Anda di halaman 1dari 3

REVIEW BUKU

RELASI ISLAM DAN NEGARA,PERJALANAN INDONESIA


Disusun Sebagai Tugas
Mata Kuliah Sistem politik Islam Dan Politik Indonesia
Dosen Pengampu: A. Suryana Drajat,MA

Disusun Oleh:
FADLI YUHENDRI
51120041
Kelas A2 semester 4
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL,ILMU POLITI,DANHUKUM
INUVERSITAS SERANG RAYA
BAGIAN SATU
NO: 13
Gagasan Negara Sekuler Ali Abdul Raziq

Ia tidak sependapat dengan kebanyakan ulama, bahwa mendirikan khilafah merupakan suatu
kewajiban bagi umat Islam dalam pengertian berdosa bagi yang tidak melaksanakannya.
Membuka pemikiran Ali Abdul Raziq berarti kita harus mengelupas simpulan-simpulan yang
terdapat dalam dua bukunya, Al-Islam wa Ushul alHukm dan Al-Ijma’ fi al-Syari’ah al-Islamiyyah .
Sistem khilafah yang dilihat Abdul Raziq sebagai suatu pola pemerintahan yang memiliki kekuasaan
tertinggi dan. Mutlak berada pada seorang kepala negara/pemerintahan dengan gelar khilafah yang
dinisbatkan kepada Islam. Karenanya, ia tidak sependapat dengan kebanyakan ulama, bahwa
mendirikan khilafah merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam dalam pengertian berdosa bagi yang
tidak melaksanakannya.
Ali Abdul Raziq tidak menemukan dasar yang kuat untuk mendukung kepercayaan bahwa wajib
hukumya bagi umat Islam untuk mempunyai khalifah, baik dalam Al-Qur’an, Hadis, maupun ijmak.
Yang baik yang penuh ampunan Tuhan . Ia mengajukan tiga alasan yang mendasari tidak adanya
konsep negara Islam di dalam Islam. Ia tetap memandang penting perihal pembentukan negara dan
kekuasaan politik, namun masalah yang fundamen sehingga dikatakan berdosa jika tidak
melakukannya.
Dalam beberapa hal pandangan Ali Abdul Raziq, pemikir Mesir yang lain, Muhammad Imarah,
yang menyatakan bahwa Islam sebagai agama tidak menentukan suatu sistem pemerintahan tertentu
bagi kaum muslim. Alasannya, karena kesesuaian Islam untuk setiap masa dan tempat, sehingga
urusan yang terus berubah secara evolusi diserahkan kepada akal-pikiran manusia sesuai kepentingan
umum. Muhammad Abduh pun berpandangan bahwa Islam tidak menetapkan bentuk pemerintahan
tertentu yang harus diterapkan. Bagi Abdul Raziq, dasar agama yang digunakan kekhalifahan masa
lalu hanyalah gagasan pembenaran agar mereka dapat menggunakan agama sebagai perisai yang
melindungi takhta mereka dari serangan pembe rontak. Meski demikian, pandangan dan pemikiran
yang dianggap sebagian orang sebagai progresif itu pun tak lepas kritik. Kritik ini menuding Abdul
Raziq tidak memahami makna prinsip ijmak yang telah ditetapkan para ulama. Bagi Raziq dan
penyokongnya, yang melihat perkara negara, pemerintahan Islam atau khilafah Islam dan berbagai
variannya itu secara sosio-historis, tidak menemukan ketentuan pembentukan negara/pemerintahan
sejak awal.
Dari pembaiatan Abu Bakar oleh sebagian umat Islam di Madinah sebagai khalifah, penunjukan
Umar menjadi khalifah oleh khalifah sebelumnya , pemilihan Usman sebagai khalifah oleh ahlul halli
wal-'aqdi yaitu dewan yang dibentuk Khalifah Umar, diangkatnya Ali sebagai khalifah oleh
masyarakat Madinah yang berbondong-bondong mendatanginya, hingga gaya monarki dinasti
Umayyah yang kemudian digulingkan dinasti Abbasiyah yang melanjutkan kekhilafahan umat
muslim dan seterusnya, menunjukkan jelas tidak adanya konsensus atau ijmak dimaksud. Sebab,
mustahil Nabi SAW tidak menyampaikan apa yang telah ditentukan dalam Al-Qur'an. Kedua, ijmak
yang dimaksud tidak bisa dikatakan bersumber dari Al-Qur'an dan Hadis atau Sunah Nabi SAW.
Karena itulah Ali Abdul Raziq berpendapat bahwa urusan memilih kewajiban nenegakkan khilafah
atau kekhalifahan Islam bukan hal yang mendasar dalam Islam, yang umat muslim sendiri tidak
pernah mencapai konsensus, melainkan hanya ijtihad masing-masing belaka.
Dengan kata lain, hal itu menunjukkan bahwa perkaranya menjadi tergantung atau diserahkan
kepada umat Islam yang menghadapi tuntutan zaman masing-masing di tiap waktu dan generasi.
Bahkan ketika melihat fakta banyaknya peyimpangan, siasat, kekerasan, ketidakadilan dan perang
demi kekuasaan pada beberapa kekhalifahan muslim masa lalu, Raziq menyatakan bahwa khilafah
bukanlah suatu bentuk kepemimpinan yang perlu untuk dilanjutkan kembali dan menolak pendapat
yang mengatakan pentingnya menegakkan khilafah untuk menjaga agama. Ia mengutip pandangan
Ibn Khaldun yang mengatakan bahwa bentuk pemerintahan khilafah dan pengaruhnya sebetulnya
sudah sirna bersamaan dengan hilangnya fanatisme Arabera Khulafaur Rasyidin. Bahkan ia
mengatakan bahwa negara yang diklaim sebagai negara khilafah seperti di era Muawiyah, Abbasiyah
dan setelahnya, justru banyak menyeleweng dari ajaran Islam dan mengabaikan kepentingan umat
Islam.
Bagi Ali Abdul Raziq, kaum muslimin kini sebaiknya menata diri dan beranjak meninggalkan
masa lalu politik yang kelam, dan sebagai gantinya Islam harus lebih banyak meningkatkan kualitas
intelektual umat dalam sains dan berbagai bidang untuk bersaing dengan Barat dan tantangan zaman,
tanpa terjerat dan terhanyut arus yang menjauhkannya dari prinsip dan substansi ajaran Islam sendiri.
Penolakan terhadap pemikiran Ali Abdul Raziq terutama karena pandangannya tentang negara
sebagai instrumen yang harus terpisah dari hukum agama . Hebatnya reaksi kaum muslimin terhadap
pemikiran Ali Abdul Raziq menunjukkan bahwa jumlah mereka yang menentang pandangan sekuler
tentang hubungan agama dan negara.

Anda mungkin juga menyukai