Anda di halaman 1dari 7

1

Islam Agama Wahyu

Nashruddin Syarief

I slam sebagai agama wahyu artinya adalah Islam yang didasarkan pada wahyu
yang utuh dari Allah swt melalui para utusan-Nya dan untuk konteks era Nabi
Muhammad saw mewujud dalam al-Qur`an dan sunnah.1 Pengertian Islam sebagai
agama wahyu ini adalah pengertian yang sebenarnya dari agama Islam2 yang sulit
diterima oleh para sarjana Barat yang meneliti Islam. Bagi mereka, Islam tidak
berbeda dengan agama-agama lain di dunia yang merupakan gejala sosial dan terlahir
dalam sejarah, bukan merupakan wahyu yang diturunkan Tuhan. Kalaupun ada di
antara sarjana Barat yang memahami Islam sebagai agama wahyu, mereka tetap tidak
memahami bahwa wahyu itu turun secara utuh, melainkan hanya sekadar maknanya
saja dan kemudian manusia menginterpretasikan makna itu sesuai dengan kebudayaan
dan tradisinya.
Dampak dari tidak diterimanya Islam sebagai agama wahyu adalah
dipaksakannya faham pluralisme pada agama Islam. Sebab Islam “dipaksa” oleh
ilmuwan Barat untuk didudukkan sebagai agama sejarah (historical religion) yang
lahir dalam satu fase sejarah tertentu, oleh sekelompok manusia tertentu, sebagaimana
halnya agama lain. Jadinya Islam dan agama lain tidak ada bedanya. Dalam konteks
studi Islam, maka studi yang dilakukan terhadap Islam harus historis dan empiris
sebagaimana berlaku umum dalam studi agama. Studi Islam yang berbasis pada
wahyu (tafsir, takhrij, fiqh) tidak diakui sebagai studi Islam yang ilmiah, sebab

1
Ini adalah pengertian wahyu yang disepakati oleh para ulama dan didasarkan pada beberapa
ayat al-Qur`an, di antaranya: QS. Al-Syûrâ [42] : 7, 51; Al-Nisâ` [4] : 113, 163; Al-Najm [53] : 3-4.
Kitab-kitab ‘ulûm al-Qur`ân yang ditulis para ulama generasi terakhir telah mengulasnya dengan
cukup rinci dan berhasil membuktikan bahwa dari sejak generasi pertama tidak ada perselisihan
pendapat tentang definisi wahyu ini. Rujuk misalnya: Manna‟ Khalil al-Qattan, Mabâhits fî ‘Ulûm al-
Qur`ân, hlm. 24-45; Fahd al-Rumi, Dirâsât fi ‘Ulûm al-Qur`ân al-Karîm, hlm. 170-190.
Di samping itu terdapat pendapat lain yang membatasi wahyu hanya pada al-Qur`an dan hadits
mutawatir, dengan menafikan hadits-hadits ahad yang shahih. Konsekuensinya ajaran Islam dipandang
hanya 5 persen saja yang absolut, sisanya tidak absolut. Pendapat ini di Indonesia dikemukakan oleh
Harun Nasution (Klasifikasi Ilmu dan Tradisi Penelitian Islam: Sebuah Perspektif, dalam M. Deden
Ridwan, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, hlm. 29-34). Akan tetapi pendapat ini jelas lemahnya.
Para ulama dari generasi awal sampai generasi sekarang sudah banyak menjelaskan kehujjahan hadits
ahad disamping hadits mutawatir sebagai wahyu dari Allah swt. Imam as-Syafi‟i dalam kitabnya, al-
Risâlah, menyajikan satu bahasan khusus tentang khabar al-ahad dan kehujjahannya berdasarkan dalil-
dalil syar‟i, tentunya selama kualitas khabar itu shahih. Dari kalangan ulama kontemporer, Mushtafa
al-Siba‟i menulis sebuah karya ilmiah khusus tentang kehujjahan hadits, termasuk satu bab khusus
tentang kehujjahan hadits ahad dalam al-Sunnah wa Makânatuha fi al-Tasyrî’ al-Islâmî (Dar al-
Warraq/al-Maktab al-Islami, 2000).
2
Disebut sebagai pengertian sebenarnya, karena memang Islam tidak diciptakan dan dikonsep
oleh manusia atau suatu bangsa, melainkan agama yang diturunkan Allah swt melalui wahyu. Dalam
QS. al-Taubah [9] : 33, al-Fath [48] : 28, dan al-Shaff [61] : 9 dengan jelas disebutkan bahwa agama ini
diturunkan oleh Allah swt melalui Rasul-rasulnya. Para Rasul itu sendiri tidak mempunyai kewenangan
untuk mengubah dan menambah ajaran Islam, melainkan sebatas mengikuti apa yang diwahyukan (QS.
Yûnus [10] : 15, Ibrâhîm [14] : 11, dan al-Ahqâf [46] : 9). Dalam QS. al-Mâ`idah [5] : 3 juga dengan
jelas disebutkan bahwa penyempurnaan agama Islam itu hanya bersumber dari Allah swt.
2

