PENDAHULUAN
As Sunnah (hadis Nabi saw.) merupakan penafsiran al-Quran dalam praktik atau
penerapan ajaran Islam secara factual dan ideal. Hal ini mengingat bahwa pribadi Nabi
saw. merupakan perwujudan dari al-Quran yang ditafsirkan untuk manusia, serta ajaran
Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari.
Akan tetapi, sejak pertengahan abad ke-19, definisi otoritas Rasulullah menjadi
masalah penting bagi para pemikir Muslim. Karena abad ini merupakan periode ketika
hegemoni barat yang berkaitan dengan kelemahan politik dan agama telah menciptakan
dorongan kuat diadakannya reformasi.
Sunnah Nabi yang suci ini telah menghadapi berbagai macam serangan dari para
kaum orientalis dengan beragam aksi yang mereka lakukan untuk menghancurkan esensi
hadis Nabi itu sendiri.
Sejak saat itu juga, para pemikir Muslim menghadapi banyak tantangan terhadap
gagasan Islam klasik tentang otoritas keagamaan (baca: hadis). Pergolakan di dunia
Muslim telah mendorong meluasnya pengujian kembali sumber-sumber klasik hukum
Islam karena orang Muslim telah berjuang untuk memelihara, menyesuaikan, atau
mendefinisikan kembali norma-norma sosial dan hukum dalam menghadapi kondisi
yang berubah.
Isu sentral dalam perjuangan yang terus berlangsung ini adalah masalah hakekat,
status, dan otoritas sunnah (contoh-contoh normatif Nabi Muhammad saw.). karena
status Nabi Muhammad sebagai utusan Allah, perkataan dan perbuatannya diterima
oleh sebagian besar Muslim sebagai sebuah sumber hukum kedua setelah al-Quran.
Menurut al-Qardhawi as-Sunnah adalah perkataan, perbuatan dan persetujuan
Nabi saw., di samping itu as-Sunnah juga merupakan sumber kedua dalam Islam di
bidang tasyri dan dakwah (tuntunan) nya.
Bersama al-Quran, hadis menjadi point yang sensitif dalam kesadaran spiritual
maupun intelektual muslim. Tidak saja karena ia menjadi sumber pokok ajaran Islam,
tetapi juga sebagai tambang informasi bagi pembentukan budaya Islam, terutama sekali
historiografi Islam yang cukup banyak merujuk pada hadis-hadis. Hadis menjadi
1
semakin krusial ketika makin banyaknya masalah yang muncul, sementera Nabi dan
sahabat telah banyak yang wafat. Ketika Nabi masih hidup persoalan dapat dipecahkan
dengan otoritas al-Quran atau Nabi Muhammad sendiri. Demikian pula pada masa
sahabat, masyarakat dapat melihat praktek nabi yang dijalankan para sahabat. Tetapi
setelah itu berbagai informasi tentang nabi menjadi sangat penting bagi kaum muslim.
Itu sebabnya belakangan sangat banyak sekali muncul literatur hadis dalam berbagai
bentuk dan jenisnya dengan muatan hadis-hadis yang cukup beragam.
Dengan demikian, hadis-hadis Nabi saw. haruslah dipahami secara benar dan
tepat. Namun, karena banyaknya serangan-serangan yang dilakukan oleh orang-orang
Barat, maka banyak dari kalangan Muslim yang mulai berbeda pendapat dalam
memaknai dan memahami hadis-hadis itu sendiri.
Dari uraian di atas, al-Qardhawi ingin membawa umat Islam untuk dapat
memahami hadis secara benar dan tepat. Dalam makalah ini akan penulis jelaskan
tentang cara-cara atau metode yang diberikan oleh al-Qardhawi dalam memahami hadis
secara benar dan tepat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat dan Latar Belakang Pendidikan Yusuf Qardhawi
Nama lengkapnya adalah Yusuf Al-Qardhawi, Beliau dilahirkan di desa Shaft
Turab di tengah Delta Sungai Nil, daerah Mahallah al-Kubra, Republik Arab Mesir,
pada tanggal 9 September 1926. Ayahnya bernama Abdullah, Yusuf Qardhawi hanya
dua tahun bersama ayahnya, karena ayahnya dipanggil oleh Allah.
