Anda di halaman 1dari 26

Peradaban Ekonomi Pada Masa Khulafa’ al-Rasyidin

Muhammad Noor Sayuti1


Tony Abdul Syukur2

Abstract
Tulisan ini bertujuan untuk memahami kondisi sosial-ekonomi pada masa
Khulafa al-Rasyidin, dimana para sahabat dengan ijtihadnya, menghasilkan
konsep-konsep ekonomi yang akan berkaitan atau mempengaruhi ekonomi Islam
setelah masa tersebut. Jenis tulisan ini adalah kualitatif berdasarkan studi
kepustakaan dan memiliki sifat deskriptif. Tulisan ini diantaranya memiliki
kesimpulan bahwa Pranata Ekonomi yang lahir dan berkembang pada masa
Khulafa al-Rasyidin diantaranya adalah zakat sebagai dasar kebijakan fiskal,
Pendirian Baitulmal, Kharaj, Hisbah, 'Usyr, Iqta', Kebijakan dalam menghadapi
krisis Ramdah, Pencetakan uang.

Kata Kunci: khulafa al-Rasyidin, peradaban, pranata ekonomi

I. Pendahuluan
Wafatnya Nabi Muhammad SAW merupakan hal yang tidak terelakan.
Kedudukan beliau sebagai Rasulullah tidak mungkin dapat digantikan oleh
siapapun. Akan tetapi, kedudukan Nabi sebagai kepala pemerintahan haruslah
segera ada penggantinya. Keharusan akan adanya kepala pemerintahan tertuang
dalam hadis Nabi riwayat Abu Daud, “Jika tiga orang berada dalam suatu
perjalanan maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari mereka
sebagai pemimpin”. Disamping itu, pemerintahan adalah suatu kewajiban, karena
akal perlunya manusia terhadap organisasi sosial. Namun hukum wajibnya adalah
fardhu kifayah.
Khilafah menurut Ibn Khaldun adalah pemerintahan yang berlandaskan
Agama yang memerintahkan rakyatnya sesuai dengan petunjuk Agama baik
dalam hal keduniawian atau akhirat. Sedang pemimpinnya disebut Khalifah,

1
Mahasiswa Program Studi Ekonomi Syari’ah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan
Gunung Djati Bandung, Email: 34198720@yahoo.com
2
Mahasiswa Program Studi Ekonomi Syari’ah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan
Gunung Djati Bandung, Email: tony_syukur@yahoo.com

1
Imam atau Sulthan. Khilafah adalah pengganti Nabi Muhammad dengan tugas
mempertahankan agama dan menjalankan kepemimpinan dunia.
Masa pemerintahan Khulafa al-Rasyidin berlangsung selama tiga puluh
tahun. Pada saat itu, para sahabat dihadapkan pada berbagai kenyataan hidup dan
kondisi sosial-ekonomi yang berbeda dengan yang terjadi pada masa Rasul,
ataupun sama tetapi dengan skala yang berbeda. Hal ini menuntut mereka untuk
melakukan ijtihad serta bermusyawarah di antara mereka.
Pembahasan ekonomi pada masa Khulafa al-Rasyidin diperlukan untuk
memahami kondisi sosial-ekonomi pada saat itu, dimana para sahabat dengan
ijtihadnya, menghasilkan konsep-konsep ekonomi yang akan berkaitan atau
mempengaruhi ekonomi Islam setelah masa tersebut.

II. Metode Penulisan


A. Jenis dan Sifat
Tulisan ini disusun berdasarkan studi dokumentasi di mana data-data serta
bahan-bahan yang penulis perlukan atau gunakan didalam penelitian ini
berdasarkan atas studi terhadap dokumen berupa literatur-literatur atau buku-buku
yang penulis dapatkan dengan cara penelusuran kepustakaan.
Sedangkan menurut sifatnya, maka tulisan ini adalah dikategorikan
sebagai penelitian yang bersifat deskriptif yang mendeskripsikan secara sistematis
B. Sumber Data
Adapun yang menjadi sumber data dalam makalah ini, didasarkan atas
data sekunder yang didapatkan melalui literatur-literatur dan buku-buku lainnya
yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk mengembangkan makalah ini.
Secara lebih jelasnya, maka sumber data tersebut dikategorikan sebagai berikut:
1. Bahan Hukum Primer
Adalah: data pokok yang dijadikan sebagai dasar dari penulisan ini. (Al-
Qur’an, As-Sunnah, Ijma Sahabat, Qiyas).

2. Bahan Hukum Sekunder

2
Berupa data-data yang diperoleh dari buku-buku dan literatur-literatur penunjang,
melalui studi kepustakaan serta data-data lainnya yang ada hubungannya dengan
judul makalah yang ditulis, yang kesemuanya itu turut mendukung bahan primer
dalam tulisan ini, khususnya dalam masalah Peradaban Eknomi Khulafa al-
Rasyidin.

3. Bahan Hukum Tersier


Merupakan data yang diperoleh dari pengumpulan bahan-bahan yang ada
kaitannya dengan Peradaban Ekonomi Khulafa al-Rasyidin dengan melakukan
penemuan data dan fakta melalui media internet, media massa, buletin, majalah
dan makalah-makalah lain yang ada kaitannya dengan tulisan ini.

III. Pembahasan
A. Kronologi Sejarah Khulafa al-Rasyidin
1. Abu Bakar
Abu Bakar memiliki hati yang lembut, bersahabat, dermawan dan saleh.3
Beliau digelari Al-‘Atîq. Gelar Al-‘Atîq ini dilekatkan kepadanya karena
ketampanan wajahnya dan tidak akan tersentuh api neraka4. Di awal keislamannya
beliau menginfakkan hartanya di jalan Allah sebanyak 40.000 dirham, semua itu
beliau lakukan untuk kemajuan Islam dan membebaskan hamba sahaya.5
Setelah wafatnya Rasulullah SAW, Kaum Muhajirin dan Ansar berdebat
mengenai siapa yang pantas menggantikan nabi sebagai pemimpin. Pada akhirnya
mereka bersepakat bahwa yang pantas menggantikan nabi adalah Abu Bakar. 6
Abu Bakar menjadi Khalifah di umur 59 dan menjabat selama kurang lebih 2
tahun, 3 bulan, 10 hari. Beliau wafat pada usia 63 tahun, persis dengan usia nabi.7
Selama masa jabatannya tersebut beliau sukses dalam membangun

3
Ahmed A.E. El-Ashker dan Rodney Wilson, Islamic Economic a Short History (Leiden: Brill, 2006),
95.
4
Jalaluddin Abdurrahman As-suyuthi, Târikh al-khulafa (Beirut: Dar ibn Hazm) , 26.
5
Muhammad ibn Saad Az-Zuhri, Kitâb al-thobaqât al-Kubra (Madinah: al-Syirkah al –Dauliyah li
al-Thibâ’ah, 2001), Jilid 3, 158.
6
Az-Zuhri, Kitâb al-thobaqât al-Kubra, Jilid 3, 166.
7
Az-Zuhri, Kitâb al-thobaqât al-Kubra, Jilid 3, 185.

