Anda di halaman 1dari 16

KONSEP NISHAB ZAKAT SEBAGAI ACUAN STANDARISASI

UPAH MINIMUM
Muhammad Noor Sayuti 1

Abstrak
Upah minimum regional (UMR/UMP) merupakan salah satu komponen penting
dalam kehidupan masyarakat yang digunakan sebagai pemenuhan kebutuhan
hidup bagi tenaga kerja, guna meningkatkan taraf hidup. Hingga kini persoalan
pengupahan ibarat lingkaran setan bagi industri, buruh, dan pemerintah. Di
satu sisi, jika pemerintah tidak menaikkan upah, kondisi buruh semakin tertekan
dan ini dapat menciptakan kerawanan sosial yang jauh lebih hebat dari sekedar
orang hidup di bawah garis kemiskinan. Di sisi lain, adanya anggapan dengan
menaikkan upah buruh maka membiarkan investor asing lari.
Dalam

perjalanannya

penerapan

konsep-konsep

konvensional

untuk

memecahkan kasus upah yang layak bagi buruh ini selalu mengalami kendala
dan kebuntuan, persoalan buruh dalam memperjuangkan kesejahteraannya
seakan tidak menemukan jawaban. Dalam konteks ini Ekonomi Islam
menawarkan solusi agar menemukan titik temu antara dua kepentingan yang
bertolak belakang. Yaitu, dengan konsep bantuan Zakat kepada buruh atau
Nishab Zakat dalam menentukan standar upah minimum.
Kata Kunci: Standar Upah Minimum, Pengaruh Inflasi, Konsep Nishab Zakat

I. PENDAHULUAN
Kebijakan upah minimum merupakan satu-satunya kebijakan pemerintah
Indonesia yang secara langsung dan eksplisit dikaitkan dengan upah buruh. Tidak
mengherankan, jika semua pihak (pemerintah, serikat buruh, LSM) menempatkannya
sebagai isyu sentral. Bahkan, tidak sedikit yang menganggap upah minimum merupakan
obat mujarab (panasea) bagi persoalan kesejahteraan pekerja, dan pada gilirannya
kesejahteraan rakyat.

Mahasiswa Magister Program Studi Ekonomi Syariah, Universitas Islam Negeri Bandung Sunan Gunung
Djati, E-mail: 34198720@yahoo.com.

Masalah tenaga kerja menjadi sangat rentan dibicarakan jika dikaitkan dengan
kesejahteraan. Apalagi bahasan tersebut menyangkut pengupahan. Hal ini dikarenakan
upah buruh di Indonesia masih sangat rendah dan tidak bisa mencukupi kebutuhan pokok
yang semakin melambung. Dari sekitar 46 juta buruh, 85% atau sekitar 39 juta buruh
belum mendapatkan upah yang layak. Selain itu, Badan Pusat Statistik (BPS) menilai
porsi upah buruh di Indonesia masih sangat rendah jika dibandingkan dengan keseluruhan
biaya produksi. Porsi itu juga masih jauh jika dibandingkan dengan margin yang
diperoleh pengusaha. Selama ini upah buruh masih sekitar 20% dari keseluruhan biaya
produksi. Sementara total margin yang diperoleh pengusaha dari hasil penjualan mereka
bisa mencapai berlipat-lipat dari upah buruh per barang yang dijual.
Penelitian yang dilakukan oleh BPS menunjukkan bahwa, perbandingan upah dan
hasil kapital masih sangat rendah yaitu 20% hingga 80%. Seharusnya dari keseluruhan
output yang dihasilkan, upah mendapatkan porsi 40% dan 60% sisanya dialokasikan
untuk hasil kapital. Perbandingan tersebut sudah proporsional, artinya upah yang
diperoleh buruh tidak terlalu rendah dan biaya produksi yang ditanggung perusahaan juga
tidak terlalu tinggi.
Memang, upah minimum regional (UMR), yang kemudian berubah menjadi UMP
(Upah Minimum Propinsi) dan UMK (Upah Minimum Kabupaten), terus mengalami
kenaikan sesuai dengan perkembangan daya beli masyarakat. Namun, persentase
kenaikan UMR tersebut tidak memiliki korelasi kuat dengan peningkatan kebutuhan
buruh dan lajunya inflasi rill. Itu berarti tingkat kesejahteraan buruh masih dibawah
standar. Hal ini yang membuat eskalasi tuntutan dan demontrasi semakin meningkat
khususnya yang dilancarkan oleh pekerja. (Iskandar 2004)
Upah merupakan komponen penting dalam pelaksanaan hubungan kerja yang
mempunyai peranan strategis dalam pelaksanaan hubungan industrial. Dalam
menentukan tingkat upah, pengusaha dan buruh memiliki dua kepentingan yang bertolak
belakang. Bagi pengusaha, upah merupakan bentuk biaya yang dikeluarkan untuk
operasional perusahaan dan berdampak pada keuntungan yang diterima. Sedangkan bagi
buruh, upah merupakan sumber pendapatan, sehingga mereka sangat mengharapkan
peningkatan upah.
Dua kepentingan yang bertolak belakang tersebut, sering memunculkan
perselisihan antara pengusaha dan buruh. Oleh karena itu untuk mencapai kesepakatan

dalam penentuan tingkat upah maka peran dan intervensi pemerintah sangat diperlukan.
Pertama, agar dapat menguatkan posisi buruh dimata pengusaha. Kedua, sebagai bentuk
perlindungan terhadap kaum buruh yang menjadi agen bullying, disaat posisi tawar buruh
sangat rendah. Ketiga, menyeimbangkan posisi buruh dan pengusaha dalam suatu
hubungan industrial.
Bentuk intervensi pemerintah dalam menentukan upah buruh diperbolehkan
dalam Islam, demikian itu dapat ditoleransi jika tujuannya untuk mencapai
kemashlahatan. Pemerintah melakukan intervensi jika pasar terdistorsi sehingga akhirnya
upah yang dihasilkan bukanlah upah yang adil. (yusuf al-Qardhawi 1995) Campur tangan
pemerintah dalam menentukan upah buruh/pekerja dikenal dengan teori Ibnu Taimiyah.
Menurut Ibnu Taimiyah sebagaimana yang dikutip oleh Islahi, Upah yang setara adalah
upah yang secara bebas diserahkan kepada kekuatan permintaan dan penawaran pasar,
tanpa intervensi pemerintah. Tetapi ketika upah berjalan tidak wajar maka pemerintah
berhak menentukan upah.(Al-Islahi 2008)
Salah satu bentuk keterlibatan pemerintah dalam hubungan industrial adalah
dalam penetapan tingkat upah. Kebijakan ini disebut dengan kebijakan upah minimum.
Upah minimum diartikan sebagai ketetapan yang dikeluarkan oleh pemerintah mengenai
keharusan perusahaan untuk membayar upah sekurang-kurangnya sama dengan
Kebutuhan Hidup Layak (KHL) kepada pekerja yang paling rendah tingkatannya.
Dengan kata lain, bahwa upah minimum dapat dikatakan sebagai salah satu instrumen
kebijakan pemerintah untuk melindungi kelompok pekerja lapisan paling bawah di setiap
perusahaan agar memperoleh upah serendah-rendahnya sesuai dengan nilai atau harga
kebutuhan hidup layak.

II. PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN DAN ASAS-ASAS PENGUPAHAN
1. Pengertian Upah
Menurut Dewan Penelitian Pengupahan Nasional: Upah adalah suatu penerimaan
sebagai imbalan dari pemberi kepada penerima kerja untuk suatu pekerjaan atau jasa yang
telah dan akan dilakukan, berfungsi sebagai jaminan kelangsungan hidup yang layak bagi
kemanusiaan dan produksi, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan
menurut suatu persetujuan undang-undang dan peraturan. Dan dibayarkan atas dasar
suatu perjanjian kerja antara pemberi dan penerima kerja.(Ruky 2001)
2. Asas-asas Pengupahan
Berdasarkan perundangundangan ketenga kerjaan tentang asas pengupahan dapat dirinci
sebagai berikut:
a)

Hak menerima upah timbul pada saat adanya hubungan kerja dan berakhir pada saat
hubungan kerja putus (Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang
perlindungan Upah).

b)

Pengusaha tidak boleh mengadakan diskriminasi upah bagi buruh laki-laki dan wanita
untuk jenis pekerjaan yang sama (Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981
tentang Perlindungan Upah).

c)

Upah tidak dibayar apabila buruh tidak melakukan pekerjaan atau disebut asas no
work no pay (Pasal 93 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan).
Asas tersebut dikecualikan bagi buruh yang tidak melakukan pekerjaan karena
beberapa hal sebagaimana diatur dalam Pasal 93 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU
No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, sehingga pengusaha wajib membayar
upah kepada buruh secara proposional berdasarkan jenis-jenis sebab masing-masing.

d)

Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari ketentuan upah minimum
(Pasal 90 ayat (1) UU No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan).

e)

Komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap, dengan formulai upah
pokok minimal 75 % dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap (Pasal 94 UU No.
13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan).

f)

Pelanggaran yang dilakukan oleh buruh karena kesengajaan atau kelalaian dapat
dikenakan denda (pasal 95 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan).

g)

Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan


pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah buruh
(Pasal 95 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan).

h)

Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan


perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari buruh
merupakan utang yang didahulukan pembayarannya (Pasal 95 ayat (4) UU No. 13
Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan). Dalam Pasal 90 ayat (2) UU No. 13 tahun 2003
disebutkan bahwa: bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum
sebagaimana dimaksud dalam pasal 89 UU No. 13 tahun 2003 dapat dilakukan
penangguhan. Adapun tatacara penangguhannya diatur sedemikian rupa dalam
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. KEP-231/MEN/2003.

i)

Tuntutan pembayaran upah buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan
kerja menjadi kedaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak
timbulnya hak (Pasal 96 UU No.13 Tahun 2003).

B. KEBIJAKAN PENGUPAHAN BURUH DI INDONESIA


Kebijakan pengupah ini ditempuh pemerintah dalam rangka memberikan perlindungan
kepada buruh.
1. Upah Minimum
Kebijakan upah minimum dilakukan oleh pemerintah sejak akhir tahun 1980-an.
Kebijakan ini dituangkan ke dalam beberapa perundang-undangan, seperti Peraturan
Menteri Tenaga Kerja No. PER-01/MEN/1999 tentang upah minimum, yang kemudian
disempurnakan dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. KEP226/MEN/2000 dan peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.PER17/MEN/VII/2005. Dalam Pasal 88 sampai dengan pasal 90 UU. No. 13 Tahun 2003
secara eksplisit semakin memperkuat pengaturan Upah Minimum.
Pengertian upah minimum menurut pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Tenaga
Kerja No. PER-01/MEN/1999 adalah upah bulan terendah yang terdiri dari upah pokok
termasuk tunjangan tetap. Dalam praktiknya masih sering bermasalah khususnya pada
sektor industri padat karya, penafsiran terhadap fungsi upah minimum cenderung
merugikan para buruh yang mempunyai masa kerja lebih dari satu tahun, telah
berkeluarga, serta memiliki jabatan tertentu di semua level. Para buruh tersebut masih

menerima upah yang besarnya sama dengan upah minimum. Begitu juga terhadap buruh
yang mempunyai keahlian tertentu atau yang berprestasi, tidak memiliki perbedaan upah
secara nyata jika dibandingkan dengan upah rata-rata buruh pada umumnya. (Hakim
2006)

2. Upah Kerja Lembur


Upah kerja lembur merupakan kewajiban pengusaha untuk membayarkannya
kepada buruh yang telah melebihi ketentuan waktu kerja yang telah disepakati.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Keputusan menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.
KEP-102/MEN/VI/2004, pengertian waktu kerja lembur adalah waktu kerja yang
melebihi 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6
(enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat
puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1(satu) minggu, atau waktu
kerja pada hari istirahat mingguan dan atau pada hari libur resmi yang ditetapkan
pemerintah.
Adapun Jenis dan sifat pekerjaan yang dijalankan secara terus menerus seperti pekerjaan
di bidang pelayanan kesehatan dan transportasi, dimana pengusaha memperkerjakan
pekerja/buruh pada hari-hari libur resmi, wajib membayar upah kerja lembur. Tetapi, bagi
pekerja/buruh yang termasuk dalam golongan jabatan tertentu, tidak berhak atas upah
kerja lembur, dengan ketentuan mendapat upah yang lebih tinggi. Yang termasuk
golongan jabatan tertentu adalah pekerja/buruh yang memiliki tanggungjawab sebagai
pemikir, perencana, pelaksana dan pengendali jalannya perusahaan yang waktu kerjanya
tidak dapat dibatasi menurut waktu kerja yang ditetapkan perusahaan sesuai dengan
perundang-undangan.

3. Upah Tidak Masuk Kerja Karena Berhalangan


Upah ini diberikan oleh pengusaha kepada buruh yang tidak masuk kerja karena
berhalangan akibat sakit atau haid, sebagaimana diatur dalam Pasal 93 ayat (2) huruf a
dan huruf b UU No. 13 Tahun 2003

4. Upah Tidak masuk Kerja Karena Melakukan Kegiatan Lain di Luar Pekerjaannya.

Upah ini diberikan oleh pengusaha kepada buruh yang tidak masuk kerja karena
melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya, sebagimana diatur dalam Pasal 93 ayat (2)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf h, dan huruf i UU No. 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan.

