Nashruddin Syarief
I slam sebagai agama wahyu artinya adalah Islam yang didasarkan pada wahyu
yang utuh dari Allah swt melalui para utusan-Nya dan untuk konteks era Nabi
Muhammad saw mewujud dalam al-Qur`an dan sunnah.1 Pengertian Islam sebagai
agama wahyu ini adalah pengertian yang sebenarnya dari agama Islam2 yang sulit
diterima oleh para sarjana Barat yang meneliti Islam. Bagi mereka, Islam tidak
berbeda dengan agama-agama lain di dunia yang merupakan gejala sosial dan terlahir
dalam sejarah, bukan merupakan wahyu yang diturunkan Tuhan. Kalaupun ada di
antara sarjana Barat yang memahami Islam sebagai agama wahyu, mereka tetap tidak
memahami bahwa wahyu itu turun secara utuh, melainkan hanya sekadar maknanya
saja dan kemudian manusia menginterpretasikan makna itu sesuai dengan kebudayaan
dan tradisinya.
Dampak dari tidak diterimanya Islam sebagai agama wahyu adalah
dipaksakannya faham pluralisme pada agama Islam. Sebab Islam “dipaksa” oleh
ilmuwan Barat untuk didudukkan sebagai agama sejarah (historical religion) yang
lahir dalam satu fase sejarah tertentu, oleh sekelompok manusia tertentu, sebagaimana
halnya agama lain. Jadinya Islam dan agama lain tidak ada bedanya. Dalam konteks
studi Islam, maka studi yang dilakukan terhadap Islam harus historis dan empiris
sebagaimana berlaku umum dalam studi agama. Studi Islam yang berbasis pada
wahyu (tafsir, takhrij, fiqh) tidak diakui sebagai studi Islam yang ilmiah, sebab
1
Ini adalah pengertian wahyu yang disepakati oleh para ulama dan didasarkan pada beberapa
ayat al-Qur`an, di antaranya: QS. Al-Syûrâ [42] : 7, 51; Al-Nisâ` [4] : 113, 163; Al-Najm [53] : 3-4.
Kitab-kitab ‘ulûm al-Qur`ân yang ditulis para ulama generasi terakhir telah mengulasnya dengan
cukup rinci dan berhasil membuktikan bahwa dari sejak generasi pertama tidak ada perselisihan
pendapat tentang definisi wahyu ini. Rujuk misalnya: Manna‟ Khalil al-Qattan, Mabâhits fî ‘Ulûm al-
Qur`ân, hlm. 24-45; Fahd al-Rumi, Dirâsât fi ‘Ulûm al-Qur`ân al-Karîm, hlm. 170-190.
Di samping itu terdapat pendapat lain yang membatasi wahyu hanya pada al-Qur`an dan hadits
mutawatir, dengan menafikan hadits-hadits ahad yang shahih. Konsekuensinya ajaran Islam dipandang
hanya 5 persen saja yang absolut, sisanya tidak absolut. Pendapat ini di Indonesia dikemukakan oleh
Harun Nasution (Klasifikasi Ilmu dan Tradisi Penelitian Islam: Sebuah Perspektif, dalam M. Deden
Ridwan, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, hlm. 29-34). Akan tetapi pendapat ini jelas lemahnya.
Para ulama dari generasi awal sampai generasi sekarang sudah banyak menjelaskan kehujjahan hadits
ahad disamping hadits mutawatir sebagai wahyu dari Allah swt. Imam as-Syafi‟i dalam kitabnya, al-
Risâlah, menyajikan satu bahasan khusus tentang khabar al-ahad dan kehujjahannya berdasarkan dalil-
dalil syar‟i, tentunya selama kualitas khabar itu shahih. Dari kalangan ulama kontemporer, Mushtafa
al-Siba‟i menulis sebuah karya ilmiah khusus tentang kehujjahan hadits, termasuk satu bab khusus
tentang kehujjahan hadits ahad dalam al-Sunnah wa Makânatuha fi al-Tasyrî’ al-Islâmî (Dar al-
Warraq/al-Maktab al-Islami, 2000).
2
Disebut sebagai pengertian sebenarnya, karena memang Islam tidak diciptakan dan dikonsep
oleh manusia atau suatu bangsa, melainkan agama yang diturunkan Allah swt melalui wahyu. Dalam
QS. al-Taubah [9] : 33, al-Fath [48] : 28, dan al-Shaff [61] : 9 dengan jelas disebutkan bahwa agama ini
diturunkan oleh Allah swt melalui Rasul-rasulnya. Para Rasul itu sendiri tidak mempunyai kewenangan
untuk mengubah dan menambah ajaran Islam, melainkan sebatas mengikuti apa yang diwahyukan (QS.
Yûnus [10] : 15, Ibrâhîm [14] : 11, dan al-Ahqâf [46] : 9). Dalam QS. al-Mâ`idah [5] : 3 juga dengan
jelas disebutkan bahwa penyempurnaan agama Islam itu hanya bersumber dari Allah swt.
2
hakikat agama Islam tidak diakui dalam hal wahyunya, melainkan dalam aspek
historisitasnya semata.3
Demikian halnya bagi mereka yang mengakui Islam sebagai agama wahyu
tetapi dalam pemaknaan yang tidak sempurna. Mereka adalah para illmuwan yang di
satu sisi mengakui Islam sebagai agama wahyu, tetapi wahyu yang dimaksud adalah
wahyu yang tidak utuh ketika diterima oleh Nabi Muhammad saw dan umat Islam.
Dalam proses wahyu itu “pasti” sudah tercampuri oleh pengalihbahasaan oleh Jibril
dan oleh interpretasi Nabi Muhammad saw sendiri. Belum lagi oleh para shahabat dan
generasi salaf, sampai kemudian mewujud menjadi mushhaf rasm ‘Utsmani seperti
yang ada sekarang. Dampaknya hermeneutika wajib diberlakukan dalam studi Islam.
Sebuah metodologi memahami teks yang basisnya filsafat bahasa, linguistik, dan
sosiologi bahasa. Modelnya wahyu yang tertuang dalam al-Qur`an dan Sunnah selalu
dikontekstualisasikan oleh nafsu nalar peneliti pada tuntutan zaman, seperti HAM,
demokrasi, kesetaraan gender, liberalisme, sekularisme, dan pluralisme.
3
Penelitian historis itu sebatas menjelaskan Islam di masa dahulu, sekarang, dan yang akan
datang, tetapi dalam hal-hal yang empirisnya semata yang tidak ada kaitannya dengan wahyu, seperti
tentang sejarah umat Islam, fakta keberagamaan umat Islam, sosial kemasyarakatan Islam, pemikiran
tokoh-tokoh Islam, dan semacamnya. Semua penelitian historis-empiris tidak dikaitkan dengan benar
dan salahnya perspektif wahyu (al-Qur`an dan sunnah), sebab wahyu tidak dinilai sebagai inti agama
Islam. Inti agama Islam itu hanya aspek historitasnya semata yang terindera (empiris). Maka dari itu
model studi Islamnya hanya deskriptif saja tanpa menilai benar dan salah berdasarkan wahyu, misal
sejarah Syi‟ah, fakta keberagamaan aliran Mu‟tazilah, model keberagamaan di komplek pelacuran,
perkembangan Jema‟at Ahmadiyah di Kuningan, pemikiran Syahrur tentang legalisasi hubungan seks
non-marital, dan sebagainya.
4
Jacques Waardenburg, Islam Studied as a Symbol and Signification System, dalam Herman
Leonard Beck, Studi Belanda Kontemporer tentang Islam: Lima Contoh, terj. Hersri Setiawan, Jakarta:
INIS, 1993, hlm. 87
5
Wilfred Cantwell Smith, The Meaning and End of Religion, Minneapolis: Fortress Press,
1991, hlm. 111-113. Tidak hanya makna Islam yang didekontsruksi oleh Simth, tetapi juga makna din
menjadi hanya “penyesuaian diri, kepatutan, ketaatan”. Maka dari itu Smith menafsirkan ayat Inna al-
dîn ‘inda Allâh al-Islâm (QS. 3 : 19) dengan: Mengarahkan perilaku sendiri secara sepatutnya (din—
pen) di hadapan Tuhan ialah menerima perintah-perintah-Nya (islam—pen); Cara yang benar dan layak
(din—pen) untuk menyembah Dia ialah patuh kepada-Nya (islam—pen); atau agama sejati (din—pen)
(bukan “agama yang benar”) ialah kepatuhan (islam—pen). Sementara ayat wa man yabtaghi ghaira
al-Islâm dînan fa lan yuqbala minhu (QS. 3 : 85) ditafsirkan Smith: Jika seseorang memilih apapun
lainnya yang bukan serah-diri sebagai suatu norma, itu tidak dapat diterima (Terjemah dikutip dari,
Landung Simatupang, Memburu Makna Agama, hlm. 191-192).
