Anda di halaman 1dari 80

Pengantar Singkat Studi Islam

Hammis Syafaq Pendahuluan Islam adalah agama yang datang dari Allah, diwahyukan kepada Nabi Muhammad dan disampaikan kepada seluruh umat manusia, yang dimulai ketika Nabi Muhammad berada di Gua Hira. Wahyu itu berlanjut hingga hampir 23 tahun dan dibukukan dalam bentuk mushaf al-Quran dengan menggunakan bahasa Arab, karena Nabi Muhammad, sebagai penerima wahyu, adalah berasal dari bangsa Arab. Itu artinya bahwa bahasa al-Quran itu bersifat partikular, sementara pesannya adalah universal. Oleh karena itu, Islam yang disampaikan melalui bahasa Arab yang bersifat lokal tersebut harus selalu digali dan diformulasikan ke dalam lokus bahasa dan budaya non-Arab, sehingga Islam tidak menjadi agama yang eksklusif dengan khas bangsa Arab. Maka, dalam memahami Islam diperlukan pemahaman terhadap beberapa hal, di antaranya adalah konteks historis seputar kehidupan Nabi Muhammad (sirah Nabawiyah) sebagai penerima wahyu dan sekaligus sebagai juru bicara Tuhan bagi manusia dan kedua adalah makna yang terkandung di balik pesan ayat-ayat al-Quran yang berbahasa Arab tersebut atau biasa disebut dengan penafsiran. Tulisan ini adalah sebagai tawaran yang dikemas dalam bentuk refleksi singkat dengan menguraikan beberapa upaya obyektif manusia dalam memahami pesan-pesan Allah yang terkandung dalam al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad saw. Peran Islam dalam Kehidupan Manusia Berbicara tentang peran, pada dasarnya adalah berbicara tentang fungsi atau kegunaan. Berkaitan dengan hal tersebut, ada sebuah pertanyaan mendasar yang harus dijawab, yaitu apakah umat Islam itu beragama untuk Allah ataukah untuk dirinya sendiri. Jika mereka beragama untuk Allah, dapat dipastikan bahwa seluruh aktivitas keberagamaan yang dilakukannya selalu berorientasi vertikal. Sebaliknya, jika mereka beragama untuk kepentingan dirinya, tentu orientasi keberagamaannya selalu pada sektor horisontal. Kedua orientasi di atas sangat kontradiktif, karena di antara ciri dari model keberagamaan pertama (beragama untuk Allah), adalah bahwa intensitas keimanan seorang muslim terimplementasi dalam frekuensi pelaksanaan ibadah yang

dilakukannya. Dalam perspektif keberagamaan seperti ini, logika yang digunakan adalah bahwa umat Islam berkewajiban melayani Allah, bukan sebaliknya. Dalam cara beragama yang selalu diorientasikan pada Allah ini segala bentuk kewajiban beragama yang tertuang dalam teks suci (al-Quran dan Hadits) selalu diinterpretasikan secara rigid dan taken for granted. Dalam hal ini, tidak ada tawaran bagi proses penafsiran, terutama yang bercorak kontekstual. Bagi kelompok ini, banyak rahasia misterius yang terkandung di balik doktrin tersebut, di mana hal itu tidak akan mampu dijangkau dengan pemahaman rasio manusia yang kapasitasnya sangat terbatas. Prinsip dasarnya adalah melaksanakan perintah Allah dengan tidak banyak memberikan komentar. Menyerahkan segala rahasia tersebut hanya pada Allah dan meyakini bahwa apapun bentuk rahasia tersebut adalah yang terbaik bagi umat Islam. Dampak lebih jauh dari kecenderungan pola pikir keagamaan semacam ini adalah munculnya batas pemisah antara agama dan realitas sosial. Bertolak belakang dengan sikap beragama pertama, sikap beragama yang diorientasikan pada umat Islam selalu besandar dan berdasar pada paradigma kemanusiaan. Islam terlahir untuk umat Islam, bukan untuk Allah. Karenanya, agama kemudian harus berpartisipasi aktif dalam menyelesaikan berbagai problematika kemanusiaan. Dalam konteks ini, logika yang dikedepankan adalah bahwa Islam lahir sebagai pahlawan pembebas umat Islam dari segala bentuk belenggu problematika hidup yang dihadapinya, bukan justru menjadi belenggu yang mengekang kebebasan berpikir dan bertindak umat Islam itu sendiri. Dalam orientasi beragama jenis kedua ini, berpegang pada simbol serta satu pola penafsiran sama halnya dengan membunuh relevansi dan mematikan peran signifikan Islam itu sendiri. Sebab umat Islam, selaku konsumen, selalu hadir dalam realitas sosiokultural yang berbeda dan selalu dinamis. Oleh karena itu, diperlukan adanya upaya untuk melampaui tataran simbolik ajaran sebuah agama yang dapat melahirkan penafsiran-penafsiran dengan wajah yang senantiasa baru, namun dengan tetap mengusung orientasi otentis serta berpegang pada makna substantifnya. Dua alternatif orientasi beragama di atas merupakan pilihan bebas kita sebagai umat beragama. Secara faktual, dalam realitas keberagamaan dewasa ini, mayoritas pilihan masih banyak jatuh pada orientasi beragama jenis pertama, yaitu beragama untuk Allah. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika peran dan kontribusi aktif Islam dalam ranah sosial kemudian cenderung mandul.

Sejarah Perkembangan Islam Islam pada Periode Klasik Terdapat dua pendapat populer tentang awal dimulainya sejarah Islam pada masa Nabi. Pertama, yang mengatakan bahwa sejarah Islam dimulai sejak Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul. Kedua, yang mengatakan bahwa sejarah Islam dimulai semenjak Nabi hijrah dari Makkah ke Madinah. Tetapi, jika berdasar pada dimulainya penghitungan tahun hijrah, maka pilihan akan jatuh pada pendapat kedua, karena tahun Islam dimulai dengan hijrahnya Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah pada tahun 622 M.1 Islam pada masa Nabi, terbagi menjadi dua; masa di Makkah dan di Madinah. Ketika Nabi di Makkah, ia bersama pengikutnya selalu mendapatkan tekanan dari kalangan Qurays yang tidak setuju dengan ajaran yang disampaikannya. Maka Nabi pun kemudian mengirim sejumlah pengikutnya ke Abesinia yang beragama Kristen Koptik untuk mendapatkan suaka. Itulah fase Makkah yang membuat Nabi bertahan di Makkah atas dukungan keluarga. Setelah Khadijah (istrinya) wafat, kepala sukunya juga wafat dan digantikan oleh orang yang tidak simpati kepadanya. Maka pada tahun 620 M, Nabi membuat persetujuan dengan sejumlah penduduk Yatsrib yang terkemuka agar dapat diterima di kalangan mereka. Setelah itu ia hijrah ke Yatsrib, yang di kemudian hari kota ini berubah nama menjadi Madinah. Di Madinah, umat Islam dikelompokkan menjadi dua; Muhajirin dan Anshor. Pada masa Nabi, segala permasalahan tentang umat Islam selalu dikembalikan kepadanya, sebagai rujukan umat Islam. Karena itu, segala perselisihan yang terjadi di antara umat Islam segera bisa diselesaikan. Setelah Nabi wafat, umat Islam mulai berselisih. Perselisihan itu terjadi diawali tentang masalah penentuan siapa yang berhak mengganti posisi kepemimpinannya. Ada kelompok yang mengatakan bahwa sebelum Nabi wafat, Nabi sudah berwasiat tentang penggantinya. Kelompok ini disebut dengan kelompok Syiah. Sementara kelompok lain mengatakan bahwa ia tidak pernah menentukan penggantinya, sehingga mereka bermusyawarah di Tsaqifah Bani Sadah untuk memilih pengganti Nabi. Kelompok ini dikenal dengan kelompok Sunni. Pada periode-periode ini, umat Islam mulai melakukan berbagai penyebaran Islam ke wilayah-wilayah luar Makkah dan Madinah.

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, 2001), Jilid I, 50.

Ketika masa Khulafa al Rashidin, sampai pada wafatnya Uthman, umat Islam mulai terpecah menjadi dua kubu; pendukung Ali bin Abi Talib dan pendukung Muwiyyah bin Abi Sufyan. Perang antara keduanya diatasi dengan damai yang dikenal dengan arbitrasi (tahkim). Metode damai dengan cara tahkim ini mengecewakan beberapa pendukung Ali, sehingga mereka menyatakan keluar dari barisan Ali dan berbalik menyerang mereka yang menyetujui proses tahkim dengan sebutan kafir. Kelompok ini dikenal dengan nama Khawarij. Islam pada Periode Pertengahan Islam pada zaman pertengahan dapat dibagi menjadi dua; zaman kemunduran dan zaman tiga kerajaan besar. Zaman kemunduran berlangsung sekitar 250 tahun, dan zaman tiga kerajaan besar berlangsung sekitar 300 tahun. Kemunduran umat Islam pada zaman pertengahan diawali dengan kehancuran Baghdad oleh Hulagu Khan (cucu Jengis Khan). Di bidang politik misalnya, dinasti yang berkuasa di Mesir silih berganti dan saling menjatuhkan. Dimulai dari Dinasti Fatimiyyah, yang beraliran Syiah, digantikan oleh Dinasti Ayyubiyyah yang beraliran Sunni. Ayyubiyyah berakhir pada tahun 1250 dan digantikan oleh Dinasti Mamlukiyyah sampai tahun 1517. Perpecahan juga terjadi di antara para ulama pengikut madzhab fikih. Mereka disibukkan oleh kegiatan pembelaan dan penguatan madzhab yang dianutnya, bahkan cenderung beranggapan bahwa madzhabnya adalah yang paling benar. Akhirnya fikih tidak berkembang dan muncul budaya taqlid di kalangan umat Islam. Dalam keadaan demikian ini muncullah tiga Kerajaan besar; Uthmani di Turkey (1290-1924), Safawi di Persia (1501-1736) dan Mughal di India (1526-1858). Akan tetapi ketiga kerajaan ini tidak bisa bertahan, satu demi satu berjatuhan dan digantikan oleh kekuatan lain; Kerajaan Uthmani digantikan oleh Republik Turki (1924), Safawi di Persia digantikan oleh Dinasti Qajar (1925), dan Kerajaan Munghal di India digantikan oleh penjajah Inggris (1875) dan Mesir dikuasai Napoleon dari Perancis tahun 1798. Akhirnya umat Islam memasuki fase kemunduran kedua. Islam pada Periode Modern Periode modern disebut oleh Harun Nasution sebagai zaman kebangkitan Islam. Ekspedisi Napoleon yang berakhir tahun 1801 membuka mata umat Islam, terutama Turki dan Mesir, akan kelemahan umat Islam di hadapan kekuatan Barat. Ekspedisi Napoleon di Mesir memperkenalkan ilmu pengetahuan dengan membawa 167 ahli

dalam berbagai cabang ilmu. Dia membawa dua set alat percetakan huruf Latin, Arab dan Yunani. Ekspedisi itu bukan hanya membawa misi militer, tetapi juga misi ilmiah. Napoleon membentuk lembaga ilmiah yang disebut dengan Institut d Egypte yang mempunyai empat bidang kajian, yaitu ilmu pasti, ilmu alam, ilmu ekonomi dan politik, serta ilmu sastra dan seni. Selain itu diterbitkan juga majalah ilmiah yang bernama Courier dEgypte. Ide-ode baru yang diperkenalkan oleh Napoleon di Mesir adalah sistem negara republik yang kepala negaranya dipilih untuk jangka waktu tertentu, persamaan (egalite) dan paham kebangsaan (nation). Para pemuka Islam pun mulai berpikir dan mencari jalan keluar untuk mengembalikan balance of power yang telah membahayakan umat Islam. Maka muncullah gerakan pembaruan yang dilakukan di berbagai negara, seperti Turki dan Mesir. Gagasan-gagasan pembaruan itu kemudian diserap di berbagai negeri Muslim, termasuk di Indonesia. Dari sejarah Islam di atas, dapat disimpulkan bahwa agama lahir dari dan dalam sebuah realitas sosial tertentu. Tingkat akomodasi dan apresiasinya terhadap realitas sosial di sekitarnya begitu kuat, sehingga dalam berbagai fenomena keagamaan dapat ditemukan adanya keterkaitan antara agama dan budaya yang sangat erat. Hal ini terjadi karena dua hal: pertama, bahwa tidak semua nilai dan prinsip budaya lokal itu bertentangan dengan doktrin dan ajaran keagamaan, bahkan sebaliknya, banyak yang berkesesuaian, sehingga budaya menjadi layak untuk diakomodasi ke dalam agama; kedua, bahwa dengan mengakomodasi nilai budaya lokal, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip dasar ajaran agama tersebut, akan mempermudah usaha sosialisasi agama tersebut. Sebab, sesuatu yang asing akan lebih mudah diakomodasi oleh masyarakat setempat jika ia telah lama dikenal dan akrab dengan masyarakat tersebut. Dari sinilah agama kemudian berusaha tampil dalam wajahnya yang ramah, lunak dan bersahaja di balik budaya dasar yang dianut sebuah masyarakat. Aliran-aliran Pemikiran (Schools of Thought) dalam Islam Ketika Nabi, sebagai sumber umat Islam, telah tiada, segala permasalahan dalam masyarakat Islam menjadi tidak bisa terselesaikan secara sepakat. Banyak perbedaan pendapat antara umat Islam tentang beberapa hal yang berkaitan dengan kehidupan mereka. Maka terbentuklah aliran-aliran pemikiran yang beragam dan sama-sama menyandarkan pemikirannya kepada al-Quran dan Sunnah Nabi. Jika diuraikan adalah

sebagai berikut: Dalam bidang politik, muncul aliran Shiah, Sunni dan Khawarij. Dalam bidang hukum Islam, muncul Hanafiyyah, Malikiyyah, Shafiiyyah dan Hanabilah. Dalam bidang teologi, muncul aliran Khawarij, Murjiah, Muktazilah, Maturidiyyah dan Ashariyyah. Dalam bidang filsafat, muncul al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Razi, al-Ghazali, Ibnu Rushd dan Ibnu Tufayl. Dalam bidang tasawuf, muncul Rabiah al-Adawiyyah, al-Hallaj, al-Arabi, al-Jilli, al-Ghazali dan al-Bustami. Islam, Agama Ritual dan Sosial Dalam agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw, terdapat berbagai petunjuk tentang bagaimana seharusnya manusia itu menyikapi hidup dan kehidupan ini secara lebih bermakna dan dalam arti yang seluas-luasnya. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka, berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan, mencintai kebersihan dan mengutamakan persaudaraan. Dalam al-Quran dan Hadith ditemukan bahwa proporsi terbesar adalah ditujukan pada urusan sosial.2 Dalam kajian ilmu-ilmu sosial ditemukan adanya teori struktural fungsional, yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya. Sementara Islam, sebagai agama, tetap eksis. Itu artinya bahwa Islam mempunyai sejumlah peran dan fungsi di masyarakat. Namun pada kenyataannya, Islam yang ditampilkan oleh pemeluknya jauh dari cita ideal tersebut. Ibadah yang dilakukan umat Islam, seperti shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya hanya berhenti pada sebatas membayar kewajiban dan menjadi lambang kesalehan, sedangkan buah dari ibadah yang berdimensi kepedulian sosial kurang tampak. Itu artinya, di kalangan umat Islam telah terjadi kesalahan dalam memahami dan menghayati pesan simbolis keagamaan itu. Akibatnya, agama lebih dihayati sebagai penyelamatan individu dan bukan sebagai keberkahan sosial secara bersama, seolah Allah tidak hadir dalam problematika sosial kita. Padahal, Islam adalah agama yang memiliki banyak dimensi, mulai dari dimensi keimanan, akal pikiran, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, lingkungan hidup, sejarah, perdamaian, sampai pada kehidupan rumah tangga dan masih banyak lagi. Islam sebagai agama, hadir membawa misi pembebasan umat manusia dari ketertindasan dan ketidak adilan. Namun dalam perjalanan sejarahnya, misi Islam
2

Jaih Mubarak, Metodologi Studi Islam, 7.

tersebut tidak selalu tampak di tingkat realitas kehidupan. Realitas masyarakat muslim masih diliputi kebodohan, kemiskinan, ketimpangan sosial dan ketidak adilan ekonomi. Hal ini terjadi karena pemahaman masyarakat muslim terhadap Islam masih terbelenggu pada tataran simbolik dan formalistik. Keberhasilan misi Islam sebagai agama hanya dimaknai pada seberapa banyak pengikutnya berbondong-bondong dan beramai-ramai melaksanakan ritual-ritual keagamaan, merayakan hari besar, pengukuhan identitas yang bersifat lahiriah dan pada sejauh mana ketentuan-ketentuan ajaran diformalkan. Akibatnya, Islam menjadi jauh dari realitas masyarakatnya. Islam yang semestinya berfungsi sebagai salah satu alat (tool) pembebasan justru jauh dari realitas sosial. Islam dan teksnya hanya duduk di menara gading. Fungsi dasar Islam yang terkandung dalam prinsip-prinsip kemanusiaan terlupakan dan tidak mendapat perhatian sama sekali. Islam melenggang kangkung melayang-layang di atas awan. Islam tidak membumi dan hanya berputar-putar di wilayah teologis. Oleh karena itu, yang menjadi tugas dan tanggung jawab mendasar umat Islam adalah bagaimana mengembalikan fungsi dasar dan prinsip dari diturunkannya Islam di tengah kehidupan manusia, membumikan agama dan mengkomunikasikannya dengan realitas empirik serta memposisikan Islam agar mampu berdialog dan berdialektika dengan manusia beserta kondisi riilnya. Maka perubahan discourse keagamaan sangat diperlukan dengan cara merubah bentuk penafsiran keberagamaan masyarakat muslim. Pemahaman terhadap Islam harus berubah dari teosentris menuju antroposentris sehingga fungsi dan eksistensi Islam akan terbebaskan dari belenggu formalistik, simbolik, God-oriented dan text-oriented. Ia menyatu dan berkolaborasi dengan realitas kemanusiaan dan berorientasi pada masyarakat. Islam tidak boleh dipahami sebagai agama yang hanya mengurusi masalahmasalah ritual ('ubudiyyah) belaka, sementara permasalahan kemasyarakatan (mu'malah) hanya menjadi 'pemanis' bagi sikap keberagamaannya. Umat Islam harus dibangunkan dari keterlelapannya untuk menarik ajaran Islam dari pelataran langit ke pelataran bumi. Perbincangannya dari teks untuk teks yang melayang-layang harus ditarik kepada perbincangan tentang realitas yang menghimpit masyarakat. Untuk itu, diperlukan pemahaman terhadap ajaran Islam dari berbagai dimensi, melalui pendekatan yang digali dari berbagai disiplin ilmu, karena selama ini, seringkali umat Islam memahami agamanya dari sisi teologis yang normatif (Arkoun menyebut kelompok ini sebagai kelompok yang memiliki pendekatan al fikr allht al dogm), sehingga ajaran Islam kurang membumi dan kurang merakyat. Situasi keagamaan cenderung menampilkan kondisi keberagamaan yang legalistik-formalistik.

Agama dimanifestasikan dalam bentuk ritual-formal, sehingga muncul formalisme keagamaan yang lebih mementingkan bentuk daripada isi. Dari kondisi di atas dapat disimpulkan bahwa agama Islam belum sepenuhnya dipahami dan dihayati oleh umat Islam secara maksimal. Oleh karena itu umat Islam perlu diberi pintu masuk untuk memahami Islam secara arif, yang biasa disebut dengan Islamwissenschaft),3 untuk mengubah pemahaman dan penghayatan keislaman masyarakat muslim agar memiliki pemahaman terhadap ajaran Islam secara komprehensif. Memang ada kelompok yang menolak Islam dikaji melalui beberapa pendekatan, karena hal itu akan merusak moral pengkajinya.4 Kelompok ini oleh Arkoun, Guru Besar Islamic Thought di Sorbonne, Perancis, disebut sebagai kelompok yang cenderung mensakralkan pemikiran keagamaan (taqds al afkr al dn), sehingga pemikiran keagamaan masyarakat muslim seolah-olah menjadi taken for granted dan ghairu qbilin li al niqs.5 Proses ini oleh Fazlur Rahman disebut sebagai proses ortodoksi.6 Tetapi pada sisi lain ada kelompok yang menerima Islam dikaji dengan beberapa pendekatan, karena dengan pendekatan-pendekatan tersebut dapat membantu memahami Islam secara lebih komprehensif.7 Studi Islam dengan menggunakan beberapa pendekatan tersebut bekerja dengan data yang mengandung makna-makna keagamaan dalam masyarakat atau komunitas, kelompok atau individu muslim dan menggunakan bantuan metodologis yang mengharuskan para pengkaji untuk memperhatikan secara penuh apa yang dimaksud dengan beragama dan agama dalam masyarakat muslim,8 dengan beberapa macam metodenya.9 Beberapa metode dan pendekatan diperlukan dalam memahami Islam karena secara operasional konseptual dapat memberikan pandangan bahwa Islam tidak hanya berwajah tunggal (single face), melainkan berwajah plural (multifaces). Hal itu diperlukan karena Islam sebagai agama tidak boleh dipahami melalui pintu wahyunya belaka, tetapi juga perlu dipahami melalui pintu pemeluknya, yaitu masyarakat muslim yang menghayati, meyakini dan memperoleh pengaruh dari Islam tersebut. Dengan kata
3

Islamwissenschaft adalah ilmu tentang agama Islam yang menggunakan beberapa pendekatan multidisipliner. Lihat Merlin L. Swartz, Studies on Islam (New York: Oxford Univ. Press, 1981), 21. 4 Lukman Thahir, Studi Islam Interdisipliner (Yogyakarta: Qirtas, 2004), v. 5 M. Arkoun, al Islm, al Akhlq wa al Siysah, (terj.) Hasyim Saleh (Beirut: Markaz al Inma al Qaumi, 1990), 172. 6 Fazlur Rahman, Islam, (terj.) Ahsin Mohammad (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984), 105. 7 Lukman Thahir, Studi Islam Interdisipliner, v. 8 Amin Abdullah, Kata Pengantat, dalam Richard Martin, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama (terj.) Zakiyuddin Baidhawy (Surakarta: Muhammadiyyah University Press, 2001), iii-ix. 9 Lukman Thahir, Studi Islam Interdisipliner, vii.

lain, memahami Islam tidak berarti mencari kebenaran teologis atau filosofis, akan tetapi juga mencari bagaimana Islam itu ada dalam kebudayaan dan sistem sosial dengan berdasarkan pada fakta atau realitas sosio-kultural. Selama ini ada dua model kajian Islam yang dilakukan, pertama oleh kalangan muslim sendiri, kedua oleh kalangan orientalis (Barat). Pendekatan yang pertama disebut fideistic subjectivism / al aql al dn al lht, dan yang kedua disebut scientific objectivism / al aql al falsaf.10 Pendekatan Teologis-Normatif (Normative/Religious Approaches) berupaya memahami agama secara literal, dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya11. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subyektif adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis ini. Pendekatan ini seringkali membawa dampak ketersekatan umat. Di dalam sejarah pemikiran Islam klasik, pendekatan ini memunculkan beberapa bentuk aliran pemikiran, di antaranya adalah Mutazilah, Ashariyyah dan Maturidiyyah,12 yang dalam era modern ini ditemukan dalam bentuk lain, yaitu fundamentalis, modernis, tradisionalis dan sekularis. Masing-masing dari pemikiran itu menyuguhkan bentuk Islam yang berbeda dan terkadang saling menyalahkan satu sama lainnya.13 Dari beberapa aliran pemikiran di atas, dapat diketahui bahwa pendekatan teologis dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk formal atau simbol-simbol keagamaan, yang masing-masing bentuk tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar (truth claim) dan yang lainnya adalah salah. Pemikiran teologis ini seringkali cenderung mengkafirkan kelompok lain, yang tidak sepaham dengan kelompoknya. Antara satu kelompok dengan yang lainnya tidak pernah terjadi dialog atau saling menghargai (intolerance), masing-masing aliran cenderung eksklusif dan fanatis. Sementara pendekatan Historis (Historical Approach) adalah yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, obyek, latar belakang dan pelaku dari peristiwa tersebut.14 Melalui pendekatan sejarah, seseorang
10 11

Eric J. Sharpe, Comparative Religion of History (London: Duckworth, 1986), 313. Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), 28. 12 Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarat: UI Press, 1978), 32. 13 Hammis Syafaq,Masyarakat Muslim Indonesia dan Pembentukan Ideologi Perekat Umat, dalam Akademika (Surabaya: Pascasarjana IAIN Sby, 2004), 14 Taufik Abdullah, Sejarah dan Masyarakat (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), 105.

diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam dunia idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis. Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami Islam, karena Islam itu turun dalam situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Maka di dalam al Quran ditemukan berbagai macam kisah-kisah sejarah, yang dapat dijadikan sebagai patokan dalam memahami ajaran Islam dan juga dapat ditemukan istilah asbb al nuzl dalam memahami ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum-hukum fikih dan lain sebagainya. Pendekatan sejarah ini digunakan oleh kalangan Barat, sebagai orang luar (outsider). Dalam melakukan kajiannya, mereka tidak berangkat dari sebuah keyakinan, sebagaimana yang dilakukan oleh kalangan muslim, akan tetapi dari sebuah asumsi interpretasi yang dikaitkan dengan teori dan perspektif metodologi tertentu,15 yang itu adalah hasil yang mereka ciptakan,16 sehingga hasil interpretasi mereka sering tidak sesuai dengan keyakinan kalangan muslim sebelumnya, sementara itu kalangan muslim sebagai orang dalam (insider), dalam merespon hasil-hasil kajian itu seringkali bertindak a priori dan cenderung untuk menolaknya, tanpa mau mengkaji terlebih dahulu secara ilmiah, bahkan ketika ada pemikiran dari Timur yang menyadur dari pemikiran mereka dengan segera menuduhnya sebagai bagian dari misi orientalis dan cenderung untuk mengkafirkannya.17 Di sinilah, menurut Muhammad Sad al Ashmw, letak kekurangan masyarakat muslim, di mana ketika mengkaji sebuah pemikiran tertentu mereka lebih banyak berpedoman pada keyakinan (keimanan) daripada tataran metode penelitian ilmiah, lebih banyak bersandar pada emosi (intuisi) daripada rasio. Sikap semacam inilah yang melahirkan aksi-aksi teror dan masalah takfr (tuduhan kafir terhadap seseorang).18 Apa yang dikemukakan oleh Ashmawi ini cukup berasalan karena pendekatan teologis, yang digunakan oleh pemeluk agama bersangkutan (insider), memunculkan aliran-aliran Kalam yang dogmatis. Oleh karena itu, memahami Islam dengan menggunakan pendekatan teologis semata, tidak dapat memecahkan masalah esensial pluralitas agama Islam saat ini. Terlebih lagi kenyataan mengungkapkan bahwa
15

Hisham Sharabi The Scholarly Point of View: Politics, Perspecrtive, Paradigm dalam Theory, Politics and The Arab World (ed.) Hisham Sharabi (New York: Routledge, 1990), 1. 16 Lihat Edward W. Said , Covering Islam (New York: Pantheon Books, 1981), 154-155. 17 M. Sad al Ashmwi, Min Wahyi al Qalam (Kairo: Dar al Maarif, 1997), 84-89. Maka Merlin Swertz menggambarkan bahwa usaha untuk menyatukan pemikir Barat dan Timur seperti membuang air di samudra, sebab sejak awal mereka sudah terisolir secara individual. Hal ini terjadi karena bahasa metode yang digunakan oleh Barat tidak sama dengan terminologi yang terdapat dalam kajian keislaman di Timur. Merlin L.. Swertz, Studies On Islam (Oxford: Oxford University Press, 1981), 217. 18 Ibid., 98-99.

kemunculan pemikiran teologis tidak pernah lepas dari jaringan institusi atau kelembagaan sosial masyarakat yang ada di sekitarnya. Kepentingan ekonomi, sosial dan politik selalu menyertai pemikiran teologis yang sudah mengelompok dan mengkristal dalam satu komunitas masyarakat tertentu. Pendekatan teologis ini selalu menggunakan cara berpikir deduktif dalam memahami agama, yaitu cara berpikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran yang berasal dari Allah sudah pasti benar. Dimulai dari suatu keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi. Pendekatan ini memunculkan sikap militansi dalam beragama dan berpegang teguh pada ajaran agama. Pendekatan teologis ini berkait erat dengan pendekatan normatif, yaitu suatu pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Allah, yang di dalamnya tidak terdapat penalaran pemikiran manusia. Di antara pendekatan-pendekatan yang berdekatan dengan normative approach adalah: missionary approach, apologetic approach dan irenic approach.19 Dalam catatan Adams, pendekatan missionary approach bermula dari terjadinya booming misionaris sebagai serpihan dari umat, sekte dan gereja Kristen, bersamaan dengan pertumbuhan pengaruh politik, ekonomi dan militer di Asia dan Afrika pada abad ke-19. Langkah-langkah yang ditempuh dalam pendekatan ini adalah misi keimanan (faith mission). Sementara apologetic approach memiliki karakteristik apologis. Kecenderungan untuk membanggakan kemampuan Islam untuk menjawab semua tantangan di tengah perkembangan masa modern. Maka muncul sikap menjadikan masa lalu sebagai batu pijakan keluar dari kebusukan internal komunitas muslim serta hasrat untuk terlepas dari tekanan peradaban Barat.20 Dari sinilah mengapa apologetik itu seolah menjadi dewa penyelamat yang mampu mengangkat kehidupan muslim dari keterpurukan menuju pencerahan. Tema-tema yang sering dikumandangkan oleh para apologis adalah soal rasionalitas Islam, dukungan Islam terhadap sains, semangat progresifitas Islam, serta pandangan etika liberalnya. Namun karakteristik pendekatan ini realitasnya sangat ironis, karena cara mereka menampilkan keemasan Islam, meskipun dengan mengacu pada fakta sejarah, tetap cenderung mengorbankan nilai-nilai ilmiah.

