Anda di halaman 1dari 61

31

BAB II

LANDASAN TEORITIK KONSEP WILAYAT AL-FAQIH

Syi`ah, sebagai bagian dari aliran dalam Islam dikenal memiliki konsepsi

politik yang khas. Kekhasan doktrin politik inilah yang membedakannya dengan

konsepsi politik sekte lainnya dalam Islam. Sunni misalnya lebih memilih doktrin

Khilafah Islamiyyah dengan al-Mawardi sebagai peletak dasar teori kenegaraan

Sunni. Kekhasan ini tentu memiliki dasar serta legitimasinya tersendiri.

Perbedaan yang mendasari berbagai persoalan yang timbul di kalangan umat

Islam, mulanya berawal dari wafatnya Nabi Muhammad. Karena dalam Islam,

Muhammad SAW diyakini sebagai nabi terakhir, penutup para nabi yang bertugas

menyampaikan wahyu Tuhan kepada manusia.1 Ini berarti wahyu Tuhan berakhir

bersamaan dengan berakhirnya misi kerasulan Muhammad. Keyakinan bahwa

Muhammad SAW penutup utusan Allah berimplikasi bahwa rentetan wahyu-

wahyu Allah yang diberikan, kepada para rasul, semenjak Nabi Adam AS,

dipandang telah sempurna diturunkan di tangan Nabi Muhammad SAW.

Dengan demikian sesudah ayat terakhir dalam al-Qur'an turun, "Hari ini aku

(Allah) sempurnakan bagimu agamamu, lengkaplah untukmu nikmat-Ku

dan Aku ridha bagimu Islam sebagai agama"2, berakhirlah proses penurunan

wahyu dari Allah. Penjelasan ini menunjukkan bahwa terdapat evolusi di dalam

agama, dimana Islam dimunculkan sebagai bentuk terakhir dan dengan demikian

1
QS Al-Azhab/33: 4 yang artinya Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari
seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
2
QS. al-Maidah: 3 yang artinya Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama
bagimu.
32

Islam merupakan agama yang paling memadai dan sempurna. Atau dengan kata

lain, wahyu Syari’at yang dibawa oleh Muhammad adalah syari’at terakhir yang

diperuntukkan bagi umat manusia. Karenanya sifat dari wahyu ini adalah eternal.3

Ketika Nabi Muhammad masih hidup, umat Islam selalu mengembalikan

problem keagamaan (maupun sosial) kepadanya untuk segera dicarikan solusinya.

Nabi Muhammad lalu merespon dengan baik problem yang disampaikan padanya

untuk kemudian ia selesaikan dengan menggunakan petunjuk wahyu yang

diterima dari Allah. Namun, bila wahyu tidak memberikan penjelasan yang

memuaskan terhadap persoalan tersebut, Nabi terkadang menyelesaikan segala

persoalan dengan menggunakan penalaran dan pendapatnya sendiri. Ia juga

terkadang menyelesaikannya melalui kesepakatan dengan para sahabat. Pemikiran

dan pendapat Nabi inilah yang kemudian bisa dijumpai dalam Hadits. Hadits pada

hakikatnya tidak hanya mengandung pemikiran dan pendapat Nabi saja, tetapi

juga perbuatan serta ketetapan Nabi tentang suatu perkara.

Setelah Nabi Muhammad wafat, tempat bertanya umat Islam bila

menghadapi masalah-masalah dalam kehidupan sosial dan keagamaan tidak ada

lagi. Umat Islam saat itu memiliki dua pegangan dalam menyelesaikan

masalah-masalah yang mereka hadapi, yakni al-Qur'an dan hadits Nabi

dipergunakan oleh umat Islam generasi pertama itu menyelesaikan persoalan-

persoalan yang mereka hadapi. ini didasarkan atas pernyataan Nabi Muhammad

yang memang pernah memperingatkan umat Islam tentang kedua pegangan ini:

3
Pokok pikiran yang ada dalam pendahuluan bagian awal Bab II ini merupakan intisari
dari apa yang pernah ditulis dalam Tedi Kholiludin, Hukum Islam dan Perubahan Sosial, dalam
“Dekonstruksi Islam Mazhab Ngaliyan: Pergulatan Pemikiran Keagamaan Anak Muda Semarang,
Semarang: Rasail dan eLSA, 2005, hlm. 269-280.
33

"Aku tinggalkan bagimu bagi pedoman, dan kamu tidak akan tersesat selama

kamu berpegang pada keduanya, yakni Kitab Allah (al-Qur'an) dan Sunnah

Nabinya”.

Dengan berakhirnya wahyu Allah tersebut, manusia dipandang sudah

mencapai tingkat kedewasaan rasional dan oleh karena itu wahyu dalam artian

al-Qur’an, tidak akan diturunkan lagi. Meskipun demikian, manusia masih

mengalami banyak kebingungan, karena mereka sulit mengimbangi derap

kemajuan sains dan teknologi yang sangat pesat perkembangannya dan

melingkupi berbagai bidang kehidupan. Karenanya, manusia agar mencapai

kedewasaan berpikir, selalu menggantungkan perjuangannya yang terus

menerus untuk mencari petunjuk dari al-Qur'an tersebut.

Bila pada waktu Nabi Muhammad masih hidup, umat Muslim

menjadikan beliau nara sumber, tempat bertanya, untuk menjawab persoalan-

persoalan sosial dan keagamaan mereka. Dan ketika beliau sudah tidak ada

lagi yang dijadikan sebagai tempat bertanya masalah-masalah sosial dan

keagamaan umat Islam, maka umat Islam haruslah senantiasa merujuk dua

pedoman yang ditinggalkan oleh beliau, yakni al-Qur'an dan Sunnah Nabi.

Malah bukan itu saja, semasa beliau masih hidup, beliau pernah berpesan, bila

menghadapi masalah-masalah "technical know how" dalam kehidupan, itu

menjadi wewenang kaum Muslim. Tidak ada sangkut pautnya dengan tugas

risalah yang beliau bawa. Hadits mengatakan, "Kamu lebih tahu tentang masalah-

masalah duniamu."
34

Sesuai dengan petunjuk yang ditinggalkan oleh Nabi, maka umat Islam

paska Nabi, mengacu penyelesaian ke dalam al-Qur'an dan Sunnah atas masalah-

masalah yang mereka jumpai. Tetapi dengan cepat dapat dirasakan dan diketahui

oleh mereka bahwa banyak sekali masalah yang dijumpai dalam

kehidupan mereka sehari-hari tidak diberikan penyelesaiannya dalam al-Qur'an

dan Sunnah. Bahkan tidak jarang masalah-masalah yang muncul tersebut tidak

disebut oleh al-Qur'an dan Sunnah.

Fenomena seperti ini ditemui oleh kaum Muslim generasi pertama tersebut

manakala Islam sudah meluas keluar semenanjung Arabia dan masuk ke Suria,

Palestina, Mesopotamia, Persia, Mesir, dan Afrika Utara. Problema-problema

yang dihadapi oleh kaum Muslim bertambah banyak, bertambah ragamnya

dan bertambah kepelikannya. Ini tak lain, karena doktrin Islam bersinggungan

dengan setting sosial yang berbeda dengan Mekkah. Yang terjadi kemudian,

persoalan yang terkait dengan relevansi Islam dengan konteks lokal masyarakat

muslim hasil ekspansi, menjadi bertambah besar. Secara geografis, daerah

kekuasaan Islam, pada waktu kewafatan Nabi Muhammad tahun 632 M, hanya

semenanjung Arabia yang tandus, dengan etnis Arab yang mempunyai

kehidupan dan kebudayaan sederhana sekali.

Tetapi ketika berbagai kawasan sudah ditaklukkan oleh kekuatan politik

Islam, terutama di masa pemerintahan Umar bin Khattab serta dua dinasti besar

Umayyah dan Abbasiyah, daerah kekuasaan Islam tidak lagi hanya penduduk

Arab. Dan Islam saat itu dihadapkan dengan agama lain penduduk setempat yakni

Kristen, Yahudi, Zoroaster. Selain itu bahasa yang digunakan juga berbeda satu
35

dengan yang lain. Sangat beralasan jika dalam kondisi ini, masalah yang timbul

dalam masyarakat yang beraneka ragam itu sangat berbeda dengan masalah-

masalah yang timbul tatkala umat Islam masih berada di Medinah.

Demikianlah, setelah Muhammad Rasulullah sudah tiada lagi petunjuk

Allah hanya bisa diperoleh dengan selalu melakukan rujukan pada al-Qur'an

dan Hadits yang ditinggalkan oleh Muhammad SAW itu. Dan sebagaimana

yang dikatakan oleh beliau, selama umat Islam berpegang teguh dengan kedua

sumber tersebut umat Islam tidak akan sesat. Oleh sebab itu setiap kaum

beriman mempunyai kewajiban untuk secara terus-menerus mempelajari dan

memahami al-Qur'an dan hadits untuk mendapatkan kebenaran yang

dikandungnya, yang dengan kebenaran itu arah moral kehidupan menjadi jelas.

Secara filosofis, penjelasan di atas menunjukkan, posisi Muhammad sebagai

penutup utusan Allah tersebut menyiratkan makna penyerahan mandat kepada

kaum Muslim untuk mengatur kehidupan sosial dan keagamaan mereka dengan

selalu merujuk kepada dua sumber al-Qur'an dan hadits. Bahkan ketika al-

Qur'an dan hadits tidak memberikan jawaban terhadap masalah-masalah yang

dihadapi, kaum Muslim diberikan keluangan untuk mempergunakan al-ra 'yu atau

ijtihad mereka.

Segera setelah Nabi Muhammad wafat, umat Islam dihadapkan kepada

masalah yang cukup pelik, yang tak pernah timbul di kala Nabi masih hidup

serta tak dijumpai cara penyelesaiannya dalam al-Qur'an. Satu contoh adalah

dalam wilayah politik yakni yang terkait dengan masalah suksesi. Pertanyaan

yang paling mendasar saat Muhammad wafat adalah siapa yang menggantikan
36

Muhammad sebagai kepala negara Madinah. Sebagaimana diketahui, Madinah

telah menjadi ibu kota dari negara yang bercorak konfederasi dari suku-suku

bangsa Arab yang terdapat di Semenanjung Arabia di kala itu. Jadi ketika beliau

wafat, beliau mempunyai kedudukan bukan saja sebagai Rasul Allah, tetapi

juga sebagai kepala negara. Untuk menyelesaikan persoalan ini, para ahli sejarah

mencatat, ada sebuah pertemuan yang dipelopori oleh pemuka-pemuka Muhajirin

dan Ansar di Saqifah Bani Sa'adah. Karena tidak adanya petunjuk yang jelas

dalam al-Qur'an tentang siapa pengganti Nabi sebagai kepala negara Madinah

tersebut, nyaris pertemuan itu menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam.

Kaum Ansar mengajukan argumen, bahwa mereka telah berjasa memberikan

pertolongan kepada Muhammad, sehingga beliau berhasil menaklukkan Makkah

dan menyebarkan Islam di seluruh Semenanjung Arabia. Sementara Kaum

Muhajirin mengajukan pula argumentasi, bahwa merekalah orang yang pertama-

tama pendukung dakwah Nabi Muhammad. Jika saja Kaum Muhajirin tidak ada,

tidak akan mungkin Islam berkembang dari jumlah yang sangat kecil, namun lama

kelamaan bertambah besar. Di samping argumen di atas, kaum Muhajirin juga

membawa perkataan Nabi "al-Aimmah min Quraisy" (Para Pemimpin itu dari

suku Quraisy) serta aktivitas (‘ubudiyyah) Nabi, yang sering mewakilkan

pelaksanaan tugas menjadi imam shalat kepada Abu Bakar, yang orang Quraisy

itu, ketika beliau sakit. Terhadap argumen-argumen yang diajukan oleh kaum

Muhajirin itu, kaum Ansar mundur, maka terpilihlah Abu Bakar sebagai

khalifah pertama, pengganti nabi dalam kedudukan beliau sebagai kepala negara.

Jabatan itu pun ketika itu disebut dengan Khalifatu Rasulillah.


37

Di sini timbul pertanyaan, kenapa orang-orang Ansar mundur dari maksud

mereka untuk menjadi khalifah? Karena di dalam memajukan argumen, maka

argumen yang dianggap kuat adalah argumen yang mempunyai referensi al-

Qur'an dan hadits. Kaum Ansar tidak mempunyai argumen itu, mereka hanya

mempunyai argumen rasional. Sebaliknya kaum Muhajirin mempunyai argumen

perkataan dan perbuatan Nabi. Hadits "para pemimpin harus dari suku Quraisy”

ternyata mendominasi pemikiran Islam semenjak Abu Bakar sebagai Khalifah,

sampai berabad-abad lamanya, dan pemikiran ini dianut di kalangan Sunni.

Bagaimana sebenarnya penjelasan al-Qur'an tentang suksesi tersebut?

Karena tidak ada penjelasan yang tegas, timbullah berbagai pendapat, sebagai

lawan dari pendapat yang menyatakan bahwa para pemimpin dari suku Quraisy.

Kaum Syi'ah, salah satu sekte dalam Islam, lebih spesifik melihat bahwa

pengganti Muhammad adalah orang mempunyai kekerabatan dengan Nabi. Maka

para imam dari kaum Syi'ah, memang rentetan keturunan yang mempunyai

hubungan darah dengan Nabi, yang dimulai dari Ali bin Abi Thalib, menantu

Nabi sendiri. Berbeda dengan kedua pandangan Sunni dan Syi'ah tersebut, kaum

Khawarij mengatakan bahwa pengganti Nabi tidaklah mesti dari suku Quraisy

ataupun dari keturunan Nabi sendiri. Siapa saja dari kaum Muslim, bukan Arab

sekalipun, kalau memenuhi persyaratan sebagai pemimpin ia boleh menggantikan

nabi sebagai kepala negara tersebut. Pendapat Khawarij ini, dalam

perkembangan berikutnya, terutama sesudah abad XVI M dianut oleh Sunni.

Singkatnya, persoalan politik pasca Muhammad sebenarnya menjadi

persoalan kompromi di wilayah publik. Dari sini, memang keputusan itu tidak
38

bisa lepas dari berbagai kepentingan. Ideologisasi, tarik menarik kepentingan

karenanya menjadi hal yang tidak bisa dihindarkan dalam kompromi tersebut.

Begitu juga yang terjadi di generasi awal umat Islam. Mereka mendapatkan

kebimbangan yang luar biasa, karena tidak ada referensi yang secara eksplisit

mengatur persoalan yang terkait dengan ketatanegaraan, termasuk di dalamnya

persoalan kepemimpinan. Karenanya keputusan sebenarnya berada di tangan umat

Islam itu sendiri, yang di dasarkan atas ijtihad mereka. Dengan demikian,

terpilihnya Abu Bakar dalam pertemuan di Saqifah Bani Sa’idah tersebut (meski

dengan argumentasi normatif) juga tidak lepas dari berbagai kompromi yang

dilakukan oleh berbagai kelompok di sana.

Selain dalam persoalan siyasah atau ketatanegaraan, masalah yang cukup

pelik lainnya yang dihadapi oleh kaum Muslim masa awal itu adalah problem

teologis, yakni tentang siapa yang disebut mukmin dan siapa yang disebut kafir.

Al-Qur'an dan hadits Nabi memang memberikan kriteria-kriteria tentang mukmin

dan kufur. Namun karena tidak adanya penjelasan yang pasti tentang itu,

menimbulkan banyaknya pandangan yang menegemuka tentang hal itu. Persoalan

mukmin dan kafir dimunculkan kali pertama oleh kaum Khawarij. Berawal dari

terbunuhnya khalifah ketiga, Usman bin Affan, yang kemudian memunculkan

protes keras terhadap kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, selaku Khalifah

keempat, karena tidak mampu menemukan siapa pembunuh Usman bin Affan.

