Anda di halaman 1dari 9

Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam

Oleh : Mukhamad Syarifal Maqom

Nim : C1B200073

(Mahasiswa Jurusan Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Al-Ghifari Bandung)

Email : syarifal089@gmail.com

Abstrak

Dalam perkembangan sejarah Islam, keragaman aliran politik ini melahirkan pula berbagai
praktik ketatanegaraan yang berbeda antara umat Islam di satu tempat dan masa dengan di
tempat dan masa yang lain. Perbedaan ini semakin mengental ketika Islam menghadapi
kolonialisme Barat pada abad ke-19 M. Barat, di samping menguasai daerah-daerah Islam,
juga melakukan ekspor terhadap pemikiran dan ideologi-ideologi politik mereka. Teori-teori
kenegaraan yang dikembangkan oleh aliran-aliran dan para pemikir politik islam. perbedaan-
perbedaan pelaksanaan pemerintah terdapat pada pembentukan lembaga negara Islam
bukanlah agama dalam pengertian Barat yang memisahkan antara kekuasaan duniawi dan
ukhrawi, politik dan agama. Al-Qur''an tidak pernah memisah-misahkan kedua aspek tersebut.
Berdasarkan ini, maka pendirian kelompok sekuler tidak dapat diterima dan bertentangan
dengan semangat ajaran Islam itu sendiri. Namun demikian, Al-Qur''an juga bukanlah kitab
yang serba lengkap membicarakan masalah-masalah teknis hubungan antarmanusia dalam
kehidupan dunia.

Keyword : Fiqh Siyasah

1. Pendahuluan

Dalam perkembangan sejarah Islam, keragaman aliran politik ini melahirkan pula berbagai
praktik ketatanegaraan yang berbeda antara umat Islam di satu tempat dan masa dengan di tempat
dan masa yang lain. Perbedaan ini semakin mengental ketika Islam menghadapi kolonialisme Barat
pada abad ke-19 M. Barat, di samping menguasai daerah-daerah Islam, juga melakuikan ekspor
terhadap pemikiran dan ideologi-ideologi politik mereka. tiga pandangan yang berbeda tentang
Islam dan ketatanegaraan ini. Sikap pertama lahir dari pemikiran bahwa AlQur'an tidak memiliki
sistem politik yang baku dan Nabi Muhammad SAW tidak dimaksudkan oleh Alah untuk
menciptakan kekuasaan politik. Sedangkan sikap kedua lahir dari pandangan bahwa Islam adalah
agama yang serba lengkap mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Al-Qur'an. ibarat super
market, telah menvediakan sistem politik yang mesti diikuti oleh umatnya. Pemikiran ketiga
menyatakan bahwa Islam tidak menxedialkan sistam politik yang baku untuk diterapkan oleh umat
Islam, akan tetapi Islam juga tdak membiarkan umatnya tanpa pedoman dalam bemegara dan
mengatur pemerintahan.

2. Isi Riview Buku

BAB 1

KAJIAN FIQH SIYASAH DAN PERKEMBANGANNYA

A. KATEGORI HUKUM DALAM ISLAM


Ada tiga kategori hukum yang berlaku dalam lingkungan masyarakat Muslim, yaitu hukum
syariat hukum figh, dan siyäsah syar’iyah. Ketiga istilah ini meskipun berbeda pengertian,
mempunyai hubungan yang erat antara satu sama lainnya

1. Syariat

Menurut bahasa. syariat berarti jalan menuju ke tempat pengairan. atau jalan setapak yang
harusi ditempuh atau jalan/ tempat mengalirnya air sungai. Kata "syari’at" diungkapkan dalam
beberapa ayat AlQur'an, seperti dalam surat al-Ma’idah 5: 48, asy- Syu^ra, 42:13 dan al-Jatsiyah,
45:18. Dalam asat-ayat tersebutikata syariat mengandung pengertian "jalan terang yang memuntun
manusia pada keselamatan."

2. Fiqh

Kata fiqh berasal dari fagaha-yafgzhu-fighan. Secara bahasa, pengertian fiqh adalah
"paham vang mendalam". Imam al-Tirmidzi.seperti dikutip Amir Syarifuddin, menyebut "fiqh
tentang sesuatuberarti mengetahui batinnya sampai kepada kedalamannya.