hakikat agama Islam tidak diakui dalam hal wahyunya, melainkan dalam aspek
historisitasnya semata.3
Demikian halnya bagi mereka yang mengakui Islam sebagai agama wahyu
tetapi dalam pemaknaan yang tidak sempurna. Mereka adalah para illmuwan yang di
satu sisi mengakui Islam sebagai agama wahyu, tetapi wahyu yang dimaksud adalah
wahyu yang tidak utuh ketika diterima oleh Nabi Muhammad saw dan umat Islam.
Dalam proses wahyu itu “pasti” sudah tercampuri oleh pengalihbahasaan oleh Jibril
dan oleh interpretasi Nabi Muhammad saw sendiri. Belum lagi oleh para shahabat dan
generasi salaf, sampai kemudian mewujud menjadi mushhaf rasm ‘Utsmani seperti
yang ada sekarang. Dampaknya hermeneutika wajib diberlakukan dalam studi Islam.
Sebuah metodologi memahami teks yang basisnya filsafat bahasa, linguistik, dan
sosiologi bahasa. Modelnya wahyu yang tertuang dalam al-Qur`an dan Sunnah selalu
dikontekstualisasikan oleh nafsu nalar peneliti pada tuntutan zaman, seperti HAM,
demokrasi, kesetaraan gender, liberalisme, sekularisme, dan pluralisme.

Agama Islam Perspektif Barat


Kalangan sarjana Barat yang tidak mau mengakui Islam sebagai agama wahyu
misalnya, G.E. von Grunebaum. Ia menyatakan bahwa Islam adalah sebuah budaya
dan peradaban. Maka dari itu ia meneliti Islam dengan pendekatan antropologi budaya
yang berorientasikan sejarah.4
Wilfred Cantwell Smith memahami Islam sebagai agama, tetapi agama yang
terikat secara historis dengan agama Kristen, Yahudi, dan berbagai peradaban lainnya
yang telah ada sebelumnya di Timur Tengah. Dalam pandangannya, Islam pada
asalnya adalah sebuah kata benda yang menunjuk sebuah aktivitas (verbal noun),
yakni berserah diri dengan komitmen yang sempurna. Baru dalam proses
perkembangan selanjutnya, Islam menjadi sebuah sistem keagamaan.5