Pelajaran yang pertama kali ditekuninya adalah al-Quran. Pada usia sepuluh
tahun, ia sudah hafal al-Quran dan dengan bacaan yang sangat baik. Dengan
keahliannya itu ia dijadikan imam salat lima waktu di desa dan pada usia yang sangat
muda.1
Pendidikan formalnya ditempuh di al-Azhar Mesir, kecuali tingkat Aliyah, ia
tempuh di Mahad al-Buhus wa la-Dirasah al-Arbiyat al-Aliyah, sehingga
mendapatkan hijaza diploma tinggi dalam bidang bahasa dan sastra Arab. Namun,
keahliannya yang menonjol adalah dalam bidang keushuluddinan (aqidah, tafsir, dan
hadis). Hal itu didukung oleh pelajarannya di Fakultas Ushuluddin, yang diselesaikan
pada tahun 1960.2
Isam Talimah, Manhaj Fiqh Yusuf al-Qardhawi (terj) Samson Rahman (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2001), hal. 3.
2
Ibid, hal, 4.
3
Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, (Bandung: Karisma, 1999), hal. 92.
Atas dasar inilah maka al-Qardhawi menetapkan tiga hal juga yang harus
dihindari dalam berinteraksi dengan sunnah, yaitu pertama, penyimpangan kaum
ekstrim; kedua, manipulasi orang-orang sesat, (intihal al-mubthilin), yaitu pemalsuan
terhadap ajaran-ajaran Islam, dengan membuat berbagai macam bidah yang jelas
bertentangan dengan akidah dan syariah; ketiga, penafsiran orang-orang bodoh (tawil
al-jahilin). Oleh sebab itu, pemahaman yang tepat terhadap sunnah adalah mengambil
sikap moderat (wasathiya), yaitu tidak berlebihan atau ekstrim, tidak menjadi kelompok
sesat, dan tidak menjadi kelompok yang bodoh.
Adapun prinsip-prinsip dalam berinteraksi dengan as-Sunnah, adalah sebagai
berikut:
2. Dapat memahami dengan benar nash-nash yang berasal dari Nabi saw.
sesuai dengan pengertian bahasa (Arab) dan dalam rangka konteks hadis
tersebut serta sebab wurud (diucapkannya) oleh beliau. Juga dalam
kaitannya dengan nash-nash al-Quran dan Sunnah yang lain, dan dalam
kerangka prinsip-prinsip umum serta tujuan-tujuan universal Islam. Semua
itu, tanpa mengabaikan keharusan memilah antara hadis yang diucapkan
demi penyampaian risalah (misi Nabi saw.), dan yang bukan untuk itu.
Atau dengan kata lain, antara Sunnah yang dimaksudkan untuk tasyri
(penetapan hukum agama) dan yang bukan untuk itu. Dan juga antara
tasyri yang memiliki sifat umum dan permanent, dengan yang bersifat
khusus atau sementara. Sebab,di antara penyakit terburuk dalam
pemahaman sunnah, adalah pencampuradukan antara bagian yang satu
dengan bagian yang lainnya.
dengan nash yang lebih layak dengan hikmah tasyri, atau pelbagai tujuan
umum syariat yang dinilai telah mencapai tingkat qathiy karena
disimpulkan bukan hanya dari satu atau dua nash saja, tetapi dari
sekumpulan nash yang setelah digabungkan satu sama lain mendatangkan
keyakinan serta kepastian tentang tsubutnya (atau keberadaanynya sebagai
nash).4
As-Sunnah adalah sumber kedua dalam Islam di bidang tasyri dan dakwah
(tuntunan) nya. Para ahli fiqh merujuk kepadanya untuk menyimpulkan hukum-hukum,
sebagaimana para ahli dakwah dan tarbiyah merujuk kepadanya untuk menggali
makna-makna yang mengilhami, nilai-nilai yang mengarahkan, serta hikmah-hikmah
yang merasuk ke dalam sanubari manusia. Demikian pula untuk mencari cara-cara
efektif dalam rangka menganjurkan perbuatan kebaikan dan mencegah kejahatan.
