Anda di halaman 1dari 9

Sejarah Pertumbuhan Fiqih dan Sistem Ekonomi

Oleh: Mohammad Zidan Tsurya Mahiya; Andri Pratama; Ahmad Khaza Wajhal Ula

Pendahuluan

Dalam Islam, “fiqh” mengacu secara khusus pada hukum yang mengatur aspek
kehidupan manusia, termasuk kehidupan pribadi dan sosial, serta hubungan manusia dengan
Allah SWT. Sebagai umat Islam, kita harus menyadari evolusi fiqih dari waktu ke waktu.
Dari zaman kuno hingga sekarang, ekspansi ekonomi terjadi bersamaan dengan fiqih. Pada
masa itu, tidak hanya jumlah umat Islam yang meningkat, tetapi juga perekonomian.
Akibatnya, penting untuk mengikuti pertumbuhan ekonomi secara berkala.
Pembahasan

Di bawah arahan Nabi Muhammad SAW, perkembangan ilmu fiqih dimulai. Bidang ilmu
hukum telah berkembang pada saat itu. Para sahabat Abu Bakar As-Shidiq, Umar bin Khattab,
Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib memimpin pengembangan ilmu fiqih. Para imam
tabiin, tabiit, dan madzhab melanjutkan tradisi ini setelah para sahabat pergi. Pada artikel ini,
kita berbicara tentang pertumbuhan ekonomi selain fiqih. Alhasil, kami membagi
perkembangan sistem ekonomi dan sejarah fiqih menjadi empat periode: masa para sahabat
Nabi Muhammad, masa para tabi'in, dan masa para imam madzhab.