5. Upah Karena Menjalankan Hak Waktu Istirahat Kerja.


Upah ini diberikan oleh pengusaha kepada buruh yang tidak masuk kerja karena ia
melaksanakan hak waktu istirahat kerja sebagaimana diatur Pasal 93 ayat (2) huruf g UU
No. 13 Tahun 2003.

6. Bentuk dan cara pembayaran upah sebagaimana telah dijelaskan pada


pembahasan asas pengupahan di atas.

7. Struktur dan Skala Pengupahan yang Proposional.


Hal ini dimaksudkan sebagai pedoman penetapan upah sehingga terdapat kepastian upah
setiap buruh, serta untuk mengurangi kesenjangan antar upah terendah dan tertinggi di
perusahaan bersangkutan. Kenyataannya kebijakaan ini bersifat fakultatif sehingga
pengusaha dapat melaksanakannya secara suka rela. Tidak ada sanksi hukum jika ia tidak
melaksanakannya.
Pasal 92 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 berbunyi:
"Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan,
jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi."
Dalam Pasal tersebut memang tidak ada kata wajib sehingga tidak mengikat untuk
dilaksanakan. Kendatipun demikian, secara teknis pengaturan tentang struktur dan skala
upah telah dikeluarkan Keputusn Menteri Tenaga Kerja dan Tranmigrasi No. KEP49/MEN/IV/2004. minimal Kepmen tersebut menjadi alat bantu administrasi dan alat
kebijakan pengupahan bagi perusahaan-perusahaan yang belum memiliki struktur dan
skala upah yang standar.

8. Upah Untuk Pembayaran Pesangon


Di sinilah letak keunikan ketentuan upah dalam sistem hukum ketenaga kerjaan, tidak
ada keseragaman definisi untuk semua kebutuhan. ada yang khusus untuk perhitungan

pesangon, ada yang khusus untuk kebutuhan lain, seperti untuk perhitungan upah lembur,
untuk pajak penghasilan dan sebagainya.

9. Upah Untuk Perhitungan Pajak Penghasilan


Upah untuk perhitungan pajak penghasilan telah diatur dalam peraturan pemerintah No.
72 Tahun 2001 tentang Pajak Penghasilan yang diterima oleh pekerja sampai dengan
sebesar upah minimum provinsi atau upah minimum Kabupaten/Kota. Pasal 1
menegaskan bahwa: "Pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima pekerja sampai
dengan sebesar upah minimum provinsi atau upah minimum kabupaten/kota ditanggung
pemerintah".

C. KONSEP PENGUPAHAN BURUH DALAM TINJAUAN ISLAM


Pada dasarnya, upah (al-Ujrah) adalah salah satu bentuk kompensasi yang
diberikan oleh orang yang mempekerjakan kepada orang yang dipekerjakan berdasarkan
aqad-aqad tertentu, dan secara khusus berhubungan erat dengan akad ijarah, suatu akad
terhadap manfaat suatu benda atau jasa tertentu dengan jumlah imbalan (iwadh) yang
jelas (Al-Zailai. 1898). Secara etimologi kata al-ujrah berarti al-Jaza (balasan) yang
berarti al-thawab (pahala).
Abdurrahman al-Maliki mengatakan bahwa upah adalah setiap harta yang
diberikan sebagai kompensasi atas pekerjaan yang dikerjakan manusia, baik berupa uang
maupun barang. Lanjutnya, bahwa kompensasi yang berupa uang jika dikaitkan dengan
barang dinamakan harga (thaman), dan jika dikaitkan dengan tenaga dinamakan upah (alujrah). (Al-Maliki 2001)
Menurut al-Quran bekerja itu adalah suatu kemuliaan dan kenikmatan tersendiri,
yang kemudian dikaitkan dengan upah atau imbalan. Sebagaimana penjelasan Al-Quran
dalam QS. At Taubah: 105:

dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang
mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang
mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang
telah kamu kerjakan.
Quraish Shihab dalam bukunya, Tafsir Al Misbah menjelaskan, QS. At Taubah: 105:
sebagai berikut: Bekerjalah kamu demi karena Allah semata dengan aneka amal yang
sholeh dan bermanfaat, baik untuk diri kamu maupun untuk masyarakat umum, Allah
akan melihat yakni menilai dan memberi ganjaran amal kamu itu. Ganjaran yang
dimaksud adalah upah atau kompensasi.(Shihab 2002)
Sedangkan dalam perspektif hadith dikatakan bahwa upah yang sifatnya materi
(Upah di dunia) mestilah terkait dengan keterjaminan dan ketercukupan pangan dan
sandang buruh yang Menerima upah Perkataan: harus diberinya makan seperti apa yang
dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri)",
bermakna bahwa upah yang diterima harus menjamin makan dan pakaian karyawan yang
menerima upah. (Aziz)
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa upah adalah setiap uang atau barang yang
diberikan kepada pekerja sebagai kompensasi atas jasa pekerjaan yang telah
dikerjakannya dan bukan sekedar hadiah dari pemberi kerja kepada penerima kerja/buruh.
Upah atau gaji adalah hak pemenuhan ekonomi bagi pekerja yang menjadi
kewajiban dan tidak boleh diabaikan oleh para majikan atau pihak yang mempekerjakan.
Sebegitu pentingnya masalah upah pekerja ini, Islam memberi pedoman kepada para
pihak yang mempekerjakan orang lain bahwa prinsip pemberian upah harus mencakup
dua hal, yaitu adil dan mencukupi.
Prinsip tersebut terangkum dalam sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan Imam AlBaihaqi, Berikanlah gaji kepada pekerja sebelum kering keringatnya, dan beritahukan
ketentuan gajinya, terhadap apa yang dikerjakan. (Aziz) Dan, bahwasanya Umar
Radhiyallahu Anhu melarang penundaan hak dari orang yang memilikinya, di mana
beliau mengatakan, "Siapa pun yang menyewa sesuatu, lalu pemiliknya telah melewati
Dzulhulaifah, maka sesungguhnya dia telah wajib membayar sewanya". (DR.Jaribah bin
Ahmad Al-Haritsi 2003)
Seorang pekerja berhak menerima upahnya ketika sudah mengerjakan tugastugasnya, maka jika terjadi penunggakan gaji pekerja, hal tersebut selain melanggar

kontrak kerja juga bertentangan dengan prinsip keadilan dalam Islam. Selain ketepatan
pengupahan, keadilan juga dilihat dari proporsionalnya tingkat pekerjaan dengan jumlah
upah yang diterimanya.

D. KERANGKA TEORI MENGENAI UPAH


Sebelum bicara lebih jauh berbicara tentang standarisasi kelayakan upah, terlebih
dulu harus diperhatikan asumsi dasar pengupahan, yakni pertama, ada hubungan yang
signifikan antara upah dengan perolehan laba; dan kedua, ada tindakan tidak maksimal
dari pihak buruh jika upah tidak diperhatikan. (Hanbal 1988)
Ada banyak teori yang menjelaskan besaran dan jenis upah yang mesti diterima
buruh.(Indaryani 2002) Antara lain adalah;
1. Teori Subsistensi yang digunakan untuk pekerja yang tidak mempunyai
keterampilan khusus. Upah, menurut teori ini, didasarkan pada tingkat subsistensi
sesuai tingkat kebutuhan mendasar;
2. Teori Dana Upah. Menurut teori ini, upah pekerja adalah bagian dari modal untuk
berproduksi. Besaran upah pekerja akan selalu didasarkan pada penambahan
modal atau pengurangan jumlah pekerja;
3. Teori Marginal Productivity. Menurut teori ini, upah tenaga kerja didasarkan pada
permintaan dan penawaran tenaga kerja. Pengusaha akan menambah upah pekerja
sampai batas pertambahan produktivitas marjinal minimal sama dengan upah
yang diberikan pada mereka.
4. Teori Bargaining. Teori ini mengandaikan ada batas minimal dan maksimal upah.
Upah yang ada merupakan hasil persetujuan kedua belah pihak;
5. Teori Daya Beli. Teori ini mendasarkan permintaan pasar atas barang dengan
upah. Agar barang terbeli, maka upah harus tinggi. Jika upah rendah, maka daya
beli tidak ada, dan barang tidak laku. Jika hal ini dibiarkan, maka akan terjadi
pengangguran besar-besaran;
6. Teori upah hukum alam. Teori ini menyatakan bahwa upah ditetapkan atas dasar
biaya yang diperlukan untuk memelihara atau memulihkan tenaga buruh yang
telah dipakai untuk berproduksi.
Konsepsi Islam tentang upah sesungguhnya hampir sama dengan Teori Marginal
Productivity dan Teori Bargaining. Sebagaimana penjelasan di atas, teori marginal

10

productivity menyatakan bahwa upah tenaga kerja didasarkan pada permintaan dan
penawaran tenaga kerja. Pengusaha akan menambah upah pekerja sampai batas
pertambahan produktivitas marjinal minimal sama dengan upah yang diberikan pada
mereka. Dengan cara ini, maka upah dapat ditentukan secara transparan, seksama, adil,
dan tidak menindas pihak manapun. Setiap pihak mendapat bagian yang sah dari hasil
usahanya, tanpa menzalimi pihak yang lain, sebagaimana firman Allah SWT:


"Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya. Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya).
Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna"
Setelah besaran upah berdasarkan produktivitas marjinal ketemu angkanya, kedua
belah pihak kemudian melakukan bargaining berdasarkan perubahan umum tingkat harga
barang dan biaya kebutuhan hidup, sehingga upah riil merupakan hasil persetujuan kedua
belah pihak. Islam selalu memotivasi untuk memberikan penjelasan (dan persetujuan)
besaran upah dari kedua belah pihak. Nabi bersabda: (Hanbal 1988)




"Sesungguhnya Nabi melarang mempekerjakan buruh sampai ia menjelaskan besaran
upahnya
Masuknya kompenen biaya hidup dalam upah, tidak semata-mata pertimbangan
produktivitas kerja, memang masalah tersendiri jika majikan memetaforakan tenaga kerja
sebagai mesin. Akan tetapi, dengan pertimbangan surplus value dan kemanusiaan, hal
tersebut bisa diterima.

E. UPAH MINIMUM DALAM TINJAUAN ISLAM


Proses penentuan upah yang islami berasal dari dua faktor: objektif dan subjektif.
Objektif adalah upah ditentukan melalui pertimbangan tingkat upah di pasar tenaga kerja.
Sedangkan subjektif, upah ditentukan melalui pertimbangan-pertimbangan sosial.
Maksud pertimbangan-pertimbangan sosial adalah nilai-nilai kemanusiaan tenaga kerja.
Selama ini ekonomi konvensional berpendapat, upah ditentukan melalui pertimbangan
tingkat upah di pasar tenaga kerja. Namun ada sisi kemanusiaan yang harus diperhatikan
pula.
11

Dalam penentuan upah nilai kemanusiaan yang harus dijunjung tinggi ini meliputi
nilai kerjasama dan tolong menolong, kasih sayang dan keinginan untuk menciptakan
harmoni sosial tingkat market wage pada dasarnya bersifat obyektif, sementara nilai
manusia bersifat subjektif, jadi tingkat upah yang Islami akan ditentukan berdasarkan
faktor obyektif dan subyektif. (Anto 2003)
Islam sangat menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Berbeda dengan konvensional
yang hanya memandang manusia sebagai barang modal. Manusia tidak boleh
diperlakukan seperti halnya barang modal. (Sadeeq 1989a)
Dalam konteks di Negara kita upah minimum (UMR/UMP) itu sama dengan
Ujrah al-misli, yakni upah yang sepadan, dalam daerah tertentu, upah minimum regional
(UMR/UMP) di setiap daerah besarnya berbeda-beda yang didasarkan pada indeks harga
konsumen, kebutuhan fisik minimum, perluasan kesempatan kerja. Upah pada umumnya
yang berlaku secara regional dipengaruhi oleh tingkat perkembangan perusahaan, tingkat
perkembangan perekonomian regional yang berlaku di daerah tersebut.
Dalam menentukan upah minimum provinsi, terdapat beberapa unsur yang
dipertimbangkan. Unsur-unsur tersebut mencakup pangan, sandang, dan papan dll (ada
43 butir seperti tertera dalam Surat edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.
889 HK. 01.32.2002 tertanggal 10 September 2002). Kebutuhan yang dihitung dalam
Surat edaran ini adalah kebutuhan seorang pekerja (lajang). Jika kebutuhannya sewa
rumah, pekerja tidak akan pernah memiliki rumah sampai kapan pun. Hal ini tentu
melanggar aturan hadis yang diriwayatkan oleh Mustawrid bin Syadad: Aku mendengar
Nabi Muhammad SAW bersabda, "Barangsiapayang menjadi pekerja bagi kita,
hendaklah ia mencarikan isteri (untuknya); seorang pembantu bila tidak memilikinya,
hendaklah ia mencarikannya untuk pembantunya. Bila ia tidak mempunyai tempat
tinggal, hendaklah ia mencarikan tempat tinggal.Abu Bakar mengatakan, Diberitakan
kepadaku bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, Siapa yang mengambil sikap selain
itu, maka ia adalah seorang yang keterlaluan atau pencuri." (HR. Abu Daud).
Memang arti "mencarikan" bisa bermacam-macam. Bisa menyewakan rumah
untuk pekerja agar bisa tinggal di dalamnya. Bisa juga membelikan rumah untuk
ditempati pekerja. Atau bisa juga menyediakan rumah gratis (semacam rumah Dinas) bagi
pekerja. Dalam praktiknya di Indonesia, bagi karyawan rendahan disediakan tempat
tinggal gratis. Bentuknya bisa rumah sederhana bagi pegawai perkebunan, bisa asrama