Yang lebih ekstrem , kaum Khawarij menuduh Ali bin Abi Thalib berkolaborasi

dengan para pemberontak yang menggulingkan Usman bin Affan.


39

Persengketaan itu kemudian diselesaikan dengan jalan tahkim antara Ali

bin Abi Thalib dengan wakilnya Abu Musa al-Asy'ari dengan Mu'awiyah bin Abi

Sufyan dengan wakilnya Amr bin 'Ash. Jalan tahkim yang dipergunakan

menyelesaikan persoalan tersebut ditolak oleh sebagian dari pasukan Ali yang

kemudian dikenal dengan nama Khawarij. Menurut mereka, tahkim itu adalah

tradisi jahiliyah, bukan penyelesaian dengan jalan berpedoman kepada apa yang

diturunkan oleh Allah, yakni al-Qur'an. Maka dengan membawa ayat 44 surat al-

Maidah, "Siapa yang tidak menghukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah,

mereka adalah orang kafir." Dengan dasar pandangan itu, Khawarij kemudian

memutuskan bahwa Ali, Mu'awiyah, Amr dan Abu Musa sudah kafir. Orang

muslim yang kemudian beralih menjadi kafir berarti murtad. Pesan Nabi orang

murtad darahnya halal dan wajib dibunuh. Maka mereka memutuskan untuk

membunuh keempat-empat tokoh tersebut.

Dalam perkembangannya, timbul masalah baru apakah orang mukmin yang

melakukan dosa besar tetap mukmin? Karena mereka merupakan kelompok

sempalan dalam dinasti Umayyah, mereka menganggap bahwa pemuka pemuka

dinasti Bani Umayyah sudah berbuat kedhaliman dan oleh karena itu telah

berbuat dosa besar. Para penguasa Islam bila sudah berbuat dosa besar, itu berarti

tidak sah lagi menjadi khalifah. Demikian kaum Khawarij memasukkan

semua perbuatan dosa besar, seperti berzina, bersumpah palsu, mendurhaka ibu

bapa, syirik, mengakibatkan seseorang sudah menjadi kafir.

Sebagai reaksi terhadap pendapat sempit dan ekstrem di atas, sebagian kaum

Muslim berpendapat bahwa yang disebut mukmin dan muslim adalah orang-orang
40

yang sudah mengucap dua kalimah syahadat "La ilaha illa 'l-Lah wa

Muhammad Rasul-u 'l-Lah" (Tiada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad itu

utusan Allah). Dosa besar yang dilakukan tidak mempengaruhi imannya. Dalam

sejarah teologi Islam, golongan yang menganut paham ini dikenal dengan

nama Murji'ah. Kaum Murji'ah memandang orang yang telah melakukan dosa

besar tetap mukmin, tidak menjadi kafir. Berbeda dengan Khawarij, Murji'ah

memandang pemuka-pemuka Bani Umayyah, tetap sah menjadi khalifah.

Kemudian timbul paham yang lain, yakni bila seseorang yang mengucap

dua kalimah syahadat itu melakukan dosa besar, ia hanya boleh disebut muslim.

Di sini dibedakan antara mukmin dengan muslim. Mukmin adalah muslim yang

tidak melakukan dosa besar, sedangkan muslim adalah orang Islam yang

melakukan dosa besar. Paham ini dianut oleh Mu'tazilah. Mereka memberi

predikat orang muslim itu dengan fasiq, yang menempati posisi antara tidak

mukmin dan tidak kafir. Paham ini kemudian masuk dalam doktrin dasar

mereka al-Ushul al-Khamsah, yakni al-Manzilat bayn al-Manzilatayn (posisi

di antara dua posisi).

Dua kasus di atas, pertama tentang masalah politik kenegaraan dan masalah

teologi, memperlihatkan, betapa generasi muslim pertama itu menunjukkan

bagaimana cara mereka menghadapi masalah-masalah sosial dan keagamaan, di

kala Nabi Muhammad tidak ada lagi. Wahyu memang sudah berhenti turun. Allah

tidak akan menurunkan wahyu baru lagi dan tidak membangkitkan seorang rasul

utusan sesudah Muhammad. Oleh sebab itu tidak ada otoritas pribadi mana pun

yang mengatasnamakan Tuhan bahwa dialah pembawa dan penterjemah yang


41

paling sah dari wahyu-wahyu Tuhan dalam al-Qur'an dan segala perkataan dan

perbuatan serta ketetapan Nabi sebagai yang termaktub dalam hadits beliau.

Dengan tetap berpedoman pada Kitabullah dan Sunnah Rasul kaum Muslim

telah diberi kewenangan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang timbul

dalam kehidupan social dan keagamaan mereka dengan mengerahkan ra'yu atau

pemikiran dalam bentuk ijtihad. Dan memang Muhammad SAW, penutup utusan

Allah itu, pernah berkata, bahwa tidak ada yang salah (kerugian) dalam

berijtihad. Bila ijtihadnya benar akan mendapat dua pahala, dan bila ijtihadnya

salah masih diberi satu pahala.

Manusia yang menjadi objek syari’at, dengan demikian, pada fitrahnya

adalah individu yang memiliki watak yang dinamis dan kreatif. Proses ini tak

pelak menimbulkan berbagai kondisi dan peristiwa baru yang berkelanjutan.

Kondisi ini kemudian menyebabkan adanya kesenjangan antara nash-nash dengan

peristiwa baru yang terlahir sebagai dinamika peradaban manusia, yakni finalnya

nash dan bergeraknya realitas (tanahy al-nushus wa ‘adamu tanahy al-waqa’i).

Karenanya realita yang tidak pernah berhenti pada satu titik ini tidak bisa diikat

dengan satu doktrin yang sudah final.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa konsep ijtihad (legal reasoning) menjadi

sangat penting untuk dilakukan sebagai jalan untuk menetralisir kesenjangan

tersebut. Dengan iijtihad inilah peristiwa baru tersebut akan mendapat pijakan

hukumnya. Strateginya yaitu dengan menafsirkan kembali nash hukum tersebut

agar ditemukan élan vitalnya, dan selaras dengan kemaslahatan umat manusia

sebagaimana yang dikehendaki Tuhan. Oleh karena al waqa`i akan terlahir secara
42

terus menerus sepanjang sejarah peradaban manusiadan masing-masing al waqa`i

memiliki seting sejarah yang berbeda satu dengan yang lain, maka bisa dikatakan

ijtihad adalah kebutuhan sepanjang masa dan berjalanan secara paralel dengan

lahirnya al waqa`i.

Gambaran tentang hal tersebut terekam dalam perjalanan sejarah umat

Islam. Umat Islam dari sekte Syi’ah rupanya menyadari betul hal ini. Dalam

bidang politik, mereka berupaya merumuskan satu konsep tentang pemerintahan

yang dalam pandangan mereka bisa menggabungkan antara kehendak manusia

dan tuntunan Tuhan. Konsep tentang Imamah bisa dikatakan sebagai buah dari

ijtihad ulama Syi’ah. Begitupula konsep wilayat al-faqih yang merupakan ijtihad

dari Imam Khomeini.

A. Teologi Politik4 Syi`ah: Analisa Historis

Seperti yang sudah disinggung di atas, kemunculan Syi’ah lengkap

dengan muatan doktrin, termasuk konsep politiknya, dilandasi atas semangat

ijtihadinya. Meskipun demikian, bagi kalangan Syi’ah awal kali kemunculan

sekte Syi`ah dalam pemikiran Islam, sebenarnya berawal dari zaman

4
Penulis merasa perlu memberi judul sub bab II ini dengan istilah teologi politik, bukan
teori politik. Dalam doktrin politik Syi`ah, politik bukan semata-mata wilayah profan dan
mundane. Politik, bagi kaum Syi`ah memiliki spirit ilahiyyah yang diamanatkan kepada manusia
melalui seorang khalifah. Singkatnya, politik dan kekuasaan dalam tradisi politik Syi`ah memiliki
dimensi sakral. Karenanya teori politik yang dibangun oleh para penganut Syi`ah sepenuhnya
didasarkan atas legitimasi teologis. Kekuasaan dalam pandangan Syi`ah sepenuhnya merupakan
kedaulatan Tuhan (God Sovereignty). Atas dasar inilah penulis merasa lebih sreg jika sub judul
yang akan membeberkan historisitas kemunculan Syi`ah plus doktrin politiknya ini dengan istilah
teologi politik.
43

Rasulullah itu sendiri.5 Komunitas Syi’ah, menegaskan hal ini dengan

memberikan argumentasi sebagai berikut:

“Syi’ah sebagai pengikut Ali bin Abi Thalib a.s. (imam pertama kaum Syi’ah)
sudah muncul sejak Muhammad SAWW masih hidup. Hal ini dibuktikan dengan
realita-realitas sebagai berikut. Pertama, ketika Rasulullah SAWW mendapat
perintah dari Allah SWT untuk mengajak keluarga terdekatnya masuk Islam, ia
berkata kepada mereka: “Barang siapa di antara kalian yang siap untuk
mengikutiku, maka ia akan menjadi pengganti dan washiku setelah aku meninggal
dunia”. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang bersedia untuk mengikutinya
kecuali Ali a.s. Sangat tidak masuk akal jika seorang pemimpin pergerakan --di
hari pertama ia memulai langkah-langkahnya--memperkenalkan penggantinya
setelah ia wafat kepada orang lain dan tidak memperkenalkanya kepada para
pengikutnya yang setia. Atau ia mengangkat seseorang untuk menjadi
penggantinya, akan tetapi, di sepanjang masa aktifnya pergerakan tersebut ia tidak
memberikan tugas sedikit pun kepada penggantinya dan memperlakukannya
sebagaimana orang biasa. Keberatan-keberatan di atas adalah bukti kuat bahwa
Imam Ali a.s. setelah diperkenalkan sebagai pengganti dan washi Rasulullah
SAWW di hari pertama dakwah, memiliki misi yang tidak berbeda dengan missi
Rasulullah SAWW dan orang yang mengikutinya berarti ia juga mengikuti
Rasulullah SAWW. Kedua, berdasarkan riwayat-riwayat mutawatir yang dinukil
oleh Ahlussunnah dan Syi’ah, Rasulullah SAWW pernah bersabda bahwa Imam
Ali a.s. terjaga dari setiap dosa dan kesalahan, baik dalam ucapan maupun perilaku.
Semua tindakan dan perilakunya sesuai dengan agama Islam dan ia adalah orang
yang paling tahu tentang Islam. Ketiga, Imam Ali a.s. adalah sosok figur yang telah
berhasil menghidupkan Islam dengan pengorbanan-pengorbanan yang telah
lakukannya. Seperti, ia pernah tidur di atas ranjang Rasulullah SAWW di malam
peristiwa lailatul mabit ketika Rasulullah SAWW hendak berhijrah ke Madinah
dan kepahlawannya di medan perang Badar, Uhud, Khandaq dan Khaibar.
Seandainya pengorbanan-pengorbanan tersebut tidak pernah dilakukannya, niscaya
Islam akan sirna di telan gelombang kebatilan. Keempat, peristiwa Ghadir Khum
adalah puncak keistimewaan yang dimiliki oleh Imam Ali a.s. Sebuah peristiwa --
yang seandainya dapat direalisasikan sesuai dengan kehendak Rasulullah SAWW--
akan memberikan warna lain terhadap Islam. Semua keistimewaan dan
keistimewaan-keistimewaan lain yang diakui oleh Ahlussunnah bahwa semua itu
hanya dimiliki oleh Imam Ali a.s. secara otomatis akan menjadikan sebagian
pengikut Rasulullah SAWW yang memang mencintai kesempurnaan dan hakikat,
akan mencintai Imam Ali a.s. dan lebih dari itu, akan menjadi pengikutnya. Dan
tidak menutup kemungkinan bagi sebagian pengikutnya yang memang memendam
rasa dengki di hati kepada Imam Ali a.s., untuk membencinya meskipun mereka
melihat ia telah berjasa dalam mengembangkan dan menjaga Islam dari
kesirnaan.”6

5
Bandingkan dengan Nourouzzaman Shiddiqi, Syi’ah dan Khawarij: Dalam Perspektif
Sejarah, Yogyakarta: PLP2M, 1985, hlm 8. Nourouzzaman mengatakan bahwa kaum Syi’ah
muncul atau berkembang pasca wafatnya Muhammad SAW.
6
Data ini penulis peroleh dari situs “resmi” komunitas Syi’ah yakni www.al-shia.com.
Situs ini merupakan rujukan jika ingin mendapatkan keterangan yang agak komprehensif tentang
sejarah, doktrin dan pandangan-pandangan ulama Syi’ah. Untuk memperluas jangkauan situs ini
diprogram dengan menggunakan beberapa bahasa dunia. Ini tentu menunjukan bahwa komunitas
benar-benar telah menjadi bagian dari masyarakat dunia.
44

Sementara, Nader Poerhassan7 menilai bahwa kemunculan Syi’ah

(juga Sunni) secara faktual terlihat setelah Nabi Muhammad wafat pada

tahun 632 M.8 Beberapa pengikut Ali meyakini bahwa Ali harus menjadi

pemimpin umat karena ia telah dipilih Nabi sebagai penerusnya.9 Bahkan

saat pembicaraan di Tsaqifah Bani Sa’idah, telah ada usulan yang muncul

agar khalifah yang kelak menggantikan nabi sebagai pemimpin, harus

diambilkan dari ahlul bait.10

Syibli Nu’mani, seperti yang dikutip oleh Nouruzzaan Shiddiqi

mengatakan bahwa bersamaan dengan berlangsungnya pertemuan di

Tsaqifah Bani Sa’idah, ada rapat yang berlangsung di rumahnya Fatimah

yang dipimpin sendiri oleh Ali.11 Rapat tersebut mengagendakan untuk

menentukan siapa yang akan menduduki pucuk kepemimpinan pasca nabi.

Dan sepeninggal nabi, masyarakat Muslim di Madinah terpecah

menjadi tiga kelompok. (i) Banu Hasyim, termasuk Ali. Mereka yang masuk

dalam kelompok ini menghendaki agar legitimasi kekhalifahan diberikan

kepada mereka. (ii) Muhajirin yang dipimpin oleh Abu Bakr dan Umar. (iii)

7
Nader Poerhasan adalah seorang penganut Syi’ah yang cukup kontroversial. Sisi
kontroversial ini ia tunjukan dengan melakukan kritik terhadap pelbagai produk pemikiran ulama
Syi’ah.
8
Nader Poerhasan, The Corruption of Moslem Minds, terj R. Cecep Lukman Yasin,
“Gara-gara Ulama: kerancuan Pemikiran Pemimpin Agama”, Jakarta: Serambi, 2004, hlm. 33.
9
Sebenarnya kelompok Sunni juga beranggapan sama dengan Syi’ah, bahwa Ali adlaah
penerus pilihan Nabi. Namun, saat Nabi wafat mereka menganggap Ali masih muda, sehingga
tongkat kepemimpinan harus dipegangn oleh tiga orang sahabat senior yang ketiga-tiganya
meninggal sebelum Ali yakni Abu Bakar (sahabat Nabi dan lelaki pertama yang masuk Islam),
Umar (yang memerintahkan terhadap tempat-tempat ibadah orang Kristen di Yerussalem) dan
Usman (yang bertanggung jawab dalam menyalin dan menyebarluaskan al-Qur’an ke berbagai
wilayah Islam). Usman ini yang kemudian digantikan oleh Ali. Lihat Ibid.
10
Nourouzzaman Shiddiqi, loc. cit.
11
Ibid.
45

Anshar dibawah pimpin oleh ‘Ubadah.12 Isu hak legitimasi ahlul bait untuk

jabatan khalifah mereda sejak Ali memberikan baiat kepada Abu Bakr as-

Shiddiq hingga berakhirnya kepemimpinan Umar.13

Pada masa kepemimpinan Usman, isu tentang hak legitimasi Banu

Hasyim kembali dihembuskan. Abdullah ibn Saba’ menyuarakan kembali

tentang hak Ali. Ia bahkan dengan lantang mengatakan bahwa Ali bukan

saja orang yang berhak untuk menjadi seorang Imam, bahkan Ali adalah

Tuhan.14 Sejak saat itulah gejolak semakin kencang menerpa pemerintahan

Usman. Ditambah dengan kebijakan politiknya yang seringkali dianggap

mendahulukan kepentingan keluarganya.

