Anda di halaman 1dari 13

Kontribusi Ilmu Al-Jarh...

Tafsil Saifuddin Ahmad

Kontribusi Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dīl dalam


Menjaga Otentisitas Hadis
Oleh:
Tafsil Saifuddin Ahmad
Dosen STIT Jembrana
Abstrak
Hadis berbeda dengan Al-Qur’an dari sisi historisitas
pentadwinannya. Alqur’an ditulis sejak pertama kali ia
diturunkan. Sedangkan hadis oleh Rasulullah dilarang untuk
ditulis saat itu. Hadis ditransmisikan secara oral dengan
mengandalkan kemampuan ingatan dan hafalan orang arab yang
dianggap kuat. Ketiadaan data otentik berupa tulisan sejak masa
Rasulullah hingga pentadwinan kitab hadis ini mendesak
muhaddisin meneliti sanad secara serius. Sebab antara matan
hadis dengan sanadnya berada dalam kesatuan yang utuh dan
padu. jika sanad dinilai tidak sahih, maka isi (matan) hadisnya
secara otomatis tidak sahih pula. Upaya meneliti jejak rekam para
perawi hadis ini menghasilkan sebuah disiplin ilmu yang bernama
ilmu al-jarh wa at-ta’dīl. Ilmu al-jarh wa at-ta’dīl bertujuan untuk
menjaga hadis Rasulullah dengan derajat shohih, hasan, dhi’if,
bahkan maudhu (palsu).
Kata kunci: al-jarh wa at-ta’dīl, hadis

A. Pendahuluan
Sebagai agama ilahiyah, Islam dibekali sumber-sumber agama
guna membimbing umatnya untuk mendapatkan kepastian hukum.
Sumber agama Islam yang pertama; al-qur’an, kedua; al-sunnah.
Kedua-duanya merupakan sumber asasi dalam Islam. Hadits
merupakan ketetapan dan hukum dalam agama Islam yang berasal
dari perkataan, perbuatan, berikut ketetapan dan juga persetujuan
dari Rasulullah saw. Pada era Rasulullah SAW, sumber hukum
Umat Islam hanya al-Qur’an dan al-Sunnah saja, sebab ketika ada
permasalahan yang diperselisihkan oleh para sahabat saat itu, maka
dengan mudah mereka menanyakan langsung permasalah tersebut
kepada Nabi, dan selesailah persoalan tersebut di depan Rasulullah.

An-Nahdlah, Vol. 5 No. 2 April 2019 51


Kontribusi Ilmu Al-Jarh... Tafsil Saifuddin Ahmad

Sepeninggal Rasulullah, persoalan demi persoalan muncul,


sementara wahyu dari Allah telah berhenti (final). Maka kemudian
para sahabat mulai mencari solusi dari persoalan-persoalan tersebut
dengan melakukan ijtihad secara kolektif yang kemudian dikenal
dengan sebutan al-Ijma’. Al-Ijma’ (selanjutnya ditulis ijma’)
merupakan konsensus ulama atas peristiwa yang belum mendapat
kepastian hukum secara langsung baik dari Al-qur’an maupun as-
sunnah. Dari sini dapat dipahami bahwa kabsahan ijma’ sebagai
sumber hukum baru dimulai setelah Rasulullah wafat dan sejak saat
itu pula ijma’ menjadi sumber hukum Islam setelah Al-qur’an dan
As-Sunnah.
As-Sunnah atau hadis dalam Islam menempati posisi tertinggi
setelah Al-Qur’an. Di atas keduanya dibangun hukum-hukum agama
dalam segala aspeknya, baik yang terkait dengan akidah seperti
keimanan terhadap masalah- masalah ghaib, yang terkait dengan
ibadah seperti tata cara pelaksanaan sholat, manasik haji dan lain-
lain, hal-hal yang terkait dalam mu’amalah seperti persolan tentang
riba dan macam-macamnya, begitu pula yang terkait dengan akhlaq,
semuanya tidak lepas dari dalil-dalil yang dirujuk dari Al-Qur’an
maupun dari hadis Rasulullah saw.
Kedua sumber hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan as-
Sunnah memiliki hubungan yang erat dan tak dapat dipisahkan
antara keduanya. As-sunnah terhadap Al-Qur’an memiliki tiga
fungsi, pertama; sebagai penjelas (‫ )بيان‬terhadap ayat Al-Qur’an.
Kedua; sebagai penguat (‫ )أتييد‬hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an.
Ketiga; dan sebagai dasar hukum )‫ (إثبات‬untuk suatu persoalan yang
tidak ada dalilnya dalam Al-Qur’an. Melihat pentingnya hubungan
As-sunnah (selanjutnya ditulis hadis) dengan Al-Qur’an, maka studi
Al-Qur’an tidak dapat dipisahkan dengan studi hadis.
Secara dasariah hadis dapat dianatomi menjadi dua
bagian. Pertama; sanad, yaitu mata rantai berupa rentetan para
perawi yang menyampaikan isi hadis. kedua; Matan; yaitu isi dan
substansi hadis itu sendiri. Antara sanad hadis dan matannya,
keduanya berada dalam suatu kesatuan yang utuh dan padu.
Sehingga apabila sanad ini dinilai tidak sahih, maka isi (matan)
hadisnya secara otomatis diragukan kesahihannya. Menarik untuk

An-Nahdlah, Vol. 5 No. 2 April 2019 52


Kontribusi Ilmu Al-Jarh... Tafsil Saifuddin Ahmad

diperhatikan bahwa muhaddisin (para ahli hadis) telah meletakkan


dasar-dasar disiplin ilmu yang penting untuk menjaga agar hadis
tetap terjaga otentisitasnya. mereka (muhaddisin) telah melakukan
reseach (kajian) yang serius terhadap integritas diri perawi dengan
maksud. Sekali lagi pada studi kritik sanad, muhaddisin
menitikberatkan pada keabsahan atau tidaknya sistem transmisi
hadis, jika sanadnya tidak sahih, maka secara otomatis pesan yang
terdapat dalam matannya pun menjadi mardud (tertolak).
Berbeda dengan Al-Qur’an, di mana Al-Qur’an
ditransmisikan secara tawatur, dihafal oleh para sahabat Nabi dari
generasi ke generasi sampai saat ini di satu sisi. Al-Qur’an pun telah
ditulis sejak pertama kali ia diturunkan dari langit ke Bumi di sisi
lainnya. oleh para Kuttab (para penulis wahyu) dari kalangan
sahabat, ayat demi ayat itu ditulis pada media yang ditemukan saat
itu seperti di atas kulit (binatang), tulang-belulang, pelepah kurma,
dan di atas bebatuan (Ismail: tth). Seluruh naskah Al-Qur’an itu
kemudian dikumpulkan dalam sebuah mushaf pada era Khalifah
Abu Bakar atas saran Umar bin Khattab.
Tidaklah seperti ini, perlakuan sahabat terhadap hadis pada
zaman Nabi Muhammad saw hanya ditransmisikan secara oral,
sebab Rasulullah melarang para sahabatnya menulis selain Al-
Qur’an. Dengan adanya pola transmisi yang mengandalkan
kekuatan hafalan tanpa disertai bukti tertulis sejak masa Rasulullah
sampai hadis ditadwinkan (dibukukan), maka sistem transmisi sanad
mendapat perhatian para muhaddisin.
Namun Subhis Shalih meyakini adanya beberapa sahabat yang
telah menulis naskah yang berisikan kumpulan hadis-hadis Nabi,
yang lebih tepat dikatakan kumpulan catatan hadis sebatas koleksi
pribadi, seperti naskah sahabat Sa’ad bin Ubadah Al-Anshori,
Abdullah bin Abi Aufa, Samurah bin Jundub, Jabir ibn Abdullah,
Abdullah bin Amr bin Ash, Abdullah bin Abbas dan Abu Hurairah.
Sekalipun naskah-naskah hadis yang ditulis pada zaman Rasulullah
tersebut sampai saat ini tidak ditemukan fisiknya, namun informasi
ini sangat meyakinkan, sebab berita tentang hal ini terekam dengan
baik dalam beberapa riwayat hadis (Shalih: 1965).
Selain periwayatan Hadis yang ditransmisikan secara lisan,
yang didasarkan dan ditunjang dengan kemampuan bangsa arab