A. Periode Rasulullah SAW


Sejak zaman Nabi Muhammad SAW, ilmu fiqih berkembang. Sebelum memasuki
periode atau fase-fase berikutnya, fase pertumbuhan ilmu fiqih dimulai saat ini. Periode waktu
ini dimulai ketika Rasulullah SAW tinggal di Mekkah selama 12 tahun, 5 bulan, dan 13 hari,
dimulai pada tanggal 18 Ramadhan tahun 41 dan berakhir pada hari pertama Rabi'ul Awwal
tahun 54 setelah kelahiran Rasulullah SAW. Ayat-ayat Al-Qur'an yang ditemukan sekitar
waktu itu disebut bagian makiyyah. Menyusul hijrahnya Rasulullah SAW ke Madinah, tempat
beliau bermukim selama lebih dari sembilan tahun, atau sembilan tahun, sembilan bulan, dan
sembilan hari, ayat-ayat yang diturunkan antara permulaan Rabiul Awal tahun 54 dan kelahiran
Rasulullah SAW tahun 63 disebut sebagai ayat madaniyah.
Tahap kedua tasyri' dimulai setelah Allah SWT memberikan izin kepada Rasulullah
SAW dan orang-orang beriman untuk hijrah dari Mekkah ke Madinah. Pada masa ini, benih-
benih pemerintahan Islam mulai ditata, masing-masing dengan bentuknya yang khas, dan
masyarakat dengan coraknya yang khas mulai bermunculan. juga berbeda, yaitu masyarakat
Islam dan syarat hukum amaliyah, serta syarat masyarakat dalam urusan hukum untuk
mengatur segala sesuatu, termasuk praktek-praktek sosial. Rasulullah SAW tidak membawa
hukum dan peraturan syariat yang telah dibuat sebelum beliau hijrah ke Madinah karena beliau
tidak pernah mengikuti sebuah aturan. Akibatnya, Nabi memfokuskan upayanya pada bidang
hukum fikih dan mulai mengekstraksi ayat-ayat hukum satu per satu. Selain itu, ada juga bagian
yang sah yang diturunkan untuk menjawab pertanyaan, ada juga yang bersifat fatwa dan
kadang-kadang untuk membuat peraturan menjadi kenyataan.
Surat Al Maidah yang diturunkan lebih dari tiga bulan sebelum wafatnya Nabi dan
merupakan ayat hukum yang akhirnya diturunkan, merupakan ayat terakhir dari ayat-ayat
hukum yang diturunkan secara berurutan hingga diturunkan seluruhnya.
Hukum yang disahkan selama ini berguna untuk menyelesaikan kejadian dan transaksi.
Pada saat itu, aqidah, akhlaq, dan amaliyah juga diperhatikan ketika membahas materi hukum
yang bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah. Pada masa itu, orang-orang yang hafal Al-Qur'an
disebut Qurra', demikian pula orang-orang yang ahli dalam bidang fikih. Sebutan “penghafal
Al-Qur’an” (qurra) dan “ahli di bidang fikih” (fuqaha) masih digunakan untuk menyebut
mereka yang hafal Al-Qur’an dan hukum-hukum yang terkait dengan ayat-ayatnya pada masa
itu.
Rasulullah adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang diberi wahyu untuk berbagi dengan
umat manusia dan menjelaskan tujuannya. Ada juga yang hanya perbuatan, dan terkadang ada
kata dan perbuatan sekaligus, ketika Nabi menjelaskan wahyu dengan kata-kata saja. Pada
masa Rasulullah SAW, hukum syari'at diturunkan dari dua sumber: sunnah Nabawiyah dan
Kitabullah, juga dikenal sebagai Al-qu'an. Oleh karena itu, Nabi SAW dimintai pendapat setiap
kali ada pertanyaan atau kejadian yang membutuhkan informasi berbasis syariah. menunggu
wahyu untuk memberikan penjelasan atas kejadian atau pertanyaan tersebut; Namun, jika
wahyu yang diharapkannya tidak terwujud, ini adalah tanda atau pemberitahuan dari Allah
SWT. Rasulullah SAW telah diperingatkan oleh Allah SWT agar tidak berbicara berdasarkan
syahwat, maka Dia menganugerahkan kepada-Nya jawaban tasyri' standar.
Nabi juga ikut serta dalam ijtihad dan kemudian mengemukakan pendapatnya, atau
beliau mencoblos dengan para sahabatnya kemudian menyetujui salah satu pandangan mereka.
Tuhan tidak selalu mendukung tindakan seperti itu, kecuali pendapatnya benar.
Berkaitan dengan ijtihad Rasulullah SAW. yang dia lakukan, karena Nabi tidak mungkin
tertipu oleh Allah SWT. Dia memang menyebutkan wahyu. Akibatnya, persyaratannya agar
Rasul-Nya melakukan ijtihad tanpa diberitahu tentang kesalahannya merupakan koreksi
tingkat wahyu baginya. Akibatnya, Allah menghapuskan penciptaan landasan hukum yang
mencakup segala, spesifik dalam definisinya, terbatas sepenuhnya, ditahbiskan secara umum,
dan apa yang diinginkan pada masa hidup Nabi Muhammad. Semua ini didasarkan pada