3. Siyäsah Syar’iyah

Siyâsah syar’iyah diartikan dengan ketentuan kebijaksanaan pengurusan masalah


kenegaraan yang berdasarkan syariat. Khallaf merumuskan siyâsah syar iyah dengan:

‫تير الشون الع م الدلة االمة ما الكفل الحمي الصال ودفع االرا اتع حو لريم ا الكلة وان يتق بأقعال األثمة المتهدينا‬

"Pengelotaan masalah-masatah bagi pemerintahan Istam yang menjamin terciptanya


kemastahatan dan terhindarnya kemudaratan dari masvarakat /stam, dengan tidak bertentangan
dengan ketentuan syariatislamdan prinsip-prinsipnya yang umum meskipun tidak sejalan dengan
pendapat para ulama mujtahid"

Khallaf menjelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan masalah umum umat Islam adalah
segala hal yang membutuhkan pengaturan dalam kehidupan mereka, baik di bidang perundang-
undangan, keuang an dan moneter, peradilan, eksekutif, masalah dalam negeri ataupun hubungan
internasional.

B. KEDUDUKAN FIQH SIYASAH DALAM SISTEMATIKA HUKUM ISLAM

Secara global hukum Islam dapat dibagi dalam dua bagian pokok, vaitu hukum yang
mengatur hubungan manusia kepada Tuhannya (ibadah) dan hukum yang mengatur hubungan
antara sesama manusia dan masalah-masalah keduniaan secara umum (muâmalah) Bagian pertama
mencakup antara lain peratuuran-peraturan tentang shalat. puasa. zakat, dan haji. Adapun bagian
kedua dapat dipecah-pecah lagi menjadil beberapa bagian. Yang terpenting di antaranya adalah
muamalah (secara khusus berkaitan dengan persoalan-persoalan ekonomi seperti jual beli,
perjanjian, dan utang piutang), jinâyah (pidana) dan hukum perkawinan (munakahat)

T.M . Hasbi ash-Shiddieqy (1904-1975) membagi hukum Islam sistematis menjadi enam
bagian utama. Pertama yang berkaitan dengan masalah ibadah kepada Allah seperti shalat, zakat
dan haji; kedual, yang berkaitan dengan keluarga, seperti nikah, talak dan rujuk; ketiga, yang
berkaitan dengan perbuatan manusia dalam nubungan sesama mereka dalam bidang kebendaaan
seperti jual beli dan sewa-menyewa; keempar yang berkaitan dengan perang-damai dan jihad
(Giyar): kelimal yang berkaitan dengan hukum acara di peradilan murafa ai): dan keenam, yang
berkaitan dengan akhlak (adab).

BAB 2

KETATANEGARAAN DALAM SEJARAH ISLAM


Selama 23 tahun karier kenabian Muhammad SAW. kedua hal ini berhasil dilaksanakannva
dengan baik. Pada masa 13 tahun pertama. Muhammad SAW menyampaikan dakwahnya kepada
masyarakat Mekkah dengan penekanan pada aspek akidah. Namun bukan berarti bahwa aspek
sosial diabaikan sama sekali pada periodet ini. Ayat-ayat Al-Qur'an vang diturunkan pada periode
ini justru banyak berbicara tentang kecaman terhadap ketidakadilan, praktik-praktik bisnis yang
curang, penindasan oleh kelompok elite ekonomi dan politik terhadap kelompok yang lemah dan
berbagai ketimpamsan sosial lainnya serta ancaman siksaan atas perilaku demikian.

Nabi Muhammad SAW menciptakan suatu kekuatan sosial-politik di dalam sebuah negara
Madinah Hal yang pertama dilakukan Nabillalah membuat Piagam Madinah pada tahun pertama
Hirah. Piagam yang berisi 47 pasal ini memuat peraturan dan hubungan antara berbagai komunitas
dalam masyarakat Madinah yang majemuk. Di negara baru ini juga Nabi Muhammad SAW
bertindak sebagai kepala negara dengan Piagam Madinah sebagai konstitusinya. Terwujudnya
Piagam Madinah merupakan bukti sifat kenegara wanan Nabi Muhammad SAW. Beliau tidak
hanya mementingkan umat Islam, tapi juga mengakomodasi kepentingan orang Yahudi dan
mempersatukan kedua umat serumpun ini di bawah kepemimpinannya. Bagi umat Islam Nabi
Muhammad SAW berhasil menciptakan persatuan dan kesatuan, serta persaudaraan antara kaum
Muhairin dan Anshar. Dikalangan kaum Anshar Nabi diakui telah merekat kembali hubungan
antarsuku yang sebelumnya selalu bermusuhan.

