Anda di halaman 1dari 5

Nama : Riski Sastri Utami

NPM : 2106723666
Fakultas : MIPA
Kelas : 10
Mata kuliah : MPK Agama Islam
Nama Dosen : Muhammad Nur Hayid, M.M.

LTM 3 – Hadits sebagai Pedoman Hidup


Setelah al-Qur’an, hadis adalah sumber kedua yang menjadi rujukan ajaran
Islam. Al-Qur’an banyak memberikan petunjuk secara global. Hadislah kemudian
yang menerangkannya (Bayanut Tafsir) dan merincinya (Bayanut Tafshil).
3.1 Kedudukan Hadis
Hadis mempunyai kedudukan sebagai sumber ajaran Islam yang kedua
setelah al-Qur’an. Meskipun sama pentingnya dengan al-Qur’an sebagai pedoman
hidup seorang muslim, namun hadis berbeda dengan al-Qur’an. Wahbah al-
Zuhaili menegaskan bahwa perbedaan keduanya terletak pada sumber lafadznya
di mana lafadz al-Qur’an langsung berasal dari Allah (Matlu), sedangkan hadis
tidak (Ghairu Matlu). Menurut Subhi ash Shalih perbedaan keduanya terletak
pada proses periwayatannya di mana periwayatan seluruh ayat al-Qur’an
dilakukan oleh orang banyak sehingga mustahil mengandung dusta (Mutawatir),
sedangkan tidak seluruh periwayatan hadis dilakukan secara demikian. Sumber
utama proses periwayatan al-Qur’an bukanlah catatan dalam bentuk tulisan (as-
Suthur) melainkan hafalan di dada (Ash-Shudur). Periwayatan hadis tidak
mencapai tingkatan tersebut, melainkan hanya sangat diduga kuat (Dzonniyyul
Wurud) berasal dari Rasulullah Saw. Sejarah penulisan hadis diwarnai dengan
proses verifikasi yang sangat ketat sehingga muncul tingkatan kualitas sesuatu
sebagai sebuah hadis, mulai dari kuat (Shahih), sedang (Hasan), lemah (Dlaif),
bahkan palsu (Maudlu’). pengingkaran pada hadis palsu (Maudlu’) sebagai sebuah
hadis adalah wajib karena ia sesungguhnya bukan hadis. Fakta ini menunjukkan
pentingnya bersikap sangat hati-hati dalam menerima sesuatu sebagai sebuah
hadis sehingga penting mengetahui pengertian, proses verifikasi, dan cara
memahami hadis.
3.2 Pengertian Hadis dan Sunnah
Secara bahasa, kata hadis mempunyai beberapa arti, yaitu baru (jadid)
sebagai lawan kata lama (qadim), dekat (qarib) (dekat) sebagai lawan kata jauh
(ba’id) 25. Kata hadis juga bisa berarti berita (khabar). Kata sunnah secara bahasa
berarti jalan atau kebiasaan baik maupun jelek. Secara istilah, kata hadis
mempunyai pengertian dengan cakupan khusus dan umum. Pada pengertian
khusus, hadis didefinisikan sebagai perkataan (aqwal), perbuatan (af’al),
persetujuan (taqrir), dan sifat yang disandarkan pada Nabi Saw. ang diutus oleh
Allah Swt sebagai Rasulullah hanyalah Nabi. Ulama Fiqh juga menggunakan
istilah sunnah dalam pengertian yang serupa dengan hadis, namun menggunakan
juga sebagai istilah salah satu status hukum perbuatan manusia. Sunnah dalam hal
ini berarti perbuatan yang jika dilakukan mendapat pahala, namun jika
ditinggalkan tidak apa-apa. Rasulullah Saw. sebetulnya menggunakan kata sunnah
sebagai sumber kedua ajaran Islam setelah al-Qur’an saat memberikan pesan
penting dalam sabdanya: “Aku tinggalkan dua hal yang jika kalian berpegang
teguh pada keduanya, niscaya kalian tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.” (HR. Al-Hakim). Sunnah Nabi adalah
peristiwa, sedangkan hadis adalah riwayat atau laporan atau cerita tentangnya.