12

bagi anggota TNI dan polisi. Untuk karyawan yang sudah tinggi, disediakan rumah Dinas
bagi pejabat di departemen dengan pangkat eselon 2 ke atas, dan sebagainya.

F. STANDARISASI UMR MELALUI KONSEP NISHAB ZAKAT


Dalam beberapa tahun terakhir nominal upah burung terus mengalami kenaikan
sesuai dengan perkembangan daya beli masyarakat. Namun, persentase kenaikan UMR
tersebut tidak berpengaruh kuat dengan peningkatan kebutuhan buruh dan lajunya inflasi
rill. Kenaikan harga barang-barang dan jasa yang disebabkan turun naiknya BBM sangat
memengaruhi daya beli mereka. upah nominal buruh mengalami kenaikan dibandingkan
tahun lalu. Tapi, karena harga-harga naik, maka daya beli mereka bisa lebih rendah dari
tahun sebelumnya.
Dalam praktiknya, meski upah minimum telah dihitung teliti dengan melibatkan
pangan, sandang, dan papan seperti surat edaran Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi No. 889 HK. 01.32.2002, masih saja gaji minimum itu tidak mencukupi
kebutuhan dasar karyawan, khususnya di negara-negara berkembang.
Sadeeq (Sadeeq 1989b) merekomendasikan, jika upah minimum tidak cukup, para
karyawan harus diberi zakat. Jika gaji karyawan tidak mencukupi kebutuhannya,
karyawan dikategorikan sebagai orang miskin dan berhak atas dana zakat. Namun harus
ada mekanisme yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan karyawan. Secara garis
besar, harus ada ukuran berapa gaji minimum yang diberikan kepada karyawan.
Konsep upah minimum harus diperbaiki dengan cara mengenalkan konsep nishob
zakat sebagai upah minimum. Artinya, jika nishob zakat disesualkan dengan harga 85
gram emas dalam setahun, dalam sebulan, batas gaji minimum sebesar 85/12 = 7,083
gram emas. Jika harga rata-rata satu gram emas selama 2015 sebesar Rp 500.000, maka
upah atau gaji minimum 2015 sebesar 7,083 x Rp 500.000 = Rp 3.541.500 Dengan asumsi
kondisi harga emas stabil. Dalam hal kondisi harga emas sangat berfluktuasi, penyesuaian
upah minimum dapat dilakukan dua kali dalam setahun seperti yang sekarang
diberlakukan di negara dan Spanyol. Di dua Negara ini, penyesuaian upah minimum
dilakukan satu kali atau dua kali setahun, tergantung situasi ekonomi negara tersebut.
Bahkan Yunani memberlakukan penyesuaian upah minimum dua kali dalam setahun
secara reguler. Namun, dalam penerapannya konsep ini perlu dikaji lagi, mengingat
penetapan UMP berdasarkan KHL (Kebutuhan Hidup Layak) dan standar KHL disetiap

13

daerah berbeda-beda, terlebih lagi pengusaha akan menolak kalau aturan ini
diberlakukan.