19

Charles J. Adams, Islamic Religious Studies, dalam the Study of the Midle East; Research and Scholarship in the Humanities and the Social Sciences, ed. Leonard Binder (New York: A. WileyInterscience Publication, 1976). 20 Ibid.

Sedangkan irenic approach merupakan upaya orang-orang Barat untuk membangun simpati (mutual sympathy) antara tradisi-tradisi agama dan bangsa. Pendekatan ini muncul seiring dengan semakin dewasanya gerakan keagamaan maupun keilmuan di Barat sejak tahun-tahun awal perang dunia kedua.21 Gerakan ini bertujuan untuk lebih mengapresiasikan keberagamaan Islam dan membantu mengembangkan sikap baru terhadap Islam. Salah satu tokoh Barat yang menggunakan teori ini adalah Bishop Kenneth Cragg, seorang teolog terlatih. Dalam beberapa tulisannya, dengan gaya bahasa yang elegan dan syair yang sensitif ia berusaha menunjukkan kepada Barat dan Kristen beberapa unsur keindahan dan nilainilai keagamaan yang menghiasi tradisi Islam. Tidak dapat diragukan bahwa tinjauan yang paling produktif dalam studi Islam telah diberikan oleh para sarjana filologi dan sejarah. Jadi ada dua bentuk pendekatan yang saling berlawanan. Yaitu pendekatan yang digunakan oleh pemeluk agama yang bersangkutan (believer), dan yang kedua oleh orang lain (historian). Yang pertama mempertahankan pemahaman normatif tentang agama-agama lain, cenderung subjektif, fideistic, dengan menilai orang lain benar atau salah, karena melihatnya dari sisi teologis. Yang kedua berusaha melakukannya dengan objektif, scientific, karena melihat agama dari sisi sejarah. Hubungan antara kedua pendekatan di atas seringkali diwarnai dengan ketegangan, baik bersifat kreatif maupun destruktif. Pendekatan yang pertama berangkat dari teks yang sudah tertulis dalam kitab suci, bercorak literalis, tekstualis atau skriptualis. Pendekatan ini memunculkan beberapa bentuk pendidikan keagamaan, seperti pesantren-pesantren, semminary-semminary. Pendekatan yang kedua lebih bersifat historis dan menekankan perlunya telaah yang mendalam tentang asbb al nuzl, baik yang bersifat kultutal, psikologis maupun sosiologis.22 Pendekatan pertama memunculkan bentuk religious studies dan yang kedua memunculkan history of religion atau comparative study of religion. Meskipun kelompok kedua ini menginginkan penemuan objektif dari penelitiannya, akan tetapi sikap mereka tersebut masih dipertanyakan, apakah dalam studi tentang agama-agama tersebut bisa dicapai sebuah scientific objectifism.23 Memang ada sekelompok orang yang beranggapan bahwa kepercayaan orang lain tidak dapat dipahami kecuali dengan bersimpati terhadap kepercayaan orang yang
21 22

Ibid. Charles J. Adams, Islamic Religious Studies, dalam the Study of the Midle East; Research and Scholarship in the Humanities and the Social Sciences. 23 Ibid.

dikaji. Artinya hanya orang muslim yang dapat mengkaji Islam dengan tingkat pemahaman yang memadai. Maka, studi Islam dengan memahami metodologi yang tepat, pendekatan-pendekatan yang relevan, akan membantu dalam memahami bahasabahasa Islam, karena dengan menjadi muslim dan berempati kepada Islam sekalipun, bukanlah jaminan bahwa interpretasi tentang Islam dapat valid. Perkembangan Studi Islam Perkembangan dan pengaruh global terhadap penduduk muslim dunia menyebabkan Islam mendapat perhatian besar dalam studi agama. Pemahaman tentang Islam sebagai agama dan pemahaman tentang agama dari sudut pandang Islam merupakan persoalan yang perlu dielaborasikan, dalam diskusi dan pembahasan para pelajar di bidang studi agama. Berbagai peristiwa di Timur Tengah dan di dunia Islam lainnya juga ikut mendorong sejumlah sarjana, jurnalis dan kaum terpelajar, termasuk dari Barat, untuk menulis karya-karya baru tentang Islam. Studi Islam sebagai sebuah disiplin, sebenarnya sudah dimulai sejak lama. Studi ini mempunyai akar yang kokoh di kalangan sarjana muslim dalam tradisi keilmuan tradisional. Mereka telah mengupayakan interpretasi tentang Islam dan hal ini terus berlanjut hingga sekarang. Ketika terjadi kontak antara orang Kristen dan orang Islam, studi Islam mulai memasuki wilayah Kristen Eropa pada masa pertengahan. Pada masa ini, kajian lebih diwarnai oleh tujuan polemik karena Islam dipahami oleh kalangan orientalis dengan pemahaman yang tidak layak. Meskipun demikian, kontak dan ketegangan antara Islam dan Barat pada akhirnya menemukan titik di mana studi Islam memperoleh manfaat besar dari perkembangan metodologi dan kajian ilmiah di Barat. Dalam dua dekade terakhir ini, semakin tumbuh kesadaran akan pentingnya berbagai pendekatan ilmiah dalam bidang islamic studies dan perhatian akan problemproblem yang dihasilkan dari berbagai pendekatan ini. Dalam setiap pendekatan dijumpai kemungkinan-kemungkinan metode tertentu yang lebih kritis dan aplikatif dari pada metode lainnya. Pendekatan dan metode yang digunakan sangat tergantung pada apa yang ingin diketahui dan jenis data yang akan diakses. Oleh karena itu dalam mengkaji Islam ditemukan multiplisitas pendekatan dan metode yang saling melengkapi dan mengisi secara kritis-komunikatif. Sebagai contoh, dalam studi tentang data keagamaan, seperti al Quran, teks-teks klasik dan interpretasi tentang makna-makna keagamaan, meskipun pendekatan dan metode yang digunakan

sama, kesimpulan ilmiahnya bisa berbeda, karena ada sensibilitas yang berbeda antara satu peneliti dengan peneliti lainnya. Kalau dilacak, sejarah pertumbuhan studi Islam, dapat dilihat pada abad ke-19, di mana kajian Islam pada masa ini lebih menekankan pada tradisi filologi. Para pengkaji di bidang ini adalah dari kalangan pakar bahasa, ahli teks-teks kunci klasik, yang melalui bahasa dan teks klasik itu mereka dapat memahami gagasan-gagasan dan konsep-konsep utama yang membentuk umat Islam, tanpa memahami konteks.24 Pendekatan Filologis (Philological Approach) menekankan pada bahasa teks. Para pengkaji di bidang ini adalah dari kalangan pakar bahasa, ahli teks-teks kunci klasik, yang melalui bahasa dan teks klasik itu mereka dapat memahami gagasan-gagasan dan konsep-konsep utama tanpa memahami konteks.25 Kajian Islam melalui pendekatan filologis ini memiliki keterbatasan, di antaranya adalah penekanannya yang eksklusif terhadap teks. Dunia Islam dipahami melalui cara tidak langsung, tidak dengan melakukan penelitian tentang kehidupan masyarakat muslim yang ada di masyarakatnya, tetapi melalui prisma teks yang umumnya berasal dari tradisi intelektual klasik Islam. Kajian ini berfokus pada tulisan-tulisan muslim, bukan pada muslimnya sendiri.26 Inilah yang menyebabkan para filolog banyak melakukan kesalahan dalam memahami makna data keagamaan. Meskipun demikian, pendekatan ini sangat membantu dalam membuka kekayaan daftar materi keislaman dari dokumen-dokumen lama, karena melakukan studi tehadap Islam tanpa menguasai Bahasa Arab adalah sebuah kemustahilan (an absurdity). Pada masa berikutnya, para pengkaji mulai menyadari kelemahan kajian filologi ini, sehingga muncullah kajian sains. Para penganjur pendekatan ke dua ini berpendapat bahwa kajian tentang masyarakat harus diupayakan melalaui metode-metode sains seperti yang dipahami oleh ilmuwan sosial. Pendekatan ini berdasarkan pada sebuah keyakinan bahwa semua masyarakat akan mengalami proses perkembangan historis. Pendekatan ini juga memiliki kelemahan, di antaranya adalah perhatian yang lebih pada fungsi daripada bentuk-bentuk atau muatan kultural dari institusi sosial. Jadi kelompok ini mencoba mencari jalan pintas. Makna dan muatan kultural dari institusi sosial tidak relevan dan dikesampingkan. Bagi kelompok ini, masyarakat bukanlah sistem makna, tetapi mesin sosial. Kelemahan ke dua dari pendekatan ini adalah terlalu
24

Noor Chozin Askandar, Pendekatan dalam Studi Islam (Makalah Kelas Program Doktor IAIN Sunan Ampel Surabaya, angkatan 2003). 25 Ibid. 26 Zakiyuddin Baidhawy,Perkembangan Kajian Islam dalam Studi Agama, dalam Richard Martin, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama (terj.) Zakiyuddin Baidhawy (Surakarta: Muhammadiyyah University Press, 2001), xi-xxv.

mengesampingkan keunikan masyarakat, menyamakan semua masyarakat di dunia, yang berjalan di atas rute sama, menuju modernitas. Dari kekurangan-kekurangan yang dimiliki oleh dua pendekatan tersebut, tampak jelas akan perlunya suatu pendekatan lain yang dapat menghindari keterbatasan dari masing-masing pendekatan tersebut, bahkan mengkombinasikan dan mengembangkan lebih jauh kekuatan keduanya. Maka muncullah kemudian pendekatan lain, yang dimunculkan oleh para pengkaji Islam, di antaranya adalah pendekatan fenomenologi. Konstruksi Teori & Pendekatan dalam Studi Ke-Islaman Seiring dengan pemekaran wilayah pemahaman dan penghayatan keagamaan, yang antara lain disebabkan oleh transparansi sekat-sekat budaya, sebagai akibat dari luapan arus informasi dalam era ilmu dan tekonologi, masyarakat Islam membutuhkan masukan-masukan dari kajian-kajian keagamaan yang segar, yang tidak lagi melulu bersifat teologis-normatif, tetapi juga menginginkan masukan-masukan dari kajian keagamaan yang bersifat historis-kritis. Untuk itu, dalam buku ini, penulis akan menegaskan perlunya pendekatanpendekatan yang bervariatif dalam studi Islam. Studi Islam dengan menggunakan pendekatan yang besifat komprehensif, multidisipliner, interdisipliner dengan menggunakan metodologi yang bersifat akademik-kritis. Konstruksi adalah cara membuat bangunan-bangunan. Teori berarti pendapat yang dikemukakan sebagai suatu keterangan mengenai suatu peristiwa.27 Ilmu penelitan teoriteori itu pada hakikatnya merupakan pernyataan mengenai sebab akibat, atau mengenai adanya suatu hubungan positif antara gejala yang diteliti, dari satu atau beberapa faktor tertentu dalam masyarakat. Sebagai contoh, pada saat kita ingin meneliti gejala bunuh diri, kita sudah mengetahui tentang teori integrasi atau kohesi sosial dari Emile Durkheim, yang mengatakan adanya hubungan positif antara lemah dan kuatnya integrasi sosial dan gejala bunuh diri. Ia mengatakan bahwa faktor utama yang menentukan dalam gejala ini adalah integrasi sosial. Perumusan analisa teoritisnya dapat diutarakan sebagai berikut: integrasi atau kohesi sosial dapat memberi dukungan batin kepada para anggota kelompok yang mengalami berbagai kegelisahan dan tekanan jiwa yang hebat. Angka bunuh diri adalah fungsi dari kegelisahan dan tekanan jiwa yang terus-menerus dialami orang-orang tertentu.28
27 28

Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, 117. Koentjaraningrat, Metode metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia, 1983), 20.

Jadi, teori adalah alat terpenting bagi suatu ilmu pengetahuan. Tanpa teori, berarti hanya ada serangkaian fakta atau data saja dan tidak ada ilmu pengetahuan. Fungsi teori adalah menyimpulkan generalisasi fakta-fakta, memberi kerangka orientasi untuk analisis dan klasifikasi fakta-fakta, meramalkan gejala-gejala baru, mengisi kekosongan pengetahuan tentang gejala-gejala yang telah ada atau sedang terjadi.29 Teori-teori tentang penelitian agama Islam telah banyak dilakukan oleh para ahli, di antaranya yang dirangkum dengan gamblang oleh Richard Martin, dalam bukunya Approaches to Islam in Religious Studies. Sementara itu, yang dimaksud dengan pendekatan adalah cara pandang atau paradigma pada suatu bidang ilmu yang digunakan untuk memahami agama. 30 Studi tentang data keagamaan, seperti al-Quran, teks-teks klasik, dan interpretasi tentang makna-makna keagamaan, meskipun pendekatan dan metode yang digunakan sama, kesimpulan-kesimpulan ilmiahnya cenderung berbeda karena ada praduga-praduga dan sensibilitas yang berbeda. Situasi yang sama terjadi pada studi tentang agama-agama dan budaya-budaya selain Islam. Dalam studi agama dikenal dua jenis pendekatan, yaitu pendekatan seorang beleiver/insider, dan pendekatan seorang historian. Pendekatan seorang mukmin dan pendekatan seorang ilmuan kritis.31 Bagi seorang agamawan yang baik, sudah barang tentu, pendekatan seorang mukmin dianggap lebih baik, sehingga patut diutamakan. Tetapi jika pendekatan tadi dihadapkan kepada realitas empirik kehidupan manusia beragama, seringkali pendekatan ini tidak memberikan penjelasan yang memuaskan terhadap kenyataan, sehingga terdapat gap yang terkadang cukup tajam, antara wilayah yang seharusnya (Islam Resmi) dan wilayah apa adanya (Islam Popular). Secara garis besar, pendekatan dalam studi Islam dapat dibedakan menjadi pendekatan normatif dan pendekatan deskriptif.

Peran Ilmu Sosial dalam Memahami Islam

29 30

Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, 151. Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (ed.), Metodologi Penelitian Agama, Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), 92. 31 Amin Abdullah, Studi Agama; Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 61.

Tawaran Arkoun32 Arkoun menyatakan perlunya perbaikan terhadap hasil dari beberapa kajian keislaman yang dilakukan oleh beberapa pihak; pertama oleh kalangan muslim (al Islmiyyn), yang tidak setuju dengan pendekatan sosiologis, baik dari sisi metodologis, terminologis serta problematikanya, untuk digunakan dalam sebuah kajian keislaman. Kedua, oleh para orientalis, yang dalam kajiannya, analisis yang digunakannya tidak terlalu mendalam (l yafham al budu al dn), di mana mereka hanya berangkat dari beberapa contoh dan kondisi sejarah yang berbeda dan mengkajinya dari sudut pandang ilmu-ilmu sosial semata, yang itu merupakan produk dari Barat. Mereka terkadang hanya berangkat dari pendekatan linguistik (filologis), sehingga miskin akan discourse of analysis. Dengan melihat kasus di Perancis, Arkoun membicarakan tentang perbedaan tradisi yang terjadi di tengah-tengah keilmuan masyarakat Barat dan Eropa secara umum, yaitu perbedaan antara peneliti dari kelompok ilmu-ilmu humanities di Barat, yang tidak menekuni kajian keislaman dan warisan intelektualnya dengan kelompok yang memang menekuni kajian-kajian keislaman (para orientalis). Arkoun menyayangkan, karena para orientalis itu tidak membuka wacana diskusi di bidang epistemologi dengan para pengkaji ilmu-ilmu humanities. Arkoun mengkritik para orientalis dengan mengatakan bahwa mereka telah ketinggalan metodologis dan berwawasan sempit di bidang epistemologi. Maka Arkoun mengajak untuk mengadakan revolusi di bidang kajian-kajian keislaman dan Arab. Arkoun menyatakan bahwa para pengkaji Islam harus keluar dari sikap spesialisasi keilmuan yang sempit, karena sikap seperti itu dapat menyebabkan terpisahnya seorang ilmuan dari ilmuan lainnya, sehingga tidak mampu menghadirkan sebuah pemahaman yang benar dan menyeluruh dari peristiwa yang terjadi di masyarakatnya. Faktor yang mendorong Arkoun untuk tidak menyukai sikap spesialisasi yang sempit, karena hal itu dapat menyebabkan penyudutan obyek kajian dan memberikannya suatu gambaran yang sepotong, tidak menyeluruh. Menurut Arkoun, jika semua ilmu sosial saling mendukung satu sama lainnya, maka akan dapat menghadirkan sebuah pandangan yang universal tentang suatu masyarakat. Menurut Arkoun, selama ini seorang sosiolog hanya disibukkan oleh dunianya sendiri, ilmuan bahasa juga demikian, seorang antropolog juga demikian dan seterusnya. Tidak ada satu pun yang saling berkomunikasi untuk menyampaikan hasil pemikirannya yang kemudian digabungkan dalam satu kesimpulan. Padahal, berbagai
32

Arkoun, al ulm al Ijtimiyyah Amma al Tahaddiyya al Zahiriyyah al Islmiyyah (Materi Perkuliahan Islamwissenschaft Program S-3 IAIN Sunan Ampel Surabaya).

macam metodologi dan variasi ilmu akan membantu dalam memahami sebuah gerakan yang muncul di masyarakat dan faktor yang memunculkannya. Dalam pandangan Arkoun, akan sulit memahami apa yang terjadi di masyarakat Arab dan Islam jika tidak memahami faktor-faktor penting yang menyebabkan peristiwa itu terjadi, baik faktor historis, teologis, sosial, psikologis, demografis, geografis dan seterusnya. Untuk dapat memahami semua itu, dibutuhkan yang namanya ilmu-ilmu sosial. Akan tetapi, masyarakat Islam masih belum malakukannya dan belum mencoba untuk mempelajarinya, sehingga terdapat beberapa kendala ideologis, teologis dan politis yang membatasi antara peneliti dan kajian yang ditelitinya. Secara sederhana, dari paparan Arkoun dapat disimpulkan bahwa kekurangan dari beberapa kajian yang dilakukan oleh Barat, terutama tentang fundamentalisme Islam, adalah miskinnya analisis atau epistemologi. Kajian yang mereka lakukan sangat membosankan dan berputar-putar sekitar Islam sebagai oknum yang bertanggung jawab atas semua peristiwa yang terjadi di masyarakat berbasis muslim. Maksudnya, Barat sering berkeyakinan bahwa Islam bertanggung jawab atas semua peristiwa yang terjadi di masyarakat Islam atau Arab. Mereka membebani Islam sebagai lembaga yang bertanggung jawab dari semua peristiwa, padahal di sana ada beberapa faktor lain seperti sosisologis, politis dan ekonomi. Dulu para penganut paham marsis memahami sesuatu dari sudut pandang ekonomi, dan kini para orientalis memahami sesuatu dari sudut pandang Islam. Padahal dalam realitasnya, yang membangkitkan gejolak di masyarakat adalah banyak faktor, bukan hanya satu faktor. Mereka berbicara tentang Islam dengan I huruf besar, bukan dengan i huruf kecil, dan menjadikannnya sebagai faktor tunggal yang menyebabkan semua peristiwa itu terjadi, yang tidak bisa diintervensi oleh sesuatu yang lain. Mereka berbicara tentang Islam, seakan-akan Islam sebagai sumber utama dan terakhir dari semua pemikiran dan sikap yang muncul di semua lapisan masyarakat Islam.33 Sementara itu kaum fundamentalis Islam juga menolak kajian-kajian ilmu sosial untuk digunakan dalam mengkaji Islam dan memiliki sikap yang mudah tersinggung daripada melakukan penelitian tentang Islam secara ilmiah. Maka Arkoun menyatakan bahwa untuk memahami masyarakat Arab atau Islam pada masa kini, dibutuhkan metodologi nalar baru yang pluralis sesuai dengan segala masyarakat, progresif,
33

Dalam realitasnya, masayarakat Muslim banyak yang mengikuti cara pandang orientalis ini. Mereka berkeyakinan bahwa Islam memberikan pengaruh yang besar di dalam segala sesuatu, dan tidak bisa dipengaruhi oleh hal lain. Islam mampu merubah semua problem yang terjadi dengan seketika, atau seperti yang dilakukan oleh tongkat sihir. Dari alasan itu, banyak yang menyerukan penerapan syariat Islam sebagai obat penawar yang mampu menyelamatkan umat. Akan tetapi mereka tidak memahami bahwa syariat itu muncul, secara historis, untuk memecahkan segala problem tejadi pada abad-abad hijriah awal, bukan untuk abad modern ini.

komparatif, revolusioner, memiliki sifat terbuka, sistematis, memiliki analisa yang luas, universal. Nalar ini oleh Arkoun disebut dengan nalar falsafi (al aql al falsafi). Nalar ini adalah lawan dari nalar teologis (al aql al dni). Nalar ini bersifat defensif (al difi), ofensif (al hujmi) dan dogmatis (al dogmi). Sebuah nalar yang menutup gerak pemikiran Islam semenjak abad ke XI dan XII Masehi. Nalar teologis ini berakibat pada sakralisasi pemikiran keagamaan (the sacralisation of religious thought/taqds al afkr al dn), dan pemikiran semacam inilah yang memunculkan gerakan fundamentalisme dalam setiap agama-agama. Islam semacam inilah yang dikaji oleh para sarjana Barat, karena mereka mengkaji Islam dari masyarakat muslim yang sedang mencari kerja di Eropa. Padahal para pekerja muslim yang mencari sesuap roti di Eropa itu membawa potret Islam yang sangat sederhana, sehingga tidak mungkin memahami pemikiran Islam atau filsafat Islam hanya dengan membaca potret tersebut, tetapi inilah yang dilakukan oleh masyarakat Barat dalam melihat Islam. Struktur fundamental dari al aql al falsafi adalah logis, human properties, kritis, dan essense. Sementara struktur fundamental dari al aql al dn adalah teks/wahyu dan unthinkable. Maka wajib bagi ilmuan sosial untuk membongkar paradigma itu, karena banyak sekali para peneliti yang tidak peduli dengan hal ini dalam melakukan kajian tentang Islam. Mereka hanya memperhatikan peristiwa-peristiwa yang sering muncul ke permukaan dengan mengkaji para tokohnya atau pemimpinnya, tetapi mereka tidak mau mengkaji lebih jauh dari itu. Maka langkah untuk membebaskan diri dari belenggu ungkapan-ungkapan dan teks-teks keimanan adalah dengan melakukan pembebasan sejarah, bukan hanya dari metode sejarah filologi abad ke-19, tetapi juga dari para sejarawan yang menggabungkan antara filologi, sosiologi, ontologi dan antropologi. Setiap ilmu itu harus digunakan untuk memahami dua sumber baku yang diyakini oleh umat Islam dan membongkarnya dari dalam. Dengan menguasai beberapa ilmu tersebut akan dapat dicapai suatu pemahaman yang utuh terhadap istilah-istilah, pemikiran-pemikiran, gambaran-gambaran klasik yang bermacam-macam, yang penuh dengan keyakinan dan ketakwaan. Sesungguhnya, bekunya pemikiran Islam selama beberapa abad telah menyebabkan lemahnya nalar kritik. Peran pemikiran Islam telah dikalahkan oleh sebuah pembenaran atas sebuah keimanan dan posisinya telah diselewengkan dari posisi yang sebenarnya oleh pihak penguasa dan tokoh-tokoh agama, bahkan terkadang menjadi alat mekanis yang tidak mungkin bisa dikendalikan lagi, karena tekanan dari

lingkungan. Pemikiran dogmatis tersebut telah menyebabkan tertinggalnya nalar kritik atau menyebabkan berhentinya tugas nalar itu dari kerjanya hingga sekarang. Pemaksaan teologis dan politis itu pun masih terus berlanjut hingga sekarang. Ironisnya, semua itu dilakukan oleh tokoh-tokoh agama yang memiliki kedekatan dengan penguasa. Mereka kemudian diberi jabatan sosial dan politik untuk membungkam dan mempertahankan pendapat penguasa. Sebagai contoh, ketika terjadi pemaksaan atas paham al-Quran sebagai makhluk, muncul seorang penguasa yang memaksakan pemahaman bahwa al-Quran bukan merupakan makhluk untuk melawan paham Muktazilah yang mengakui al-Quran sebagai makhluk. Ia pun memaksakan masyarakat Islam untuk membaca teks akidah Qadiriyyah di setiap masjid di Baghdad. Maka muncullah kemudian pernyataan yang menetapkan bahwa siapa saja yang mengatakan bahwa al-Quran adalah makhluk, maka ia boleh dibunuh. Semenjak itu, tidak ada yang berani memunculkan pemikiran Muktazilah ataupun membicarakannya. Demikianlah bagaimana dogma Islam Sunni yang sering disebut sebagai paham ortodoksi menjadi merasuk ke dalam jiwa umat Islam. Kondisi semacam itu pun terus berlanjut hingga masa pemerintahan Uthmani pada periode awal (penganut Hanafi), yang mewajibkan paham Sunni sebagai paham tunggal dan dianggap paham yang paling benar dalam memahami Islam. Sementara itu, di wilayah lain, tepatnya di Iran, kaum Safawid juga mewajibkan paham Syiah Imamiyyah sebagai paham tunggal yang paling benar dalam memahami Islam. Demikian pula yang terjadi di beberapa wilayah Islam lainnya. Maka pada abad ke-19, warisan yang diperoleh oleh aliran skolastik adalah warisan yang miskin, di mana kekuasaan Uthmani menyatakan sebagai kekuasaan Tuhan. Begitu juga dalam tarekat-tarekat sufi, yang berada di bawah kekuatan politikagama, mereka menciptakan tradisi pengangkatan-pengangkatan santrinya ke derajat wali yang sangat suci. Mereka menganggap para kaum santri yang telah mencapai derajat wali itu sebagai orang yang mampu mendekati Tuhan dan mampu memberikan manfaat bagi rakyat miskin dan bodoh yang melindungi mereka dari segala macam bentuk musibah. Islam yang semacam inilah yang dilihat pertama kali oleh masyarakat Eropa ketika mereka datang untuk menjajah negara-negara Muslim. Islam semacam ini pulalah yang dikaji oleh ilmuan antropologi dan sosiologi untuk beberapa abad silam. Mereka melihat Islam sebagai bentuk khurafat, mistis, agama yang terbagi-bagi ke dalam beberapa kelompok tertentu.

