Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
As Sunnah (hadis Nabi saw.) merupakan penafsiran al-Quran dalam praktik atau
penerapan ajaran Islam secara factual dan ideal. Hal ini mengingat bahwa pribadi Nabi
saw. merupakan perwujudan dari al-Quran yang ditafsirkan untuk manusia, serta ajaran
Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari.
Akan tetapi, sejak pertengahan abad ke-19, definisi otoritas Rasulullah menjadi
masalah penting bagi para pemikir Muslim. Karena abad ini merupakan periode ketika
hegemoni barat yang berkaitan dengan kelemahan politik dan agama telah menciptakan
dorongan kuat diadakannya reformasi.
Sunnah Nabi yang suci ini telah menghadapi berbagai macam serangan dari para
kaum orientalis dengan beragam aksi yang mereka lakukan untuk menghancurkan esensi
hadis Nabi itu sendiri.
Sejak saat itu juga, para pemikir Muslim menghadapi banyak tantangan terhadap
gagasan Islam klasik tentang otoritas keagamaan (baca: hadis). Pergolakan di dunia
Muslim telah mendorong meluasnya pengujian kembali sumber-sumber klasik hukum
Islam karena orang Muslim telah berjuang untuk memelihara, menyesuaikan, atau
mendefinisikan kembali norma-norma sosial dan hukum dalam menghadapi kondisi
yang berubah.
Isu sentral dalam perjuangan yang terus berlangsung ini adalah masalah hakekat,
status, dan otoritas sunnah (contoh-contoh normatif Nabi Muhammad saw.). karena
status Nabi Muhammad sebagai utusan Allah, perkataan dan perbuatannya diterima
oleh sebagian besar Muslim sebagai sebuah sumber hukum kedua setelah al-Quran.
Menurut al-Qardhawi as-Sunnah adalah perkataan, perbuatan dan persetujuan
Nabi saw., di samping itu as-Sunnah juga merupakan sumber kedua dalam Islam di
bidang tasyri dan dakwah (tuntunan) nya.
Bersama al-Quran, hadis menjadi point yang sensitif dalam kesadaran spiritual
maupun intelektual muslim. Tidak saja karena ia menjadi sumber pokok ajaran Islam,
tetapi juga sebagai tambang informasi bagi pembentukan budaya Islam, terutama sekali
historiografi Islam yang cukup banyak merujuk pada hadis-hadis. Hadis menjadi
1

semakin krusial ketika makin banyaknya masalah yang muncul, sementera Nabi dan
sahabat telah banyak yang wafat. Ketika Nabi masih hidup persoalan dapat dipecahkan
dengan otoritas al-Quran atau Nabi Muhammad sendiri. Demikian pula pada masa
sahabat, masyarakat dapat melihat praktek nabi yang dijalankan para sahabat. Tetapi
setelah itu berbagai informasi tentang nabi menjadi sangat penting bagi kaum muslim.
Itu sebabnya belakangan sangat banyak sekali muncul literatur hadis dalam berbagai
bentuk dan jenisnya dengan muatan hadis-hadis yang cukup beragam.
Dengan demikian, hadis-hadis Nabi saw. haruslah dipahami secara benar dan
tepat. Namun, karena banyaknya serangan-serangan yang dilakukan oleh orang-orang
Barat, maka banyak dari kalangan Muslim yang mulai berbeda pendapat dalam
memaknai dan memahami hadis-hadis itu sendiri.
Dari uraian di atas, al-Qardhawi ingin membawa umat Islam untuk dapat
memahami hadis secara benar dan tepat. Dalam makalah ini akan penulis jelaskan
tentang cara-cara atau metode yang diberikan oleh al-Qardhawi dalam memahami hadis
secara benar dan tepat.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat dan Latar Belakang Pendidikan Yusuf Qardhawi
Nama lengkapnya adalah Yusuf Al-Qardhawi, Beliau dilahirkan di desa Shaft
Turab di tengah Delta Sungai Nil, daerah Mahallah al-Kubra, Republik Arab Mesir,
pada tanggal 9 September 1926. Ayahnya bernama Abdullah, Yusuf Qardhawi hanya
dua tahun bersama ayahnya, karena ayahnya dipanggil oleh Allah.
Pelajaran yang pertama kali ditekuninya adalah al-Quran. Pada usia sepuluh
tahun, ia sudah hafal al-Quran dan dengan bacaan yang sangat baik. Dengan
keahliannya itu ia dijadikan imam salat lima waktu di desa dan pada usia yang sangat
muda.1
Pendidikan formalnya ditempuh di al-Azhar Mesir, kecuali tingkat Aliyah, ia
tempuh di Mahad al-Buhus wa la-Dirasah al-Arbiyat al-Aliyah, sehingga
mendapatkan hijaza diploma tinggi dalam bidang bahasa dan sastra Arab. Namun,
keahliannya yang menonjol adalah dalam bidang keushuluddinan (aqidah, tafsir, dan
hadis). Hal itu didukung oleh pelajarannya di Fakultas Ushuluddin, yang diselesaikan
pada tahun 1960.2

B. Hadis Dalam Pandangan Yusuf Qardhawi


Di antara para pemikir kontemporer, al-Qardhawi memberikan penjelasan yang
luas tentang bagaimana pemikirannya tentang hadis yang dikembangkan menjadi
metode sistematis untuk menilai otentisitas hadis. Menurut al-Qardhawi, sunnah nabi
mempunyai 3 karakteristik, yaitu komprehensif (manhaj syumul), seimbang (manhaj
mutawazzun), dan memudahkan (manhaj muyassar). Ketiga karakteristik ini akan
mendatangkan pemahaman yang utuh terhadap suatu hadis.3

Isam Talimah, Manhaj Fiqh Yusuf al-Qardhawi (terj) Samson Rahman (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2001), hal. 3.
2
Ibid, hal, 4.
3
Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, (Bandung: Karisma, 1999), hal. 92.