Usman menempatkan anggota keluarganya untuk mengisi jabatan-

jabatan penting tanpa memperhatikan kualitas dan kapabilitasnya.

Pemberontakan terhadap pemerintahan Usman, dalam sejarah Islam biasa

dikenal dengan Fitnah al-Kubra. Setelah Usman terbunuh Ali kemudian

diangkat sebagai khalifah. Hanya saja, kepemimpinan Ali juga diwarnai

12
Ibid,, hlm 9.
13
Pada masa Umar, gelombang ekspansi pertama terjadi, kota Damaskus jatuh di tahun
635 M. dan setahun kemudian, setelah tentara Bizantium kalah di pertempuran Yarmuk, daerha
Suria jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Dengan memakai Suria sebagai basis, ekspansi diteruskan
ke Mesir di bawah pimpinan Amr Ibn Al-Aas dan ke Irak di Bawah pimpinan Sa’ad bin Abi Al-
Waqqas. Babilon di Mesir dikepung pada tahun 640 M. Sementara itu, tentara Bizantium di
Heliopolis dikalahkan dan Alexandria kemudian menyerah di tahun 641 M. dengan demikian
Mesir jatuh pula ke tangan Islam. Al-Qarisiyah, suatu kota dekat al-Hirah di Irak jatuh pada tahun
637 M dan dari sana serangan dilanjutkan ke Al-Madain ibu kota Persia dan dapat dikuasai saat itu
juga. Ibu kota baru daerah ini adalah al-Kufah. Dengan adanya gelombang ekspansi pertama ini,
kekuasaan Islam di bawah Khalifah Umar telah meliputi selain Semenanjung Arabia juga
Palestina, Suriah, Irak, Persia dan Mesir. Selengkapnya Harun Nasution, Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, jilid I, 2001, hlm. 51-52.
14
Para pengikut Abdullah ibn Saba ini biasa dikenal dengan sebutan al-Sabaiyah. Dalam
sejarah kaum Syi’ah, aliran ini masuk dalam kategori ekstrem. Karenanya, pengikut aliran ini tidak
diakui sebagai bagian dari Syi’ah dan dianggap telah keluar dari Islam.
46

dengan berbagai pemberontakan, terutama yang datang dari keluarga

Usman.

Muawiyah bin Abu Sufyan, yang juga masih kerabat Usman, bahkan

menolak dengan tegas diangkatnya Ali sebagai khalifah. Ia memberikan

alasan bahwa Ali harus bertanggungjawab atas terbunuhnya Usman. Selain

itu, Muawiyah berpendapat, berhubung wilayah Islam telah meluas dan

timbul komintas-komunitas Islam di daerah-daerah baru maka hak untuk

menentukan jabatan khalifah tidak lagi merupakan hak mereka yang berada

di Madinah saja.15 Hal ini tentu bisa dipahami karena Muawiyah merupakan

gubernur di Suria. Posisi Muawiyah semakin kukuh karena ada dukungan

dari sejumlah sahabat di Madinah yang kemudian bergabung dengan dia di

Suria.

Di samping itu, pada masa pemerintahan Ali, juga terjadi banyak

pemecatan terhadap gubernur yang diangkat oleh Usman. Ali berkeyakinan

bahwa ketidakmampuan gubernur yang diangkat oleh Usman itulah yang

menyebabkan terjadinya banyak pemberontakan-pemberontakan. Tak hanya

itu, Ali juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Usman kepada

penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara, serta

menggunakan kembali sistem distribusi pajak seperti yang pernah diterapkan

pada masa Umar.16

15
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Jakarta: Universitas Indonesia, edisi 5,
1993, hlm 28.
16
Kebijakan-kebijakan itulah yang membuat keluarga Usman naik pitam. Muawiyah
tentu menjadi figur sentral yang terus menerus merongrong kekuasaan Ali. Pada saat Ali berkuasa,
salah satu pemberontakan yang terekam dalam sejarah adalah kudeta yang dilakukan oleh Thalhah,
Zubair dan Aisyah. Mereka beranggapan bahwa Ali tidak juga segera mencari dan menghukum
47

Kebijakan seperti itulah yang menyebabkan Muawiyah dan keluarga

Usman lainnya sepakat untuk mengadakan perlawanan terhadap kekuasaan

Ali. Di Damaskus, kota di mana Muawiyah berkuasa, gejolak perlawanan

semakin terasa kencang. Merasa stabilitas negaranya terancam, Ali

kemudian memimpin pasukannya untuk meredam pemberontakan

Muawiyah di Damaskus. Pasukan Muawiyah dan Ali akhirnya bertemu di

Shiffin.17

Pertempuran itu sendiri berakhir dengan tahkim atau arbitrase, karena

pasukan Muawiyah merasa sudah berada diambang kekalahan. Tahkim itu

sendiri sebenarnya tidak lebih dari strategi Muawiyah untuk meraih

kemenangan. Meski pada awalnya tahkim dimaksudkan agar tidak banyak

korban yang timbul, namun kesepakatan penyelesaian perang melalui jalan

tahkim justru semakin menambah luas perpecahan di tubuh umat Islam. 18

Situasi seperti ini tentu sangat tidak menguntungkan posisi Ali. Dan

tidak lama kemudian pada tanggal 20 Ramadhan 660 M, Ali terbunuh oleh

Abdurrahman bin Muljam. Sepeninggal Ali, terjadilah pertarungan

memperebutkan kekuasaan politik antara pendukung Ali yang berada di

para pembunuh Usman. Meski Ali sudah mengirimkan surat ajakan berdamai, tetapi Thalhah dan
Zubair tidak mau mendengar ajakan damai dari Ali. Terjadilah perang yang dalam sejarah umat
Islam dikenal sebagai Perang Jamal. Dalam peperangan tersebut Ali berhasil mengalahkan lawan-
lawannya. Thalhah dan Zubair terbunuh ketika keduanya hendak melarikan diri, sementara Aisyah
ditawan dan dikembalikan lagi ke Medinah. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta:
RajaGrafindo Persada dan LSIK, Cet 12, 2001, hlm 39-40.
17
Karenanya, perang ini juga sering dinamakan sebagai Perang Shiffin.
18
Hal ini bisa dilihat dari timbulnya beberapa kekuatan politik pasca perang shiffin antara
lain, (i) Mu’awiyah (ii) Ali dan (iii) Khawarij. Kelompok ketiga ini merupakan sempalan dari
barisan Ali yang menganggap bahwa Ali telah melakukan kesalahan besar besar karena mau diajak
berdamai oleh Muawiyah. Dari sini persoalan kemudian merembet ke ranah teologi. Kelompok
Khawarij menganggap orang yang terlibat dalam tahkim itu adalah orang-orang kafir. Keadaan ini
tentu sangat tidak menguntungkan posisi Ali.
48

Kufah dan Muawiyah di Damaskus.19 Orang-orang Kufah menuntut agar

jabatan pemimpin dipegang oleh keluarga Ali. Menurut Fazlur Rahman,

klaim legitimis atas nama keturunan-keturunan Ali yang ditandai dengan

diangkatnya Hasan adalah awal dari doktrin politik Syi’ah.20

Pada perkembangannya, Muawiyah, yang menggulingkan kekuasaan

Ali, melanjutkan kepemimpinannya dengan model pemerintahan Monarkhi.

Mu’awiyah tidak hanya mengangkat penggantinya tetapi ia memaksakan

putranya Yazid sebagai khalifah sesudahnya, meskipun ia dianggap oleh

mayoritas kaum Muslim tidak layak untuk jabatan tersebut. Setelah

Muawiyah kekuasaan turun temurun menjadi norma dan berlaku hingga

kini. Bahkan pengangkatan Yazid memercikkan perang saudara lainnya

yang lebih berdarah ketimbang Perang Shiffin.21

B. Imamah dan Kegaiban Imam Dua Belas22

Kaum Syi’ah menganggap bahwa imam adalah rukun Islam yang ke

enam sebagai tambahan bagi lima rukun Islam yang diyakini oleh umat

19
Nourouzzaman Shiddiqi, op. cit. hlm 9-10.
20
Rahman sendiri menyebut bahwa klaim legitimis ini adalah tonggak utama Syi’isme
Arab yang betul-betul bersifat politis. Fazlur Rahman, Islam, terj Ahsin Mohammad, “Islam”,
Bandung: Pustaka, 2000, hlm. 249.
21
Mahmoud M. Ayoub, The Crisis of Muslim History: Religion and Politics in Early
Islam, (terj) Munir A. Mu’in, “The Crisis of Muslim History: Akar-akar Krisis Politik dalam
Sejarah Muslim”, Bandung: Mizan, 2004, hlm. 210.
22
Ada beberapa bahasan yang akan penulis paparkan dalam bab ini, yang kesemuanya
merupakan bagian dari konsep politik Syi’ah. Beberapa diantaranya adalah Imamah, Wilayah dan
Mahdaiyyat. Dalam bab ini juga perlu penulis tegaskan, bahwa ajaran Syi’ah yang menjadi pokok
pembicaraan adalah Syi’ah Imamiyah. Perlu dipahami dalam tradisi Syi’ah terdapat pembagian
aliran yang tergantung pada jumlah Imam yang diakui sebagai penerus nabi. Kelompok utama
dalam Syi’ah dalam hal jumlah pengikut, keterpusatannya dalam spectrum agama tradisional
adalah Syi’ah Dua Belas Imam (Imamiyah). Sementara Syi’ah Tujuh Imam (Ismailiyah) dan Syiah
Lima Imam disebut Syi’ah Zaidiyyah. Dan yang menjadi agama resmi Iran adalah Syi’ah
Imamiyah.
49

Islam pada umumnya.23 Jadi menurut mereka penguasa adalah kekuasaan

yang religius dan ia memiliki cahaya suci sehingga dianggap maksum dalam

kata-kata dan perbuatannya walaupun al-Qur’an sendiri sebenarnya tidak

mengatakan bahwa Nabi adalah maksum.

Imamah merupakan salah satu kata kunci dalam memahami pandangan

politik Syi’ah. Hamid Enayat, sebagaimana dikutip oleh Jalaludin Rakhmat,

menyebutkan tiga konsep kunci untuk pandangan politik Ahl al-Sunnah

yakni Khalifah, Ijma' dan Bay'ah. Sementara tiga konsep kunci dalam

pandangan politik Syi'ah adalah imamah, wilayat, dan 'ishmah.24 Wilayah

dan 'ishmah merupakan karakteristik tak terpisahkan dari imamah. Karena

itu, abstraksi pandangan politik ahl al-Sunnah dapat disimpulkan hanya

pada perbedaan konsep imamah dan khilafah yang dianut Syi'ah.25

Selain perbedaan-perbedaan tersebut, Murad W. Hofmann mengurai

tujuh perbedaan antara Syi’ah dan Sunni dalam segala aaspek. Karena

menurut Hofmann, pada kenyataannya, bukan hanya aspek-aspek tertentu

dari filsafat, teologi dan yurisprudensi Syi’ah saja yang berbeda dari Sunni,

tetapi juga dalam gaya dan pikiran atau iklim intelektual.26 Tujuh hal yang

menurut Hoffman membedakan Syi’ah dan Sunni antara lain;

1. Menurut Doktrin Syi’ah mengenai Kekhalifahan (Imamah dalam

tradisi Syi’ah), disebutkan hanya keluarga Nabi saja yang mempunyai

23
David Sagiv, Fundamentalism and Intellectual, (terj) Yudian W. Asmin, Islam
Otentisitas Liberalisme, Jogjakarta: LKiS, 1997, hlm. 148-149.
24
Jalaludin Rakhmat, Skisme dalam Islam: Sebuah Telaah Ulang, Selengkapnya lihat
dalam http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/SkismeJ1.html
25
Ibid
26
Murad W. Hofmann, Islam: The Alternative, (terj) Rahmani Astuti, “Menengok
Kembali Islam Kita”, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002, hlm. 141.
50

hubungan darah yang dekat dengan Nabi yang dianggap layak

menduduki jabatan itu.

2. Imam Syi’ah dianggap sempurna baik dalam bidang moral maupun

doktrinal.

3. Imam dianggap mempunyai pengetahuan mengenai makna-makna

tersembunyi dalam al-Qur’an.

4. Ali dianggap pantas menyandang gelar uni “Sahabat Tuhan “ (wali

Allah) dan dalam kapasitas ini, di samping Muhammad, di kemudian

hari dia dimasukkan dalam panggilan untuk salat (azan).

5. Ulang Tahun kematian al-Husayn diperingati dengan pertunjukan

drama yang menggambarkan penderitaan berlarut-larit dan

perkabungan umum, termasuk pencambukan.

6. Karena menganggap kekhalifahan Abu Bakr, Umar dan Utsman tidak

sah, para ulama Syi’ah tidak mau menerima keabsahan tradisi-tradisi

nabi (Ahadits) yang diriwayatkan oleh mereka, maupaun yang

diriwayatkan oleh Istri Nabi, Aisyah.

7. Yurisprudensi Syi’ah menganggap sah perkawinan sementara.27

Imamah, dalam perspektif Syi’ah merupakan kepemimpinan universal

dan menyeluruh dalam masyarakat Islam, baik yang berhubungan dengan

segi spiritual maupun maupun duniawi. Kepemimpinan ini mendapatkan

legalitasnya tatkala berasal dari Tuhan. Bahkan Nabi sendiri tidak memiliki

27
Ibid., hlm 142.
51

hak dan peran independen dalam menentukan khalifah setelah beliau. Beliau

harus menentukan khalifah sesuai dengan perintah Tuhan.

Seorang Imam dalam tradisi Syi’ah adalah orang yang

membedakannya dari muaddib28, mufti29, ataupun qadi30. Di Iran Imam

adalah bagian dari mullah. Mullah adalah para pengendali kekuasaan. Kata

itu berasal dari kata Arab maula, penguasa atau master, suatu jabatan yang

pada kenyataannya diberikan kepada siapa saja yang melaksanakan fungsi

keagamaan.31

Dalam tradisi Sunni, ulama termasuku di dalamnya adalah qadi, mufti,

syaikh al-Islam. Sementara dalam lingkungan Syi’ah, ulama seringkali

dipersonifikasikan dalam diri seorang Hujjat al-Islam (bukti Islam),

mujtahid (konsultan hukum yang melakukan keputusan pribadi secara

sistematik) dan Ayatullah (tanda-tanda Allah).32 Jabatan-jabatan tersebut

diatur secara ketat sehingga diperlukan tahapan demi tahapan untuk

membuktikan tingkat keilmuannya. Untuk menduduki posisi ini, orang tidak

bisa melamarnya. Mereka adalah orang yang diakui oleh komunitas

ilmuwan. Sedangkan Ayatullah anggotanya sangat terbatas, bahkan tidak

mencapai lima orang.

