Anda di halaman 1dari 4

Tugas

POLITIK ISLAM

ARTIKEL PERKEMBANGAN POLITIK ISLAM

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2022
PERKEMBANGAN POLITIK ISLAM

Politik islam ialah suatu strategi-strategi dalam melaksanakan dakwa islam yang tepad
dan mengenai sasaran yang di tuju. Berbasis pada islma itu sendiri sebagaiamana yang pernah
di perjuangakan oleh nabi yaitu negara madina dilaksanakan dengan maksimal jika tidak
mengunakan sarana politik. Umat Islam memiliki keteguhan bahwa Nabi Muhammad SAW
adalah pemimpin yang harus diteladani dan Madinah sebagai masyarakat politik yang
dibangunnya, harus dijadikan acuan. Rasul memiliki dua otoritas penting sebagai pemimpin
spiritual umat islam dan seorang pemimpin politik. Dua kekuatan itu menjadi alas an bahwa
nabi-nabi menjalankan politinya berasaskan dasar syariat. Seharusnya setelah wafatnya Nabi
Muhammad pola kepemimpinan yang diajalankan Nabi berakhir juga. Sebab proses
pergantian kepemimpinan Nabi kepada sahabat adalah pergantian kepemimpinan politik,
bukan pemimpin spiritual, karena tidak ada yang bisa menggantikan posisi spiritual Nabi
Muhammad SAW.

 Seiring berjalannya waktu sistem politik islam mengalami perkembangan dari masa
ke masa. Pada masa Khulafaurrasyidin (pasca wafat Rasullulah) kepala negara adalah
kepemimpinan yang masih dipandang dan dimaknai sebagai Khadimul Ummah, atau pelayan
umat yang lebih mengutamakan kepentingan umat tidak diangkat berdasarkan garis
keturunan. Pasca Khulafaurrasyidin makna Khalifah berubah menjadi Zilullah fil Ardh
baying-bayang Allah SWT dimuka bumi yang diangkat secara turun temurun. Konsep
teesebut muncul ketika Abu Ja’far Manshur salah seorang pendiri Dinasti Abbasiyah berhasil
menggulingkan kekhalifahan Bani Umayyah. Konsekuensi dari perubahan konsep tersebut
adalah kekuasaan dipandang suci dan mutlak yang harus ditaati oleh seluruh rakyat karena
kekuasaan marupakan mandat dari Tuhan.

Pemikiran politik Abu Ja’far juga ditandai oleh legitimasi suku Quraisy sebagai pihak
yang berhak untuk memegang kekuasaan. Hal tersebut didasarkan pada hadist Nabi yang
menyatakan bahwa pemimpin politik umat islam harus berasal dari kalangan suku Quraisy,
akan tetapi pada abad pertengahan konsep semacam ini diinterpretasikan ulang oleh para
pemikir islam seperti Al-Farabi, Al-Mawardi, Al-Ghazali, Ibnu Tamiyyah, dan Ibnu Khaldun.
Al-Farabi berpandangan bahwa kepala negara harus berasal dari golongan kelas atas.
Pemikiran tersebut tidak terlepas dari pengaruh filsafat Yunani Kuno terutama pemikiran
Plato.
Singkat cerita setelah kepemimpinan Nabi, Khulafatul Ar-Rasyidin, dan kekuasaan
kekhalifahan ala Abu Ja’far muncul kerajaan islam yang berkonsep Tribalistik (berdasarkan
ketokohan penting dalam suku) seperti dinasti Bani Umayyah di Damaskus (661-750 M),
Bani Abbasiyah di Baghdad (750-1258 M), Dinasti Bani Umayyah II di Spanyol (756-1031
M), Dinasti Safawi di Persia (1501-1736 M), Kekaisaran Mughal di India (1526-1858 M)
hingga kekhalifahan Turki Utsmani (1300-1924 M).

Karen Amstrong dalam bukunya The Battle of God, bahwa Ja’far al-Shodiq, salah
seorang Iman dua belas menganjurkan sekularisme. Imam Syiah keenam Ja’far Al-Shadiq
secara efektif memprivatisasi agama dan wilayah pribadi. Hal ini dilakuakan untuk
melindungi agama, sehingga agama dapat terus bertahan dalam dunia yang tampak
memusuhinya. Kaum syiah tahu bahwa mencampur adukan itu akan berbahaya.

Adapula kelompok yang menjembatani antara pemikiran “Barat” dan Khazanah Islam
tetapi juga tidak menerima begitu saja Khazanah pemikiran islam yang tidak sesuai dengan
kondisi dan situasi yang berkembang. Adapun tokohnya antara lain Sayyid Jamaludin Al-
Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, dan Mahmud Syaltut. Mereka dapat
menerima demokrasi dan sosialisme namun di dalamnya disertakan nilai-nilai religious.
Mereka juga tidak sepenuhnya dapat meneriman sistem pemerintahan Khilafah Universal
yang sudah tidak relavan dengan perkembangan zaman oleh karena itu kelompok ini
berusaha untuk menjerumuskan sistem pemerintahan islam dengan tetap berpijak pada akar
keislaman namun tidak menutup diri dari pemikiran berkembang yang lain, rumusan ajaran
islam memberikan seperangkat nilai-nilai untuk diterapkan sesuai dengan kondisi yang
dihadapi umatnya.

Mengutip kriteria Daniel E. Price, penerapan syariah islam di Aceh bisa dikatakan
sudah sampai pada level keempat (Jinayah), melampaui level pertama (hukum keluarga),
level kedua (hukum dan ekonomi), serta level ketiga (praktik ritual keagamaan) hanya level
kelima saja (islam sebagai dasar negara) yang belum atau tidak ditempuh di Aceh. Daniel E.
Pierce mengungkapakan bahwa banyak kelompok islam politik dinegara-negara muslim
mengklaim bahwa keberadaan negara adalah sarana untuk menerapkan syariat islam. Oleh
karena itu walaupun satu pemerintahan dipimpin oleh rezim otoriter akan dilindungi,
didukung, juga dipertahankan. Namun begitu, gejala islamisasi ruang publik di era modern
bukan persoalan sederhana, mengingat sifatnya yang plural dan multikultural dimana
berbagai sistem nilai, identitas, dan ideologi, bersaing.

Anda mungkin juga menyukai