Perbedaan ini kembali terjadi ketika "Usman ibn Affan tewas dalam sebuah
pemberontakan masyarakat yang tidak puas dengan kepemimpinannya. Ali bin Abi Thalib yang
menggantikan posisinya tidak sepenuhnya diterima masyarakat. Mufawivah ibn Abi Sufyan
memimpin gerakan anti Ali di Damaskus (Syria). Ia menggunakan isu kematian Usman sebagai
upaya untuk mendongkel kepemimpinan Ali dan mengangkat dirinya sendiri sebagai khalifah
tandingan. Akhirnya terjadi dualisme kepemimpinan yang berentet pada peperangan antara
pasukan "Ali dan Mu'awivah di Siffin. Tidak semua pihak yang puas dengan penyelesaian akhir
perang melalui tahkim (arbitrase). Sebagian pengikut Ali akhirnya keluar dari barisan "Ali dan
memusuhi orang orang yang terlibat dalam tahkim tersebut. Mereka kemudian dikenal dengan
Khawarij. Puncak ketidakpuasan mereka adalah terbunuhnya Ali di tangan mereka

BAB 3

KETATANEGARAAN DALAM ISLAM

kelompok Sunni yang merupakan mayoritas umat Islam, ada pula Syi'ah yang menjadi
pengikut dan pembela setia Ali serta keluarganya. Di samping mereka ada juga Khawari dan
Muftazilah. Semua kelompok ini, uniknya, mengklaim kebenaran pendapat mereka masing-masing
dengan argumentasi Al-Qur'an dan Sunnah. Darilkeempat kelompok ini, golongan Sunni dapat
dikatakan mewakili aliran aristokrasi monarki yang menekankan keistimewaanı Qunaisy dan
memberi kekuasaan yang besar kepada penguasa. Kelompok Sunni memandang kepala negara
sebagai bayang-bayang Tuhan di bumi. Bahkan ada pemikir Sunni yang melarang rakyat
melakukan pemberontakan terhadap kepala negara, meskipun berlaku zalim. Sedangkan kelompok
Syi'ah, kecuali sekte Zaidiyah, dapat dianggap mewwakili aliran teokrasi yang memandang
khalifah (imam) harus berasal dari keturunan Ali-Fathimah. Imam juga adalah sosok yang tidak
tersentuh dan terbebas dari kesalahan (ma shum). Mereka menganggap imam memiliki kekuasaan
agama dan politik berdasarkan wasiat nashsh.Sementara kelompok Khawari dan Mu tazilah, dalam
beberapa hal, dapat dikatakan sebagai representasi aliran demokratis

BAB 4

KONSEP-KONSEP PENTING DALAM SEJARAH PEMERINTAHAN ISLAM

A. IMAMAH DAN NEGARA


Dalam wacana figh siyasah, kata inämah (imamah) biasanya didentikkan dengan khilafah.
Keduanya menunjukkan pengertian kepemimpinan tertinggi dalam negara Islam. Istilah imamah
banyak digunakan oleh kalangan Syi'ah sedangkan istilah khilafah lebih populer penggunaannya
dalam masyarakat Sunni. Hanya saja terdapat perbedaan mendasar antara kedua aliran ini dalam
memahami imamah Kelompok Syri'ah memandang bahwa imamah merupakan bagian dari prinsip
ajaran agama, sedangkan Sunni tidak memandang demikian. Meskipun begitu, beberapa pemikir
Sunni juga menggunakan terminologi imamah untuk pembahasan tentang khilafah.

Penegakan institusi imamah atau khatah, menurut para fugaha mempunyai dua fungsi yaitu
memelihara agama Islam dan melaksanakan hukum-hukumnya, serta menjalankan politik
kenegaraan dalam batas-batas yang digariskan Islam.

B. AHL AL-HALL WA AL-AQD

Secara harfiah, ahl al-hall wa al-'agd berarti orang yang dapat me mutuskan dan mengikat.
Para ahli figh siyasah merumuskan pengertian ahl al-hall nra al-'agd sebagai orang yang memiliki
kewenangan untuk memutuskan dan menentukan sesuatu atas nama umat (warga negara). Dengan
kata lain, ahl al-hall wa al-agd adalah lembaga perwakilan yang menampung dan menyalurkan
aspirasi atau suara masyarakat. Anggota ahl al-hall wa al- tagd ini terdiri dari orang-orang yang
berasai dari berbagai kalangan dan profesi. Merekalah yang antara lain menetapkan dan
mengangkat kepala negara sebagai pemimpin pemerintahan Al- Mawardi menyebutkan ahl al-hall
wa al- tagd dengan ahl al-ikhtiyar karena merekalah yang berhak memilih khalifah.

