Anda di halaman 1dari 9

SEJARAH PEMIKIRAN HUKUM ISLAM

Banyak sekali aspek dalam ajaran Islam salah satunya yang menarik adalah Hukum Islam.
Hukum Islam  merupakan salah satu bagian ilmu penting dalam ajaran Islam. Hukum mengatur
bagaimana menciptakan suatu keteraturan di dalam kehidupan dengan hukum-hukumnya. Hukum sendiri 
muncul tidak sekedar memenuhi kebutuhan masyarakat pada zamannya akan tetapi juga untuk
pembangunan hukum masa depan. Dalam mempelajari Hukum kita tidak dapat dilepaskan dari sejarahnya
karena dengan sejarah kita dapat mengetahui bagaimana terbentuknya dan berkembangnya Hukum Islam
pada masa risalah dan sesudahnya.

Tarikh tasyri’ ialah sejarah yang membahas bagaimana pembentukan perundang-undangan Islam pada
masa kerasulan dan sesudahnya. Dengan mepelajari tarikh tasyri’ kita dapat mengetahui bagaimana
sejarah pertumbuhan dan perkembangan perundang-undangan pada masa rasulullaah dan masa
setelahnya. Serta kita dapat mengetahui ragam perundang-undangan dari masa rasul dan masa setelahnya.

Periode Hukum Islam sendiri dibagi menjadi enam periode, akan tetapi kami akan lebih memfokuskan
pada periode pertama dan kedua. Periode pertama (13sH-11H) yaitu masa kenabian saat dimana
menegakkan dasar-dasar perundang-undangan dan menetapkan dasar ijtihad dikala ada keperluan,
keberhasilan nabi dalam meneyikapi hukum islam dijadikan sebagai dasar perkembangan kajian-kajian
fiqh pada masa berikutnya. Periode kedua (11H-40H) adalah perundang-undangan pada masa Khulafaur-
Rasyidin  karena semakin meluasnya wilayah Islam sehingga muncul berbagai tuntutan bagi
perkembangan kajian hukum. Sehingga semakin meluasnya pemakaian ijtihad, mengadakan ijma’ akan
tetapi pada masa itu mulai muncul perbedaan paham diantara kaum muslimin.

 Pemikiran Hukum Islam periode I (Periode Rasulullah saw)

Sebelum nabi Muhammad saw diangkat menjadi rasul bangsa Arab adalah bangsa yang tidak mempunyai
tata aturan kemasyarakatan. Mereka tidak mempunyai agama dan tidak mempunyai undang-undang yang
jelas. Mereka dipengaruhi oleh kepercayaan yg bathal. Mereka menggambarkan tuhan dalam bentuk
berhala, bintang dan sebagainya. Mereka hanya mempunyai beberapa ketentuan yang mereka pergunakan
dalam menyelesaikan pertengkaran.

Demikianlah keadaan perundang-undangan masa sebelum nabi diangkat menjadi Rasul.  Pada periode
setelah nabi diangkat menjadi Rasul, Allah SWT menugaskan nabi untuk :

Memperbaiki keadaan akhlak manusia dengan cara menanamkan kedalam diri manusia untuk selalu
berkelakuan baik dan menjauhi larangan Allah.

Memperbaiki aqidah umat manusia yang terlah terlanjur sangat rusak, dengan cara menanamkan benih-
benih ajaran tauhid.

Menetapkan aturan-aturan pergaulan hidup, aturan-aturan muamalah sesama anggota masyarakat untuk
mewujudkan kemakmuran dengan cara menaati tasyri’.]Tasyri’ pada masa Rasul sendiri dibagi dalam dua
periode yaitu :\
1. Tarikh Tasyri’ Periode Mekkah

Pada periode ini, yang paling pokok ditekankan dalam ajaran Islam adalah masalah ketauhidan atau
akidah, karena tauhid inilah yang menjadi fondasi bagi segala amalan lainnya. Perbaikan akidah
diharapkan dapat menyelamatkan umat Islam dari kebiasaan-kebiasaan buruk sebelumnya, seperti
berperang, zina, mabuk-mabukkan, mengubur anak perempuan hidup-hidup dan menghinakan
perempuan. Kemudian mengajarkan kepada mereka hal-hal yang baik, seperti menegakkan keadilan,
persamaan dan hak asasi manusia, saling tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa, serta menjauhkan
diri dari perbuatan yang sia-sia. 

Dari salah satu surat yang turun di Mekkah yaitu surat Al-An’am kita bisa mendapati beberapa contoh
hukum-hukum yang berkaitan dengan ketauhidan atau akidah. Seperti haram makan binatang yang
disembelih tanpa menyebut nama Allah dan hewan apa saja yang dilarang dimakan. Demikian pula
perintah untuk melaksamakam salat dan zakat. Zakat pada periode Mekkah bersifat umum dalam arti
sedekah, sementara cara pelaksanaanya, kadar yang harus dikeluarkan dan ketentuan lainnya disyaratkan
pada periode madinah.

Periode Mekkah juga bisa dikatakan sebagai periode revolusi akidah, karena mengubah masyarakat yang
awalnya sangat kental dengan sistem kepercayaan jahiliyah menjadi penghambaan kepada Allah semata.
Revolusi ini menghadirkan perubahan fundamental, rekontruksi sosial dan moral bagi seluruh lapisan
masyarakat. Pada masa ini belum ada ayat mengenai legislasi sosial atau menyusun hukum-hukum civil
seperti hukum-hukum perdagangan.

2. Tarikh Tasyri’ periode Madinah

Setelah nabi hijrah ke Madinah barulah nabi mengarahkan usahanya membina hukum-hukum didalam
pergaulan sosial. Ketika itulah nabi mensyariatkan hukum dalam segala aspek kehidupan manusia, baik
itu hubungan vertikal manusia dengan Allah SWT, ataupun hubungan yang bersifat horizontal manusia
dengan manusia lain.

Pada periode Madinah banyak membahas masalah yang berkaitan dengan masalah hukum, hal ini dapat
dimengerti karena :

Hukum itu akan dapat dilaksanakan bila dilindungi oleh kekuatan politik. Dalam periode Madinah,
kekuatan politik itu sudah dibangun dengan disepakatinya piagam Madinah dengan mengukuhkan Nabi
sebagai kepala negara.

Dalam periode ini, orang Islam sudah memiliki moral yang kuat, akidah yang mapan serta akhlak yang
baik, dimana hal tersebut akan menjadi lanndasan yang kokoh dalam nelaksanakan tugas-tudas lain.
Hanya orang yang mempunyai kualitas diataslah yang dapat melaksanakan dan memelihara hukum itu.

Banyak sekali hukum yang disyariatkan pada periode Madinah untuk menjawab suatu persoalan yang
dihadapi oleh masyarakat, pada periode hukum lebih ditekankan untuk menghadapi permasalahan yang
kompleks dalam berkehidupan sosial, contohnya seperti boleh tidaknya menggauli istri yang sedang
haid,bolehkah berperang pada bulan haji,bagaiman proses dikharamkannya khamar,  hukum-hukum
perdagangan dll
Jalan yang Nabi tempuh dalam membina hukum pada masa itu

Nabi membina hukum ini secara berangsur-berangsur satu demi satu, bukan sekaligus. Disini Nabi
menetapkan hukum dan perundang-undangan berdasarkan putaran roda kehidupan masyarakat yang
semakin hari semakin semakin maju.

Pada periode pertama ini penetapan hukum berdasarkan tangan Nabi s.a.w sendiri tak ada seorang pun
yang ikut campur tangan. Dasar nabi dalam menetapkan hukum adalah dari Allah dan penetapan-
penetapan nabi yang berdasar pada wahyu Allah juga. Ayat-ayat hukum yang turun lantaran ada suatu
sebab atau untuk menjawab suatu pertanyaan. Sangat jarang sekali ayat yang turun tanpa sebab atau
perbuatan.