prinsip-prinsipnya, yang semuanya sempurna pada masa Nabi Muhammad SAW, dan telah
dikokohkan di atas pondasinya.
Sistem Ekonomi
ketika harga barang-barang di kota Madinah naik:
“Pada masa Nabi Muhammad, harga-harga meroket. Saat itu, orang-orang menyarankan
sesuatu kepada Nabi dengan mengatakan, Anda, wahai Rasulullah, harus menetapkan harga.
SAW Rasulullah. bersabda: “Tanpa ragu, Allah memutuskan biaya, siapa yang memegang dan
mengulurkan dan memberikan makanan. Saya benar-benar percaya bahwa suatu hari saya akan
bertemu Allah dalam keadaan di mana tidak seorang pun dari Anda menuntut saya tentang rasa
malu dalam darah atau kekayaan.
Berdasarkan hadits ini, ditunjukkan bahwa Islam menunjukkan gagasan tentang tangan
yang tidak terlihat atau komponen pasar jauh lebih awal daripada Adam Smith. Teori ekonomi
Islam tentang penetapan harga didasarkan pada faktor ini. Dalam hadits ini, Rasulullah SAW
tidak menentukan harga sepeser pun. Ini menunjukkan bahwa mekanisme alami pasar
menentukan harga. Pendapat tersebut ditolak oleh Rasulullah yang memutuskan bahwa harga
pasar tidak boleh ditetapkan karena hanya Allah yang dapat menetapkannya. Sehebat apa teori
Rasulullah SAW tentang pasar dan harga? Sabda Rasulullah SAW yang mengisyaratkan bahwa
harga pasar sudah sesuai dengan apa yang direncanakan Allah SWT menimbulkan keheranan
tersebut. Akibatnya, Adam Smith, pendiri ekonomi barat, mengadopsi teori ini, yang dikenal
sebagai "teori tangan tak terlihat". Di bawah teori ini, kondisi pasar akan dikendalikan oleh
tangan tak terlihat, jadi mungkin teori tangan tak terlihat harus disebut God Hands.
B. Periode Sahabat
Karena para sahabat Nabi memegang kekuasaan tasyri pada masa ini, maka masa Islam
berlanjut setelah Nabi Muhammad SAW wafat pada tahun kesebelas Hijriah. Para sahabat rasul
ini adalah orang-orang pandai dan lihai yang mengambil alih jabatannya untuk memimpin
negara dan rakyat, mengembangkan agama, dan menghukum segala sesuatu secara adil.
Hukum Islam terikat oleh persoalan-persoalan sosial yang masih ada. Banyak masalah agama
baru yang belum pernah ditemui Nabi sebelumnya muncul selama ini. Dengan tetap berpegang
pada hukum periode pertama, para sahabat Nabi melakukan ijtihad dan memberlakukan syariat.
Akibatnya, hukum pada saat itu terdiri dari hukum Allah dan Rasul-Nya, serta fatwa dan
keputusan para sahabat yang bersumber dari Al-Qur'an, as-Sunnah, dan ijtihad para sahabat.
Tidak ada kodifikasi fikih khusus pada masa sahabat ini.
Masyarakatnya selalu menyesuaikan perilaku kesehariannya dengan nilai-nilai agama
karena keimanannya yang tinggi dan ketaatannya pada perintah agama. Akibatnya, setiap kali
mereka menghadapi masalah dalam hidup mereka, mereka membutuhkan bantuan hukum.
Ketika berbicara tentang hukum, tiga hal menjadi lebih buruk saat itu.
-Pertama, banyak kejadian baru yang tidak ada penjelasan lahiriahnya di dalam Al-
Qur'an atau Sunnah Nabi.
-Kedua, masalah lahiriah memiliki ketentuan hukum dalam Al-Qur'an dan Sunnah
Nabi; namun ketentuan tersebut terkadang sulit diterapkan dan memerlukan
pemahaman baru agar relevan dengan situasi saat ini.
-Ketiga, penjelasan yang jelas dan tepat tentang suatu peristiwa dapat ditemukan dalam
Al-Qur'an. Argumen yang ada sulit diterapkan jika ini berlaku untuk peristiwa tertentu.
Dalam pengambilan keputusan hukum atau fatwa, para sahabat Nabi mengikuti cara
yang jelas. Ini mungkin didasarkan pada melindungi barang publik atau mengambil tindakan
pencegahan. Dalam pengambilan keputusan hukum, tidak semua sahabat Nabi dianggap
sebagai ahli hukum. Ada kurang lebih 130 sahabat pria dan wanita yang diketahui telah
memberikan fatwa. Tujuh orang memberikan fatwa lebih banyak dari siapapun: 1) Umar ibn
al-Khab; 2) Al bin Abilib; 3) Abdullh bin Masd; 4) Isyah; 5) Zaid bin Thbit; 6) Abdullh bin
Abba; dan 7) Umar (ra). Para sahabat yang memberi lebih sedikit, seperti Ab Bakr, Uthmn ibn
Affn, dan Ab Ms. al-Ashtar (ra), adalah kelompok berikutnya.
Para ahli fikih akan merujuk kepada Kitab Allah SWT jika terjadi suatu peristiwa. Teks-
teks yang menunjuk pada hukum yang dimaksud membuat mereka sangat khawatir. Mereka
menggantinya dengan memperhatikan sunnaturrosul atau hadits jika tidak ada dalam Kitab
