Anda di halaman 1dari 5

TEORI KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM

PERIODE KLASIK

PINCUL

Masa periode klasik dalam sejarah Islam merupakan masa keemasan di mana ilmu
pengetahuan, sastra, dan pemikiran mencapai puncaknya. Dimulai dari masa Nabi Muhammad
SAW, ekspansi Islam meluas hingga seluruh Semenanjung Arabia tunduk di bawah kekuasaan
Islam. Proses ini berlanjut dengan ekspansi ke daerah-daerah luar Arab yang dimulai pada masa
Khalifah pertama, Abu Bakar As-Siddiq, dan mencapai puncak kejayaan pada masa kekuasaan
Bani Umayyah dan Dinasti Abbasiyah. Di bawah Dinasti Abbasiyah, ilmu pengetahuan
berkembang pesat, sastra mengalami kemajuan signifikan, serta terjadi kumpulan hadis-hadis
shahih seperti Shahih Bukhari dan Muslim. Selain itu, periode ini juga menyaksikan
munculnya empat imam mazhab fiqh dan perkembangan teologi yang mempengaruhi
pemikiran umat Islam secara luas. Para intelektual terkemuka seperti Ibn Abi Rabi, Al-Farabi,
Al-Mawardi, dan Al-Ghazali adalah contoh dari tokoh-tokoh yang muncul dalam periode
klasik ini, memberikan kontribusi besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan
pemikiran Islam.

Periode pertengahan dalam sejarah Islam terbagi menjadi dua masa yang berbeda,
yaitu masa kemunduran pertama dan masa tiga kerajaan besar (Usmani di Turki, Safawi di
Persia, dan Mughal di India). Periode ini ditandai dengan kehancuran dinasti Abbasiyah oleh
tentara Mongol pada tahun 1258 M, yang mengakibatkan perpecahan politik dalam dunia Islam
dengan munculnya banyak dinasti kecil di bawah kekhalifahan Islam. Meskipun menghadapi
tantangan politik yang kompleks, periode pertengahan juga menyaksikan munculnya beberapa
intelektual yang memberikan kontribusi penting dalam perkembangan pemikiran Islam. Di
antara mereka adalah Ibn Taimiyah (1263-1328 M), seorang ulama yang memainkan peran
kunci dalam bidang fiqh dan teologi, serta Ibn Khaldun (1332-1406 M), seorang sejarawan dan
filosof yang terkenal dengan karyanya "Muqaddimah" yang mempengaruhi pemikiran sosial
dan sejarah dunia. Para intelektual ini tidak hanya memberikan sumbangan signifikan dalam
bidang agama dan ilmu pengetahuan, tetapi juga membantu menjaga warisan intelektual Islam
selama periode yang penuh tantangan ini. Kontribusi mereka juga terus memengaruhi
pemikiran dan pandangan dunia umat Islam hingga saat ini.
DINDA

Periode modern dalam sejarah Islam ditandai dengan adanya kolonialisme yang
melanda negeri-negeri Muslim, dimana hampir seluruh dunia Islam berada di bawah
penjajahan Barat. Hal ini menyebabkan tiga faktor yang melatarbelakangi pemikiran Islam
modern atau kontemporer. Pertama, kemunduran dan kerapuhan dunia Islam yang disebabkan
oleh faktor-faktor internal, seperti konflik internal dan kurangnya persatuan, serta munculnya
gerakan-gerakan pembaharuan dan pemurnian sebagai respons terhadap kondisi tersebut.
Kedua, rongrongan Barat terhadap keutuhan kekuasaan politik dan wilayah dunia Islam, yang
berujung pada dominasi atau penjajahan oleh negara-negara Barat atas sebagian besar wilayah
dunia Islam, serta berkembangnya semangat permusuhan dan sikap anti-Barat di kalangan
umat Islam. Ketiga, keunggulan Barat dalam bidang ilmu, teknologi, dan organisasi turut
memengaruhi pemikiran Islam modern, menciptakan tantangan dalam menghadapi perubahan
zaman dan perkembangan global. Periode modern ini menjadi titik balik penting dalam sejarah
Islam, di mana umat Muslim dihadapkan pada tantangan baru akibat kolonialisme dan
kemajuan Barat. Respons terhadap situasi ini membentuk landasan bagi pemikiran dan gerakan
Islam modern yang terus berkembang hingga saat ini.

Dalam periode modern, terdapat tiga kecenderungan pemikiran politik Islam yang
signifikan, yaitu integralisme, interseksion, dan sekularisme. Integralisme mengacu pada
pandangan yang menekankan pentingnya mempertahankan identitas Islam secara kaffah (utuh)
dalam semua aspek kehidupan, termasuk politik. Sementara itu, interseksion merujuk pada
upaya untuk menyatukan nilai-nilai Islam dengan prinsip-prinsip modernitas dan demokrasi,
mencari titik temu antara tradisi Islam dan tuntutan zaman. Di sisi lain, sekularisme mewakili
pandangan yang menekankan pemisahan antara agama dan urusan negara, dengan fokus pada
penerapan hukum-hukum sekuler dalam pemerintahan. Ketiga kecenderungan ini
mencerminkan kompleksitas pemikiran politik Islam dalam menghadapi perubahan zaman dan
tantangan global.