3
Penelitian historis itu sebatas menjelaskan Islam di masa dahulu, sekarang, dan yang akan
datang, tetapi dalam hal-hal yang empirisnya semata yang tidak ada kaitannya dengan wahyu, seperti
tentang sejarah umat Islam, fakta keberagamaan umat Islam, sosial kemasyarakatan Islam, pemikiran
tokoh-tokoh Islam, dan semacamnya. Semua penelitian historis-empiris tidak dikaitkan dengan benar
dan salahnya perspektif wahyu (al-Qur`an dan sunnah), sebab wahyu tidak dinilai sebagai inti agama
Islam. Inti agama Islam itu hanya aspek historitasnya semata yang terindera (empiris). Maka dari itu
model studi Islamnya hanya deskriptif saja tanpa menilai benar dan salah berdasarkan wahyu, misal
sejarah Syi‟ah, fakta keberagamaan aliran Mu‟tazilah, model keberagamaan di komplek pelacuran,
perkembangan Jema‟at Ahmadiyah di Kuningan, pemikiran Syahrur tentang legalisasi hubungan seks
non-marital, dan sebagainya.
4
Jacques Waardenburg, Islam Studied as a Symbol and Signification System, dalam Herman
Leonard Beck, Studi Belanda Kontemporer tentang Islam: Lima Contoh, terj. Hersri Setiawan, Jakarta:
INIS, 1993, hlm. 87
5
Wilfred Cantwell Smith, The Meaning and End of Religion, Minneapolis: Fortress Press,
1991, hlm. 111-113. Tidak hanya makna Islam yang didekontsruksi oleh Simth, tetapi juga makna din
menjadi hanya “penyesuaian diri, kepatutan, ketaatan”. Maka dari itu Smith menafsirkan ayat Inna al-
dîn ‘inda Allâh al-Islâm (QS. 3 : 19) dengan: Mengarahkan perilaku sendiri secara sepatutnya (din—
pen) di hadapan Tuhan ialah menerima perintah-perintah-Nya (islam—pen); Cara yang benar dan layak
(din—pen) untuk menyembah Dia ialah patuh kepada-Nya (islam—pen); atau agama sejati (din—pen)
(bukan “agama yang benar”) ialah kepatuhan (islam—pen). Sementara ayat wa man yabtaghi ghaira
al-Islâm dînan fa lan yuqbala minhu (QS. 3 : 85) ditafsirkan Smith: Jika seseorang memilih apapun
lainnya yang bukan serah-diri sebagai suatu norma, itu tidak dapat diterima (Terjemah dikutip dari,
Landung Simatupang, Memburu Makna Agama, hlm. 191-192).
Dalam bukunya tersebut, The Meaning and End of Religion, Smith memang dengan sangat
berani mengemukakan gagasan bahwa “agama” adalah sesuatu yang dianggap oleh orang sebagai nama
3

Tidak jauh berbeda, Charles J. Adams juga menyatakan bahwa Islam adalah
suatu agama yang akan senantiasa berubah dan terus berkembang, baik
pengalamannya dan pengamalannya, seiring dengan perkembangan sejarah itu sendiri
dalam menangkap pesan kenabian.6
Sementara Waardenburg memahami Islam dalam tiga tingkatan, yaitu
pertama, sebagai sebuah agama yang hadir dalam realitas sejarah dan sosial dengan
kaum muslim sebagai pembuat dan yang mempertahankannya; kedua, sebagai
seperangkat norma (agama, moralitas, dan hukum) dari apa disebutnya sebagai "Islam
normatif"; dan ketiga, sebagai sebuah sistem makna sosial yang dikomunikasikan oleh
masyarakat yang satu dengan yang lainnya.7
Wahyu sebagai identitas utama agama Islam juga dipahami oleh sarjana Barat
sebagaimana halnya wahyu dalam agama Kristen, yakni bukan sebagai firman Tuhan
yang utuh diturunkan kepada Nabi, melainkan diinterpretasikan oleh Nabi,
diinterpretasikan juga oleh murid-muridnya, lalu dituliskan sebagai teks manusiawi.
Dalam agama Kristen hal ini memang sudah sejak lama diakui kebenarannya. William
Sanday dari Universitas Oxford sejak tahun 1983 sudah menegaskan bahwa yang
diwahyukan Tuhan itu bukan kalimat-kalimatnya, tetapi inspirasinya yang kemudian
diinterpretasikan oleh penulis-penulis Bibel sehingga menjadi Bibel seperti yang
sekarang.8 Herlianto, seorang pendeta reformis Kristen, Ketua Yayasan Bina Awam,
magister teologi di Princeton, USA (MTh), juga menyatakan hal yang sama. Dalam
wawancara dengan penulis via email pada tanggal 4 Maret 2008 ia mengatakan:
Hermeneutika adalah keniscayaan, artinya semua naskah sastra harus
dimengerti secara hermeneutis, sebab tulisan manusia itu harus
dimengerti dari latar belakang bahasa, budaya, sejarah, maupun tujuan
menulis dan dalam konteks apa tulisan itu berada. Umat Kristen
mempercayai Alkitab sebagai firman Allah bukan dalam pengertian
semua ayatnya diturunkan dari sorga, tetapi firman yang ditulis dengan
ilham Roh Kudus (2 Timotius 3:15-16), untuk inilah diperlukan
hermeneutika untuk mengerti apa sebenarnya berita benar dibalik
keterbatasan manusia dengan sastranya itu.