Atas dasar inilah maka al-Qardhawi menetapkan tiga hal juga yang harus
dihindari dalam berinteraksi dengan sunnah, yaitu pertama, penyimpangan kaum
ekstrim; kedua, manipulasi orang-orang sesat, (intihal al-mubthilin), yaitu pemalsuan
terhadap ajaran-ajaran Islam, dengan membuat berbagai macam bidah yang jelas
bertentangan dengan akidah dan syariah; ketiga, penafsiran orang-orang bodoh (tawil
al-jahilin). Oleh sebab itu, pemahaman yang tepat terhadap sunnah adalah mengambil
sikap moderat (wasathiya), yaitu tidak berlebihan atau ekstrim, tidak menjadi kelompok
sesat, dan tidak menjadi kelompok yang bodoh.
Adapun prinsip-prinsip dalam berinteraksi dengan as-Sunnah, adalah sebagai
berikut:

1. Meneliti dengan seksama tentang ke-shahih-an hadis yang dimaksud


sesuai dengan acuan ilmiah yang telah ditetapkan oleh para pakar hadis
yang dipercaya. Yakni yang meliputi sanad dan matannya, baik yang
berupa ucapan Nabi saw., perbuatannya, ataupun persetujuannya.

2. Dapat memahami dengan benar nash-nash yang berasal dari Nabi saw.
sesuai dengan pengertian bahasa (Arab) dan dalam rangka konteks hadis
tersebut serta sebab wurud (diucapkannya) oleh beliau. Juga dalam
kaitannya dengan nash-nash al-Quran dan Sunnah yang lain, dan dalam
kerangka prinsip-prinsip umum serta tujuan-tujuan universal Islam. Semua
itu, tanpa mengabaikan keharusan memilah antara hadis yang diucapkan
demi penyampaian risalah (misi Nabi saw.), dan yang bukan untuk itu.
Atau dengan kata lain, antara Sunnah yang dimaksudkan untuk tasyri
(penetapan hukum agama) dan yang bukan untuk itu. Dan juga antara
tasyri yang memiliki sifat umum dan permanent, dengan yang bersifat
khusus atau sementara. Sebab,di antara penyakit terburuk dalam
pemahaman sunnah, adalah pencampuradukan antara bagian yang satu
dengan bagian yang lainnya.

3. Memastikan bahwa nash tersebut tidak bertentangan dengan nash lainnya


yang lebih kuat kedudukannya, baik yang berasal dari al-Quran, atau
hadis-hadis lain yang lebih banyak jumlahnya, atau lebih shahih darinya,
atau lebih sejalan dengan ushul. Dan juga tidak dianggap berlawanan

dengan nash yang lebih layak dengan hikmah tasyri, atau pelbagai tujuan
umum syariat yang dinilai telah mencapai tingkat qathiy karena
disimpulkan bukan hanya dari satu atau dua nash saja, tetapi dari
sekumpulan nash yang setelah digabungkan satu sama lain mendatangkan
keyakinan serta kepastian tentang tsubutnya (atau keberadaanynya sebagai
nash).4
As-Sunnah adalah sumber kedua dalam Islam di bidang tasyri dan dakwah
(tuntunan) nya. Para ahli fiqh merujuk kepadanya untuk menyimpulkan hukum-hukum,
sebagaimana para ahli dakwah dan tarbiyah merujuk kepadanya untuk menggali
makna-makna yang mengilhami, nilai-nilai yang mengarahkan, serta hikmah-hikmah
yang merasuk ke dalam sanubari manusia. Demikian pula untuk mencari cara-cara
efektif dalam rangka menganjurkan perbuatan kebaikan dan mencegah kejahatan.
Berbicara mengenai hadis sebagai sumber ajaran agama (hukum) berarti kita
harus meletakkan hadis dalam kerangka diskursus ushul fiqh. Menurut ulama ushul fiqh
hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw.

baik ucapan,

perbuatan, maupun ketetapan yang dapat dijadikan dalil hukum shara. Dari sini dapat
dilihat bahwa ulama ushul menempatkan Nabi Muhammad saw. sebagai musyarri.
Oleh karena itu, produk hadis ditempatkan sebagai sumber hukum Islam setelah alQuran. Penempatan hadis sebagai sumber hukum Islam tersebut, didasarkan pada
beberapa dalil al-Quran, di antaranya terdapat dalam QS. al-Nisa: 59 berikut:





Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika
kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-

Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis, hal. 26-27.

benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. Al-Nisa: 59)
Dalil yang semakna juga dapat ditemukan dalam QS al-Nisa ayat
80, yaitu sebagai berikut:



Artinya: Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia
telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan
itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi
mereka. (QS. Al-Nisa: 80)
Kedua

ayat

tersebut,

setidaknya

mengisyaratkan

adanya

perintah kepada orang-orang yang beriman, untuk taat kepada Allah


dan Rasul yang berarti taat kepada al-Quran dan hadis. 5 Seseorang
dikatakan taat kepada Allah kalau dia juga taat kepada RasulNya,
dan demikian pula sebaliknya.

C. Metode Pemahaman Hadis Yusuf Qardhawi


1. Memahami Hadis Sesuai dengan Petunjuk al-Quran
Untuk memahami sunnah dengan baik, jauh dari penyimpangan, pemalsuan, dan
penakwilan yang keliru, kita harus memahaminya sesuai dengan petunjuk al-Quran,
yaitu dalam bingkai tuntunan-tuntunan Illahi yang kebenaran dan keadilannya bersifat
pasti, seperti yang dijelaskan di dalam surat al-Anaam ayat 115, yakni sebagai berikut:



Dan telah sempurnalah kalimat Tuhanmu, dalam kebenaran dan keadilannya.
Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-Nya dan Dia-lah Yang Maha
Mendengar Lagi Maha Mengetahui (Al-Anam: 115).
Al-Quran adalah roh eksistensi Islam dan asas bangunannya. Ia adalah konstitusi
Illahi yang menjadi rujukan bagi setiap perundang-undangan dalam Islam. Adapun

Abd al-Wahab Khallaf, Ushul al-Fiqh (Kairo: Maktabah al-Dawah al-Islamiyah, 1990), hal. 21.

sunnha Nabi adalah penjelasan terinci bagi konstitusi tersebut, baik secara teoritis
maupun praktis.
Sedangkan As-Sunnah adalah penjelasan terinci tentang isi konstitusi tersebut,
baik dalam hal-hal yang bersifat teoritis ataupun penerapannya secara praktis. Itulah
tugas Rasulullah saw., menjelaskan bagi manusia apa yang diturunkan kepada
mereka.
Tugas seorang Rasul adalah menjelaskan kepada manusia risalah yang diturunkan
untuk mereka. Oleh karena itu, tidak mungkin sebuah penjelasan bertentangan
dengan apa yang hendak dijelaskan atau sebuah cabang tidak mungkin
bertentangan dengan pokok. Penjelasan Nabi senantiasa berkisar pada al-Quran dan
tidak pernah melampauinya. Oleh sebab itu, tidak ada sunnah yang shahih yang
bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran yang muhkamat keterangan-keterangannya
yang jelas.6
Jika sebagian orang menganggap adanya pertentangan, hal ini
disebabkan karena hadisnya tidak shahih atau pemahaman kita yang
tidak benar atau tidak sesuai dengan maksud hadits tersebut, dan
pertentangan tersebut bersifat semu, bukan pertentangan yang
hakiki. Ini berarti bahwa sunnah harus dipahami dalam konteks alQuran.
Seperti dalam hadist :
Syaawiruu hunna wa khaliquu hunna (Bermusyawarahlah
bersama

mereka,

tetapi

janganlah

mengikuti

[hasil

musyawarahnya]), hadits ini adalah merupakan hadits palsu, karena


bertentangan dengan firman Allah tentang sikap kedua orangtua
terhadap anaknya yang masih menyusu, yaitu sebagai berikut:

Yusuf Al-Qardhawi, Pengantar Studi Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal. 153





Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,
Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi
Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun
berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan
kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika
kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila
kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah
dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
Sudah dijelaskan di atas, bahwa apabila dalam menghadapi perbedaan
pemahaman dalam menyimpulkan makna-makna hadits, maka kita harus dapat
memahami dengan cara yang baik dan benar adalah dengan melihat makna hadits yang
didukung oleh al-Quran, karena isi hadits (cabang) sebagai penjelas al-Quran tidak
akan mengandung makna yang berbeda dengan al-Quran (pokok) sebagai sesuatu yang
dijelaskan.

2. Menghimpun Hadis-hadis yang Terjalin dalam Tema yang


Sama
Untuk

memahami

sunnah

Nabi

dengan

baik,

kita

harus

menghimpun hadis-hadis yang bertema sama. Hadis-hadis yang


mutasyabih dikembalikan kepada yang muhkam, yang mutlaq
dihubungkan dengan yang muqayyad, dan yang am ditafsirkan
dengan yang khas. Dengan demikian, makna yang dimaksud akan
semakin jelas dan satu sama lain tidak boleh dipertentangkan.
7

Yusuf al-Qardhawi, Pengantar Studi.hal. 171

Sebagaimana yang sudah disepakati, sunnah berfungsi sebagai


penafsir dan penjelas al-Quran. Artinya, sunnah memerinci ayat-ayat
yang global, menjelaskan yang masih samar, mengkhususkan yang
masih umum, dan membatasi yang mutlak. Dengan demikian,
ketentuan-ketentuan tersebut harus diterapkan dalam memahami
hadis yang satu dengan yang lainnya.
Mencukupkan diri dengan pengertian lahiriah suatu hadis saja
tanpa memperhatikan hadis-hadis lainnya, dan nas-nas lain yang
berkaitan dengan topik tertentu seringkali menjerumuskan orang ke
dalam kesalahan, dan menjauhkannya dari kebenaran mengenai
maksud sebenarnya dari konteks hadis tersebut.8
Sebagai misal, hadis-hadis yang berkenaan dengan larangan
mengenakan

sarung

sampai

di

bawah

mata

kaki,

yang

mengandung ancaman cukup keras terhadap pelakunya. Yaitu hadishadis yang dijadikan sandaran oleh sejumlah pemuda yang amat
bersemangat, untuk menunjukkan kritik yang tajam terhadap siapasiapa yang tidak memendekkan tsaub (baju gamis)nya sehingga di
atas mata kaki. Sedemikian bersemangatnya mereka, sehingga
hampir-hampir

menjadikan

masalah

memendekkan

tsaub

ini,

sebagai syiar Islam terpenting, atau kewajibannya yang mahaagung.


Dan apabila menyaksikan seorang alim atau dai Muslim yang tidak
memendekkan

tsaubnya,

seperti

yang

mereka

sendiri

melakukannya, maka mereka akan mencibirnya, dalam hati, atau


adakalanya menuduhnya secara terang-terangan sebagai seorang
yang kurang beragama!
Padahal, seandainya mereka mau mengkaji sejumlah hadis yang
berkenaan dengan masalah ini, lalu menghimpun antara yang satu
dengan yang lainnya, sesuai dengan tuntutan agama Islam kepada
para pengikutnya dalam soal-soal yang menyangkut kebiasaan hidup
8

Yusuf Al-Qardhawi, Kaifa Nataamal Maa al-Sunnah Al-Nabawiyah (USA, Virgina:al-Mahad al-Islami,
1990), hal. 113.

sehari-hari, niscaya mereka akan mengetahui apa sebenarnya yang


dimaksud oleh hadis-hadis seperti itu. Dan sebagai akibatnya,
mereka akan mengurangi ketegangan sikap mereka dan tidak
menyimpang

terlalu

jauh

dari

kebenaran,

serta

tidak

akan

mempersempit sesuatu yang sebetulnya telah dilapangkan oleh Allah


SWT bagi manusia.
Dalam sebuah hadis yang dirawikan oleh Muslim dari Abu Dzar
r.a., bahwa Nabi saw . pernah bersabda: yang artinya tiga jenis
manusia, yang kelak, pada hari Kiamat, tidak akan diajak bicara oleh
Allah: (1) seorang mannan (pemberi) yang tidak memberi sesuatu
kecuali untuk diungkit-ungkit; (2) seorang pedagang yang berusaha
melariskan barang dagangannya dengan mengucapkan sumpahsumpah bohong; dan (3) seorang yang membiarkan sarungnya
terjulur sampai di bawah kedua mata kakinya.
Dalam riwayat lainnya, juga dari Abu Dzar, yang artinya: Tiga
jenis manusia, yang kelak pada hari Kiamat, tidak diajak bicara oleh
Allah, tidak dipandang olehNya, tidak ditazkiah olehNya, dan bagi
mereka tersedia azab yang pedih. (Rasulullah saw . mengulangi
sabda beliau itu tiga kali, sehingga Abu Dzar berkata: Sungguh
mereka itu adalah manusia-manusia gagal dan merugi! Siapa
merreka itu, ya Rasulullah? Maka jawab beliau): Orang yang
membiarkan sarungnya terjulur sampai ke bawah mata kaki; orang
yang

memberi

pedagang

yang

sesuatu

untuk

melariskan

kemudian

dagangannya

diungkit-ungkit;
dengan

dan

bersumpah

bohong.
Hadis di atas juga didukung oleh hadis yang dirawikan dalam
shahih Al-Bukhari, dari Abu Hurairah: Sarung yang di bawah mata
kaki, akan berada di neraka.

10

Yang dimaksud dengan sarung dalam hadis itu ialah kaki


seseorang yang sarungnya terjulur sampai di bawah mata kakinya. Ia
akan dimasukkan ke neraka, sebagai hukuman atas perbuatannya.9

3. Penggabungan atau Pentarjihan antara Hadis-hadis yang


(Tampaknya) Bertentangang (Kompromi atau Tarjih terhadap HadisHadis yang Kontradiktif)
Pada prinsipnya, nash-nash syariat yang benar tidak mungkin bertentangan.
Sebab, kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran. Seandainya ada
pertentangan, maka hal itu hanyalah merupakan keadaan luarnya saja, atau hanya
kelihatan di luar saja bertentangan, tapi makna yang terkandung adalah sama. Dan
kewajiban kita terhadap hal tersebut adalah menghilangkan pertentangan di dalamnya.
Apabila pertentangan tersebut dapat dihilangkan dengan cara menggabungkan
atau menyesuaikan antara kedua nash, tanpa harus memaksakan atau mengada-ada
sehingga keduanya dapat diamalkan.
Salah satu hal yang penting untuk memahami sunnah dengan baik adalah
menyesuaikan hadis-hadis shahih yang tampak bertentangan, yang kandungannya
sepintas berbeda-beda, serta menggabungkan antara hadis yang satu dengan hadis yang
lainnya. Kemudian meletakkan masing-masing hadis sesuai dengan tempatnya sehingga
menjadi satu kesatuan dan tidak lagi kelihatan berbeda atau bertentangan karena
keduanya saling melengkapi.
Dalam hal ini, Yusuf Al-Qardhawi mengambil contoh hadis tentang ziarah kubur
bagi wanita. Misalnya, hadis dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. melaknat
wanita yang sering menziarahi kuburan. (Diraawikan oleh Ahmad, Ibn Majah dan

Yusuf Al-Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw., (Bandung: Krisma, 1999), hal. 108

11

Tirmidzi yang berkata: Hadis ini hasan sahih, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn
Hibban dalam shahihnya).10
Hal itu dikuatkan pula oleh beberapa hadis yang mengandung larangan terhadap
kaum wanita untuk mengikuti jenazah. Dari sana dapat disimpulkan pula larangan
terhadap ziarah kubur bagi wanita.
Walaupun demikian, ada hadis-hadis lainnya yang isinya berlawanan dengan
hadis-hadis di atas. Yakni yang dapat dipahami darinya, bahwa kaum wanita diizinkan
menziarahi kuburan, sama seperti kaum laki-laki. Di antaranya, sabda Nabi saw.
,
Aku pernah melarang kalian menziarahi kuburan, kini ziarahilah kini
ziarahlah atau ziarahilah kuburan-kuburan, sebab itu akan mengingatkan kepada
maut.11
Selain hadis tersebut di atas, terdapat lagi hadis Nabi tentang diperbolehkannya
wanita menziarahi kubur. Yaitu Ziarahilah kuburan-kuburan, sebab hal itu akan
mengingatkan kepada maut.
Dalam hadis-hadis di atas, izin umum tersebut tentunya mencakup kaum wanita
juga. Demikian pula hadis yang dirawikan oleh Muslim, An-Nasaiy dan Ahmad, dari
Aisyah, katanya: Apa yang harus ku ucapkan kepada mereka, ya Rasulullah? (Yakni
apabila menziarahi kuburan). Jawab beliau: Katakanlah: Salam sejahtera atas kaum
Mukminin dan Muslimin, para penghuni rumah-rumah ini. Semoga Allah merahmati
semua kita, yang telah mendahului maupun yang masih tertinggal. Kami, insyaAllah,
akan menyusul kalian.
Meskipun hadis-hadis ini, yang menunjukkan diizinkannya (kaum wanita
menziarahi kuburan) lebih sahih dan lebih banyak, dibandingkan hadis-hadis yang
melarang, namun menggabungkan semuanya dan berupaya menyesuaikan makna
kandungannya, adalah masih mungkin. Yaitu dengan mengartikan kata melaknat
yang tersebut dalam hadissebagaimana dinyatakan oleh Al-Qurthubiyyang
10