Allah SWT. Mereka akan segera menerapkannya jika menemukan teks hadits tersebut. Mereka
melakukan ijtihad, khususnya dengan menggunakan qiyas, memperhatikan syariat, dan
memperhatikan kemaslahatan masyarakat, jika tidak ditemukan dalam teks hadits.
Ijma seorang sahabat adalah ketika sekelompok sahabat mengambil keputusan bersama
untuk melakukan ijtihadnya. Ayat-ayat hukum dicatat dan dikembangkan bersama ayat-ayat
lain pada masa para Sahabat, sehingga memudahkan orang untuk menghafalnya dan
mempelajari teks-teksnya. Namun, pada masa para sahabat, hadits, sumber tasyri kedua, masih
belum tercatat dalam kitab-kitab.
Sistem Ekonomi
Keputusan ekonomi dan pemikiran yang dibuat masing-masing sahabat selama mereka
berkuasa memiliki beberapa karakteristik dan juga kesamaan. Banyak kasus rumah tangga
yang melibatkan kelompok murtad, nabi palsu, dan pembangkang zakat berada di bawah
kekuasaan sahabat Abu Bakar. Dia memerintahkan pihak atau individu yang berkecukupan
tetapi tidak membayar zakat untuk mengikuti hukum.
Dalam sejarah Islam, pemerintahan Umar bin Khattab merupakan masa keemasan.
Pembagian harta baitul mal merupakan prinsip utama yang dianut oleh sahabat Umar tersebut.
Umar bin Khattab berpendapat bahwa dalam menentukan bagian seseorang atau bagian dari
kekayaan negara harus diperhitungkan kesulitan-kesulitan yang dihadapi rakyat. Akibatnya,
keadilan harus dipertahankan dalam mendukung upaya seseorang untuk memperjuangkan
agama Islam dan mereka harus dihargai dengan baik. Namun, ada persoalan dengan kebijakan
ini yang berdampak negatif pada kondisi sosial penduduk.
Kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh sahabat Ustman bin Affan ini hanyalah
kelanjutan dari para pendahulunya, dan ia tidak mengarang apapun selama berkuasa. Namun,
selama enam tahun terakhir masa jabatannya, dia mendatangkan malapetaka pada umat Islam
dan membawa keberuntungan bagi keluarga pejabat yang korup.
Selama berkuasa, Khalifah Ali bin Abi Thalib melembagakan tindakan signifikan:
mencetak koin untuk negara-negara Islam. Ini menunjukkan bahwa umat Islam mahir dalam
peleburan besi dan pencetakan koin selama pemerintahan Ali bin Abi Thalib.
C. Periode Tabi’in
Pada masa ini, sekitar abad kedua dan ketiga Hijriyah, para ulama tabi'it-tabi'in dan
mujtahid mulai menyebar ke wilayah-wilayah dominasi agama Islam. Mereka menjangkau
daerah-daerah yang penduduknya tidak berbahasa Arab atau non-Arab dengan berbagai
kondisi dan adat istiadat di dalamnya. Banyak penduduk asli setempat dan ulama yang tersebar
di daerah-daerah tersebut masuk Islam. Dengan semakin banyaknya umat Islam di antara
penduduk di berbagai daerah tersebut, maka semakin banyak pula persoalan hukum yang
muncul, salah satunya adalah persoalan tidak adanya pengaturan yang sah dalam al-Qur'an dan
as-Sunnah. Akibatnya, para ulama dari berbagai daerah melakukan ijtihad dengan tujuan
mencari sumber asli hukum tersebut.
Kegiatan ijtihad juga mengalami perkembangan yang signifikan pada masa ini karena
banyaknya permasalahan hukum yang muncul dan pengaruh ilmu pengetahuan di berbagai
bidang yang maju. Para ulama juga banyak berselisih tentang dalil-dalil, hasil ijtihad, dan jalan
yang mereka tempuh pada masa tabiin ini. Ulama yang tinggal di satu wilayah juga mengalami
perbedaan pendapat dan argumen. Karena pernyataan tersebut di atas, para ulama
memunculkan prinsip-prinsip syari'ah, prinsip-prinsip yang bertentangan langsung dengan
tujuan dan dasar pembuatan hukum dalam ijtihad.
Demikian pula, orang Arab dan non-Arab telah membentuk asosiasi sebagai akibat dari
berkembangnya pengaruh Islam dan meningkatnya jumlah umat Islam. Akibat hubungan
mereka dengan bangsa Arab, bahasa atau logat mereka mulai tercampur ke dalam bahasa Arab,
baik dalam bentuk kata, struktur kalimat, dan ejaan, maupun dalam ucapan dan tulisan.
Situasi ini membuat sulit untuk memahami ketentuan hukum yang berasal dari Al-Qur'an dan
hadits dan menimbulkan banyak ketidakpastian. Untuk memahami ketentuan-ketentuan hukum
yang sesuai dengan Al-Qur'an dan Hadits sebagaimana dipahami oleh bangsa Arab ketika