Dari kalangan pemikir Muslim, Mohammed Arkoun dan Nasr Hamid Abu
Zaid adalah di antara yang menyatakan bahwa wahyu yang diterima oleh Nabi saw itu
tidak kemudian secara utuh dituangkan ke dalam mushhaf al-Qur`an yang ada
sekarang. Menurut Arkoun, al-Qur`an adalah produk sejarah. Ia hanyalah hasil sosial
dan budaya yang dijadikan "tak terpikirkan" disebabkan semata-mata pemaksaan
penguasa resmi. Arkoun menyatakan bahwa wahyu hanya dapat diketahui oleh
manusia melalui "edisi dunia" (editions terrestres) yang telah mengalami modifikasi,

sekumpulan keyakinan-keyakinan yang terorganisir dan terus berkembang dari masa ke masa yang
kemudian disebut “agama”, padahal kenyataannya tidak ada esensinya sama sekali yang bisa dipahami
dengan jelas tanpa perdebatan. Dalam pandangan Smith, dalam setiap “agama” terdapat perkembangan
dan proses yang dapat dicatat dan dikenali yang ia namakan a process of reification (sebuah proses
gradual untuk menegaskan “agama” sebagai suatu entitas yang terorganisir dan positif, dan sebagai
kata benda) yang terjadi selama kurang lebih dua setengah abad lalu, atau masa modern (hlm. 193).
6
Charles J. Adams, Islamic Religious Tradition, dalam Leonard Binder (ed), The Study of
Middle East, New York: John Wiley & Sonns, 1976, hlm. 32-33
7
Jacques Waardenburg, Muslim as Actors, hlm. 30
8
M. Rasjidi, Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution, hlm. 28-19
4

revisi dan substitusi.9 Nasr Hamid menegaskan, al-Qur`an adalah bahasa manusia.
Perubahan teks ilahi menjadi teks manusiawi terjadi sejak turunnya wahyu yang
pertama kali kepada Muhammad.10
Di Indonesia, paham “ketidak-utuhan” wahyu ini dikemukakan oleh
Komaruddin Hidayat. Menurutnya, al-Qur`an haruslah dilihat dari perspektif teologi
dan filsafat linguistik. Sebuah pandangan teologis menyebutkan bahwa al-Qur`an
adalah suci, kebenarannya absolut, berlaku di mana dan kapan saja, sehingga ia tidak
mungkin bisa diubah dan diterjemahkan. Begitu diterjemahkan dan ditafsirkan, maka
ia bukan lagi al-Qur`an, melainkan terjemahan dan tafsiran al-Qur`an. Namun
demikian, menurutnya, dari sudut historis dan filsafat linguistik, pandangan di atas
menimbulkan problem tersendiri. Begitu kalam Tuhan telah membumi dan sekarang
malah menjelma ke dalam teks, maka al-Qur`an tidak bisa mengelak untuk
diperlakukan sebagai objek kajian hermeneutik. Karena umat beragama tidak
berjumpa langsung dengan Tuhan ataupun Malaikat Jibril sebagaimana yang dialami
Rasulullah, melainkan hanya dalam bentuk teks dan tafsiran yang diantarkan pada kita
melalui mata-rantai tradisi. Itu artinya, teks al-Qur`an kemudian memiliki dua
dimensi; sakral dan profan, absolut dan relatif, historis dan metahistoris.11 Tegasnya,
teks al-Qur`an tidak ada bedanya dengan teks-teks lainnya yang bersifat terbuka untuk
digugat dan dikritisi.
Komaruddin juga menjelaskan, al-Qur`an yang telah tersaji saat ini setidaknya
telah melalui dua proses penafsiran. Pertama, penafsiran al-Qur`an yang dilakukan
oleh Jibril dan kemudian didiktekan kepada Muhammad saw. Kedua, penafsiran yang
mungkin terjadi dalam diri Muhammad Rasulullah. Bukankah Muhammad sebuah
sosok pribadi yang cerdas, jujur, amanah (bisa dipercaya), dan bukan sebuah kaset
kosong untuk diisi rekaman? Jadi, ketika menerima wahyu, Muhammad bertindak
aktif memahami, menyerap dan kemudian mengungkapkannya dalam bahasa Arab.
Selain itu, menambahkan penjelasannya melalui hadits.12