Sunnah Nabi sebagai sebuah peristiwa adalah tunggal sehingga tidak memiliki
banyak versi dan tingkatan kualitas sunnah juga tidak dikenal. Sebaliknya sebagai
sebuah riwayat atau laporan atau cerita tentang sebuah peristiwa, hadis sangat
tergantung pada periwayat atau pelapornya sehingga satu sabda atau perbuatan
Nabi yang sama bisa melahirkan banyak riwayat hadis, bahkan yang bertentangan
satu sama lain. Periwayatan atas sunnah atau yang disebut dengan hadis ini tentu
saja tergantung pada pengetahuan para periwayat atas sebuah peristiwa,
kemampuan memahami dan mengingatnya, dan sebesar apa ia bisa dipercaya.
Semua faktor ini melahirkan tingkatan kualitas sebuah hadis.
Iman kita kepada nabi Muhammad Saw sebagai Rasulullah, keyakinan kita pada
Sunnah Nabi sebagai pedoman hidup seorang Muslim, dan pentingnya hadis
sebagai sumber informasi tentang sunnah, tidak menghalangi pentingnya seorang
Muslim bersikap hati-hati dalam menyikapi sesuatu sebagai sebuah hadis. Bahkan
ulama pun sudah sangat hati-hati dalam melakukan verifikasi ketat untuk
menetapkan sesuatu sebagai sebuah hadis.
3.3 Sejarah Singkat Ilmu Hadis
Setelah Nabi Muhammad wafat, Islam tersebar luas hingga keluar Jazirah Arab.
Bangsa-bangsa non Arab banyak yang memeluk Islam. Bersamaan dengan itu,
Para sahabat nabi pun ikut berpencar sebagai konsekuensi dari penyebaran agama
Islam. Wafatnya Nabi Muhammad juga berdampak pada berubahnya politik umat
Islam. Abu Bakr yang menggantikan Nabi Muhammad sebagai pemimpin negara
menghadapi persoalan legitimasi dari kabilah-kabilah Arab, Abu Bakr juga hadapi
kampanye kenabian palsu dari Musailamah al-Kazzab. Dalam waktu yang tidak
begitu lama, Abu Bakr berhasil menuntaskan persoalan tersebut. Setelah Abu
Bakr wafat, pemerintahan dilanjutkan oleh Umar ibn al-Khatthab.
Era pemerintahan Umar era yang ideal. Selama 10 tahun menjalankan
Pemerintahan, Umar wafat. Roda pemerintahan Islam kemudian dijalankan oleh
Usman ibnu Affan, masa pemerintahan Usman merupakan awal dari disharmoni
kehidupan politik umat Islam. Sebab disharmoni itu adalah praktik nepotisme
yang dilakukan oleh Khalifah Usman bin Affan, di dalam mengangkat pejabat-
pejabat publik. Situasi disharmoni itu tidak dapat diselesaikan oleh Usman
sehingga pada akhirnya ia dibunuh oleh massa yang tidak puas terhadap
pemerintahannya. Ali bin Abu Thalib tampil menggantikan Usman setelah massa
pemberontakan memaksanya melakukan baiat. Keluarga besar Usman ibn Affan
tidak bisa begitu saja menerima kepemimpinan Ali sebagai kepala pemerintahan.
Naiknya Ali menjadi khalifah dianggap tidak legitimate karena tidak melalui
prosedur sebagaimana yang telah dilalui oleh tiga khalifah sebelumnya. Tidak
sampai di situ, keluarga besar Usman ibn Affan bahkan mencurigai Ali sebagai
inisiator aksi massa yang menewaskan Khalifah Usman. Masa terpecahnya
pemerintahan Islam menjadi pemerintahan Ali ibn Abu Thalib dan pemerintahan
Muawiyah ibn Abu Sufyan (tahun 40 Hijriyyah) dikatakan sebagai masa pertama
beredarnya hadis-hadis palsu yang dihubung-hubungkan dengan situasi politik
yang berkembang. Hadis-hadis palsu itu memuat sanjungan terhadap tokoh politik
yang didukung, dan celaan terhadap tokoh yang menjadi lawan politiknya.