MIRSA

TIPE KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM CORAK PEMIKIRAN POLITIK


KHAWARIJ
Khawarij, sebagai kelompok politik dalam Islam, memperlihatkan ekstremisme dalam
pandangan teologi dan politiknya. Mereka muncul sebagai kelompok politik setelah
berakhirnya perang Shiffin antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah yang berakhir dengan
arbitrase. Meskipun pada awalnya Khawarij adalah pengikut setia Ali, namun ketidakpuasan
mereka terhadap kebijakan politik Ali yang menerima arbitrase menyebabkan mereka
memisahkan diri dari kelompok Ali. Bahkan, kekecewaan ini mencapai puncaknya ketika
Khawarij bahkan membunuh Ali. Peristiwa ini menandai level ekstremisme yang dimiliki oleh
Khawarij dalam mengekspresikan pandangan politik dan teologinya.

Intisari pandangan-pandangan politik Khawarij

Menurut pandangan Khawarij, menunjuk dan menetapkan seorang imam untuk


menegakkan suatu negara dianggap sebagai kewajiban menurut syariat. Mereka meyakini
bahwa pemilihan umum harus diserahkan kepada umat, dan bahwa penunjukan imam tidak sah
kecuali melalui pemilihan umat. Bahkan, sebagian dari mereka telah mengambil tindakan
ekstrem dengan menyatakan bahwa mengangkat seorang imam non-Arab lebih utama dan lebih
baik. Pandangan ini mencerminkan keyakinan ekstrem Khawarij dalam memandang masalah
kepemimpinan dalam Islam, serta implikasi politik yang mendalam dalam penegakan otoritas
negara.

FARID

PRINSIP KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM (Prinsip Keimanan Terhadap


Keberhasilan Kepemimpinan)

Pandangan ini menegaskan keyakinan akan janji Allah kepada orang-orang yang
beriman dan beramal sholeh untuk mendapatkan kemenangan dalam bentuk kekuasaan.
Dengan kekuasaan tersebut, Islam diharapkan dapat mengubah kehidupan manusia pada
berbagai aspek, seperti moral, sosial, pendidikan, ekonomi, kebudayaan, dan peradaban yang
tinggi. Hal ini didasarkan pada nilai-nilai, hukum, norma, moral keimanan, sikap terbuka,
demokratis, penghormatan terhadap keberagaman, serta kerjasama dalam menjaga keutuhan
negara. Pandangan ini mencerminkan keyakinan akan peran penting Islam dalam membentuk
masyarakat yang adil dan harmonis sesuai dengan ajaran Al-Qur'an, sebagaimana yang tertuang
pada firman Allah Swt QS. An-Nur ayat 55.
PRINSIP KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM (Prinsip Ulil Amri Dalam
Kepemerintahan)

Konsep ulil amri dalam Al-Qur'an merupakan landasan bagi kepemimpinan dalam
Islam, yang menginstruksikan umat Islam untuk taat kepada pemimpin yang ditunjuk. Prinsip
ini didasarkan pada Q.S An-Nisa ayat 59, yang menegaskan tanggung jawab pemimpin untuk
memimpin dengan keadilan, kebijaksanaan, dan rasa tanggung jawab terhadap umatnya.
Konsep ini mencakup aspek penting dari kepemimpinan Islam, menekankan bahwa pemimpin
harus bertindak dengan adil, bijaksana, serta merasa bertanggung jawab penuh terhadap
kesejahteraan dan keadilan bagi umatnya. Dengan demikian, konsep ulil amri menjadi panduan
bagi para pemimpin dalam memimpin masyarakat sesuai dengan ajaran Islam.

ICHA

KEPEMIMPINAN NABI MUHAMMAD

Kedudukan Nabi Muhammad sebagai kepala agama dan kepala negara memperlihatkan
bahwa dalam dirinya terkumpul dua kekuasaan, yaitu kekuasaan spiritual dan kekuasaan
duniawi. Sebagai rasul, kedudukannya secara otomatis juga merupakan kepala negara. Dalam
upaya memperkokoh masyarakat dan negara yang baru dibangun, Nabi Muhammad segera
meletakkan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat yang kemudian membentuk karakter
kepemimpinannya. Salah satu aspek utama adalah pendirian Ukhuwah Islamiyah
(persaudaraan sesama muslim), di mana Nabi mempersaudarakan antara golongan muhajirin
dan anshor. Langkah ini bertujuan agar setiap muslim merasa terikat dalam suatu persaudaraan
yang kuat, menciptakan fondasi solid untuk membangun masyarakat Islam yang kokoh dan
saling mendukung.

Prinsip partisipatif dan egaliter (al-musawah) dalam doktrin Islam merupakan landasan
fundamental yang menegaskan bahwa Islam tidak membedakan siapapun. Karakter partisipatif
dan egaliter dalam kepemimpinan Nabi Muhammad terlihat dalam berbagai aspek, di luar
masalah-masalah yang termasuk tugas kerasulannya yang bersifat murni keagamaan seperti
ibadah dan penetapan hukum ilahi. Prinsip musyawarah yang diperintahkan Tuhan kepada
Nabi Muhammad menjadi contoh nyata dari watak partisipatif dan egaliter dalam
kepemimpinan beliau. Hal ini menunjukkan pentingnya pendekatan kolaboratif dan kesetaraan
dalam pengambilan keputusan, serta mengakui nilai kontribusi setiap individu dalam
masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai