÇ ÆË ÍÉË ÉÍÁÇ É Ç ÊÉÊÆ Ç Í

    -      - *,     ,   


ÇÁ Ç Í Ë ÉË Ë ÊÉÍ É Ë Á Æ ËÉ ÉÁ Ë ÉÁÆ Í Ç Ç

Ç ÉÍÁÆ Ë Ë É (  
Ç Á ÆÍ É Ç ÆË ÇÌÆ É Ç ÍÉË ÉËÆ

                  +  


  Serambi Indonesia 19   2007",  18.
Á ÆË Ì ÍÆÊÁ ËÉ ÇÌ Ç ÍÇ Ç É Ç Æ Ç Ë Æ Ë Æ

É Å Æ ÍÇ

       $  &   ( Pertama.    (   ,   


52
É Í ÉÍ ÉÍÇ Ç Ç Ç Ê Á É ÍÇ É É ÉÍÁÆ Ê ÇÍ ÊÇ

    &      Kedua,         


        ,          
Í Ë Ê Í É Ê ÌÉ Ã É ËÉ É Ç É ÉËÌ Ê Ê

Ç ÀÍË ÊÇ Ì Ç ÍÀÊÉÊ ÉËÌ Æ ÉÍÉ ÉÁ Ê É É ÁÇ ÍÉ ÌÇÁÇ ÊÇ

     &     Ketiga, )    &       


ÍÉ À ÊÍÆ ÊÇ Ë Ê Í Ê ÌÉ ÊÆÁ Á ËÆ ÉÍ ÉÍ Ê Ë

                 


ÉÁ Æ É É Ç Á Ë Í    ÉÁ Ê É É ÁÇ ÍÀÊÉÊ ÍÉ ÌÇÁÇ ÊÇ

     &      Keempat, )        


 & (    ,    ,    ,      ,
ÍÉ À Ê ÍÆ ÊÇ Ë Ê Í É Ê ÌÉ ÊÆÁ ÍÇ Ê É É ÉËÌ

        . Kelima, ,    &     


Ë Ê Í ÉÍÉ À ÀËÇ Ç Í ÊÆ ÆÍ ÉË Ë ÉÁÉËÌ ÊÉÍ É ÍÆ


   . -  Nota
ÉÍ Á Ë ÊÉ Ç Í É Á Ë Æ É Ç ÊÇ Ê ÁÉËÌ

,    (   &     


Kesepakatan 7 .  2005".
ÉËÉÍÇ È ÉÍ ÁÉËÌ Ë Ê Í ÊÉÍ ÉËÉÁÇ Í ÁÉËÌ É À ÀËÇ Ç

ÉÌÍÆ ÍÇ

314
se\aZ_f: ole_f ~WZb_fcef_f olWg ~_hl_ jhef_Za

/0123435631 671804-671804 40/931:;131 <=0> 438=3 58;13/?. @0A063 2?93:? 604323


B?/3 60B7/476 60AC3 ;15;6 /0A;/;8631 384?A38? A36D35 <=0> 23B3/ 90A93:3? 80657A
53

231 >38?B 80/?13A ?5;B3> D31: 2?5;31:631 23B3/ Blue Print 40/931:;131 <=0>E
<234;1 80657A 40/931:;131 D31: 2?A01=313631 /0B?4;5?: Pertama. F353 A;31:
40A5313>31, /01=36;4 40135331 6040/?B?631 5313> Gland owner shifH, 60808;3?31 5313>
;15;6 40A/;6?/31 231 401D31::3 80A53 40/9;3531 site plan G40A531?31, 40/;6?/31,
50/435 ;83>3, I38?B?538 4012;6;1:H. J0B31C;51D3 40135331 63K3831 /0B?4;5? 40/9;3531
A01=313 50A40A?1=? L713, 5353 931:;131 231 B?1:6;1:31, 63K3831 6>;8;8, /0/9;35
A01=313 67185A;68? 231 6720 931:;131. M0/?6?31 C;:3 501531: 40135331 40A;/3>31
50A2?A? 23A? 401:63C?31 67185A;68? 931:;131 53>31 :0/43 231 58;13/?, 9015;6 A;/3>N
8?850/ 40B31, 85A;65;A C3B31, A;/3> ;15;6 40/;6?/31, 40135331 63K3831 6>;8;8. 54

Kedua, O?1:6;1:31 231 8;/90A 23D3 3B3/ 2?/;B3? 23A? /01;/9;>631 608323A31
/38D3A3635 50A>3234 4015?1:1D3 /01C3:3 3B3/ B?1:6;1:31 231 60831::;431 /01:013B
4385? 60C32?31 901=313 3B3/. P02;3 >3B ?5; 831:35 90A63?531 201:31 1?B3?-1?B3? 3:3/3.
55

Q;:3 2?A01=313631 501531: 608?3431 Early Warning System , 231 40A8?3431 40/931:;131
63K3831 401D31::3 90AC3A36 1.5 6/ 23A? :3A?8 43153?. J0B3?1 ?5; ;8;B31-;8;B31 D31:
2?53K3A631 831:35B3> 478?5?I 93:? 40/931:;131 3B3/ B?1:6;1:31. R01=313 40/931:;131
3B3/ 806?53A /0/40A>35?631 4A?18?4-4A?18?4 8040A5? 90A?6;5S G3H R067185A;68? 8;/90A
3B3/ 90A3838 6032?B31 3153A3 :010A38?, G9H P032?B31 23B3/ 835; :010A38?, G=H TA?18?4
401=0:3>31 3K3BN G2H T0AB?12;1:31 6031063A3:3/31 >3D35?, G0H P080?/931:31 5?:3
38406 40/931:;131 /0B?4;5? ;18;A 06717/?, 878?3B 231 B?1:6;1:31. 56

Ketiga, TA383A313 231 83A313 ;/;/ 90A;43 40A93?631 C3B31 D31: A;836 A?1:31 207.
48 6/, 231 C3B31 D31: A;836 43A3> 57.17 6/ 3:3A 93?6 60/93B?. J0B3?1 40/931:;131 C3B31,
2?B36;631 4;B3 40/931:;131 8040A5? 90A?6;5 G3H @0A0>39?B?538? 4A383A313 40A>;9;1:31,
G9H @0B36;631 401:3B?>31 B7638?, G=H @0/931:;1 C3B31-C3B31 3B50A135?I, G2H @0/9;63
93>3:?31 40B7876 231 4;B3; U<M. J0B3?1 ?5;, 2?B36;631 40/931:;131 83A313
401:31:6;531 23A35N B3;5 231 ;23A3, A0>39?B?538? 8;/90A 3?A 231 50B067/;1?638?.
57

53
VWXYZ[Y\ \W]^_ `ab_ca \W[_`_ d_d_ ]e_fc `_f [W]d_f_g_f, Xafc\efc_f ga`e[ `_f
heZbW] _X_Z , []_h_]_f_ `_f h_]_f_ eZeZ , W\YfYZa `_f \WdWf_c_\W]^__f , hahdWZ
\WXWZb_c__f , hYha_X be`_i_ `_f heZbW]`_i_ Z_feha_ , ge\eZ , _\efd_baXad_h `_f
[WZW]afd_g_f. Ibid.
54
jW_Z j_h\kY]lW, Blue Print Rekonstruksi Aceh mn_f`_ olWgp qfarW]had_h sia_g Ve_X_t
2005u, gv 16.
55
w_X_Z xhX_Z _`_ a\gda_] Z_feha_ hW[W]da ka]Z_f oXX_g i_fc Z_\f_fi_p y Allah tidak
merubah nasib suatu kaum, sehingga mereka itulah yang dapat merubahnya. z.s. _X-{_|`}
13:11.
56
jW_Z j_h\kY]lW, Bule Print, gv 105.
57
~W]b_a\_f [Wfc_fc\ed_f `_]_d efde\ b_ca_f daZe], b_]_d, dWfc_g, \W[eX_e_f.
~Wfc_fc\ed_f afa h_fc_d hd]_dWcah b_ca \WZ_^e_f hWbe_g \Yd_. ~W]b_a\_f dW]Zaf_X beh,
[WX_beg_f X_edt `_f [W]b_a\_f [Wfc_fc\ed_f e`_]_v Ibid., gv 105.
315
MIQOT €. ‚‚‚ƒ „€. 2 …†‡-ˆ‰Š‰‹Œ‰ 2010

Keempat. Ž‘’“ ”•‘ –—‘•˜• —™š• –—›•œ ”“™—‘•‘••‘ –“˜• –•œ•ž ž—’Ÿ•‘˜ ‘•‘
¡•“–  ž™˜™•’ — –•’••‘ ™—‘¢–™ ¢“ £Priority Reconstruction Program¤ ¢—ž—™–“ Ÿ—™“ –:
£•¤ ¥—‘¢–™ ¢“ •¢—– ¦“¢“ £ž ¢•–-ž ¢•– ž—™›•¡•‘•‘  ’ ’¤, £Ÿ¤ §—‘˜œ“” ž•‘ —’Ÿ•›“
•–“¨“–•¢-•–“¨“–•¢ —‘’“ ›•› ¢—ž—™–“ ž—™“•‘•‘, ž—™–•‘“•‘, ž—™—Ÿ ‘•‘ ”•‘
ž•™“©“¢•–•, £¤ §—’Ÿ•‘˜ ‘ ›—’Ÿ•˜•-›—’Ÿ•˜• —‘’“ ”•‘ ’—‘¡•’ž•“•‘ “‘¦™’•¢“
–—‘–•‘˜ ™•‘•‘˜•‘ ž—’Ÿ•‘˜ ‘•‘, £”¤ §—‘š•˜• ¢ •¢•‘• ž—™”•’•“•‘ •Ÿ•”“ ¡•‘˜ –—›•œ
”“’ ›•“ ”•‘ Ÿ—™›•‘˜¢ ‘˜ ¢—•™• Ÿ—™—›•‘š –•‘, £—¤ ª  ‘˜•‘ ž—‘¡—”“••‘ ž—›•¡•‘•‘
’•¢¡•™••– Ÿ•˜“ ž—‘” ”  ¡•‘˜ ••‘ —’Ÿ•›“ — ™ ’•œ-™ ’•œ £•‘–•™• ›•“‘
ž—™ ’•œ•‘, •“™ Ÿ—™¢“œ« ¦•¢“›“–•¢ ž—‘”“”“•‘, —¢—œ•–•‘ ”•‘ ž—‘˜•‘˜ –•‘¤. 58
Kelima. ¬“¢–—’ —›—’Ÿ•˜••‘ ¡•‘˜ ”“›• •‘ “•›•œ ”—‘˜•‘ ’—›•¢•‘••‘
ž—‘”“”“•‘ ”•‘ ž—›•–“œ•‘ œ ¢ ¢. ­—‘”“”“•‘ ”•‘ ›•–“œ•‘ “‘“ ”“•©•›“ ”•™“ ž™¢—¢
59

ž—›•¡•‘•‘ ž—š•Ÿ•–, Ÿ•œ•‘ ž—‘˜•š•™•‘ ”•›•’ ž—‘”“”“•‘ ¡•‘˜ Ÿ—™‘“›•“ —®¢›•’•‘. ¬—›•“‘
“– , ”“ž—™› •‘  ¢•œ• ž—’—™“‘–•œ  ‘–  ’—‘“‘˜•–•‘ —’•’ž •‘ ’—›•¢•‘••‘
– ˜•¢-– ˜•¢ ž—’Ÿ•‘˜ ‘•‘. ¬•›•œ ¢•–   ¢•œ• •‘–•™• ›•“‘ ž—‘¡ ¢ ‘•‘ ™˜•‘“¢•¢“ ¡•‘˜
ž™¦—¢“‘•› ¢—¢ •“ ”—‘˜•‘ ¦ ‘˜¢“ ”•‘ – ˜•¢‘¡• ¢—•™• –—ž•– (right-sizing). ¬—›•“‘ “– ,
60