Oleh karena itu, Arkoun menawarkan teori baru dalam mengkaji Islam dengan menggunakan pendekatan multi-interdisipliner; filsafat, sosiologi, antropologi, sejarah, kritik literal. Teori ini yang kemudian disebut dengan istilah al aql al jadd al istitli. Tawaran M. M. Abu Rabi34 Abu Rabi menyatakan bahwa kejayaan Islam pada abad ke-15 dan 16 adalah ketika tiga kerajaan besar masih berjaya; Kerajaan Uthmani di Turkey, Kerajaan Safavid di Persia dan Kerajaan Mughal di India. Akan tetapi kejayaan umat Islam mulai melemah pada awal abad ke-19, karena dua alasan; pertama, stagnasi otoritas pusat dalam melakukan modernisasi sebelum kebangkitan bangsa Eropa, kedua, ekspansi Eropa ke dunia Islam. Dalam merespon kolonialisme bangsa Eropa terdapat banyak pandangan. Kalau dijabarkan ada tiga hal yang harus dilakukan; modernisasi, nasionalisasi dan revivalisasi. Tiga hal inilah yang menciptakan sejarah modern Islam. Dari tiga hal tersebut muncullah di dunia Islam kelompok-kelompok keagamaan yang disebut dengan Islamic revivalism. Gerakan ini bisa dibagi menjadi empat; pre-colonialism (Wahhbiyyah), colonialism (NU-Muhammadiyyah), post-colonialism (Jamaah Jihad di Pakistan) dan Post-nation-state (FPI).35 Ciri-ciri gerakan di atas bisa dilihat dari masing-masing bentuk institusi dan spiritualnya. Institusi membentuk pendidikan, politik, ekonomi dan hukum, sementara spiritual merupakan identitas kulturalnya. Maka dari keempat gerakan tersebut, dalam dunia Islam muncul dua bentuk pendidikan; tradisional dan modern. Pendidikan tradisional adalah pendidikan yang mengandalkan hafalan dan fokus keilmuan yang absolut, sementara pendidikan modern adalah pendidikan yang sudah dimodifikasi dengan model modern dan pendidikan kritik. Dari berbagai macam bentuk pemikiran yang muncul, maka perlu kiranya dibedakan antara pemikiran Islam dan Islam. Pemikiran Islam adalah semua bentuk cabang keilmuan yang berkembang di masyarakat Islam, seperti ilmu tafsir, ilmu Hadits, Kalam, Fikih dan Tasawuf, sementara Islam adalah suatu ajaran yang bersifat absolut. Maka ketika berbicara tentang Islam, sangat penting untuk mengemukakan beberapa pemikiran, pertama bahwa Islam telah menjadi problem filsafat, teologi, ideologi di dalam Arab modern dan pemikiran umat Islam. Beberapa orang menyatakan tentang validitas Islam resmi (Official Islam), sementara yang lain berbicara tentang
34

M.M. Abu Rabi, 11 September (Mata Kuliah Islamwissenschaft Program S-3 IAIN Sunan Ampel Surabaya). 35 Ibid.

Islam populer (Popular Islam). Artinya, dapat ditemukan Islam yang bermacam-macam dari sisi antropologi. Kedua, bahwa pemikiran Islam secara teologis sudah banyak dipengaruhi oleh politik. Ketiga, bahwa Islam juga telah dikaji melalui pendekatan teks. Oleh karena itu M. M. Abu Rabi menawarkan perlunya bantuan ilmu-ilmu sosial bagi para pengkaji ilmu-ilmu keislaman guna mempertajam analisisnya tentang fenomena yang terjadi di dunia Islam. Hal inilah yang sering diabaikan oleh para pelajar muslim, terutama yang belajar tentang hukum Islam. Sosiologi adalah ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat secara lengkap, dari sisi struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Dengan ilmu ini, suatu fenomena sosial dapat dianalisa melalui beberapa faktor yang mendorong terjadinya hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut.36 Sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami Islam, karena banyak sekali ajaran Islam yang berkaitan dengan masalah sosial. Tidak mudah memang menjelaskan apa yang dimaksud dengan a social scientific approach, tetapi paling tidak ada beberapa faktor yang dapat menunjukkan adanya elemen-elemen dari pendekatan ilmu-ilmu sosial tersebut. Pertama, keyakinan tentang adanya kemungkinan dan hasrat untuk bersikap objektif terhadap kekuatan yang membentuk perilaku manusia. Kedua, kecenderungan untuk mendekati kajian tentang manusia dengan membagi aktivitas mereka ke dalam segmen-segmen yang berlainan. Pendekatan ini membuat agama dapat dijelaskan secara objektif, sehingga perannya dalam masyarakat dapat dipahami. Kelemahan dari pendekatan ini adalah reduksionisme terhadap pandangan keagamaan manusia. Reaksi yang sering muncul terhadap pendekatan sosial adalah karena tercabutnya beberapa referensi transendental dan diturunkannya ke dalam dunia material. Elemen atau karakteristik illmu sosial adalah kecenderungannya untuk mengkaji budaya manusia dari pendekatan interdisipliner, sehingga kurang begitu sukses dalam menjelaskan realitas agama. Selama ini para pemikir yang mengkaji tentang beberapa sisi Islam tidak banyak menggunakan teori-teori sosial, baik dari sisi metodologis, terminologis serta problematikanya. Para orientalis, dalam kajian mereka, menggunakan analisa yang tidak terlalu mendalam, di mana mereka hanya berangkat dari beberapa contoh dan kondisi sejarah yang berbeda dan mengkajinya dari sudut pandang ilmu-ilmu produk mereka. Sementara kajian keIslaman yang dilakukan oleh orang Islam, tidak diiringi oleh ilmuilmu sosial, sehingga sangat kering.
36

Ibid., 39.

Hilangnya ilmu-ilmu sosial dan filsafat kritik dari lapangan ilmu Shariah bisa dilihat dari fakta, bahwa semua pelajar dari dunia Islam (Timur), yang mendapatkan kesempatan untuk belajar ke Barat, hanya belajar tentang ilmu-ilmu pasti dan administrasi bisnis, yang lepas nilai atau bebas kritik. Alasannya, karena mereka beranggapan bahwa ilmu-ilmu keagamaan merupakan ilmu yang irrelevant. Mereka beranggapan bahwa ilmu sosiologi agama merupakan ilmu yang bisa membawa pengkajinya ke dalam bidah. Hal inilah yang perlu dirubah dari pemikiran-pemikiran umat Islam di masa sekarang. Tawaran Charles J. Adams37 Dalam kerangka berpikir Charles J. Adams, pemahaman mengenai konsep Islam tidak dapat dipisahkan begitu saja dari pandangan dunia para pemeluknya. Pemaknaan terhadap Islam, pada umumnya masih sangat terbatas, termasuk model pendefinisian modern yang cenderung reduksionis. Dalam arti belum memberikan penjelasan yang memadai tentang Islam.38 Islam tidak bisa diartikan dalam satu bentuk, tetapi banyak bentuk, tidak hanya satu bentuk sistem kepecayaan dan praktik, tetapi banyak sistem dan praktik. Dari itulah, definisi tentang Islam selama 100 tahun lebih belum ada yang memuaskan. Ada aspek-aspek penting dalam Islam yang menjadi pandangan dunia masyarakat muslim tidak tercover dalam pemaknaan Islam selama ini.39 Ada beberapa perbedaan di kalangan umat Islam dalam memahami Islam. Sebagai contoh, komunitas Sunni dan Shiah. Keduanya sama-sama memiliki bentuk inovasi tersendiri dalam memahami Islam. Jadi ada kesulitan dalam memahami apa itu Islam. Kesulitan ini juga ditemukan ketika ingin memahami apa itu Kristen, apa itu Budha dan seterusnya. Kesulitankesulitan itu, menurut Adams, dikarenakan oleh keluasan konsep Islam itu sendiri dan keanekaragaman komunitas muslim secara historis. Mengkaji Islam sebagai agama, sebagaimana dirasakan oleh Adams sendiri, memang mengisyaratkan adanya kesulitan-kesulitan yang amat berat. Kesulitan ini muncul karena rumitnya pemahaman terhadap konsep Islam dan agama itu sendiri. Atas dasar itu, Adams berpendapat bahwa tidak ada harapan untuk merealisasikan sebuah definisi paling esensial tentang Islam yang dapat berlaku secara universal.40
37

M. Luthfi Mustofa, Pendekatan dalam Studi Islam (Makalah Kelas Program Doktor IAIN Sunan Ampel Surabaya, angkatan 2003). 38 Ibid. 39 Charles J. Adams,Islamic Religious Tradition, dalam The Studi of the Middle East (New York: A Wiley Publication, 1976), 29. 40 Ibid., 31.

Walaupun demikiran, Islam harus dilihat dari perspektif sejarah sebagai sesuatu yang mengalami perubahan secara terus menerus, berkembang dan membentuk jawaban generasi muslim secara berturut-turut terhadap pandangan mereka yang paling dalam mengenai realitas dan makna kehidupan manusia. Dengan demikian Islam tidak dapat dipahami hanya secara sepihak, tetapi agak lebih lengkap, bukan sebuah sistem kepercayaan atau peribadatan, tetapi beberapa sistem. Akhirnya Adams menyatakan bahwa untuk memahami Islam harus merujuk kepada suatu pengalaman sejarah yang terus berproses, berubah dan berkembang untuk merespon segala bentuk realitas dalam kehidupan manusia. Dalam memberikan pemaknaan terhadap Islam sebagai agama, Adams mendekatinya dari dua perspektif; pertama, inward experience, bahwa ada dimensi batin dalam agama, suatu wilayah kesadaran, perasaan dan tanggung jawab yang bersifat personal atau tidak dapat dikomunikasikan. Area ini hanya dapat diakses secara parsial oleh seseorang dan sering tidak dapat diakses keseluruhannya. Kedua, outward behaviour, bahwa ada dimensi eksternal yang dapat diamati dan dikomunikasikan. Dalam tulisannya, Wilfred Cantwell Smith mengatakan bahwa menjelaskan problem pemaknaan agama bisa melalui dua pendekatan; tradition dan faith. Yang pertama mengandung arti eksternal (outward behaviour/outerlife), yakni aspek-aspek sosial dan kesejarahan keagamaan yang dapat diamati dari kehidupan masyarakat. Sedangkan yang kedua internal (inward behaviour/innerlife), dalam arti tidak terlukiskan karena merupakan orientasi transendental dan dimensi kehidupan beragama yang bersifat pribadi. Maka, ketika Islam sebagai agama, merupakan pengalaman tentang realitas kekuasaan Tuhan dan kehendakNya kepada manusia, jawaban atas pengalamanpengalaman itu, ekspresi keagamaan, perkembangan pengalaman melalui bentuk-bentuk intelektual, struktur ibadah dan tipe-tipe pengelompokan sosial yang jelas. Untuk itu Adams menawarkan lima perspektif untuk mendekati Islam, yaitu; normative or religious approach, philological approach, historical approach, social scientific approach, dan phenomenological approach.41 Kelima pendekatan ini bisa dirampingkan menjadi dua bentuk pendekatan; normative (al aql al dn al lht) dan descriptive (al aql al falsafi). Yang pertama digunakan oleh mereka yang memiliki komitmen keagamaan, di mana konteks kajiannya bertujuan untuk menarik orang lain masuk ke

41

Charles J. Adams, Islamic Religious Tradition, dalam The Study of the Moddle East; Research and Scholarship in the Humanities and the Social Science, ed. Leonard Binder (New York: A WileyInterscience Publication, 1976).

dalam agamanya. Yang kedua digunakan oleh peneliti yang semata-mata dimotifasi oleh intellectual curiosity terhadap Islam.42 Menurut Sidi Gazalba, filsafat adalah berpikir secara mendalam, sistematik, radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau hakikat mengenai segala sesuatu yang ada.43 Pendekatan Filosofis (Philosophical Approach) dapat digunakan dalam memahami ajaran agama Islam dengan maksud agar hikmah, hakikat atau inti dari ajaran Islam dapat dimengerti dan dipahami secara seksama. Sebagai contoh, upaya untuk mengungkap hikmah yang terdapat di balik ajaran-ajaran Islam, seperti sholat berjamaah, yang hikmahnya adalah hidup secara berdampingan dengan orang lain. Dengan berpuasa dapat merasakan lapar yang biasa dirasakan oleh orang fakir-miskin, sehingga dapat memunculkan rasa iba kepada mereka dan seterusnya. Melalui pendekatan filosofis ini seseorang tidak akan terjebak pada pengamalan agama yang bersifat formalistik, yakni mengamalkan agama dengan susah payah tetapi tidak memiliki makna apa-apa, kosong tanpa arti. Orang sudah menunaikan haji tetapi hanya berhenti di situ saja, tidak dapat merasakan nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya. Di antara pendekatan yang berdekatan dengan perspektif normatif adalah the traditional missionary approach, the muslim apologetic approach dan irenic approach. The traditional missionary approach adalah pendekatan yang muncul bermula dari terjadinya booming misionaris sebagai serpihan dari umat, sekte dan gereja Kristen, bersamaan dengan pertumbuhan pengaruh politik, ekonomi dan militer Eropa di Asia dan Afrika pad abad ke-19. The apologetic approach adalah pendekatan yang memiliki kecenderungan untuk membanggakan masa lalu, sebagai pijakan dalam menghadapi modernitas. Melalui pendekatan apologetic, sebagian pemikir muslim mengemukakan kelebihan-kelebihan Islam tidak hanya untuk menjawab hegemoni politik Eropa, tetapi sekaligus tantangan intelektual Eropa yang mempersoalkan aspekaspek tertentu ajaran Islam, seperti jihad, poligami, kedudukan wanita, perbudakan dan lain-lain. Pendekatan apologetik cenderung normatif dan idealistik dengan mengabaikan realitas sosial; selain itu juga mencerminkan sikap reaksioner. Oleh karena itulah pendekatan apologetik ini cenderung mempunyai konotasi negatif. Tetapi, pada segi lain, apologeisme pada dasarnya merupakan mekanisme pembelaan diri terhadap ancaman, tantangan dan kritik dari luar yang sering sangat agresif. Sementara jika
42 43

Ibid., 34. Sidi gazalba, Sistematika Filsafat (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), 15.

dilihat dari perspektif umat Islam sendiri, apologisme menunjukkan keinginan untuk membebaskan diri dari tekanan situasi yang represif. Sikap apologetik pada batas tertentu bisa dipahami dan dibenarkan, bahkan dari segi tertentu diperlukan sebagai upaya untuk membangkitkan kembali rasa kebanggaan kepada ajaram Islam dan sejarahnya yang pernah berjaya itu. Apologi pun bisa mendatangkan semacam kenyamanan psikologis, karena ia dapat memberikan kepuasan dan kebanggaan sebagai pemeluk Islam. Apologisme juga bisa bersifat positif, karena ia dapat menjadi inspirasi, yang pada gilirannya bisa mendorong dinamisme sosial. Bahkan apologi yang dilakukan secara sistematis dapat menjadi sumbangan kultural dan spiritual untuk menyusun suatu sistem sosio-kultural yang viable. Tetapi harus segera diakui bahwa apologisme sering tidak menyelesaikan masalah, karena ia memang tidak memberikan jawaban kongkrit terhadap tantangan yang ada. Bahkan jika tingkat apologisme sangat tinggi, ia dapat memunculkan pemikiran dan tindakan yang tidak realistis. Jadi output apologisme bersifat tidak kreatif atau proaktif. Di sini kalangan apologis terjerambab dan terperangkap dalam kegiatan-kegiatan reaktif; sibuk menjelaskan bahwa kemodernan yang ada di Barat juga telah ada di dalam Islam sejak waktu yang lebih lama. Mengagung-agungkan masa lalu seraya mengulang-ulang kesempurnaan Islam, sebenarnya sekaligus berarti menutup-nutupi masalah riil dan aktual yang dihadapi. Dengan demikian, apologisme akan melumpuhkan pemikiran kreatif untuk pencarian jawaban yang tepat terhadap berbagai tantangan yang ada. Sifat restropektif dan reaksioner yang terkandung dalam apologisme mendorong pemecahan masalah secara intelektual ke belakang, tidak ke depan dan menimbulkan problem abstrak yang tidak ada hubungannya dengan realitas yang dihadapi. Maka perlu adanya pembaruan pemikiran dalam masyarakat Islam. Pendekatan ini juga memiliki kelemahan, di antaranya adalah wataknya yang cenderung defensif dan seringkali mengorbankan nilainilai ilmiah, karena caranya yang selalu menampilkan masa keemasan Islam. Irenic approach pada dasarnya merupakan upaya orang-orang Barat untuk membangun saling simpati (mutual sympathy) antara tradisi-tradisi agama dan bangsa. Pendekatan ini muncul seiring dengan semakin dewasanya gerakan keagamaan maupun keilmuan di Barat sejak tahun-tahun awal Perang Dunia ke-II. Pendekatan ini bertujuan untuk mengenalkan Islam dan membentuk dalam mengembangkan sikap baru terhadap Islam, agar orang Kristen bersikap terbuka terhadap Islam. Sementara pendekatan deskriptif adalah pendekatan yang terdiri dari pendekatan filologis (philological approach), pendekatan yang sangat membantu dalam membuka

kekayaan daftar materi keislaman dari dokumen-dokumen lama, seperti sejarah, teologi, hukum dan mistisisme. Pendekatan filologis adalah pendekatan yang menitik beratkan pada bahasa. oleh karena itu, Adams menyatakan bahwa studi secara serius terhadap Islam tanpa menguasai Bahasa Arab adalah sebuah kemustahilan (an absurdity). Social scientific approach, menurut Adams, sangat sulit dijelaskan. Meskipun demikian ada beberapa faktor yang dapat menunjukkan adanya elemen-elemen dari pendekatan ilmu-ilmu sosial tersebut. Pertama, keyakinan tentang adanya kemungkinan dan hasrat untuk bersikap obyektif terhadap kekuatan yang membentuk perilaku manusia. Kedua, kecenderungan untuk mendekati kajian tentang manusia dengan membagi aktivitas mereka ke dalam segmen-segmen yang berlainan. Pendekatan fenomenologis adalah pendekatan yang dilahirkan oleh sekelompok orang yang memiliki perhatian terhadap studi agama di Eropa pada perempat terakhir abad ke-19. Pada dasarnya ia merupakan suatu usaha untuk mendekati agama secara ilmiah, sebagai fenomena sejarah yang paling penting dan universal. Tetapi, sebagaimana dirasakan oleh Adams, ada kesulitan dalam melakukan studi agama secara ilmiah dan independen. Hal ini terbukti bahwa para peneliti agama, termasuk Islam masih dipengaruhi oleh kecenderungan teologis. Hal ini disebabkan oleh sifat agama itu sendiri, yang memiliki referensi transendental. Untuk itu, Adams menganjurkan agar para peneliti agama, termasuk Islam, ketika sedang mengkaji Islam, harus beranggapan bahwa agama itu bukan lagi miliknya. Islam as a history, selalu berkembang dan berubah. kaynnah, sayrrah (perjalanan sejarah), shoyrrah (process). Islam di Baghdad tidak sama dengan di Cordoba. Jadi kritik Adams adalah terjadinya pertentangan antara historian dan essensialist, yang menyamakan sesuatu dengan penglihatan yang umum. Pendekatan Fenomenologis (Phenomenological Approaches) Tawaran Richard C. Martin44 Richard C. Martin mengatakan bahwa meskipun sejarah tentang agama-agama telah ditulis, fungsi dan peran informasi ilmiahnya dari sudut pandang sosiologi pengetahuan belum dikaji secara mendalam. Pada pertengahan kedua abad ke-19, ketika studi ilmiah tentang agama-agama memperoleh status independen di fakultas-fakultas Eropa, adalah periode di mana studi agama-agama dianggap mapan dan independen.
44

M. Zainuddin, Richard C. Martin (Makalah Kelas Program S-3 IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2003).

Di Belanda dan Skandinavia, muncul madzhab yang dikenal dengan fenomenologi agama. Pendekatan fenomenologis yang diilhami oleh Edmund Husserlberupaya untuk memperoleh esensi keberagamaan manusia. Pendekatan fenomenologis ini dilahirkan oleh sekelompok orang yang memiliki perhatian terhadap studi agama di Eropa pada perempat terakhir abad ke-19. Pada dasarnya merupakan suatu usaha untuk mendekati agama secara ilmiah, sebagai fenomena sejarah yang paling penting dan universal. Dalam konteks Amerika Utara, kerja fenomenologi ini biasa dikenal dalam rubrik perbandingan agama (comparative religion) atau sejarah agama-agama (history of religion). Pendekatan fenomenologis ini sulit diberikan pengertian. Charles J. Adams memberikan dua hal yang diperlukan untuk memahami pendekatan fenomenologis. Pertama, fenomenologi diartikan sebagai metode memahami agama orang lain dengan cara menempatkan diri pada posisi netral. Fenomenologi digunakan untuk menerapkan metode dalam meletakkan pandangan subyektif peneliti. Kedua, sebagai konstruksi skema dalam mengklasifikasi fenomena dengan melintasi batas-batas komunitas agama, budaya dan zaman.45 Intinya adalah mencari esensi, makna dan struktur pengalaman keagamaan manusia secara keseluruhan. Dalam pengalaman keberagamaan manusia ada esensi yang irreducible dan itulah struktur fundamental manusia beragama. Prestasi besar pendekatan fenomenologis adalah adanya keniscayaan pandangan bahwa norma dari semua studi tentang agama adalah pengalaman kaum beriman itu sendiri. Oleh karena itu, kepentingan dasar yang menjadi soal fenomenologi ini adalah terkait dengan pertanyaan apa yang telah dialami, dirasakan, dikatakan dan dilaksanakan oleh orang beragama itu sendiri, terutama pengalaman-pengalaman yang bermakna bagi pemeluknya. Dengan demikian tujuan dari studi fenomenologi adalah untuk menjelaskan makna-makna sehingga memperjelas apakah ritus, seremoni, doktrin atau reaksi sosial itu mengandung arti bagi pelakunya dalam peristiwa keagamaan. Selain itu, fenomenologi menghendaki agar untuk memberikan makna terhadap fenomena keagamaan secara memadai, maka seorang peneliti dituntut berfikir secara komprehensif. Kajian fenomenologi berupaya untuk memahami makna keagamaan yang ada dalam pemeluknya dengan menganalisa. Ia merupakan pendekatan yang memiliki sikap terbuka dan empati (open and empathetic approaches). Pendekatan fenomenologis berupaya untuk memanifestasikan agama melalui metode deskripsi murni, di mana penilaian peneliti tentang nilai dan kebenaran ditangguhkan (epoche), obyek ditangkap
45

Charles J. Adams,Islamic Religious Tradition, dalam The Studi of the Middle East (New York: A Wiley Publication, 1976), 50-51.

esensinya (eidetic vision), agama tidak dipandang sebagai satu tahapan dalam sejarah evolusi, tetapi lebih sebagai aspek hakiki dari kehidupan manusia (essential aspect of human life), keragaman ekspresi perilaku keagamaan manusia dipilih dan disaring. Komponen metodologis terpenting dalam kajian fenomenologi adalah das Vestehen, karya W. Dilthey, suatu istilah teknik yang berarti pemahaman tentang gagasan, intensi dan perasaan orang/masyarakat melalui manifestasi-manifestasi empirik dalam kebudayaan. Metode Vestehen mengandaikan bahwa manusia di seluruh masyarakat dan lingkungan sejarah mengalami kehidupan yang bermakna (meaningfull) dan mengungkapkan makna itu dalam pola-pola yang dapat dilihat (discernible patterns), sehingga dapat dianalisis (can be analyzed) dan dipahami (understood). Maka berpikir fenomenologis harus memiliki dua kaki; the comprehension of ideas, intentions, feeling of people, dan the empirical manifestation of culture. Studi al Quran Al-Quran adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. melalui perantara malaikat Jibril dan dinilai ibadah bagi yang membacanya. 46 Al-Quran merupakan sumber utama bagi umat Islam dalam mengarungi kehidupan ini sesuai dengan aturan Allah. Al-Quran merupakan mukjizat terbesar Nabi Muhammad Saw. sepanjang masa. Al-Quran adalah kitab suci umat Islam yang dijadikan pedoman dalam hidupnya. al Quran as Spoken Word William A. Graham47 Berbicara tentang teks suci adalah berbicara tentang kelebihannya yang berupa keasliannya dan diakui keberadaannya, khusunya Kitab-kitab Suci agama-agama Samawi. Kitab Suci dalam Bahasa Inggris disebut scripture, atau Schrift dalam Bahasa Jerman, Scrittura dalam Bahasa Italia. Kata ini berasal dari Bahasa Latin, yaitu Scriptura, yang berarti tulisan. Gagasan tentang kata tertulis yang diwahyukan atau diilhamkan Tuhan kitab, apa yang tertulis, yakni Kitab Suci- setidaknya merupakan hal yang kuno di Barat, sebagaimana periode pasca pengasingan dalam sejarah Yahudi dan terbukti kebenarannya pada abad kedua SM, dalam istilah seperti
46 47

Manna al Qattan, Mabhits f Ulm al Qurn (Mesir: Manshrt al Asr al Hadts, t.t.), 21. William Graham, al Quran as Spoken Word dalam Approaches to Islam in Religious Studies.

ha-sefam, kitab, yang melalui Bahasa Latin menjadi bibel (Bible), yang digunakan untuk merujuk pada sebagian atau keseluruhan tulisan suci berbahasa Ibrani. Istilah Kitab Suci (Scripture), yang berarti tulisan atau catatan suci, seringkali digunakan sebagai istilah umum (a generic category) dalam ilmu modern. Penggunaan istilah ini, menurut the Oxford English Dictionary, telah dibuktikan kebenarannya sejak tahun 1581. Istilah ini digunakan untuk merujuk pada teks-teks non-Kitab sekaligus teks-teks Injil, bahkan istilah ini pertama kali digunakan untuk teks-teks non-Yahudi, non-Kristiani pada tahun 1805. Setiap pemeluk agama menjadikan Kitab Suci sebagai sumber utama yang normatif dan otoritatif. Studi tentang Kitab Suci dalam bidang orientalis dan al Kitab, hingga kini membutuhkan studi dokumen dan konteks historis di mana kitab suci itu berada. Perhatian utamanya adalah untuk menetapkan teks yang asli, belum tercemar, merekonstruksi proses penyusunan teks, menganalisis teks demi informasi historis kontemporer dan meneliti gagasan-gagasan kunci dalam teks serta menelusuri sumbersumbernya. Dalam beberapa kajian fenomenologi agama, kitab suci cenderung didefinisikan sebagai tulisan-tulisan suci (sacret writings), yang erat hubungannya dengan istilah tulisan suci (holy writ). Kategori ini sering dipasangkan dengan firman suci (holy word) dalam kebanyakan katekisme fenomena keagamaan. Beberapa fenomenolog menggaris bawahi dikotomi antara kata (word) dan tulisan (writ), dengan menunjukkan bahwa, sekalipun kata tertulis menentukan dan meminjamkan permanensinya pada kata terucap, ia juga mengancam dan bisa membunuh spirit utama kata oral yang asli, dengan mengurungnya dalam huruf. Dalam artian bahwa membukukan bahasa oral dalam bentuk tulisan kata dapat membatasi gerak dan makna bahasa oral tersebut. Dengan cara ini, para pengkaji agama harus memperkuat delimitasi kitab suci pada teks hitam dan putih dan tulisan suci serta otoritas resmi dalam suatu tradisi. Maka problem yang mucul kemudian adalah pemahaman simplistik tentang kitab suci hanya sebagai kata tertulis, hanya teks fisik dari tulisan suci. Kitab suci menjadi terlalu mudah merujuk pada satu obyek, sekalipun penting di antara banyak hiasan dalam kehidupan agama. Sikap ini berpusat pada pemahaman tentang bahasa itu sendiri yang cenderung pada orientasi naskah dan visual, sehingga bertentangan dengan orientasi suara dan oral. Akhirnya, dengan menfokuskan kajian pada bahasa teks membuat pengkaji al-Quran berada dalam budaya tipografi, di mana secara sadar berasumsi bahwa bentuk bahasa yang paling fundamental adalah kata tertulis atau tercetak, sehingga umat Islam

kehilangan banyak dimensi budaya sastra oral-aural yang menandai peradaban umat Islam yang melampaui revolusi Guttenberg hingga pencerahan. Di bawah dominasi kebisuan kata tercetak secara massal, umat Islam berpikiran bahwa buku adalah gudang kata-kata, data dan gagasan-gagasan tertulis, sehingga mereka memandanganya sebagai obyek yang jauh lebih penting daripada teks-teks yang hidup dan diucapkan. Maka pemahaman yang memadai tentang Kitab suci harus memuaskan kesadaran, bahwa Kitab suci tidak secara sederhana merujuk pada suatu teks, tetapi juga selalu merujuk pada teks dalam hubungannya dengan tradisi yang terus hidup, yaitu hubungannya dengan person atau komunitas imani yang memandangnya suci dan normatif. Selama umat Islam menggunakan Kitab suci untuk merujuk lebih pada suatu dokumen dan tidak lebih dari sekedar dokumen, maka makna Kitab suci sebagai fenomena penting dalam kehidupan dan sejarah agama tidak akan dapat diakses. Sama halnya kemanfaatan Kitab suci sebagai kategori yang bermakna dalam analisis tentang agama akan menjadi minimal. Tulisan Kanonik adalah sesuatu yang dibaca dan dikaji orang. Kitab suci adalah sesuatu yang dihidupkan dan dijadikan sebagai pegangan hidup manusia. Apapun signifikansi etimologis dan harfiahnya, kitab suci adalah petunjuk yang paling hidup, di mana ia hidup sebagai realitas oral dan aural serta vokal. Kitab suci dimaksudkan untuk dibaca, dihafal dan diulang-ulang. Ia juga untuk didengar, direnungkan dan diinternalisasi. Ia adalah kata tertulis yang diucapkan, karena ia merupakan kata terucap sebelum tertulis. Pemahaman semacam inilah yang harus dikedepankan ketika memahamai Kitab suci yang bernama al-Quran. Alasan memahami peran al-Quran (teks suci Islam) sebagai teks oral dalam Islam adalah, pertama, kata al-Quran berasal dari qaraa, yang berarti membaca keras. AlQuran juga berarti bacaan. Kedua, al-Quran adalah firman Tuhan yang diwahyukan kepada Muhammad melalui perantara Jibril dalam bentuk suara atau bunyi. Yang ketiga, kata al-Quran dipengaruhi oleh Bahasa Kristen Syria, qeryana. Istilah ini digunakan untuk merujuk pada bacaan oral, bacaan liturgi dari teks suci (lectio) dan untuk ayat Kitab suci yang dibaca keras (lectio). Hingga kodifikasi atau hingga akhir wahyu yang berhenti dengan kematian Muhammad Saw., tidak dijumpai penggunaan al-Quran untuk merujuk pada kumpulan wahyu dalam bentuk tertulis yang lengkap. Maka dalam al-Quran dikenal disiplin pokok dalam studi Kitab suci Islam, yaitu qirah dan tajwd. Istilah ini merupakan istilah teknis, yang digunakan untuk merujuk tidak hanya pada tindakan atau praktik

membaca keras sebagian atau keseluruhan al-Quran, tetapi juga pada bacaan khusus; pengucapan, pelafalan suatu kata, frase atau ayat dalam al-Quran. Dengan menganggap al-Quran sebagai Kitab suci oral akan membuat umat Islam dapat berkomunikasi dengan ayat-ayat al-Quran tersebut. Artinya, umat Islam tidak memahami al-Quran secara tekstual-normatif, sesuai yang tampak secara eksplisit, tetapi lebih menggali pada yang tidak tampak (implisit). Dengan demikian, ayat-ayat al-Quran menjadi terus hidup, dinamis dan tidak mandeg (jumud). Model-model Penafsiran al-Quran Menurut Quraish Shihab,48 corak-corak penafsiran yang dikenal selama ini antara lain: a. Corak sastra bahasa, yang timbul akibat kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan al-Quran di bidang ini. b. Corak penafsiran ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha tafsir untuk memahami ayat-ayat al-Quran sejalan dengan perkembangan ilmu. c. Corak filsafat dan teologi, akibat penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi beberapa pihak, serta akibat masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang dengan sadar atau tidak masih mempercayai beberapa hal dari keperccayaan lama mereka. d. Corak fikih atau hukum, akibat berkembangnya ilmu fikih, terbentuknya madzhab-madzhab fikih, yang setiap golongan berusaha untuk membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan pada penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum. e. Corak tasawuf, akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi terhadap kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan. f. Corak sastra budaya kemasyarakatan, akibat peran Muhammad Abduh. Adapun macam-macam metode penafsiran al-Quran secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu corak matsr (riwayat) dan corak penalaran. Corak penalaran ini dibagi menjadi empat: tahlly, ijmly, muqrin, mawdy. Metode tahlly adalah suatu metode tafsir yang mufassirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Quran dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Quran, sebagaimana tecantum dalam mushaf.
48

Quraish Shihab, Membumikan al Quran (Bandung: Mizan, 1992).

Dalam hubungan ini, mufassir memulai tafsirnya dari ayat ke ayat berikutnya atau dari surat ke surat berikutnya dengan mengikuti urutan ayat atau surat sesuai dengan yang termaktub dalam mushaf. Di antara karya yang sering dijadikan contoh untuk model tafsir ini adalah Tafsir al Kassyf karya al-Zamakhsyari dan Tafsir al Kabir, karya al-Razi. Metode Ijmly adalah cara menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan menunjukkan kandungan makna yang tedapat pada suatu ayat secara global. Dengan metode ini, seorang mufassir cukup dengan menjelaskan kandungan yang terkandung dalam ayat tesebut secara garis besarnya saja. Metode Muqrin adalah metode tafsir yang dilakukan dengan cara membandingkan ayat al-Quran yang satu dengan lainnya, yaitu ayat-ayat yang mempunyai kemiripan redaksi dalam dua kasus yang berbeda atau yang memiliki redaksi yang berbeda untuk masalah atau kasus yang sama atau diduga sama, atau membandingkan ayat-ayat al-Quran dengan Hadits Nabi yang tampak bertentangan serta membandingkan pendapat-pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran alQuran. Metode Mawdli adalah metode tafsir yang dilakukan dengan cara tematik, di mana mufassir berupaya menghimpun ayat-ayat al-Quran dari berbagai surat yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya. Kemudian penafsir membahas dan menganalisa kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Model Penafsiran Sastra Aishah Abd al-Rahman/Bintu al-Shati Salah satu keunikan al-Qur'an adalah adanya pengulangan kata di beberapa ayatnya. Para ulama banyak yang membicarakan keunikan ini serta menghubungkannya dengan studi tematik modern. Muhammad Qutub misalnya, menegaskan sisi tantangan tersebut dengan berbagai gaya bahasa. Yang lebih unik adalah bahwa terdapat pengulangan dalam satu surat yang mencapai 31 kali, seperti yang terdapat pada surat al-Rahmn. Dalam melakukan studi tentang pengulangan yang ada dalam al-Quran, Muhammad Qutub mencontohkan, ibarat mengenal seseorang yang tidak mungkin dengan cara mengetahuinya sepotong-sepotong dari beberapa ciri fisiknya, tetapi harus secara menyeluruh, yang meliputi mata, hidung, telinga dan lain sebagainya. Hal itulah, menurut Muhammad Qutub yang disebut sebagai suatu keutuhan.

Selain Muhammad Qutub adalah Muhammad al-Hijazi yang juga membahas pengulangan dalam al-Quran. Dalam bukunya al-Wahdah al-Maudu'iyyah fi al-Qur'an al-Karim, ia mengatakan bahwa pengulangan itu terjadi dalam bentuk dan corak yang berbeda sesuai dengan kondisi, lingkungan dan waktu diturunkannya. Surat-surat Makkiyah misalnya berbeda dengan Surat-surat Madaniyyah. Kesatuan tema inilah yang kemudian memunculkan sebuah aliran penafsiran yang disebut dengan corak tafsir tematik. Dalam perkembangan berikutnya, muncul metode penafsiran bercorak sastra yang diprakarsai oleh Muhammad Abduh. Metode ini merupakan metode modern yang menggunakan model pembacaan terhadap berbagai masalah sosial yang berkembang di masyarakat dan diintegrasikan dengan sentuhan-sentuhan sastra. Kelemahan yang ditemukan pada metode ini pada awal kemunculannya adalah dari sisi balaghah dalam beberapa kajiannya. Beberapa kajian yang telah dilakukan lebih banyak merujuk pada karya-karya klasik yang ditulis oleh ulama pada abad ke-4 sampai abad ke-8. Kelemahan ini kemudian menjadi motivator bagi Bintu al-Shti' untuk mengembangkan kajian tematik bahasa sastra dalam tafsir. Salah satu karyanya adalah al-Tafsr alBayni li al-Qur'n al-Karm. Bintu Shti' berlatar belakang pendidikan bahasa dan sastra di al-Azhar kemudian dikembangkan pada saat di Maroko (Universitas Qarawiyyin). Buku yang dia tulis tersebut pada awalnya adalah merupakan kumpulan dari beberapa tema yang disampaikan pada perkuliahan di Fakultas Syari'ah di Fas. Demikian pula dengan bukunya yang lain, yaitu al-I'jaz al-Bayani, juga merupakan kumpulan dari materi Ulum al-Qur'an di Universitas Dar al-Hadits al-Hasaniyah di Rabath, yang kemudian disempurkan sebagai bidang spesialisasinya dalam kajian bahasa al-Qur'an di Universitas Qarawiyyin sejak tahun 1970. Aishah Abd al-Rahman atau yang lebih dikenal dengan Bintu al-Shti', menekankan pembahasannya pada aspek kemukjizatan al-Qur'an di bidang sastra dan sebagai kesatuan rasa (wahdah dhawqiyyah dan wijdniyyah). Metode tafsir sastra tematik Bintu al-Shti' ini dipengaruhi oleh gaya gurunya yang juga merupakan pendamping hidupnya, yaitu Amin al-Khuli. Secara garis besar metode kajian sastra tematiknya dapat disimpulkan dalam empat pokok pikiran: Pertama, mengumpulkan unsur-unsur tematik secara keseluruhan yang ada di beberapa surat untuk dipelajari secara tematik. Dalam buku ini ia tidak memakai metode kajian tematik murni, tetapi dengan pengembangan induktif (istiqr'i). Mulamula ia menggambarkan ruh sastra tematik secara umum, kemudian merincinya per-

ayat. Akan tetapi perincian ini berbeda dengan perincian yang digunakan dalam kajian tafsir tahlili (analitik) yang cenderung menggunakan maqta' (pemberhentian tematik dalam satu surat). Di sini ia membuka dengan kupasan bahasa dalam ayat itu kemudian dibandingkan dengan berbagai ayat yang memiliki kesamaan gaya bahasa. Kadang menyebut jumlah kata. Adakalanya memberikan kesamaan dan perbedaan dalam penggunaannya. Terakhir ia simpulkan korelasi antara gaya bahasa tersebut. Kedua, memahami beberapa hal di sekitar nash yang ada. Seperti mengkaji ayat sesuai dengan kondisi diturunkannya. Untuk mengetahui kondisi waktu dan lingkungan diturunkannya ayat-ayat al-Qur'an pada waktu itu dikorelasikan dengan studi asbab alnuzul, meskipun ia tetap menegaskan kaedah al-ibrah bi 'umm al-lafz l bi khusus al sabab (kesimpulan yang diambil menggunakan keumuman lafaz bukan dengan kekhususan sebab-sebab diturunkannya sebuah ayat). Ketiga, memahami dallah al lafz. Maksudnya indikasi makna yang terkandung dalam lafaz-lafaz al-Qur'an, apakah dipahami sebagaimana zahirnya ataukah mengandung arti majz (kiasan) dengan berbagai macam klasifikasinya, kemudian dipahami melalui siyaq khs (hubunganhubungan kalimat khusus) dalam satu surat dan dikorelasikan dengan siyq 'm (hubungan kalimat secara umum) dalam al-Qur'an. Keempat, memahami rahasia ta'br dalam al-Qur'an. Hal ini sebagai klimaks dari kajian sastra yang dilakukan dengan cara mengungkap keindahan, pemilihan kata, beberapa penakwilan yang ada di berbagai kitab tafsir yang mu'tamad, tanpa mengesampingkan posisi gramatikal Arab (i'rab) dan kajian balghah. Sastra tematik yang penulis maksudkan di sini adalah corak tafsir modern yang menganut madzhab dan aliran tematik umum (maudh'i 'm). Pengkajiannya dikhususkan pada pembahasan sastra bahasa dalam satu surat. Ia tidak mengambil seluruh surat dalam al-Qur'an, tetapi beberapa surat pendek saja, yaitu tujuh surat pendek juz 'Amma pada buku pertama; al-Dhuh, al-Syarh, al-Zalzalah, al-'Adiyt, alNzi't, al-Balad dan al-Taktsur. Tujuh surat pendek lainnya pada buku kedua; al-'Alaq, al-Qalam, al-'Ashr, Al-Lail, al-Fajr, al-Humazah dan al-M'n. Sebagai perbandingan, Muhammad Qutub juga mengkaji secara tematik umum persurat dengan klasifikasi Makki dan Madani serta klasifikasi masing-masing keduanya. Dengan satu titik sentral; kajian tematik akidah, karena menurut Muhammad Qutub, tema besar al-Qur'an adalah pemurnian akidah. Setelah mengupas beberapa aspek penting dalam tema besar yang ingin disampaikan, ia menafsirkannya secara tematik dalam beberapa sampel surat. Tiga surat Makkiyah; al-Ra'd, Luqmn dan Fthir, serta tiga surat Madaniyyah; al-Baqarah, Ali 'Imrn dan al-Nis'.

Rujukan Utama dalam buku ini, Bintu al-Shti' merujuk kepada pendapat alZamakhshari dalam bukunya al Kashf dan Abu Hayyan dalam tafsirnya al Bahr al Muht. Dalam mukaddimahnya, secara metodologis ia mengikuti sang guru dan suaminya, yaitu Amin Khuli serta mengadopsi beberapa gaya Mustafa Sadiq al-Rafi'i. Lebih rincinya, ia tulis penjelasan ini dalam mukaddimah bukunya al I'jz al Bayni. Salah satu contoh tafsir sastra tematik Bintu al-Shti' adalah surat al-Zalzalah, yang dibuka dengan tema umum; al yawm al khir, kemudian ia mengklasifikasikannya sebagai awal-awal surat Madaniyyah, yaitu berada pada urutan keenam. Surat Madaniyyah seperti ini justru menekankan aspek akidah dan iman pada hari akhir. Memberikan gambaran sebaliknya, surat-surat Makkiyyah bukan berarti tidak memuat tasyri' dan penjelasan hukum. Mukaddimah singkat ini segera ia lanjutkan dengan malmih (outward) sastra tematik dalam surat ini. Pertama, ayatnya pendek-pendek. Ini mengindikasikan adanya keseriusan dan pesan urgen dan tidak bertele-tele. Kedua, dalam ungkapan yang singkat seperti ini pun masih ada pengulangan-pengulangan untuk penekanan-penekanan tertentu. Ketiga, kata-kata yang dipilih pun berpengaruh kuat seperti zalzalah (bergoncang) untuk menunjukkan kedashsyatan. Ungkapan serupa juga ada di suratsurat lain seperti al-Ghashiyah, al-Tammah, al-Waqi'ah dan lainnya. Keempat, disebut dalam bentuk pasif tanpa menyebutkan subyek (pelaku) nya. Ini memberi tekanan pada perhatian kepada kejadiannya, bukan berarti menafikan keberadaan pelakunya. Ia juga menyebutkan hal serupa di beberapa ayat yang tersebar di berbagai surat al-Qur'an. Dalam hal ini penakwilan f'il (subyek) tidak dibenarkan, karena sudah jelas, yaitu Allah. Pesan yang disampaikan kepada manusia bahwa bumi yang sedang dihuni saat ini memiliki potensi bergoncang kapan saja. Goncangan yang berbeda-beda bahkan bisa berakibat pada kehancuran yang berakhir dengan kefanaan. Setelah itu, Bintu Sythi' merincinya tiap ayat dari sejak penyebutan arti bahasa, pemilihan kata zalzalah (baik kata zulzilat maupun kata zilzlah), kemudian pengungkapan dalam bentuk madi (past tense) yang berarti kepastian dan penggunaan kata syarat idha (apabila). Pada ayat selanjutnya ia menguraikan penggunaan kata aktif akhrajat (mengeluarkan) dan bumi sebagai pelakunya. Ini merupakan jenis kiasan. Setelah itu merinci penafsiran 'athql (beban-beban berat yang dikandung bumi). Pada ayat selanjutnya, titik tekannya adalah keheranan manusia, baik yang beriman maupun yang kafir meskipun sebagian mufassirin ada yang berpendapat orang kafir saja. Di sini ia memilih pendapat pertama karena tidak ada dalil yang mengkhususkan keumuman ayat ini. Pertanyaan ini pun langsung dijawab pada ayat selanjutnya. Ia juga

sedikit menyitir pendapat para ahli tafsir tentang penceritaan bumi. Sebagian tetap menjadikannya ungkapan kiasan, sebagian lagi berpendapat sebaliknya, bahwa memang benar-benar pada hari itu bumi bisa berbicara. Dalam kesempatan ini ia menyebutkan pendapat beberapa mufassir, di antaranya; al-Tabari, al-Zamakhshari, Abu Hayyan dan al-Tabarshi. Pertanyaan-pertanyaan yang memungkinkan akan timbul pun ditimpali dengan ayat selanjutnya, bahwa ini semata adalah titah pencipta manusia, Tuhan yang mengutus Muhammad pada kaumnya dan seluruh manusia setelahnya. Dalam ayat ini ia agak panjang lebar berbicara masalah wahyu. Pesan penting berikutnya adalah penggunaan kata yawma idhin (pada hari itu). Untuk menunjukkan posisi dan keberadaan manusia setelah terpendam di alam kubur dan dibangkitkan kemudian. Ini adalah bagian penggambaran penokohan dan seting, seolah-olah pembaca dan pendengarnya berada di depan sebuah film dan pertunjukan yang benar-benar nyata. Ia juga mengungkap rahasia pengungkapan kata yasdur (keluar) bukan dengan sinonim lainnya yakhruj atau yansarif. Lebih jelas lagi setelah ada penjelasan bagaimana cara keluarnya manusia dari kuburnya yang bermacam-macam, berbeda-beda, berpisah-pisah dan berpencar-pencar. Keduanya ia pakai bermacam-macam dan berbeda sesuai dengan amal perbuatannya selama di dunia. Sedang berpencar dan berpisah-pisah, dikarenakan kondisi yang demikian mencekam, menanti sebuah pengadilan agung yang sangat menentukan nasib mereka. Bagaimana balasan mereka setelah itu? Jawabannya adalah pada dua ayat penutup, di mana kedua ayat ini memiliki muqbalah (perbandingan) yang jelas sekaligus menunjukkan keindahan gaya bahasa. Ia juga menyebutkan rahasia penggunaan kata mitsqla dzarrah. Di samping menyebutkan perbedaan mazhab dalam memahami ayat ini, baik dari para mutakallimn maupun kelompok yang ada, juga mengemukakan pendapat al-Zamakhshari sebagai contoh untuk mewakili pemikiran Mu'tazilah. Abu Hayyan mewakili Zahiriyyah, al-Tabarshi mewakili Shi'ah. Polemik ini muncul pada saat ada pertanyaan, kebaikan yang dilakukan oleh orang kafir yang dibalas dengan tuduhan kufur, sebanyak apa pun kebaikan itu. Ia juga mengemukakan pendapat Muhammad Abduh, salah seorang tokoh yang dikaguminya. Pada akhirnya, penafsirannya ditutup dengan pernyataan bahwa hanya Allahlah yang berhak menentukan balasan ini. Dia memberi ampun kepada siapa yang dikehendakiNya dan memberi azab kepada siapa pun yang dikehendakiNya. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 48: 14). Metode Hermeneutik Nasr Hamid Abu Zayd

Hermeneutik berasal dari Bahasa Yunani, hermeneuo, yang memiliki beberapa pengertian; (1)mengungkapkan pikiran seseorang dalam kata-kata, (2)menterjemahkan atau bertindak sebagai penafsir atau bisa berarti menafsirkan. Term ini memiliki asosiasi etimologis dengan nama dewa dalam mitologi Yunani, Hermes, yang mempunyai tugas menyampaikan dan menjelaskan pesan-pesan Tuhan kepada manusia.49 Teori ini bertujuan untuk memahami hakekat atau pesan yang terkandung dari teks, perantara atau penafsir, cara memahami teks dan pemahaman audiens. Abu Zayd, yang dijadikan contoh dalam kajian ini, dilahirkan di Tanta, Mesir pada tanggal 10 Juli 1943. Ia melihat bahwa tafsir seringkali digunakan untuk kepentingan politik atau yang ia sebut dengan problem al nuss al dniyyah. Maka ia mengembangkan pemikiran yang kritis dalam menafsirkan al-Quran, untuk menyingkap tabir patologis yang menyebabkan penyimpangan dalam interpretasi dan pemaknaan teks keagamaan. Apa yang ia lakukan telah memancing reaksi keras dari kalangan ulama besar di Mesir, termasuk al-Azhar. Menurutnya, yang harus dilakukan dalam mengkaji al-Quran adalah memahami al-Quran sebagai literatur. Literatur penafsiran al-Quran yang selama ini dilakukan hanya berdasarkan teks al-Quran yang ada. Oleh sebab itu, pendekatan literatur alQuran tersebut perlu ada penekanan masalah fakta yang ada dalam al-Quran. Pemikiran ini diawali oleh Andrew Rippin pada tahun 1982, yang menyarankan bahwa pendekatan literatur diawali dari asumsi bahwa al-Quran merupakan firman Tuhan tidak dengan metode khusus. Ibaratnya al-Quran itu seperti Bible yang tidak memerlukan metode khusus dalam menganalisis lebih jauh. Di Mesir, orang yang pertama kali menggunakan teori literatur adalah Amin al-Khuli (1895-1966). Maka dijumpai perbedaan penafsiran antara satu mufassir dengan yang lainnya. Perbedaan ini terletak pada kesimpulannya mengenai maksud teks al-Quran terhadap perkembangan dan bagaimana pemahaman terhadap sastranya. Hal ini ditulis oleh Abu Zayd dalam artikelnya Tafsir from Tabari to Ibnu Kathir. Perbedaan kesimpulan merupakan keanekaragaman metode yang digunakan oleh penafsir. Sebagai contoh, Ashari menganggap al-Quran itu kekal, sedangkan Muktazilah percaya bahwa al-Quran itu buatan (makhluq). Para sarjana Barat (John Wansbrough, misalnya), memperkirakan bahwa alQuran adalah usaha pengeditan beberapa ratus tahun setelah Nabi wafat. Sedangkan pandangan tradisional mengira al-Quran menjadi teks peninggalan dari Nabi Muhammad dan diterbitkan oleh Khalifah Uthman bin Affan.
49

Richard E. Palm, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heiddeger and Gadamer (Northwestern University Press, 1969), 13.

Dalam menafsirkan seringkali penafsir dikondisikan oleh kepribadian, prasangka dan keterkaitannya dengan sesuatu. Hal ini menyebabkan makna yang ditafsirkan jauh dari maghz. Abu Zayd menyatakan bahwa al-Quran itu sebuah teks ilmu bahasa (nas lughawi) yang dihubungkan dengan konteks dan budaya khusus (yantami). Dalam hal ini Abu Zayd mengatakan bahwa al-Quran itu adalah sebuah teks yang sama seperti teks-teks lainnya, sehingga dia tidak melihat kekhususan atau kekeramatan dalam menemukan makna-makna al-Quran. Maka al-Quran sebagai suatu naskah dapat ditafsirkan dengan pendekatan kritik modern. Alasan Abu Zayd adalah agar supaya orang-orang Islam, Kristen dan Atheis bisa mempelajari al-Quran, karena kebudayaan Arab menyatu dengannya. Artinya, ada perkiraan bahwa al-Quran juga hasil kebudayaan (al muntaj al thaqfi). Pengertiannya ini didasarkan pada uraian semenjak al-Quran diterima selama 20 tahun lebih dalam sebuah kebudayaan dan konteks khusus. Ketika Tuhan memberikan al-Quran melalui pesuruhnya (malaikat), Dia memilih bahasa manusia sebagai kode atau simbol untuk wahyu dan memberikan suatu bahsa yang tidak bisa dipisah dari kebudayaannya, karena diwujudkan dalam bahasa. Selanjutnya, tidak mungkin bisa memisahkan naskah itu dari konteks kebudayaannya. Ketergantungan al-Quran atas bahasa Arab memperkuat pendapat Abu Zayd bahwa al-Quran lebih dekat hubungannnya dengan masyarakat dan kebudayaan Arab. Hubungan ini ditunjukkan dalam ayat yang menggambarkan sejarah pada masa Muhammad, seperti dalam asbb al nuzl, ayat Makkiyyah, Madaniyyah dan lain-lain. Di sini ia menggambarkan bahwa teks itu sebagai subyek dan kehidupan sebagai obyek. Meskipun demikian, Abu Zayd membantah pendapat yang mengatakan bahwa al-Quran adalah buatan manusia, hanya penulisannya saja yang menggunakan bahasa manusia. Istilah teks berasal dari Bahasa Latin textus, yang berarti susunan, struktur, bentuk. Al-Quran sebagai teks memiliki hubungan antara wahyu dan rislah (pesan). Maka, dengan dipengaruhi oleh para hermeneutis Barat, khususnya E.D. Hirsch Jr., yang membedakan antara man (meaning) dan maghz (significance), Abu Zayd ingin melakukan upaya baru, yaitu mengeliminasi jarak antara subyek dan obyek. Menurut Abu Zayd, sebuah penafsiran tidak berhenti dengan penemuan makna historis teks, akan tetapi dengan melihat signifikansinya yang selalu berubah dalam konteks kontemporer. Untuk mendukung pembedaan antara makna historis dengan signifikansi ini, Abu Zayd menggunakan makna tawil itu sendiri dan menganalisis ayat-ayat al-Quran yang bermuat terma tersebut. Abu Zayd menemukan bahwa proses tafsir, yang ia sebut

penafsiran kontekstual (al qirah al siyqiyyah), haruslah mengikuti dua tahap: pertama, harus merujuk kepada makna dalam konteks sejarah dan budaya (trikhiyyt al dallah), dan kedua, sampai kepada signifikansi (maghz) dalam konteks kehidupan sekarang. Abu Zayd menyatakan bahwa dengan penafsiran kontekstual ini seseorang dapat mencapai secara obyektif makna historis teks. Signifikansinya di sisi lain adalah relatif dan merujuk kepada penafsiran dan konteks yang berbeda. Bagaimanapun, signifikansi ini haruslah secara erat berhubungan dengan makna historis. Abu Zayd mengkritik teori penafsiran para ulama yang mengabaikan makna historis dan historisitas teks tersebut, atau juga mereduksinya karena teks itu menyangkut masa lalu dan tidak berguna bagi masa kini karena telah dihegemoni (qirah dniyyah) oleh kalangan ulama (al Azhar) di Mesir, yang merasa paling benar dalam menafsirkan teks-teks keagamaan. Maka ia memunculkan teori hermeneutik, sebagai literary critisism, yang berorientasi untuk mengkaji man (meaning) dan maghz (significance). Hermeneutic menurut Abu Zayd adalah membahas tentang hubungan antara pembaca teks (mufassir), teks (al-Quran) dan pemilik teks (Allah). Istilah hermeneutic adalah istilah yang digunakan untuk kajian ketuhanan yang membahas tentang kaidah-kaidah dalam memahami teks keagamaan (Kitab suci). Maka hermeneutic berbeda dengan tafsir (exegesis), di mana hermeneutic lebih sebagai teori penafsiran.50 Fokus hermeneutic lebih pada masalah hubungan antara mufassir dengan teks. Bagaimana seorang mufassir dapat memahami teks sebagaimana yang dimaksudkan oleh pemilik teks, bahkan lebih baik daripada pemilik teks itu sendiri. Pertanyaan yang muncul adalah apakah bisa seorang mufassir (dengan segala keterbatasannya sebagai manusia) memahami teks (ayat-ayat al-Quran) sebagaimana yang dimaksudkan oleh Tuhan (Allah)? Jika melihat apa yang dilakukan oleh para mufassir dengan mencoba menafsirkan al-Quran, baik dengan metode maudui, tafsir bi al mathur maupun mereka yang tergolong kepada ahl al rayi (al tawil), maka jawabannya adalah dapat. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah teks yang terbaca itu sudah dapat mewakili isi pemikiran penulisnya? Jika jawabannya adalah iya, maka apakah dapat dikatakan bahwa seorang pembaca dapat memahami isi pemikiran penulis teks dengan hanya membaca teks yang ditulisnya? Jika tidak, maka bagaimana hubungan antara teks, pembaca teks dan penulis teks? Apakah ada perbedaan paham antara penulis teks dengan pembaca teks jika keduanya hidup pada masa yang berbeda? Jika
50