Berbicara mengenai hadis sebagai sumber ajaran agama (hukum) berarti kita
harus meletakkan hadis dalam kerangka diskursus ushul fiqh. Menurut ulama ushul fiqh
hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw.
baik ucapan,
perbuatan, maupun ketetapan yang dapat dijadikan dalil hukum shara. Dari sini dapat
dilihat bahwa ulama ushul menempatkan Nabi Muhammad saw. sebagai musyarri.
Oleh karena itu, produk hadis ditempatkan sebagai sumber hukum Islam setelah alQuran. Penempatan hadis sebagai sumber hukum Islam tersebut, didasarkan pada
beberapa dalil al-Quran, di antaranya terdapat dalam QS. al-Nisa: 59 berikut:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika
kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. Al-Nisa: 59)
Dalil yang semakna juga dapat ditemukan dalam QS al-Nisa ayat
80, yaitu sebagai berikut:
Artinya: Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia
telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan
itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi
mereka. (QS. Al-Nisa: 80)
Kedua
ayat
tersebut,
setidaknya
mengisyaratkan
adanya
Dan telah sempurnalah kalimat Tuhanmu, dalam kebenaran dan keadilannya.
Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-Nya dan Dia-lah Yang Maha
Mendengar Lagi Maha Mengetahui (Al-Anam: 115).
Al-Quran adalah roh eksistensi Islam dan asas bangunannya. Ia adalah konstitusi
Illahi yang menjadi rujukan bagi setiap perundang-undangan dalam Islam. Adapun
Abd al-Wahab Khallaf, Ushul al-Fiqh (Kairo: Maktabah al-Dawah al-Islamiyah, 1990), hal. 21.
sunnha Nabi adalah penjelasan terinci bagi konstitusi tersebut, baik secara teoritis
maupun praktis.
Sedangkan As-Sunnah adalah penjelasan terinci tentang isi konstitusi tersebut,
baik dalam hal-hal yang bersifat teoritis ataupun penerapannya secara praktis. Itulah
tugas Rasulullah saw., menjelaskan bagi manusia apa yang diturunkan kepada
mereka.
Tugas seorang Rasul adalah menjelaskan kepada manusia risalah yang diturunkan
untuk mereka. Oleh karena itu, tidak mungkin sebuah penjelasan bertentangan
dengan apa yang hendak dijelaskan atau sebuah cabang tidak mungkin
bertentangan dengan pokok. Penjelasan Nabi senantiasa berkisar pada al-Quran dan
tidak pernah melampauinya. Oleh sebab itu, tidak ada sunnah yang shahih yang
bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran yang muhkamat keterangan-keterangannya
yang jelas.6
Jika sebagian orang menganggap adanya pertentangan, hal ini
disebabkan karena hadisnya tidak shahih atau pemahaman kita yang
tidak benar atau tidak sesuai dengan maksud hadits tersebut, dan
pertentangan tersebut bersifat semu, bukan pertentangan yang
hakiki. Ini berarti bahwa sunnah harus dipahami dalam konteks alQuran.
Seperti dalam hadist :
Syaawiruu hunna wa khaliquu hunna (Bermusyawarahlah
bersama
mereka,
tetapi
janganlah
mengikuti
[hasil
Yusuf Al-Qardhawi, Pengantar Studi Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal. 153
Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,
Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi
Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun
berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan
kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika
kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila
kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah
dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
Sudah dijelaskan di atas, bahwa apabila dalam menghadapi perbedaan
pemahaman dalam menyimpulkan makna-makna hadits, maka kita harus dapat
memahami dengan cara yang baik dan benar adalah dengan melihat makna hadits yang
didukung oleh al-Quran, karena isi hadits (cabang) sebagai penjelas al-Quran tidak
akan mengandung makna yang berbeda dengan al-Quran (pokok) sebagai sesuatu yang
dijelaskan.