Persoalan politik bukan satu-satunya pemicu kemunculan hadis-hadis palsu. Para
ulama hadis menyebut di antara sebab lain munculnya pemalsuan hadis adalah
keinginan untuk meraih popularitas di hadapan khalayak. Ilmu hadis itu,
menyeleksi hadis-hadis yang bertebaran di masyarakat. Al-Bukhari dianggap ikon
di dalam upaya pelestarian hadis-hadis Nabi tersebut. Karyanya di dalam
pengumpulan hadis yang diberi judul al-Jami’ al-Shahih atau yang lebih dikenal
dengan nama Shahih al-Bukhari. Ulama yang juga melakukan upaya pelestarian
hadis melalui karya-karyanya adalah Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa’i,
Ibnu Majah, dan masih banyak lagi. Di kalangan Syi’ah juga dilakukan upaya
pengumpulan dan kodifikasi hadis-hadis Nabi Muhammad. Istilah hadis di
kalangan Syi’ah tidak saja terbatas pada ucapan Nabi Muhammad tapi juga
ucapan-ucapan dari anggota keluarga Nabi yang dianggap suci. Metodologi
pengumpulan hadis kalangan Syiah adalah penetapan kualifikasi hadis, yang
dibagi menjadi; shahih (valid), hasan (baik), muwatstsaq (terpercaya), qawiy
(kuat), dan dhaif (lemah).
3.4 Proses Verifikasi Hadis
Ada Sunnah Nabi yang menjadi pengetahuan kolektif Muslim dari generasi ke
generasi, ada pula yang diketahui secara perorangan. Demikian pula meskipun
pada masa-masa awal penulisan hadis tidak dapat dukungan karena al-Qur’an
masih dalam masa pewahyuan yang dilanjutkan dengan proses kodifikasi hingga
selesai pada masa Khalifah ketiga, yaitu Usman bin Affan Ra. Langkah pertama
pembuktian adalah apakah sebuah riwayat bisa dibuktikan sebagai ucapan,
perbuatan, atau ketetapan Rasulullah Saw atau tidak. Jika ada seseorang
meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw mengatakan sesuatu, maka ia hanya akan
dianggap hadis adalah jika sesuatu itu benar-benar dari Rasulullah. Setelah bisa
dibuktikan, maka langkah pembuktian berikutnya adalah menyangkut isi riwayat,
yakni apakah apakah bisa dipertanggungjawabkan sebagai bagian dari ajaran
Islam atau tidak. Jadi, kualitas hadis diuji melalui dua jalur sekaligus, yaitu
verifikasi rangkaian periwayat hadis (Naqdus Sanad) dan isi hadis (Naqdul
Matni). Syarat rangkaian periwayat (Sanad) dinilai berkualitas setidaknya ada
lima. Pertama, sanadnya bersambung (Ittishalus Sanad), yakni setiap periwayat
dari periwayat pertama yang menyaksikan Sunnah Nabi sampai dengan periwayat
terakhir yang menceriatakan sebuah hadis dipastikan mungkin menerima langsung
dari periwayat sebelumnya). 32 Kedua, masing-masing periwayat bersifat dikenal
sebagai orang yang jujur, menjaga diri dari dosa besar dan kecil, serta
menghindari hal-hal mubah yang merusak reputasinya (adil). 33 Ketiga, setiap
periwayat juga mesti dikenal sebagai orang yang kuat hafalannya atas apa yang
didengar dan bisa menyampaikan kapan saja diperlukan secara konsisten
(dlabith). 34 Keempat, terhindar dari hal-hal yang menyebabkan kesangsian
(adamusy syadz), misalnya para periwayat tidak menceritakan hadis yang
bertentangan dengan periwayat lain yang reputasinya lebih tinggi. Kelima,
terhindar dari kecacatan yang samar (adamul illat), tidak mengandung cacat yang
secara kasat mata tidak terlihat namun saat diteliti lebih dalam ternyata ada.
Verifikasi tahap kedua menyangkut isi hadis (Naqdul Matni). Verifikasi isi sebuah
hadis sebetulnya sudah dilakukan sejak zaman Sahabat Nabi. Salah satu sahabat
yang kerap melakukan hal ini adalah Aisyah Ra dengan menggunakan ayat al-
Qur’an maupun pengalaman pribadinya sebagai istri Rasulullah Saw.
3.5 Memahami Hadis
Sebuah hadis yang berkualitas secara rangkaian perawinya (Sanad), masih
memerlukan verifikasi secara isi (Matan) agar berkualitas dalam kedua aspeknya.
Setelah secara isi juga terbukti kuat, maka tahap berikutnya adalah pemahaman
atas hadis yang juga mesti dilakukan secara hati-hati agar sesuai dengan misi
Islam. Prinsip dasar dalam memahami sebuah hadis adalah keharusan sejalan
dengan misi Islam dan al-Qur’an yaitu mewujudkan anugerah bagi semesta
sehingga mencerminkan kepasrahan hanya kepada Allah (Islam) dengan hanya
memberikan kepasrahan pada nilai kebaikan bersama, baik sesama manusia
maupun makhluk Allah. Pesan-pesan dalam hadis, sebagaimana pesan al-Qur’an
terdiri dari dua jenis, yaitu pesan Tauhid dan prinsip kebajikan universal yang
bersifat lintas masa dan tempat (Shalihun likulli Zaman wa Makan) dan pesan
kontekstual yang terkait erat dengan situasi sosial yang langsung dihadapi oleh
Rasululllah Saw. ketika itu. Semua petunjuk kontekstual ini tentu saja dijiwai dan
dalam rangka menerapkan pesan-pesan Tauhid dan kebajikan universal dengan
mempertimbangkan keterbatasan dan tantangan yang ada pada masa tersebut. Ada
dua pendekatan yang bisa dipertimbangkan dalam memahami sebuah hadis agar
tetap sejalan dengan misi Islam. Pertama, pemahaman tekstual yakni hanya
mempertimbangkan teksnya semata tanpa melihat dalam kondisi seperti apa
sebuah hadis muncul. Kedua, pendekatan kontekstual. Konsep ini mengingatkan
pentingnya konteks sosial spesifik sebuah hadis agar pesan inti hadis tidak
bertentangan dengan misi Tauhid dan kerahmatan semesta. Pangkal dari
disharmoni itu adalah problem legitimasi normatif kepemimpinan yang dijalankan
pasca Nabi. Dalam hal ini, umat Islam terbagi ke dalam dua pandangan; pertama
kelompok yang berpendapat bahwa kepemimpinan harus berdasarkan kepada nash
(teks). Kedua, kelompok yang berpendapat bahwa kepemimpinan merupakan
bagian dari ijtihad. Kelompok pertama, diidentifikasi sebagai kelompok Syiah
yang meyakini bahwa ada penunjukan langsung dari Nabi Muhammad kepada Ali
untuk menggantikannya sebagai pemimpin umat. Sedangkan kelompok kedua,
diidentifikasi sebagai kelompok Ahl ulSunnah yang menganggap bahwa tidak ada
penunjukan secara jelas kepada Nabi mengenai kepemimpinan setelah beliau
wafat. Kontekstualisasi terhadap hadis itu—dan juga al-Qur’an—yang mendorong
munculnya ilmu fikih dan ushul fikih di dalam khasanah pemikiran Islam. Di
antara upaya kontekstualisasi hadis yang dilakukan oleh para ulama, adalah
dengan menulis karya-karya yang berisi penjelasan terhadap hadis. Tidak kurang
dari 40 karya diterbitkan untuk menjelaskan hadis-hadis yang dihimpun di dalam
Shahih al-Bukhari. Di antara 40 karya itu, karya Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath ul-
Bari, merupakan karya yang paling dikenal.
3.6 Kaidah Memahami Hadis
Para ulama telah merumuskan satu bahasan yang diberi nama ilmu ma’anil hadits.
Abdul Majid Khon mendefinisikan ilmu ini sebagai ilmu yang mempelajari cara
memahami makna matan (isi) hadis, ragam redaksi, dan konteksnya secara
komprehensif, baik dari segi makna yang tersurat maupun makna yang tersirat.
Ilmu ma’anil hadits juga dikenal sebagai ilmu fikih hadis, yaitu ilmu yang
mempelajari proses memahami dan menyingkap makna kandungan sebuah hadis.
Ada dua metode di dalam memahami hadis Nabi Muhammad; metode tekstual
dan metode kontekstual. Metode tekstual adalah metode memahami hadis
menurut yang tertulis secara verbatim tanpa mengaitkannya dengan situasi ketika
hadis itu disampaikan. Sedangkan metode kontekstual adalah metode memahami
hadis dengan mengaitkan antara teks dengan situasi yang terjadi ketika hadits
Nabi disampaikan. Abdul Majid Khon membagi lagi metode kontekstual menjadi;
konteks internal dan konteks eksternal. Yang dimaksud dengan konteks internal
adalah pemahaman terhadap gaya bahasa dan semiotika yang termuat di dalam
redaksi hadis. Sedangkan konteks eksternal adalah pemahaman terhadap audiens,
kultur serta masalah yang menjadi sebab munculnya sebuah hadis.

Anda mungkin juga menyukai