Sumber-Sumber Legislasi Masa Rasul

Apabila terjadi suatu kasus persengketaan, suatu kejadian, pertanyaan atau hal yang memerlukan fatwa
yang kesemuanya memerlukan dan menuntut legislasi, maka Allah wayuhkan kepada Rasulullah saw
suatu ayat atau lebih yang mengandung hukumannya sesuai dengan tuntutan hal tersebut , setelah itu baru
Rasulullah menyampaikan kepada umat Islam.

Sebaliknya, apabila  terjadi suatu kasus yang memerlukan legislasi, tapi Allah tidak menurunkan wahyu
untuk menentukan hukumnya kepada Rasulullah, maka Rasulullah saw berijtihad sendiri dalam
mendapatkan hukum kasus tersebut.

Ayat Hukum dalam Al-Qur’an

Abdul Wahhab Khalaf mengkategorikan ayat Al-Quran yang bermuatan hukum itu kedalam tiga kategori
besar, yakni :

Ayat yang berhubungan dengan aqidah (keyakinan) yakni kewajiban mengimani Allah, Malaikat, Nabi
dan Rasul, Hari kiamat dll.

Hukum akhlak, yakni kewajiban untuk berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya dan menghilangkan
kejelekan.

Hukum mua’amalat, yakni kewajiban mukalaf baik dalam perkataan, perbuatan maupun penggunaan
harta benda. Dan ini menjadi objek ilmu fiqh.

Apabila dirinci, maka ayat hukum dalam al-Qur’an terdiri dari :

1) ayat yang menjelaskan tentang ibadah seperti salat, puasa, haji dan jihad ada 140 ayat;

2) ayat yang menerangkan tentang keluarga seperti perkawinan, kewarisan, hibah wasiat ada 70 ayat;

3) ayat yang menerangkan tentang ekonomi ada 70 ayat;

4) ayat yang menerangkan tentang kriminal, ada 40 ayat;

5) ayat yang menerangkan tentang hubungan antar agama ada 25 ayat;

6) ayat yang menerangkan tentang peradilan, ada 13 ayat;


7) ayat yang menerangkan tentang korelasi kaya-miskin, ada 10 ayat, dan

8) ayat yang menerangkan tentang pemerintahan ada 10 ayat. Jumlah keseluruhan ayat-ayat hukum ini
berjumlah 368 ayat. 

Ijtihad Pada Masa Nabi

Sebenarnya ini masih menjadi perdebatan apakah nabi mlakukan ijtihad atau tidak, ada tiga pendapat
mengenai ini, yakni :

Sebagaian ulama menyatakan bahwa tidak mungkin Nabi berijtihad, mereka adalah Asy’ariyah, mayoritas
Mu’tazilah, Abu Ali al Jubai, dan Hasyim mereka beralasan :

Bahwa Nabi selalu dibimbing Allah dan perkataannnya adalah wahyu.

Nabi memiliki kemampuan untuk sampai kepada hukum yang meyakinkan, sedangkan ijtihad merupakan
hal yang tidak meyakinkan.

Ijtihada itu apabila tidak ada nash, sedangkan selama nabi masih hidup tidak mungkin nash itu berhenti.

Jumhur Ulama Berpendapat bahwa Nabi mungkin dan boleh melakukan ijtihad sebagaimana berlaku
kepada umat manusia lain. Adapun argumen jumhur adalah :

Nabi beberapa kali melakukan ijtihad, namun ijtihad nabi kurang tepat hingga ditegur oleh Allah.
Contohnya dalam peristiwa tawanan perang Badar, apakah tawanan akan dimintai tebusan ke keluarganya
atau dibunuh saja, nabi lebih cenderung untuk menahannya dan ditukar saja, sesuai dengan pendapat Abu
Bakar, sementara Umar menganjurkan untuk dibunuh saja (al-Anfal :67). Kemudian Nabi
memperbolehkan orang munafik ikut perang uhud, padahal Umar menyarankan untuk tidak ikut
berperang (at-Taubah 43). Umar juga sering bertanya dulu kepada Nabi apakah ini wahyu atau ijtihad
beliau.

Pendapat yang mengambil jalan tengah yakni, dapat saja Nabi berijtihad dalam masalah-masalah
keduniaan seperti dalam menentukan taktik peperangan, serta keputusan-keputusan yang berhubungan
dengan perselisihan dan persengketaan, tapi tidak dalam masalah hukum syara’.

Peradilan di Masa Rasulullah

Peradilan masa rasulullah dapat dikatakan sangat sederhana tanpa adanya gedung khusus. Seketika orang
mengajukan perkara, maka ketika itu pula diselesasikan. Pada masa itu Rasul memutus perkara
sebagaimana zhahirnya ( berikut saksi dan bukti yang menyertainya, dan dalam hal-hal tertentu ia
menggunakan sumpah sebagai penguat jika tidak ada bukti, keputusan yang diambil rasul itu merupakan
hasil ijtihad beliau bukan dari wahyu. Pada masa Rasulullah sudah ada instusi banding dan peninjauan
kembali bagi suatu keputusan hukum yang telah dijatuhkan. Kemudian keputusan ada kemungkinan
dibatalkan, atau diganti dengan keputusan yang baru.
Pemikiran Hukum Islam Periode II (Periode Khulafaur-Rasyidin)

Setelah rasul wafat kendali tasyri’ (menetapkan hukum) dipegang Khulafaur-Rasyidin. Mereka
menghadapi tugas-tugas yang berat, hal ini dikarenakan perkembangan luas wilayah Islam yang pada saat
itu mulai memasuki daerah mesir, syam, persia dan Iraq. Dan karena di dalam al-Qur’an dan Hadits tidak
menashkan hukum bagi setiap kejadian dan masalah. Maka para sahabat berijtihad dengan menggunakan
qaidah-qaidah yang berdasar al-Qur’an dan hadits.

Sumber-sumber Legislasi Masa Khulafaur al-Rasyidin

Al Qur’an

Para sahabat sama sekali tidak pernah mendahului al-Qur’an dalam menetapkan hukum, karena al-Qur’an
adalah sumber pertama bagi pembentukan akidah Islam, akhlak yang mulia, dan hukum-hukum amal
perbuatan termasuk juga bahasa. Jika ada masalah yang muncul dan memang ada hukumnya serta
kandungan dalilnya tepat maka mereka akan mengambil ayat ini tanpa bermusyawarah dengan siapa pun
dan tidak ada perbedaan sama sekali diantara mereka dalam hal ini.

As-Sunnah
Para sahabat selalu mengacu kembali kepada As-Sunnah dalam menginstinbat hukum manakala tidak
menemukan nash dalam al-Qur’an, karena As-Sunnah adalah sumber kedua bagi perundang-undangan
Islam setelah al-Qur’an. Adapun cara sahabat dalam mengamalkan sunnah pada zaman ini adalah jika ada
hadits dan perawinya bisa dipercaya, atau tidak ada yang menentangnya maka dalam keadaan ini mereka
tidak akan ragu menerima dan berfatwa dengannya.

Ijma’
Ijma’ merupakan kesepakatan para mujtahid dari umat nabi Muhammad, dalam satu zaman tentang satu
masalah syariat. Ijma’ harus berasal dari kesepakatan semua mujtahid, jika hanya sebagaian ulama saja
tidak dianggap ijma’. Para sahabat biasanya tidak mengikat dirinya dengan hasil ijma’ kecuali jika ijma’
itu lahir dari semua orang yang diperhitungkan. 

Ijtihad
Pada masa Khulafaur Rasyidin, mereka tidak memberi fatwa terhadap masalah yang tidak ada nashnya
kecuali setelah disampakan kepada para ahli ilmu dan rayi; dari kalangan sahabat, masing-masing
mempunyai orang-orang khusus untuk dimintakan pendapatnya dalam masalah-masalah seperti ini dan
yang lainnya, termasuk masalah politik dan pemerintahan. Bahkan mereka mengumpulkan para hakim
untuk diajak bermusyawarah memutuskan masalah yang tidak ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.

Ada tiga hal pokok yang menjadi sebab lahirnya ijtihad tersebut, yakni :

Timbulnya masalah-masalah yang secara lahiriah telah diatur ketentuannya dalam al-Qur’an dan Sunnah,
dalam keadaan tertentu sulit untuk diterapkan dan menghendaki pehamahan baru agar selalu relevan
dengan perkembangan dan persoalan baru yang dihadapi.

Munculnya berbagai persoalan baru, yang membutuhkan jawaban hukum yang secara lahiriah tidak dapat
ditemukan jawabannya dalam al-Qur’an maupun sunnah.
Dalam al-Qur’an ditemukan penjelasan terhadap suatu kejadian tertentu, para sahabat akan menemukan
kesulitan dalam menerapkan dalil-dalil yang ada.

Perkembangan-perkembangan Hukum pada masa Khulafaur Rasyidin

Abu Bakar

Abu bakar dipilih secara demokratis untuk menjadi khalifah setelah wafatnya Rasulullah. Abu Bakar
memerintah selama tiga tahun. Selama pemerintahannya pula ia disibukkan menumpas kaum murtad,
nabi palsu Musailamah al’Kazzab, dan penumpasan mereka yang enggan membayar zakat. Tidak banyak
masalah hukum yang ditorehkan dalam sejarah pada masa pemerintahan Abu Bakar ini dengan alasan :

Masa pemerintahan Abu Bakar yang singkat, yakni hanya tiga tahun.

Konsentrasi pemerintahan terkuras pada pemberantasan pemberontak.

Yang diangkat menjadi hakim pada waktu itu adalah Umar bun Khattab dimana para sahabat enggan
berhadapan denggannya.

Kehidupan para sahabat pada masa itu belum terlalu kompleks sehingga tidak banyak masalah yang
timbul.

Semangat keimanan dan keislaman pada waktu itu masaih sangat tinggi. Sehingga jika terjadi masalah
mereka lebih sabar dan bertoleransi

Masalah hukum yang terekam dalam sejarah periode pemerintahan Abu Bakar adalah masalah kewarisan.
Ketika itu, datang seorang nenek meminta ketentuan hukum tentang hak waris. Abu Bakar berkata :
“Anda tidak mendapatkan apa-apa, karena tidak aku dapatkan keterangan baik dalam al-Qur’an dan
Hadits. Kemudian berdirilah Mughirah bin syu’bah memberikan kesaksian bahwa Rasulullah pernah
memberikan bagian kepada nenek ini sebesar 1/6 bagian. Untuk memperkuat kesaksian Mughiroh, tampil
sebagai saksi Muhammad bin Maslamah.

Permasalahan lain adalah ketika terjadi pernentangan dari sebagian umat Islam untuk membayar zakat.
Abu Bakar memerintahkan untuk membunuh para pemberontak ini karena dianggap telah murtad.

Selain dari praktik diatas, Abu bakar selalu mengajak bermusyawarah para sahabat ketika menghadapi
suatu maslah hukum, terutama kepada sahabat besar. Metode yang dilakukan oleh Abu Bakar inilah yang
kemudian diikuti oleh khalifah-khalifah selanjutnya.

Umar ibn Khattab r.a

Umar ibn Khattab terpilih sebagai khalifah berdasarkan sistem formatur dan atas rekomendasi dari Abu
Bakar. Umar memerintah sebagai khalifah selama 13 tahun. Dibidang peradilan Umar menjadikan
lembaga peradilan sebagai garda terdepan dalam pembangunan. Pengadilan pada periode itu sudah teratur
dengan adanya penunjukan qadhi dan pengajian hakim dan pegawai. Umar membuat hukum acara
peradilan (Risalah qada Umar ibn Khattab). Para qadhi pada masa itu juga digaji dengan tetap.

Dasar-dasar landasan hukum Umar adalah al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ Sahhabat, dan Ijtihad. Dalam hal
Ijtihad Umar ibn Khattab sangan terkenal dengan ijtihadnya yang sangat inovatif, aktual dan memberikan
solusi terhadap masalah baru yang muncul karena proses asimilasi kulturasi dalam masyarakat. Di antara
ijtihad-ijtihad Umar ibn Khattab adalah :

Jatuhnya talak tiga sekaligus dalam suatu majelis. Umar menetpkan ijtihad tersebut setelah melihat
permasalahan dilapangan yaitu banyak orang menjatuhkan dan mempermainkan talak.

Tentang Ghanimah (Harta rampasan perang) pada masa pemerintahan Umar hanya dibagikan harta
bergerak saja. Harta yang tidak bergerak seperti tanah tidak dibagi-bagikan seperti yang dipraktekan
Nabi, akan tetapi tanh itu tetap dibiarkan berada ditangan penduduk setempat dengan mewajibkan
pajak. Hal ini untuk mencegah kecemburuan sosial akibat kemungkin ketidak adilan pembagian harta
secara adil. Apabila harta itu dibagikan dikhawatirkan motivasi umat Islam dalam berperang berubah
dari jihad fi sabilillah menjadi mencari rampasan perang.

Potong Tangan bagi pencuri. Umar ibn khattab tidak melaksanakan hukum potong tangan bagi pencuri
sesuai yang telah ditetapkan al-Qur’an. Hal ini disebabkan karena situasi dan kondisi pada saat itu sedang
mengalami musim paceklik sehingga menyebabkan orang terpaksa mencuri untuk makan.

Perempuan yang menikah pada waktu Iddah. Perkawinan itu dibatalkan dan dianggap tidak syah.
Perempuan itu harus mengulang masa iddah dan laki yang menikahinya saat masa idah haram menikahi
perempuan tersebut untuk selamanya.

Shalat Tarawih. Pada masa nabi, shalat tarawih dikerjakan sendiri dan dilakukan sebanyak sebeles rakaat.
Kemudian pada masa Umar menjalankan shalat tarawih secara berjamaah, sedangkan jumlah rakaat pada
waktu itu adalah 23 rakaat.

Utsman bin Affan

Utsman bin Affan naik menjadi khalifah menggantikan Umar ibn Khattab lewat prosedur formatur.
Kemajuan paling kentara yang didapatkan pada masa pemerintahan adalah perluasan wilayah. Pada masa
Utsman peradilan sudah memiliki bangun tersendiri terpisah dengan masjid.

Pemikiran Utsman bin Affan adalh sebagai berikut :

Azan jumat dua kali. Ini berbeda dengan zaman Nabi yang paada saat itu hanya satu kali. Alasan utsman
menggunakan dua azan karena wilayah Islam yang semakin luas, sehingga beliau beranggapan azan satu
kali tidak cukup dan merata ke seluruh wilayah.

Unta yang kabur pada zama nabi, Abu Bakar dan Umar dilepas begitu saja. Akan tetapi pada masa
Utsman dijual, dan apabili pemiliknya datang maka uang itu diberikan.

Istri yang diceraikan saat suaminya sakit keras kemudian meninggal. Istri tersebut mendapatkan bagian
warisan baik masih dalam masa iddah ataupun tidak. Berbeda dengan zaman Umar yang hanya pada masa
iddah saja.
Ali bin Abi Thalib

Ali bin Abi Thalib menggantikan Utsman bin Affan setelah Utsman meninggal karena ditikam oleh para
pemberontak. Pada masa Ali ini banyak terjadi perseteruan dengan keluarga Utsman yang dipimpin
Muawiyah bin Sufyan. Meskipun pertempuran keduanya diakhiri dengan abitrase.

Adapun hasil ijtihad Ali Bin Abi Thalib adalah :

Iddah perempuan hamil yang ditinggal suaminya adalah waktu yang paling panjang antara iddah 4 bulan
10 atau melahirkan. Sedangkan pada masa Umar iddahnya sampai melahirkan.

Pada zaman Ali untuk mempermudah orang awam mempelajari Al – Qur’an makan dirancang symbol
baca yang terbentuk titik atas, disamping dan dibawah huruf.

Hukuman bagi pemabuk. Sebelum masa Ali hukuman bagi pemabuk adalah 40 kali cambukan. Akan
tetapi pada periode Ali hukuman itu ditingkat dua kali lipat menjadi 80 kali. Karena Ali beranggapan
hukuman 40 kali belum cukup membuat kera para pemabuk.

Sumber:

[4] Yayan Sopyan,  Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam (Depok: Gramata


Publishing, 2010), hlm.54
[5] K.H. Ali Yafie, Sejarah Fiqih Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), h.23
[6]  Abdul Wahhab Khallaf, Sejarah Legislasi Islam, terj.A. Sjinqithy Djamaluddin (cet.1,
Surabaya; AL-IKHLAS, 1994), hlm.18
[7] Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam (Depok: Gramata
Publishing, 2010), hlm.61
[8] Q.s. 2:222
[9] Q.s. 2:218
[10] Q.s. 16:67, Q.s. 2:219, Q.s. 4:43
[11] T.M Hasbi ash-shiddieqy, Sejarah Perkembangan dan Pertumbuhan hukum
Islam(cet.1;Jakarta;Bulan Bintang.1971M, hlm.17-18)
[12] Abdul Wahhab Khallaf, Sejarah Legislasi Islam, terj.A. Sjinqithy Djamaluddin (cet.1,
Surabaya; AL-IKHLAS, 1994), hlm.22
[13] Wahhbah Zuhaily, “al-Qur’an: Parafigma Hukum dan Peradaban.” dalam Yayan
Sopyan, Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam (Depok: Gramata Publishing, 2010),
hlm.54
[14] M.Daud ali, “ Hukum Islam: Pengantar ilmu hukum dan Tata hukum di Islam di Indonesia.”
dalam Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam (Depok: Gramata
Publishing, 2010), hlm.62
[15] Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam (Depok: Gramata
Publishing, 2010), hlm.66-hlm.67
[16]Ibid, h.64)
[17] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, terj, Nadirsyah Hawari ( cet.1, Jakarta; Bumi Aksara,
2010), hlm.63.
[18] Ibid, h.65
[19] Ibid, h.67
[20] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, terj, Nadirsyah Hawari ( cet.1, Jakarta; Bumi Aksara,
2010), hlm.68-69
[21] Manna’ al al-Qhattan, “Tarikh Tasyri’ al-Islami, h. 193-194.” dalam  Yayan Sopyan, Tarikh
Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam (Depok: Gramata Publishing, 2010), hlm.86)
[22] Abdul al-Salam Bilaji, “Tathawwur Iim Ushul al-Fiqh, h.30.” dalam Yayan Sopyan, Tarikh
Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam (Depok: Gramata Publishing, 2010), h.86-87)
[23] Yayan Sopyan,  Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam (Depok: Gramata
Publishing, 2010), hlm.90-91)
[24] . Ali Yafie, Sejarah Fiqih Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hlm.43
[25] Yayan Sopyan,  Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam (Depok: Gramata
Publishing, 2010), hlm.92-93)
[26] Yayan Sopyan,  Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam (Depok: Gramata
Publishing, 2010), hlm.94)

Anda mungkin juga menyukai