Agama Wahyu vs Agama Historis


Pemahaman tentang hakikat agama dan wahyu seperti telah diterangkan di
atas benar jika yang dimaksud adalah agama selain Islam. Tetapi jika ditujukan
kepada agama Islam, penjelasan di atas jelas tidak benar karena tidak objektif. Seperti
dikemukakan Syed Muhammad Naquib al-Attas, para sarjana Barat memang tidak
menemukan lagi cara yang tepat untuk mendefinisikan agama kecuali dalam
pengertian historisitas disebabkan fakta yang mereka temukan dalam agama Kristen
Barat. Meskipun mengklaim sebagai agama yang berdasarkan pada wahyu, banyak
doktrin dalam agama Kristen Barat yang menurut sumber-sumber awal Kristen sendiri
tidak diilhami oleh Tuhan, sebut misalnya Trinitas, Inkarnasi, Penebusan, dan segala
perincian dogma lain yang berkaitan dengannya. Maka dari itu mereka cenderung
memahami bahwa agama adalah bagian dari kebudayaan dan tradisi, yang tercipta

9
Mohammed Arkoun, Rethinking Islam Today dalam Azim Nanji (ed), Mapping Islamic
Studies, hlm. 237.
10
Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhûm al-Nash: Dirâsah fi ‘Ulûm al-Qur`ân, Beirut: al-Markaz al-
Tsaqafi al-„Arabi, 1994, hlm. 24.
11
Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan. Jakarta: Teraju, 2004, Cet. II, hlm. 150.
12
Ibid, hlm. 18-19.
5