Nasr Hamid Abu Zayd, Isykaliyat al Qiraat wa Aliyat al Tawil (t.t.: al Markaz al Thaqafi al Arabi, t.t.), 13.

demikian, mungkinkah seorang pembaca teks dapat memahami sebuah teks sesuai dengan penulisnya?51 Telah banyak dilakukan kajian tentang hubungan antara penulis teks dengan kondisi zaman di saat dia menulis teks. Kajian ini memunculkan teori dominasi, bahwa ada faktor eksternal yang dominan dalam mempengaruhi pikiran seorang penulis. Dengan demikian, seorang pembaca teks harus memahami latar belakang penulis teks pada saat teks itu ditulis. Teori ini ditentang oleh Elliout, bahwa teks itu tidak dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal, sehingga seorang pembaca teks tidak perlu mencari faktor eksternal yang mempengaruhi ditulisnya teks itu, seorang pembaca cukup memahaminya melalui pendekatan bahasa. Tetapi Shleirmacher, memiliki pandangan lain. Ia mengatakan bahwa teks suci juga harus dipahami seperti teks-teks lainnya, sehingga ia dapat dimasukkan dalam wilayah ilmu. Dengan demikian, perlu adanya syarat yang harus dipenuhi dalam rangka memahami maksudnya, yang disebut dengan tafsir. Menurutnya, teks merupakan mediator antara pembaca dan penulis. Maka ada hubungan dialektis antara bahasa dengan penulis teks. Dengan demikian, semakin lama usia teks, semakin sulit dipahami oleh pembaca, karena bahasa terus berkembang. Oleh karena itu harus ada upaya penetapan aturan untuk menyelesaikan masalah itu, baik dari sisi bahasa maupun kehidupan penulisnya. Bahasa merupakan standar bagi seorang penulis untuk mengungkapkan pemikirannya. Sementara itu, bahasa memiliki standar baku, sehingga standar inilah yang menjadikan penafsiran itu mungkin dilakukan, asalkan penulis tidak menggunakan bahasa yang aneh-aneh. Jika itu dilakukan oleh penulis, maka penafsiran terhadap teks yang ditulisnya menjadi tidak mungkin dilakukan. Selain Shleirmacher, adalah W. Dilthey yang juga berbicara tentang hermeneutika, bahwa harus dibedakan antara ilmu alam, ilmu sejarah dan humaniora. Dilthey ingin membedakan antara ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu eksakta, karena objek kajian daripada ilmu-ilmu sosial adalah pemikiran manusia, sementara ilmu-ilmu eksakta adalah hal-hal yang bersifat pasti. Ilmu-ilmu sosial membutuhkan analisa yang bersifat kemanusiaan dan itu membutuhkan analisa yang tajam terhadap fenomena kemanusiaan dan inilah yang dibutuhkan dalam melakukan penafsiran terhadap teksteks keagamaan. Pemahaman semacam itu dapat dicapai dengan cara hidup kembali untuk yang kedua kali dari pengalaman kehidupan yang telah dialaminya. Kegagalan

51

Ibid., 17.

yang dilakukan oleh ilmuan sosial adalah disebabkan oleh karena mereka belum pernah merasakan peristiwa sosial yang dia kaji sebelumnya. Maka Dilthey mengatakan bahwa dasar dari pengetahuan adalah eksperimen atau pengelaman pribadi. Eksperimen atau pengalaman pribadi yang dimaksudkan oleh Dilthey di sini adalah eksperimen yang terus menerus atau dinamis. Jadi pengalaman lebih berharga daripada analisa pemikiran. Semakin banyak ditemukan pengalaman yang sama di antara manusia, maka semakin kuat kesimpulan yang dimunculkan. Lalu bagaimana memahami pengalaman pribadi orang lain untuk dibawa ke dalam diri kita? Jawabannya menurut Dilthey adalah melalui ungkapan, baik dalam bentuk perilaku maupun teks tertulis. Itulah yang disebut dengan istilah objektivasi (objectivication). Dalam istilah Dilthey disebut dengan Expressions of lived experience dengan menggunakan ungkapan bahasa sebagai sarananya. Manusia adalah makhluk hidup yang berkembang, maka dalam memahami diri manusia, tidak cukup dengan analisa tetapi melalui pengalaman hidup yang dilaluinya. Keinginan manusia tidak terbatas dan manusia diciptakan bukan sebagai proyek mati, seperti robot atau benda lainnya, tetapi dia diciptakan melalui proses kehidupannya. Maka dalam memahami kehidupan manusia tidak bisa secara langsung, tetapi melalui proses penafsiran hermeneutik dari kehidupan yang dilaluinya di masa lampau. Maka pemahaman seseorang terhadap masa lampau semakin baik dan matang ketika apa yang dialami pasa saat ini ada kesamaan dengan yang pernah dialaminya di masa lampau. Demikian pula ketika seseorang memahami sebuah teks, baik yang berbicara dengan sesuatu yang terjadi di masa lampau atau yang terjadi pada masa kini, dengan melalui pengalaman hidup manusia akan menjadi semakin baik. Apa yang dikemukakan oleh teks keagamaan tentang masa lampau bisa dibawa pada peristiwa yang terjadi pada masa kini, karena sesuatu yang pernah terjadi pada diri manusia di masa lampau merupakan sesuatu yang akan terjadi juga di masa kini. Maka Dilthey menolak pendapat tentang perubahan teks antara masa lampau dengan masa kini. Teks bisa tetap, tetapi pemahaman terhadap teks bisa berubah sesuai dengan pengalaman hidup yang dialami. Maka makna teks tidak tetap, tetapi selalu berubah (dinamis), sesuai dengan perubahan hubungan antara pembaca teks dengan teks tersebut. Untuk itu, dalam memahami sebuah teks, tidak berangkat dari sebuah kekosongan, tetapi berangkat dari seperangkat pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya. Dengan demikian, penafsiran seseorang terhadap sebuah teks bisa tidak sama, karena seperangkat pengetahuan yang sudah dimiliki oleh pembaca teks berbeda antara satu dengan yang lainnya.

Studi Hadits Kata Hadith menurut bahasa berarti al jadd (sesuatu yang baru), lawan kata dari al qadm (sesuatu yang lama). Kata hadits juga berarti al khabar (yaitu sesuatu yang dipecakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Hadits kemudian didefinisikan sebagai ucapan, perkataan, perbuatan dan ketetapan Rasulullah SAW. Hadits, di lihat dari sudut kuantitas, atau jumlah rawi, diklasifikasikan dengan Hadits mutawtir dan hadits hd. Teori Model; Srah Nabi Ibnu Hisyam Earle H. Waugh Nabi Muhammad adalah simbol dari sifat kemanusiaan yang sempurna. Mengkaji tentang Nabi, tidak akan lepas dari sejarah. Hal ini sulit dihindari, karena terjadi kesenjangan zaman yang begitu panjang antara Nabi dengan kita. Di sinilah peran sejarah sangat urgen, yang akan memberikan data atau bukti historis yang bisa diinterpretasikan lebih jauh tentang perjalanan hidup Nabi. Hanya saja yang menjadi pertanyaan, mampukan pendekatan sejarah memberikan informasi lengkap dan obyektif tentang Islam, melalui perjalanan hidup Nabi sebagai figur dan sumber ajarannya? Sebagai sosok yang populer, pribadi Nabi memiliki low tradition dan high tradition. Yang masuk kategor high tradition, adalah ia sebagai uswah hasanah. Earle H. Waugh, termasuk orang yang ragu dengan pendekatan sejarah dalam mengungkap tentang perjalanan hidup Nabi. Ia tidak percaya dengan pendapat bahwa cerita sejarah kehidupan Nabi bisa membantu kita memahami Nabi Muhammad. Bahkan, dengan pendekatan sejarah ini, kita hanya mendapat sedikit cerita tentang kelahirannya, sebelum ia menjadi manusia berpengaruh. Karena keraguannya terhadap pendekatan sejarah untuk mengungkap Nabi, ia menggunakan teori model, dalam menginterpretasikan Nabi Muhammad yang kharismatik (uswatun hasanah). Konsep model ini pertama kali digunakan oleh seorang ahli matematika Eugeno Betromi dan Felix Cline untuk membantu menjelaskan geometri non Euclidean kemudian diadopsi oleh ahli logika matematika, seperti Gottolob Frege dan Bertrad Russel. Dari sini model dimanfaatkan dalam bahasa pertama kali oleh F. Hockett pada tahun 1954.

Istilah model menurut bahasa bisa diartikan contoh, teladan. Dengan demikian apabila merujuk pada sub kajian ini berarti akan mengkaji keteladanan Nabi dalam perjalanan hidupnya, sebagaimana diungkap oleh Ibnu Ishaq dalam karyanya al Srah al Nabawiyyah. Sirah, menurut Wansbrough mempunyai peranan yang besar dalam Islam karena merupakan kesaksian yang bercerita tentang salvation history versi Islam. Dengan teori model, menurut Ramsey, akan dapat dipahami misteri yang ada di hadapan seseorang. Ramsey menambahkan bahwa teori model tidak hanya menyajikan gagasan-gagasan tentang realitas, tetapi juga muatan kognitifnya. Teori model tidak hanya merupakan persepsi imajiner yang membawa data yang tak terduga, tetapi juga pandangan-pandangan tentang hakekat sesuatu, yang sekalipun tampak kontradiktif dengan apa yang biasanya diyakini benar dan menyatakan sesuatu yang bermakna tentang realitas dari mana mereka muncul. Menurut Ewert Cousins, teori model berfungsi pada dua tingkatan: pertama, berkaitan dengan pengalaman keagamaan dalam mencari apa yang disebut model-model keagamaan (experiental models). Model pengalaman adalah struktur-struktur atau bentuk-bentuk pengalaman keagamaan (general pattern), esoterism. Istilah pengalaman mengimplikasikan unsur subyektif, theistic, sedangkan istilah model mengimplikasikan varietas dalam pengalaman keagamaan. Tingkatan kedua, metode memperhatikan ekspresi (expressive models), seperti Kredo Kristen dan sistem teologi. Ekspresi-ekspresi semacam itu diidentifikasikan sebagai model-model ekspresi (expressive models) yang mengambil seluruh bentuk yang digunakan oleh orang beragama dalam menyatakan pengalaman keagamaan dirinya (particular/unique), exoterism. Istilah ekspresi mengimplikasikan unsur obyektif, scientific. Karya Ibnu Ishaq, menurut Waugh, dipandang sebagai kemajuan di antara karyakarya masa awal dan narasi-narasi oral yang tercatat dalam literatur kenabian yang dikenal dengan sebutan maghz srah. Srah adalah cara paling awal untuk menjelaskan sejarah Islam pada abad pertama dan pertengahan abad kedua. Dalam Srah, Ibnu Ishaq memaparkan setting Nabi, di mana Quraysh mempunyai tradisi untuk mengelola kekuasaan secara terus-menerus. Ketika Tuhan mengutus Muhammad, ia mempertimbangkan lagi tradisi itu. Ia berpendapat bahwa kekuasaan mereka didasarkan atas kontinuitas tradisi agama leluhur. Mereka adalah pengikut Tuhan, Tuhan berperang untuk mereka dan merintangi serangan musuh-musuh mereka. Mereka mencari agama sejati dengan menyembah batu.

Selama kehidupan Nabi, terjadi antagonisme antara Ansar dengan kelompok Quraysh yang masuk Islam pada masa-masa akhir. Konflik ini, kata Waugh, dipecahkan oleh Nabi dalam sebuah pertemuan yang secara khusus membahas ketidakpuasan di kalangan Ansar, ketika Nabi memberikan hadiah pada Quraysh dan Baduwi. Karena konfrontasi ini Nabi bersabda: Sebenarnya kamu mempunyai aku, sementara mereka semua memiliki makanan dan sekutu. Apakah kamu bingung karena suatu yang baik dalam kehidupan ini, di mana saya menang atas mereka sehingga mereka menjadi muslim, sementara aku mempercayai kamu karena keislamanmu? Apakah kamu tidak puas bahwa orang-orang yang akan menarik sekutu dan kawanan, sementara kamu mengingatkan kembali dirimu tentang Rasul Allah? Demi Allah, yang jiwa Muhammad berada di tanganNya, saya akan menjadi salah seorang Ansar, dan jika semua orang berjalan dengan suatu cara, dan Anshor dengan cara lain, saya akan mengambil jalan Ansar. Setelah mendengar penjelasan dari Nabi tersebut, kaum Ansar menangis sambil berkata: Kami puas dengan Rasulullah sebagai sekutu dan bagian kami. Metode Studi Hadits Dasar-dasar penelitian Hadits adalah penilaian terhadap sanad, matan (teks Hadits) dan perawi Hadits. Pokok pertama persoalan ketika mengkaji sanad dan matan adalah bahwa dua komponen Hadits tersebut tidak mungkin muncul mendadak begitu saja tanpa masa perkembangan sebelumnya, baik sisi teknis maupun materinya. Suatu Hadits yang dianggap tidak resmi (dhaif) bisa jadi sungguh-sungguh ada pada masa hidup Nabi sendiri saat itu. Kata sanad berarti mutamad (sandaran), tempat berpegang, yang dipercaya atau yang sah. Secara terminologis, sanad ialah silsilah orang yang menghubungkan kepada matan Hadits, yaitu silsilah orang-orang yang menyampaikan materi Hadits, baik berupa perkataan, perbuatan dan keputusan. Dalam ilmu Hadits, sanad merupakan neraca untuk menimbang sahih atau tidaknya suatu Hadits. Untuk menguji apakah sebuah Hadits betul-betul bersumber dari Rasulullah atau tidak. Di antara syarat sahnya sebuah sanad adalah 1. Persambungan sanad para perawi. 2. Keadilan perawi. 3. Tingkat kemampuan perawi dalam memelihara Hadits (dhabit). 4. Terhindar dari syadz. 5. Terhindar dari illat. Kata matan berarti tanah yang tinggi. Secara istilah matan memiliki beberapa definisi yang pada dasarnya memiliki maknaa sama, yaitu materi atau lafadz Hadits itu sendiri atau suatu kalimat tempat berakhirnya sanad.

Dalam studi ulum al Hadits, masalah pemahaman dan pemaknaan terhadap matan Hadits tidak hanya menempati posisi yang sangat signifikan dalam wacana pemikiran Islam kontemporer. Pemahaman ini didasarkan pada satu asumsi bahwa teks atau matan Hadits bukanlah sebuah narasi yang berbicara dalam ruang hampa sejarah, melainkan berada di tengah sekian banyak variabel serta gagasan yang tersembunyi di balik sebuah teks atau matan yang harus dipertimbangkan ketika seseorang ingin memahami dan merekonstruksi makna sebuah Hadits. Jika tidak, akan melahirkan kesalahpahaman penafsiran. Maka pendekatan hermeneutik sangat mendukung dalam memahami makna matan Hadits dalam sebuah masyarakat yang hidup jauh berbeda dari Nabi Muhammad. Artinya, sebuah teks Hadits hanya akan menjadi bermakna apabila diposisikan secara relasional dengan masyarakat pembacanya. Sebuah Hadits tidak pernah berdiri sendiri, tetapi memiliki kaitan dengan tradisi dan komunitas beragama yang meresponinya. Ketika Hadits dilepas dari umatnya, maka tidak akan lagi bermakna, kecuali sekedar bundelan kertas yang dipenuhi goresan tinta di koleksi pepustakaan. Hadits, yang secara etimologis berarti cerita, penuturan atau laporan, adalah sebuah narasi. Biasanya narasi ini sangat singkat dengan tujuan memberi informasi tentang apa yang dikatakan, dilakukan, disetujui atau tidak disetujui oleh Nabi Muhammad. Rawi adalah orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab, apa-apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seorang gurunya. Maka metode yang sering digunakan dalam meneliti Hadits adalah kritik sanad dan matan. Model Penelitian Hadits Fazlur Rahman Dalam melakukan penelitian Hadits, Rahman menemukan dua model tipologi yang kontradiktif; pemikiran tradisionalis dan pemikiran modernis. Dua model tipologi di atas bagi Rahman merupakan problem epistemologis, karena dalam praktiknya setiap kali ia melakukan studi dengan obyek apapun ia selalu dibayangi oleh dua wajah tipologi keagamaan dengan karakteristik yang berbeda. Karakteristik dari pemikiran kelompok pertama adalah tekstualis, literalis, formalis dan normatif-doktriner. Sementara karakteristik pemikiran kelompok kedua adalah pluralis, humanis, liberalis dan kadang sekularis. Perbedaan di atas menyadarkan Rahman pada upayanya untuk membangun kosepkonsep Sunnah dan Hadits yang lebih general dan tidak parsial. Rahman menemukan bahwa antara dua tipologi di atas terjadi perbedaan yang tajam dan tidak ada titik temu.

Maka Rahman berusaha untuk mengembalikan posisi Hadits pada posisinya semula, yaitu menjadi Sunnah dan tradisi yang hidup. Memahami Sunnah antara Ahl al Hadits dan Ahl al Fikih Muhammad al-Ghazali52 Sebagaimana Rahman, Ghazali juga membagi dua kelompok yang berbeda dalam memahami Sunnah. Ada kelompok Ahl al Hadits yang tradisionalis, ortodoks dan tekstual, dan ada kelompok Ahl al Fikih yang cenderung memahami Sunnah melalui pendekatan lima hukum fikih. Menurut al-Ghazali pemahaman dua kelompok yang berbeda ini sering memunculkan gap yang tidak dapat didamaikan. Maka harus diambil jalan tengah untuk meminimalisir perserteruan di antara keduanya dengan cara menggabungkan dua pemahaman tersebut untuk diambil pemahaman yang lebih baik. Sebagai contoh, dalam memahami hukum salat tahiyyat al masjid di saat khatib Jumat sudah naik mimbar, kalangan Ahl al Hadits lebih memilih salat daripada duduk mendengarkan khutbah, karena ditemukan Hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah saw menyuruh seorang Sahabat untuk menunaikah salat sunnah pada saat Nabi sedang berkhutbah. Pemahaman semacam ini adalah bentuk dari pemahaman yang tekstual, sementara kalangan Ahl al Fikih menyatakan bahwa mendengarkan khutbah lebih baik daripada salat, karena dalam hukum fikih disebutkan bahwa jika ditemukan dua permasalahan yang bertemu pada saat bersamaan, maka yang wajib diutamakan daripada yang sunnah. Mendengarkan khutbah hukumnya adalah wajib, sementara salat tahiyyat al masjid adalah sunnah. Maka dahulukan yang wajib yaitu mendengarkan khutbah dan sisihkan salat tahiyyat al masjid karena hukumnya sunnah. Jangan meninggalkan yang wajib demi terlaksananya sesuatu yang sunnah. Maka al-Ghazali lebih berpihak kepada Ahl al Fikih. Demikian juga tentang hukum hijab. Menurut kalangan Ahl al Hadits, hijab dimaknai dengan niqab (cadar), sementara kalangan Ahl al Fikih memaknai hijab dengan jilbab (kerudung biasa). Alasan yang dikemukakan oleh Ahl al Hadits adalah bahwa ketika sedang salat, seorang wanita boleh memperlihatkan wajah dan dua telapak tangannya karena sedang beribadah, menghadap Tuhan, sementara ketika di luar salat, dia berkomunikasi dengan manusia. Wajah adalah awal dari sumber fitnah, maka wajah harus ditutup di luar salat. Sementara itu, kalangan Ahl al Fikih mengatakan bahwa
52

Muhammad al-Ghazali, al Sunnah al Nabawiyyah bayn Ahl al Fikih wa Ahl al Hadits (Kairo: Dar alShuruq, 1989).

tidak ada beda antara batasan aurat wanita dalam ibadah dan di luar ibadah. Apa yang sudah ditetapkan oleh Allah terkait dengan aurat wanita pada saat salat juga berlaku untuk di luar salat. Al-Ghazali mengatakan bahwa dua kelompok tersebut sama-sama memiliki alasan yang kuat. Untuk itu, bentuk hijab adalah pilihan masing-masing wanita, boleh pakai cadar boleh tidak. Yang penting menutup seluruh tubuhnya, kecuali muka dan dua telapak tangan. Tentang seorang wanita karir, al-Ghazali mengatakan bahwa boleh soerang wanita bekerja di luar dengan catatan tidak melupakan kewajiban sebagai ibu rumah tangga. Apalagi jika tugas di luar rumah terkait dengan kegiatan sosial seperti mengajar, mengobati orang sakit dan lain sebagainya. Meskipun demikian, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, menjaga aurat dan pekerjaan yang dilakukannya sesuai dengan kodratnya sebagai wanita. Jangan sampai ia melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan kodratnya, seperti polwan yang bertugas mengatur jalan raya, memikul beban berat (kuli), tentara yang terjun di lapangan, tukang becak atau sopir angkot dan lain sebagainya. Studi Hukum Islam Dekonstruksi Syariah Abdullah Ahmad al-Naim Apa itu dekonstruksi syariah? Itu hanyalah istilah spontan yang mungkin tepat untuk mengantarkan pada kreativitas Abdullah al-Naim, yang bereksperimen melampaui absolutisme (fundamentalisme) dan sekularisme umat Islam dalam menjawab tantangan diskursus kontemporer. Alasan dari kemunculan pemikiran alNaim adalah karena jawaban yang diberikan oleh umat Islam dalam menjawab tantangan dianggap belum memadai bahkan mengecewakan. Pihak fundamentalis selalu menegaskan bahwa Islam telah sempurna dan selalu memberi jawaban untuk setiap masalah umat manusia, sementara kalangan sekuler seolah-olah ingin melarikan diri dari kenyataan, dan agama hanya dibatasi pada masalah ritual belaka, sehingga menurut kalangan sekuler, masalah sosial harus dicarikan solusinya dari luar agama. Pemikiran al-Naim berangkat dari pemikiran bahwa penafsiran dan praktik semua agama, termasuk Islam, sangat dipengaruhi oleh kondisi sosiologis, ekonomi dan politik masyarakat tertentu, sehingga sistem hukum yang bersandar pada agama juga demikian, ada variasi dan kekhasan lokal. Tetapi pelu dikemukan bahwa meskipun ada yang bersifat lokal, ada beberapa aspek Islam yang tetap bersifat universal.

Yang perlu dikemukakan sebelum menguraikan pendapat al-Naim adalah bahwa hukum Islam yang berlaku di setiap masyarakat muslim bukanlah ekspresi dari Islam itu sendiri, tetapi sebatas pada interpretasi terhadap teks dasarnya sebagaimana dipahami dalam konteks historis tertentu. Dengan demikian, hukum Islam yang telah disusun oleh para ahli dapat direkonstruksi pada aspek-aspek tertentu selama masih bersandar pada sumber-sumber dasar Islam yang sama dan sepenuhnya sesuai dengan pesan moral dan agama. Pernyataan ini memiliki arti bahwa umat Islam sedunia dapat menggunakan legitimasi hak kolektif untuk menentukan nasib sendiri dengan identitas Islam, termasuk dalam menerapkan hukum Islam selama tidak melanggar legitimasi hak perorangan dan kolektif pihak lain, baik di luar maupun di luar komunitasnya. Jika pemikiran semacam ini diterima, maka tuntutan penerapan syariah Islam dalam suatu negara harus dilihat infrastruktur dari wilayah tersebut. Menurut al-Naim, selama ini kebanyakan umat Islam dalam memahami hubungan antara negara dan syariah merujuk pada pemikiran ulama klasik tanpa mengkaji lebih jauh tentang kondisi masyarakat penulisnya. Oleh karena itu, dalam mengamati permasalahan kontemporer, terutama yang menyangkut persoalan politik, manurut al-Naim, seseorang harus berhati-hati ketika menggunakan karya ulama pra modern awal dan klasik walaupun karya itu ditulis oleh ulama ahli syariah yang secara tajam menyadari perlunya penyesuaian kehidupan dunia dengan ajaran syariah. Akan tetapi, apa yang dikemukakan dalam karya mereka itu tidak dapat diasumsikan begitu saja sesuai dengan tuntutan syariah.53 Sesungguhnya apa yang mereka kemukakan dalam karyanya pada masa itu adalah dipengaruhi oleh kondisi masyarakat yang tidak kondusif untuk penerapan syariah secara ketat. Para ulama tersebut berkarya pada masa kemunduran dinasti Abbasiyah (Abad XI dan XII), yang kondisinya benar-benar kacau sehingga para ulama harus mencurahkan perhatiannya pada kesatuan dan keamanan umat Islam. Dalam kondisi demikian itulah al-Mawardi misalnya, membenarkan perebutan kekuasaan dengan kekerasan atas dasar kebutuhan. Padahal, membolehkan perebutan kekuasaan seperti itu bertentangan dengan syariah. Maka Gibb mengatakan bahwa dengan membenarkan pengabaian hukum atas dasar kebutuhan dan kebijakan politik, al-Mawardi mengakui bahwa dalam kasus-kasus tertentu mungkin berlaku persamaan hak. Sekali hal ini dibolehkan maka ambruklah seluruh suprastruktur sistem peradilan. Konsekuensinya, banyak di antara para ulama harus membuat konsesi tehadap realitas umat Islam dengan mengurangi tekanan aspek-aspek syariah tertentu, dalam rangka
53

Abdullah Ahmed al-Naim, Dekonstruksi Syariah terj. Ahmad Suaedy (Yogyakarta: LKiS, 2001), 1213.

melakukan rekonsiliasi dengan apa yang mereka pahami sebagai kepentingan lebih utama (al as}lah}) umat Islam pada waktu itu. Sementara itu, beberapa ulama lain dengan mudah mengabaikan realitas dan mengalihkan perhatiannya kepada situasi ideal dengan cara menteorisasikan apa yang seharusnya. Di antara ulama yang termasuk dalam kelompok ini adalah Ibn Taymiyyah. Dalam karyanya, Ibn Taymiyyah menekankan kewajiban untuk patuh pada syariah, dan tidak jadi soal, apakah pemimpinnya sendiri mentaati syariah ataukah tidak. Nampaknya tawaran Ibn Taymiyyah mendapatkan banyak kendala di lapangan karena umat Islam merasa berat untuk mematuhi aturan syariah secara sempurna. Maka tawaran untuk melakukan perubahan dalam hukum publik di negara-negara Islam menjadi alternatif yang banyak dilakukan dalam bentuk sekularisasi hukum kehidupan publik. Dengan perubahan itu, baik masyarakat muslim maupun non muslim sama-sama mendapatkan keuntungan dari sekularisasi kehidupan publik tersebut, sehingga penerapan syariah di suatu negara, menurut al-Naim, akan membuat umat Islam kehilangan banyak manfaat yang paling bermakna dari sekularisasi. Masyarakat non muslim misalnya, akan mendapat status sebagai warga negara nomor dua, jika dilakukan penerapan syariah Islam, berbeda jika mereka berada di bawah naungan negara sekuler, karena syariah Islam tidak memberikan persamaan konstitusional dan hukum kepada warga non muslim. Perempuan muslimah pun demikian, mereka akan kehilangan banyak hak dalam beraktivitas ketika berada di bawah naungan hukum syariah, berbeda ketika mereka berada di bawah naungan negara sekuler, mereka akan dapat menikmati peningkatan yang berarti dalam status dan hak mereka dengan bertambahnya akses ke dalam kehidupan publik dan kesempatan memperoleh pendidikan dan lapangan pekerjaan yang lebih terhormat. Bahkan kalangan laki-laki juga akan merasa tertekan dengan bayang-bayang pemurtadan ketika mereka berada di bawah naungan hukum syariah. Untuk itu, masing-masing dari umat Islam di suatu wilayah berhak menentukan nasibnya sendiri secara syariah. Tawaran yang dapat diambil untuk mendamaikan permasalahan di atas adalah dengan cara membangun suatu versi hukum publik Islam yang sesuai dengan konstitusionalisme, hukum pidana, hukum internasional dan hakhak asasi manusia modern. Dalam pandangan mayoritas umat Islam, syariah sudah lengkap dan final sehingga dengan menganggap ada bagian syariah yang kurang memadai akan dituduh bidah oleh mayoritas umat Islam. Pandangan semacam ini merupakan penghambat psikologis dalam upaya merekonstruksi syariah, apalagi jika dihadapkan pada ancaman

tuntutan hukum pidana dengan dakwaan murtad (apostasy). Untuk menembus hambatan ini adalah dengan menunjukkan bahwa sejatinya hukum publik syariah bukanlah hukum yang semua prinsipnya diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad saw, karena syariah adalah produk proses penafsiran dan penjabaran logis dari teks al-Quran dan Sunnah serta berbagai tradisi lainnya. Jika dapat dipahamkan bahwa syariah disusun oleh para ahli hukum Islam awal berdasarkan interpretasi sumber asasinya (al-Quran dan Hadits), maka umat Islam kontemporer akan lebih terbuka menerima kemungkinan reformasi syariah secara substansial. Antara Syariah dan Fikih; Muhammad Said al-Ashmawi54 Al-Ashmawi mengatakan bahwa harus dibedakan antara makna syariah dan fikih. Syariah adalah segala bentuk aturan yang telah ditetapkan oleh Allah melalui alQuran dan Hadits Nabi, yang manusia tidak memiliki hak untuk merubahnya. Sementara fikih adalah pemahaman kita terhadap syariah yang masing-masing dari kita memiliki pemahaman yang berbeda. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa agama itu satu tetapi pemahaman terhadap agama sangat beragam. Untuk itu harus dibedakan antara agama dan pemahaman kita terhadap agama. Syariah itu agama, sementara fikih adalah bentuk dari pemahaman kita terhadap agama. Ayat riba adalah agama, di mana agama menetapkan riba haram, tetapi pemahaman kita terhadap sesuatu apakah disebut sebagai riba atau tidak adalah fikih. Pemahaman seseorang terhadap agama dalam bentuk fikih itu sangat dipengaruhi oleh faktor sosiologis, ekonomi dan politik masyarakatnya. Maka syariah yang universal pada tataran fikih akan ditemukan perbedaan dalam kaitannya dengan perbedaan sosial dan kondisi politiknya. Maka fikih bukanlah keseluruhan Islam itu sendiri melainkan hanyalah interpretasi terhadap teks dasarnya sebagaimana dipahami dalam konteks histories tertentu, sehingga dapat direkonstruksi pada aspek-aspek tertentu, asalkan rekonstruksi itu juga didasarkan pada sumber-sumber dasar Islam yang sama dan sepenuhnya sesuai dengan pesan moral dan agama.55 Ijihad; antara Liberalisme Islam dan Ortodoksi Islam Muhammad Imarah56
54 55

Muhammad Said al-Ashmawi, Jawhar al Islam (Kairo: Madbuli, 1996). Abdullah Ahmed al-Naim, Dekonstruksi Syariah terj. Ahmad Suaidi (Yogyakarta: LKiS, 2001). 56 Muhammad Imarah, al Nas al Islami bayn al Ijtihad wa al Jumud al Tarikhiyyah (Beirut: Dar al-Fikr, 1998).