III. PENUTUP
Salah satu problem yang langsung menyentuh kaum buruh adalah rendahnya atau
tidak sesuainya pendapatan (gaji) yang diperoleh dengan tuntutan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya beserta tanggungannya. Sementara itu dalam sistem ekonomi
Kapitalis, rendahnya gaji buruh justru menjadi penarik bagi para investor asing termasuk
pemerintah untuk kepentingan peningkatan pendapatannya sendiri (bukan rakyat). Untuk
membantu mengatasi problem gaji, pemerintah tiap tahun membuat batas minimal gaji
yang harus dibayarkan oleh perusahaan kepada pekerjanya, yang kemudian dikenal
dengan istilah UMR/UMP, UMK, dan UMD Nilai UMR, UMK, dan UMD ini biasanya
dihitung bersama berbagai pihak yang merujuk kepada Kebutuhan Hidup Layak (KHL)
atau kondisi lain di daerah yang bersangkutan.
Dalam perjalanannya penerapan konsep-konsep konvensional ini menemukan
kebuntuan, karena konsep-konsep konvensional ini juga memiliki kekurangan. Oleh
karena itu Islam bisa dijadikan alternatif sebagai solusi memecah kebuntuan tersebut.
Misal, dengan acuan Nishab Zakat.
Upah minimum dengan acuan nishob zakat ini boleh jadi dapat diterapkan dengan
asumsi menekan biaya produksi, dalam beberapa pengamatan serikat buruh, korupsi,
pungutan liar, serta birokrasi yang berbelit memakan biaya produksi hingga 30%, maka
dengan adanya pemangkasan rantai birokrasi perizinan, akan memangkas banyak biaya
siluman yang selama ini dikeluhkan oleh para pengusaha. Hal ini sejalan dengan janji dan
program pemerintah dalam upaya membangun persaingan pasar yang sehat.(Koran
Jakarta - Jokowi-JK Tumbuhkan Usaha Baru 2015)
Islam adalah solusi dari berbagai macam problema yang ada didunia ini, tak
terkecuali problema dalam bidang ekonomi. Dari sini dapat kita lihat perbedaan yang
mendasar antara pandangan Islam dan konvensional. Perbedaan tersebut ada dua. Yakni
(1) Islam melihat upah sangat besar kaitannya dengan konsep moral atau kemanusiaan
sedangkan konvensional tidak. (2) Upah dalam Islam tidak hanya sebatas materi. Tetapi
juga menembus batas kehidupan, yaitu dimensi akhirat yang disebut juga dengan pahala
sedangkan konvensional tidak. Oleh sebab itu dalam pemecahan masalah buruh ataupun

14

hal-hal yang berkaitan dengan ekonomi, sudah saatnya pemerintah mencari solusi melalui
agama yang berlandaskan keadilan.

15

IV. DAFTAR PUSTAKA


Al-Islahi, Abdul Adhim. 2008. Mabadi Al-Iqtishadi Al-Islami: Nusus Iqtishadiyah
Mukhtarah. II. Riyadh: maktabah Dar al-Manhaj.
Al-Maliki, Abdurrahman. 2001. Politik Ekonomi Islam. Bangil: Al-Izzah.
Al-Zailai., Fakhr al-Din Utsman ibn Ali. 1898. Tabyin Al-Haqaiq Syarh Kanz AlDaqaiq. Cairo: Matbaah al-Kubra al-Amiriyah.
Anto, M.B. Hendrie. 2003. Pengantar Ekonomi Mikro Islam.
Aziz, Shaleh bin Abdul. Mausuah Al-Hadith Al-Syarif Kutub Al-Sittah Shahih Muslim.
Cairo: Maktabah Dar al-ilm.
DR.Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi. 2003. Al-Fiqh Al-Iqtishd Li Amr Al-Muminn
Umar Ibn Al-Khattb. I. Jeddah: Dar al-Andalus al-Khadra.
Hakim, Abdul. 2006. Aspek Hukum Pengupahan Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003.
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Hanbal, Ahmad ibn. 1988. Musnad Al-Imam Ahmad. Mesir: Dar al-Maarif.
Indaryani. 2002. Hasil Penelitian Penetapan Upah Minimal Di Kabupaten Kudus
Jateng. Kudus.
Iskandar, Muhaimin. 2004. Membajak Di Ladang Mesin. Semaran: Yawas.
Koran Jakarta - Jokowi-JK Tumbuhkan Usaha Baru. 2015. Accessed April 10.
http://koran-jakarta.com/?15681-jokowi-jk tumbuhkan usaha baru.
Ruky, Ahmad S. 2001. Manajemen Penggajian Dan Pengupahan Untuk Karyawan
Perusahaan. Jakarta: Pustaka Utama Gramedia.
Sadeeq, DR. A.H.M. 1989a. Factor Pricing And Income Distribution From an Islamic
Perspective. Journal of Islamic Economics 2.
. 1989b. Determination of Wages and Income Distribution in Islam. Malaysia.
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati.
yusuf al-Qardhawi. 1995. Daurul Qiyam Wal Akhlak Fil Iqtishad Al-Islami. I. Cairo:
Maktabah Wahbah.

16

Anda mungkin juga menyukai