An-Nahdlah, Vol. 5 No. 2 April 2019 53


Kontribusi Ilmu Al-Jarh... Tafsil Saifuddin Ahmad

dalam menjaga ingatan dan hafalan mereka, para muhaddisin pun


sejak awal telah melakukan seleksi yang amat ketat dalam
meriwayatkan dan meneliti Hadis. Nalar kritis meraka
memunculkan berbagai kajian penting dalam studi Hadis. Upaya ini
dilakukan untuk menghindari kebohongan atas nama Nabi dengan
disandarkannya suatu hadis kepada beliau, sedangkan beliau tidak
pernah mensabdakannya. Salah satu upaya nyata yang telah
dilakukan adalah dengan membuat klasifikasi kualitas diri perawi-
perawi hadis yang selanjutnya menghasilkan disiplin ilmu yang
diberi nama ilmu al-jarh wa at-ta’dil.
Sekalipun terdapat selang waktu cukup jauh antara kita
dengan Rasulullah, namun dengan bekal ilmu hadis yang telah
diterapkan oleh muhaddisin, kita dapat dengan mudah atau
setidaknya membantu dalam meneliti hadis guna menjaga
keotentikan hadis. Karena telah terjadi tuduhan negatif dalam studi
hadis yang dilontarkan oleh non-Muslim yang biasanya diwakili oleh
para Orientalis.
Diantara upaya mereka adalah menanamkan keraguan
terhadap otentisitas hadis yang selanjutnya memunculkan faham
inkar as-sunnah di tengah umat Islam. Orang yang telah terpengaruh
dengan paham ini memiliki kecenderungan enggan
mengikuti sunnah Nabi Muhammad Saw. mereka hanya berpegang
kepada al-Quran saja, menolak ototritas dan kebenaran sunnah.
Selain upaya di atas, para orientalis dan para pengikutnya dari
kalangan umat islam terpelajar melancarkan tajrih terhadap sahabat
Abu Hurairah ra. Tuduhan ini tentu berakibat fatal karena sahabat
Abu Hurairah ra termasuk sahabat yang amat banyak telah
meriwayatkan hadis dari Rasulullah saw. Isu intelektual dalam studi
hadis ini sempat membuat heboh negeri Mesir, di mana Universitas
Al-Azhar yang merupakan simbol pusat kajian ilmu-ilmu keislaman
yang terbesar di dunia Islam terletak di negara Mesir. Walaupun
akhirnya tuduhan ini dapat dengan mudah dipatahkan berdasarkan
penjelasan-penjelasan muhaddisin yang meyakinkan. Jika saja mereka
(orientalis) mengkaji ilmu hadis secara objektif berdasarkan
paradigma yang telah disepakati oleh muhaddisin, maka niscaya tidak
akan muncul keraguan di benak meraka terhadap pribadi sahabat

An-Nahdlah, Vol. 5 No. 2 April 2019 54


Kontribusi Ilmu Al-Jarh... Tafsil Saifuddin Ahmad

Abu Hurairah ra yang sifat adilnya telah dijamin berdasarkan hadis


Rasulullah saw.
Pihak yang tidak memahami kompetensi dalam bidang
musthalah al-hadis dengan baik, apalagi ditambah dengan hati dan
fikiran yang melenceng, dapat saja menuduh para imam mujtahid
dengan tuduhan tidak benar. Sebagaimana mereka pernah
menuduh Imam Syafi’y sebagai periwayat hadis yang dha’if/ lemah.
Padahal jika mereka menguasai ilmu hadis dan membaca penjelasan
yang dipaparkan oleh Al-Baihaqy dalam kitab “Bayan Khata’ Man
Akhtha’a ‘Ala As-Syafi’iy”, maka tersingkap secar jelas ketelitian Imam
As-Syafi’iy dalam menerima dan menyampaikan hadis Rasulullah
saw.
Dengan mempelajari al-jarh wa at- ta’dil, kita dapat mengetahui
lebih dekat bahwa hadis yang ada di depan kita sekarang berupa
kitab kumpulan hadis yang sebelumnya ditransmisikan secara lisan,
sesungguhnya telah melewati proses seleksi yang cukup ketat. Kita
dapat pula mengecek suatu ucapan yang disandarkan kepada Nabi,
apakah benar-benar hadis tersebut bernilai shohih atau malah hadis
tersebut tergolong maudhu’ (palsu). Begitu pula dengan menguasai
disiplin hadis secara komprehensif maka tudingan-tudingan negatif
yang berasal dari orientalis terhadap tokoh-tokoh hadis sebagaimana
isu yang pernah dihembuskan di Mesir dapat segera diselesaikan.
B. Pembahasan
1. Pengertian al-jarh wa at-ta’dil.
Secara etimologi, kata “al-jarh” merupakan bentuk masdar
dari kata jaraha-yajrahu, yang berarti “melukai”. Makna “melukai”
ini dapat berkaitan dengan fisik, misalkan saja “melukai” badan
dengan pedang, atau pun berkenaan dengan non fisik, misalkan
“melukai” hati dengan kata-kata. Sementara pengertian al-jarh wa
at-ta’dil secara terminologi, berdasarkan definisi Dr. Subhis Solih
yaitu:
‫علم اجلرح والتعديل هو علم يبحث عن الرواة من حيث ما ورد ىف شأهنم مما يشينهم‬
‫أو يزكيهم أبلفاظ خمصوصة‬
“Ilmu al-jarh wa at-ta’dil adalah ilmu yang membahas tentang pribadi
para rawi dari sisi penilaian muhaddisin yang mencela (cacat) ataupun

An-Nahdlah, Vol. 5 No. 2 April 2019 55


Kontribusi Ilmu Al-Jarh... Tafsil Saifuddin Ahmad

yang membersihkan (cacat) mereka, dengan sebutan-sebutan (gelar-gelar)


tertentu” (Sholih: 1965).
Maka dari definisi di atas makna “al-jarh” berarti tampak
jelasnya sifat pribadi periwayat yang tidak adil, atau yang buruk di
bidang hafalannya dan kecermatannya, yang keadaan itu
menyebabkan gugurnya atau lemahnya riwayat yang disampaikan
oleh periwayat tersebut (Ismail: 1992). Sedangkan makna “at-
ta’dīl” berarti kebalikan dari pengertian al-jarh.
Ada beberapa syarat yang harus dimiliki oleh seorang
perawi. Di sinilah letak penilaian muhaddisin baik nilai tajrīh
maupun nilai ta’dīl. syarat-syarat tersebut yaitu: Pertama: Islam,
maka riwayat orang kafir dengan sendirinya tertolak. Kedua:
baligh, maka anak kecil yang belum baligh tidak dapat diterima
riwayatnya sebab ia belum mendapat taklif dari agama. Ketiga: adl,
termasuk dalam hal ini adalah murū’ah. Sekalipun tidak termasuk
perbuatan haram, tetapi jika dianggap dapat menurunkan
muru’ahnya maka riwayatnya dapat tertolak. Keempat: dhabith,
baik dhabit kitābī (terpelihara tulisannya), maupun dhabith shadrī
(terpelihara hafalannya). Dengan pendekatan syarat dalam
disiplin al-jarh wa at-ta’dil, maka suatu hadis dapat Ditentukan
kualitas kesahihannya (Abdurrahman dan Sumarna: 2011).
2. Urgensi al-jarh wa ta’dil.
Menyingkap dan membuka aib seorang Muslim adalah
perbuatan dosa. Perbuatan ini biasa disebut ghībah
(menggunjing). Ghībah adalah menyebut aib yang terdapat pada
seseorang tidak di depannya. Dalam Al-Qur’an perbuatan ghibah
ini tidak dibenarkan berdasarkan ayat Q.S.Al-Hujurat:17.
َّ ‫ض الظَّ ِن إِ ْْثٌ ۖ اواَل اَتا‬ ِ ِ‫َي أايُّها الَّ ِذين آمنوا اجتنِبوا اكث‬
‫ب‬ْ ‫سوا اواَل ياغْتا‬ ُ‫س‬ ‫ريا م ان الظَّ ِن إِ َّن با ْع ا‬
ً ُ ‫ا اُ ْ ا‬ ‫ا ا‬
ِ ِ ِ
‫اَّللا ۚ إِ َّن ا ََّّللا‬
َّ ‫اح ُد ُك ْم أا ْن اَيْ ُك ال اَلْ ام أاخيه ام ْي تًا فا اك ِرْهتُ ُموهُ ۚ اواتَّ ُقوا‬
‫ب أا‬ ُّ ‫ضا ۚ أ ُاُي‬
ً ‫ض ُك ْم با ْع‬
ُ ‫با ْع‬
‫يم‬ ِ ‫تا َّو‬
ٌ ‫اب ارح‬ ٌ
"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka,
sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu
mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu
menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu
memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu

An-Nahdlah, Vol. 5 No. 2 April 2019 56


Kontribusi Ilmu Al-Jarh... Tafsil Saifuddin Ahmad

merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya


Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang” (Q.S.Al-Hujurat :
17).
Selain ayat di atas, larangan ghībah/ menggunjing juga
disebutkan dalam hadis Nabi Muhammad saw. Namun demikian,
ghībah dalam beberapa hal dapat ditoleransi, bahkan ghībah
dalam beberapa persoalan harus dilakukan sesuai dengan sejauh
mana tuntutan kemaslahatannya. Sebagaimana kemaslahatan
yang ingin dicapai dalam al-jarh wa ta’dil amatlah besar, yaitu
menjaga otentisitas dan kesahihan Hadis, maka ghībah dalam hal
ini dengan menyebutkan kekurangan dan ketercelaan perawi
hadis tidak hanya mubah, tetapi menjadi hal yang wajib. Ghibah
dalam hal ini oleh Ulama’ dianalogikan dengan penyebutan
seorang saksi terhadap (aib) terdakwa di hadapan meja sidang
peradilan.
Rasulullah sendiri meletakkan landasan epistemologi ilmu
al-jarh wa at-ta’dil ini. Terdapat beberapa riwayat hadis yang secara
eksplisit mengingatkan kita agar hati-hati dalam menerima suatu
hadis. Diantara hadis yang menyebutkannya adalah hadis yang
diriwayatkan oleh sahabat Ibnu Umar dengan redaksi matannya :
‫ خذ عن الذين استقاموا‬،‫ إمنا هو َلمك ودمك فانظر عمن أتخذ‬،‫َي ابن عمر دينك دينك‬
‫وَل أتخذوا عن الذين مالوا‬
“Wahai Ibnu Umar, jagalah agamamu, jagalah agamamu.
Sesungguhnya ia adalah darah dagingmu, maka lihatlah (dengan teliti)
dari siapa kamu menerimanya, ambillah dari orang-orang yang
istiqamah, dan janganlah menerima dari orang-orang yang melenceng”
(Albagdady: 1988).
3. Lafadz Al-Jarh wa Ta’dil.
Diantara istilah yang dibuat muhaddisin untuk menilai
kualitas pribadi dari para perawi hadis adalah apa yang dibuat
oleh seorang Muhaddis yang bernama Al- Hāfidz Ibnu Hajar
sebanyak 12 macam gelar sebagaimana dikutip oleh Shubhis
Sholih (Sholih: 1965). Gelar-gelar tersebut yaitu:

An-Nahdlah, Vol. 5 No. 2 April 2019 57


Kontribusi Ilmu Al-Jarh... Tafsil Saifuddin Ahmad

a. ‫ ; الصحابة‬adalah mereka yang langsung menerima hadis dari


Rasulullah saw. Sementara seluruh sahabat Rasulullah itu
berdasarkan kesepakatan ahli hadis semuanya itu adil.
b. ‫ ثقة حافظ‬،‫ ثقة ثقة‬،‫ ; أوثق الناس‬perawi yang sangat terpercaya.
c. ‫ ثبت‬،‫ مقن‬،‫ ; ثقة‬perawi terpercaya.
d. ‫ ليس به بأس‬،‫ ال بأس به‬،‫ ; صدوق‬perawi yang memiliki kualitas
keperibadian di bawah golongan di atasnya.
e. ‫ له أوهام‬،‫ صدوق يهم‬،‫ ; صدوق سيءالحفظ‬golongan yang berada di
bawah yang di atas, termasuk golongan ini ahlul ahwa’ wal bida’
f. ‫ ; لين الحديث‬perawi yang meriwayatkan hanya sedikit hadis, dan
hadisnya hanya dapat dikuatkan oleh hadis lainnya (yang lebih
tinggi kualitasnya)
g. ‫ مجهول الحال‬،‫ ; مستور‬gelar bagi seorang perawi yang hanya
sedikit sekali perawi hadis lainnya yang mau menerima dan
meriwayatkan hadis darinya.
h. ‫ ; ضعيف‬orang yang tidak ditemukan padanya syarat-syarat
sabagai perawi hadis.
i. ‫ ; مجهول‬orang yang hanya seorang perawi saja mau menerima
riwayatnya.
j. ‫ ساقط‬،‫ واهى الحديث‬،‫ متروك الحديث‬،‫ ; متروك‬perawi yang memiliki
cacat cukup berarti, sehingga riwayatnya layak diabaikan.
k. ‫ متهم بالكذب‬،‫ ; متهم‬perawi pembohong.
l. ‫ وضاع‬،‫ ; كذاب‬perawi sangat pembohong dan suka membuat
Hadis Maudhu’ (palsu).
Sementara untuk gelar-gelar ta’dil, dapat dilihat urutannya
dalam bentuk diagram di bawah ini.