Muhammad Imarah mengatakan bahwa umat Islam dalam memahami teks keagamaan dibagi menjadi dua; kelompok liberal dan ortodoksi. Kelompok liberal terlalu berlebihan dalam mengemukakan konsep ijtihad sementara kelompok ortodoksi terlalu berlebihan dalam membatasi ijtihad sehingga sampai pada titik jumud. Untuk itu harus diambil jalan tengah dengan merujuk pada pendapat Umar, di mana dia telah melakukan banyak ijtihad, yaitu dengan membatasi wilayah ijtihad pada urusan duniawi meskipun teksnya bersifat qati. Sebagai contoh, Umar pernah tidak memotong tangan pencuri karena kondisinya sedang paceklik. Umar juga tidak membagi 4/5 harta rampasan perang kepada tentara tetapi menaruhnya di bayt al mal karena banyak fakir miskin, janda dan orang tua yang lebih membutuhkan daripada tentara meskipun mereka tidak ikut perang. Tentang jatah muallaf untuk menerima zakat, Umar juga pernah tidak memberikannya karena umat Islam sudah kuat tidak butuh kepada muallaf dan lain sebagainya. Studi Ritual Islam Islam Resmi dan Islam Populer Clifford Geertz, dalam The Interpretation of Cultures, menyatakan bahwa agama meliputi simbol-simbol budaya sosial. Dari situ, agama dipahami sebagai sistem budaya.57 Paparan ini diperkuat oleh Bassam Tibi dalam Islam and the Cultural Accommodation of Social Change, dengan mengatakan bahwa agama-agama di dunia ini bersifat kultural. Dari itu, ia bersifat simbolik, merupakan sistem-sistem, dan sebagai bentuk dari realitas.58 Menurut Tibi, dalam agama, konsepsi-konsepsi manusia tidak didasarkan pada pengetahuan, tetapi pada kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa, yang konsepsikonsepsi itu sangat berbeda dari satu kepercayaan dengan yang lainnya. Dalam kepercayaan agama-agama Monotheism, kekuasaan yang dimaksud adalah Tuhan, sementara dalam agama-agama primitif, hal itu direpresentasikan melalui spirit dan magic.59 Islam menurutnya adalah realitas sosial, mencakup sistem simbol budaya yang sangat beragam, dan berubah secara historis. Artinya, pemahaman seseorang terhadap Islam sangat dipegaruhi oleh penggunaan teori yang berbeda-beda dan background
57 58

Cliiford Geertz, The Intepretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 87. Bassam Tibi, Islam and the Cultural Accommodation of Social Change (Oxford: Westview Press, 1991), 8. 59 Ibid.

historis dan sosialnya. Maka dalam memahami realitas dunia Islam, seorang sarjana harus melewati beberapa bahasa dan disiplin, guna mendapatkan pemahaman yang komprehensif mengenai Islam.60 Untuk memahami agama, Milton Yinger menyarankan agar seseorang memahami beberapa budaya yang mempengaruhinya, beberapa karakter yang ada di dalamnya, dan struktur-struktur sosial yang membawanya.61 Taylor menyatakan bahwa agama adalah sebuah kepercayaan kepada keberadaan spiritual. Dia merasa bahwa satu karakteristik dari semua agama, baik kecil maupun besar, baik kuno maupun modern, adalah adanya kepercayaan kepada spirit yang mampu berpikir, berbuat. Esensi dari semua agama adalah kepercayaan terhadap Yang Maha Hidup, sebuah kekuatan yang ada di luar semua yang ada. Taylor menyebutkan adanya hubungan antara ritual keagamaan dengan kepercayaan.62 Frederick, mengatakan bahwa ritual Islam adalah ekspresi dari doktrin Islam,63 di mana keduanya saling menguatkan, dalam proses penemuan dan disiplin agama yang menyatu. Tauhid, menurut Frederick, bukan sekedar proposisi teologis, tetapi juga realisasi manusia dalam mengesakan Tuhan dengan ketaatan dan ketundukan total.64 Empat rukun Islam, menjadi kategori utama ritual Islam, di samping beberapa peristiwa penting lainnya, seperti Idul Fithri, Idul Qurban, Puasa Ramadlan, Shalat Gerhana, dan lain sebagainya.65 Dalam literatur antropologi terdapat tiga istilah yang boeh jadi semakna dengan kebudayaan, yaitu culture, civilization. Term kultur berasal dari bahasa Latin, yaitu cultura, yang berarti memelihara, mengerjakan, atau mengolah.66 Istilah kedua yang semakna atau hampir sama dengan kebudayaan adalah sivilisasi. Sivilisasi (civilization) berasal dari kata Latin, yaitu civis. Arti kata civis adalah warga negara (kota). Oleh karena itu sivilisasi berhubungan dengan kehidupan kota yang lebih progresif dan lebih halus.67 Kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa, cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabadikan untuk
60

Abu Rabi Intellectual Origins of Islamic Resurgance in the Modern Arab World (New York: Oxford Univ. Press, 1996), 1. 61 Milton Yinger, The Scientific Study of Religion (New York: Mac Milon Pub, 1970), 20. 62 Dalam Daniel L. Pall, Seven Theories of Religion (New York: Oxford University Press, 1996), 24. 63 Frederick M. Denny, Islamic Ritual, dalam Richard C. Martin, Approaches to Islam in Religious Studies (USA: Arizona State University, 1985), 64. 64 Ibid. 65 Ibid., 69. 66 Jaih Mubarak, Metodologi Studi Islam, 27. 67 Ibid., 28.

keperluan masyarakat. Rasa meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti yang luas. Agama, ideologi, kebatinan dan kesenian yang merupakan hasil ekpresi jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat termasuk di dalamnya. Cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berpikir orang-orang yang hidup bermasyarakat yang antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan. Cipta bisa berbentuk teori murni dan bisa jug atelah disusun sehingga dapat langsung diamalkan oleh masyarakat. Rasa dan cipta bisa juga dinamakan kebudayaan spiritual. Semua karya, rasa, cipta dikuasai oleh karsa orang-orang yang menentukan kegunaannya agar sesuai dengan kepentingan sebagian besar atau seluruh masyarakat.68 Dari uraian tentang kebudayaan di atas, muncul kemudian pertanyaan, apakah Islam itu bagian dari hasil karya, karsa dan cita-cita manusia? Menurut Nurcholish Madjid, agama dan budaya adalah dua bidang yang dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Agama bernilai mutlak, tidak berubah karena perubahan waktu dan tempat, sedangkan budaya, sekalipun berdasarkan agama, dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Sebagian besar, budaya didasarkan pada agama, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, agama adalah primer dan budaya adalah sekunder.69 Bangsa Arab sebelum Islam, dikenal sebagai bangsa yang sudah memiliki kemajuan ekonomi. Letak geografisnya yang strategis membuat Islam yang diturunkan di Arab mudah tersebar ke berbagai wilayah. Menurut Nurcholish Madjid, ciri-ciri utama tatanan Arab pra-Islam adalah sebagai berikut: (a) mereka menganut paham kesukuan (qablah); (b) memiliki tata sosial politik yang tertutup dengan partisipaasi warga yang terbatas, faktor keturunan lebih penting daripada kemampuan; (c) mengenal hierarki sosial yang kuat; dan (d) kedudukan perempuan cenderung direndahkan.70 Sumber hukum yang dijadikan pegangan adalah adat-istiadat. Dalam bidang muamalah, mereka membolehkan transaksi barter (mubdalah), jual beli dengan cara spekulatif, dan riba. Dalam hukum berkeluarga, mereka membolehkan poligami dengan jumlah tanpa batas, serta anak kecil dan perempuan tidak dapat menerima harta pusaka atau harta peninggalan. Kecenderungan untuk merendahkan martabat wanita, yaitu perempuan dapat diwariskan, ibu tiri harus rela menjadi istri anak tirinya ketika suaminya meninggal, dan ibu tiri tidak mempunyai hak pilih, perempuan tidak memperoleh hak waris.71
68 69

Soerjono Soekanto, dalam Jaih Mubarak, Metodologi Studi Islam, 29. Ibid., 34. 70 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1995), 28. 71 Nurcholish Madjid, dalam Jaih Mubarak, Metodologi Studi Islam, 40.

Maka Islam yang turun kemudian, memberikan pembenahan-pembenahan terhadap tatanan bangsa Arab tersebut, di antaranya dalam hukum poligami, yaitu dibatasinya jumlah istri pada pernikahan poligini menjadi empat orang dan diharamkan poliandri. Kedudukan wanita menjadi terhormat dan mendapatkan hak warisnya. Maka Pendekatan Antropologis (Anthropological Approaches) sangat membantu dalam memahami beberapa hal yang dilakukan oleh umat Islam di belahan bumi ini. Antropologi adalah kajian yang berfokus pada manusia. Kajian ini membantu memahami diri sendiri melalui pengamatan terhadap budaya orang lain.72 Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Melalui pendekatan ini agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Salah satu contoh dari pendekatan antropologis dalam kajian Islam adalah yang dilakukan oleh Clifford Geertz dalam karyanya The Religion of Java. Geertz melihat adanya klasifikasi sosial dalam masyarakat muslim di Jawa, antara santri, priyayi dan abangan. Dengan pendekatan antropologis dilihat hubungan Islam dengan berbagai masalah kehidupan manusia, dengan itu pula agama terlihat akrab dan fungsional dengan berbagai fenomena kehidupan manusia.73 Selain pendekatan antropologis, pendekatan kebudayaan (Cultural Approaches) juga bisa dijadikan alat bantu dalam memahami fenomena keagamaan umat Islam. Kebudayaan adalah hasil daya cipta manusia dengan menggunakan dan mengerahkan segenap potensi batin yang dimilikinya. Dalam kebudayaan tersebut terdapat pengetahuan, keyakinan, seni, moral, adat-istiadat dan sebagainya. Kebudayaan dapat digunakan dalam memahami Islam yang terdapat pada dataran empiriknya atau agama yang tampil dalam bentuk formal dan menggejala di masyarakat. Pengalaman agama yang terdapat di masyarakat tersebut diproses oleh penganutnya dari wahyu melalui penalaran. Sebagai contoh adalah penggunaan jilbab sebagai pakaian Islami. Itu bisa dipahami dengan melalui pemahaman tentang adanya perbedaan budaya Arab dan Asia, sehingga model atau bentuk jilbab yang dipakai berbeda. Pemahaman semacam ini perlu dimunculkan karena yang membentuk pemikiran seseorang bukan sekedar teks tetapi dialektika manusia dengan realitas di satu pihak dan dialognya dengan teks di pihak lain. Dengan demikian, studi keagamaan

72 73

Akbar S. Ahmed, Toward Islamic Anthropology (USA: New Era Publications, 1986), 13. Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), 38.

tidak cukup hanya tertuju pada studi teks malainkan juga pada kajian tradisi sehingga harus melibatkan metodologi ilmu-ilmu sosial.74 Dalam memahami Islam, harus dibedakan antara Arabisme dan Islamisme. Jeffrey Lang dalam Struggling to Surrender dan Even Angels Ask: A Journey to Islam in America, mengatakan bahwa ia pernah pergi dan tinggal di Saudi Arabia untuk mengenal lebih dekat komunitas muslim yang hidup di dekat Baitullah, tempat Islam dilahirkan. Tetapi akhirnya ia kembali ke Amerika karena menyadari bahwa pemikiran Islam yang tumbuh di Amerika lebih cocok dan menantang baginya daripada paham Islam yang tumbuh di Saudi Arabia yang lebih ditunjukkan ke masa lampau. Di Arab Saudi, menurut Lang, Islam berhenti sebagai kekuatan untuk perkembangan keprihatinan dan membuat imannya segera kehilangan daya hidupnya. Dalam kasus ini, Lang yang berencana untuk menanggalkan statusnya sebagai orang Amerika untuk menjadi muslim telah gagal dan pada akhirnya ia semakin yakin dengan prinsip no escape from being an American. Itu artinya, untuk menjadi Islam tidak berarti harus meninggalkan semua latar belakang budaya seseorang. Islam tidak pernah datang pada suatu vakum kultural. Sikap kritis Lang tersebut jika dilacak sumbernya dari al-Quran maka akan mendapatkan pembenaran. Al-Quran menyatakan bahwa Malaikat yang kerjanya hanya bertahmid dan bertasbih pada Allah ternyata bisa dan boleh melakukan protes dalam bentuk pertanyaan ketika Allah hendak mengangkat Adam sebagai khalifah. Jadi, benar apa yang dilakukan oleh Lang bahwa untuk memahami pesan Islam seseorang harus selalu bersikap kritis, terlebih jika Islam hendak didakwahkan pada masyarakat. Demikianlah, untuk mengaktualkan pesan wahyu dibutuhkan respon kritis dan hati yang tulus dari manusia di bumi untuk menciptakan bayang-bayang surga dalam sejarah. Mengingat penduduk bumi demikian beragam dan itu merupakan desain Allah, maka ditemukan Islam Arab, Islam Iran, Islam India, Islam China, Islam Indonesia, Islam Amerika dan komunitas Islam lainnya. Maka masyarakat muslim tidak bisa menjadi religius dalam cara yang sama seperti para pendahulunya di dunia pramodern yang konservatif. Betapapun kerasnya mereka berusaha menerima dan melaksanakan warisan tradisi agama pada masa keemasannya, mereka memiliki kecenderungan alami untuk melihat kebenaran secara faktual, histores dan empiris. Baik konservatisme dan modernisme bukanlah pilihan yang tepat. Kedunya produk historis yang perlu dikaji ulang validitasnya. Kulitnya boleh sama, tetapi bagian dalamnya telah berubah.

74

Komaruddin Hidayat,Wahyu di Langit Wahyu di Bumi (Jakarta: Paramadina, 2003), 4.

Dalam masyarakat Islam yang tradisional, perkataan kiai, tokoh agama, begitu berpengaruh, karena dianggap sebagai manifestasi dari hukum sosial. Maka ada perbedaan antara hukum di dunia Islam dan di dunia Barat yang terbiasa dengan kehidupan modern. Hukum yang muncul di Barat adalah hasil dari pengalaman hidup mereka, sementara hukum yang muncul di dunia Islam adalah hasil dari wahyu, sehingga kesadaran (self discipline) orang Barat lebih tinggi daripada kesadaran orang Islam, karena orang Islam terbiasa diperintah. Maka untuk menjadi masyarakat taat hukum, harus dimulai dari kesadaran diri sendiri. Studi Ritual Islam Frederick M. Denny Frederick, yang tulisannya akan dibahas dalam makalah ini, mengatakan bahwa ritual Islam adalah ekspresi dari doktrin Islam, 75 di mana keduanya saling menguatkan, dalam proses penemuan dan disiplin agama yang menyatu. Tauhid, menurut Frederick, bukan sekedar proposisi teologis, tetapi juga realisasi manusia dalam mengesakan Tuhan dengan ketaatan dan ketundukan total.76 Empat rukun Islam, menjadi kategori utama ritual Islam, di samping beberapa peristiwa penting lainnya, seperti Idul Fithri, Idul Qurban, Puasa Ramadlan, Shalat Gerhana, dan lain sebagainya.77 Menurut Frederick, fungsi aktivitas ritual dalam Islam itu sangat besar, sehingga Bosquet, dalam Encyclopedia of Islam, menyatakan bahwa Islam bukan sekedar ibadah, tetapi juga merupakan hukum, bahkan atas alasan itu, Bosquet menerjemahkan ibadah dengan kultus.78 Untuk memperkuat bukti tentang besarnya fungsi aktivitas ritual itu, di sini Frederick kemudian memunculkan tulisan orang lain, yaitu Wilfred Cantwell Smith, dalam bukunya Islam in Modern History, yang menterjemahkan kata Sunni bukan dengan ortodoks, tetapi ortopraksis.79 Dari itu, menurut Frederick, Kitab-kitab Fikih selalu dimulai dengan penjelasan tentang kewajiban-kewajiban ritual, dengan memperhatikan empat rukun; shalat, puasa, zakat dan haji. Rukun Islam pertama, syahadat, tidak biasa untuk dibahas, tetapi taken for granted.80 Artinya, ritual Islam, dalam pandangan Frederick, sangat memainkan
75

Frederick M. Denny, Islamic Ritual, dalam Richard C. Martin, Approaches to Islam in Religious Studies (USA: Arizona State University, 1985), 64. 76 Ibid. 77 Ibid., 69. 78 Ibid. 79 Wilfred Cantwell Smith, Islam in Modern History, dalam Richard C. Martin, Approaches, 218 (footnote). 80 Ibid., 64.

peran yang sangat penting bagi pemeluknya, karena tujuan dari praktik ritual dalam Islam itu adalah ibadah, bukan keyakinan terhadap mitos, sebagaimana yang tejadi di dalam agama-agama lain. Shalat lima waktu memberikan kesaksian atas dominannya ritual dalam kehidupan sehari-hari, dengan memanggilnya dari pekerjaan duniawi untuk mengingat sesuatu yang ultim. Menurut Frederick, teks-teks resmi tentang praktik ritual dalam Islam, seperti haji sangat mudah didapat, namun tulisan-tulisan itu tidak ditulis dari hasil rihlah, hanya kitabah dari teks-teks yang tersedia.81 Sebagai contoh adalah pembahasan tentang haji. Menurut Roff, walaupun berjuta-juta kaum Muslimin telah berkunjung ke Makkah dan menunaikan ibadah haji sejak abad ke-1 H/ ke-7 M, tidak ada metodologi yang adekuat yang telah dirumuskan untuk menganalisis urgensi dan maknanya bagi Islam historis.82 Maka penelitian yang dilakukan oleh Denny dan Roff tentang praktik ritual dalam Islam, sangat penting sekali bagi kita untuk dikaji karena akan membantu kita di dalam memahami praktik-praktik ritual dalam Islam. Sebagaimana telah diungkapkan dalam latar belakang, bahwa praktik ritual sangat memiliki makna yang berarti bagi kehidupan masyarakat Muslim. Begitu pentingnya studi tentang praktik ritual dalam Islam, sehingga Frederick M. Denny, dalam tulisannya tentang Islamic Ritual, mengkritisi pengabaian studi sistematik tentang ritual Islam dalam studi Islam tradisional, padahal Islam memperlihatkan tekanan yang besar pada aktivitas ritual.83 Selama ini kajian tentang ritual, seperti haji, banyak bersumber dari teks-teks resmi yang sangat mudah didapat, namun tulisan-tulisan itu tidak ditulis dari hasil rihlah, hanya kitabah dari teks-teks yang tersedia.84 Maka rihlah yang dilakukan oleh peneliti dalam rangka menjelaskan kontekstual dari praktik-praktik ritual dalam Islam sangat penting dilakukan. Selama ini, kajian tentang ritual, seperti haji lebih ditekankan pada epifenomena dissemanisasi ideologis dan peningkatan status. Dalam hal ini bisa disebut nama seorang Islamolog yang paling mempunyai pretensi politis, yaitu A.J. Wensinck, dalam artikel panjangnya berjudul hajj, pada edisi ke- II The Encyclopedia of Islam, memfokuskan diri pada masalah pengaruh spiritual haji hanya pada dua atau tiga baris terakhir dari tulisannya, yaitu pernyataannya yang berbunyi hanya Tuhan saja yang tahu.

81 82

Frederick, dalam Martin, Approaches, 68. William R. Roff, Pilgrimage, 78. 83 Frederick M. Denny, Islamic Ritual, Perspectives dan Theoris, dalam Richard C. Martin, Approaches to Islam In Religious Studies (U.S.A: Arizona State University Press, 1985), 63. 84 Ibid.

Ketika Bernard Lewis memberi tambahan dalam konteks yang sama dengan Wensinck, bahwa haji merupakan agen perantara paling penting bagi mobilitas vertikal, dan mempunyai akibat-akibat yang besar terhadap seluruh masyarakat, menurut Roff, tidak menyentuh makna religius haji yang spesifik.85 Richard C. Martin dalam bukunya, Approaches to Islam in Religious Studies, mengatakan bahwa banyak dari bentuk praktik ritual yang tidak didapatkan dalam sumber-sumber resmi, tetapi dipraktikkan oleh komunitas Muslim, karena merupakan aktivitas-aktivitas simbolik yang memiliki signifikansi yang amat besar dalam Islam, seperti mengunjungi makam-makam wali untuk mendapatkan barakah.86 Praktik seperti ini (kultus terhadap orang suci dalam Islam), seperti di Mesir, merupakan hal yang biasa terjadi dalam komunitas Muslim. Frederick, salah satu tokoh yang pemikirannya akan kita kaji dalam bab ini, dengan mengutip dari tulisan D. J. Waardenburg, dalam bukunya Official and Popular Religion as a Problem in Islamic Studies, mengatakan bahwa praktik-praktik itu jika dibaca dalam karya Ibn Taymiyyah, atau Wahhabiyyah misalnya, sejumlah prilaku yang dapat diterima oleh beberapa masyarakat Muslim sebagai hal yang diyakini benar tadi, menyusut secara drastis, karena kebanyakan praktik itu dianggap menyimpang dan ditambah-tambahkan.87 Meskipun dapat serangan hebat dari Ibn Taymiyyah, Wahhabiyyah, dan yang lainnya, kunjungan ke makam-makam orang suci tidak pernah dapat dimusnahkan. Praktik-praktik yang oleh Wahhabiyyah dianggap menyimpang itu masih sering dilakukan oleh massa Muslim, yang memandangnya sebagai bagian dari Islam. Maka yang dibutuhkan dalam studi tentang ritual, menurut Frederick, adalah perhatian yang lebih peka dan jelas terhadap sumber-sumber Islam dan bahasan-bahasan tentang ritual.88 Frederick melihat bahwa yang sering menjadi masalah, dalam studi tentang ritual Islam, adalah terjadinya konflik antara pendekatan normatif dan deskriptif dalam analisa prilaku.89 Artinya, dalam studi tentang ritual Islam terdapat dua sumber, yaitu sumber teks yang memunculkan Islam resmi/Islam normatif dan sumber konteks yang sering disebut dengan Islam populer.

85 86

Ibid. Richard C. Martin, Approaches to Islam in Religious Studies, 61. 87 Frederick M. Denny, Islamic Ritual, Perspectives and Theories, dalam Richard C. Martin, Approaches to Islam, 64. 88 Ibid., 65. 89 kesulitan ini dipaparkan oleh J. D. J. Waardenburg dalam tulisannya yang berjudul Official and Populer Religion as a Problem in Islamic Studies. Ibid., 218.

Di sini Frederick menjadikan karya Clifford Geertz, Islam Observed, yang membedakan antara Islam orang Indonesia dan Maroko, sebagai salah satu karya yang menggambarkan konflik antara Islam resmi (Islam normatif) dan Islam populer.90 Frederick menyebutkan ada satu pendekatan dalam studi tentang ritual Islam, yaitu yang memusatkan pada deontologi, sebuah pemahaman tentang syariah sebagai ilmu tentang kewajiban. Pembahasan dalam kerangka pendekatan deontologi ini adalah tentang perilaku ritual yang ideal, sebagaimana dijumpai dalam sumber-sumber asli. Sementara ada pendekatan lain, yang dilakukan oleh para orientalis dalam kajian mereka, yaitu dengan banyak memperhatikan sumber sejarah.91 Maka apa yang dibutuhkan sekarang, menurut Frederick, adalah perhatian yang lebih peka dan jelas terhadap sumber-sumber Islam dan bahasan-bahasan tentang ritual. Smith mengatakan, ketika pergumulannya adalah antara tradisi akademis Barat dan suatu agama tertentu, maka pernyataan-pernyataan yang dikemukakan harus memuaskan masing-masing kedua tradisi ini, dan mentransendensikan keduanya dengan cara memuaskan keduanya.92 Jaeques Waar Denburg mencatat tentang peran dan fungsi sosial yang dipenuhi oleh gagasan-gagasan dan praktik-praktik keislaman di luar makna religius khusus yang diberikan kepada pemeluk agama Islam itu sendiri.93 Menurut Roff, fenomena yang terjadi di masyarakat muslim itu, membutuhkan alat-alat analisis seorang sejarawan, yang dapat menangkap apa yang ada dibalik sesuatu dari sistem-sistem keagamaan itu. Caranya, menurut Roff, dengan menggambarkan sesuatu dari praktik-praktik yang diteliti dan gagasan-gagasan para pemeluk agama, dari suatu proses sosial yang terstruktural, dan mendapat pengakuan dari pemeluk-pemeluknya.94 Menurut Roff, hal itu dilakukan untuk membuat temuan-temuan analitis tentang bagaimana makna dan penampakan keagamaan seperti yang dipahami dan dipraktikkan para pemeluknya, menginformasikan secara spesifik fungsi sosial dari gagasan-gagasan dan praktik-praktik yang diteliti.95 Maka dari adanya dua pendekatan di atas, Frederick mengusulkan adanya disiplin di mana para fuqaha dan Islamisis saling berbagi pandangan, jika mereka ingin menganalisis dan menafsirkan ritual Islam, dengan cara yang membawa makna dalam konteks Islam yang sebenarnya (memahami dan menghargai sifat keyakinan yang khas
90 91

Ibid., 65. Ibid. 92 Wilfred Cantwell Smith, History of Religions, Ibid., 220. 93 Jacques Waardenburg, The Academic Study of Islam, Ibid., 221. 94 William R. Roff, Pilgrimage and the History of Religions, dalam Richard C. Martin, Approaches to Islam, 78-79. 95 Roff dalam Martin, Approaches, 79.

yang menjadikan ritual itu bermakna bagi Muslim).96 Salah satu studi tentang ritual Islam yang sangat berpengaruh dalam kebangkitan studi-studi ritual adalah etnografi Clifford Geertz dan Victor Turner, yang kajiannya didasarkan pada antropologi kultural yang bersifat simbolis, Levi-Strauss.97 Praktik Ritual Islam William R. Roff Di dalam beberapa praktik ritual dalam Islam, yaitu empat dari lima rukun, mempunyai rujukan komunal dan dibuat untuk mengekspresikan dan menyalurkan kekuatan rukun pertama, syahadah, yang secara implisit mengandung gambaran iman Muslim yang sempurna, dengan mana menyatakan keyakinan pada Tuhan, Malaikat, Nabi dan Kitab Suci, Hari Akhir dan Takdir. Dua dari lima rukun itu, ada yang mempunyai rujukan tempat yang kuat, yaitu Shalat dan Haji, yang dipusatkan pada Kabah di Mekkah, dan tiga rukun ada yang mempunyai mempunyai rujukan waktu, yaitu shalat, puasa dan haji. Jadi, menurut Frederick, dari beberapa rukun itu, dalam Islam terdapat serangkaian ritual yang berkaitan dengan ruang dan waktu suci.98 Ruang dan waktu dalam ritual Islam adalah kategori universal. Maka perlu adanya perhatian pada dimensi dan orientasi ruang dan waktu dalam Islam, untuk tujuan pemahaman yang lebih baik tentang simbolisme Islam, sebagaimana dipahami dari dalam. Gagasan tentang ruang dan waktu dalam ritual Islam inilah yang kurang banyak digali oleh para peneliti. Theodore Gaster dalam Thespis; Ritual, Myth and Drama in the Ancient Near East menjelaskan sebuah fenomena ini, yang ia sebut dengan Topocosme, suatu hubungan antar individu yang kompleks dengan kosmologi yang menyeluruh. Menurut Theodore, ritual dibagi menjadi dua kategori, ritus kenosis (pengosongan), dan ritus plerosis (pengisian). Yang pertama menggambarkan dan menyimbolkan pudarnya kehidupan dan vitalitas pada akhir setiap kesempatan. Yang ke dua menggambarkan dan menyimbolkan revitalisasi yang terjadi pada permulaan kesempatan baru. Yang masuk dalam kategori pertama ini, menurut Frederick adalah peringatan 10 Muharram dalam tradisi Syiah, dengan pengunduran diri dan taziyah. Puasa Ramadlan juga termasuk dalam kategori ini. Sementara untuk kategori plerotik adalah menyembelih Kurban. Dalam kenosis dan plerosis, rukun-rukun ritusnya harus diperhatikan. Menurut
96 97

Ibid. Ibid. 98 Ibid.