”“ž—™› •‘ ›•‘˜•œ¯›•‘˜•œ ‘™“– ”•™“ ž™˜™•’ “‘“, ”—‘˜•‘ ’—’ž—™Ÿ•““ ž™¢—” ™,


”•–• ”•‘ “‘¦™’•¢“ ¡•‘˜ –—ž•– ¢—™–• ž—‘˜•©•¢•‘. ª—‘˜•‘ •™• ¢—ž—™–“ “– , ’•¢¡•™••–
°—œ ”•ž•– ’—‘˜—™–“ –—‘–•‘˜ ž—’Ÿ•‘˜ ‘•‘ °—œ ”“ ’•¢• ”—ž•‘.
Keenam. ­—‘”“”“•‘ ¢¢“•› Ÿ ”•¡•, ¢ ’Ÿ—™ ”•¡• ’•‘ ¢“• ”•‘ —¢—œ•–•‘ ’—›“ž –“: £•¤
­—’Ÿ•‘˜ ‘•‘ ¢•™•‘• ”•‘ ž™•¢•™•‘• ž—‘”“”“•‘  ‘–  ¢—’ • š—‘“¢, £Ÿ¤ ­—‘˜•”••‘ ¢•™•‘•
”•‘ ž™•¢•™•‘• ž—‘”“”“•‘ ”•›•’ ™•‘˜• ž—›•¡•‘•‘ ž—‘”“”“•‘, £¤ ­—’Ÿ—™“•‘ Ÿ—•¢“¢©•.
£”¤ ­—‘¡—’ž ™‘••‘ ¢“¢–—’ ž—‘”“”“•‘ ”•‘  ™“ › ’, £—¤ ­—‘˜•”••‘ ˜ ™ -˜ ™  Ÿ•‘– ,
£¦¤ ­—‘“‘˜•–•‘  •›“–•¢ ”•‘ —’•’ž •‘ ˜ ™ , £˜¤ ­—™Ÿ•“•‘ ›—’Ÿ•˜• ž—‘”“”“•‘ ”•‘
–—‘•˜• ž—‘”“”“•‘, £œ¤ ­—’Ÿ—™”•¡••‘ ”•‘ ž—‘“‘˜•–•‘ ž™˜™•’ ž—‘”“”“•‘ › •™ ¢—›•œ,
£“¤ §—‘˜ ž•¡••‘ ¢•‘– ‘•‘ —ž•”• —› •™˜• ˜ ™ /•™¡•©•‘ ”“ ›—’Ÿ•˜• ž—‘”“”“•‘. 61

ª—’““•‘ š ˜• ”—‘˜•‘ ž—’Ÿ•‘˜ ‘•‘ Ÿ ”•¡• °—œ ¡•‘˜ •¡• “–  ’—‘• ž ž›• ’••‘, 62

58
Ibid.,±² 133.
59
³€´µ‹ ³‰¶·‡·‡¸µ¶ ·µ¶ ¹µº‡±µ¶ »·‡¸µº¼ ‡¶‡ Š†·µ± ‹‰¶½µ·‡ ¸‰µ¾‡‹µ¶ ‹†µ‡ ·µ‡
µ·‹‡¶‡ŠºµŠ‡ †‹†‹ »¿·†‹¼, À‰Á‰‹‡‹Á‡¶µ¶ ƒ »³‡‹ ƒ¼ ·µ¶ ³‡‹ ƒ. ¿·µÁ†¶ Œµ±µ¶ ·‡¸µº ‡¶‡
‡µµ± Pertama, º‰¸¶€€´‡ ‡¶Â€‹µŠ‡ ·µµ‹ Á‰‹‰‡¶ºµ±µ¶. Kedua, º‰€‡ µºµ† ‡¶·‡¸µº€
Á‰‹Œµ¶´†¶µ¶. Ketiga, ¸‰Á‰‹‡‹Á‡¶µ¶ ·‡ µµ‹ º‰Œ†¸µ² Keempat, º‰¸¶‡¸-º‰¸¶‡¸ Á‰¶´††Šµ¶.
Kelima, µ¶µ‡Šµ ¸‰Œ‡½µ¸µ¶ †‹†‹. Keenam, Š‡Šº‰‹ Á‰¶´††Šµ¶ Á‰‹Œµ¶´†¶µ¶. Ketujuh,
‹‰‹Œ‰·µÃµ¸µ¶ Š†‹Œ‰ ·µÃµ ‹µ¶†Š‡µ² Kedelapan, Á‰‹Œµ¶´†¶µ¶ ·µ‰µ± Š‰¸º€ ·µ¶ ¶µŠ‡€¶µ.
Kesembilan, Ƹ†‹, µ·‹‡¶‡ŠºµŠ‡ ¶‰´µµ, Kesepuluh, ŵƵ ‹‰¶µÆµ, ¸€µŒ€µŠ‡, ·µ¶ ½‰¶½µ¶´ ¸‰½µ.
Kesebelas, Á‰¶´‰‹Œµ¶´µ¶ Á‰µÃµ¶µ¶ õ¶´ †ºµ‹µ² Keduabelas, ¸‰Á‰‹‡‹Á‡¶µ¶ ·µµ‹ €´µ¶‡ŠµŠ‡.
Ketigabelas, ‹‰‹Œµ¶´†¶ Á‰‹‰‡¶ºµ±µ¶ õ¶´ Œµ‡¸. Keempatbelas, Á‰¶´‰‹Œµ¶´µ¶ ¸‰¸†µºµ¶
·‡‡. Kelimabelas, µ¸º‡Â ·µ¶ Á‰¶´†¸†µ¶ ¸‡¶‰½µ² ¹‰‹Œµ´µ ¿·‹‡¶‡ŠºµŠ‡ „‰´µµÇ 2004-2005.
60
ʼnµ‹ ŵŠ¸Â€È‰, Blue Print, ±² 148.
61
Ibid., ±² 157.
62
ɉ¶´†ºµ‹µ¸µ¶ ‹µ¸µ¶ ¶µŠ‡, ‡¸µ¶ ·µ¶ ŠµÃ† Š‰Œµ´µ‡ Á‰¶·µ‹Á‡¶´ ¶µŠ‡, ‹µ¸µ¶µ¶ õ¶´
ºµ±µ¶ µ‹µ Š‰Á‰º‡ ·€·€, Ƶ½‡¸, haluwa, €Ãµ¶´, keukarah, bungong Áµµ, ‡¸µ¶ ¸µÃ† ·µ‡
316
,  : "#    "# # & 
ÊËÌËÍÎÏÎÐ ÑÎÐ ÒÓÔÓ, ÕÖ×Î ÕËØÎÑÎÏÎÐ, ÍÙÚÙÐÒÎÐ ÊËØÎÚÎÏ, ÕÖ×Î ÚËØÊË×ÙÎØÒÎ, ÑÎÐ ÕÖ×Î
63 64 65 66

ÚËØÕÎÊÎÓÎÐ. ÛËØÓ×ÎÊÙ ÜËØËÊÎ ÑÓÏËØÓÜÎ ÑÎÐ ÑÓÓÊÙÏÓ Ö×ËÍ ÜÎÌÝÎØÎÊÎÏ ÒËÐËØÎÌÓ ÚËØÓÊÙÏÐÝÎ.
67

Þßànáná âßãmáännáunåáæäçá èßæßæäáé (Þâåè) âêëìíæîí ïáæääêëß


ðàßé ñáêòîîáóáô 200õ-2012
öËÐ÷ÎÐÎ ÛËÜÚÎÐÒÙÐÎÐ øÎÐÒÊÎ ùËÐËÐÒÎÍ úöÛøùû ÛØÖÕÓÐÌÓ üÎÐÒÒØÖË ý÷ËÍ
þÎØÙÌÌÎ×ÎÜ 2001-2012. öÛøù ÓÐÓ ÑÓÚÙÎÏ ÌËÚÎÒÎÓ ÕËÐÝËÑËØÍÎÐÎÎÐ ÑÎØÓ Blue Print
ÕËÜÚÎÐÒÙÐÎÐ ý÷ËÍ ÝÎÐÒ ÑÓÕØËÑÓÊÌÓÊÎÐ ÎÊÎÐ ÜËÜËØ×ÙÊÎÐ ÑÎÐÎ ÝÎÐÒ ÷ÙÊÙÕ ÚËÌÎØ.
ÛØÖÒØÎÜ ÓÐÓ ÕÙÐ ÚËØÑÎÌÎØÊÎÐ ÙÌÙ× ÑÎÐ ÌÎØÎÐ ÑÎØÓ ÌË×ÙØÙÍ Ë×ËÜËÐ ÛËÜËØÓÐÏÎÍ þÎËØÎÍÿ
ÜÎÌÝÎØÎÊÎÏ ÙÜÙÜ, Ù×ÎÜÎ ÑÎÐ ÷ËÐÑÓÊÓÎ ÎÐ ùÙÌ×ÓÜ. ÌÙ×ÙÌÙ× ÕËÜÚÎÐÒÙÐÎÐ ÝÎÐÒ
ÑÓÏÎ ÎØÊÎÐ ×ËÚÓÍ ÊÙØÎÐÒ ÌÎÜÎ ÑËÐÒÎÐ ÕÖ×Î ÕËÜÚÎÐÒÙÐÎÐ ÑÎËØÎÍ ÜÎÌÎ ÖØÑË ÚÎØÙ.
ÏØÎÏËÒÓ ÝÎÐÒ ÑÓÚÙÎÏ ÙÐÏÙÊ ÜËÜÚÎÐÒÙÐ ÌËÊÏÖØ ÎÒÎÜÎ ÓÐÓ ÎÑÎ×ÎÍ ÌËÚÎÒÎÓ ÙÌÎÍÎ ÕËÐÎÐÒÊÎ×
ÚÎÍÎÝÎ ÑËÜÖØÎ×ÓÌÎÌÓ ÑÓ ÊÎ×ÎÐÒÎÐ ÕËÜÙÑÎ ÌËÚÎÒÎÓ ÎÊÓÚÎÏ ÑÎØÓ ÙÑÓ, ÜÓÐÙÜÎÐ ÊËØÎÌ,
ÕËØÒÎÙ×ÎÐ ÚËÚÎÌ ÑÎÐ ÕÖØÐÖÒØÎÓ. ËØÚÎÒÎÓ ÕËØÓ×ÎÊÙ ÜÎÌÝÎØÎÊÎÏ ÝÎÐÒ ÚËØÏËÐÏÎÐÒÎÐ
68

ÑËÐÒÎÐ ÜÖØÎ× ÑÎÐ ËÏÓÊÎ ÊËÎÒÎÜÎÎÐ ÓÏÙ Ë×ÎÌ ÜËÐÒÒÎÜÚÎØÊÎÐ ÊËÏÓÑÎÊÌËÌÙÎÓÎÐ ÎÐÏÎØÎ
ÎÎØÎÐ ÎÒÎÜÎ ÑËÐÒÎÐ ÕËÜÎÍÎÜÎÐ ÑÎÐ ÕËÐÒÎÜÎ×ÎÐ. 69

ØÎÒËÑÓ ÏÌÙÐÎÜÓ ÏË×ÎÍ ÜËÜÚËØÓ ÊËÌÎÐ ÏËØÍÎÑÎÕ ÌÓÌÏËÜ ÕËÐÝË×ËÐÒÒÎØÎÎÐ ÕËÜËØÓÐÏÎÍÎÐ


ý÷ËÍ ÝÎÐÒ ÜËÐËÜÙÓ ÚËÚËØÎÕÎ ÍÎÜÚÎÏÎÐ ÕÖ×ÓÏÓÊ, ËÊÖÐÖÜÓ ÑÎÐ ×ÓÐÒÊÙÐÒÎÐ, ÊË×ËÜÎÍÎÐ ÓÐÌÏÓÏÙÌÓ,
ÊËÏÓÑÎÊÜÎÜÕÙÎÐ ÌÙÜÚËØ ÑÎÝÎ ÜÎÐÙÌÓÎ, ÊËÊÙØÎÐÒÎÐ ÑÎ×ÎÜ ÚËÐÏÙÊ ÏËÊÐÓÊ, ÊÙØÎÐÒÐÝÎ
ÕËÜÙÌÎÏÎÐ ÑÎÐ ÎÐÏÓÌÓÕÎÌÓ, ÕËÐÒÎÏÙØÎÐ ÎÊÏÙ, ÌÓÌÏËÜ ÓÐÖØÜÎÌÓ ÝÎÐÒ ÊÙØÎÐÒ ÜËÐÑÙÊÙÐÒ,
ÕËØÚËÑÎÎÐ ÎÒËÐÑÎ ÏÙÙÎÐ ÎÐÏÎØÎ ÕË×ÎÊÙ, ÑÙÊÙÐÒÎÐ ÝÎÐÒ ÚËØÊË×ÎÐÙÏÎÐ. ËÎÑÎÎÐ ÓÏÙ×ÎÍ
70



,               ma meugang puasa, ma meugang
woe raya du woe haji     ,               
 . Ibid.,  173.
63
 !  !    
 "#     $ 
 
    !      !  !      ! . %  
 !   !    , makjun   44   
&  
  
 "# !  '     $  

 "#     . Ibid.,  75.


64

 !  hukum, adat, qanun  reusam. Adat daripada raja, hukum daripada
ulama, Qanun daripada permaisuri, resam daripada pimpinan kerajaan.
65
(     wali,     karong,   !
 karong   .
66
)    , !    "#     -  !
         .
67
  ! 
  
 "#   
      ,  
  #        . *           ,
          
68
+$ Rencana Pembangunan,  40.
69
Ibid.,  41.
70
Ibid.,  68.
317
MIQOT -./. 0001- 2.. 2 34/5-67879:7; 2010

<=>? @A><AB=BC=> DACAEF==> DA?=G=H DA@AEH>I=J KLAJ @A>F=MH CNE=>? CEA=IHO M=>
IHM=C BAEM=<= B=?H CADA>IH>?=> @=P<=E=C=I KLAJQ IAE@=PNC DAR=<=>=> N@N@.
71 72

SAEM=P=EC=> BABAE=D= DAEPT=R=> MH =I=P, @=C= UVWX @A>AI=DC=> R=>?C=J-R=>?C=J


DA@B=>?N>=> KLAJ <=>? MH@NR=H MA>?=> YHPH DA@B=>?N>=> KLAJ H=R=J @AGNFNMC=>
DAENB=J=> <=>? ON>M=@A>I=R MH KLAJ M=R=@ PA?=R= PACITE CAJHMND=> @=P<=E=C=I M=>
DA@AEH>I=J <=>? @A>FN>FN>? IH>??H =P=P CAIAEBNC==> M=> =CN>I=BHRHI=P B=?H
IAEBA>INC><= PN=IN DA@AEH>I=J KLAJ <=>? BAB=P M=EH DE=CIAC CTENDPH M=> DA><=R=J?N>==>
CACN=P==> PAJH>??= D=M= I=JN> 2012 KLAJ =C=> IN@BNJ @A>F=MH >A?AEH @=C@NE <=>?
BAECA=MHR=> M=> =MHR M=R=@ CA@=C@NE=>.
Z>INC @A>L=D=H YHPH IAEPABNIQ DAERN MHR=CNC=> BABAE=D= R=>?C=J DA@B=>?N>=>
KLAJ PADAEIH BAEHCNI:
=. [ADA@H@DH>=> <=>? =PDHE=IHO, H>TY=IHO M=> H>INHIHO. 73

B. VA?=G=H DA@AEH>I=J <=>? BAEPHJ, CT@DAIA> M=> BAEGHB=G=, PAEI= BAB=P M=EH
DA><=R=J?N>==> CACN=P==>. 74

L. VA>A?=C=> JNCN@, DA>?A@B=>?=> PN@BAE M=<= @=>NPH= DAEACT>T@H=>, DTRHIHC,


PN@BAE =R=@, =M=I HPIH=M=I, CABNM=<==> M=> TR=JE=?=. 75

Z>INC GNFNMC=> YHPH M=> @HPH <=>? IAR=J MHD=D=EC=> MH =I=P, MHIAI=DC=> PIE=IA?HP
DA@B=>?N>=> KLAJ <=>? @ARHDNIH BHM=>? DA@AEH>I=J=> M=> DTRHIHC, @A@BH>= PIENCINE
TE?=>HP=PH DA@AEH>I=J, @A>H>?C=IC=> CN=RHI=P PN@BAE M=<= @=>NPH=, DA@AEH>I=J, @A@BH>=
@AC=>HP@A M=> @A>AEH@= VA?=G=H \A?AEH ]HDHRQ @A>LHDI=C=> CAPAF=JIAE==> >A?=E=. 76

71
^7_7;/4`a b7;87:4b 97/5_4b5 /58b;5c, `5; 95a49, _7ad5d5c`a, c787e`b`a d`a _7/`f`a`a
4949. Ibid., eg 72.
72
Pertama, _7/`f`a`a h`b`b`a i5_5/ :`j5 `cb5k5b`8 _7ad4d4c 87_7;b5 c7/`e5;`a, c79`b5`a,
_7;_5ad`e`a, _7;c`l5a`a, _7;m7;`5`a, d`a _7;4:`e`a 8b`b48. Kedua, _7;5n5a`a 48`e` ;`cf`bg
Ketiga, c7594a58`85`a, d`a Keempat, c7b7;b5:`a 4949 b7;9`84c _7/`f`a`a _7a7j`c`a e4c49,
_7a7j`c`a f`aj :4c`a c;595a`/, _7aj7/./``a c7b7;b5:`a 9`8f`;`c`bg Ibid., eg 77.
73
o7959_5a pm7e d`;5 b5ajc`b q4:7;a4;, r4_`b5, s`/5c.b` d`a h`9`b 97at`d5 m.ab.e
b7/`d`a f`aj :`5c, b``b :7;`j`9`u e5d4_ 87d7;e`a`u 97a7j`cc`a c7`d5/`a, b``b e4c49, b5d`c
97/`c4c`a rasuah, c`;7a` 97;7c` _7959_5a f`aj 97aj79:`a `9`a`e. 1:a4 ^e`/dûn,
Muqaddimah (t.t.p: t.p, t.t.), h. 193-194, mengemukakan Kepala Negara (pemimpin) harus
adil, menurutnya adil penting karena imâmah ialah lembaga yang mengawasi lembaga-lembaga
lainnya yang memerlukan keadilan. Pimpinan yang adil akan melenyapkan tindakan
penyalahgunaan kekuasaan, dan ia akan mampu menegakkan hukum.
Untuk mengatasinya telah dibuat konsep Good Governance, yaitu penyelenggara negara
74

hendaknya mampu memberdayakan masyarakat partisipasif, responsif, demokratis, bersih


dan bebas korupsi. Paradigma ini terus berkembang sehingga menempatkan keseimbangan
peranan sektor publik (pemerintah) swasta dan masyarakat untuk menjalankan pemerintahan
dalam rangka menuhi keperluan dasar kehidupan masyarakat. Lembaga Kantor Berita Antara,
Aceh Dalam Berita (Jakarta: Kantor Berita Antara, 2004), h. 35.
75
Bapeda, Rencana Pembangunan, h. 1-6.
76
Selain itu, prioritas pembangunan meliputi meningkatkan pelayanan politik, memberantas

318
Ñ·´º¿ÀÂ: ÊË·À Ͼ¿ÁÀÂÅ·ÂÀ ÊË¾Ä ÏÀ¹ËÀ Ò¹·ÂÀ¿º

vwroxymzy{y| }~y€‚ƒy„ {y| }~…†|„ƒx‡…„ ˆ‰~


Š‹Œ‹Ž‘’ Š“”‘ Œ‹Œ•‹“– ”“‘“ —‘˜‘ ™‹’‘•ŽšŽ‘”Ž ˜‘ ™‹–›”“–”Ž œ‹’ ˜‘
žŽ‘” ““– Œ‹Œ•‘Ÿ“ œ‹’  ‘”‘ ”“‘ŒŽ. ¡“Ÿ‘” “‘Œ‘¢‘ Ž‘š‘’ Œ‹‘‘Ÿ ˜‘
Œ‹Ÿ‘£‘”Ž  ‹š‘–”‘‘‘  ‹Œ•‘Ÿ“‘ ”‹‘ •‹“Œ “  ‘˜‘ Œ‘”¢‘‘–‘ š›–‘š ˜‹Ÿ‘
”‘˜‘  ›¤‹”Ž›‘šŽ”Œ‹. œ˜‘ “ ‘–Ž¥Ž‘”-‘–Ž¥Ž‘” š‹Œ•‘Ÿ‘ ŽŽ ‘˜‘š‘’ ˜‘ ‘
77

˜Ž”‹•“–‘ ”‹ ‹Ž •‹Ž–“:


‘. —‹Ž˜‘– ”‹•‘Ÿ‘Ž ‹Œ ‘ ¢‘Ÿ Œ‹‘Œ “Ÿ ˜‘ Œ‹¢‘š“–‘  › ›”‘š¦ › ›”‘š
 ›¢‹– ˜‹Ÿ‘ Œ‹Œ‘˜“–‘ –‹ ‹š“‘-–‹ ‹š“‘  ‹ŽŸ ˜‹Ÿ‘ –‹“‘Ÿ‘ ¢‘Ÿ
‹”‹˜Ž‘.
•. §‹Œ•‹Ž –‹Œ“˜‘’‘ ‹’‘˜‘   ‹š‘–”‘‘‘  ›¢‹– •‘ŸŽ  ‹Œ‹Ž‘’ ˜‘‹‘’ ˜‘
 ‹Ÿ‹Œ•‘Ÿ‘ –‹“‘Ÿ‘ (capacity building) ‘ ‘•Žš‘ ˜Ž ‹š“–‘.
. ¨‹˜‘ ‘ Œ“Ÿ–Ž Œ‹ŽŸ–‘–‘ ”“Œ•‹ ˜‘¢‘  ‹Œ‘Ÿ–“ –‹ ‹ŽŸ‘ ”‹ ‹Ž
”“Œ•‘Ÿ‘ Ž”Ž“”Ž-Ž”Ž“”Ž š“‘ ˜‘ Œ‹–‘Ž”Œ‹ ¢‘Ÿ ”“˜‘’ •‹©‘š‘.
˜. §‹Œ‘‘“  ‹–‹Œ•‘Ÿ‘  ›¢‹– ¢‘Ÿ ”‹”“‘Ž ˜‘ Ž˜‘– ”‹”“‘Ž ˜‹Ÿ‘ ‘ŸŸ‘‘
–‹“‘Ÿ‘ ”‹‘ Œ‹š‘–“–‘  ‹Ÿ‘£‘”‘ –‹“‘Ÿ‘ š‘Ÿ”“Ÿ ˜Ž ‹Œ ‘ ”‹‘‘
Œ‹¢‹š““’ ‘ ‘•Žš‘ ˜Ž ‹š“–‘.
‹. §‹Œ¤›–“”–‘ ˜ŽŽ  ‘˜‘  ‹Ÿ‹Œ•‘Ÿ‘ –‘ ‘”Ž‘” (capacity building) •‘˜‘ ˜‘
Œ‹Œ ‹‹ ‘  ›¢‹–- ›¢‹– ¢‘Ÿ ”‹”“‘Ž ˜Ž 60 ’‘Ž  ‹‘Œ‘.

v~|‡ƒ‡ª
«‘Ž “‘Ž‘ ˜Ž ‘‘” ˜‘ ‘ ˜Ž‘Œ•Žš •‹•‹‘ ‘ –‹”ŽŒ “š‘ ”‹•‘Ÿ‘Ž •‹Ž–“¬ Pertama,
–‹©‘¢‘‘ œ‹’ ˜Ž Œ‘”‘ ¨“š‘ ­”–‘˜‘ §“˜‘ ˜Ž”‹•‘•–‘ ‘‘” ˜‘”‘  ‹Œ•‘Ÿ“‘
­”š‘Œ, ”‹’ŽŸŸ‘ ”‹š““’ –›Œ ›‹ ‘–¢‘ œ‹’ ‘‘ –‹ ‘˜‘ ‘©‘‘ ­”š‘Œ ˜‘
Œ‹©‘˜Ž–‘¢‘ ”‹•‘Ÿ‘Ž  ‹˜›Œ‘ ’Ž˜“ . Kedua, ‘‹’ •‹•‹‘ ‘ ˜‹–‘˜‹ Œ‹Ÿ‘š‘ŒŽ
˜Ž”–ŽŒŽ‘”Ž ˜‘Ž Š‹Œ‹Ž‘’ Š“”‘® ”‹’ŽŸŸ‘ Œ‹Ž ‘–‘ –›¤šŽ– •‹–‹ ‘©‘Ÿ‘
”‘Œ ‘Ž ˜‘‘Ÿ¢‘ Œ“”Ž•‘’ ”“‘ŒŽ ¢‘Ÿ Œ‹¢‹•‘•–‘  ‹Œ•‘Ÿ“‘ œ‹’ ©‘˜Ž ’‘“
˜‘ ˜‘ ‘ Œ‹ŽŒ•“š–‘  ‹˜‹Ž‘‘ ‘–¢‘ œ‹’¬ Ketiga, ‘“‘  ‹Œ•‘Ÿ“‘ œ‹’
 ‘”‘-”“‘ŒŽ Œ‹šŽ “Ž Š™¯Š°™žœ¨, ±‘“-±‘“ œ‹’® Blue Print Š‹Œ•‘Ÿ“‘
œ‹’, ™Š²§ ˜‘ Š›Ÿ‘Œ —™™ ¢‘Ÿ Œ‘”Ž’ Œ‹Ÿ‘‘’ –‹ ‘˜‘  ‹Œ•‘Ÿ“‘ š‘³ŽŒ ¢‘Ÿ
•‹”“Œ•‹ ˜‘Ž —‘‘ ¢‘Ÿ Ž˜‘– Œ‹Ÿ‹˜‹ ‘–‘ Žš‘Ž –‹ŽŒ‘‘, Ž•‘˜‘’® ˜‘ ‘–’š‘–.
œ ‘•Žš‘ ‘“‘ ŽŽ ˜Žš‘–“–‘ ˜Ž œ‹’ ‹“ –“‘Ÿ •‹”‹”‹”“‘Ž‘ ˜‹Ÿ‘ œ‹’ ”‹•‘Ÿ‘Ž
˜‘‹‘’ ›››ŒŽ ¢‘Ÿ Œ‹š‘–”‘‘–‘ ”¢‘Ž‘ ­”š‘Œ . Keempat, ”‹•‘Ž–¢‘ œ‹’
Œ‹ŸŸ“‘–‘  Ž”Ž   ‹Œ•‘Ÿ“‘ ­”š‘Œ, ”‹’ŽŸŸ‘ ”‘Ÿ‘ •‹”‹”“‘Ž‘ ˜‹Ÿ‘ ”‘“”