Di antara tokoh-tokoh pemikir politik klasik dan pertengahan, hanya al-Mawardi yang agak
jelas membicarakan ahl al-hall wa al-agd. Al-Mawardi membicarakan kualifikasi mereka (yang
dalam bahasa al-Mawardi disebut ahi al-ikhtiyâr) dan kemungkinan ahi alhall wa al- 'agd
memberhentikan kepala negara bila menyimpang dari tugasnya. Namun al-Mawardi tidak secara
eksplisit membahas masa negara. Dalam kenyataannya, akhirnya lembaga ini tidak dapat bekerja
sebagaimana mestinya.

C. WIZARAH

Kata "wizanah" diambil dari kata "al-wazr" yang berarti "al-tsuql" atau berat. Dikatakan
demikian karena seorang wazir memikul beban tugas-tugas kenegaraan yang berat. Kepadanyalah
dilimpahkan sebagian kebijaksanaan pemerintahan dan pelaksanaannva.o Dalam bahasa Arab dan
Persia modern, wazir mempunyai pengertian yang sama dengan menteri yang mengepalai
departemen dalam pemerintahan Dalam First Encyclopedia of Islam disebutkan bahwa kata
wizarah atau wazir ini diadopsi dari bahasa Persia Menurut kitab Zend Anesta, kata ini berasal dari
"vicira yang berarti orang yang memutuskan. hakim. Dengan pengertian ini, maka wazir adalah
nama suatu kementerian dalam sebuah negara atau kerajaan. karena pejabat yang mengepalainya
berwenang memutuskan suatu kebijaksanaan publik demi kepenitingan rakyat, negara, atau
kerajaan yang bersangkutan

Pada masa dinasti Bani Umaiyah juga tidak ada perubahan yang prinsip dalam pemerintahan,
kecuali hanya sistem pemerintahannya yang berubah dari sistem demokrasi egalitarian (syura)
menjadi monarki absolut. Di samping itu, sistem suksesi juga tidak dilakukan melalui musyawarah,
tetapi melalui warisan atau penunjukan kepala negara sebelumnya. Pada masa ini juga belum
dikenal kata wazir. Dinasti ini hanya melanjutkan dan menyempurnakan lembaga formal yang telah
ada sejak zaman Umar. Hana saja pelaksana lembaga kenegaraan tersebut dinamakan dengan
"katib"

BAB 5

SIYASAH DUSTURIYAH

A. KONSEPKONSTITUSILEGISLASISYURA,DANDEMOKRASI SERTA UMMAH


1. Konstitusi

Dalam figh siyasah, konstitusi disebut juga dengan dustüri. Kata ini berasal dari bahasa
Parsia. Semula artinya adalah "seseorang yang memiliki otoritas. baik dalam bidang politik
maupun agama." Dalam perkembangan selanjutnya, kata ini digunakan untuk menunjukkan
anggota kependetaan (pemuka agama) Zoroaster (Majusi).2 Setelah mengalami penyerapan ke
dalam bahasa Arab, kata dustur berkembang pengertiannva menjadi asas, dasar, atau pembinaan.
Menurut istilah. dustur berarti kumpulan kaidah yang mengatur dasar dan hubungan kerja sama
antara sesama anggota masyarakat dalam sebuah negara, baik yang tidak tertulis (konvensi)
maupun tertulis (konstitusi). Kata dustur juga sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia, yang salah
satu artinya adalah undang-undang dasar suatu negara.