Tirmidzi dalam bab Janaiz (1056), Ibn Majah (1576) dan Ahmad (2 / 337). Juga dirawikan oleh AlBaihaqy dalam As-Sunan (4/ 78)
11
Ahmad dan Al-Hakim dari Anas, sebagaimana disebutkan dalam Shahih Al-Jami Ash-Shaghir (4584)

12

ditujukan kepada para wanita yang amat sering melakukan ziarah. Hal itu sesuai dengan
bentuk kata zawwarat, yang berkonotasi amat sering. Menurut Al-Qurthubiy,
mungkin sebabnya ialah hal itu dapat mengakibatkan berkurangnya perhatian mereka
kepada pemenuhan hak para suami, disamping kemungkinan membawa mereka kepada
tabarruj serta meratapi orang-orang yang mati dengan suara keras, dan lain-lainnya
lagi. Mungkin dapat dikatakan pula bahwa jika semua itu dapat dihindarkan, maka tak
ada salahnya memberi izin kepada mereka. Sebab, soal mengingat mati adalah sesuatu
yang diperlukan bagi kaum laki-laki maupun wanita.
Berkata Asy-Syaukani: Pendapat itulah yang sepatutnya dijadikan andalan dalam
upaya penggabungan antara hadis-hadis yang tampaknya saling bertentangan menurut
zahirnya.12
Dan apabila tidak mungkin menggabungkan antara dua hadis atau berbagai hadis
yang pada zahirnya saling bertentangan, barulah diupayakan pentarjihan. Yaitu dengan
mentarjihkan (atau memenangkan) salah satu darinya, dengan berbagi alasan pentarjih
yang tentukan oleh para ulama.
-

Soal Naskh dalam Hadis

Masalah yang berkaitan erat dengan kontradiksi dalam hadis adalah persoalan
naskh (pengahapusan) atau yang biasa kita dengan istilah nasikh mansukh (yang
menghapus dan yang dihapus) dalam hadis.
Sebagian ahli hadis menggunakan naskh apabila mereka mengalami kesulitan di
dalam menggabungkan dua hadis yang bertentangan dan kemudian di antara keduanya
diketahui mana hadis yang muncul belakangan.
Banyaknya hadis yang diasumsikan sebagai mansukh, membuat problematika
dalam hadis lebih rumit dibandingkan dengan naskh di dalam al-Quran, karena alQuran bersifat umum dan universal. Namun, setelah diadakan penelitian hadis yang
dikatakan mansukh tidaklah demikian. Karena di antara hadis-hadis itu ada yang
mengandung ketetapan (azimah), dan ada pula yang dimaksudkan sebagai keringanan
(rukhshah). Dan di antara keduanya mempunyai hukum masing-masing sesuai dengan
kedudukannya.

12

Yusuf Al-Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw., (Bandung: Karisma, 1999), hal.122.

13

4. Memahami Hadis dengan Mempertimbangkan Latar Belakangnya, Situasi


dan Kondisinya Ketika Diucapkan, serta Tujuannya.
Di antara cara-cara yang baik untuk memahami hadis Nabi saw. ialah dengan
memperhatikan sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi diucapkannya statu hadis,
atau kaitannya dengan suatu illah (alasan, sebab) tertentu, yang dinyatakan dalam
hadis tersebut atau disimpulkan darinya, ataupun dapat dipahami dari kejadian yang
menyertainya.
Ini berarti bahwa statu hukum yang dibawa oleh statu hadis, adakalanya tampak
bersifat umum dan waktu tak terbatas, namun jika diperhatikan lebih lanjut, akan
diketahui bahwa hukum tersebut berkaitan dengan suatu illah tertentu, sehingga ia
akan hilang dengan sendirinya jika hilang illahnya, dan tetap berlaku jika masih
berlaku illahnya.
Untuk dapat memahami hadis dengan pemahaman yang benar dan tepat, haruslah
diketahui kondisi yang meliputinya serta di mana dan untuk tujuan apa ia diucapkan.
Sehingga dengan demikian maksudnya benar-benar menjadi jelas dan terhindar dari
pelbagai perkiraan yang menyimpang dan (terhindar dari) diterapkan dalam pengertian
yang jauh dari tujuan sebenarnya.
Kita mengetahui bahwa para ulama kita telah menyatakan bahwa untuk
memahami al-Quran dengan benar, haruslah diketahui tentang asbab an-nuzul (sebabsebab yang melatarbelakangi turunnya ayat-ayat al-Quran). Agar kita tidak terjerumus
ke dalam kesalahan seperti yang terjadi atas sebagaian kaum ekstrem dari kalangan
Khawarij atau yang seperti mereka. Yaitu, yang mengambil ayat-ayat yang Turn
berkenaan dengan kaum musyrik, lalu menerapkannya atas kaum muslim.
Demikianlah, jika asbab an-nuzul perlu diketahui oleh siapa saja yang ingin
memahami al-Quran atau menafsirkannya, maka asbab al-wurud (sebab atau peristiwa
yang melatarbelakangi diucapkannya suatu hadis) lebih perlu lagi untuk diketahui.
Hal tersebut mengingat bahwa al-Quran, sesuai dengan wataknya, adalah
universal dan abadi. Karena itu, ia tidak berkepentingan untuk membicarakan hal-hal
yang detil atau yang hanya berkaitan dengan waktu tertentu. Kecuali untuk

14

menyimpulkan darinya prinsip-prinsip tertentu atau menunjukkan pelajaran (ibrah)


apa yang kiranya dapat diambil darinya.
Lain halnya dengan as-Sunnah, sebab ia memang menangani pelbagai problem
yang bersifat local (maudhiiy), particular (juziy) dan temporal (aniy). Di dalamnya
juga terdapat dalam al-Quran.
Oleh sebab itu, haruslah dilakukan pemilahan antara apa yang bersifat khusus dan
yang umum, yang sementara dan yang abadi, serta antara yang particular dan yang
universal.

Semua

itu

mempunyai

hukumnya

masing-masing.

Dan

dengan

memperhatikan konteks, kondisi lingkungan serta asbab an-nuzul dan asbab al-wurud,
pasti akan lebih mudah mencapai pemahaman yang tepat dan lurus, bagi siapa saja
yang beroleh taufik Allah SWT.
Dalam hal ini, penulis mengambil contoh tentang keharusan wanita disertai
mahramnya ketika bepergian jauh. Disebutkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim, dari
Abdullah bin Abbas, secara marfu: Tidak dibolehkannya seorang perempuan
bepergian jauh kecuali ada seorang mahram bersamanya.13
Illah (alasan) di balik larangan ini ialah kekhawatiran akan keselamatan
perempuan apabila ia bepergian jauh tanpa disertai suami atau mahram. Ini mengingat
bahwa di masa itu, orang menggunakan kendaraan unta, baghal ataupun keledai dalam
perjalanan mereka, seringkali mengarungi padang pasir yang luas atau daerah-daerah
yang jauh dari hunian manusia. Dalam kondisi seperti itu, seorang perempuan yang
bepergian tanpa disertai suazi ataupun

mahramnya, tentunya dikhawatirkan

keselamatan dirinya, ataupaling sedikitnama baiknya dapat tercemar.


Akan tetapi, jika kondisi seperti itu telah berubah, seperti di masa kita Semarang,
ketika perjalanan jauh ditempuh dengan menggunakan pesawat terbang yang
mengangkut seratus orang penumpang atau lebih; atau kereta api yang mengangkut
ratusan musafir, maka tidak ada lagi alasan untuk mengkhawatirkan keselamatan wanita
bepergian sendiri. Karena itu, tidak ada salahnya, ditinjau dari segi syariat, jika ia
melakukannya. Dan ini tidak dapat dianggap sebagai tindak pelanggaran terhadap hadis
tersebut.

13

Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, (Bandung: Karisma, 1999), hal. 71

15

5. Membedakan antara Sarana yang Berubah-ubah dan Tujuan yang Tetap


Di antara penyebab kekacauan dan kekeliruan dalam memahami as-Sunnah, ialah
bahwa sebagian orang mencampuradukkan antara tujuan atau sasaran yang hendak
dicapai oleh as-Sunnah dengan prasarana temporer atau lokal yang kadangkala
menunjang pencapaian tujuan. Mereka lebih mementingkan sarana ini, seolah-olah
itulah yang menjadi tujuan sebenarnya. Padahal, siapa saja yang mendalami
Setiap sarana dan prasana, mungkin saja berubah dari suatu masa ke masa lanilla,
dan dari suatu lingkungan ke lingkungan lainnya; bahkan semua itu pasti mengalami
perubahan. Oleh sebab itu, apabila suatu hadis menunjuk kepada sesuatu yang
menyangkut sarana atau prasarana tertentu, maka itu hanyalah untuk menjelaskan
tentang suatu fakta, namun sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengikat kita
dengannya, ataupun membekukan diri kita disampingnya.
Bahkan, sekiranya al-Quran sendiri menegaskan tentang suatu sarana atau
prasarana yang cocok untuk suatu tempat atau masa tertentu, hal itu tidak berarti bahwa
kita harus berhenti padanya saja, dan tidak memikirkan tentang prasarana lainnya yang
selalu berubah dengan berubahnya waktu dan tempat.
Sebuah contoh yaitu hadis tentang siwak (sepotong kayu lunak dari pohon
tertentu) untuk membersihkan gigi, tujuannya adalah kebersihan mulut sehingga
mendatangkan keridhaan Allah, seperti disebutkan dalam hadis siwak menyebabkan
kesucian mulut serta keridhaan Tuhan.
Adakah penggunaan siwak itu merupakan suatu tujuan tersendiri? Ataukah ia
hanya suatu alat yang cocok dan mudah diperoleh di jazirah Arab, sehingga Rasulullah
saw. menganjurkan penggunaannya, demi memanfaatkan sesuatu yang mudah didapat
oleh mereka?!
Oleh sebab itu, tidak ada salahnya, bagi masyarakat-masyarakat lainnya yang
tidak mudah memperoleh kayu siwak itu, menggantikannya dengan alat lainnya yang
dapat diproduksi secara besar-besaran, cukup untuk digunakan oleh jutaan orang;
seperti sikatgigi yang kita kenal sekarang. Begitulah yang telah dinyatakan oleh
sejumlah fuqaha.

16

Dengan ini, kita mengetahui bahwa sikat gigi dan pasta gigi (seperti yang
digunakan sekarang) sepenuhnya dapat menggantikan kayu arak. Terutama di rumah,
setelah makan, atau ketika hendak tidur.
6. Membedakan antara yang Hakekat dan Ungkapan
Teks-teks hadis banyak sekali yang menggunakan majas atau metafora, karena
rasulullah adalah orang Arab yang menguasai balaghah. Rasul menggunakan majas
untuk mengemukakan maksud beliau dengan cara yang sangat mengesankan. Adapun
yang termasuk majas adalah; majas lughawi, aqli, istiarah. Misalnya hadis tentang
sifat-sifat Allah. Hadis semacam ini tidak bisa secara langsung dipahami, tapi harus
perhatikan berbagai indikasi yang menyertainya, baik yang bersifat tekstual ataupun
kontekstual.
Sebagai misal, dalam surat al-Ahzab yang berbunyi:




Artinya: Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat
kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan
untuk

memikul

mengkhianatinya,

amanat
dan

itu

dan

dipikullah

mereka

amanat

itu

khawatir
oleh

akan

manusia.

Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh. (Al-Ahzab:


72)
Bahkan

adakalanya

pemahaman

berdasarkan

majaz

itu,

merupakan suatu keharusan. Atau, jika tidak, orang akan tergelincir


dalam kekeliruan. Ketika Rasulullah saw.
beliau:

Yang

paling

cepat

berkata kepada istri-istri

menyusulku

di

antara

kalian

sepeninggalku adalah yang paling panjang tangannya, mereka


mengira bahwa yang dimaksud oleh beliau, adalah yang benar-benar
bertangan panjang. Karena itu, seperti dikatakan oleh Aisyah r.a.;

17

mereka saling mengukur, siapa di antara mereka yang tangannya


paling panjang.
Bahkan,

menurut

beberapa

riwayat,

mereka

mengambil

sebatang bambu untuk mengukur tangan siapakah yang paling


panjang?!
Padahal Rasulullah tidak bermaksud seperti itu. Yang dimaksud
oleh beliau dengan tangan yang paling panjang ialah yang paling
banyak kebaikannya dan kedermawanannya.
7. Membedakan antara Alam Gaib dan Alam Kasatmata (Nyata)
Maksudnya membedakan antara yang gaib dan alam kasatmata
(nyata), di sini adalah dalam hal memaknai teks hadis. Di antara
kandungan As-Sunnah, ada beberapa

hal yang berkaitan dengan

alam gaib (alam al-ghaib), yang sebagiannya menyangkut makhlukmakhluk yang tidak dapat dilihat di alam kita ini. Misalnya, malaikat,
mereka adalah jenis makhluk spiritual (halus), tercipta dari cahaya,
nur, tak dapat ditangkap dengan indera dan tidak memiliki bentuk
fisik. Makhluk-makhluk yang tidak bersifat fisik ini tidak makan, tidak
minum, tidak kawin dan juga tidak berketurunan. Mereka juga tidak
mempunyai sifat kelamin, lelaki atau perempuan. Mereka memang
diciptakan untuk taat saja kepada Allah SWT. Dari mereka terpancar
dzikir, tasbih, dan ibadah, sebagaimana halnya
dari

seorang

manusia. Mereka

juga

tidak

nafas yang keluar


dibebani

kewajiban

sebagaimana yang diberikan Allah kepada manusia.14


Juga seperti jin, penghuni bumi yang dibebani pula kewajibankewajiban tertentu seperti kita (manusia) juga, yang mereka itu
dapat melihat kita dan kita tidak dapat melihat mereka. Dan di antara
mereka itu adalah setan-setan, tentara Iblis yang pernah bersumpah
14

Yusuf Al-Qardhawi, As-Sunnah Sebagai Sumber IPTEK dan Peradaban (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
1999), hal. 117.

18

di hadapan Allah SWT untuk berupaya menyesatkan kita dan


memperindah kebatilan dan kejahatan dalam pandangan kita.
Sebagaimana disebutkan dalam al-Quran dijelaskan:

Artinya:

iblis menjawab: "Demi kekuasaan Engkau aku akan

menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang


mukhlis di antara mereka[Shad: 82-83] (Yang dimaksud dengan
mukhlis ialah orang-orang yang telah diberi taufiq untuk mentaati
segala petunjuk dan perintah Allah s.w.t.)
Dan sebagian lagi dari hal-hal gaib ini bersangkutan dengan
kehidupan di alam barzakh; yakni kehidupan setelah mati dan
sebelum

kebangkitan

pertanyaan-pertanyaan

di

hari

kiamat.

malaikat

ketika

Termasuk
manusia

di

dalamnya,

berada

dalam

kuburnya; demikian pula tentang kenikmatan ataupun siksaan di


dalamnya.

Dan

sebagiannya

lagi

berkaitan

dengan kehidupan

akhirat; yakni kebangkitan dan pengumpulan manusia di padang


mahsyar, peristiwa-peristiwa besar pada hari kiamat, syafaat (dari
para nabi, khususnya dari Nabi Muhammad saw.), mizan (neraca
amalan manusia), hisab, shirath, surga serta pelbagai kenikmatan di
dalamnya;

baik

yang

bersifat

material

maupun

spiritual,

dan

tingkatan-tingkatan manusia di dalamnya; dan juga neraka serta


pelbagai siksaan di dalamnya, baik yang inderawi maupun yang
maknawi, dan tingkatan-tingkatan manusia di dalamnya. Begitu pula
dengan arsh dan kursy yang tidak dapat disaksikan oleh indera
penglihatan manusia.

8. Memastikan Makna dan Konotasi Kata-kata dalam Hadis

19

Dalam memahami suatu hadis haruslah dapat memastikan


makna dan konotasi yang dimaksud dalam hadis. Sebab, penggunaan
atau pemaknaan kata dan konotasi setiap masyarakat atau masingmasing orang itu berbeda-beda dalam memaknai suatu kata.
Adakalanya suatu kelompok manusia menggunakan kata-kata
tertentu untuk menunjuk kepada makna-makna tertentu pula. Dan
tentunya tidak ada keberatan sama sekali dalam hal ini. Akan tetapi
yang ditakutkan di sini adalah apabila mereka menafsirkan kata-kata
tersebut yang digunakan dalam as-Sunnah (atau juga dalam alQuran) sesuai dengan istilah mereka yang baru (atau yang hanya
digunakan di kalangan mereka saja).

D. Implementasi Pemahaman Yusuf Al-Qardhawi


Dari pemikiran yang ditawarkan oleh Yusuf al-Qardhawi ini mengindikasikan
bahwa metode yang yang ditawarkan oleh al-Qardhawi telah menimbulkan dialog yang
marak baik yang pro maupun yang kontra, yang pada akhirnya membuka peluang
adanya upaya pengembangan dalam wawasan studi pemikiran hadis.
Secara spesifik gagasan pemikiran Yusuf al-Qardhawi bukan sesuatu yang sama
sekali baru. Beberapa kriteria yang ditawarkan oleh Yusuf al-Qardhawi merupakan
refleksi hasil dialog dan pembacaan yang dilakukan Yusuf al-Qardhawi dari realitas
masyarakat dan berbagai konsep yang ditawarkan para ulama jauh hari sebelumnya.
Selain itu, pentingnya memberikan corak baru dalam studi pemahaman hadis,
mengingat jarak waktu yang memisahkan realitas sekarang ini dengan sejarah
bagaimana sebuah hadis muncul.
Jika dicermati beberapa prinsip pemahaman hadis nabi yang ditawarkan oleh
Yusuf Al-Qardhawi sebenarnya sangat urgen untuk menggali nilai-nilai hadis yang
relevan dengan kebutuhan historis sekarang ini. Hal ini penting mengingat pemahaman
atas kedudukan hadis nabi harus relevan dengan dirinya dan pada saat yang sama
menjadi relevan dengan masyarakat sekarang ini. Relevan dengan dirinya sendiri
berarti kandungan maknanya terbatas pada nilai-nilai yang dikandungnya, relevan

20

dengan kondisi masyarakat sekarang ini berarti bahwa relevansi tersebut berlangsung
pada pemahaman yang rasional.15
Bagaimanapun juga berbagai macam temuan dan teknologi yang cukup pesat
mengharuskan perlunya pengkajian terhadap pemahaman hadis nabi. Interaksi antara
budaya yang berkembang dengan ajaran Islam yang bersumber dari teks, untuk
selanjutnya dapat dipastikan akan berhadapan dengan kenyataan yang lebih berat dan
kompleks. Oleh sebab itu, aspek budaya tidak dapat diabaikan dalam kajian hadis.16
Munculnya pemahaman hadis perspektif Yusuf Qardhawi mengarah pada upaya
pengembangan

pemikiran

hadis

sebagai

sesuatu

yang

positif

untuk

ditumbuhkembangkan. Beberapa kriteria yang ditawarkan Yusuf Qardhawi telah


memberi manfaat dalam menggali nilai-nilai hadis yang relevan konteks historis saat
ini. Namun disisi lain harus disadari, maraknya berbagai pemahaman terhadap hadis
nabi membuka peluang semakin melebarnya perpecahan di kalangan umat Islam, jika
perbedaan pandangan itu tidak disikapi secara bijak, dengan menganggap produk
mereka sendiri yang paling benar dan pemikiran orang/kelompok lain yang
berseberangan dengan mereka adalah salah.

BAB III
KESIMPULAN

15
16

Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah Dalam Islam Modern (Bandung: Mizan, 1996), hlm.18-19
Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah Dalam Islam Modern (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 35.

21

Seperti yang telah dijelaskan, bahwa as-Sunnah adalah sumber hukum kedua
setelah a-Quran. Oleh sebab itu, kita sebagai umat Muhammad, haruslah bisa
memahami dengan baik apa-apa saja yang terkandung di dalam al-Quran dan asSunnah, sebagai penjelas dari pada al-Quran.
Dari sini Yusuf al-Qardhawi memberikan delapan metode dalam memahami hadis
secara benar dan tepat, antara lain sebagai berikut:
-

Memahami Hadis Sesuai dengan Petunjuk al-Quran.

Menghimpun Hadis-Hadis yang Setema.

Kompromi atau Tarjih terhadap Hadis-Hadis yang Kontradiktif.

Memahami Hadis Sesuai dengan Latar Belakang, Situasi dan Kondisi serta
Tujuannya.

Membedakan antara Sarana yang Berubah-ubah dan Tujuan yang Tetap.

Membedakan antara yang Hakekat dan Ungkapan

Membedakan antara yang Gaib dan yang Nyata.

Memastikan Makna Kata-kata dalam Hadis

Poin yang selanjutnya dalam pembahasan di atas adalah mengenai Implementasi


Pemahaman Yusuf Al-Qardhawi.Dari pemikiran yang ditawarkan oleh Yusuf alQardhawi ini mengindikasikan bahwa metode yang yang ditawarkan oleh al-Qardhawi
telah menimbulkan dialog yang marak baik yang pro maupun yang kontra, yang pada
akhirnya membuka peluang adanya upaya pengembangan dalam wawasan studi
pemikiran hadis.
Secara spesifik gagasan pemikiran Yusuf al-Qardhawi bukan sesuatu yang sama
sekali baru. Beberapa kriteria yang ditawarkan oleh Yusuf al-Qardhawi merupakan
refleksi hasil dialog dan pembacaan yang dilakukan Yusuf al-Qardhawi dari realitas
masyarakat dan berbagai konsep yang ditawarkan para ulama jauh hari sebelumnya.
Selain itu, pentingnya memberikan corak baru dalam studi pemahaman hadis,
22

mengingat jarak waktu yang memisahkan realitas sekarang ini dengan sejarah
bagaimana sebuah hadis muncul.

23

Anda mungkin juga menyukai