Frederick hal ini berbeda dengan Islam populer yang lebih ditandai oleh ciri-ciri leluhur tertentu. Dalam Islam juga dikenal adanya pemisahan, yang tidak sekedar didasarkan ruang dan waktu, tetapi pada kesucian dan keharaman, yaitu dikenalnya barang haram dan halal. Yang haram juga dibagi menjadi dua, antara haram secara hakiki, dan haram karena sebab lain. Istilah halal dan haram adalah istilah hukum, dan jika diperhatikan, tidak terlihat perbedaan tajam antara keduanya, karena terdapat perubahan sedikit demi sedikit dari satu ke yang lain, seperti jaiz dan mubah, fardu dan wajib. Ada hal yang sangat memiliki makna ritual bagi Muslim dan merupakan salah satu indikator terpenting dalam prinsip bipolaritas dalam Islam, yaitu menjauhi polusi. Sebagai contoh, al Quran banyak menyebutkan hal-hal yang berlawanan seperti, ashb al yamn (kanan), sebagai lambang kesucian dan ashb al yasr (kiri), sebagai lambang polusi. Artinya, kebahagiaan dan kesejahteraan berasal dari kanan, sementara efek-efek yang buruk dari kiri. Maka orang masuk masjid dengan kaki kanan, ketika keluar dengan kaki kiri. Tangan kanan untuk makan dan menyentuh barang suci lainnya, sementara tangan kiri untuk tugas-tugas kotor.99 Di sini bisa dinyatakan bahwa dalam praktik-praktik keagamaan yang dilakukan oleh umat Islam masih ada unsur mitos di dalamnya. Maka Frederick menyatakan bahwa tradisi ritual dalam Islam tidak berbeda dengan ritual-ritual dalam agama lain, bahkan memiliki kesamaan 100 % dengan ajaran Yahudi.100 Frederick menyebutkan bahwa praktik ritual, bagi partisipan, adalah upaya menghidupkan kembali kebenaran terdalam. Dengan mengutip ungkapan Santayana,101 Frederick menyatakan bahwa setiap agama yang hidup dan sehat mempunyai keistimewaan khas, kekuatannya terdapat dalam pesannya yang khusus dan istimewa, dan dalam bias di mana wahyu memberikan kehidupan. Pandangannya yang terbuka dan misterinya yang jelas merupakan dunia lain bagi kehidupan, dan dunia lain untuk kehidupan itulah apa yang kita maksudkan dengan memiliki agama.102 Di sini Frederick menyimpulkan bahwa memiliki agama bukan dimaksudkan sebagai memahami agama, dan memahami agama tidak sama dengan mempercayainya. Memeluk agama, menemukan dunia lain untuk hidup pada dirinya sendiri, bukanlah pekerjaan ilmiah, karena disiplin agama bukan untuk hidup (memiliki agama), tapi merupakan produk yang sangat beragam dari dunia yang sangat luas.103
99

Ibid. Ibid., 72. 101 Karya George Santayana berjudul Reason in Religion.. 102 Roff dalam Martin, Approaches., 66. 103 Ibid.
100

Memiliki adalah salah satu bias dari rasa ingin tahu tentang masyarakat dan pandangan dunia orang lain. Maka Frederick menyatakan bahwa menangkap esensi tidak menghendaki sesuatu yang drastis seperti konversi, tetapi ia menuntut simpati dan respek, sekaligus keterbukaan pada sumber-sumber, manusia, teks, yang bermakna bagi penganutnya. Artinya, dalam banyak hal seseorang tidak perlu masuk Islam hanya untuk tujuan otentisitas ilmiah.104 Berkaitan dengan hal ini, Frederick mengutip pendapat Fazlur Rahman yang menjelaskan bahwa menjadi Muslim tidak dengan sendirinya menjamin eksplikasi dan interperetasi seseorang tentang Islam akan menjadi jelas dan seimbang. Melihat diri sendiri, tradisi sendiri dari dalam, sama sulitnya dengan upaya memahami dari luar. Studi ilmiah terhadap tradisi agama bagi orang yang bukan penganutnya merupakan proyek terbatas. Sejarah agama bukan teologi, bukan pula humanisme baru, ia sangat sederhana.105 Studi ritual Islam bukan perkara misteri. Mengamati apa yang terjadi dalam berbagai aktivitas ritual dalam Islam, baik yang resmi maupun yang populer sangat sulit. Frederick mengusulkan untuk menganggap Islam sebagai realitas yang dapat dipahami.106 Maka Frederick menyatakan perlunya menguji teks dan konteks, karena dari divergensi antara keduanya akan mendorong para sarjana untuk membuat keputusan pasti tentang interpretasi yang sangat beragam.107 Kajian tentang ritual Islam dari sudut teks dan konteks, menurut Frederick, telah dilakukan oleh Snouck Hurgronje, yang membahas tentang haji, sebelum ia menetap di Makkah. Kajiannya, menurut Frederick, merupakan contoh karya orientalis yang secara tradisional didasarkan pada teks dan menggambarkannya dalam latar akademik. Maka kajian Hurgronje tentang haji yang dilakukannya melalui rihlah, menurut Frederick, membuatnya mungkin untuk menyediakan penjelasan kontekstual tentang Mekkah dan penduduknya, sebuah Islam yang diamati pada masa awal.108 Haji adalah praktik ritual yang dilaksanakan pada saat yang suci dan di tempat yang suci pula. Maka kerangka teori yang dimunculkan oleh Frederick dan Roff dalam studi tentang praktik ritual dalam Islam, adalah teori liminalitasnya Victor Turner yang diungkap dalam bukunya The Ritual Process, tentang pelaksanaan haji. Teori liminalitas tadi memiliki potensi untuk mengkombinasikan ruang dan waktu,109 yang merupakan
104 105

Ibid., 66-67. Ibid., 67. Atau tulisan Fazlur Rahman tentang Approaches to Islam in Religious Studies, dalam Richard C. Martin, Approaches to Islam, 191-192. 106 Roff dalam Martin, Approaches., 66-67. 107 Ibid., 68. 108 Ibid. 109 Ibid., 72.

rujukan terpenting dari praktik ritual dalam Islam, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Menurut Victor Sholat juga demikian, karena harus menghadap kiblat dan dalam waktu tertentu.110 Studi tentang ritual Islam yang tidak kalah penting, menurut Frederick dan dielaborasi oleh Roff, adalah model Arnold van Gennep, dalam karyanya The Rites of Passage, yang membahas ritus-ritus peralihan, dengan fase-fase pemisahan (sparation), transisi (transition), dan bergabung dalam status baru (incorporation in a new status). Alasannya adalah karena Islam mengenal perubahan status yang diritualkan, dan ini penting untuk dijelaskan oleh para sarjana, seperti aqiqah, khitan, perkawinan, pubertas laki-laki. Yakni, ritus-ritus itu melengkapi kebutuhan individu dan biasanya secara eksplisit menyajikan ikatan-ikatan sosial secara keseluruhan sekalipun bisa saja hal itu terjadi secara implisit.111 Serangkaian ritus keagamaan, menurutnya, dapat direduksi dalam satu pengertian menjadi tiga tahap: 1. Pra pelaksanaan (pre-liminal), atau pemisahan (sparation). 2. Pelaksanaan (liminal), transisi (transition). 3. Pasca pelaksanaan (post-liminal), kebersamaan (aggregation). Rites de Passage versi Arnold van Gennep merupakan kerangka analisis untuk menuliskan pandangannya tentang serangkainan ritus-ritus keagamaan, bertitik tolak dari yang profan, melewati ambang pintu dari yang suci.112 Selametan yang dihadiri oleh famili di rumah sang calon haji merupakan simbol kesatuan mistikal dan sosial. Menurut Gandefroy-Demombynes apa yang sesungguhnya disebut rites de passage adalah rangkaian ritus-ritus keagamaan yang secara bersamasama membentuk langkah pertama (pra-pelaksanaan/pre-liminal) seorang awam dalam keberadaan yang semakin dekat dengan kehidupan beragama.113 Struktur haji, dalam terma-terma rites de passage: masa persiapan (mawsim al hajj), persiapan perbekalan dan teknis, terlihat adanya relevansi simbolik perjalanan teritorial. Ketika Victor Turner, dalam analisisnya tentang proses pelaksanaan haji, membicarakan hakikat dan watak tahap persiapan, di mana seorang calon haji berusaha untuk keluar dari lingkungan strukturalnya di rumah, menunjukkan penegasian (pemisahan/sparation) terhadap banyak gambaran afirmasi terhadap tatanan lain dari

110 111

Victor Turner, The Ritual Process. Ibid. Arnold van Gennep, The Rites of Passage. Ibid., 75, 80. 112 Roff dalam Martin, Approaches., 80-81. 113 Ibid., 82.

sesuatu dan hubungan-hubungan baru. Struktur sosial ini tidak dihilangkan, tapi secara radikal disederhanakan. Hubungan-hubungan yang bersifat umum ditekankan. 114 Pemisahan yang total dari ikatan-ikatan sosial pada saat sang haji memakai ihram, menjadi bukti dari apa yang oleh van Gennep, Turner, dilihat sebagai permulaan tahap pelaksanaan (liminal) atau transisi dalam seluruh proses ibadah haji, di mana para jamaah haji telah tampil dalam wujudnya yang berubah, sebagai bayi yang baru lahir dari rahim ibunya. Puncak ibadah haji ditambah oleh serangkaian peribadatan yang sentral, esensial dan dilakukan secara bersama-sama, tawaf, sai, wukuf dan jumrah.115 Keseluruhan periode inilah yang dicirikan oleh liminalitas dilihat dari struktur sosial dan dengan alamiah, oleh Turner, disebut sebagai anti-struktur sosial, atau suatu keterikatan yang muncul secara spontan dan dibangun secara normatif di antara makhluk manusia yang sejajar dan seimbang, bersifat total dan terindividualkan, lepas dari atribut-atribut struktural. Pengalaman komunitas ini jelas nampak dalam pelaksanaan haji. Kandungan ritual dan simboliknya membutuhkan analisis yang paling mendalam di dalam terma-terma rites de passage.116 Martin dalam studinya tentang haji melihat tawaf dan mencium atau menyentuh hajar aswad sebagai ibadah puncak dari perjalanan haji. Lebih umum, sajian deskriptif tentang haji seperti yang dilakukan oleh para jamaah secara jelas memperlihatkan kekuatan emosional dan tenggelamnya mereka dalam suatu kesatuan antara seluruh kaum dan dari seluruh dunia, dari seluruh jenis warna kulit dan kondisi. Bahwa Makkah didatangi jamaah haji yang secara bertalu-talu menyuarakan talbiyah, itu sendiri dilihat dari sudut ruang dan waktu bersifat liminal dan terlepas dari keterikatan massa.117 Dalam tindakan-tindakan yang kaya akan makna simbolik yang menyertainya, di tengah-tengah sekian artefak keagamaan, para jamaah haji berusaha untuk menemukan dalam transendensi keduniawian dan temporal beberapa perubahan dalam dirinya, dari dosa ke rahmat, suatu suasana yang pada saatnya akan membawa perubahan dalam dirinya. Maka dalam perjalanan haji yang melelahkan, kaum Muslimin tidak memandangnya sebagai kerja yang melelahkan. Mereka melakukannya seakan-akan merupakan cara untuk menebus dosa atau untuk memperbesar kebajikan mereka. Perjalanan haji ini menjadi gambaran utama bahwa perjalanan itu merupakan kepergian dan keterpisahan secara sesungguhnya yang pertama, tidak saja dari masa lampau yang
114 115

Ibid., 83. Ibid. 116 Ibid. 117 Ibid.

disesalkan tetapi juga dari struktur-struktur dan peran-peran sosial yang dijalani seharihari. Malcom X, seorang Muslim Amerika, setelah menunaikan haji, ia menulis bahwa, dalam haji, kita telah dipaksa untuk menyusun kembali banyak pola pikir yang lama dan untuk membuang pandangan-pandangan yang kuno. Dalam penampilan lahiriahnya, banyak jamaah haji yang merubah, sejak kepulangan mereka dari tanah suci. Memakai pakaian Arab, merubah nama, mendapat status baru dan dipanggil haji. Mereka juga merubah persepsinya tentang Islam dan kaum Muslimin, imperatif-imperatif dan kekuatan-kekuatannya. Dengan demikian, ia kini menjadi milik komunitas Muslim yang luas. Dan menjelaskan kepada masyarakat desanya bahwa untuk tujuan itulah ia kembali.118 Proses inilah yang disebut dengan post-liminal/aggregation. Ketiga tahapan ini menunjukkan bahwa haji dalam berbagai tradisi keagamaan dapat dipandang sejalan dengan pola ini. Tidak hanya haji saja, di mana secara eksplisit kawasan sakral, Makkah, merupakan pusat dunia, tapi intensitas kesakralan tempat ini dinyatakan kembali lima kali sehari ketika kaum Muslimin melaksanakan shalat. Dan beberapa Hadith menjelaskan bahwa haji yang sukses mengandung suatu perubahan. Perubahan dari apa ke apa? van Gennep melihat rites de passage sebagai perubahan yang efektif, searang individu dari posisi terntentu sebelumnya ke posisi yang lainnya. Turner dengan memanfaatkan konsep status dan peran yang lebih luas dan proses ritual keagamaan, melihat perubahan itu terjadi dari satu keadaan ke yang lainnya.119 Di sini, menurut Roff, terdapat suatu pengertian di mana model perjalanan ritual rites de passage van Gennep sedikit lebih mempunyai makna ketimbang mengelaborasi haji hanya sebagai sumber dari pencapaian status yang kemampuan paling tinggi hanya dapat mengemukakan tinjauan parsial dan eksternal terhadap fenomena haji dan menyepelekan makna religiusnya yang khusus.120 Aliran-aliran Pemikiran dalam Islam Tradisionalis-konservatif, Radikal-Puritan, Reformis-Modernis, RevivalisFundamentalis, Sekularis-Liberal Menurut teori Ibnu Khaldun, di dalam kehidupan ini ada dua bentuk komunitas yang saling berlawanan; yaitu, komunitas pedesaan dan komunitas perkotaan.
118 119

Ibid., 85. Ibid., 86. 120 Ibid.

Masyarakat pedesaan identik dengan masyarakat yang penuh dengan keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan, sementara masyarakat perkotaan identik dengan kemajuan.121 Dalam masyarakat pedesaan, tokoh masyarakat, para orang tua, dan sesepuh desa menduduki status sosial yang tinggi dan superior. Kelompok ini menjadi panutan masyarakat dan menentukan corak hubungan kehidupan masyarakat desa. Di sisi lain, kelompok yang jumlahnya lebih besar, terdiri atas anggota masyarakat secara keseluruhan dan kalangan muda, menduduki posisi status sosial lebih rendah atau subordinat.122 Dalam hal memahami ajaran Agama (Islam), dua komunitas (perkotaan dan pedesaan) di atas ternyata juga memiliki perbedaan (kalau tidak kontradiktif). Masyarakat desa bersifat tradisional, sementara masyarakat kota lebih modern.123 Peran tokoh agama di masyarakat desa tidak hanya sebagai ahli ilmu keagamaan, melainkan juga menjadi pemimpin masyarakat yang seringkali dimintai pertimbangan dalam menjaga stabilitas keamanan desa.124 Oleh karena itu para pemimpin formal yang terdiri dari Kepala Desa dan Pamong Desa, hampir semua merupakan kepanjangan dari peranan kiai atau ulama. Mereka menduduki posisi yang sekarang ini tidak lepas dari pengaruh kiai desa tersebut. Di masyarakat muslim pedesaan, kiai atau tokoh Agama dijadikan imam dalam bidang ubudiyah, upacara keagamaan dan sering diminta kehadirannya untuk menyelesaikan kesulitan-kesuitan yang menimpa masyarakat. Peran mereka semakin kuat di dalam masyarakat ketika kehadirannya diyakini membawa berkah, misalnya tidak jarang kiai diminta mengobati orang sakit, memberikan ceramah agama dan dimintai doa untuk melariskan barang dagangan mereka.125 Ibnu Khaldun menyatakan bahwa setiap bentuk kota awalnya adalah desa dan setiap desa di suatu masa akan berubah menjadi kota.126 Artinya, peralihan bentuk pedesaan menjadi perkotaan masih merupakan salah satu proses perubahan-perubahan sosial di seluruh dunia. Berarti, kota menjadi pusat perubahan sosial dan modernisasi.127 Hal ini terjadi karena, menurut Stnislaw Wellisz, perpindahan penduduk dari desa ke
121

Ibnu Khaldun membedakan masyarakat pedesaan dan perkotaan dari sisi fasilitas dan peralatan yang dipergunakan di dalam memenuhi segala kebutuhan sehari-hari. Ibnu Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar Ibn Khaldun, t.t.), 85. 122 Karl D. Jackson, Kewibawaan Tradisional, Islam dan Pemberontakan: Kasus Darul Islam Jawa Barat (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990), 199-219. 123 untuk memahami perbedaan kaum tradisionalis dan modernis di Jawa, lihat Cliffert Geertz, Islam Java ( 124 Arifin Mansur Noor, Islam in an Indonesian World Ulama of Madura (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1990), 104-114. 125 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), . 126 Ibnu Khaldun, Muqadiimah, 87.

kota (urbanisasi) ditentukan oleh faktor-faktor dorong dan tarik (push and pull factors). Faktor-faktor pendorong, di antaranya, adalah keinginan untuk mencapai perubahan ekonomi dan keinginan untuk mengikuti kehidupan kota atau status sosial yang lebih maju.128 Daniel Lerner pada tahun 1958 menyatakan bahwa urbanisasi merupakan prakondisi untuk modernisasi dan pembangunan atau kemajuan.129 Modernisasi berimplikasi pada munculnya industrialisasi, dan ketika terjadi proses industrialisasi, terjadilah urbanisasi dalam masyarakat tersebut. Menurut teori Boeke, ketika budaya-budaya impor yang unsur-unsurnya lebih maju, berwatak kapitalis, berhadapan dengan budaya lokal yang berwatak tradisional, bersifat komunal, terjadi pergulatan antara budaya luar dengan budaya lokal. Pertarungan kedua budaya tersebut tidak selalu berakhir dengan model antagonistik, tetapi unsur yang tersisih akhirnya tidak berfungsi dan diganti unsur baru yang kemungkinan besar dimenangkan oleh unsur impor. Unsur lokal berangsur-angsur menurun dan tidak lagi diminati oleh masyarakat tradisional130 dan secara radikal akan merubah tatanan hubungan tradisional antara masyarakat, pemerintah dan agama. Dari proses modernisasi itu terjadi sekularisasi dan melunturkan tradisi keagamaan131 dan dunia Islam merasa diganggu oleh proses modernisasi.132 Dalam merespon arus modernisasi, umat Islam tidak memperoleh kesepakatan. Ada yang memandang positif, ada yang memandang negatif. Jika kita pilah antara yang menerima dan menolak pemikiran modern, umat Islam, dalam menghadapi modernitas, terbagi menjadi dua; sekularis, dan Islami. Kelompok Islamis terbagi lagi menjadi tiga; tradisionalis-normatif modernis.133 Kelompok sekularis memandang bahwa urusan Agama harus dipisahkan dari urusan dunia. Kelompok tradisionalis, ingin berpegang pada ajaran tradisional meskipun dunia telah berubah. Kelompok fundamentalis juga ingin tetap berpegang pada ajaran tradisional, menolak modernisasi pemikiran keagamaan, hanya saja ia juga ingin mereformasi pemahaman keagamaan tradisional yang dipenuhi oleh hal-hal yang (ortodoks), fundamentalis/revivalis (neo-normatifis), dan

127

D.J. Dwyer, The City as a Centre of Change in Asia, dalam Hans-Dieter Evers, Sosisologi Perkotaan (Jakarta: LP3ES, 1986), 7. 128 Ibid. 129 Daniel Lerner, The Passing of Traditional Society: Modernizing the Middle East (New York: The Press, 1958), 61. 130 Sukamto, Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren (Jakarta: LP3IS, 1999), 10. 131 Andrew Rippin, Muslim (New York: Routledge, 1993), 19. 132 Karen Armstrong, Islam: A Short History (London: Phoenix Press, 2001), 133 Andrew Rippin, Muslim, 28.

dianggap bidah. Kelompok modernis memandang bahwa modernisasi tidak bertentangan dengan ajaran Islam.134 Dari cara pandang yang berbeda tersebut, di dunia Islam muncul berbagai macam bentuk pemikiran ideologis, antara kelompok yang memandang Islam sebagai model dari sebuah realitas (model of reality) dan kelompok yang memandang Islam sebagai model untuk sebuah realitas (models for reality). Yang pertama mengisyaratkan bahwa Agama adalah representasi dari sebuah realitas, sementara yang kedua mengisyaratkan bahwa Agama merupakan konsep bagi realitas, seperti aktivitas manusia. Dalam pemahaman yang kedua ini Agama mencakup teori-teori, dogma atau doktrin bagi sebuah realitas.135 Menurut Roland Robertson ada banyak ragam sikap dari gerakan-gerakan berbasis Agama dalam menyikapi modernisasi dan sekularisasi. Pertama, mereka yang menunjukkan sikap skeptis dan protes terhadap perubahan mendasar dalam struktur kehidupan sosial yang diakibatkan oleh modernisasi dan sekularisasi. Kedua, yang mengikuti modernisasi tapi menentang sekularisasi. Ketiga, yang melakukan penyesuaian terhadap lingkungan modern, bahkan secara implisit menjadi agen penyebar sekularisasi.136 Karen Amstrong menyatakan bahwa kita tidak bisa menjadi religius dalam cara yang sama seperti para pendahulu kita di dunia pra modern yang konservatif. Betapapun kerasnya kita berusaha menerima dan melaksanakan warisan tradisi Agama pada masa keemasannya, kita memiliki kecenderungan alami untuk melihat kebenaran secara faktual, historis, dan empiris. Sebuah kebenaran Agama tidak cukup hanya diyakini dan diceramahkan berulang-ulang, tetapi harus dibuktikan secara nyata dan fungsional dalam kehidupan riil. Baik konservatisme maupun modernisme, lanjutnya, bukanlah pilihan yang tepat. Keduanya produk historis yang perlu dikaji ulang validitasnya.137 Jika kita teliti lebih cermat, secara global, di kalangan umat Islam terdapat empat orientasi pemikiran ideologis yang dianggap mewakili kelompok-kelompok yang ada: tradisionalis-konservatif, reformis-modernis, radikal-puritan, dan sekuler-liberal. Kelompok tradisionalis-konservatif adalah mereka yang menentang kecenderungan pembaratan (westernizing) yang terjadi pada beberapa abad yang lalu atas nama Islam, seperti yang dipahami dan dipraktikkan di kawasan-kawasan tertentu. Kelompok ini juga ingin mempertahankan beberapa tradisi ritual yang diperaktekkan
134 135

Ibid., 29. Bassam Tibi, Islam and the Cultural Accomodation of Social Change, 8. 136 Roland Robertson, Globalization, Politics and Religion: In the Changing Face of Religion, ed. James becford and Thomas Luckman (London: Sage, 1989), 10-23. 137 Karen Armstrong, Islam: A Short History.

oleh beberapa ulama salaf. Para pendukung orientasi ideologis semacam ini bisa ditemukan khususnya di kalangan penduduk desa dan kelas bawah.138 Kelompok reformis-modernis adalah kelompok yang memandang Islam sangat relevan untuk semua lapangan kehidupan, publik, dan pribadi. Bahkan mereka menyatakan bahwa pandangan-pandangan dan praktik tradisional harus direformasi berdasarkan sumber-sumber asli yang otoritatif, yakni al-Quran dan as-Sunnah (purifikasi Agama), dalam konteks situasi dan kebutuhan kontemporer. 139 Pemikiran Islam modern ini merupakan pemikiran yang memiliki kecenderungan untuk mengambil beberapa pemikiran Barat yang modern, rasional bahkan liberal, 140 atau menafsirkan Islam melalui pendekatan rasional untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman.141 Kelompok modernis ingin menjadikan Agama sebagai landasan dalam menghadapi modernitas. Menurutnya, Agama tidak bertentangan dengan perkembangan zaman modern, sehingga mereka ingin menginterpretasikan ajaran-ajaran Agama sesuai dengan kebutuhan modern.142 Mereka menyatakan bahwa tidak ada pertentangan antara Islam dan modernitas. Menurut mereka, hukum Islam tidak baku, tapi harus dirubah sesuai dengan situasi sosial yang sedang berkembang.143 Kelompok ini menganjurkan penafsiran ulang atas Islam secara fleksibel dan bekelanjutan, sehingga umat Islam dapat mengembangkan pemikiran keagamaan yang sesuai dengan kondisi modern.144 Kelompok ini ada yang menyebutnya sebagai neomutazila,145 karena pemikiran Mutazilah yang rasional memiliki peran dalam membentuk pola berpikirnya kelompok ini. Kecenderungan modernisasi pemikiran Islam muncul pada dekade akhir abad ke19 sebagai tanggapan atas pembaratan rezim dan pemerintahan Eropa. Kultur elit muslim saat itu terbagi menjadi kelompok yang terbaratkan dan kelompok tradisional, dan kelompok modernis mencoba untuk mempersatukannya.146 Kelompok ini berkembang pada abad ke-19 dengan beberapa tokohnya seperti Jamaluddin al-Afghani

138 139

William Shepard, Fundamentalism; Christian and Islamic, Religion, XVII (1987), 355-378. Ibid. 140 Daniel Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 2. 141 Ahmad Hasan, The Doctrine of Ijma in Islam (Islamabad: Islamic Research Institute, 1976), 227. 142 Andrew Rippin, Muslim, 31. 143 Ibid., 32. 144 John L. Esposito,Modernisme, Ensiklopedia Oxford; Dunia Islam Modern terj. Eva YN dkk. (Bandung: Mizan, 2002), 4, 75. 145 Daniel Brown, Rethingking Tradition, 2. 146 John L. Esposito,Modernisme, Ensiklopedia Oxford; Dunia Islam Modern terj. Eva YN dkk. (Bandung: Mizan, 2002), 4, 75.

(1839-1897), M. Abduh (1849-1905), Rashid Rida (1865-1935) dari Mesir, Sayyid Ahmad Khan (1817-1898), M. Iqbal (1876-1938) dari India.147 Kaum radikal-puritan adalah kelompok yang juga menafsirkan Islam berdasarkan sumber-sumber asli yang otoritatif, sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan kontemporer, tapi mereka sangat keberatan dengan tendensi modernis untuk membaratkan Islam.148 Kelompok ini melakukan pendekatan konsevatif dalam melakukan reformasi keagamaan, bercorak literalis, dan menekankan pada pemurnian doktrin (purifikasi).149 Kelompok ini juga bisa disebut sebagai kelompok fundamentalis,150 meskipun ada yang menolak penyebutan tersebut, dengan alasan bahwa kelompok fundamentalis lebih keras dalam menolak pembaratan dan lebih bersikap konfrontasional dibandingkan kelompok di atas, lebih-lebih kelompok fundamentalis lebih cenderung untuk menjadikan Agama sebagai doktrin dalam kehidupan bermasyarakat.151 Bagi kelompok radikal-puritan ini, syariah memang fleksibel dan bisa berkembang untuk memenuhi kebutuhan yang terus berubah, tetapi penafsiran dan perkembangan harus dilakukan melalui cara Islam yang murni. Maka mereka mengkritik gagasan-gagasan dan praktik-praktik kaum tradisional,152 dan menganggapnya sebagai suatu hal yang bidah. Ibn Taymiyyah, tokoh yang meninggal pada tahun 1328, adalah tokoh intelektual pemikiran fundamentalis.153 Sebuah gerakan pemikiran bercorak fundamentalis pernah muncul pada abad ke18, di Najd (sekarang Saudi Arabia), bernama Wahhabiyyah, di bawah pimpinan Muhammad bin Abd al Wahhab (1703-1787), seorang teolog, yang mengikuti gaya Ahmad bin Hanbal, dan Ibn Taymiyyah, 154dalam memahami al Quran secara literal.155
147 148

Andrew Rippin, Muslim, 32. Dalam penolakan mereka untuk membaratkan Islam inilah letak persamaan kelompok ini dengan kaum tradisionalis dan letak perbedaannya dengan kelompok modernis. Baca Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in the Modern World (London&New York: Kegan Paul International, 1987), 18-20. Kelompok modernis mengambil beberapa pemikiran Eropa, sementara kelompok konservatif menolaknya. Kelompk modernis melebur ke dalam beberapa elemen peradaban Eropa. Akbar S. Ahmed, Post Modernism and Islam (London: Routledge, 1992), 29. Mengenai kesamaan dan perbedaan antara modernis dan fundamentalis, baca Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam. 149 Patrick Bannerman, Islam and Perspective: A Guide to islamic Society, Politics and Law (London: Routledge, 1988), 156. 150 Baca Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in the Modern World (London&New York: Kegan Paul International, 1987), 18-20. 151 William Shepard, Fundamentalism; Christian and Islamic, Religion, XVII (1987), 355-378. 152 Ahmad Jaenuri, Ideologi Kaum Reformis (Surabaya: LPAM, 2002), 48-49. 153 Dia menyatakan perlunya reformasi beberapa praktik ritual yang populer dalam Islam di masa itu, terutama beberapa praktik yang dimunculkan oleh kalangan sufi, seperti mengunjungi makam-makam wali dan lain sebagainya. Ia mengajak untuk kembali kepada ajaran al Quran dan Sunnah. Segala seuatu yang tidak ada dalam al Quran dan al Sunnah tidak boleh dilakukan. Andrew Rippin, Muslim (New York: Routledge, 1993), 30. 154 Tokoh yang menentang bentuk formal hukum Islam, dan ia banyak menghabiskan waktunya di penjara. Andrew Rippin, Muslim (New York: Routledge, 1993), 272. 155 Andrew Rippin, Muslim, 271.

Gerakan Wahhabiyyah ini adalah gerakan yang muncul pada saat terjadinya degradasi moral masyarakat Islam, mengajak untuk kembali kepada ajaran Islam murni, memberantas segala bentuk peraktek yang dianggap menyimpang dari ajaran murni Islam,156 mengajak untuk mereformasi pandangan-pandangan keagamaan tradisional yang menganggap bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Mereka menyatakan antiintelektualisme, teturama filsafat.157 Tokoh lain daripada gerakan fundamentalis adalah Abu Ala al-Maudd di Pakistan (1903-1979), dan Seyyed Qutb (1906-1966) di Mesir,158 dan K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923) di Indonesia.159 Menurut penelitian, munculnya beberapa kelompok radikal adalah karena kehidupannya yang jauh dari kehidupan modern. Sebagai contoh, penganut Khawarij, adalah mereka yang hidup di gurun, nomaden.160 Wahhabiyyah, muncul pada masa sebelum masuknya modernisasi di dunia Arab, bahkan ia disebut sebagai kelompok yang muncul di suatu wilayah yang tidak pernah disentuh oleh dunia luar, Najd.161 Muhammad bin Abd al-Wahhab, tokohnya muncul pada abad sebelum modern (premodern), sebelum adanya pengaruh industrialisasi dari Barat. Dari itu, secara kultural Wahhabiyyah muncul sebagai gerakan yang merepresentasikan bentuk primitif. Ikhwanul Muslimin, kelompok fundamentalis di Mesir, adalah kaum rural dan menjadi kaum urban hanya dalam beberapa waktu, dan tidak mampu menghadapi realitas yang disekitarnya.162 Muhammadiyyah, didirikan oleh tokoh yang hidupnya tidak pernah mendapat pendidikan Barat dan tidak pernah melihat kebudayaan Barat dalam arti yang sebenarnya, K.H. Ahmad Dahlan.163 Kelompok sekuler-liberal adalah mereka yang memandang bahwa jalan untuk mereformasi masyarakat adalah dengan menyerahkan atau membatasi segala urusan Agama dan ritual kepada personal dan menegaskan kekuatan logika dalam kehidupan publik. Kelompok ini dipengaruhi oleh ideologi Barat terutama paham nasionalisme.164

Dari itu gerakannya sering disebut sebagai gerakan purifikasi. Andrew Rippin, Muslim (New York: Routledge, 1993), 30. 157 Fazlur Rahman, Islam: Challenges and Opportunies; Past Influence and present Challenge (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1979), 317-318. 158 Ibid. 159 Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), 1318. 160 Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburg: Edinburg University Press, 1985), 5. 161 Hammis Syafaq, Wahhabiyyah, Paham Ortodoksi Islam abad Klasik, makalah kelas mata kuliah SPMDI S-2 IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2001. 162 Bassam Tibi, Islam and the Cultural Accomodation of Social Change, 13. 163 Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah, 18. 164 William Shepard, Fundamentalism; Christian and Islamic, Religion, XVII (1987), 355-378.
156

Dalam sebuah penelitian ditemukan, bahwa untuk menjadi seorang muslim Indonesia tanpa disertai centelan organisasi tertentu kurang begitu dinikmati.165 Dalam kesadaran intern umat Islam, label Islam agaknya masih dilihat terlalu umum, sehingga belum memberi makna sosiologis dalam kehidupan bermasyarakat secara luas, dan kenyataan sosiologis itulah yang terjadi di Indonesia, sehingga wajar sekali, jika pengelompokan dalam masyarakat Islam di Indonesia terus berkembang, dan semakin bertambah jumlahnya hingga puluhan, bahkan mungkin ratusan.166 Yang menjadi perdebatan di antara mereka bukanlah tentang pokok-pokok ajaran Agama itu sendiri, akan tetapi bagaimana memanifestasikan ajaran Islam itu di dalam sistem kehidupan sosial.167 Sebagaimana yang terjadi pada kemunculan beberapa pemikiran teologi dan filsafat di dunia Islam pada abad klasik,168 bahwa kemunculan gagasan tentang pemikiran ideologis itu tidak terlepas dari pengaruh kondisi sosial dan politik, begitu juga dengan yang berkembang di Indonesia, tidak terlepas dari beberapa kepentingan dan kondisi sosial dan budaya bangsa Indonesia yang plural. Di samping alasan di atas, ada alasan lain yang menjadi kemelut di antara orientasi ideologis dari beberapa pemikiran di atas, yaitu pemahaman yang berbeda di antara mereka dalam memahami Islam, apakah sebagai model dari sebuah realitas (model of reality) ataukah model untuk sebuah realitas (models for reality). Yang pertama mengisyaratkan bahwa agama adalah representasi dari sebuah realitas, sementara yang kedua mengisyaratkan bahwa agama merupakan konsep bagi realitas, seperti aktivitas manusia. Dalam pemahaman yang kedua ini agama mencakup teori-teori, dogma atau doktrin bagi sebuah realitas.169 Dalam kajian modern tentang sejarah umat Islam ditemukan bahwa, meskipun bedasarkan pada agama yang sama, para pemeluk agama ini memiliki pemahaman yang berbeda, dan seringkali perbedaan itu memicu persaingan dan konflik, di dalam menghadapi tantangan modernitas.170 Seiring dengan perkembangan Islam dan munculnya ijtihad-ijtihad baru, paham-paham tersebut bukan sekedar pengakuan legalitas politik, melainkan juga berekses pada paham keagamaan. Meskipun, dalam wujudnya, pemahaman ideologi keagamaan sangat beragam, di Indonesia, terutama di dalam masyarakat Jawa, hanya dikenal adanya Islam NU dan
165

Hammis Syafaq, Masyarakat Muslim Indonesia dan Pembentukan Ideologi Perekat Umat dalam Akademika Vol. 14, No. 2 (Surabaya: Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, Maret, 2004), 65-76. 166 Ibid. 167 Andrew Rippin, Muslim, 35. 168 Montgomery Watt, Islamic Theolory and Philosophy.. 169 Bassam Tibi, Islam and the Cultural Accomodation of Social Change, 8. 170 Ronald Alan Lukens Bull, A Peaceful Jihad: Javanese Islamic Education and Religious identity Construction (A Dessertation for the Degree Doctor of Philosophy in Arizona State University, 1997), 38.

Islam Muhammadiyyah. NU sering dilihat sebagai kelompok tradisionalis, sementara Muhammadiyyah, sebagai kelompok modernis.171 Namun dikotomi ini kemudian dianggap tidak layak lagi, karena dalam perkembangan selanjutnya, NU bersifat lebih terbuka terhadap modernitas.172 Bahkan dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Arbiyah Lubis, ditemukan bahwa Muhammadiyyah termasuk dalam kelompok tradisionalis modernis. Di mana Muhammadiyyah tampil sebagai modernis hanya dalam dunia pendidikan. Akan tetapi dalam memahami teks al Quran dan Hadith sebagai sumber ijtihad, Muhammadiyyah berada dalam kelompok tradisonalis.173 Paham tradisionalisme yang dianut oleh organisasi Muhammadiyyah, menurut Arbiyah Lubis, tercermin dalam teologi yang dianutnya, yaitu paham jabariyyah yang mengakui kehendak mutlak Tuhan, ketidakbebasan manusia dalam memilih perbuatannya dana memberikan daya yang kecil kepada akal untuk memamahmi masalah-masalah akidah.174 Meskipun demikian, kelompok tradisionalis, di Indonesia, biasanya bergabung dengan organisasi bernama NU, sementara kelompok modernis, reformis, radikalis, puritan dan fundamentalis, lebih memilih Muhammadiyyah sebagai organisasi keagamaannya. Dari itu, untuk lebih memudahkan pembagian kelompok umat Islam di Indesia, seringkali hanya digunakan dua organisasi ternama di atas. Beberapa hal yang menjadi perbedaan antara NU dan Muhammadiyyah adalah bahwa NU tidak menolak beberapa praktik ritual yang tidak tertulis dalam Hadith sahih, atau tidak sesuai dengan pemikiran modern, karena, menurut mereka, tidak berarti sesuatu yang tidak tercantum dalam Hadith sahih itu bertentangan dengan Islam selama masih belum menyangkut masalah akidah. Prinsip kaum tradisionalis adalah adam al wujd l yadullu al adam al wujdn.175 Sebaliknya, Muhammadiyyah menganggap sesuatu yang tidak tercantum di dalam hadith saheh dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang dari ajaran Islam dan tidak boleh diamalkan, karena akan berdosa dan berimplikasi buruk terhadap akidah.176 Dalam bentuk praktik ritual di waktu sholat jumat, NU menggunakan dua adzan, sementara Muhammadiyyah menggunakan dua adzan. Bentuk mimbar yang digunakan juga berbeda, NU menggunakan mimbar bertongkar, sementara Muhammadiyyah menggunakan bentuk mimbar modern.
171 172

Ibid. Azyumardi Azra, Suplemen Republlika, Kamis, 14 Maret 2002, hal. 7. 173 Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah, 185. 174 Ibid. 175 Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in the Modern World (London&New York: Kegan Paul International, 1987), 14-15. 176 Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah, 19.

Perbedaan lain yang sangat mencolok adalah dalam penetapan awal puasa dan hari raya, pelaksanaan sholat tarawih dan sholat Id. Kelompok NU dalam menetapkan awal bulan puasa dan hari raya (Id) berpegang pada konsep ruyah, sementara Muhammadiyyah berpegang pada hisb. Dalam pelaksanaan sholat tarawih, kelompok NU berpegang pada jumlah 20 rakaat, sementara Muhammadiyyah berpegang pada jumlah 8 rakaat. Dalam pelaksanaan shholat Id, kelompok NU melakukannya di masjid, sementara orang Muhammadiyyah di lapangan terbuka. Dalam bidang pendidikan, NU menggunakan gaya sorogan, menggunakan kitab kuning sebagai bahan kajian, yaitu kitab-kitab karya al-Ghazali dan beberapa pemikir lainnya, yang muncul pada abad Islam klasik.177 Sementara dalam pendidikan yang dikelolah Muhammadiyyah, menggunakan sistem klasikal, menggunakan kitab putih sebagai ganti dari kitab kuning.178 Dan masih banyak lagi beberapa bentuk perbedaan yang lain, yang bisa dijadikan sebagai dasar dalam memilah masyarakat Islam di Indonesia, menjadi NU dan Muhammadiyyah. Aliran Pemikiran; Primitif dan Modern Marlyn R. Waldman Marilyn R. Waldman mengatakan bahwa pemahaman manusia tentang tradisi agama, baik milik sendiri maupun milik orang lain, itu terbatas. Bisa jadi pemahaman orang luar (outsider) lebih baik dari orang dalam (insider). Sejarah agama-agama dapat diajarkan melalui dua cara; teologis-normatif dan humanis-antropologis. Teologis oleh insider, bersifat theistic-subjectivism. Sementara humanis oleh outsider, bersifat scientific-objectivism. Kedua bentuk pendekatan ini disebut sebagai mode of thought. Antara kedua pendekatan di atas terjadi ketegangan atau gap yang sangat kuat. Antara budaya primitf dan modern. Maka untuk menyikapi gap yang terjadi antara dua tradisi di atas, Peter Connoly menyatakan perlunya orang dalam (insider) untuk belajar bagaimana melangkah secara imajinatif di luar perspektif religius yang dimiliki agar memperoleh banyak ide sama seperti yang mungkin diperoleh orang lain (outsider). Sebaliknya, orang luar (outsider) juga perlu memiliki pandangan dunia nonreligius, memiliki kewajiban mengimajinasikan bagaimana bentuk suatu dunia ketika di dalamnya terdapat wilayah suci. Harus terjadi timbal balik antara kedua pendekatan di atas (teologis dan humanis).
177 178

Ronald Alan Lukens Bull, A Peaceful Jihad: Javanese Islamic Education, 126. Arbiyah Lubis, Pemikiarn Muhammadiyyah, 107108.

Marlyn R. Waldman dalam kajiannya, terpengaruh oleh Jack Goody dalam karyanya, the Domestication of the Savage Mind. Temuan Goody merupakan reaksi atas berbagai hal yang disebut pemikiran chotomous tentang sejarah kebudayaan yang mengijinkan studi agama; penjelasan dikotomi tentang sejarah pemikiran merupakan jawaban atas problem seperti primitif/modern, tradisi besar/tradisi kecil, budaya agung/budaya rendah, atau trikotomi tentang primitive/tradisional/modern. Budaya primitif merupakan illeterate society, sementara budaya modern merupakan literate society. Tetapi teori ini mendapatkan kritik, karena ditemukan bahwa dalam budaya modern masih terdapat budaya primitif, artinya budaya modern tidak berarti kemajuan dari budaya primitif. Sebagai contoh, agresi Amerika ke Irak, menunjukkan budaya primitif dalam masyarakat modern, yaitu mental agresi. Islam di Nusantara Azyumardi Azra Studi yang dilakukan oleh Azyumardi Azra berusaha memetakan interaksi intlektual ulama yang terjadi di dunia Muslim, khususnya apa yang disebut dengan jaringan ulama kepulauan Nusantara dengan Kharamayn. Pertama, Azyumardi Azra menguraikan beberapa teori tentang kedatangan Islam di Nusantara. Ada tiga teori yang diuraikan oleh Azra. Pertama, teori anak benua India. Teoti ini beranggapan bahwa Islam berasal dari kawasan anak benua India dan dilakukan oleh pedagang Muslim yang berasal dari Gujarat, Malabar. Ilmuan pertama yang mencetuskan teori ini adalah Pijnappel, dari Belanda. Alasannya, penyebar Islam di Nusantara berasal dari beberapa orang Arab yang bermadzhab SyafiI dan menetap di India, terutama kawasan Gujarat dan Malabar. Teori ini kemudian dikembangkan oleh ilmuan Belanda lainnya, seperti Snouck Horgronje dan J.P. Moguette.179 Teori ke dua juga menyatakan bahwa Islam Nusantara berasal dari India, yaitu Bengal (kini Bangladesh). Teori ini dicetuskan oleh Fatimi, dengan bukti arkeologis juga, yaitu batu nisan yang dijadikan bukti arkeologis sama dengan batu nisan di Bengal. Akan tetapi teori ini kemudian diruntuhkan oleh sejarawan lain, karena wilayah Bengal tidak bermadzhab Syafii. Melainkan Hanafi.180

179

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII (Jakarta: Mizan, 1998), 24. 180 Ibid., 25.

Teori ketiga adalah teori Arab. Teori ini menyatakan bahwa Islam Nusantara adalah Islam dari Mesir dan Hadramaut. Hal ini terbukti dengan kesamaan madzhab yang dianut oleh dua negara tersebut dengan Islam di Nusantara. Di samping itu, namanama dan gelar-gelar para pembawa Islam ke Nusantara menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang Arab atau setidaknya Arabo-Persia. Sementara itu, Azyumadi Azra ingin menyampaikan bahwa telah terjadi jaringan ulama Haramayn dengan Nusantara pada abad ke XVII. Hal ini karena beberapa faktor; kebangkitan ekonomi, kemapanan sosio-politik internal, dan eskalasi kolonialisasi Barat terhadap berabagai wilayah muslim. Terjadinya peningkatan jumlah jamaah haji dan komplek pendidikan di Makkah. Keterlibatan jamaah haji Nusantara, dapat dibedakan dalam tiga kelompok besar. Pertama, kelompok little imigrant. Kelompok jenis ini pertama kali datang dan bermukim di Haramayn dengan diam-diam, terserap dalam kehidupan sosial keagamaan. Mereka hidup sebagaimana layaknya penduduk kebanyakan. Ada dua imigran kecil yang tercatat dalam kamus bibliografi, yaitu Said bin Yusuf al-Hindi, dan Rayhan al-Hindi. Kelompok kedua adalah grand imigrant. Kelompok ini dikenal dengan ulama par exxelence. Kebanyakan imigran dalam kelompok ini mempunyai pemahaman yang baik dalam kehidupan Islam. Sebagian mereka alim dan terkenal, sehingga ketika sampai di Haramayn mereka qualified untuk ikut ambil bagian dalam diskursus intelektual kosmopolitan. Dalam banyak kasus, mereka memainkan peran aktif, tidak hanya dalam pengajaran, tetapi juga dalam menyodorkan gagasan baru. Tipe ketiga adalah ulama dan murid pengembara. Kelompok ini datang ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji, tetapi kemudian menetap untuk menuntut ilmu ke beberapa guru dari berbagai disiplin ilmu. Terjadinya jaringan ulama semacam ini bermula dari tradisi hadits. Menurut Azyumardi Azra, terdapat tiga ulama yang terlibat dalam jaringan ulama dan berpengaruh dalam gerakan pembaharuan Islam di Indonesia. Ketiga ulama tersebut adalah Nur al-din al-raniry, abdul Rauf al-Sinkili, dan Muhammad Yusuf al-Makassari. Ketiga tokoh ini adalah tipe kelompok grand imigrant. Terorisme Banyak di antara umat Islam yang memiliki pandangan bahwa untuk melakukan suatu perubahan dalam masyarakat adalah dengan menggunakan kekerasan (al unuf).

Alasan yang dijadikan untuk melegitimasi pandangan tersebut adalah konsep jihad. Pemikiran semacam ini muncul di mana-mana sehingga banyak ditemukan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh umat Islam dengan mengatas namakan agama. Pemikiran semacam ini, menurut Jawdat Said dalam kitabnya Mafhum al Taghyir diibaratkan dengan orang melihat matahari yang kemudian menyimpulkan bahwa matahari mengelilingi dirinya (bumi), tetapi ia tidak tahu bahwa yang terjadi sebenarnya adalah sebaliknya, yaitu bumi yang mengelilingi matahari. Demikian juga dengan mereka yang melakukan kekerasan dengan mengatas namakan agama, ia memiliki pandangan bahwa kekerasan akan menyelesaikan masalah, tetapi ia tidak tahu bahwa yang terjadi adalah sebaliknya, bahwa kekerasan yang dia lakukan akan memunculkan kekerasan berikutnya.181 Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang untuk berbuat kekerasan, di antaranya adalah keinginan untuk mempersatukan umat Islam dalam satu bentuk pemikiran, sehingga ia terjebak dalam suatu sikap yang cenderung menyalahkan orang lain yang tidak sepemahaman. Mereka yang terjebak dalam kelompok ini memiliki pandangan bahwa dirinya adalah yang paling benar, sehingga mudah menyalahkan orang lain. Dapat dimaklumi bahwa secara psikologis, manusia sangat mudah untuk menyalahkan orang lain dan menyebut kelompok lain sebagai kelompok yang sesat, sementara ia lupa dengan kesalahan dirinya. Ia lupa bahwa dalam Islam dikenal adanya taubat, yaitu dengan cara mengingat kesalahan diri sendiri, sehingga seseorang yang tidak pernah melihat kesalahan dirinya sendiri, ia tidak akan pernah mencoba untuk bertaubat. Sikap ini dapat dimaklumi karena melihat kesalahan diri sendiri lebih sulit daripada melihat kesalahan orang lain. Sesungguhnya, sikap merasa tidak bersalah dan menuduh orang lain salah adalah sikap yang tidak sesuai dengan ajaran al-Quran, tetapi sikap yang pernah diambil oleh Iblis ketika dikeluarkan dari surga karena tidak mematuhi perintah Allah, di mana ia mengatakan fa bima aghwaytani, di sini seakan-akan Iblis melimpahkan kesalahan dirinya kepada Allah, bahwa Allah lah yang menyebabkan ia melakukan kesalahan. Sementara sikap Adam ketika dikeluarkan dari surga ia tidak mengambil sikap sebagaimana Iblis, tetapi ia mengatakan rabbana zalamna anfusana, di sini Adam mengakui segala kesalahannya, tidak seperti Iblis yang melimpahkan kesalahan kepada Allah swt.

181

Jawdat Said, Mafhum al Taghyir (Beirut: Dar al-Fikr al-Muasir, 1995), 26-27.

Maka sikap yang paling baik dalam melihat sesuatu adalah dengan melihat kesalahan diri sendiri meskipun itu berat untuk dilakukan, karena dengan melihat kesalahan orang lain akan membuat masalah menjadi semakin rumit dan suliat diselesaikan. Suatu masalah tidak akan terselesaikan kecuali dengan cara mencintai orang yang berselisih dengan diri kita. Akan tetapi bagaimana itu bisa kita lakukan? Bagimana kita bisa mencintai sebuah kesalahan dan orang yang melakukan kesalahan? Caranya adalah dengan menanamkan rasa cinta kepada orang lain sebagaimana kita mencintai diri kita, sebagaimana menanamkan rasa kesedihan ketika orang lain sedang bersedih, seakan-akan kita juga mengalami kesedihan yang sama, atau ketika melihat orang lain sakit, kita seakan-akan merasakan sakit yang sama. Menghindari tindakan kekerasan secara fisik bisa diawali dengan menjaga lisan kita untuk tidak mudah menyalahkan orang lain, menghina orang lain, mengejek orang lain, dan itu harus diawali dengan membersihkan hati kita dari segala penyakit iri, dengki, benci, dengan menanamkan rasa cinta kepada orang lain. Muhammad Iqbal pernah mengatakan, hiduplah bersama manusia dengan bermodalkan cinta, niscaya engkau akan melihat cahaya di setiap tempat. Ada baiknya jika melihat prinsip para tokoh sufi yang mendahulukan asas kemanusiaan dalam menyelesaikan masalah. Hal itu sesuai dengan ayat al-Quran yang berbunyi idfa bi allati hiya ahsan fa idza alladzi baynaka wa baynahu adawatun ka annahu waliyyun hamim. Imam al-Ghazali sendiri mengedepankan asas kemanusiaan, persaudaraan dalam menyelesaikan masalah. Kembali kepada masalah upaya mempersatukan umat Islam dalam satu kelompok pemikiran, bagaimana hal itu bisa direalisasikan? Ada kelompok yang berpendapat bahwa dengan upaya untuk mempersatukan umat Islam adalah dengan cara menuduh kelompok lain sesat, memusuhinya dan memeranginya, baik dengan cara lisan maupun dengan gerakan fisik. Upaya semacam ini sesungguhnya tidak akan menyelesaikan masalah, tidak akan dapat mempersatukan umat Islam bahkan justru akan semakin membuat masalah menjadi rumit dan umat Islam semakin pecah. Jadi pemikiran untuok mengintropeksi diri sendiri dan mengakui kelemahan dan kesalahan adalah langkah awal yang harus dilakukan dalam upaya untuk mendamaikan umat Islam, karena cara inilah yang telah ditempuh oleh para Nabi sebagaimana yang tertulis dalam al-Quran, wa la tajal fi qulubina ghillan li alladzina amanu. Kelompok fundamentalis, radikal dan sekuler, sama-sama tidak mengikuti cara ini, karena mereka sama-sama mengedepankan sikap kebencian terhadap kelompok lain dalam menyelesaikan perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan umat Islam. Mereka

membenci orang sakit, tetapi tidak mencari faktor penyebab munculnya penyakit untuk kemudian dicarikan obatnya. Oleh karena itu, setiap dari kita sudah mabuk dan tidak punya sikap cinta kasih. Oleh karena itu, setiap orang memiliki kebebasan untuk mengutarakan pendapatnya tanpa harus menunggu izin dari orang lian, karena orang lain tidak berhak untuk melarangnya. Sesungguhnya upaya untuk memaksanakan pendapat pribadi kepada orang lain adalah cara penjajah, dan cara inilah yang menjadi faktor terjadinya pertikaian yang ada di muka bumi ini. Demikian juga dengan beragama, seseorang tidak berhak dipaksa oleh orang lain untuk memeluk suatu agama, karena dalam ayat al-Quran disebutkan la ikraha fi al din, tidak ada paksaan di dalam beragama, sehingga seorang memiliki hak untuk tidak beragama jika itu sudah menjadi keyakinannya. Dan ini dapat dimaklumi karena Allah sendiri tidak suka dengan orang munafik, seakan-akan dia beragama sementara dia sendiri tidak beragama. Oleh karena itu Islam tidak melegitimasi bentuk kekerasan yang dijadikan sebagai upaya melakukan perubahan. Kesimpulan Pendekatan agama jenis apapun mempunyai kelemahan dan kekurangan masingmasing, mengingat fenomena agama bersifat kompleks dan intricate. Hal ini membuktikan bahwa kebenaran yang dimiliki oleh manusia sangat terbatas, karena manusia sendiri adalah terbatas, maka kebenaran yang satu dapat melengkapi kebenaran yang ain, karena kebenaran itu tidak terbatas, seperti halnya Allah juga tidak terbatas.

Anda mungkin juga menyukai