dalam sejarah, berevolusi dalam sejarah dan akan selalu mengalami


„perkembangan‟.13
Kerancuan dari status agama Kristen sebagai agama wahyu juga terlihat dalam
hukum yang diadopsinya. Adalah fakta bahwa Kristen tidak memiliki satu hukum
yang diwahyukan (syarî’ah) yang terungkap dalam ajaran, perkataan, dan contoh
perbuatan (yaitu sunnah) Nabi „Isa ‘alahi al-salâm, sehingga ini menjadi petunjuk
penting bahwa Kristen bukan agama wahyu, melainkan agama yang dibentuk manusia
dalam sejarah. Maka dari itu agama Kristen secara berangsur-angsur mengembangkan
sistem ritualnya dengan mengambil dan menyerap kebudayaan dan tradisi lain, di
samping membuat sistem ritualnya sendiri. Secara bertahap ia mulai menjelaskan
prinsip-prinsip agamanya seperti misalnya yang dilakukan di Nicea, Konstantinopel
dan Chalcedon. Karena tidak memiliki hukum yang diwahyukan, maka agama Kristen
mengambil dan menyerap hukum-hukum Romawi. Dan karena tidak adanya
worldview yang mantap yang disajikan wahyunya, maka Kristen harus meminjam
worldview Yunani-Romawi dan kemudian darinya mereka membangun sistem teologi
dan metafisikanya.14
Al-Attas dengan tegas menyatakan penolakannya terhadap pendapat Nathan
Söderblom yang menyatakan bahwa Kristen tetaplah sebagai agama wahyu meski
dengan fakta yang telah diuraikan di atas.15 Dalam pandangan al-Attas, agama wahyu
sejak awal harus melakukan seruan universal dan tidak memerlukan „perkembangan‟
lebih lanjut dalam dirinya dan hukum sakralnya. Agama wahyu itu sejak awalnya
mestilah lengkap dan sempurna untuk memenuhi keperluan umat manusia.16
Hanya Islam, tegas al-Attas, yang layak menyandang predikat sebagai agama
wahyu. Sebab al-Qur`an telah menyatakan, demikian juga sejarah telah membuktikan,
bahwa Islam telah lengkap dan sempurna untuk umat manusia sejak awal mulanya.
Nama Islam dan Muslim diberikan oleh Allah swt melalui wahyu juga dari sejak awal
mulanya. Wahyu itu sendiri—yang sudah diturunkan melalui para Nabi
sebelumnya—disempurnakan dalam masa kehidupan Nabi saw, yang beliau saw
tafsirkan dalam kehidupannya dan hukum sakral yang diajarkannya melalui perkataan
dan contoh perbuatan (sunnah). Zaman dimana Nabi saw hidup dalam sejarah
menjadi patokan bagi zaman kemudian, karena kebenaran dan nilai-nilai yang
menuntunnya, semuanya telah ada pada masa itu. Sehingga Islam dan masa
kehidupan Nabi Muhammad saw selalu sesuai, selalu cukup, selalu „modern‟ atau
baru, selalu mendahului zaman karena ia melampaui sejarah, tidak akan mengalami
„perubahan‟ dan „perkembangan‟ untuk mencari jati diri seperti yang telah dan akan
terus dialami agama Kristen.17
al-Attas juga menegaskan bahwa tradisi intelektual, agama dan budaya Islam
tidak memiliki karakteristik yang suatu zaman dicirikan dengan menangnya sebuah
sistem pemikiran berdasarkan pada materialisme atau idealisme, dengan beragam
posisi seperti empirisisme, rasionalisme, positivisme, kritisisme, dan lain-lain. Ciri-
ciri periode sejarah Islam juga tidak mengenal zaman klasik, pertengahan, modern
dan sekarang berubah lagi kepada pasca-modern; atau juga periode kelahiran kembali

13
Al-Attas, Islam and Secularism, hlm. 26-27.
14
Ibid, hlm. 28-29.
15
Karya tulis Nathan Söderblom yang dimaksud al-Attas adalah The Nature of Revelation,
London, 1933.
16
Ibid, hlm. 29-30.
17
Ibid, hlm. 30-31.
6

(renaissance) dan pencerahan (enlightenment). Paradigma tersebut berubah-ubah


karena bersumber dari unsur-unsur filosofis dan budaya yang dibantu oleh ilmu
pengetahuan saat itu. Sedangkan Islam bukanlah bentuk budaya, dan sistem
pemikirannya serta sistem nilainya bukan semata-mata berasal dari unsur-unsur
budaya dan filosofis yang dibantu sains, tetapi sumber aslinya adalah wahyu yang
didukung oleh akal dan intuisi.18
Jadi, tegas al-Attas, Islam telah 'dewasa' ketika muncul dalam sejarah dunia.
Islam tidak memerlukan proses 'pertumbuhan' kepada kedewasaan. Dengan perkataan
lain, Islam tidak memerlukan progresivitas, perkembangan dan perubahan dalam hal-
hal yang sudah sangat jelas. Apa yang disebut 'perkembangan' dalam tradisi agama
budaya tidak dapat diaplikasikan ke Islam, karena asumsi proses perkembangan
dalam kasus Islam hanyalah proses penafsiran dan penjelasan yang memang harus
terjadi dalam generasi orang-orang beriman yang berbeda negara, dan merujuk
kepada sumber yang tidak berubah.19