ketetapan tersebut turun atau datang, para Ulama mengembangkan aturan gaya bahasa sebagai
hasilnya.
Pada abad kedua Hijriyah, perumusan istilah dan bahasa fundamental dalam ijtihad
menandai terwujudnya Ilmu Ushul Fiqh. Ibnu Nadim pernah menyatakan bahwa Imam Abu
Yusuf, seorang ulama dan murid Imam Abu Hanifah, adalah orang pertama yang menyusun
Usul Fiqh, tetapi kitab itu tidak sampai kepada generasi kita. Prinsip-prinsip Ilmu Ushul Fiqh
pertama kali ditulis oleh Muhammad bin Idris asy-Syafi'iy dalam sebuah buku yang diberi
nama Ar-Risalah, dan dijelaskan oleh Abdul Wahhab Khallaf dengan bantuan seorang asisten.
Selain itu, ini adalah buku terkait Ushul Fiqh pertama untuk generasi kita. Inilah mengapa Ilmu
Ushul Fiqh dikaitkan dengannya.
Kondisi Ekonomi
Ketika kebutuhan primer dan sekunder penduduk, serta kebebasan berbicara, akses ke
informasi, perawatan kesehatan yang memadai, dan kebutuhan lainnya, dapat dipenuhi, suatu
bangsa dikatakan maju.
Pembangunan ekonomi dapat dikatakan meningkat pada periode ini karena adanya teori-
teori ekonomi baru yang belum pernah dijelaskan sebelumnya atau belum ada. Jumlah umat
Islam dan kualitas pemikiran mereka tumbuh selama ini. Dari sekian banyak tokoh yang
berperan dalam kemajuan ekonomi hingga saat ini, terdapat tiga tokoh yang paling dikenal dan
berpengaruh serta berpengaruh dalam pemikiran ekonomi Islam di kemudian hari, yaitu Abu
Yusuf, al-Syaibani, dan Abu Ubaid. Mereka berbagi karakteristik dalam teori ekonomi, seperti
upaya Abu Ubaid untuk menjelaskan teori makroekonomi dan mikroekonomi sementara al-
Syaibani lebih menekankan pada makro ekonomi.
D. Periode Imam Madzhab
Imam menggunakan madzhab sebagai landasan untuk menentukan kedudukan dan
hukum Islam. Setelah itu, definisi Imam madzhab dan mazhab tersebut berubah
menjadi kelompok umat Islam yang menganut pandangan Imam yang ahli fikih tertentu
atau Imam madzhab dalam masalah hukum Islam.
Mengenai definisi madzhab yang diberikan oleh para ulama fiqh, Ialah keunikan
metode fiqh yang digunakan oleh seorang ahli fiqh, yang membedakannya dari ahli fiqh
lainnya dan memungkinkan dia untuk memilih sejumlah hukum ilmu fiqh1. Imam
madzhab di Indonesia saja ada empat; Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi'i, dan
Imam Hanbali adalah empat yang pertama.
1. Imam Abu Hanifah,
Imam Abu Hanifah dikenal dengan nama Imam Hanafi, memiliki nama lengkap : Al-
Nu'man bin Thabit bin Zutha Al Kufi, Abu Hanifah. lahir di Irak pada tahun 699 M,
sekitar waktu yang sama dengan Abdul Malik bin Marwan, pemimpin Bani Umayyah.
Ia dikenal sejak kecil karena ketaatannya dalam beribadah, berakhlak mulia, serta
menjauhi dosa dan perbuatan munkar, sehingga diberi nama Abu Hanifah yang artinya
suci dan lurus. Selain itu, Mazhab Hanafi adalah nama mazhab fikih.
Muhammad bin Al-Hassan Al-Shaibani, guru Imam Syafi'i, adalah salah satu muridnya
yang terkenal. Imam Hanafi menjadi salah satu mazhab yang diakui mayoritas umat
Islam berkat tangan-tangan terampil murid-muridnya yang menyebarkan
pandangannya secara luas ke seluruh negeri Islam.
2. Imam Syafi'i
Abu Abdullah Muhammad bin Idris adalah orang yang mendirikan madzhab Syafi'i.
Dia tinggal di Baghdad, Madinah, dan kemudian Mesir sebelum meninggal pada tahun
767 M 158 H. Salah satu aspek unik dari pemikiran Imam Syafi'i adalah cara interaksi
antara rasionalis dan tradisionalis satu sama lain. Imam Syafi'i belajar fikih di kota
Mekkah dengan Muslim bin Khalid Az Zanji, seorang ahli fikih, dan mendapat izin
untuk memberikan fatwa ketika dia berusia 15 tahun. Setelah menjadi tokoh puisi Arab,
ia senang belajar fikih untuk merasakan manisnya ilmu di bawah taufiq dan tuntunan
Allah. Dia belajar tentang fiqh dari ulama Mekkah seperti Muslim bin Khalid al-Zanji,
yang merupakan mufti Mekkah saat itu. Ia juga mendapat petunjuk dari Dawud bin
Abdurrahman al-Atthar dan pamannya Muhammad bin Ali bin Syafi' dalam ilmu fikih.
Abdurrahman bin Abi Bakr al-Mulaiki, Sa'id bin Salim, dan Fudhail bin al-Ayyadl
adalah di antara para guru fikihnya. Hanya dalam beberapa tahun yang singkat, ia
menjadi semakin terkenal di bidang fikih dengan berpartisipasi dalam berbagai
pertemuan ulama.
3. Imam Malik