‫اوثق الناس‬
‫ثقة ثقة‬
‫ثقة‬
‫صدوق‬
‫َل أبس به‬
‫شيخ‬
‫صاحل اَلديث‬

An-Nahdlah, Vol. 5 No. 2 April 2019 58


Kontribusi Ilmu Al-Jarh... Tafsil Saifuddin Ahmad

‫ارجو أن َل أبس به‬

4. Mengenal Tokoh-tokoh Hadis.


Dalam mengkaji para Rijāl Hadis (tokoh hadis), diantaranya
yang perlu diperhatikan ialah thobaqat atau generasi dari masing-
masing mereka. Data diri masing-masing mereka dapat dilihat
pada kitab tarikh (biografi perawi hadis). Sehingga dengan
berpedoman pada data tersebut kita dapat mengenali mana hadis
yang muttasil (bersambung sanadnya) dan mana yang
munqati’(terputus sanadnya). Hal ini perlu karena penilaian hadis
maqbūl (diterima) atau mardūd (tertolak) bisa bersumber dari sini.
Perawi dan Tokoh hadis dari masa sahabat sampai masa
tadwin hadis dikategorisasikan ke dalam 12 thabaqat. kategori ini
dipinjam dari tokoh hadis, Ibnu Hajar, sebagaimana dinukil oleh
Subhis Sholih (Sholih: 1965). Seluruh thabaqat yang dimaksud
yaitu:
1) Generasi Sahabat (‫)الصحابة على اختالف مراتبهم‬.
Generasi sahabat, tiap-tiap sahabat ditetapkan memiliki
sifat ‘adl. Ini didasarkan pada nass baik dari Al-Qur’an
maupun As-Sunnah. Dalam Al-Qur’an banyak ayat yang
menyebutkan amal serta sifat terpuji para sahabat Rasulullah
saw. Diantaranya:
‫ول اعلاْي ُك ْم‬
ُ ‫الر ُس‬ ِ ‫اء اعلاى الن‬
َّ ‫َّاس اويا ُكو ان‬ ِ ‫اواك َٰاذلِ ا‬
‫ك اج اعلْناا ُك ْم أ َُّمةً او اسطًا لتا ُكونُوا ُش اه اد ا‬
ِ ِ ‫الرس ا‬ ِ ‫اش ِهي ًدا ۗ اواما اج اعلْناا ال ِْق ْب لاةا الَِِّت ُكنْ ا‬
‫ب‬ُ ‫ول ممَّ ْن يا ْن اقل‬ ُ َّ ‫ت اعلاْي اها إََِّل لنا ْعلا ام ام ْن ياتَّبِ ُع‬
ِ ِ َّ ‫اَّلل ۗ وما اكا ان‬ ِ َّ ِ ْ ‫اعلا َٰى اع ِقبا ْي ِه ۚ وإِ ْن اكانا‬
‫يع‬
‫اَّللُ ليُض ا‬ ‫ين اه ادى َُّ ا ا‬ ‫ريةً إََِّل اعلاى الذ ا‬ ‫ت لا اكب ا‬ ‫ا‬
‫يم‬ ِ ِ ‫اَّللا ِِبلن‬ َّ ‫إِمياانا ُك ْم ۚ إِ َّن‬
ٌ ‫وف ارح‬ ٌ ُ‫َّاس ل اارء‬
“Dan demikian (pula) kami Telah menjadikan kamu (umat Islam),
umat yang adil dan pilihanagar kamu menjadi saksi atas (perbuatan)
manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas
(perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi
kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya
nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan
sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi
orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak

An-Nahdlah, Vol. 5 No. 2 April 2019 59


Kontribusi Ilmu Al-Jarh... Tafsil Saifuddin Ahmad

akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih


lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (Q.S Al-Baqarah : 143)
Selain ayat Al-Qur’an di atas, dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh imam Muslim Rasulullah bersabda :
ِ ‫ان أاح اد ُكم أانْ اف اق ِمثْل أُح ٍد ذا اهبا ما ب لا اغ م َّد أاح ِد ِهم واَل نا‬
ُ‫صي افه‬ ‫ا ُ ً ا ا ُ ا ْا‬ ْ ‫اص اح ِاِب فالا ْو أ َّ ا‬
ْ ‫سبُّوا أ‬
ُ ‫اَل تا‬
”Janganlah kalian mencela sahabat-sahabatku. Seandainya salah
seorang dari kalian berinfaq emas seperti Gunung Uhud, tidak akan
menyamai satu mud (infaq) salah seorang dari mereka dan tidak
pula setengahnya.” (H.R. Muslim)
2) Generasi Tabi’in Besar (‫)طبقة كبار التابعين‬, seperti Sa’id bin
Musayyab.
3) Generasi Tabi’in Pertengahan (‫)طبقة الوسطى من التابعين‬, Seperti
Hasan dan Ibnu Sirin.
4) Generasi Tabi’in Setelahnya (‫)طبقة أخرى تلى الوسطى‬, seperti Az-
Zuhry dan Qatadah.
5) Generasi Tabi’in Kecil ( ‫)الطبقة الصغى من التابعين‬, seperti A’masy.
6) Generasi yang bertemu dengan Tabi’in Kecil ‫(طبقة حضروا مع‬
)‫ الخامسة‬, tetapi tidak pernah berjumpa dengan salah satu dari
sahabat Nabi, seperti Ibnu Juraij.
7) Generasi Tabi’ Tabi’in Besar )‫ (طبقة كبار أتباع التابعين‬, Seperti
Malik bin Anas dan Sufyan Ats-Tsaury.
8) Generasi Tabi’ Tabi’in Pertengahan (‫)الوسطى من أتباع التابعين‬,
seperti Ibnu ‘Uyainah.
9) Generasi Tabi’ Tabi’in Kecil (‫)الطبقة الصغرى من أتباع التابعين‬,
seperti Abu Dawud At-Tayalisy danAsy-Syafi’iy.
10) Generasi Pembesar yang menerima Riwayat dari Tabi’ Tabi’in
yang tidak bertemu dengan Tabi’in ( ‫كبار اآل خذين من أتباع‬
‫)التابعين‬, seperti Ahmad bin Hanbal.
11) Genarasi Tengah yang menerima riwayat dari Tabi’
Tabi’in(‫)الطبقة الوسطى منهم‬, seperti Al-Bukhary.
12) Generasi Kecil yang menerima riwayat dari Tabi’ Tabi’in
)‫(صغار اآلخين عن أتباع التابعين‬, seperti At-Turmudzy.
Demikianlah keseluruhan thabaqat dari masa sahabat
Rasulullah saw sampai masa tadwin hadis.
5. Ulama dan Kitab’ al-jarh wa at-ta’dil

An-Nahdlah, Vol. 5 No. 2 April 2019 60


Kontribusi Ilmu Al-Jarh... Tafsil Saifuddin Ahmad

Diantara kitab yang membahas secara datail ilmu al-jarh wa


at-ta’dil antara lain:
)‫ جملدا‬٥١ ‫) طبقات ابن سعد (يقع ىف‬1
)‫) الكبري للبخاري ىف ثالثة أجزاء منه (اي اجلزءان األوَلن والرابع‬2
)‫) اتريخ لعلي بن املدين (ىف عشرة أجزاء‬3
)‫) كتاب ىف أوهام أصحاب التواريخ َلبن حبان (ىف عشرة أجزاء‬4
‫) كتاب التكميل ىف معرفة الثقات والضعفاء واجملاهيل للعماد بن كثري‬5
Di samping kitab di atas, beberapa ulama hadis telah
menulis dengan ruang lingkup lebih spesifik, seperti imam Al-‘Ijly
dan Zainuddin Qasim telah menulis biografi para perawi hadis
yang dianggap terpercaya saja. Imam Bukhary, Nasa’i, dan Ibnu
jauzy menulis para perawi hadis yang lemah dan tidak dapat
dipercaya. Husain bin Ali Al-Karabisy, An-Nasai, Ad-Daru
Quthny, As-Suyuti mengumpulkan nama-nama perawi hadis yang
suka mentadlis hadis. Muhammad bin Thahir menulis para
perawi hadis yang terdapat dalam kitab shohih Bukhari dan
Muslim. Al-hafidz Adz-Dzahabi menulis biografi semua perawi
hadis yang terdapat pada kutub sittah (Sholih: 1965).
Keseriusan ulama menuliskan satu persatu perawi hadis
dari generasi ke generasi sejak masa Rasulullah sampai perawi
terakhir yang mengkodifikasikan hadis tersebut menggambarkan
ketelitian mereka dalam menyeleksi hadis sehingga otentisitas
hadis dapat dipertanggungjawabkan. Model keilmuan dalam
studi hadis seperti ini amat mahal nilainya karena tidak dimiliki
oleh disiplin ilmu lainnya.
6. Pandangan Ulama terhadap al-jarh wa at-ta’dil.
Penilaian Ulama (muhaddisin) terhadap kredibilias perawi
hadis diklasifikasikan menjadi tiga, pertama; ulama yang
termasuk kategori mutasahil, yaitu menilai dengan lebih longgar,
kedua; mutawassit, yaitu menilai dengan lebih toleran, dan ketiga;
mutasyaddid; yaitu menilai dengan lebih ketat.
Beberapa perilaku dan sikap perawi yang dapat
menyebabkan tajrih yaitu:

An-Nahdlah, Vol. 5 No. 2 April 2019 61


Kontribusi Ilmu Al-Jarh... Tafsil Saifuddin Ahmad

1) Kencing Berdiri. Imam Jarir meninggalkan hadis riwayat


Samak bin Harb karena dilihatnya ia kencing dengan posisi
berdiri.
2) Duduk-duduk di jalanan.
3) Makan di pasar.
4) Berteman dengan orang rendahan.
5) Bercanda berlebihan.
6) Bermain Catur, Syu’bah pernah melihat Najiyah bermain
Catur. Setelah peristiwa itu Syu’bah tidak menerima lagi
riwayatnya (Al-Baghdady: 1988).
Dari pemaparan di atas, hal-hal kecil saja (menurut
sebagian orang), bisa menyebabkan tertolaknya riwayat seorang
periwayat hadis, apalagi hal yang lebih besar dari pada itu, secara
otomatis riwayatnya tertolak juga. Tentu dengan
mempertimbangkan keterbatasan manusia, yang tidak dapat
mengatahui susuatu dari segala dimensi, sehingga penilaian
terhadap seorang perawi dan memposisikannya pada derajat-
derajat al-jarh maupun pada at-ta’dil, dapat saja berbeda antara
satu ulama’dengan ulama’ lainnya.
C. Penutup
Metodologi yang diterapkan dalam penelitian hadis memiliki
tingkat akurasi yang sangat tinggi, tidak dimiliki oleh ilmu-ilmu
lainnya. Dalam kajian sanad, banyak membuahkan katergorisasi
hadis, seperti muttasil, munqathi’, yang dapat menyebabkan suatu
hadis disebut Hadis marfu’, mauquf, mursal, dan lainnya. Begitu pula
tingkat kapabilitas serta integritas diri perawi yang direkam jejaknya
dalam disiplin ilmu al-jarh wa at-ta’dil dapat menyebabkan hadis
dinilai sahih, hasan atau pun dha’if.
Ketika khilafiyah merupakan suatu keniscayaan, dan dapat
memasuki pada ranah ilmu apa saja termasuk dalam studi hadis,
maka di sini perlu Tool of Analysis yang memadai. Sehingga kita tidak
mudah terjebak dalam kondisi yang dilematis. Jika pun diantara
muhaddisin terjadi perselisihan atas penilaian kualitas suatu hadis,
sesungguhnya itu semua memiliki dasar epistemologis masing-
masing, tidak asal beda. Akhirnya semoga tulisan ini bermanfa’at,
Wallahu a’lam.

An-Nahdlah, Vol. 5 No. 2 April 2019 62


Kontribusi Ilmu Al-Jarh... Tafsil Saifuddin Ahmad

DAFTAR REFERENSI
Al-Qur’an Al-Karim, Kairo, Darus Salam, 1994.
Al-Bagdady, Khatib, Kitabul Kifayah fi Ilmir Riwayah, Beirut: Darul Kutub
Ilmiyyah, 1988.
Al-Baihaqy, Bayan Khata’ Man Akhtha’a ‘Ala As-Syafi’iy, Beirut: Muassasah Ar-
Risalah, Cet. II, 1986.
Ismail Ibrahim, Muhammad, Al-Qur’an wa I’jazuhu Al-Ilmy, Darul Fikr Al-
Araby. tth
Sholih, Subhi, Ulumul Hadis wa Mustholahuhu, (Bairut: Darul Ilmi Lilmalaiyin)
Cet. IV, 1965.
Muslim, Sohih Muslim, (Kairo: Dar al-Kutub), 1918.

An-Nahdlah, Vol. 5 No. 2 April 2019 63

Anda mungkin juga menyukai