memahami
sunnah
Nabi
dengan
baik,
kita
harus
sarung
sampai
di
bawah
mata
kaki,
yang
mengandung ancaman cukup keras terhadap pelakunya. Yaitu hadishadis yang dijadikan sandaran oleh sejumlah pemuda yang amat
bersemangat, untuk menunjukkan kritik yang tajam terhadap siapasiapa yang tidak memendekkan tsaub (baju gamis)nya sehingga di
atas mata kaki. Sedemikian bersemangatnya mereka, sehingga
hampir-hampir
menjadikan
masalah
memendekkan
tsaub
ini,
tsaubnya,
seperti
yang
mereka
sendiri
Yusuf Al-Qardhawi, Kaifa Nataamal Maa al-Sunnah Al-Nabawiyah (USA, Virgina:al-Mahad al-Islami,
1990), hal. 113.
terlalu
jauh
dari
kebenaran,
serta
tidak
akan
memberi
pedagang
yang
sesuatu
untuk
melariskan
kemudian
dagangannya
diungkit-ungkit;
dengan
dan
bersumpah
bohong.
Hadis di atas juga didukung oleh hadis yang dirawikan dalam
shahih Al-Bukhari, dari Abu Hurairah: Sarung yang di bawah mata
kaki, akan berada di neraka.
10
Yusuf Al-Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw., (Bandung: Krisma, 1999), hal. 108
11
Tirmidzi yang berkata: Hadis ini hasan sahih, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn
Hibban dalam shahihnya).10
Hal itu dikuatkan pula oleh beberapa hadis yang mengandung larangan terhadap
kaum wanita untuk mengikuti jenazah. Dari sana dapat disimpulkan pula larangan
terhadap ziarah kubur bagi wanita.
Walaupun demikian, ada hadis-hadis lainnya yang isinya berlawanan dengan
hadis-hadis di atas. Yakni yang dapat dipahami darinya, bahwa kaum wanita diizinkan
menziarahi kuburan, sama seperti kaum laki-laki. Di antaranya, sabda Nabi saw.
,
Aku pernah melarang kalian menziarahi kuburan, kini ziarahilah kini
ziarahlah atau ziarahilah kuburan-kuburan, sebab itu akan mengingatkan kepada
maut.11
Selain hadis tersebut di atas, terdapat lagi hadis Nabi tentang diperbolehkannya
wanita menziarahi kubur. Yaitu Ziarahilah kuburan-kuburan, sebab hal itu akan
mengingatkan kepada maut.
Dalam hadis-hadis di atas, izin umum tersebut tentunya mencakup kaum wanita
juga. Demikian pula hadis yang dirawikan oleh Muslim, An-Nasaiy dan Ahmad, dari
Aisyah, katanya: Apa yang harus ku ucapkan kepada mereka, ya Rasulullah? (Yakni
apabila menziarahi kuburan). Jawab beliau: Katakanlah: Salam sejahtera atas kaum
Mukminin dan Muslimin, para penghuni rumah-rumah ini. Semoga Allah merahmati
semua kita, yang telah mendahului maupun yang masih tertinggal. Kami, insyaAllah,
akan menyusul kalian.
Meskipun hadis-hadis ini, yang menunjukkan diizinkannya (kaum wanita
menziarahi kuburan) lebih sahih dan lebih banyak, dibandingkan hadis-hadis yang
melarang, namun menggabungkan semuanya dan berupaya menyesuaikan makna
kandungannya, adalah masih mungkin. Yaitu dengan mengartikan kata melaknat
yang tersebut dalam hadissebagaimana dinyatakan oleh Al-Qurthubiyyang
10
Tirmidzi dalam bab Janaiz (1056), Ibn Majah (1576) dan Ahmad (2 / 337). Juga dirawikan oleh AlBaihaqy dalam As-Sunan (4/ 78)
11
Ahmad dan Al-Hakim dari Anas, sebagaimana disebutkan dalam Shahih Al-Jami Ash-Shaghir (4584)
12
ditujukan kepada para wanita yang amat sering melakukan ziarah. Hal itu sesuai dengan
bentuk kata zawwarat, yang berkonotasi amat sering. Menurut Al-Qurthubiy,
mungkin sebabnya ialah hal itu dapat mengakibatkan berkurangnya perhatian mereka
kepada pemenuhan hak para suami, disamping kemungkinan membawa mereka kepada
tabarruj serta meratapi orang-orang yang mati dengan suara keras, dan lain-lainnya
lagi. Mungkin dapat dikatakan pula bahwa jika semua itu dapat dihindarkan, maka tak
ada salahnya memberi izin kepada mereka. Sebab, soal mengingat mati adalah sesuatu
yang diperlukan bagi kaum laki-laki maupun wanita.