1
Unknown, “Coretan Pena Santri.”
Pertanyaan tentang tahun kelahirannya. Dalam kitab Thahabat fuqaha, Al-yafi'i
mengklaim bahwa Imam Malik lahir pada tahun 94 hijriyah. Imam Maliki
merencanakan kitab Al Muwaththa', dan dalam perencanaannya beliau membutuhkan
waktu 40 tahun, selama 40 tahun tersebut beliau memperlihatkan 70 syariat Islam di
Madinah.
Imam Malik meriwayatkan hadis dari Nu'main al Mujmir, Zaib bin Aslam, Nafi',
Syarik bin Abdullah, az Zuhry, Abi az Ziyad, Sa'id al Maqburi, dan Humaid ath Thawil.
Murid terakhirnya adalah Hudzafah as Sahmi al Ansari. Dia menerima hadits dari 900
guru, 300 dari tabi
4. Mazhab Imam Ahmad
Ahmad bin Ahmad bin Muhammad bin Hanbal ash-Syaibani nama lengkapnya,
namun lebih sering disebut dengan Imam Ahmad. Ia lahir di Bagdad, Irak, pada tahun
164 H/780 M, ibu kota Kekhalifahan Abbasiyah. Saat itu, Bagdad merupakan pusat
peradaban di seluruh dunia, tempat para ahli di bidangnya berkumpul untuk belajar atau
mengajarkan hal-hal baru. Dengan iklim keluarga yang memiliki kebiasaan menjadi
orang besar, kemudian hidup di titik fokus kemajuan dunia, tentunya menyebabkan dia
memiliki iklim yang sangat menarik dan peluang yang luar biasa untuk menjadi orang
besar pula.
Kondisi Ekonomi
Selama masa pertumbuhan ekonomi ini, kemajuan yang signifikan telah dibuat.
Walaupun pada saat ini banyak terjadi perbedaan pendapat yang tidak menimbulkan
perpecahan, karena dalam Islam perbedaan itu harus dihormati, inilah yang mendorong Islam
maju. Peran ekonomi dimainkan oleh imam pertama dari empat madzhab, Abu Hanifah, yang
bertanggung jawab atas penciptaan tokoh terkenal dan buku referensi utama ekonomi Islam,
Abu Yusuf, dan mahakaryanya, "Kitab al-Kharraj .”
Pada masa Imam Malik, khususnya dengan kitab Ibnu Rusyd, khususnya bab jual beli.
Juga pada masa Imam Syafi, ketika ia menulis buku berjudul "al-rutbah fi thalab al-hisbah".
Yang terakhir muncul pada masa imam madzhab Hanbali dan dikenal sebagai "al-istikhraj li
ahkam al-kharraj".
PENUTUP
Seiring berjalannya waktu, fikih tumbuh dalam kompleksitas. Ekspansi ekonomi juga
mengiringi ekspansi ini. memiliki dampak yang signifikan terhadap ekonomi dan fikih di setiap
era. Selain itu, setiap era memiliki karakteristik yang menonjolkan perbedaannya.

DAFTAR PUSTAKA

Unknown. “Coretan Pena Santri: PERKEMBANGAN ILMU FIQIH PADA MASA


SAHABAT.” Coretan Pena Santri (blog), March 23, 2015.
http://evimuzaiyidah.blogspot.com/2015/03/perkembangan-ilmu-fiqih-pada-
masa_23.html.
Al-Alwani, Taha Jabir, Metodologi Hukum Islam Kontemporer, terj. Yusdaini,UII

Press, Yogyakarta, 2001.

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, RajawaliPress,

Jakarta, 2004.

A. Sirry, Mun’im, Sejarah Fiqih Islam, Risalah Gusti, Surabaya, 1995.

Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut Al-Syatibi, Rajawali,

Jakarta, Cet.I, 1996.

Anda mungkin juga menyukai