2. Legislasi

Dalam kajan figh siyasah, legislasi atau kekuasaan legislatif disebut juga dengan al-suthah al-
tasyri’iyah, yaitu kekuasaan pemerintah Islam dalam mernbuat dan menetapkan hukum. Menurut
Islam, tidak seorang pun berhak menetapkan hukum yang akan diberlakukan bagi umat Islam. Hal
ini ditegaskan sendiri oleh Allah dalam surah 6; 57al-An'am,(in al-hukm illa lillah. Akan tetapi,
dalam wacana figh siyasah, istilah al-sulthah al-tasyrfiyah digunakan untuk menunjukkan salah
satu kenwenangan atau kekuasaan pemerintah Islam dalam mengatu masalah kenegaraan, di
samping kekuasaan eksekutif (al-sulthah al-tanfidtiyah), dan kekuasaan yudikatif (al-sulthah al-
qadha 'iyah) Dalam konteks ini, kekuasaan legislatif (al-sulithah al-tasyritiyah) berarti kekuasaan
atau kewenangan pemerintah Islam untuk menetapkan hukum vang akan diberlakukan dan
dilaksanakan oleh masyarakatnya berdasarkan ketentuan yang telah diturunkan Allah SWT dalam
syariat Islam. Dengan demikian unsur-unsur legislasi dalam Islam meliputi

1. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan untuk menetapkan hukum yang akan diberlakukan
dalam masyarakat Islam:

2. Masyarakat Islam yang akan melaksanakannya;

3. Isi peraturan atau hukum itu sendiri yang harus sesuai dengan nilai-nilai dasar syariat Islam.

3. UMMAH

Kata "ummah" (diindonesiakan menjadi umat) adalah sebuah konsep yang telah akrab
dalam masyarakat kita, akan tetapi sering dipahami secara keliru. Istilah ini, karena begitu dekatnya
dalam kehidupan kita sehari-hari, tak jarang terabaikan dan tidak dianggap sebagai penger tian
ilmiah. Padahal, tidak kurang orientalis W. Montgomery Watt dan Bermard Levis, membahas
konsep ini secara serius dalam karangan mereka. Dari kalangan Islam, pembahasan konsep ummah
ini antara lain dilakukan oleh Ali Syari'ati dalam bukunya al-Ummah wa alImannah dan M.
Quraish Shihab dalam bagian karya tafsir tematiknya wawasan Al-Qur’an.

Dalam Ensiklopedi Indonesia, istilah "umat" mengandung empat macam pengertian, yaitu:
(1) bangsa, rakyat, kaum yang hidup bersatu padu atas dasar iman/sabda Tuhan, (2) penganut suatu
agama atau pengikut Nabi. (5) khalayak ramai, dan (4) umum, seluruh, umat manusia.

kata "syura" (syura) berasal dari sya-ura-ra yang secara etimologis berarti mengeluarkan
madu dari sarang lebah 6 Sejalan dengan pengertian ini, kata syura atau dalam bahasa Indonesia
menjadi "musyawarah"mengandung makna segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan
dari vang lain (termasuk pendapat) untuk memperoleh kebaikan. Hal ini semakna dengan
pengertian lebah yang mengeluarkan madu yang berguna bagi manusia. Dengan demikian.
keputusan yang diambi berdasarkan syura merupakan sesuatu yang baik dan berguna bagi
kepentingan kehidupan manusia.

B. NEGARA HUKUM DALAM SIYASAH SAR’IYAH


1. Jenis-jenis: Negara Hukum

Pelaksanaan negara hukum berbeda antara satu dengan yang lain sesuai dengan kondisi
sosial, geografis budaya, politik dan kesepakatan di antara rakyat dengan pemimpin mereka.
Menurut Tahir Azhary, ada lima konsep negara hukum yang berkembang dan dilaksanakan olehi
negara-negara di dunia. Pertama, negara hukum menurut Al-Qur'an dan Sunnah; kedua, negara
hukum menurut konsep negara Eropa Kontinental yang diterapkan seperti oleh Belanda, Jerman,
dan Perancis yang disebut dengan rechsstaat; ketiga konsep negara hukum (rule of lauv) yang
diterapkan di negara-negara Anglo-Saxon, seperti Amerika Serikat dan Inggris; keempat, konsep
socialist legality yang diterapkan negara-negara sosialis-komunis, seperti Uni Soviet sebelum bubar
pada 1991: dan kelima konsep negara hukum Pancasila.

2. Nomokrasi Islam

Negara dalam Islam tidak dapat dikatakan sebagaiteokrasi seperti dipahami di Barat. Dalam
teokrasi, penguasa pemegang pemerintahan berdasarkan mandat dari Tuhan. Sebagai sumber
kekuasaan, Tuhan menunjuk sebagian manusia untuk menjadi penguasa atas manusia lainnya.
Karena itu, penguasa tidak bertanggung jawab kepada manusia, tetapi kepada Tuhan. Teokrasi ini
tidak sejalan dengan prinsip-prinsip kenegaraan dalam Islam. Negara dalam Islam lebih tepat
dikatakan dengan nomokrasi Islam.