Berkata Asy-Syaukani: Pendapat itulah yang sepatutnya dijadikan andalan dalam
upaya penggabungan antara hadis-hadis yang tampaknya saling bertentangan menurut
zahirnya.12
Dan apabila tidak mungkin menggabungkan antara dua hadis atau berbagai hadis
yang pada zahirnya saling bertentangan, barulah diupayakan pentarjihan. Yaitu dengan
mentarjihkan (atau memenangkan) salah satu darinya, dengan berbagi alasan pentarjih
yang tentukan oleh para ulama.
-
Masalah yang berkaitan erat dengan kontradiksi dalam hadis adalah persoalan
naskh (pengahapusan) atau yang biasa kita dengan istilah nasikh mansukh (yang
menghapus dan yang dihapus) dalam hadis.
Sebagian ahli hadis menggunakan naskh apabila mereka mengalami kesulitan di
dalam menggabungkan dua hadis yang bertentangan dan kemudian di antara keduanya
diketahui mana hadis yang muncul belakangan.
Banyaknya hadis yang diasumsikan sebagai mansukh, membuat problematika
dalam hadis lebih rumit dibandingkan dengan naskh di dalam al-Quran, karena alQuran bersifat umum dan universal. Namun, setelah diadakan penelitian hadis yang
dikatakan mansukh tidaklah demikian. Karena di antara hadis-hadis itu ada yang
mengandung ketetapan (azimah), dan ada pula yang dimaksudkan sebagai keringanan
(rukhshah). Dan di antara keduanya mempunyai hukum masing-masing sesuai dengan
kedudukannya.
12
Yusuf Al-Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw., (Bandung: Karisma, 1999), hal.122.
13
14
Semua
itu
mempunyai
hukumnya
masing-masing.
Dan
dengan
memperhatikan konteks, kondisi lingkungan serta asbab an-nuzul dan asbab al-wurud,
pasti akan lebih mudah mencapai pemahaman yang tepat dan lurus, bagi siapa saja
yang beroleh taufik Allah SWT.
Dalam hal ini, penulis mengambil contoh tentang keharusan wanita disertai
mahramnya ketika bepergian jauh. Disebutkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim, dari
Abdullah bin Abbas, secara marfu: Tidak dibolehkannya seorang perempuan
bepergian jauh kecuali ada seorang mahram bersamanya.13
Illah (alasan) di balik larangan ini ialah kekhawatiran akan keselamatan
perempuan apabila ia bepergian jauh tanpa disertai suami atau mahram. Ini mengingat
bahwa di masa itu, orang menggunakan kendaraan unta, baghal ataupun keledai dalam
perjalanan mereka, seringkali mengarungi padang pasir yang luas atau daerah-daerah
yang jauh dari hunian manusia. Dalam kondisi seperti itu, seorang perempuan yang
bepergian tanpa disertai suazi ataupun
13
Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, (Bandung: Karisma, 1999), hal. 71
15
16
Dengan ini, kita mengetahui bahwa sikat gigi dan pasta gigi (seperti yang
digunakan sekarang) sepenuhnya dapat menggantikan kayu arak. Terutama di rumah,
setelah makan, atau ketika hendak tidur.