3
kepemimpinannya yang merupakan periode penting setelah wafatnya Rasulullah
8
SAW. Kesuksesannya ini tidak terlepas dari karakter dan kedekatan beliau
dengan Rasulullah SAW.
Pada masa pemerintahannya, Abu Bakar dihadapakan pada masalah-
masalah seperti kemurtadan, pembangkangan dan masalah politik pada masa
kekhalifahannya, beliau menanganinya dengan luar biasa. 9
Sejak menjadi khalifah, kebutuhan keluarga Abu bakar dibiayai dari
Baitulmal dengan tambahan makanan berupa daging kambing dan beberapa
pakaian, setelah beberapa waktu tunjangan untuk abu bakar ditambah menjadi
2000 dirham kemudian ditambah lagi menjadi 2500 dirham.10 Sebelum wafatnya,
Abu Bakar mengembalikan harta tersebut, beliau mengatakan, “Segala yang ada
padaku dari harta Muslimin (baitulmal) kembalikanlah. Aku sama sekali tidak
ingin menggunakan harta ini. Berikanlah tanahku di tempat anu dan anu untuk
kepentingan kaum Muslimin sebagai ganti harta mereka yang kugunakan.”11

2. Umar ibn al-Khattab


Untuk menghindari kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan
di kalangan umat Islam ketika pengangkatan khalifah kedua, Abu Bakar
bermusyawarah dengan para pemuka sahabat tentang calon penggantinya.
Berdasarkan hasil musyawarah tersebut, ia menunjuk Umar ibn al-Khattab yang
tatkala itu berumur 47 tahun. Keputusan tersebut diterima dengan baik oleh kaum
muslimin. Umar ibn al-Khattab melaksanakan tugas dalam kekhalifahan selama
kurang lebih 10 tahun dan 6 bulan, dan mampu merealisasikan hal-hal yang
besar dalam masa tersebut.
Umar ibn al-Khattab memiliki kepribadian yang berbeda dengan Abu
Bakar. Sifat menonjol Umar ibn al-Khattab adalah keberanian, kekuatan fisik dan

8
El-Ashker dan Wilson, Islamic Economic, 95.
9
El-Ashker dan Wilson, Islamic Economic, 96.
10
Az-Zuhri, Kitâb al-thobaqât al-Kubra, Jilid 3, 169.
11
Muhammad Husain Haekal, Abu Bakar as-Siddiq Sebuah Biografi dan Studi Analisis tentang
Permulaan Sejarah Islam Sepeninggal Nabi, terjemahan oleh Ali Audah (Jakarta: Litera Antarnusa,
1995), 371.

4
keteguhannya, beliau disegani dan ditakuti. Beliau merupakan panutan atas
kesalehan, kesederhanaan, dan menjunjung tinggi keadilan. Pertimbangan dan
intelektual yang baik adalah yang paling dihormati oleh kaum muslimin dari
Khalifah Umar ibn al-Khattab.12
Selama masa kekhalifahannya beliau telah menampakkan politik yang
bagus, keteguhan prinsip, kecemerlangan perencanaan, meletakkan berbagai
sistem ekonomi dan manajeman yang penting menggambarkan garis-garis
penaklukan dan pengaturan daerah-daerah yang ditaklukkan, berjaga untuk
kemaslahatan rakyat, menegakkan keadilan di setiap daerah, dan terhadap semua
manusia, memperluas permusyawaratan, melakukan koreksi terhadap para pejabat
negara, orang yang bertanggung jawab terhadap Baitulmal, dan petugas kharaj
dan mencegah mereka dari menzhalimi rakyat. 13
Pada masa pemerintahannya yang berlangsung selama sepuluh tahun,
Umar ibn al-Khattab banyak melakukan ekspansi untuk memperluas wilayah
Islam. Pada masa itu, wilayah Islam meliputi Jazirah Arab, Palestina, Syiria,
sebagian besar wilayah Persia dan Mesir. Perluasan ini wilayah ini mendorong
untuk adanya cara pandang baru dalam menangani isu-isu ekonomi. Kontribusi
Umar ibn al-Khattab dalam hal ini sangatlah mengagumkan. 14

3. Utsman Ibn Affan.


Pengangkatan beliau sebagai khalifah atas inisiatif Umar ibn Khattab
membentuk sebuah tim yang terdiri dari enam orang sahabat yaitu, beliau sendiri
(Utsman Ibn Affan), Ali Ibn Abi Thalib, Thalhah, Zubair ibn Al-Awwam, Sa’ad
ibn Abi Waqas dan Abdurrahman ibn ‘Auf. Umar meminta kepada tim tersebut
untuk memilih salah seorang dari mereka sebagai penggantinya, dan terpilihlah
Utsman ibn Affan yg tatkala itu berumur 69 tahun .15

12
El-Ashker dan Wilson, Islamic Economic, 99
13
Akram Dhiya al-‘Umari, ‘Asru al-Khilâfah al-Râsyidah (Riyadh : Maktabah al-‘Ubaikan,2003),
77-78
14
El-Ashker dan Wilson, Islamic Economic, 102
15
Ibnu katsir, al -Bidayah Wa al- Nihayah, jilid 7, 280

5
Utsman dikenal dengan seorang sahabat yang memiliki dua sifat menonjol,
yaitu sifat malu dan kedermawanannya, seperti yang digambarkan dalam hadits,
Rasulullah SAW berkata : “Tidak pantaskan aku merasa malu kepada seseorang
yang malaikatpun malu kepadanya.” tentang kedermawanannya yang
diriwayatkan oleh bukhari dalam shohinya, rasululullah berkata : ’ Barang siapa
yang mempersiapkan perlengkapan Jaisyur Usyrah, maka baginya adalah
Jannah.” 16
Utsman memiliki sifat yang mirip dengan Abu Bakar, beliau dikenal
dengan toleransi, bersahabat, lemah lembut, rendah hati dan pemalu. Salah satu
kelebihan yang dimiliki Utsman dibanding khalifah sebelumnya adalah
kekayaannya yang melimpah. 17
Masa kekhalifahan Ustman bin Affan berlangsung selama 12 tahun, 12
hari.18 Ini merupakan masa kekhalifahan yang terlama dibandingkan dengan
ketiga khalifah lainnya. Di akhir masa kekhalifahan Utsman bin Affan, gejolak
politik semakin meningkat hingga Ustman wafat terbunuh.19

4. Ali ibn Abi Tholib.


Ali ibn Abi Tholib diangkat menjadi khalifah ke empat sehari setelah
Utsman wafat, beliau dibai’at pada 19 dzulhijjah tatkala berumur sekitar 56 tahun
oleh beberapa orang sahabat diantaranya, Tholhah, Zubair dan Sa’ad ibn Abi
waqas.20
Masa Pemerintahan Khalifah Ali ibn Abi Thalib berlangsung selama enam
tahun yang diwarnai dengan ketidakstabilan kehidupan politik. Ia harus
menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair ibn al-Awwam dan Aisyah yang
menuntut kematian Utsman bin Affan.

16
al-suyuthi, Târikh al-khulafa, 122.
17
El-Ashker dan Wilson, Islamic Economic, 118-119.
18
abi Ja’far Muhammad ibn Jarir At-Thabari, Târîkh at-Thabari (Mesir: Dâr al-Ma’ârif), jilid 4, 415.
19
al-suyuthi, Târikh al-khulafa, .
20
Az-Zuhri, Kitâb al-thobaqât al-Kubra, Jilid 3, 29.

6
B. Pranata Ekonomi yang Lahir dan Berkembang pada masa Khulafa al-
Rasyidin
1. Zakat Sebagai Dasar Kebijakan Fiskal
Pada awal masa pemerintahannya, Khalifah Abu Bakar dihadapkan
dengan masalah pemurtadan (orang-orang yang mengaku sebagai nabi setelah
Rasulullah SAW). Konflik ini menyebabkan adanya orang-orang yang berpaling
dari Islam dan ada yang tetap dalam keislamannya, akan tetapi menolak untuk
membayar zakat kepada Abu Bakar. Penolakan untuk membayar zakat ini baik
karena kekikirannya untuk menyerahkan harta yang sudah diperoleh dengan kerja
keras, atau karena anggapan bahwa pembayaran itu sebagai upeti yang sudah
tidak berlaku lagi sesudah Rasulullah SAW wafat, dan boleh dibayarkan kepada
siapa saja yang mereka pilih sendiri sebagai pemimpinnya di Madinah. Mereka
mogok tidak mau membayar zakat dengan menyatakan bahwa mereka tidak
21
tunduk kepada Abu Bakar. Abu Bakar tidak bisa menerima hal ini, baginya ini
merupakan ancaman terhadap persatuan Kaum Muslimin dan keutuhan Islam.
Beliau berpandangan zakat tidak bisa dipisahkan dari rukun Islam yang lain.
Beliau melihat dalam ayat-ayat Alquran, zakat dan salat selalu disebut
berbarengan. Selain itu, penolakan membayar zakat merupakan pelanggaran
mereka terhadap janji yang dibuat kepada nabi sebelum wafatnya. 22 Oleh karena
itu Abu Bakar berk-omitmen untuk melawan para pembangkang tersebut.
Ahmed el-Ashker dan Wilson berpendapat, bahwa keputusan Abu bakar
untuk memerangi pembangkang zakat walaupun mereka muslim, harus dilihat
dari berbagai sudut pandang: 23
1) Faktor keagamaan sebagaimana yang dijelaskan di atas, mereka memecah
rukun Islam dengan melaksanakan rukun yang lain tapi tidak membayar
zakat.
2) Perlunya untuk menyatukan Jazirah Arab. Hal ini diperlukan untuk
menyiapkan Jazirah Arab ke tingkat selanjutnya.

21
Haekal, Abu Bakr as-Siddiq, 87.
22
El-Ashker dan Wilson, Islamic Economic, 96.
23
El-Ashker dan Wilson, Islamic Economic, 97-98.

7
3) Penekanan terhadap peran zakat sebagai alat untuk pemerataan kekayaan dan
kepedulian sosial.
4) Sumber keuangan negara yang terbatas pada saat itu, sedangkan banyak dari
orang-orang Muslim yang sedang membutuhkan dan juga pengeluaran untuk
berperang, baik melawan pemberontak maupun ekspansi ke Syria dan Iraq.
Pembangkangan ini berakhir tahun 633 M dengan kemenangan Khalifah
Abu Bakar. Dengan kemenangan ini beliau berhasil memantapkan situasi politik
dalam pusat pemerintahan di Madinah, integritas agama, kesatuan orang-orang
Muslim dan juga institusi zakat. Dengan memaksa para pembangkang untuk
membayar zakat, Abu Bakar telah menetapkam zakat sebagai pajak negara,
dimana zakat merupakan hak negara dengan membatasi kebebasan individu dalam
membayar zakat tersebut. 24
Peran zakat sebagai instrumen utama fiskal terus berlangsung hingga masa
kekhalifahan Ali bin Abi Tholib, hal ini karena potensi zakat yang dikumpulkan
sangat besar dan berpotensi membantu pencapaian sasaran pembangunan daulah
khilafah, hanya saja pada tataran implementasi manajemen, pengelolaan, dan
pendistribusiannya berbeda setiap khalifah, masing-masing dari mereka berijtihad
demi kemaslahatan umat, hal itu tercermin pada kebijakan Umar bin al-Khattab.
Pada masanya, Umar mengenakan zakat kuda kepada pemiliknya sebesar satu
dirham untuk setiap 40 dirham kuda, karena pada masa itu kuda memiliki nilai
jual tinggi, bahkan pernah diriwayatkan bahwa seekor kuda Arab Taghlabi
diperkirakan bernilai 20.000 dirham, dan orang islam terlibat dalam perdagangan
ini. Beliau juga mengenakan zakat khumus karet, dan zakat ‘usyr untuk madu.25
Begitu juga halnya Utsman bin ‘Affan, salah satu bentuk ijtihadnya, yaitu
membebaskan para muzakki untuk menghitung hartanya sendiri, hal itu dilakukan
untuk menghindari pemerasan dari pejabat negara.26

24
El-Ashker dan Wilson, Islamic Economic, 98.
25
Adiwarman Karim, Sejarah Perekonomian Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), 69 – 70.
26
Rozalinda, Ekonomi islam teori dan aplikasinya pada aktivitas Ekonomi (Jakarta: Rajawali Pers,
2004), 57

8
2. Pendirian Lembaga Baitulmal
Baitulmal berfungsi sebagai institusi khusus menangani harta yang
diterima Negara dan mengalokasikannya bagi kaum Muslim yang berhak
menerimanya.27 Pada masa Abu Bakar As-Siddiq, Baitulmal belum dibentuk
sebagai lembaga yang independen, juga tidak didukung infrastruktur yang baik,
hanya mengambil sebuah ruangan kecil dari rumah Abu Bakar di Sanuh, tanpa
ada penjagaan kecuali sebuah gembok kecil. Setelah Abu bakar pindah ke
rumahnya yang di terletak di samping Masjid Nabawi, maka beliau harus
memindahkan Baitulmal tersebut kesana.28 Walau demikian Baitulmal secara
operasional sudah berjalan sebagaimana pada zaman Rasulullah sebelumnya,
Hingga akhirnya, pada tahun 16 H bangunan Baitulmal didirikan oleh
Khalifah Umar, dengan Madinah sebagai pusatnya. Hal ini kemudian diikuti
dengan pendirian cabang-cabangnya di ibukota provinsi.29 Pembagian fungsi
Baitulmal, dengan pembentukan Al-diwan (bagian-bagian lembaga), dipecah
menjadi dua bagian pokok:
1) Bagian yang mengurus segala jenis harta yang masuk serta sumbernya
(Pedapatan Negara). Bagian –bagian ini terdiri dari :
a) Departemen Fai dan Kharaj.
b) Departemen Pemilikan Umum.
c) Departemen Shadaqah.
2) Departemen belanja negara dan harta yang harus dibelanjakan oleh Baitulmal
untuk berbagai keperluan yang mencakup pembiayaan bagian-bagian
Baitulmal itu sendiri, divisi-divisinya berikut ini:.
a) Divisi Dar al-Khilafah (Kesekretariatan Negara)
b) Divisi Mashalih al-Daulah (Kemaslahatan Negara)
c) Divisi Santunan. Divisi ini merupakan tempat penyimpanan arsip-arsip
dari kelompok masyarakat tertentu yang menurut pendapat Khalifah
berhak untuk memperoleh santunan dari negara. Seperti orang-orang fakir,

27
Abd al-Qadim Zallum, al-Amwâl fi Daulah Al-Khilâfah (Beirut: Dâr al-Ummah, 2004), 17.
28
Az-Zuhri, Kitâb al-thobaqât al-Kubra, Jilid 3, 195.
29
Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik hingga Kontemporer (Jakarta:
Gramata Publishing, 2010), 91.

9
miskin, yang dalam keadaan sangat membutuhkan, yang berhutang, yang
sedang dalam perjalanan, para petani, para pemilik industri, dan lain-lain
yang menurut Khalifah mendatangkan maslahat bagi kaum Muslim serta
layak diberi subsidi. Tiga divisi tersebut (a), b) dan c)) memperoleh
subsidi dari badan fai dan kharaj.
d) Divisi Jihad, meliputi:
● Biro pasukan, yang mengurus pengadaan, pembentukan, penyiapan dan
pelatihan pasukan.
● Biro persenjataan (amunisi).
● Biro industri militer.
e) Divisi Penyimpanan Harta Zakat. Badan ini dibiayai dari pendapatan
Divisi zakat dalam kondisi adanya harta (zakat).
f) Divisi Penyimpanan Harta Pemilikan Umum. Divisi ini dibiayai dari
pendapatan pemilikan umum berdasarkan pendapat Khalifah sesuai
ketentuan hukum-hukum syara’.
g) Divisi Urusan Darurat/Bencana Alam (al-Thawâri). Divisi ini memberikan
bantuan kepada kaum Muslim atas setiap kondisi darurat/bencana
mendadak yang menimpa mereka, seperti gempa bumi, angin topan,
kelaparan dan sebagainya. Biaya yang dikeluarkan oleh divisi ini diperoleh
dari pendapatan fai dan kharaj, serta dari (harta) pemilikan umum. Apabila
tidak terdapat harta dalam kedua pos tersebut, maka kebutuhannya dibiayai
dari harta kaum Muslim (sumbangan sukarela atau pajak).
h) Divisi Anggaran Belanja Negara (al-Muwazanah al-Ammah), Pengendali
Umum (al-Muhasabah al-Ammah) dan Badan Pengawas (al-

Dalam pendistribusian harta Baitulmal, Abu Bakar dan Ali sama-sama


menerapkan prinsip kesamarataan, memberikan jumlah yang sama kepada semua
sahabat Rasulullah SAW dan tidak membeda-bedakan antara sahabat yang
terlebih dahulu memeluk Islam dengan sahabat yang baru memeluk islam, antara

30
Zallum, al-Amwâl, 23-29.

10
hamba dengan orang merdeka, dan antara pria dengan wanita. 31 Selama masa
pemerintahan Abu Bakar, harta Baitulmal tidak pernah menumpuk dalam jangka
waktu yang lama, pola pendistribusian yang dilakukan adalah pendistribusian
langsung, karena langsung didistribusikan kepada seluruh kaum muslimin.
Bahkan ketika Abu Bakar wafat, hanya ditemukan satu dirham dalam
perbendaharaan negara. 32
Berbeda pada masa Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan, mereka
mendistribusikan harta baitulmal berdasarkan prinsip keutamaan. Umar meihat
pada dua kriteria, yang pertama tingkat kedekatan dengan Rasul dan yang kedua
tingkat keberdahuluan masuk Islam, dalam hal ini Umar berpendapat bahwa yang
lebih dahulu masuk Islam adalah lebih baik dibanding yang lain, oleh karena itu
berhak untuk mendapat lebih banyak. Umar juga memberikan kepada Aisyah
2.000 dirham lebih banyak dibanding Ummahatul Mukminin yang lain
dikarenakan kedekatan Aisyah dengan Rasul. Walaupun Aisyah menolak
keutamaan tersebut.33

3. Kharaj
Sebelum masa pemerintahan Umar kaum muslimin diberi hak untuk
menguasai tanah dan segala sesuatu yang didapat dari perang. Pada waktu ia
berkuasa peraturan ini diubah. Tanah-tanah di wilayah yang ditundukkan oleh
Islam harus tetap berada di tangan para pemiliknya sendiri dan mereka hanya
dikenakan pajak tanah (kharāj).
Kharāj adalah pajak bumi yang diwajibkan oleh Kepala Negara kepada
masyarakat yang mengadakan perjanjian perlindungan dengan negara. 34 Kharāj
secara lugah memiliki makna keluar, yang bisa bermakna hasil yang dikeluarkan
tanah, sehingga mewajibkan pengelola kharāj membayar sewa atau upah karena

31
Az-Zuhri, Kitâb al-thobaqât al-Kubra, Jilid 3, 195. Lihat Euis, 97.
32
Ibid.
33
El-Ashker dan Wilson, Islamic Economic, 100.Lihat juga M.A. Sabzwari, “Sistem Ekonomi dan
Fiskal Pada Masa Khulafaur Rasyidin,” Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Editor: Adiwarman
Karim (Jakarta: The International Institute of Islamic Thought-Indonesia (IIIT-I), 2002), 58.
34
Muhammad Rawwas Qal'ahji, Ensiklopedi Fiqih: Umar Bin Khathab RA (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1999), 332.

11
memperoleh hasil dari tanah. Adapun secara istilah kharāj memiliki makna hak
kaum muslimin atas tanah atau kawasan yang diperoleh dari kaum kafir dengan
jalan paksaan (penaklukan) atau jalan damai.35
Menurut Abdul Manan dalam buku Teori dan Praktek Ekonomi Islam,
kharāj adalah sejenis pajak yang dikenakan pada tanah terutama yang ditaklukkan
oleh kekuatan senjata, terlepas dari siapakah pemilik itu seorang yang di bawah
umur, seorang dewasa, seorang bebas, seorang budak, muslim maupun tidak
beriman.36
Kebijakan ini bermula pada distribusi tanah-tanah taklukan di Iraq dan
Syria, para pejuang muslim menuntut untuk diimplementasikannya aturan
Alquran, dimana mereka berhak menguasai empat per lima dari rampasan
termasuk tanah dan seperlimanya diserahkan kepada negara (khums). Dalam hal
ini Khalifah Umar tidak sependapat, menurutnya ada dua macam harta rampasan
yakni bergerak dan tidak bergerak. Untuk harta yang bergerak, aturan Alquran
bisa diterapkan, yakni empat perlima untuk pejuang Muslim dan seperlima untuk
negara. Akan tetapi untuk harta yang tidak bergerak khususnya tanah, semuanya
menjadi hak milik negara. Tanah tersebut tetap dipegang oleh pemilik sebelumnya
37
agar tetap produktif dan dimintai pembayaran pajak atas tanah yakni kharaj.
Khalifah Umar menjelaskan pandangannya kepada yang tidak sependapat sebagai
berikut:38
● Menghindari sistem feodalisme. Menyerahkan tanah yang telah
ditaklukan kepada kaum muslimin akan mengubah tatanan sosial Islam
kepada tatanan feodalisme, yang mana Khalifah Umar sangat
menentangnya. Adapun pada zaman Nabi, pembagian tanahnya masih
dalam jumlah yang sedikit, tidak bisa dibandingkan dengan penaklukan
Iraq dan Syria yang mana tanahnya sangat luas.

35
Nurul Huda dan Ahmad Muti, Keuangan Publik Islam (pendekatan al-Kharāj Imam Abu Yusuf)
(Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), 77.
36
Abdul Manan, Teori Dan Praktek Ekonomi Islam (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm.
43.
37
El-Ashker dan Wilson, Islamic Economic, 104
38
El-Ashker dan Wilson, Islamic Economic, 104-106

12
● Menghindari adanya kasta dalam masyarakat Islam. Menyerahkan tanah
kepada kaum muslimin akan menciptakan perbedaan kelas. Khalifah
Umar berpendapat bahwa distribusi harta rampasan dalam Alquran
memiliki tujuan “…supaya harta itu jangan hanya beredar di antara
orang-orang kaya di antara kalian saja…” (Q.S. 59:7)
● Menjaga kesejahteraan generasi yang akan datang. Khalifah Umar
menjelaskan “jika aku membagikan tanah tersebut, tidak akan ada yang
tersisa untuk orang-orang setelah kamu dimana tanah tersebut telah
dibagi dan diwariskan”39
● Menjaga keseimbangan sosial. Khalifah Umar mengatakan, “apa yang
akan tersisa untuk para ahli waris dan janda-janda dari pemilik tanah ini
dan apa yang akan tersisa untuk bangsa Syria dan Iraq?”.
● Kepemilikan pribadi dibolehkan, begitu pula dengan kepemilikan publik
demi kepentingan masyarakat. Khalifah Umar beralasan, “hal ini akan
menjadi harta rampasan yang permanen bagi umat muslim, yang
dimaksudkan untuk membantu para tentara serta keturunannya, dan
orang-orang sesudahnya”
● Dibutuhkannya SDM untuk mempertahankan tanah tersebut. “Apakah
kalian tidak melihat perbatasan ini? Semua ini membutuhkan orang yang
ditunjuk untuk menjaganya”.
● Negara membutuhkan penghasilan yang tetap. “Dari mana semua ini
tercukupi apabila aku membagikan tanah dan keledai-keledai ini?”
● Pembagian harta rampasan tidak boleh mengarah kepada peredaran
kekayaan untuk orang-orang kaya saja (Q.S. 59:7).
Tercatat dalam sejarah, Abu Hurairah ketika menjabat sebagai gubernur
berhasil mengumpulkan kharaj sebesar 500.000 dirham40, dari tanah yang subur

39
Yusuf Kamal, AZ-Zakah Wa Tarsyîd al -Ta’mîn A l-Mu’âshir (Kairo: Maktabah Iskandariyah,
1986), 88.
40
Abû Yûsuf, Kitab al-Kharâj (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1979), 45.

13
di kufah umar menetapkan kharaj hingga 100.000.000 dirham 41, sementara saat
itu nilai satu dirham sama dengan satu mitsqal.

4. Peranan Negara Dalam Mengawasi Ekonomi


Peranan pemerintah dalam mengawasi ekonomi atau biasa dalam istilah
fiqih disebut hisbah, berfungsi fungsi mengawasi pasar dan kegiatan ekonomi
dikembangkan pada masa khalifah Umar ibn Khattab, beliau sebagai teladan umat
ini mencontohkan langsung peranan hisbah. Khalifah Umar tidak segan-segan
untuk turun langsung ke pasar, disamping menugaskan orang lain untuknya.
Perhatian Umar sangat besar terhadap peranan hisbah dalam meningkatkan
perekonomian, khususnya terhadap Pasar, Konsumen, dan Produsen.
Diantara cara terpenting yang dilakukan beliau adalah, pengaturan
promosi dan iklan, dan melarang penimbunan. Beliau menghimbau kaum
muslimin untuk tidak menjual barang sebelum sampai ke pasar, mengatur pasar
agar terjadi interaksi antara penawaran dan permintaan dengan tanpa hambatan,
sehingga terjadi persaingan sehat yang dapat merealisasikan kemaslahatan semua
orang yang berinteraksi di pasar. Khalifah Umar menilai pengawasan pasar dan
melindunginya sebagai salah satu perkara yang mendasar di dalam Islam, dan
tugas inti bagi pemerintah.42

5. ‘usyr
Yang dimaksud dengan ‘usyr adalah apa yang diambil oleh petugas negara
sepersepuluh dari para pedagang yang melintasi batas negara muslim, hal itu
serupa dengan bea cukai di zaman sekarang.43
Kebijakan ‘usyr yang mengambil sepersepuluh dari para pedagang yang
melintasi batas negara muslim, belum pernah ada pada zaman Rasul dan Abu
Bakar. Kebijakan Umar ini adalah sebuah inovasi kebijakan politik yang seakan
bertentangan dengan hadits Rasulullah yang menyatakan “Tidak akan masuk

41
Abû Yusuf, Kitab al-Kharâj, hlm 26.
42
Jaribah ibn Ahmad al-Haritsi, al-Fiqh al-Iqtishâd Li Amîr al-Mu’minîn Umar Ibn al-Khattâb
(Jeddah: Dâr al-Andalus al-Khadrâ, 2003), 666.
43
Al-Haritsi, Al-Fiqh Al-Iqtishad Li Amir, 505.

14
surga sohib maks (pemungut bea cukai)”44 kebijakan ini merupakan ijtihad umar
yang tidak seorangpun dari sahabat menyanggahnya, dengan demikian ‘usyr
adalah ijma’ sahabat yang ketetapannya dapat berubah demi mewujudkan
kemaslahatan umat.
Dalam sebuah atsar yang diriwayatkan oleh Ziyad bin Hudhair, “Bahwa
Umar bin al-Khattab mengutusnya untuk urusan ‘usyr ke Iraq dan Syam, dan
memerintahkannya untuk mengambil 2,5% dari kaum muslimin, 5% dari kafir
dzimmi, dan 10% dari kafir harbi.45
Politik Umar bin al-Khattab memiliki karakteristik dan fleksibel dalam
penetapan ‘Usyr, ini menunjukan bahwa penetapan ‘Usyr merupakan Ijtihad dan
wewenang imam (pemimpin negara), dimana ketentuan penambahan dan
pengurangannya sesuai tuntuntan kemaslahatan kaum muslimin, prosentase ‘Usyr
terpengaruh dengan bentuk barang dagangan yang didatangkan dan tingkat
kebutuhan kaum muslimin, jika terdapat kebutuhan terhadap barang tersebut,
maka presentasi ‘Usyrnya diturunkan untuk memotivasi importir barang,
sebaliknya jika kebutuhannya lebih sedikit maka presentasinya ditambah46.

6. Pengkaplingan tanah (Iqta’)


Adapun yang dimaksud pengaplingan tanah (al-Iqta’) di dalam fiqih Islam
adalah, jika para imam dalam hal ini pemerintah, memberikan suatu lahan tidur
kepada orang lain (masyarakat) karena kemaslahatan menuntut hal tersebut, yaitu
dengan tujuan untuk digarap, dieksplorasi atau dimanfaatkan dalam tempo tertentu
(hak memanfaatkan).47
Umar bin al-Khattab pada masa pemerintahannya, beliau sangat
memperhatikan urgensi semua aktifitas produksi, baik berupa barang dan jasa
yang dilakukan seorang muslim untuk memperbaiki apa yang dimilikinya, salah
satu aktifitas produksi yang beliau galakkan adalah penggarapan lahan tidur yang
dimiliki oleh Negara, yaitu dengan cara memberikan kesempatan kepada orang-

44
HR. Abu Daud No. 16.843.
45
Abû Yusuf, Kitab al-Kharâj, 276.
46
Al-Haritsi, Al-Fiqh Al-Iqtishad Li Amir, 510.
47
Asy-Syaukani, Nailul Authar, Juz 6, Cet I (Cairo: Syarikah al-Quds, 2008) hlm. 51-52.

15
orang yang membutuhkan untuk memanfaatkan lahan yang mati dan membantu
mereka dalam mengeksplorasinya. salah satu riwayat mengatakan: Utsman bin
Abul ‘Ash berkata kepada Umar Radiyallahu ‘Anhu: “Wahai Amirul mukminin,
didaerah kami terdapat lahan yang tidak ada pemiliknya, maka putuskanlah dia
kepadaku untuk aku kelola, agar dia mendatangkan manfaat bagi keluargaku juga
bagi kaum muslimin” maka umar menetapkan lahan itu untuknya.48
Pengaplingan tanah pada masa Umar bin al-Khattab tidak dikhususkan
pada lahan mati saja, tapi juga pengaplingan ini dilakukan pada tanah Ash-
Shawafi; yaitu bentuk tanah di daerah taklukan. tanah ini pada umumnya telah
digarap, dan pemiliknya diusir darinya karena kalah perang. Di mana Umar
menetapkan tanah ini menjadi milik baitul mal dan hasilnya dipergunakan untuk
kemaslahatan kaum muslimin. Pada sisi lain manajemen pengkaplingan dan upaya
menghidupkan lahan mati dapat dilakukan dengan bentuk memberikan saham
dalam merealisasikan keadilan distribusi.49
Berbeda dengan Umar bin al-Khattab, yang memberikan tanah Ash-
Shawafi umumnya kepada orang orang yang akan mengerjakannya dalam bidang
pertanian dengan pembagian hasil.50 Pada masa pemerintahan Utsman bin ‘Affan
kebijakan manajemen kepemilikan tanah Ash-Shawafi diserahkan kepada pribadi-
pribadi untuk dikelola dengan sistem rental.51 Muawiyah yang tatkala itu
merupakan gubernur Syria, meminta tanah tersebut kepada Utsman dengan alasan
gajinya tidak mencukupi dikarenakan dia selalu memberikan hadiah-hadiah
kepada kerajaan Romawi, yang merupakan negara tetangga, untuk memberikan
kesan yang baik. Muawiyah beranggapan, dikarenakan pengeluaran dia
merupakan keuntungan secara politik untuk negara islam, maka dia seharusnya
mendapatkan kompensasi berupa tanah sawâfi. Dengan pendekatan, pengaruh di

48
Ibnu Zanjawih, Al-Amwal, Juz 2, Cet I, pentahqiq / peneliti Syakir Zaib Fayyad (Riyadh: Markaz
Faishal lil buhuts wa ad-dirasat al-islamiyah, 1986) hlm. 626.
49
Al-Haritsi, Al-Fiqh Al-Iqtishad Li Amir, 198-199.
50
al-Haritsi, Al-Fiqh Al-Iqtishad Li Amir, 440
51
El-Ashker dan Wilson, Islamic Economic, 118.

16
Syria, dan kedekatan Muawiyah sebagai kerabat, Muawiyah mendapat persetujuan
Utsman.52
Menurut Qutb Ibrahim Muhammad, sebagaimana dikutip oleh el-Asyker
dan Wilson, dalam hal ini Khalifah Utsman memiliki beberapa alasan:53
1) Tanah tersebut diberikan dengan sistem rental bukan kepemilikan.
2) Meningkatnya produktifitas tanah.
3) Tidak perlu membayar pegawai pemerintahan untuk mengurus tanah tersebut.
Bertambah banyaknya pendapatan negara, karena rental tanah dan
pengurangan biaya pegawai negara. Pertambahan ini dari 4,000,000 dirham dan
9,000,000 dirham sampai 50,000,000 dirham selama masa pemerintahan Utsman.
Hingga pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Tholib, membuka kembali
lahan-lahan perkebunan yang telah diberikan kepada orang-orang kesayangan
utsman, dan mendistribusikan pendapatan pajak tahunan sesuai dengan ketentuan
yang telah di tetapkan Umar54
Dapat dilihat dari kebijakan ketiga khalifah tersebut, dari kekhalifahan
Umar bin al-Khattab hingga Ali bin Abi Tholib, pengkaplingan tanah dan
eksplorasinya menjadi instrumen penting dalam kebijakan fiskal, menjadi salah
satu unsur pokok pemasukan baitul mal.

7. Kebijakan Politik Ekonomi dalam Menhadapi Krisis Ramdah


Sekitar akhir tahun 17 H,55 masyarakat Arab dihadapkan dengan
perubahan ekonomi yang luar biasa, yang dikenal dengan krisis ramdah (wabah
th’aun amawas) kondisi pada saat itu manusia tertimpa bencana kelaparan berat
sebab kemarau panjang dan paceklik, binatang mati bergelimpangan dan
manusia kelaparan, hingga manusia terlihat mengangkat tulang.56 Dampaknya
terhadap ekonomi adalah terhentinya aktifitas perdagangan, krisis masalah sosial,

52
Ibid
53
El-Ashker dan Wilson, Islamic Economic, 119.
54
Karim, Sejarah Perekonomian Islam, 82.
55
Imam Ibnu katsir, al -Bidayah Wa al- Nihayah, jilid 7, 189.
56
Az-Zuhri, Kitâb al-thobaqât al-Kubra, Jilid 3, 235.

17
krisis masalah kesehatan.57 Tindakan Umar dalam menghadapi krisis dengan
menerapkan beberapa terapi perubahan ekonomi.
1) Andil dalam mengemban penderitaan krisis, beliau tidak menyukai makanan
yang orang lain kesulitan untuk mendapatkannya sepertinya aga tidak
melukai hati rakyat karena mementingkan dirinya.
2) Manajemen krisis, menugaskan orang untuk mengurusi para pengungsi dan
segala kebutuhannya.
3) Memerintahkan menghitung jumlah korban yang tertimpa krisis, dan
penghitungan kembali setiap kali jumlah orang yang terkena krisis
bertambah, agar dapat dilakukan perencanaan berdasarkan informasi yang
cermat dan terperinci.
4) Membuat perencanaan strategis untuk menghadapi perubahan di masa
mendatang, diantaranya penggalian teluk untuk menghubungkan antara
Mesir dan Hijaz untuk memudahkan dalam mendatangkan makanan pokok
ke daerah Hijaz58

8. Kebijakan Moneter.
Uang dikenal sebagai sesuatu yang diistilahkan manusia untuk menjadikan
suatu barang memiliki harga.59 Pada masa Rasulullah saw, Khalifah Abu bakar
Shiddiq dan awal dari masa Khalifah Umar, kaum Muslim telah menggunakan
bentuk, cetakan dan gambar dinar Hirakliy dan dirham Kisra. Hingga Pada
tahun ke-20 Hijriyah atau pada tahun ke-8 dari masa pemerintahan Khalifah
Umar, beliau mencetak dirham yang baru berdasarkan dirham Sasanid. Bentuk
dan timbangannya tetap mengacu pada (dirham) Kisra, gambar dan tulisannya
bermotif Bahlawiyah (Pahlevi). Hanya saja beliau menambah tulisannya dengan
menggunakan huruf Arab kufi, misalnya ‫( بسم هللا‬dengan nama Allah) dan ‫بسم هللا ربي‬
(dengan nama Allah Rabbku). Kemudian kaum Muslim tetap menggunakan uang
dinar yang mengacu pada (bentuk) dinar Byzantium dan dirham Sasanid, hanya

57
Al-Haritsi, Al-Fiqh Al-Iqtishad Li Amir, 316
58
Al-Haritsi, Al-Fiqh Al-Iqtishad Li Amir, 325.
59
Zallum, al-Amwâl, 197

18
terdapat tambahan kata Islam dengan menggunakan huruf Arab. Keadaan ini
berlangsung terus sampai masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan.60
Kebijakan Moneter Umar yang masyhur adalah gagasan spektakulernya
tentang pembuatan dari kulit unta agar lebih efesien, alasan lainnya, banyaknya
kecurangan dalam dirham. Namun, beliau mengurungkan rencananya karena
khawatir unta akan punah.61 Dalam riwayat lain, seseorang berkata kepadanya :
kalau begitu unta akan punah, maka aku batalkan keinginan tersebut”62
Nampaknya, kebutuhan mencetak uang pada masa Umar menjadi lebih besar
daripada sebelumnya karena luasnya wilayah negara khilafah, banyaknya harta
yang masuk ke Negara khilafah dari daerah-daerah yang ditaklukkan,
meningkatnya kegiatan perekonomian kaum muslimin, dan adanya pemalsuan
dirham, dan lain-lain. Meskipun demikian, belum terpenuhi keinginan untuk
menerbitkan mata uang yang independen bagi negara Islam pada waktu itu,
namun hanya mampu menerbitkan sebagian dirham yang tercermin dalam
pengeluaran dirham sesuai ukuran yang syari’at.63
Hingga pada masa kekhalifahan Utsman bin ‘Affan beliau
mengembangkan design uang, pada masanya, uang dicetak dengan bertuliskan
lafadz ‫( هللا الكبر‬Allahu Akbar).64

9. Kebijakan Fiskal Era Khulafaur Rasyidin


Kebijakan fiskal adalah kebijakan pemerintah dalam memungut pajak dan
membelanjakan pajak tersebut untuk membiayai kegiatan ekonomi.65 Sistem
ekonomi Islam dan kebijakan fiskal pada masa Khulafaur Rasyidin masih
melanjutkan apa yang telah dirintis dan ditegakkan Rasulullah dalam mengatur
perekonomian Negara. Terkecuali pada masa Umar ibn al-Khattab, pendapatan
Negara mengalami peningkatan yang sangat signifikan, perkembangan ekonomi

60
Zallum, al-Amwâl, 199
61
Al-Haritsi, Al-Fiqh Al-Iqtishad Li Amir, 289
62
Muhammad Utsman Syabir, Al-Mu’âmalat Al-Mâliah Al-Mu’asirah fi al-Fiqh al-Islami (al-Ardan:
Dâr al-Nafa’is, 1998), 157.
63
Al-Haritsi, Al-Fiqh Al-Iqtishad Li Amir, 298.
64
Syabir, Al-Muamat Al-Maliah Al-Mu’asirah, 157.
65
Sadono Sukirno, Pengantar Teori Mikroekonomi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 424.

19
pada masanya mengalami kemajuan, keadaan ini dipengaruhi keberhasilannya
dalam melakukan inovasi-inovasi merubah kebijakan yang telah ada, juga
keberhasilannya dalam melakukan ekspansi.
Dalam pendistribusiannya, masa kekhalifahan Abu Bakr dan Ali bin Abi
Tholib menerapkan sistem kesamarataan, Berbeda pada masa Umar bin Khattab
dan Utsman bin Affan, mereka mendistribusikan harta baitulmal berdasarkan
prinsip keutamaan. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. Kebijakan Fiskal
era Khulafaur Rasyidin diantaranya; Khumus min al-Ghanam, Fai, Jizyah, Zakat,
‘usyr, Kharaj, Waqaf dan Sedeqah.

C. Analisa Perkembangan Peradaban Ekonomi Islam Pada Era Khulafa al-


Rasyidin.
Peradaban suatu bangsa pasti tak akan pernah terlepas dari kebijakan yang
ada pada bangsa itu sendiri. Kerapkali kemunduran bahkan kehancuran suatu
bangsa bermula dari salah kaprahnya kebijakan yang diterapkan. Namun tak
jarang juga, arus kemajuan dan kejayaan suatu bangsa bermuara dari kebijakan.
Kebijakan sangat menentukan haluan suatu bangsa, kemana nohkoda bangsa
hendak berlayar. Oleh karena itu, kebijakan merupakan hal yang sangat esensial
dalam menentukan pengembangan sebuah bangsa dalam rangka membangun satu
peradaban dan menorehkan kemajuan. Pendek kata, maju mundurnya suatu
bangsa sangat tergantung pada kebijakan yang diterapkan.
Sebagai terminal akhir suatu kebijakan, maka kemampuan seorang
pemimpin sangat menentukan. Tercatat dalam lembaran sejarah, Islam pernah
memiliki pemimpin-pemimpin (khalifah) yang namanya masih acapkali
dibicarakan, baik di kalangan akademisi maupun non-akademisi, bahkan menjadi
rujukan dalam memformulasikan suatu tindakan berupa kebijakan yang
menyentuh wilayah politik, sosial, dan ekonomi.
Perekonomian era Khulafur Rasyidin dalam perkembangannya, pada masa
kekhalifahan Abu Bakar tidak mengalami banyak perubahan selain mengikuti apa
yang telah dirintis oleh Rasulullah SAW. Disebabkan masa kepemimpinannya
yang singkat, kurang lebih selama dua tahun. Namun, dalam masa yang singkat

20
itu Abu Bakar memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan
ekonomi Islam, yaitu upayanya dalam memerangi para pembangkang zakat,
dimana zakat sebagai instrument kekuatan fiscal.
Kemajuan pesat peradaban ekonomi Islam dimulai pada masa Umar bin
Khattab, pada masa inilah Islam menorehkan tinta emas dalam catatan sejarah,
disamping masa pemerintahannya yang berlangsung lama, keberhasilannya
mengembangkan perekonomian umat ini didasari keberaniannya mengambil
kebijakan-kebijakan inovatif yang belum pernah ada sebelumnya. Sehingga
zamannya dikenal dengan zaman yang sarat dengan perubahan. Hal ini sangat
menunjukkan karakter dan kepribadian Umar bin Khattab sebagai seorang yang
terkenal akan keberaniannya dan prinsipil.
Dalam masalah perekonomian Umar Ibn Khattab dipandang banyak
melakukan inovasi, hal ini bisa dilihat dari beberapa pemikiran dan gagasannya
yang mampu mengangkat citra Islam pada masanya.
Memasuki pemerintahan selanjutnya, ketika khalifah Utsman bin Affan
menjabat, enam tahun pertama kepemimpinannya stabilitas roda perekonomian
dapat dipertahankan bahkan mengalami kemajuan, Hal ini didasari atas semakin
luasnya kekuasaan Islam, dengan kata lain bahwa sumber pemasukan negara dari
berbagai unsur seperti zakat, jizyah dan ghonimah semakin besar. Namun,
memasuki enam tahun kedua pemerintahannya, tidak terdapat perubahan
mendasar dalam bidang perekonomian, hal ini disebabkan karena mulai banyak
kekecewaan kaum muslimin yang ditimbulkan oleh kebijakan Ustman bin Affan
yang dianggap banyak menguntungkan keluarga khalifah, disamping itu. Faktor
lainnya yang mempengaruhi hal ini dikarenakan usianya yang mulai lanjut, yang
berpengaruh pada karakter dan kepribadiannya. Sehingga kebijakan-kebijakannya
dianggap telah disetir kerabat dekatnya.
Adapun ketika masa pemerintahan Ali bin Abi Tholib, dalam catatan
sejarah masa ini banyak diwarnai ketidak stabilan politik, walaupun Khalifah Ali
bin Abi Tholib mewarisi kendali pemerintahan dengan wilayah yang sangat luas,
namun demikian, hal tersebut tidak berarti bahwa Ia dengan mudahnya
menjalankan roda pemerintahan, sebab Ali juga mewarisi persoalan politik yang

21
sangat berpotensi menciptakan konflik dari pemerintahan sebelumnya, yang
menuntut penegakan hukum atas kematian Ustman bin Affan.66
Meski demikian, patut dicatat bahwa dalam mengelola perekonomian Ia
sangat berhati-hati terlebih dalam membelanjakan keuangan negara. Bahkan
diriwayatkan juga Ali menarik diri daftar penerima gaji dan bahkan menyumbang
sebesar 5000 Dirham setiap tahunnya. Dalam masalah perekonomian satu hal
yang sangat monumental dari pemerintahan Ali adalah pencetakan mata uang
sendiri atas nama pemerintahan Islam.67
Pereode Khalifah Umar bin Khattab merupakan pereode keemasan Islam
yang didalamnya semua aspek mulai dari dakwah, politik dan ekonomi tumbuh
dan berkembang pesat dengan mengacu pada rule syari’at Islam. Keberhasilan
pereode ini tidak terlepas dari pribadi khalifah Umar sendiri yang tegas dan peduli
akan kemajuan Islam.
Jika kita analisa keberhasilan Khalifah Umar pada dalam roda
pemerintahan dan perekonomian dengan kebijak-kebijakan yang diambil, maka
ada beberapa hal yang menjadi faktor keberahasilan Khalifah Umar dalam
menerapkan kebijakan ekonomi dalam pemerintahannya, yaitu:
a. Perhatian umar tentang masalah ekonomi dan tidak tergesa-gesa dalam
mengambil ketetapan di dalamnya melainkan dengan perenungan dan
memperhatikan tentang danpak sekarang dan akan datang. Seperti
pengambilan kebijakan tidak mengambil zakat hewan ternak pada tahaun
ramadah.
b. Umar dalam megambil kebijakan menggunakan jalan musyawarah dan
kembali kepada nash-nash al-qur’an dan as-sunnah untuk mencari hukum di
dalamnya. Seperti permasalah kepemilikan tanah pada daerah taklukan.
c. Lebih mengedepankan kemanfaatan umum daripada kepentingan pribadi.
Seperti permasalah pembentukan baitul mal dan pendistribusiannya.

66
Az-Zuhri, Kitâb al-thobaqât al-Kubra, Jilid 3, 29.
67
Tim Penulis P3EI UII Jogyakarta, Ekonomi Islam (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009), hlm.
104

22
Selain point di atas, keberhasilan Umar dalam penerapan kebijakan
ekonomi adalah semua kebijakan yang diambil dan diputuskan dalam majlis syuro
langsung diaplikasikan dalam masyarakat, mulai dari daerah ibukota sampai
propinsi-propinsi. Dengan sumber daya pelaksananya yang berdedikasi tinggi,
amanah dan melaksanakannya dengan penuh tanggung jawab.

D. Kesimpulan
1. Abu Bakar menjadi Khalifah di umur 59 dan menjabat selama kurang lebih 2
tahun, 3 bulan, 10 hari. Umar ibn al-Khattab menjadi khalifah di umur 47 tahun
dan menjabat selama kurang lebih 10 tahun dan 6 bulan, dan mampu
merealisasikan hal-hal yang besar dalam masa tersebut. Utsman ibn Affan
menjadi khalifah di umur 69 tahun dan menjabat selama 12 tahun, 12 hari. Ali
bin Abi Thalib menjadi khalifah di umur 56 tahun dan menjabat selama kurang
lebih 6 tahun.
2. Pranata Ekonomi yang lahir dan berkembang pada masa Khulafa al-Rasyidin
diantaranya adalah zakat sebagai dasar kebijakan fiskal, Pendirian Baitulmal,
Kharaj, Hisbah, 'Usyr, Iqta', Kebijakan dalam menghadapi krisis Ramdah,
Pencetakan uang.
3. Pemerintahan Abu Bakar tidak banyak inovasi yang baru dikarenakan masa
kepemimpinannya yang singkat selama 2 tahun. tetapi dalam masa itu ada
kebijakan Abu Bakar yang menjadikan zakat sebagai dasar kebijakan fiskal
4. Perkembangan peradaban ekonomi pada masa Umar bin Khattab merupakan
yang paling pesat. hal ini dikarenakan keberanian Umar dalam mengambil
kebijakan-kebijakan inovatif yang belum pernah ada sebelumnya, disamping
masa kepemimpinannya yang berlangsung lama. yang menjadi faktor
keberhasilan Umar diantaranya adalah: tidak tergesa-gesa dalam mengambil
ketetapan, menggunakan jalan musyawarah, lebih mengedepankan
kemanfaatan umum dari pada kepentingan pribadi.
5. Perekonomian pada masa Utsman bin Affan, pada 6 tahun pertama
pemerintahannya mengalami kemajuan dikarenakan stabilnya sistem
perekonomian yang diterapkan sejak masa Umar dan semakin luasnya

23
kekuasaan Islam. Sedangkan pada 6 tahun kedua kebijakan Ustman bin Affan
dianggap banyak menguntungkan keluarganya, hal ini dikarenakan usianya
yang mulai lanjut yang berpengaruh pada karakter dan kepribadiannya.
6. Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib banyak diwarnai ketidak stabilan
politik sehingga tidak banyak perkembangan ekonomi pada masa itu. Dalam
masalah perekonomian satu hal yang sangat monumental dari pemerintahan Ali
adalah pencetakan mata uang sendiri atas nama pemerintahan Islam.

24
E. DAFTAR PUSTAKA

Abû Yûsuf. Kitab al-Kharâj. Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1979.


Al-‘Umari, Akram Dhiya. ‘Asru al-Khilâfah al-Râsyidah. Riyadh: Maktabah al-
‘Ubaikan, 2003.
Al-Haritsi, Jaribah ibn Ahmad. Al-Fiqh al-Iqtishâd Li Amîr al-Mu’minîn Umar
Ibn al-Khattâb. Jeddah: Dâr al-Andalus al-Khadrâ, 2003.
Az-Zuhri, Muhammad ibn Saad. Kitâb al-thobaqât al-Kubra. Madinah: al-
Syirkah al –Dauliyah li al-Thibâ’ah, 2001.
Amalia, Euis. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik hingga
Kontemporer. Jakarta: Gramata Publishing, 2010.
As-suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman. Târikh al-khulafa. Beirut: Dar ibn Hazm.
Asy-Syaukani. Nailul Authar, Juz 6, Cet I. Cairo: Syarikah al-Quds, 2008.
At-Thabari, abi Ja’far Muhammad ibn Jarir. Târîkh at-Thabari. Mesir: Dâr al-
Ma’ârif, Jilid 4.
El-Ashker, Ahmed A.E. dan Wilson, Rodney. Islamic Economic a Short History.
Leiden: Brill, 2006.
Haekal, Muhammad Husain. Abu Bakar as-Siddiq Sebuah Biografi dan Studi
Analisis tentang Permulaan Sejarah Islam Sepeninggal Nabi, terjemahan
oleh Ali Audah. Jakarta: Litera Antarnusa, 1995.
Huda, Nurul dan Muti, Ahmad. Keuangan Publik Islam (pendekatan al-Kharāj
Imam Abu Yusuf). Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.
Ibnu Zanjawih, Al-Amwal, Juz 2, Cet I, pentahqiq / peneliti Syakir Zaib Fayyad.
Riyadh: Markaz Faishal lil buhuts wa ad-dirasat al-islamiyah, 1986.
Kamal, Yusuf. Az-Zakah wa Tarsyîd al -Ta’mîn A l-Mu’âshir. Kairo: Maktabah
Iskandariyah, 1986.
Karim, Adiwarman Azwar. Sejarah Perekonomian Islam. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2008.
Katsir, Imam Ibnu. al -Bidayah Wa al- Nihayah. Beirut: Dar ibn Katsîr, Jilid 7.

25
Manan, Abdul. Teori Dan Praktek Ekonomi Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti
Wakaf, 1995.
Qal'ahji, Muhammad Rawwas. Ensiklopedi Fiqih: Umar Bin Khathab RA. Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1999.
Rozalinda. Ekonomi islam teori dan aplikasinya pada aktivitas Ekonomi. Jakarta:
Rajawali Pers, 2004.
Sabzwari, M.A. “Sistem Ekonomi dan Fiskal Pada Masa Khulafaur Rasyidin.” In
Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, eds. Adiwarman Karim. Jakarta: The
International Institute of Islamic Thought-Indonesia (IIIT-I), 2002.
Sukirno, Sadono. Pengantar Teori Mikroekonomi. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002.
Syabir, Muhammad Utsman. Al-Mu’âmalat Al-Mâliah Al-Mu’asirah fi al-Fiqh al-
Islami. al-Ardan: Dâr al-Nafa’is, 1998.
Tim Penulis P3EI UII Jogyakarta, Ekonomi Islam. Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, 2009.
Zallum, Abd al-Qadim. al-Amwâl fi Daulah Al-Khilâfah. Beirut: Dâr al-Ummah,
2004.

26

Anda mungkin juga menyukai