Dalam nomokrasi Islam. kepala negara menjalankan pemerintahan tidak berdasarkan


mandat Tuhan, tetapi berdasarkan hukum –hukum syariat yang diturunkan Tuhan kepada manusia
melalui Rasul-Nya Muhammad SAW. Sejauh disebutkan secara tegas oleh syariat, maka penguasa
tinggal melaksanakan saja apa yang disebutkan dalam sumber al-svariat tersebut, yaitu Al Qur an
dan all-Sunnah Namun karena hu kam syariat lebih banyak bersifat global dan baku manusia diberi
wewenang yang luas untuk mengadakan ijitihad terhadap masalah-masalah yang tidak diatur secara
tegas oleh syariat.

C. HUBUNGAN TIMBAL BALIK PEMERINTAH DAN RAKYAT

Kepala negara, dalam kapasitasnya sebagai kepala pemerintahan negara Istam, mempunyai hak dan
kewajiban yang seimbang dengan kedudukannya. Telah banyak pembahasan yang dilakukan oleh
para ulama figh siyasah, mengenai hak dan kewajiban kepala negara. Diantaranya yang terkenal
adalah al-Mawardi. Dalam karyanya al-Ahkamal-Sulthânivah, al-Mawardi memaparkan sepuluh
kewajiban yang harus dijalankan oleh kepala negara, yaitu:

1. Memelihara agama sesuai dengan ajaran-ajaran dasar yang pasti dan kesepakatan ulama salaf

2. Menjalankan hukum-hukum di antara orang yang berselisih dan menghentikan permusuhan yang
terjadi di kalangan masyarakat nya, sehingga timbullah keadilani secara merata dan tidak ada
penindasan satu orang atau kelompok atas orang atau kelompok lain.

3. Menjaga keamanan dalam negeri, sehingga orang merasa aman pula untuk bekeria dan berusaha
sesuai dengan profesi dan keahlian masing-masing

4. Menegakkan hudnd (hukum pidana), sehingga hukum Allah bisa berjalan dan hak-hak insan
terpelihara

5. Memperkuat pertahanan keamanan negara dari kemungkinan seranlgan-serangan pihak luar

6: Berjihad melawan musuh musuh Islam yang membangkang dari dakwah Islam.

7. Mengelola keuangan negara sepenti ghanimah, al-fai, pajak, dan sedekah lainnya.

8. Menentukan belanja negara (APBN)


9. Mengangkat pejabat-pejabat negara berdasarkan kejujuran, keadilan dan keterpercayaan mereka
memegang jabatan tersebut

10. Secara langsung mengelola urusan kenegaraan secara umum Dengan demikian, umat hidup
dalam kemakmuran dan agama dapat berjalan dengan baik.

Muhammad Rasyid Ridha menyimpulkan tugas-tugas kepala negara hanya dalam empat bidang
saja, yaitu:

1. Mengembangkan dakwah Islam dan menegakkan kebenaran

2. Menegakkan keadilan

3. Melindungi agama dari para pengacau dan menolak bid ah

BAB 6

SIYASAH DAULIYAH

A. DASAR-DALARHUBUNGANII DALAMISLAM

Hubungan internasional dalam Islam didasarkan pada sumbersumber normatif tertulis dan
sumber-sumber praktis yang pernah diterapkan umat Islam dalam sejarah. Sumber normatif tertulis
berasal dari Al-Qur an dan Hadis Rasulullah SAW. Dari kedua sumber ini kemudian ulama
menuangkannya ke dalam kajian figh al-siyar wa al-jihad (hukum internasional tentang perang dan
damai). Istilah "siyar" untuk kajian hubungan internasional dalam Islam ini, menurut Syarifuddin
Pirzada dipergunakan pertama kali oleh Abu Hanifah (80-150 H/699-767 M) Pembahasan/kajian
ini selanjutnva ditulis secara sistematis oleh muridnya Muhammad ibn Ahmad al-Swaibani (151-
189H/748-804 M) dalam kitab al-Siyar al-Kabir dan al-Siyar al-Siaghir Selain al-Syaibani,
ImamMalik (93-179 H/716-795 M) juga membahas hubungan intermasional dalam kitabnya al-
Muwaththa. Pada masa-masa selanjutnya banyak ulama menulis kitab-kitab yang mengkaji
hubungan internasional ini. Lahirlah istilah-istilah sepertil al-jihad, al ghanimah dan al-maghazi
untuk pembahasan hukum internasional ini.