´µ¶·¸¹º, ¸µ»º¼º´ ½¾¿µ´¶À¼º¹, ´¾¼¾¶¼ºÁÀ ·¿·¿ ½À ´¾À¿ÀÂÀÂ, ¸¾ÂúÀ¸À ¼ÀÂÀÄ ½À ¸¾¿·´º¿ÀÂ
¸¾Â½·½·´, ½À ¿¾ÂºÂÅ´À¼´À ´¾¼¾¶À¿¸º»À ¿À¹ÃÀ¶À´À¼ Æ·¹»º¿ ÃÀÂÅ duafa. Ibid., ÄÇ 4.
77
ÈÀ½À ɾÄÀÁº»º¼À¹º ½À ɾ´µÂ¹¼¶·´¹º Ê˾ÄÌ Aceh dan Nias Dua Tahun Setelah Tsunami
ÍÈÀ½À Ê˾ÄÎ ÈÉÉ ½À ƺ¼¶À Ͼ»À´¹ÀÂÀÌ 2006Ð, ÄÇ 1.
319
MIQOT ÓÔÕ. ÖÖÖ×Ó ØÔ. 2 ÙÚÕÛ-ÜÝÞÝßàÝá 2010

âãäå æäçèéèê ëèäìèå æäìèíçê îèïïèå ëèð íäðéèíèñïèð òóèìêèô õæñèí. öäðéèíèñèð
õæñèí kaffah ëê âãäå íäì÷øèïèð ïìêôäìêè óèðé ëèøèô íäíèù÷ïèð âãäå ïä ëäøèð æäåêðééè
ìèïóèô âãäå èïèð íèïí÷ì, èíèð, ëèíèê, ëèð çèåèéêè ë÷ðêè èïåêìèôú

ûüstuýü þÿüun
âçë÷ññèå è÷ êï, et al.. Ensiklopedi Islam. èïèìôè: õãåôêèì èì÷ èð ä ä 2002.
      

âç÷çèïèì, âñ èæè. Bunga Rampai Pelaksanaan Syariat Islam. èðëè âãäå êðèæ òóèìêèô
õæñèí, 2005.
 

âç÷çèïèì, âñ èæè. Syariat Islam di Provinsi Aceh Darussalam. èðëè âãäå: êðèæ òóèìêèô
õæñèí, 2006.
 

âñ åèêëèì. Aceh Bersimbah Darah. èïèìôè: ö÷æôèïè èñ è÷ôæèì, 1988.




âñ åèêëèì. Gerakan Aceh Merdeka. èïèìôè: öäðäçèì ÷ï÷ îèëèðê, 1999.


 

âøìêëèì. Tsunami Aceh: Adzab atau Bencana. èïèìôè: ö÷æôèïè èñ è÷ôæèì, 2006.


â. èæùíê, Semangat Merdeka 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan dan Perjuangan


Kemerdekaan. èïèìôè ÷ñèð êðôèðé, 1985.


  

èëèð äåèçêñêôèæê ëèð äï ðæôì÷ïæê âãäåú Aceh dan Nias Dua Tahun Setelah Tsunami.
ëèð îêôìè öäñèïæèðè, 2006..
   

èðëè âãäå 

èøäëè âãäåú Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam Tahun 2007-2012. èðëè âãäå: èøäëè â , 2007.


  

ñ õçìèåêíó, îú ÷ì. Tengku Muhammad Daud Beurueh. èïèìôè: ÷ð÷ðé âé÷ðé, 1986.
  

Harian Waspada. 10 èð÷èìê 2005.




õçð åèñëûn. Muqaddimah. t.t.p: t.p, t.t.


Ismail, Azman. Hikmah Tsunami di Baiturrahman. Banda Aceh: Pengurus Masjid Raya
Baiturrahman Banda Aceh Kerjasama dengan DPRD Nanggroe Aceh Darussalam, 2005.
Abu, Jihad. Asal Usul Kerajaan Aceh Sampai Aceh Merdeka. t.t.p: t.p, 2002.
Lembaga Kantor Berita Antara. Aceh Dalam Berita. Jakarta: Kantor Berita Antara, 2004.
Al-Marâghî, Ahmad Mushthafa. Tafsîr al-Marâghî. Beirut: Dâr Fikr. 1974.
Qutub, Sayid. Ma âlim fî al-Thariq. Beirut: Dâr al-Syurûq, 1973.
Said, Muhammad. Aceh Sepanjang Abad. Medan: Harian Waspada, 1990.
Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur an. Bandung: Mizan, 1992.
Syaraf, Muhammad Jalâl. Al-Fikr al-Siyâsi fî al-Islâm. Kairo: Iskandariyah Dâr al-Jannah,
1978.
Said, Prabudi. Berita Peristiwa 60 Tahun Waspada. Medan: Prakarsa Abadi Press, 2006.
Serambi Indonesia. 19 Januari 2007.
TAP MPR RI. 2003.
320
456789: : ;<59: =>8?9:@5:9: ;<>A =9B<9 CB5:987

  . Blue Print Rekonstruksi Aceh.   : !"#"$ %&" , 2005.
'()

- , - . Ushûl al-Fiqh al-Islâmî: Madkhal ila al-Ushûl Mashâdir al-Tasyri al-

Hukm al-Syar î. /(: )01-2 )-3" , 1975.


) *( ")+ ,

321
MIQOT Vol. XL No. 2 Juli-Desember 2016

M I QOT
Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman

Petunjuk Pengiriman Naskah

1. Tulisan merupakan karya ilmiah orisinal penulis dan belum pernah dipublikasikan
atau sedang dalam proses publikasi oleh media lain;
2. Naskah yang dikirim dapat berupa konseptual, resume hasil penelitian, atau pemikiran
tokoh;
3. Naskah dapat berbahasa Indonesia, Inggris, dan Arab;
4. Naskah harus memuat informasi keilmuan dan atau teknologi dalam bidang ilmu-
ilmu keislaman;
5. Sistematika naskah konseptual, atau pemikiran tokoh adalah:
a. Judul;
b. Nama penulis (tanpa gelar akademik), afiliasi penulis berikut e-mail;
c. Abstrak ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan Inggris. Maksimal
abstrak memuat 80-100 kata;
d. Kata-kata kunci, antara 3-7 konsep;
e. Pendahuluan;
f. Sub-judul (sesuai dengan keperluan pembahasan);
g. Penutup;
h. Pustaka acuan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk);
6. Sistematika resume hasil penelitian adalah:
a. Judul;
b. Nama Penulis (tanpa gelar akademik), afiliasi penulis berikut e-mail;
c. Abstrak ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan Inggris. Maksimal abstrak
memuat 80-100 kata. Abstrak berisi tujuan, metode dan hasil penelitian;
d. Kata kunci, antara 3-7 konsep;
e. Pendahuluan, yang berisi latar belakang, sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan
penelitian
f. Metode;
g. Hasil dan pembahasan;
h. Kesimpulan dan saran;
i. Pustaka acuan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk);
7. Naskah yang dikirim harus mengikuti aturan penulisan karya ilmiah dan menggunakan
catatan kaki serta pustaka acuan;
8. Naskah yang dikirim diketik 1, 5 spasi dengan panjang berkisar 20-25 halaman;
Petunjuk Pengiriman Naskah

9. Naskah yang dikirim harus disertai CD berisi file naskah dan biodata singkat penulis,
atau dikirim melalui e-mail ke: miqot@ymail.com, miqot@uinsu.ac.id.
10. Artikel yang dikirim menggunakan transliterasi Arab-Indonesia sebagai berikut:

‫= ا‬a ‫ = خ‬kh ‫ش‬ = sy ‫ = غ‬gh ‫= ن‬n

‫= ب‬b ‫= د‬d ‫ص‬ = sh ‫ف‬ =f ‫= و‬w

‫= ت‬t ‫ = ذ‬dz ‫ض‬ = dh ‫= ق‬q ‫= ه‬h

‫ = ث‬ts ‫= ر‬r ‫ = ط‬th ‫= ك‬k ‫= ء‬

‫= ج‬j ‫= ز‬z ‫ = ظ‬zh ‫= ل‬l ‫ = ي‬ya

‫= ح‬h ‫س‬ =s ‫`= ع‬ ‫= م‬m

Untuk kata yang memiliki madd (panjang), digunakan sistem sebagai berikut:
â = a panjang, seperti, al-islâmiyah
î = i panjang, seperti, al- aqîdah wa al-syarî ah
û = u panjang, seperti al-dustûr
Kata-kata yang diawali dengan alif lam (‫ )ال‬baik alif lam qamariyah maupun alif lam
syamsiyah), ditulis dengan cara terpisah tanpa meleburkan huruf alif lamnya, seperti
al-Râsyidûn, al-syûrâ, al-dawlah.
11. Kata majemuk (idhâfiyah) ditulis dengan cara terpisah pula kata perkata, seperti al-
Islâm wa Ushûl al-Hukm, al- Adâlah al-Ijtimâ iyah.
12. Kata Al-Quran diseragamkan penulisannya, yaitu al-Qur an (dengan huruf a kecil
dan tanda koma [apostrof] setelah huruf r), sedangkan kalau terdapat dalam ayat atau
dalam nama kitab, maka penulisannya mengikuti pedoman transliterasi. Sementara
untuk nama-nama penulis Arab ditulis mengikuti pedoman transliterasi, seperti al-Mâwardî,
Muhammad Iqbâl, Abû al-A lâ al-Maudûdi, Thâhâ Husein, Mushthafâ Kamâl.
13. Penulisan catatan kaki (foot note) harus dibedakan dengan penulisan Pustaka Acuan:
a. Catatan kaki (foot note)
Muhammad Alî al-Shabûnî, Rawâ î al-Bayân: Tafsîr al-Âyât al-Ahkam min
1

al-Qur ân (Makkah: t.p., t.t.), h. 548.


2
Ibid.
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-
3

Qur an, Vol. III (Jakarta: Lentera Hati, 2001), h. 78.


4
Ahmad Mushthafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, Juz IV (Kairo: t.p., t.t.), h. 104.
5
Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz VI (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), h. 223.
6
Ibid, h. 224.
b. Pustaka Acuan
MIQOT Vol. XL No. 2 Juli-Desember 2016

Hamka. Tafsir al-Azhar, Juz VI. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.


Al-Marâghî, Ahmad Mushthafâ. Tafsîr al-Marâghî, Juz IV. Kairo: t.p., t.t.
Al-Shabûnî, Muhammad Alî. Rawâ î al-Bayân: Tafsîr al-Âyât al-Ahkam min al-
Qur ân. Makkah: t.p., t.t.
Shihab, Muhammad Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-
Qur an, Vol. III. Jakarta: Lentera Hati, 2001.
14. Semua naskah ditelaah secara anonim oleh mitra bestari (reviewers) yang ditunjuk
oleh penyunting menurut bidang kepakarannya. Penulis artikel diberi kesempatan untuk
melakukan perbaikan (revisi) naskah atas dasar rekomendasi/saran dari mitra bestari
atau penyunting. Kepastian pemuatan atau penolakan naskah akan diberitahukan
secara tertulis;
15. Pemeriksaan dan penyuntingan cetak-coba dikerjakan oleh penyunting dan/atau dengan
melibatkan penulis. Artikel yang sudah dalam bentuk cetak-coba dapat dibatalkan pemuat-
annya oleh penyunting jika diketahui bermasalah;
16. Segala sesuatu yang menyangkut perijinan pengutipan atau penggunaan software
komputer untuk pembuatan naskah atau ihwal lain yang terkait dengan HAKI yang
dilakukan oleh penulis artikel, berikut konsekuensi hukum yang mungkin timbul karenanya,
menjadi tanggungjawab penulis artikel tersebut;
17. Sebagai prasyarat bagi pemrosesan artikel, para penyumbang artikel wajib menjadi
pelanggan minimal selama dua tahun (empat edisi). Sebagai imbalannya, penulis menerima
nomor bukti pemuatan sebanyak 2 (dua) eksemplar dan cetak lepas sebanyak 2 (dua)
eksemplar. Artikel yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan, kecuali atas permintaan
penulis.

Anda mungkin juga menyukai