28
Muaddib atau guru umumnya dengan inisiatifnya sendiri mendirikan kuttab, taman
pendidikan al-Qur’an untuk anak-anak.
29
Mufti adalah konsultan hukum. Ia adalah orang yang membuat pendapat hokum yang
dengannya ia menginterpretasikan hukum. Karena tidak terstruktur secara sistematis, seringkali
terjadi bahwa jabatan ini memiliki peran sebagai orang yang menerima permohonan (banding)
untuk keputusan hukum.
30
Qadi adalah jabatan keagamaan yang pertama kali dilembagakan dalam Islam. Dalam
setiap masa, qadi dipilih di antara orang-orang yang memiliki reputasi dalam memahami
kerumitan hukum. Dan yang lebih penting lagi adalah masalah integritasnya.
31
Habib Boulares, Islam: The Fear and the Hope, (terj) Ilham Mashuri, “Islam: Tumpuan
Harapan atau Biang Ketakutan”, Bandung: Pustaka Hidayah, 2003, hlm. 145.
32
Habib Boulares, Ibid.
52

Oleh karena itu, Imamah sama seperti kenabian dan bertalian langsung

dengan hak-hak Ilahiah. Jika para nabi dilantik melalui mandat Ilahi dari

langit maka seorang imam pun juga harus demikian. Dalam pandangan

Syi’ah, imâmah bukan hanya pemerintahan/kepemimpinan lahiriah. Namun,

imâmah adalah sebuah kedudukan spitiual yang sangat agung. Selain

memimpin dan mengurusi masalah sosial dan kehidupan bermasyarakat,

seorang imam juga memiliki tugas memberi petunjuk dalam bidang

kehidupan yang lebih universal, baik yang berhubungan dengan masalah

duniawi maupun ukhrawi. Ia adalah seorang penuntun dan pembimbing

umat dari sisi intelektual dan jiwa, sebagaimana ia juga bertugas untuk

menjaga syari’at yang dibawa oleh para rasul, dan mewujudkan tujuan-

tujuan yang ingin dicapai melalui pengutusan seorang nabi.

Dalam keyakinan Syi’ah, pribadi legal yang berhak memiliki

kedudukan ini, pasti mengetahui segala dimensi ajaran agama. Dengan

demikan, ia tidak akan pernah mengalami kesalahan dan kekeliruan dalam

menjelaskan dan menerangkan khazanah keilmuan dan hukum-hukum

Islam, dan ia terjaga dari segala dosa.

Para imam dalam pandangan Syi’ah memiliki semua kedudukan yang

dimiliki oleh Nabi, selain kenabian sendiri. Segala ucapan dalam rangka

menjelaskan berbagai hakikat, undang-undang, dan pengetahuan Islami

merupakan hujjah, dan segala perintahnya di setiap permasalahan harus

ditaati. Moojan Momen menggambarkan paling tidak ada enam tugas yang

harus dilaksanakan oleh Imam yaitu, memimpin perang suci (the holy war,
53

jihad), membagikan harta rampasan (qismat al-fay), memimpin sholah

Jum’at, memutuskan sebuah perkara, menjatuhkan hukuman dan meerima

zakat atau khumus.33

Untuk melegitimasi pendapatnya, kaum Syi’ah mengutip ayat ke-124

dari surah Al-Baqarah yang berbunyi:

‫ﺎﻣﹰﺎ‬‫ﺱ ِﺇﻣ‬
ِ ‫ﺎ‬‫ﻚ ﻟِﻠﻨ‬
 ‫ﺎ ِﻋﻠﹸ‬‫ﻲ ﺟ‬‫ﻦ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ِﺇﻧ‬ ‫ﻤﻬ‬ ‫ﺗ‬‫ﺕ ﹶﻓﹶﺄ‬
ٍ ‫ﺎ‬‫ ِﺑ ﹶﻜ ِﻠﻤ‬‫ﺑﻪ‬‫ﺭ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺍﻫِﻴ‬‫ﺑﺮ‬‫ﺘﻠﹶﻰ ِﺇ‬‫ﺑ‬‫ﻭِﺇ ِﺫ ﺍ‬
‫ﲔ‬
 ‫ﻬﺪِﻱ ﺍﻟﻈﱠﺎِﻟ ِﻤ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﺎ ﹸﻝ‬‫ﻳﻨ‬ ‫ﻳﺘِﻲ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﻻ‬‫ﺭ‬ ‫ﻭﻣِﻦ ﹸﺫ‬ ‫ﻗﹶﺎ ﹶﻝ‬
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa
kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya.
Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam
bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga)
dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak
mengenai orang-orang yang lalim".

Sayyed Hossein Nasr mengatakan bahwa dalam Islam, pintu kenabian

tertutup sesudah Muhammad.34 Ia adalah sumber esoterik dan eksoterik

sekaligus, tetapi dalam fungsinya sebagai pembawa hukum Tuhan, nabi

hanyalah melambangkan aspek yang bersifat eksoterik. Sesudah nabi, harus

ada yang mewarisi fungsi esoteriknya dan yang meneruskan tugas untuk

menerangkan arti batin hukum Tuhan. Sama halnya dengan fungsi kenabian,

terutama dalam penyampaian hukum yang disebut Nubuwwah, fungsi

sebagai penafsir arti batin bagi manusia dan menjaga hubungan dengan

sumber wahyu dikenal dengan sebutan “wilayah”.35

33
Moojan Momen, An Introduction to Shi’i Islam: The History and Doctrines of Twlever
Shi’ism, New Haven and London: Yale University, 1985, hlm. 189.
34
Sayyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam, (terj) Abdurrahman Wahid dan
Hasyim Wahid, “Islam Antara Cita dan Fakta”, Yogyakarta: PUSAKA, 2001, hlm. 128.
35
Kata wilayah secara umum, dalam bahasa arab bermakna kesucian dan orang-orang
suci disebut waliyullah atau Sahabat Tuhan. Tetapi dalam konteks Syi’ah, kata tersebut tidak
54

Siklus kenabian atau dairat al-nubuwwah berhenti pada diri Nabi

sebagai jaminan kenabian. Sejak itu tidak akan turun lagi petunjuk dalam

siklus kehidupan manusia saat ini. Tetapi berakhirnya siklus tersebut berarti

babak baru bagi kemunculan siklus pensucian (dairat al-wilayah). Siklus ini

merupakan mata rantai dari otoritas yang berhubungan dengan penafsiran

esoterik dari wahyu dan diperoleh langsung dari Nabi yang menjadi sumber

dari dimensi esoterik dan eksoterik sekaligus. Siklus tersebut akan terus

berlangsung hingga hari pengadilan saat semua siklus berakhir.

Fokus pembicaraan kita bergerak pada person atau siapa yang berhak

untuk menjadi pemimpin dalam siklus wilayah. Dalam kepercayaan Syi’ah

imam itulah yang bertugas untuk menjalankan fungsi wilayah.36 Seperti

yang sudah disinggung di atas, Imam dalam kepercayaan kaum Syi’ah

adalah pemimpin universal. Imam, tidak hanya orang yang memimpin

ibadah. Tetapi dalam kepercayaan Syi’ah adalah orang yang menjadi

penguasa komunitas dan terutama pewaris ajaran esoterik Nabi.

Syi’ah memandang bahwa Ali adalah Imam yang menjadi pengganti

Nabi Muhammad. Dan garis kekuasaan merupakan hak dari keluarga Nabi

atau ahlul bayt. Dua belas Imam yang dipercaya meneruskan garis

kekuasaan Nabi adalah (1) Ali bin Abi Thalib, (2)Imam Hasan, (3)Imam

Husein, (4) Ali Zain al-Abidin, (5) Muhammad al-Baqir, (6) Ja’far al-

hanya bermakna kesucian, tetapi juga berarti fungsi sebagai penafsir dimensi esoterik dari
petunjuk Tuhan. Ibid.
36
Hal itulah yang menyebabkan, mengapa Imam Ali disebut sebagai waliyullah. Ibid.,
hlm. 129.
55

Shadiq, (7) Musa al-kazim, (8) Ali al-Ridha, (9) Muhammad al-Jawwad,

(10) Ali al-Hadi, (11) Al-Hasan al-Askari dan (12) Muhammad al Muntazar.

Namun Imam kedua belas yakni Muhammad al Muntazar dikatakan

menghilang secara misterius dan kedatangannya kembali selalu mereka

tunggu hingga saat ini. Doktrin ini yang biasa dikenal dengan mahdiyyat

atau mahdaviyat dalam bahasa Parsi..

Perkembangan pemikiran kaum Syi’ah tentang doktrin Imam dua belas

ini dapat dibagi ke dalam dua tahap.37 Pertama pemikiran ketika para imam

masih hidup. Pemikiran Imamah pada tahap ini dititikberatkan pada

pengabsahan para imam sebagai pelanjut kepemimpinan nabi Muhammad.

Dalam sejarah Yurisprudensi Syi’ah Dua belas, tahap ini dikenal sebagai era

penulisan hadis-hadis para Imam.38 Kedua, pemikiran yang berlangsung

setelah gaibnya Imam al-Mahdi, baik selama gaibah sugra (kegaiban kecil,

260-329 H/873-941) maupun selama gaibah kubra (kegaiban besar 941M

dan seterusnya.

Selama kegaiban kegaiban pendek yaitu ketika Imam al-Mahdi dalam

persembunyiannya di dunia fisik, kepemimpinan imam secara eksplisit

diabsahkan kepada wakil-wakil imam (nuwwab al Imam). Mereka itu adalah

(1) Usman ibn Sa’id al-‘Umari, (2) Abu Ja’far Muhammad ibn Usman, (3)

Abu al-Qasim al-Hussain ibn Rauh al-Khillani dan (4) Ali ibn Muhammad

al-Samiri (w. 873 H/941 M). Sementara kegaiban besar berlangsung sejak

37
Didin Saefudin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam: Biografi Intelektual 17
Tokoh, Jakarta: Grasindo, 2003, hlm. 118-119.
38
Ahmad Mousasawi, “Teori Wilayat Faqih; Asal Mula dan Penampilannya dalam
Literatur Hukum Syi’ah”, dalam Mumtaz Ahmad (ed), State, Politics and Islam. (terj) Ena Hadi,
Masalah-masalah Teori Politik Islam, Bandung: Mizan, 1996, cet III, hlm. 132.
56

wafatnya Ali Ibn Muhammad. Sejak itu pula kepemimpinan imam melalui

sistem perwakilan telah berakhir, kesinambungan kepemimpinan imam

selama kegaiban besar, berada pada raja-raja (al-Sultan al’Adil) dan ulama-

ulama mujtahid (faqih) Syi’ah hingga kedatangan Imam Mahdi pada

waktunya.39

Setelah ghaibah, faqih yang adil mempunyai wewenang sama seperti

Rasulullah. Namun, menurut Imam Khomeini, hal ini janganlah diartikan

bahwa status faqih sama dengan Rasul dan Imam. Karena apa yang menjadi

pembicaraan dalam konteks tersebut adalah wewenang, bukan status.40

Wewenang berarti pemerintahan, administrasi negarara dan pelaksanaan

syari’at. Berawal dari sinilah pandangan tentang konsep wilayat al-faqih

dikembangkan.

Teori wilayat faqih dalam beberapa hal adalah kelanjutan dari doktrin

imamah, karena melaksanakan tugas dan fungsi-fungsi utama pemerintahan

Imam. Teori itu menggambarkan unsur perwakilan rasional berdasarkan

pilihan rakyat yang berbeda dengan diangkatnya Imam oleh Allah.41 Namun

ada hal yang tidak berubah yakni kekuasaan individual seorang pemimpin

karismatis. Dalam artian, bahwa unsur personalitas masih mendominasi pola

pikir kaum Syi’ah dalam perkembangan pemikiran politiknya.

Menurut Murtadha Mutahhari sebagaimana dikutip oleh Jalaludin

Rakhmat, kata wala, walayah, wilayah, wali, maula dan derivasi lainnya

39
Didin Saefudin, Ibid.
40
Ayatullah Ruhullah Khomeini, “Sebuah Pandangan tentang Pemerintahan Islam”,
dalam Sallim Azzam (ed), Beberapa Pandangan tentang pemerintahan Islam, Bandung: Mizan,
1983, hlm. 131.
41
Ahmad Mousasawi, op.cit., hlm. 130.
57

banyak sekali disebut dalam al-Qur’an. Sebagai kata kerja disebut 124 kali

dan sebagai kata benda disebut 112 kali.42 Hal ini menunjukkan bahwa

wilayat dianggap penting sehingga pembahasannya banyak diulang dalam

al-Qur’an.

Wilayat memiliki beberapa arti yang berkaitan derat dengan

sejarahnya. Secara bahasa, ia berasal dari bahasa Arab “wilayat”, bentuk

kata “waliyan” yang berarti dekat dan memiliki kekuasaan atas sesuatu.

Secara teknis wilayat berarti pemerintahan (rule), supremasi atau

kedaulatan. Dalam pengertian lain, wilayat atau wala berarti persahabatan,

kesucian, kesetiaanatau perwalian.43

Dalam tradisi pemikiran politik Syi’ah, wilayat menunjukkan kesetiaan

kepada pemerintahan Imam dan mengakui hak Imam untuk memerintah.

Legitimasi doktrinal atas konsep wilayat itu menunjukan bahwa dalam Islam

otoritas keagamaan dan politik itu satu dan serupa.44 Karenanya, konsep

wilayat yang merupakan bagian dari kepemimpinan atas umat Islam,

memiliki posisi yang sangat sentral. Relevansi wilayat dengan masalah

otoritas Islami yang absah dalam Syi’ah dpat dilihat dari kuatnya al-Qur’an

42
Jalaludin Rakhmat, “Pemikiran Politik Islam, dari Nabi Saw.via al-Farabi hingga
Ayatullah Khomeini”, kata pengantar, Yamani, Filsafat Politik Islam: Antara Al-Farabi dan
Khomeini, Bandung: Mizan, 2002, hlm. 15.
43
Ahmad Mousasawi, op.cit., hlm. 130.
44
Wilayat sesuai yang dipaparkan oleh Abdul Aziz Sachedina, merupakan konsep yang
berkaitan dengan segenap kehidupan umat Muslim dengan akibat bahwa umat Muslim tidak
pernah mencampakkan keyakinannya kepada identitas agama dan pemerintah, identitas keduanya
yang pernah dilihatnya pada diri pendiri Islam. Keberadaan Nabi dipercayai oleh umat Islam
mengandung maksud yang asasi yaitu mentransformasikan struktur kesukuan masyarakat Arab
pada masa itu ke dalam suatu umat Muslim, suatu komunitas religio-sosio-politis yang berada di
bawah wilayat al-ilahiyyah yang dirancang oleh Allah itu. Abdul Aziz Sachedina, The Just Ruler
in Shi’ite Islam, (terj) Ilyas Hasan, “Kepemimpinan dalam Islam: Perspektif Syi’ah”, Bandung:
Mizan, 1991, hlm. 163.
58

dijadikan pegangan dalam memahami dan menyimpulkan wilayat sebagai

pedoman kepemimpinan yang sakral. Diantara ayat yang dijadikan rujukan

ulama Syi’ah adalah

‫ﻮ ﹶﻥ‬‫ﺆﺗ‬ ‫ﻳ‬‫ﻭ‬ ‫ﻼ ﹶﺓ‬


‫ﺼﹶ‬ ‫ﻮ ﹶﻥ ﺍﻟ‬‫ﻳﻘِﻴﻤ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻮﹾﺍ ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﻦ ﺁ‬ ‫ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬‫ﻪ ﻭ‬ ‫ﻮﹸﻟ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻪ‬ ‫ ﺍﻟ ﹼﻠ‬‫ﻴﻜﹸﻢ‬‫ﻭِﻟ‬ ‫ﺎ‬‫ﻧﻤ‬‫ِﺇ‬
‫ﻮﹾﺍ ﹶﻓِﺈ ﱠﻥ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﻦ ﺁ‬ ‫ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬‫ﻪ ﻭ‬ ‫ﻮﹶﻟ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻮ ﱠﻝ ﺍﻟ ﹼﻠ‬ ‫ﺘ‬‫ﻳ‬ ‫ﻦ‬‫ﻭﻣ‬ .‫ﻮ ﹶﻥ‬‫ﺍ ِﻛﻌ‬‫ﻢ ﺭ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺰﻛﹶﺎ ﹶﺓ‬ ‫ﺍﻟ‬
.َ ‫ﻮﻥ‬‫ﺎِﻟﺒ‬‫ﻢ ﺍﹾﻟﻐ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﺏ ﺍﻟ ﹼﻠ ِﻪ‬
 ‫ﺰ‬ ‫ِﺣ‬
Artinya: “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan
orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan
menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan
barang siapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang
beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut
(agama) Allah itulah yang pasti menang”. (QS al-Maidah. 5: 55-
56)

Ayat tersebut menunjukan penjagaan Allah, Nabi Muhammad dan

mereka yang beriman. Frasa terakhir (mereka yang beriman) ini, menurut

mufassir Syi’ah, merujuk kepada para Imam yang wilayat mereka

diteteapkan melalui penunjukan oleh Nabi. Dan menurut A. Syarafudin al-

Musawi, ayat ini sudah dengan sangat jelas diturunkan berkenaan dengan

Ali yang menyedekahkan cincinnya ketika ia sedang ruku.45

Kata al Wali sebagaimana terdapat dalam ayat di atas, ditafsirkan

berbeda oleh kalangan Sunni. Meski pada intinya ayat itu bercerita tentang

kesalehan dan ketakwaan Ali, tetapi kata al-Wali, menurut Wahbah Zuhaili

dalam Tafsir al Munir, kata tersebut bukan merujuk pada Ali sebagai

seorang individu. Tetapi, awliya Allah dalam ayat tersebut, memiliki

45
A. Syarafudin al-Musawi, Al-Muraja’at, (terj) Muhammad al Baqir, “Dialog Sunnah
Syi’ah”, Bandung: Mizan, cet VII, 1994, hlm. 196,
59

keterkaitan dengan sifat-sifat yang ada dalam ayat tersebut, bukan lainnya.

Adapun sifat tersebut antara lain orang yang mendirikan sholat,

mengeluarkan zakat dan orang yang khusyu (beribadah) kepada Allah.46

Sementara, Thobathoba’i mengatakan bahwa ayat tersebut para mufasir

Syi’ah mengambil kata ini dalam arti pokoknya yaitu al-awla atau al-ahaq

yang berarti orang yang berhak untuk mengemban otoritas.47

Namun, al-wali seperti yang diterapkan pada Nabi Muhammad saw,

mengandung arti seseorang yang memiliki wilayat al-tasharruf yang berarti

pemilikan akan otoritas yang memberi wali hak untuk bertindak dengan cara

apapun yang dinilainya paling baik menurut kearifannya, sebagai seorang

wakil bebas dalam mengelola urusan-urusan umat.48 Wilayat al-tasharruf ini

hanya bisa diemban oleh orang yang ditunjuk untuk ini oleh al-wali al-

muthlaq (otoritas Mutlak, Allah swt), atau oleh orang yang ditunjuk Nabi

Muhammad saw dalam kedudukan al-wali al-niyabah (otoritas melalui

perwakilan). Karenanya Imam yang ditunjuk oleh nash sebagai wali harus

memiliki wilayat al-tasharruf dan diakui sebagai penguasa umat. Dengan

demikian, tasharruf merupakan makna pokok dan essensial dari wilayat.

Dalam mencari tema wilayat al-faqih, sebagaimana diketahui saat ini,

tidak dapat ditemukan dalam sejarah awal Sy’ah Imamiyah. Karenanya

pelacakan terhadap konsep ini dapat ditelusuri melalui konsep nuwwab

(wakil Imam) dan kedudukan Faqih sebagai hakim (qadhi). 1). Nuwwab

46
Lihat dalam Wahbah Zuhaily, Tafsir al Munir, Beirut: Dar al Fikr, Juz 5, tt, hlm. 237.
47
Thobathoba’I, Tafsir al-Mizan, Beirut: Muassasat al-A’lami lil Mathbu’at, 1991, hlm.
11-12.
48
Abdul Aziz Sachedina, op.cit., hlm. 166.
60

Imam (wakil Imam). Jabatan ini diciptakan dengan mendelegasikan

sebagian kekuasaan Imam kepada mukallaf. Pendelegasian tersebut dapat

dilakukan oleh Imam atau wakil dan pengakuan umat. Karena fungsi

imamah tergantung pada imam itu sendiri, maka sebenarnya tidak ada

jabatan tetap na’ib imam.

Dalam artian, bahwa di sini tidak ada pembagian yang tetap terhadap

tugas-tugas imam. Namun, ada empat bentuk na’ib Imam yang berfungsi

dalam masyarakat Syi’ah. Pertama, wakil Imam yang merupakan wakil

pribadi Imam dalam pengertian legalnya. Mereka memiliki tugas untuk

menangani urusan finansial Imam. Kedua, na’ib khash. Mereka yang

mendapat gelar nuwwab khashshah adalah sufara (duta besar) selama masa

Gaib kecil imam kedua belas. Ketiga, na’ib ‘am. Jenis ini dipakai untuk

ulama pada tiap-tiap masa yagn mencapai tingkat mujtahid dan ketika tidak

ada ulama. Tugas mereka yang menjadi na’ib imam adalah dibatasi pada

wilayat khashshah yang meliputi qadha (penilaian) masalah-masalah

perwakilan. Keempat, na’ib fi umur al’ammah (wakil untuk urusan-urusan

umum).

Bentuk ini mencakup mujtahid yang mengklaim sebagai wakil umum

atau diserahi sepenuhnya kekuasaan imam selama gaibnya imam.49 2). Faqih

sebagai hakim: Kedudukan qadhi, dari sudut pandang Syi’ah Imamiah

49
Di antara bentuk-bentuk perwakilan sebelumnya, hanya jenis pertama dan kedua saja
yang dapat ditemukan selama tahap yuridis pertama. Karya yuridis pada saat ini terutama
berkenaan dengan Imam dan kemaksumannya, bukannya dengan para wakilnya yang harus
melaksanakan fungsi-fungsi politik Imam. Kenyataannya, proses yuridis selama tahap tersebut
seraya mempertahankan gagasan ghaybat, tidak memberikan konsep lain selain intizhar, selama
hari-hari sesudah gaib besar. Ahmad Mousasawi, op.cit., hlm. 134.
61

tampaknya sudah kuat bagi para faqih. Imam memerintahkan para

pengikutnya agar tidak menyampaikan perkara-perkara mereka kepada

thaqhut (para penguasa yang zalim) melainkan agar mencari siapa saja yang

meriwayatkan hadis-hadis Imam.50

Akar kepemimpinan inilah yang menjadi landasan bagi terciptanya

konsep wilayat al-Faqih. Konsep ini sangat terkait erat dengan prinsip-

prinsip dasar yang terkait dengan pemikiran politik religius Syi’ah seperti

kesetiaan, imamah dan taqlid. Namun, teori Imamah yang harus diwujudkan

dalam era saat ini tentu berbeda dengan imamah pada masa-masa awal.

Teori imamah mengatakan bahwa harus ada seorang Imam yang ada dalam

masyarakat dan eksistensi mereka secara nyata berfungsi menjalankan roda

masyarakat dan membimbing masyarakat menuju jalan yang benar.51

Karenanya, sejauh yang mereka khawatirkan, Imam yang berada dalam

masa kegaiban tidak diketahui dan tidak diketahui apa yang menjadi

gagasannya.

Hal inilah yang menyebabkan kenapa dalam beberapa abad, situasi

yang ada dalam komunitas Syi’ah, baik di kalangan sejarawan Syi’ah dan

sejarawan Islam menggambarkan masa tersebut sebagai “masa

kebingungan” (the period of bewilderment). Selama masa inilah teori baru

tentang imamah berkembang dalam komunitas Syi’ah. Substansi dari teori

baru ini adalah mereka (komunitas Syi’ah) tidak membutuhkan Imam secara

fisik di tengah-tengah masyarakat, cukup bagi Imam mengawasi masyarakat


50
Ahmad Muossawi, Ibid., hlm. 134.
51
Abdul Karim Soroush, Mahdaviyat va Ehya-ye Din, (terj) Nilou Mubasser, “The
Saviour and Religious Revival”, Journal Aftah No. 12, Januari-Februari, 2002.
62

dan melayaninya. Substansi inilah yang melahirkan ide tentang kegaiban

Imam (the Hidden Imam).

Saat Imam al-Mahdi berada pada kegaiban, maka kepemimpinan

dilanjutkan oleh faqih. Jadi seorang mujtahid atau faqih mempunyai hak

memerintah sebagai wakil imam. Dalam urusan keagamaan dan sosial

politik, hubungan rakyat dengan faqih didefinisikan oleh konsep taqlid,

yaitu mematuhi faqih seolah-olah mematuhi imam.

Konsep wilayat al-Faqih dengan demikian memiliki basis teoritis dari

keinginan untuk menghadirkan pengganti Imam kedua belas saat ia berada

pada kegaiban. Konsep ini bersandar pada beberapa pokok kepemimpinan

yang menjadi dasar dalam konsep Islam. Pertama, Allah adalah hakim

mutlak seluruh alam semesta dan segala isinya. Kedua, kepemimpinan

manusia (qiyadah basyariyyah) yang mewujudkan hakimiyah Allah di bumi

ialah nubuwwah. Ketiga, garis imamah melanjutkan garis nubuwah dalam

memimpin umat. Keempat, para faqih adalah khalifah para imam dan

kepemimpinan umat dibebankan kepada mereka.52

Faqih adalah Muslim yang sudah mencapai tingkat tertentu dalam Ilmu

dan kesalehan. Seorang faqih disyaratkan harus mengetahui semua peraturan

Allah, mampu membedakan sunnah yang sahih dan yang palsu yang mutlak

dan terbatas, yang umum dan yang khusus. Ia juga harus mampu

menggunakan akalnya untuk membedakan hadis dari situasi lain, situasi

52
Jalaludin Rakhmat, “Pemikiran Politik Islam, dari Nabi Saw.via al-Farabi hingga
Ayatullah Khomeini”, op.cit., hlm. 15-17.
63

taqiyah atau bukan, serta memahami kriteria yang telah ditetapkan.53 Para

faqih yang menjalankan kepemimpinan, tentu saja harus memiliki

kualifikasi tertentu.

Beberapa point penting yang harus dimiliki oleh faqih antara lain:

pertama, faqahah yakni seorang faqih harus mencapai derajat mujtahid

muthlaq yang sanggup melakukan istinbath hukum dari sumber-sumbernya.

Kedua, ‘adalah yakni memperlihatkan ketinggian kepribadian dan bersih

dari watak buruk. Hal ini ditunjukan dengan sifat istiqamah, al-shalah dan

tadayyun. Ketiga, kafa’ah atau memiliki kemampuan untuk memimpin

umat, mengetahui ilmu yang berkaitan dengan pengaturan masyarakat,

cerdas, matang secara kejiwaaan dan ruhani. 54

Menurut Imam Khomeini, prinsip fuqaha adalah pemegang amanat

rasul. Dengan demikian, seluruh tugas-tugas yang diamanatkan kepada para

nabi harus juga dipenuhi oleh fuqaha yang adil. Keadilan adalah konsep

yang lebih luas dari amanat dan mungkin seseorang adalah amanat pada

permasalahan finansial tetapi tidak adil.55 Jika Imam berkewajiban

membimbing umat setelah berakhirnya proses penurunan wahyu atau setelah

wafatnya Rasulullah, maka faqih memiliki kewajiban untuk membimbing

umat setelah berakhirnya proses Imamah. Namun, faqih tidaklah memiliki

keistimewaan seperti halnya Imam. Ia hanyalah memiliki otoritas yang

pernah dipegang oleh Imam.

53
Jalaludin Rakhmat, Ibid.
54
Jalaludin Rakhmat, Ibid.
55
Imam Khomeini, Islamic Government, (terj) Muhammad Anis Maulachela, “Sistem
Pemerintahan Islam”, Jakarta: Pustaka Zahra, 2002, hlm. 92-93.
64

Faqih sesungguhnya memiliki misi ketuhanan untuk mengatur

sepenuhnya suatu pemerintahan yang didirikan secara khusus di atas hukum

Islam. Mengingat beratnya beban yang diemban seorang faqih, maka

kualifikasi untuk menjadi faqihpun sangatlah ketat. Selain bisa berbuat adil,

faqih juga harus memiliki pengetahuan yang luas tentang hukum Islam.

Selain itu faqih juga harus memiliki kemampuan administratif serta bisa

mempertahankan hak-hak bangsa, kemerdekaan dan memiliki integritas

yang tinggi.

Selain kualifikasi yang diemban oleh calon faqih tugas lain yang harus

diperhatikan aalah fungsi-fungsi keulamaan. Ain Najaf sebagaimana dikutip

Jalaludin Rakhmat menulis ada enam tugas ulama. Pertama, tugas

Intelektual (al-‘amal al-fikriy), kedua, tugas bimbingan keagamaan, ketiga,

tugas komunikasi dengan umat (al Ittishal bil ummah), keempat, tugas

menegakkan Syi’ar Islam, kelima, tugas mempertahankan hak-hak umat,

keenam, tugas berjuang melawan musuh-musuh Islam dan kaum muslimin.56

Wilayat al-Faqih menurut Imam Khomeini merupakan pemerintahan

dan pengaturan negara serta pelaksanaan hukum syariat yang suci. Dan ini

merupakan beban serta tugas yang berat dan sangatlah penting. Meski

wilayat al-faqih yang adil sama dengan wilayah Nabi dan Imam, namun

mereka berbeda dalam maqam atau kedudukannya. Yang menjadikan

mereka sama adalah otoritas atau wewenangnya. Dengan kata lain, wilayat

56
Jalaludin Rakhmat, Islam Alternatif: Ceramah-ceramah di Kampus, Bandung: Mizan,
2003, Cet XI, hlm. 256-257.
65

sebagai bentuk pemerintahan dan pengaturan hukum sebenarnya bukanlah

satu hal yang isimewa.

Imam Khomeini menambahkan bahwa wilayat yang ditetapkan bagi

Nabi dan para Imam dalam menegakkan pemerintahan, melaksanakan

hukum dan mengatur urusan-urusan juga diperuntukkan bagi seorang

faqih.57 Tetapi seorang faqih, tidak memiliki wilayah mutlak atas fuqaha lain

yang hidup di zamannya, seperti menunjuk atau memberhentikan mereka.

Tidak ada tingkatan hierarkis yang menunjukkan bahwa faqih yang satu

lebih tinggi kedudukannya dari faqih yang memiliki wilayat lain.

57
Imam Khomeini, Islamic Government, Ibid., hlm. 69.
66

STRUKTUR KEKUASAAN DALAM KONSEP IMAMAH

ALLAH SWT Pemegang Kekuasaan

Nabi

Ali
Hasan
Husein
Ali Z. Abidin
Muhammad al-Baqir
Ja’far al-Sadiq
Musa al-Kazim
Ali al-Ridla
Muhammad al-Jawwad Pemegang Kedaulatan
Ali al-Hadi
Al-Hasan al-Askari
Muhammad al-Muntazar

Usman ibn Said al Umari


Muhammad ibn Usman
Al-Hussein al-Khilani
Ali ibn Muhammad al-Samiri

Perwakilan Umum

Umat

C. Wilayat al-Faqih dalam Praktek Kenegaraan Iran

Di Iran, konsep wilayat al-faqih dipopulerkan oleh Imam Khomeini,

setelah ia berhasil menggulingkan pemerintahan Syah Reza pada tahun


67

1979. Sistem wilayat al-faqih sebagai pemerintahan resmi Republik Islam

Iran, termuat dalam pasal 5 Konstitusi Republik Islam Iran. Sistem ini

sebenarnya telah lama dipublikasikan oleh Imam Khomeini, pemimpin besar

Iran melalui ceramah-ceramahnya di berbagai mesjid, baik ketika ia berada

di Iran maupun dalam pengasingan. Imam Khomeini bermaksud untuk

mewujudkan Republik Islam Iran yang berdaulat dan menghargai kebebasan

berpendapat rakyatnya.

Sirkulasi elit, yang tercermin dalam sistem ini sebenarnya tidak lepas

dari tujuan awal kemunculan sistem ini pada masa menjelang revolusi. Saat

itu paling tidak ada dua tujuan politis yang ingin dicapai dengan menggiring

isu wilayat al-faqih58. Pertama, para ulama yang menjadi motor penggerak

revolusi itu sebenarnya menginginkan kembalinya peran strategis mereka di

panggung pemerintahan, setelah sekian lama diberangus oleh Syah. Sumber

tertinggi otoritas di Iran yang anggotanya mempunyai kekuasaan melebihi

yang diberikan Syah dalam konstitusi 1906. Kedua, mereka menghadapi

tekanan kuat untuk merancang sebuah republik yang berdasarkan kedaulatan

rakyat.

Meskipun negara Iran bermaksud untuk menyatakan bahwa kedaulatan

ada di tangan rakyat, namun ada interpretasi menarik mengenai model

kedaulatan rakyat ini. Kedaulatan rakyat yang dimaksud ini merupakan

kedaulatan rakyat yang dibatasi oleh kedaulatan Tuhan. Disinilah

menariknya gagasan mengenai wilayat al-Faqih tersebut.


58
Mohsen M. Milani, Partisipasi Politik di Iran Pascarevolusi, dalam John L Esposito
(ed), Political Islam: Revolution, Radicalism or Reform?,(terj) Dina Mardiya, “Langkah Barat
Menghadang Islam”, Yogyakarta: Jendela, 2004, hlm. 120.
68

Menurut Mohsen Millani terbatasnya kedaulatan rakyat tersebut

didasarkan atas beberapa hal. Pertama, Konstitusi negara Iran menyatakan

bahwa kedaulatan mutlak atas dunia adalah milik Tuhan. Hanya Tuhanlah

yang menempatkan manusi untuk bertanggungjawab atas martabat

sosialnya. Kedua, dalam konstitusi tersebut juga dijelaskan, bahwasanya

kekuasaan yang menjadi hakikat dari kedaulatan rakyat bersumber dari

Tuhan menuju Faqih dan akhirnya sampai pada manusia. Ketiga, pada pasal

6-8 ditetapkan bahwa urusan negara harus dijalankan berdasarkan pendapat

masyarakat yang diungkapkan melalui pemilihan umum atau referendum

dan memberikan hak untuk memilih presiden dan anggota majelis kepada

masyarakat. pada saat yang sama, faqih yang menjadi anggota tanpa dipilih

dan dewan pelindung diberi wewenang untuk menolak mandat calon

presiden dan anggota majelis. Lebih lanjut, dewan pelindung memiliki veto

atas semua ketetapan majelis. Keempat, kekuasaan presiden dibatasi karena

faqih adalah komandan angkatan bersenjata dan menjatuhkan presiden.

Kelima, walaupun konstitusi memberikan pelbagai kebebasan, termasuk

kebebasan pers dan berserikat, konstitusi juga membatasi mereka jika

dianggap berseberangan dengan Islam dan Republik.59

Karenanya, banyak yang mengatakan bahwa sistem pemerintahan di

Iran saat ini merupakan reinkarnasi dari konsep klasik teologi politik Syi`ah

yang dikombinasikan dengan sistem pemerintahan modern. Hal ini, diakui

sendiri oleh Ali Akbar Hasyemi Rafsanjani. Seraya bertanya ia

59
Mohsen Millani, Ibid.
69

mengungkapkan “Di mana anda dapat menemukan parlemen, Presiden, dan

Perdana Menteri dalam sejarah Islam? Delapan puluh persen yang kita

miliki sekarang tidak memiliki preseden dalam sejarah Islam”.60

Melalui wilayat al-faqih, Ayatullah Khomeini bermaksud

menjembatani doktrin politik Syi`ah dengan tradisi demokrasi. Ada yang

mengatakan konsep ini cukup ideal karena berhasil menggabungkan doktrin

politik klasik dengan iklim demokrasi. Bentuk negara Republik, multipartai

dan pelaksanaan Pemilu merupakan bentuk implementasi dari nilai

demokrasi yang dibingkai dalam form Islam.

Dalam konteks kekuatan politik, Republik Islam Iran

menyandarkannya pada tiga pilar penting yakni Legislatif, Eksekutif dan

Yudikatif. Kekuasaan legislatif dipegang oleh tiga lembaga yakni pertama,

Majlis e-Islami (Islamic Consultative Assembly, Majelis Konsultasi Islam

selanjutnya disebut Majelis). Majelis yang berfungsi sebagai parlemen

terdiri dari 270 anggota yang dipilih langsung oleh rakyat untuk masa

jabatan empat tahun.

Golongan minoritas masing-masihng mendapat satu anggota di

Majelis. Pemilihan legislatif terakhir kali dilaksanakan pada tanggal 20

Pebruari 2004 yang dimenangkan kubu konservatif secara mutlak. Mereka

berhasil menguasai 120 kursi parlemen. Sementara kubu reformis, hanya

menguasai 40 kursi. Padahal pada pemilu sebelumnya kubu reformis mampu

menguasai 190 kursi.

60
Mohsen Millani, Ibid.
70

Tetapi, kemenangan kubu konservatif itu tidak diimbangi dengan

partisipasi rakyat yang cukup tinggi dalam menenetukan arah kebijakan

pemerintah Iran. Kegetiran itu menunjukan bahwa pemilu legislatif hanya

diikuti oleh sekitar 50,57 % rakyat Iran yang berhak memberikan suara.

Jumlah peserta Pemilu tersebut merupakan jumlah pemilih terendah sejak

revolusi Iran tahun 1979.

Usut punya usut, salah satu penyebab minimnya jumlah rakyat Iran

yang memilih, dikarenakan manuver kubu konservatif—melalui Dewan

Garda Konstitusi—yang melakukan penjegalan terhadap para caleg dari

kubu reformis. Dari jumlah 8144 caleg yang mendaftar, Dewan Garda

mencoret 2517 caleg termasuk 80 mantan anggota legislatif kubu reformis.

Mengantisipasi pemboikotan Pemilu, tidak sedikit kotak-kotak suara

ditempatkan di area-area kuburan, karena pada hari Jumat tradisi rakyat Iran

menziarahi kuburan.61

Kedua, Shuraye-Nigahban (Dewan Perwalian) Berbeda dengan

Majelis, Dewan Perwalian mempunyai fungsi legislasi yang terbatas. Dewan

perwalian yang beranggotakan 12 orang yang terdiri dari enam orang

fuqaha yang diangkat oleh Imam atau Dewan Kwimanan dan enam ahli

hukum yang mahir dalam berbagai cabang hukum di antara para ahli hukum

muslimi ynag diperkenalkan kepada Majelis oleh Dewan Kehakiman

tertinggi (Shuraye A’li-ye Qazaii). Keenam ahli hukum itu diangkat oleh

Majelis.
61
M. Guntur Romli, Pemilu Iran dan Dilema Demokrasi Agama, Pengurus Cabang
Istimewa Nahdlatul Ulama Mesir: Buletin Tanwirul Afkar, Edisi 13, 2004.
71

Ketiga, Majelis-e Khubreqan (Majelis Ahli). Seperti halnya Dewan

Perwalian, Majelis Ahli memiliki fungsi yang terbatas, namun cukup

menentukan. Majelis Ahli berfungsi untuk memilih dan atau

memberhentikan seorang pemimpin (Imam). Majelis Ahli beranggotakan 73

Ulama senior yang dipilih secara langsung oleh rakyat.

Sementara dalam kekuasaan eksekutif, kekuasaan tertinggi berada di

tangan Presiden. Berdasarkan pasal 113 Undang-undang Dasar disebutkan

bahwa Presiden bertanggungjawab dalam penerapan Undang-undang Dasar,

pengaturan ketiga cabang kekuasaan dan meimpin cabang eksekutif kecuali

dalam hal-hal yang secara langsung menjadi tanggungjawab Imam atau

pemimpin spiritual. Presiden dipilih untuk masa jabatan empat tahun dan

dipilih melalui pemilihan umum. Presiden hanya dapat dipilih kembali untuk

satu masa jabatan lagi secara berurutan.

Kekuasaan yudikatif yang terdiri dari Mahkamah Agung, Pengadilan

Tinggi dan Pengadilan rendah. Lembaga peradilan harus merupakan

kekuatan yang independen, membela dan melindungi hak-hak individu dan

social rakyat.62

62
Selain kekuasaan di tiga pilar tersebut, terdapat berbagai macam instrumen
pemerintahan yang biasa dikenal dalam system pemerintahan suatu negeara, di Iran terdapat
beberapa Dewan yang menjadi cirri keunikan pemerintahan revolusioner yang sangat berperan dan
berpengaruh yakni Majelis Ulama yang terdiri dari 80 Ulama pilihan yang bertanggungjawab
dalam hal-hal utama seperti melaksanakan revisi terhadap UU Dasar 1979 serta memilih pengganti
atau penerus Khomeini. Kedua, Dewan Penjaga Konstitusi yang terdiri dari 12 anggota bergugas
melakukan penyaringan dan memodifikasi semua Undang-undang dari Majelis sebelum diteruskan
ke Faqih. Ketiga, Dewan Revolusi yang bertugas mengatur Pasukan Pengawal Revolusi atau
Pasdaran. Keempat, sebagai tambahan dari seksi Dewan Militer Revolusi, dibentuklah seksi sosial
politik dan ekonomi yang dihubungkan dengan masjid yang tersebar di seluruh Iran. Kelima, para
pemimpin agama yang ditempatkan di masjid-masjid berfungsi sebagai Administrator Lokal.
Selengkapnya lihat dalam Noor Arif Maulana, Revolusi Islam Iran dan Realisasi Vilayat-I Faqih,
Jogjakarta: Kreasi Wacana, 2003, hlm. 175-177
72

Meski wilayat al-Faqih diproyeksikan untuk memadukan pemikiran

keagamaan dan sistem politik modern, tetapi bukan berarti idealitas tersebut

merembet pada dataran realitas. Satu contoh yang bisa kita ambil adalah

betapa kecilnya partisipasi politik warga Iran pada pemilu legislatif 2004.

Sedikitnya jumlah pemilih menjadi cermin betapa rakyat cukup kesal

terhadap sistem politik negara Iran yang tidak memberikan ruang bagi

tersalurkannya aspirasi rakyat. Seperti yang diketahui, meski negara Iran

berbentuk republik yang memiliki presiden dan parlemen, serta dipilih

langsung oleh rakyat, tetapi kekuasaan presiden dan parlemen di bawah

kekuasaan Pemimpin Spiritual (walî faqîh) dan Dewan Penjaga Konstitusi

(Majlis li Siyânah al-Dustûr). Pemimpin spiritual memiliki kekuasaan yang

mutlak dan tidak terbatas. Sedangkan Dewan Garda sebagai tangan panjang

pemimpin spiritual memiliki hak untuk menyeleksi caleg/capres dan

menjaga UU revolusi Iran sentuhan reformasi.

Dari sini, memang kerumitan sistem politik itu cukup kentara terlihat.

Meski rakyat berhak memilih presiden dan wakil presiden serta wakilnya di

legislatif, tetapi ihwal siapa yang berhak dipilih, semuanya ditentukan oleh

wali faqih dan dewan garda tersebut. Tentu saja keputusan tersebut tidak

lepas dari tarik menarik kepentingan antara kubu konservatif dan reformis.

Di sinilah bisa dikatakan bahwa demokrasi memiliki ambivalensi.

Saat pemilu legislatif bergulir pada 2004, presiden Mohammed

Khatami yang berasal dari kubu reformsi, tidak bisa melepaskan diri dari

kepungan anggota legislatif, terutama dari konservatif yang menguasai


73

hampir 75% dari kursi yang tersedia. Selain tentu saja karena faktor sistem

politik (baca: wilayat al-faqih) yang membuat proses demokratisasi menjadi

tersendat.

Musthafa Abd. Rahman, dalam bukunya "Iran Pasca Revolusi"

mengatakan bahwa sebuah paradigma politik dilematis sedang terjadi di Iran

saat ini, bahkan paling rumit sejak revolusi 1979. Di satu sisi rakyat Iran

menuntut reformasi, namun di sisi lain perangkat-perangkat negara belum

siap menciptakan kondisi yang kondusif bagi bergulirnya arus reformasi

itu.63

Dan semuanya itu sebenarnya berakar pada sistem pemerintahan (baca:

wilayat al-faqih) yang masih diliputi perdebatan yang cukup rumit. Ada

gambaran cukup menarik untuk menggambarkan hal ini. Mohammed

Khatami sebagaimana dikutip Musthafa Abd. Rahman, menekankan

pentingya kedaulatan rakyat dalam sebuah system pemerintahan. Ia

mengatakan bahwa presiden haruslah bertanggungjawab kepada majles yang

menjadi manifestasi kedaulatan rakyat.64 Ungkapan ini sebenarnya adalah

bentuk kritiknya terhadap konsep wilayat al-faqih yang mengharuskan

presiden bertanggungjawab kepada faqih, bukan rakyat.

Pernyataan Khatami tersebut, sebenarnya sudah cukup lama

disuarakan para cendekiawan muslim liberal Iran. Salah satunya adalah

Abdolkarim Soroush. Ia mengatakan bahwa bentuk pemerintahan wilayat al-

63
Musthafa Abd. Rahman, Iran Pasca Revolusi: Fenomena Pertarungan Kubu Reformis
dan Konservatif, Jakarta: Kompas 2003, hlm. 98.
64
Musthafa Abd. Rahman, Ibid., hlm. xxi-xxii
74

faqih adalah anakronisme.65 Tak hanya itu ia mengatakan bahwa

sesungguhnya konsep wilayat al-faqih, tidak selaras dengan asas demokrasi.

Meskipun demikian, Soroush menolak untuk dikatakan sebagai hakim yang

baik bagi pemikirannya. Ia mengatakan, “I’m not a good judge for my own

ideas”.66

Gelora reformasi yang disuarakan oleh Khatami dan Soroush sudah

pasti mendapatkan reaksi yang cukup keras dari kelompok Mullah. Kaum

mullah dan fakih mengatakan bahwa para penentang konsep wilayat al-faqih

adalah orang-orang murtad, karena telah menyimpang dari konsep yang

telah dirumuskan Ayatullah Khomeini. Ayatullah Mohammad Reza

Mahdavi-Kani dengan keras menentang Khatami, yang berusaha

menundukan otoritas Ulama ke bawah pangkuan kedaulatan rakyat. Seperti

yang dikuti Musthafa Abd. Rahman, Mahdavi-Kani mengatakan “Awas dan

hati-hatilah ketika mereka berani berkata bahwa legitimasi wilayat al-faqih

harus berdasarkan tuntutan dan mandat rakyat, sehingga tak satu pun yang

tersisa. Adalah bodoh membiarkan penyimpangan ini atas nama

kebebasan”.67

Gambaran di atas merupakan fenomena mutakhir yang berkembang di

Iran saat ini. Ada pertarungan antara kubu reformis dan konservatif dan

tafsir yang beragam atas konsep wilayat al-faqih. Satu lagi yang tak kalah

65
Elaborasi mengenai pemikiran Abdul Karim Soroush selengkapnya pada bab III ,
terutama dalam sub bab Anakronisme Wilayat al-Faqih.
66
Abdul Karim Soroush, Democracy and Rationality, Shargh Newspaper, 2003.
67
Musthafa Abd. Rahman, op.cit., hlm. xxii.
75

menarik untuk diperbincangkan adalah pasang surutnya hubungan Iran

dengan Amerika.

Isu tentang hubungan Iran dan Amerika mencuat ke permukaan saat

Mahmoud Ahmadinejad terpilih sebagai presiden Iran pada 17 Juni 2005

lalu. Seperti yang dikutip oleh harian Mehran times, Ahmadinejad

mengatakan bahwa kebijakan luar negeri Iran akan ia bangun diatas prinsip

keadilan, perdamaian dan solidaritas. Ketika ditanya hubungan dengan

Amerika, ia mengatakan, "We are willing to develop relations with all

nations based on justice and mutual respect”.68

Hanya saja sudah menjadi rahasia umum, bahwa sejak lama

hubungan Iran dan Amerika mengalami pasang surut. Ini tak lain akibat

kengototan pemerintah Iran untuk tetap melanjutkan program nuklirnya.

Sementara Amerika mengkhawatirkan program yang dilaksanakan oleh

pemerintah Iran ini akan digunakan sebagai alat untuk bertempur.

Dan sepertinya pemerintah Ahmadinejad yang mulai bekerja

Agustus nanti, tetap akan melanjutkan program ini. Ia mengatakan bahwa

program nuklir diperlukan untuk memenuhi kebutuhan energi Iran.69

Hubungan Iran Amerika yang tak menentu ini nampaknya akan semakin

tidak keruan, melihat begitu akomodatifnya pihak Rusia.

Ketika memberikan ucapan selamat kepada Ahmadinejad, Presiden

Rusia Vladimir Putin mengatakan, Moskow akan terus meningkatkan

hubungan nuklir dengan kepemimpinan baru negeri itu. Menurutnya, kontak


68
Seperti dikutip oleh Mehr News pada tanggal 26 Juni 2005, atau lihat dalam
http://www.mehrnews.ir/en/NewsDetail.aspx?NewsID=200058
69
Mehrnews, Ibid.
76

Rusia dengan Iran -- termasuk pembangunan fasilitas nuklir Busher -- sejauh

ini membuat marah Washington, yang mengatakan Teheran dapat

menggunakan ilmu pengetahuan Moskow bagi pengembangan senjata atom.

Untuk membuat dunia lebih yakin dengan program nuklir Iran, Putin

menegaskan bahwa Iran membangun program nuklirnya dengan maksud

damai. Moskow dan Teheran, yang hubungan nuklirnya sudah terjalin sejak

awal 1990-an, menandatangai kesepakatan pasokan bahan bakar awal tahun

ini yang melicinkan jalan bagi Busher untuk memulai kegiatannya pada

akhir 2006.

Dari sini sebenarnya sulit untuk mengatakan bahwa hubungan Iran

dan AS akan segera membaik dalam waktu dekat. Apalagi kemudian melihat

kenyataan bahwa Kremlin terus menerus merapat ke Teheran. Dalam

konteks percaturan politik global, hal ini memang sudah lumrah dan menjadi

semacam menu utama hidangan politik dunia. Dampaknya hingga saat ini,

rakyat Iran masih selalu mengobarkan kebencian terhadap Amerika.

Terbukti ketika para calon pemilih menunggu gilirannya, mereka bersuara

lantang, “Hancurlah Amerika”.70

Hemat penulis apa yang menyebabkan rakyat Iran begitu benci

kepada Amerika adalah karena dominasi AS yang datang ke Timur Tengah

(baca Iran) dengan hasrat yang tinggi untuk menguasai minyak mentah dan

gas alam di kawasan itu. Tak jarang pemerintah AS turut intervensi terhadap

70
Kompas, 25 Juni 2005.
77

kebijakan negara Iran, untuk mewujudkan keinginannya itu. Salah satunya

kebijakan tentang program nuklir itu.

Dengan demikian, apa yang membuat rakyat Iran marah kepada

pemerintah AS lebih karena didasarkan pada persoalan politik dan kebijakan

luar negerinya yang cenderung imperatif-totalitarian. Bahkan, bila perlu

pemerintah AS menggunakan kekuatan bersenjata untuk menghalalu lawan

politknya. Atas dasar inilah AS melakukan penyerangan terhadap Irak

semasa negara tetangga Iran itu dipimpin oleh Saddam Hussein.

Lalu bagaimanakah respon rakyat Iran terhadap produk pemikiran

AS, semisal pluralisme, penegakan HAM, demokrasi, sekularisme dan lain-

lain. Apakah juga ada kecenderungan yang sama ketika mereka melihat AS

dari sisi politik?.

Untuk menjawab pertanyaan ini memang membutuhkan kehati-

hatian. Karena apa yang dituliskan sebenarnya belum bisa mewakili

kecenderungan umum masyarakat Iran terhadap produk pemikiran yang

berkembang di AS. Yang jelas gelombang Anti-Amerika di Iran bukanlah

dipicu oleh kebencian terhadap freedom of speech, freedom of expression

yang dulu digagas oleh Abraham Lincoln. Juga bukan kebencian terhadap

model pemerintahan demokrasi yang mensubordinatkan kedaulatan Tuhan.

Fenomena ini pernah ditunjukan dengan baik oleh presiden

Muhammed Khatami ketika terjadi gelombang demonstrasi yang cukup

besar menuntut pengunduran dirinya di tahun 2003. Sebagai presiden yang

dipilih langsung oleh rakyat ia merasa bertanggungjawab penuh kepada


78

rakyat. Dan kapanpun rakyat bisa menurunkannya. Dalam satu kesempatan,

Khatami menyatakan akan mengundurkan diri bila memang rakyat tidak

menghendaki lagi. Saat itu ia mengatakan "Kita semua bukanlah penguasa

atas rakyat, melainkan abdi negara. Bila mereka mengatakan, kami tidak

menghendaki Anda lagi, maka kita akan mundur".71

Ungkapan Khatami ini sekaligus menjadi pertanda bahwa dalam

batas-batas tertentu, Iran sebenarnya sedang mempraktekan sistem sosial

yang juga berkembang di AS. Kenyataan ini bertambah kuat manakala kita

menyaksikan begitu hebatnya dinamika pemikiran keagamaan yang

berkembang di Iran.

Persoalan lain yang menjadi penting untuk diperhatikan dalam

dinamika pemerintahan Iran adalah isu tentang gender. Di Iran, salah satu

majalah wanita terkemuka adalah Zanan (perempuan). Majalah ini sangat

aktif mebahas peran dan hak wanita Iran yang mereka pandang sangat

terpojokkan oleh sikap politik kaum Mullah Konservatif.72 Sebagaimana

dikutip oleh Bambang Cipto, dalam penerbitan perdananya pada tahun 1991

majalah ini menyoroti secara kritis nasib getir kaum perempuan Iran.

Dalam majalah itu disebutkan Kami yakin bahwa solusi terhadap

persoalan perempuan tergantung pada empat bidang: agama, budaya, hukum

dan pendidikan. atas nama agama mereka (kaum Mullah Konservatif)

menginginkan agar kami kaum perempuan tetap bersembunyi di rumah agar

71
Kompas, 13 Juli 2003.
72
Lihat dalam Bambang Cipto, Dinamika Politik Iran: Puritanisme Ulama, Proses
Demokratisasi dan Fenomena Khatami, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 82.
79

mereka tetap yakin bahwa perempuan tidak lebih dari sekadar alat

reproduksi biologis…perempuan tidak membutuhkan ilmu, kesadaran dan

partisipasi sosial… Dalam budaya kita, perempuan dianggap sebagai jenis

kelamin kedua yang tidak memiliki kepribadian tanpa kehadiran suami dan

hanya memiliki kehormatan semata-mata karena mereka memberikan anak

bagi suaminya. Pendidikan adalha salah satu dasar bagi pembentukan

kesadaran perempuan dan akan membuka jalan bagi perempuan untuk

menemukan diri mereka.73

Menurut Mehrzad Boroujerdi, ada beberapa point yang menjadi

pertanyaan besar dalam dinamika politik Iran pasca Revolusi. Terma yang

patut menjadi bahan refleksi menurut Boroujerdi adalah terkait dengan

Demokrasi, Epistemologi dan Interpretasi terhadap Islam, Islam dan

Ideologi, Islam dan Modernitas, Islam dan Barat, Pluralisme, Agama dan

Tekhnologi serta relasi antara Hak dan Kebebasan.74

Apa yang menjadi pengalaman di negeri Iran, memang menjadikan

posisi wilayat al-Faqih sangat dilematis. Alih-alih berhasil memadukan

suara rakyat dengan suara Tuhan, wilayat al-faqih justru membuat dua

kedaulatan itu saling bertarung. Akibatnya posisi demokrasi berada pada

ruang yang sangat sempit untuk diaplikasikan, karena berhadapan dengan

supremasi Tuhan yang diwakili oleh suara agama melalui gaungan oleh para

faqih.

73
Bambang Cipto, Ibid.
74
Mehrzad Boroujerdi, “The Paradoxes of Politics in Post-Revolutionary Iran”, dalam
John L. Esposito and R.K. Ramazani, Iran at the Crossroads, New York: 2001, hlm. 13-27.
80

Eksperimentasi wilayat al-faqih itulah yang juga membuat perpolitikan

di Iran memasuki masa kelam. Otoritas para faqih mengakibatkan ulama

yang memiliki kapasitas di luar itu tidak bisa berpartisipasi dalam

pengambilan keputusan hukum maupun politik. Apalagi kekuasaan faqih

yang ternyata diperluas tidak hanya sebatas pengawasan dan memberikan

nasihat. Tetapi para faqih juga turut campur dalam persoalan eksekusi

kebijakan sosial politik yang sebelumnya jelas-jelas menjadi tanggung

jawab eksekutif.

Pengalaman penerapan doktrin wilayat al-faqih di Iran, menjadi

sinyalemen akan usangnya doktrin politik Islam. Imamah, Khilafah, dan

Daulah Islamiyyah, dalam batas-batas tertentu, sepertinya sudah tidak lagi

sesuai dengan agenda demokrasi yang menjadi tuntutan masyarakat dunia

saat ini. Karena bagaimanapun juga demokrasi sangat terkait dengan upaya

penghargaan yang luas terhadap pluralisme, kesetaraan, emansipatoris dan

kebebasan berpendapat.

Doktrin politik Syi`ah yang menyebutkan pemimpin hanya

diperbolehkan jika berasal dari kerabat Nabi Muhammad jelas menyalahi

logika politik yang saat ini berkembang. Kualifikasi pemimpin yang baik

saat ini bukan didasarkan pada model kekerabatan. Tetapi persoalan yang

paling essensial dalam menentukan figur pemimpin adalah sejauhmana ia

memiliki visi humanis, berkeadilan dan aspiratif.

Inilah yang menyebabkan doktrin politik Syi`ah terlihat eksklusif.

Persoalan bertambah pelik manakala kita memperdebatkan siapa yang harus


81

menjadi Imam ketika menunggu kehadiran Imam kedua belas yang entah

berada dimana. Dan bagaimanakah kualifikasinya. Siapa pula yang berhak

menentukan dan menunjuk ulama pengganti Imam tersebut. Penulis melihat

justru perdebatan akan semakin tidak menentu dan menjurus pada truth

claim.

Tak hanya dalam tradisi politik Syi`ah, masalah juga menggelayut

dalam pemikiran politik Sunni. Konsep Khilafah Islamiyyah yang digadang-

gadang bisa menjadi solusi atas semua problem juga pada prakteknya tidak

lepas dari berbagai persoalan. Bahkan pada awal penerapan konsep

Khilafah, tiga kepemimpinan Khulafaur Rasyidin yang dianggap konsep

ideal, ternyata berakhir dengan pembunuhan ketiganya.

Ini membuktikan bahwa Khilafah juga tidak lepas dari keterbatasan-

kerterbatasan. Mereka yang saat ini menginginkan tegaknya Khilafah

sebenarnya sedang beromantisme dengan idealitas masa lalu, tapi tidak

diimbangi dengan pembacaan yang kritis atas sirah para sahabat.

Dari sini, umat Islam seharusnya sadar dan tidak terjebak dalam

romantisme sejarah masa lalu. Konsep politik Islam klasik baik Imamah

yang berasal dari Syi`ah maupun Khilafah yang sering didengung-

dengungkan penganut madzhab Sunni, sudah selayaknya dilihat dan

diletakan pada porsi yang tepat. Keduanya merupakan doktrin yang ideal

pada zamannya. Dan belum tentu relevan jika dipraktekan pada saat ini.

Penulis agak tertarik dengan gagasan Soroush tentang kepemimpinan

dalam masyarakat agamis. Menurutnya saat ini kita memerlukan orang yang
82

dapat mengajarkan kita tentang agama yang bisa eksis di dunia modern.75

Dan orang yang mampu melaksanakan fungsi itu, bukanlah seorang faqih

juga bukan teolog. Dia adalah seorang yang memiliki kapasitas setara

dengan ilmuwan. Melalui keramahan yang ia tunjukan kepada orang yang

berada di sekitarnya, di adapat menagajak orang lain ke dalam pencerahan

dan mengajarinya moralitas serta akhlak. Religiusitas modern akan terlahir

dari cahaya yang dipancarkan oleh “wali” baru ini.76

D. Letak Kedaulatan: Antara Tuhan dan Manusia

Akbar S. Ahmed dalam bukunya “Islam Under Siege; Living

Dangerously in a Post-Honor World” mengungkapkan bahwa di dunia

Islam, saat ini ada empat karakteristik mendasar dari konsepsi

kepemimpinan.77 Kategori kepemimpinan muslim pertama adalah penguasa-

penguasa Muslim. Mereka tujuan mengembalikan iman dan praktik Islam.

Mereka bereaksi terhadap kebencian masyarakat Internasional dan

karenanya mendukung hiper-‘ashabiyyah. Iran adalah negara yang bisa

merepresentasikan model ini.

Kategori pemimpin yang kedua adalah penguasa militer (Jenderal Zia

Ul Haq di Pakistan dan Saddam Husein di Irak) juga monarki. Di banyak

negara dengan kategori pemimpin seperti ini, struktur-struktur kesukuan

yang masih berlaku menjadi tulang punggung bagi struktur-struktur negara.

75
Abdul Karim Soroush, Mahdaviyat va Ehya-ye Din, op.cit.
76
Abdul Karim Soroush, Mahdaviyat va Ehya-ye Din, Ibid.
77
Akbar S. Ahmed, Islam Under Siege: Living Dangerously in a Post-Honor World,
(terj) Agung Prihantoro, “Islam Sebagai Tertuduh: Kambing Hitam di Tengah Kekerasan Global”,
Bandung: Arasy, 2004, hlm. 172-178.
83

Maka setelah menguasai negara, klan kesukuan yang masih dominan

menjadi penguasa istana, pejabat senior dan pengusaha.78

Sementara kategori ketiga dari model kepemimpinan di dunia muslim

saat ini adalah pemimpin sosialis/komunis. Daya tariknya adalah pada

retorika tentang kepedulian mereka terhadap masyarakat miskin. Di Irak dan

Suriah, dictator-diktator brutal, dengan sedikit kebajikan dan keadilan Islam,

menyandarkan kekuasaan mereka pada polisi rahasia. Setelah perang dingin,

kepemimpinan jenis ini memiliki daya topang atau daya tarik yang tidaklah

terlalu besar.