B. PEMBAGIAN NEGARA DALAM ISLAM

Hubungan internasional dalam Islam didasarkan pada sumbersumber normatif tertulis dan
sumber-sumber praktis yang pernah diterapkan umat Islam dalam sejarah. Sumber normatif tertulis
berasal dari Al-Qur an dan Hadis Rasulullah SAW. Dari kedua sumber ini kemudian ulama
menuangkannya ke dalam kajian figh al-siyar wa al-jihad (hukum internasional tentang perang dan
damai). Istilah "siyar" untuk kajian hubungan internasional dalam Islam ini, menurut Syarifuddin
Pirzada dipergunakan pertama kali oleh Abu Hanifah (80-150 H/699-767 M) Pembahasan/kajian
ini selanjutnya ditulis secara sistematis oleh muridnya Muhammad ibn Ahmad al-Swaibani (151-
189H/748-804 M) dalam kitab al-Siyar al-Kabir dan al-Siyar al-Siaghir Selain al-Syaibani,
ImamMalik (93-179 H/716-795 M) juga membahas hubungan intermasional dalam kitabnya al-
Muwaththa. Pada masa-masa selanjutnya banyak ulama menulis kitab-kitab yang mengkaji
hubungan internasional ini. Lahirlah istilah-istilah sepertil al-jihad, al ghanimah dan al-maghazi
untuk pembahasan hukum internasional ini.

Dapat ditarik benang merah bahwa mayoritas ahli figh mensyaratkan suatu negara sebagai
dar al Islam, bila pemegang kekuasaan beragana Islam, sehingga hukum Islam dapat mereka
jalankan dengan baik. Kalau hal ini tidak terlihat, maka negara tersebut termasuk ke dalam kategori
dar al-harb. Konsekuensi logis dari kenyataan ini adalah bahwa jika umat islam tidak memperoleh
jaminan keamanan di negara atau wilayah tersebut, maka negara itu disebut där al-harb, meskipun
ada umat Islam yang tinggal di sana.

C. HUBUNGAN DIPLOMATIK

Dalam Negara Madinah, Nabi Muhammad SAW sebagai kepala negara, juga melakukan
jalinan kerja sama dengan berbagai negara sahabat. Kerja sama ini dipererat melalui hubungan
diplomatik dengan negara-negara tersebut. Negara-negara sahabatyang mempunyai hubungan
diplomatik dengan dar ai-Isiam, dinamakan oleh ulama Syafi'iyah dengan dar al-ahd atau dar al-
shulh. Pada bagian berikut, sebelum memaparkan hubungan diplomatik dalam politik Islam,
adabaiknya penulis uraikan terlebih dahulu pengertian diplomaik dan sejarah munculnya hubungan
diplomatik serta etika diplomasi dalam hukum internasional.

Diplomasi (diplomacy, Inggris) berasal dari bahasa Yunani kuno, diploo-melipat, diploma-
perjanjian atau perikatan atau surat kepercayaan. Pada mulanya, kata ini digunakan untuk
menunjukkan suatu penandatanganan naskah perjanjian yang disepakati oleh dua pihak yang
mengadakan perjanjian, Pada masa kekaisaran Romawi, semua paspor, yang melewati jalan milik
negara dan surat-surat jalan dicetak pada piringan logam dobel. dilipat dan dijahit menjadi satu
dengan cara-cara tertentu. Surat jalan ini disebut "diplomas".

D. PERANG DALAM ISLAM

Perang adalah sesuatu yang sangat tidak disukai manusia. AlQur'an juga mengatakan hal
demikian. Ketika menrebutkan perintah perang. Al-Quran sudah menggarisbawahi bahwa perang
merupakan sesuatu yang sangat dibenci manusia. Namun begitu, Al-Qur'an juga menyatakan
bahwa boleh iadi di balik sesuatu yang tidak disukai ituterdapat kebaikan yang tidak diketahui
manusia.

Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abdullah ibn Abi Awfa,
Nabi menyatakan, Janganlah kalian berharap bertenu musuh, dan berdoalah kepada Allah urtuk
perdamaian. Namun bila kalian bertermu musuh. hadapilah dengan kesabaran,- Hadis ini
menunjukkan bahwa damai adalah prinsip utama dalam Islam, sedang kan penggunaan kekuatan
senjata adalah keadaan yang sangat terpaksa untuk mempertahankan kedamaian tersebut. Dengan
kata lain, Islam mengajarkan prinsip "musuh pantang dicari, tapi kalau bertemu musuh pantang
umat Islam lari menghindarinya.

E. SUAKA POLITIK

Suaka politik atau asylum adalah perlindungan yang diberikan oleh suatu negara kepada
orang asing yang terlibat perkara/kejahatan politik di negara lain atau negara asal pemohon suaka.
Kegiatan politik tersebut biasanya dilakukan karena motif dan tujuan politik atau karena tuntutan
hak-hak politiknya secara umum. Kejahatan politik ini pun biasanya dilandasi oleh perbedaan
pandangan politiknya dengan pemerintah yang berkuasa, bukan karena motif pribadi. Suaka politik
merupakan bagian dari hubungan internasional dan diatur dalam hukum intemasional atas dasar
pertimbangan kemanusiaan. Setiap negara berhak melindungi orang asing yang meminta suaka
politik.

Dalam hubungan internasional, suaka politik dapat dibedakan menjadi suaka wilayah
(territorial asylum) dan suaka diplomatik (diplomatic asyium atau extra-territorial asylum) Suaka
wilayah atau suaka teritorial adalah perlindungan yang diberikan suatu negara kepada orang asing
di dalam negara itu sendiri. Sebagai contoh, negara Indonesia memberi suaka politik kepada orang
asing yang masuk ke wilayah Indonesia. Adapun suaka diplomatik adalah suaka yang diberikan
oleh suatu kedutaan besar terhadap orang yang bukan warga negaranya. Contoh suaka ini adalah
orang asing yang memasuki wilamah Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di luar negeri,
atau orang-orang Timor Timur (sebelum memisahkan diri dari Indonesia) rang memasuki gedung
kedutaan besar asing di Jakarta.
BAB 7

SIYASAH MALIYAH

A. SUMBER KEUANGAN NEGARA

Sumber keuangan negara, menurut Abu Yusuf, seperti dikutip T.M. Hasbi ash-Shiddiegy,
meliputi mantdnid al-danlah yang telah ditetap kan syaraf, yaitu khumus al-ghand'im, sedekah,dan
kharaj. Beberapa istilah yang digunakan Abu Yusuf tentang sumber keuangan negara yang
sebagian besar tetap terpakai dalam tatanan perundangan negara Islam hingga saat ini adalah zakat,
khumus al-ghana im, al-fai jizyah, usyr al-tijfrah dan pajak serta sumber-sumber lainnya.

B. PENGELUARAN DAN BELANJA NEGARA

Prinsip utama pengeluaran dan belanja negara adalah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat
dan menolongnva dari kesusahan hidup serta untuk kepentingan negara sendiri. Tercapainya
kesejahteraan masyarakat merupakan langkah awal yang signifikan menuju kesejahteraan negara
Islam (welfare state).

3. Kesimpulan Isi Buku

Dalam perkembangan sejarah Islam, keragaman aliran politik ini melahirkan pula berbagai
praktik ketatanegaraan yang berbeda antara umat Islam di satu tempat dan masa dengan di tempat
dan masa yang lain. Islam bukanlah agama dalam pengertian Barat yang memisahkan antara
kekuasaan duniawi dan ukhrawi, politik dan agama. Al-Qur'an tidak pernah memisah-misahkan
kedua aspek tersebut. Berdasarkan ini, maka pendirian kelompok sekuler tidak dapat diterima dan
bertentangan dengan semangat ajaran Islam itu sendiri. Namun demikian, Al-Qur'an juga bukanlah
kitab vang serba lengkap membicarakan masalah-masalah teknis hubungan antarmanusia dalam
kehidupan dunia. khususnya dalam masalah politik dan ketatanegaraan ini. Al-Qur an, demikian
juga Sunnah dan praktik Nabi dalam mengelola Negara Madinah, hanyalah memberi seperangkat
tata nilai dan prinsip-prinsip moral yang harus dikuti dan menjadi acuan dalam setiap gerak hidup
manusia. Adapun bagaimana cara penerapan nilai-nilai dan prinsip tersebut terserah sepenuhnya
kepada umat Islam, sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan tantangan yang mereka hadapi.

4. Lampiran Kaper Buku

Anda mungkin juga menyukai