Dalam bukunya tersebut, The Meaning and End of Religion, Smith memang dengan sangat
berani mengemukakan gagasan bahwa “agama” adalah sesuatu yang dianggap oleh orang sebagai nama
3
Tidak jauh berbeda, Charles J. Adams juga menyatakan bahwa Islam adalah
suatu agama yang akan senantiasa berubah dan terus berkembang, baik
pengalamannya dan pengamalannya, seiring dengan perkembangan sejarah itu sendiri
dalam menangkap pesan kenabian.6
Sementara Waardenburg memahami Islam dalam tiga tingkatan, yaitu
pertama, sebagai sebuah agama yang hadir dalam realitas sejarah dan sosial dengan
kaum muslim sebagai pembuat dan yang mempertahankannya; kedua, sebagai
seperangkat norma (agama, moralitas, dan hukum) dari apa disebutnya sebagai "Islam
normatif"; dan ketiga, sebagai sebuah sistem makna sosial yang dikomunikasikan oleh
masyarakat yang satu dengan yang lainnya.7
Wahyu sebagai identitas utama agama Islam juga dipahami oleh sarjana Barat
sebagaimana halnya wahyu dalam agama Kristen, yakni bukan sebagai firman Tuhan
yang utuh diturunkan kepada Nabi, melainkan diinterpretasikan oleh Nabi,
diinterpretasikan juga oleh murid-muridnya, lalu dituliskan sebagai teks manusiawi.
Dalam agama Kristen hal ini memang sudah sejak lama diakui kebenarannya. William
Sanday dari Universitas Oxford sejak tahun 1983 sudah menegaskan bahwa yang
diwahyukan Tuhan itu bukan kalimat-kalimatnya, tetapi inspirasinya yang kemudian
diinterpretasikan oleh penulis-penulis Bibel sehingga menjadi Bibel seperti yang
sekarang.8 Herlianto, seorang pendeta reformis Kristen, Ketua Yayasan Bina Awam,
magister teologi di Princeton, USA (MTh), juga menyatakan hal yang sama. Dalam
wawancara dengan penulis via email pada tanggal 4 Maret 2008 ia mengatakan:
Hermeneutika adalah keniscayaan, artinya semua naskah sastra harus
dimengerti secara hermeneutis, sebab tulisan manusia itu harus
dimengerti dari latar belakang bahasa, budaya, sejarah, maupun tujuan
menulis dan dalam konteks apa tulisan itu berada. Umat Kristen
mempercayai Alkitab sebagai firman Allah bukan dalam pengertian
semua ayatnya diturunkan dari sorga, tetapi firman yang ditulis dengan
ilham Roh Kudus (2 Timotius 3:15-16), untuk inilah diperlukan
hermeneutika untuk mengerti apa sebenarnya berita benar dibalik
keterbatasan manusia dengan sastranya itu.
Dari kalangan pemikir Muslim, Mohammed Arkoun dan Nasr Hamid Abu
Zaid adalah di antara yang menyatakan bahwa wahyu yang diterima oleh Nabi saw itu
tidak kemudian secara utuh dituangkan ke dalam mushhaf al-Qur`an yang ada
sekarang. Menurut Arkoun, al-Qur`an adalah produk sejarah. Ia hanyalah hasil sosial
dan budaya yang dijadikan "tak terpikirkan" disebabkan semata-mata pemaksaan
penguasa resmi. Arkoun menyatakan bahwa wahyu hanya dapat diketahui oleh
manusia melalui "edisi dunia" (editions terrestres) yang telah mengalami modifikasi,
sekumpulan keyakinan-keyakinan yang terorganisir dan terus berkembang dari masa ke masa yang
kemudian disebut “agama”, padahal kenyataannya tidak ada esensinya sama sekali yang bisa dipahami
dengan jelas tanpa perdebatan. Dalam pandangan Smith, dalam setiap “agama” terdapat perkembangan
dan proses yang dapat dicatat dan dikenali yang ia namakan a process of reification (sebuah proses
gradual untuk menegaskan “agama” sebagai suatu entitas yang terorganisir dan positif, dan sebagai
kata benda) yang terjadi selama kurang lebih dua setengah abad lalu, atau masa modern (hlm. 193).
6
Charles J. Adams, Islamic Religious Tradition, dalam Leonard Binder (ed), The Study of
Middle East, New York: John Wiley & Sonns, 1976, hlm. 32-33
7
Jacques Waardenburg, Muslim as Actors, hlm. 30
8
M. Rasjidi, Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution, hlm. 28-19
4
revisi dan substitusi.9 Nasr Hamid menegaskan, al-Qur`an adalah bahasa manusia.
Perubahan teks ilahi menjadi teks manusiawi terjadi sejak turunnya wahyu yang
pertama kali kepada Muhammad.10
Di Indonesia, paham “ketidak-utuhan” wahyu ini dikemukakan oleh
Komaruddin Hidayat. Menurutnya, al-Qur`an haruslah dilihat dari perspektif teologi
dan filsafat linguistik. Sebuah pandangan teologis menyebutkan bahwa al-Qur`an
adalah suci, kebenarannya absolut, berlaku di mana dan kapan saja, sehingga ia tidak
mungkin bisa diubah dan diterjemahkan. Begitu diterjemahkan dan ditafsirkan, maka
ia bukan lagi al-Qur`an, melainkan terjemahan dan tafsiran al-Qur`an. Namun
demikian, menurutnya, dari sudut historis dan filsafat linguistik, pandangan di atas
menimbulkan problem tersendiri. Begitu kalam Tuhan telah membumi dan sekarang
malah menjelma ke dalam teks, maka al-Qur`an tidak bisa mengelak untuk
diperlakukan sebagai objek kajian hermeneutik. Karena umat beragama tidak
berjumpa langsung dengan Tuhan ataupun Malaikat Jibril sebagaimana yang dialami
Rasulullah, melainkan hanya dalam bentuk teks dan tafsiran yang diantarkan pada kita
melalui mata-rantai tradisi. Itu artinya, teks al-Qur`an kemudian memiliki dua
dimensi; sakral dan profan, absolut dan relatif, historis dan metahistoris.11 Tegasnya,
teks al-Qur`an tidak ada bedanya dengan teks-teks lainnya yang bersifat terbuka untuk
digugat dan dikritisi.
Komaruddin juga menjelaskan, al-Qur`an yang telah tersaji saat ini setidaknya
telah melalui dua proses penafsiran. Pertama, penafsiran al-Qur`an yang dilakukan
oleh Jibril dan kemudian didiktekan kepada Muhammad saw. Kedua, penafsiran yang
mungkin terjadi dalam diri Muhammad Rasulullah. Bukankah Muhammad sebuah
sosok pribadi yang cerdas, jujur, amanah (bisa dipercaya), dan bukan sebuah kaset
kosong untuk diisi rekaman? Jadi, ketika menerima wahyu, Muhammad bertindak
aktif memahami, menyerap dan kemudian mengungkapkannya dalam bahasa Arab.
Selain itu, menambahkan penjelasannya melalui hadits.12
9
Mohammed Arkoun, Rethinking Islam Today dalam Azim Nanji (ed), Mapping Islamic
Studies, hlm. 237.
10
Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhûm al-Nash: Dirâsah fi ‘Ulûm al-Qur`ân, Beirut: al-Markaz al-
Tsaqafi al-„Arabi, 1994, hlm. 24.
11
Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan. Jakarta: Teraju, 2004, Cet. II, hlm. 150.
12
Ibid, hlm. 18-19.
5
13
Al-Attas, Islam and Secularism, hlm. 26-27.
14
Ibid, hlm. 28-29.
15
Karya tulis Nathan Söderblom yang dimaksud al-Attas adalah The Nature of Revelation,
London, 1933.
16
Ibid, hlm. 29-30.
17
Ibid, hlm. 30-31.
6
18
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An exposition
of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam, Kuala Lumpur: ISTAC, 1995, hlm. 3-4.
19
Ibid.
20
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an Jilid 2, Tangerang: Lentera Hati, 2011, hlm.
557-558.
21
Ibid.
7
22
Perbedaan wujud wahyu antara al-Qur`an dan sunnah ini sudah menjadi kesepakatan bulat
di kalangan para ulama Islam. Rujuk misalnya Manna‟ Khalil al-Qaththan, Mabâhits fî ‘Ulûm al-
Qur`ân, hlm. 20-21.
23
Sunan Abi Dawud kitab al-'ilm bab fi kitabatil-'ilm no. 3648
24
QS. an-Nisa [4] : 59-60, 69, 80, dan al-Anfal [8] : 20.