6. Membedakan antara yang Hakekat dan Ungkapan
Teks-teks hadis banyak sekali yang menggunakan majas atau metafora, karena
rasulullah adalah orang Arab yang menguasai balaghah. Rasul menggunakan majas
untuk mengemukakan maksud beliau dengan cara yang sangat mengesankan. Adapun
yang termasuk majas adalah; majas lughawi, aqli, istiarah. Misalnya hadis tentang
sifat-sifat Allah. Hadis semacam ini tidak bisa secara langsung dipahami, tapi harus
perhatikan berbagai indikasi yang menyertainya, baik yang bersifat tekstual ataupun
kontekstual.
Sebagai misal, dalam surat al-Ahzab yang berbunyi:
Artinya: Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat
kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan
untuk
memikul
mengkhianatinya,
amanat
dan
itu
dan
dipikullah
mereka
amanat
itu
khawatir
oleh
akan
manusia.
adakalanya
pemahaman
berdasarkan
majaz
itu,
Yang
paling
cepat
menyusulku
di
antara
kalian
17
menurut
beberapa
riwayat,
mereka
mengambil
alam gaib (alam al-ghaib), yang sebagiannya menyangkut makhlukmakhluk yang tidak dapat dilihat di alam kita ini. Misalnya, malaikat,
mereka adalah jenis makhluk spiritual (halus), tercipta dari cahaya,
nur, tak dapat ditangkap dengan indera dan tidak memiliki bentuk
fisik. Makhluk-makhluk yang tidak bersifat fisik ini tidak makan, tidak
minum, tidak kawin dan juga tidak berketurunan. Mereka juga tidak
mempunyai sifat kelamin, lelaki atau perempuan. Mereka memang
diciptakan untuk taat saja kepada Allah SWT. Dari mereka terpancar
dzikir, tasbih, dan ibadah, sebagaimana halnya
dari
seorang
manusia. Mereka
juga
tidak
kewajiban
Yusuf Al-Qardhawi, As-Sunnah Sebagai Sumber IPTEK dan Peradaban (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
1999), hal. 117.
18
Artinya:
kebangkitan
pertanyaan-pertanyaan
di
hari
kiamat.
malaikat
ketika
Termasuk
manusia
di
dalamnya,
berada
dalam
Dan
sebagiannya
lagi
berkaitan
dengan kehidupan
baik
yang
bersifat
material
maupun
spiritual,
dan
19
20
dengan kondisi masyarakat sekarang ini berarti bahwa relevansi tersebut berlangsung
pada pemahaman yang rasional.15
Bagaimanapun juga berbagai macam temuan dan teknologi yang cukup pesat
mengharuskan perlunya pengkajian terhadap pemahaman hadis nabi. Interaksi antara
budaya yang berkembang dengan ajaran Islam yang bersumber dari teks, untuk
selanjutnya dapat dipastikan akan berhadapan dengan kenyataan yang lebih berat dan
kompleks. Oleh sebab itu, aspek budaya tidak dapat diabaikan dalam kajian hadis.16
Munculnya pemahaman hadis perspektif Yusuf Qardhawi mengarah pada upaya
pengembangan
pemikiran
hadis
sebagai
sesuatu
yang
positif
untuk
BAB III
KESIMPULAN
15
16
Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah Dalam Islam Modern (Bandung: Mizan, 1996), hlm.18-19
Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah Dalam Islam Modern (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 35.
21
Seperti yang telah dijelaskan, bahwa as-Sunnah adalah sumber hukum kedua
setelah a-Quran. Oleh sebab itu, kita sebagai umat Muhammad, haruslah bisa
memahami dengan baik apa-apa saja yang terkandung di dalam al-Quran dan asSunnah, sebagai penjelas dari pada al-Quran.
Dari sini Yusuf al-Qardhawi memberikan delapan metode dalam memahami hadis
secara benar dan tepat, antara lain sebagai berikut:
-
Memahami Hadis Sesuai dengan Latar Belakang, Situasi dan Kondisi serta
Tujuannya.
mengingat jarak waktu yang memisahkan realitas sekarang ini dengan sejarah
bagaimana sebuah hadis muncul.
23