Kategori yang terakhir adalah pemimpin demokratis, yang barangkali

biasa dipraktekan oleh pemimpin yang ada di Mesir, Turki dan Bangladesh

atau Pakistan. Negara-negara ini menyelenggarakan pemilihan, meskipun

juga memiliki sejarah dalam memberlakukan hukum darurat perang semasa

krisis.

Hemat penulis pandangan yang ditawarkan oleh Akbar tersebut

sebenarnya bisa kita jadikan sebagai starting point untuk melihat di mana

sebenarnya letak kedaulatan. Tetapi dalam konteks ini penulis mencoba

melihat letak kedaulatan sebagai jalan untuk memahami bagaimana

78
Kepemimpinan model monarchiredites sebenarnya patut menjadi sorotan. Ini tak lain
karena biasanya dalam sistem pemerintahan ini, demokrasi sulit untuk bernafas. Keputusan atau
kebijakan semuanya terpusat dan diputuskan oleh negara. Tidak ada suara lain yang bisa
seenaknya bergema selain suara penguasa. Tafsir atas doktrin keagamaan didesain sama dan hanya
tafsiran sang penguasalah yang paling absah. Arab Saudi, dalam pandangan saya sangat tepat
untuk menggambarkan situasi seperti ini. Apalagi sejak kongkalikong Muhammad Ibn Saud yang
penguasa dengan Muhammad Ibn Abd Wahhab (1703-1783) yang berakhir dengan dijadikannya
Wahabisme sebagai ideologi negara. Ibn Abd Wahhab adalah salah satu dari sekian banyak
pemikir yang berjasa bagi gerakan revivalis khususnya menyediakan konteks bagi perkembangan
Islamisme di Timur Tengah abad ke 18. Lihat dalam Tedi Kholiludin, Gelombang Neo
Wahabisme, Jurnal Justisia edisi 28, 2005, hlm. 2-8.
84

sebenarnya konsep kedaulatan yang ada di Iran melalui sistem wilayat al-

faqih yang mereka praktekan.

Pertanyaan pertama yang dikemukakan tentang kedaulatan adalah dari

mana sumber kedaulatan yang dimiliki oleh pemerintah itu berasal. Istilah

kedaulatan lazimnya dipahami berasal dari terjemahan kata seperti

sovereignty, souverainete, sovereigniteit, souvereyn, sperenus dan lain-lain.

Kata tersebut menunjuk pada pengertian kekuasaan tertinggi dalam atau dari

suatu negara. Kedaulatan juga bisa disebut sebagai konsep kekuasaan

absolut atau kekuasaan paling tinggi dalam sebuah negara.79

Kata kedaulatan itu sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Arab yaitu

dala, yadulu daulatan atau dalam bentuk jamak duwal yang asal maknanya

adalah perubahan atau pergantian. Selain itu istilah daulat juga dipergunakan

secara histories untuk pengertian “dinasti” atau kurun waktu kekuasaan.

Dalam buku-buku sejarah seringkali kita temukan adanya Daulat Bani

Umayah, Daulat Bani Abasiyah atau Daulat Bani Fatimiyah.

Dengan kata lain, pengertian kedaulatan sebenarnya menunjuk

kekuasaan tertinggi dalam sebuah negara. Persoalannya, darimanakah

sumber kedaulatan itu?

Ada beberapa teori yang bisa menjawab pertanyaan ini. Pertama,

Kedaulatan Tuhan. Teori ini merupakan teori yang paling tua dilihat dari sisi

kemunculannya. Inti dari teori ini adalah bahwa kekuasan pemerintahan itu

dimiliki oleh Tuhan atau ada pada Tuhan.

79
M. Hasbi Amirudin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman,Yogyakarta: UII
Press, 2000, hlm. 101.
85

Teori ini berkembang pada zaman abad pertengahan antara abad 5 M

sampai abad 15 M.80 Dalam perkembangannya, teori ini sangat erat

hubungannya dengan perkembangan agama baru yang timbul pada saat itu

yaitu agama Kristen yang kemudian diorganisir dalam suatu prganisasi

keagamaan yaitu gereja dan dikepalai seorang Paus. Dalam paham ini sering

kita temukan adanya pemerintah yang sering bertindak dengan

mengatasnamakan Tuhan.

Pada perkembangannya, teori kedaulatan ini dapat kita temukan dalam

negara yang mengembangkan sistem pemerintahan teokratis. Namun,

penganut teokrasi sekalipun berbeda pendapat tentang hal ini. Meski

penganut teokrasi ini percaya bahwa Tuhan memiliki kekuasaan tertinggi

adalah Tuhan, tetapi ketika berbicara siapa wakil Tuhan di muka bumi,

maka munculah banyak pendapat tentang hal ini.

Kelompok pertama adalah mereka yang mengatakan bahwa yang

mewakili Tuhan adalah Paus. Penganut pendapat ini adalah Agustinus.

Sementara kelompok kedua adalah yang mengatakan bahwa kekuasaan raja

dan Paus adalah sama, hanya tugasnya saja yang berlainan, raja dalam

lapangan keduniawian sementara Paus dalam lapangan keagamaan.

Penganut teori ini adalah Thomas Aquinas. Dan kelompok terakhir adalah

mereka yang berpendapat bahwa raja itu adalah wakil Tuhan untuk

melaksanakan kedaulatan atau memegang kedaulatan di dunia.

80
M. Hasbi Amirudin, Ibid., hlm. 103.
86

Dalam perkembagannya, raja-raja tersebut seringkali bertindak dan

berkehendak apa saja karena mereka merasa itu semua dikehendaki Tuhan.

Bahkan raja tak jarang menetapkan agama dan kepercayaan yang harus

dianut oleh rakyat atau warganya. Ajaran ini dikembangkan oelh

Marsilius.81

Dalam konstitusi Argentina disebutkan bahwa Tuhan sebagai “sumber

atas semua alas an dan keadilan”. Sementara dalam konstitusi Jerman

disebutkan bahwa “kesadaran terhadap tangggungjawab di hadapan Tuhan

dan manusia”.82 Ini membuktikan bahwa di era modern, klaim yang

mengatasnamakan Tuhan masih dipegang oleh beberapa negara.

Kedua, teori kedaulatan raja. Teori tentang kedaulatan raja merupakan

kelanjuutan dari teori tentang kekuasaan tertinggi gereja yang setelah abad

pertengahan mulai tidak diminati lagi. Ajaran Nicolo Machiavelli diakui

atau tidak, memberikan inspirasi bagi berkembangya teori tentang

kedaulatan raja ini. Nicolo Machiavelli mengembangkan ajaran bahwa

negara bertujuan untuk mengusahakan terselenggaranya ketertiban,

keamanan dan ketentraman.83 Dan ini hanya dapat dicapai oleh pemerintah

yang memiliki kekuasaan serta menghimpun kekuasaan yang sebesar-

besarnya berada di tangan raja.

81
M. Hasbi Amirudin, Ibid., 104-105.
82
Sebagaimana dikutip oleh John Markoff, Waves of Democracy, Social Movements and
Political Change, (terj) Ari Setyaningrum, “Gelombang Demokrasi Dunia: Gerakan Sosial dan
Perubahan Politik”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan CCCS, 2002, hlm. 29.
83
M. Hasbi Amirudin, Ibid.
87

Ketiga, teori kedaulatan negara. Teori ini memandang bahwa negara

berdaulat karena ada negara. Jadi sumber kedaulatan adalha negara itu

sendiri. Karen ada negara maka ada kekuasaan yang diperoleh oleh

pemintah dari negara itu.84 Dalam teori ini disebutkan bahwa negaralah yang

menentukan huum dan ketaatan rakyat termasuk rajanya kepaa hukum,

karena hukum itu merupakan kehendak negara.

Keempat, teori kedaulatan Hukum. Teori kedaulatan hukum

mengemukakan bahwa supremasi tertinggi ada dalam hukum. Hukum

merupakan penjelmaan dari kemauan negara akan tetapi dalam

keanggotaannya, negara sendiri tunduk kepada hukum yang dibuatnya.

Semua kegiatan lembaga kenegaraan haruslah tunduk, dibatasi dan

berdasarkan hukum.

Kelima, teori kedaulatan rakyat. Menurut teori ini, negara memperoleh

kekuasaan dari rakyatnya bukan dari Tuhan atau raja. Dalam

pelasksanaannya, lembaga pemerintahan harus berpiojak pada keinginan

rakyat. Dalam ilmu politik kita kenal istilah social contract. Ini artinya

bahwa jika dalam menjalankan tugasnya pemerintah itu bertindak tidak

sesuai dengan kesepakatan, maka pemrintah bisa digugat oleh rakyatnya.

Lima teori yang berkembang di atas juga dapat kita temukan dalam

literatur-literatur Islam. Teori tentang kedaulatan Tuhan misalnya dapat kita

temukan dalam sejarah politik Islam pada masa Bani Abasiyah. Di masa

84
Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta: Rineka
Cipta, 2001, hlm. 67.
88

kontemporer, teori ini dipegang oleh Imam Khomeini ketika menetapkan

wilayat al-Faqih sebagai sistem pemerintahan Iran.

Sementara teori kedaulatan rakyat pernah diajukan oleh Ibnu Sina yang

berpendapat bahwa pemilihan kepala negara bisa dijalankan dengan dua cara

yaitu 1) dengan pencalonan dari kepala negara yang sebelumnya 2) dengan

pilihan oleh para elit yang dipercayai oleh rakyat.85 Gambaran ini

menunjukan bahwa ada keinginan untuk mengalihkan kekuasaan ke tangan

rakyat.

Pertanyaan kita kemudian adalah kedaulatan manakah yang paling

benar dan model kedaulatan apa yang saat ini dijalankan oleh pemerintahan

Iran? Benarkah semuanya adalah milik Tuhan dan menegasikan adanya

titipan kedaulatan yang diperuntukan bagi rakyat.

Jika pertanyaan yang diajukan adalah tentang kebenaran dari teori

kedaulatan itu, maka jawabannya tentu semua teori itu bisa benar karena

memang berangkat dari gagasan maupun dari realitas. Begitu juga ketika

kita ingin melihat kedaulatan yang ada dalam pemerintahan Iran. Meski

dalam pasal 2 konstitusi Iran dinyatakan bahwa Republik Islam Iran adalah

suatu sistem yang berlandaskan keyakinan pada Ketuhanan Yang Maha Esa.

Kedaulatan eksklusif dan hak mengatur-Nya yang eksklusif, serta

keniscayaannya untuk patuh pada perintahNya, tetapi dalam batas-batas

tertentu kita melihat ada kedaulatan lain yang tidak semata-mata milik

Tuhan.

85
Hasbi Amirudin, op.cit, hlm 109.
89

Sebelum menjawab persoalan tersebut, ada baiknya kita melihat

perkembangan kedaulatan tersebut dari masa ke masa.

a). Pada mulanya sovereignty berarti kekuasaan absolut tertinggi dan tidak

dapat dibagi-bagi seprti penggunaan istilah kedaulatan tuan tanah di

wilayahnya masing-masing.

b). (Tetapi) setelah muncul raja-raja yang absolut maka kekuasaan itu

menjadi terbagi, sehingga kedaulatan keluar dipegang oleh raja sedangkan

kedaultan ke dalam dipegang oleh tuan tanah sendiri.86

Robert Mac Iver sebagaimana dikutip oleh Mahfud MD, mengatakan

bahwa arti kedaulatan terbagi ke dalam tiga fase yaitu, pertama, Fase

komparatif yaitu fase yang mengartikan kedaulatan pada zaman feudal abad-

abad pertengahan yakni ketika kedaulatan berada pada raja-raja dan tuan

tanah. Kedua, fase absolut yaitu fase ketika zaman raja-raja absolut saat

mana kedaulatan sepenuhnya ada di tangan raja dan tidak terbagi-bagi.

Ketiga, fase relatif yaitu Fase zaman modern yang ternyata kedaulatas satu

negara adalah relatif apabila dibandingkan dengan kedaulatan negara lain

dalam lapangan internasional.87

Dalam pandangan Ahmad Basso, konsep tentang kedaulatan

(sovereignty) yang berpadu dengan government (pemerintahan) serta disiplin

(discipline) akan membentuk kekuasaan modern.88 Governmentality adalah

satu model kekuasaan pastoral yang berkepentingan dengan kesejahteraan

86
Moh. Mahfud MD, op.cit., hlm. 68.
87
Ibid.
88
Ahmad Baso, Islam Pasca Kolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme dan
Liberalisme, Bandung: Mizan, 2005, hlm. 157.
90

masing-masing dan semua penduduk berfungsi memperkenalkan ekonomi

dalam pengaturan individu, barang dan kesejahteraan dalam keluarga pada

level segenap kekuasaan negara, yang berarti melaksanakan fungsi

pengawasan dan kontrol terhadap penduduk dan kekayaannya sepertihalnya

perhatian kepala keluarga terhadap segenap anggota keluarganya beserta

kekayaannya.89

Sementara, kedaulatan (sovereignty) berkaitan dengan penguasaan atas

teritori, legitimasi dan ketaatan terhadap hukum, sementara disiplin terkait

dengan lembaga-lembaga seperti sekolah, penjara, pabrik dan rumah sakit.90

Dengan demikian, pemerintah sebenarnya tengah mempraktekan system

sentralistik yagn mengambil posisi “bapak” terhadap “anaknya”. Dengan

demikian pemerintah sebenarnya tengah menjadikan rakyatnya sebagai

penduduk yang sehat dan produktif.91

Analisa ini bermaksud bahwa negara sebenarnya tengah melakukan

proses “disiplin tubuh” terhadap rakyatnya. Di sini, kedaulatan negara

mutlak menjadi legitimasi atas politik yang dilakukan oleh negara.

Kedaulatan menjadi begitu penting sebagai instrumen untuk melakukan

dominasi.

Saat kita mengalihkan perhatian ke dalam konteks pemerintahan Iran,

maka jawaban atas sumber kedaulatan sepertinya akan langsung dijawab

dengan kata-kata kedaulatan Tuhan. Jika yang menjadi rujukan adalah pasal

89
Ahmad Baso, Ibid.
90
Ahmad Baso, Ibid.
91
Ahmad Baso, Ibid.
91

2 dalam konstitusi, mungkin jawabannya ya. Tetapi jika yang dilihat adalah

sistem dan praktek politik secara holistik, maka sebenarnya ada dimensi

rakyat dalam pelaksanaan politik.

Pemilihan presiden dan legislatif oleh rakyat, bisa dikatakan sebagai

wujud dari aplikasi kedaulatan rakyat. Meski pada dasarnya kedaulatan di

Iran mutlak milik Tuhan, tetapi ihwal siapa yang menjadi presiden dan

anggota legislatif rakyat turut berpartisipasi.

Hanya saja kedaulatan rakyat itupun menjadi semu karena ada

kekuasaan yang tak terbatas dari Faqih. Meski rakyat berkehendak, tetapi

kehendak tersebut tidak bisa melampaui kekuasaan faqih. Atas dasar ini

maka penulis bisa menarik benang merah bahwa demokrasi yang coba

dipadukan dengan system politik dari sekte Syi’ah barulah sebatas pseudo

democracy. Begitu juga ketika berbicara sumber kedaulatan. Meski ada

keinginan rakyat, tetapi legitimasi atas praktek politik, tetaplah menjadi

milik Tuhan.

Atau jika merujuk pada pembagian lima konsep kedaulatan di atas, apa

yang dipraktekan di Iran lebih condong pada teori kedaulatan Tuhan seperti

yang diajarkan oleh Marsilius. Ini didasarkan atas satu fakta bahwa dalam

Islam tidak ada sistem kepausan atau hierarki. Jadi faqih murni adalah

seorang raja dalam ajaran Marsilius. Faqih inilah yang menggantikan imam

selama masa ghaibah.

Anda mungkin juga menyukai