Agama Wahyu: Wahyu Utuh dari Langit


Problem “ketidak-utuhan” wahyu itu sendiri, sebagaimana telah menjadi
pendapat umum di kalangan sarjana Barat dan kemudian diadopsi para sarjana
Muslim, menurut M. Quraish Shihab tidak tepat ditujukan pada al-Qur`an. Sebab
semua ulama Islam tidak sulit memahami adanya keutuhan dari sejak kalâm Allah
swt, yang disampaikan Jibril, sampai yang diterima oleh Nabi saw. Semua ulama
Islam sepakat bahwa al-Qur`an yang berada di tangan umat Islam dewasa ini, tidak
berbeda sedikitpun lafazh-nya dengan apa yang disampaikan oleh Malaikat Jibril
kepada Nabi Muhammad saw, tidak juga dengan apa yang dibaca dan disampaikan
oleh Nabi saw kepada umat Islam. Buat ulama Islam, tidak ada lagi kecurigaan
menyangkut teks al-Qur`an. Semuanya otentik, benar, pada tempatnya, dan tidak
berubah, bukan saja karena kepercayaan tentang jaminan Allah (QS. Al-Hijr [15] : 9),
tetapi juga berdasar argumentasi-argumentasi ilmiah dan sejarah. Para orientalis yang
objektif pun mengakui otentisitas al-Qur`an.20
Kecurigaan akan “ketidak-utuhan” wahyu itu, menurut Quraish Shihab tepat
ditujukan pada Bibel. Sebab Bibel menghadapi kritik sejarah karena kandungannya
ada yang dinilai bertolak belakang dan sulit diselesaikan. Penulisannya pun terjadi
jauh sesudah “kepergian Isa as.”. Bahkan indikator—kalau enggan berkata bukti-
bukti—tentang ketidakasliannya sedemikian banyak sehingga mengundang
kecurigaan akan “ketidak-utuhan”-nya.21
Dalam konteks wahyu yang berwujud sunnah, adanya interpretasi atas wahyu
dari Nabi Muhammad saw sebagaimana disinggung oleh para sarjana Barat di atas,
mungkin bisa dibenarkan. Dalam artian sunnah bukan wahyu yang secara lafazh
diturunkan Allah swt secara utuh, melainkan maknanya sampai kepada Nabi saw, lalu

18
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An exposition
of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam, Kuala Lumpur: ISTAC, 1995, hlm. 3-4.
19
Ibid.
20
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an Jilid 2, Tangerang: Lentera Hati, 2011, hlm.
557-558.
21
Ibid.
7

beliau mengungkapkannya kepada umat Islam dengan bahasanya sendiri.22 Meski


demikian, bukan berarti sunnah itu tunduk pada sejarah, ia tetap saja melampaui
sejarah, sebab sunnah tetap berada dalam pengawasan Allah swt dimana Nabi saw
tidak mungkin mengubah maknanya, mengalihkan maksudnya, apalagi
menyimpangkannya. Al-Qur`an sendiri sudah menegaskan hal ini dalam surat Al-
Najm [53] ayat 3-4: Dan tiadalah yang diucapkannya menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
Ketika „Abdullah ibn „Amr mengadukan kepada Nabi saw perihal teguran beberapa
shahabat atas kebiasaannya menuliskan semua yang disabdakan Nabi saw, beliau
dengan tegas menyatakan sambil berisyarat pada mulutnya: "Tulislah, demi jiwaku
yang ada di tangan-Nya, tidaklah keluar darinya (mulut ini) kecuali kebenaran."23
Maka dari itu, ketaatan kepada Nabi saw mutlak semutlak ketaatan kepada al-Qur`an
itu sendiri, berlaku di mana saja, kapan saja, tanpa terikat oleh periode sejarah
tertentu.24

22
Perbedaan wujud wahyu antara al-Qur`an dan sunnah ini sudah menjadi kesepakatan bulat
di kalangan para ulama Islam. Rujuk misalnya Manna‟ Khalil al-Qaththan, Mabâhits fî ‘Ulûm al-
Qur`ân, hlm. 20-21.
23
Sunan Abi Dawud kitab al-'ilm bab fi kitabatil-'ilm no. 3648
24
QS. an-Nisa [4] : 59-60, 69, 80, dan al-Anfal [8] : 20.

Anda mungkin juga menyukai