Anda di halaman 1dari 8

1.

Hubungan perkembangan dengan belajar anak

Perkembangan anak dapat didefinisikan sebagai proses di mana Si Kecil mengalami perubahan seiring
berjalannya waktu. Bisa dikatakan, perkembangan mengacu pada urutan perubahan fisik, bahasa,
emosi, dan pemikiran, yang terjadi pada anak sejak lahir hingga awal masa dewasa. Selama proses ini,
anak berkembang dari yang awalnya bergantung pada orangtua, menjadi pribadi yang mandiri.

Perkembangan si Kecil sangat dipengaruhi oleh faktor genetika (gen yang diturunkan orang tua) serta
peristiwa-peristiwa yang terjadi selama kehidupan prenatal. Meski begitu, peran eksternal juga
berpengaruh pada perkembangan anak. Misalnya, lingkungan keluarga, faktor sosial, ekonomi, dan
budaya. Dengan demikian, tumbuh kembang berhubungan langsung dengan gizi anak, kesejahteraan,
pola pengasuhan, pendidikan serta interaksi mereka dengan teman sebayanya.

Sedangkan, Perkembangan belajar peserta didik adalah proses kualitatif progresif yang sistematis dalam
diri individu karena adanyaproses mental yang menghasilkan perubahan kemampuan karena adanya
interaksi individu dengan lingkungannya dan berkeinginan mengembangkan potensi dirinya melalui
proses belajar mengajar.

Proses perkembangan fisik anak berlangsung kurang lebih selama dua dekade (dua dasawarsa) sejak ia
lahir. Lonjakan perkembangan terjadi pada masa anak menginjak usia remaja antara 12 atau 13 tahun
hingga 21 atau 22 tahun. Pada saat perkembangan berlangsung, beberapa bagian jas-mani seperti
kepala dan otak.

pada waktu dalam rahim berkembang tidak seimbang (tidak secepat badan dan kaki), mulai
menunjukkan perkembangan yang cukup berarti hingga bagian-bagian lainnya menjadi matang.
(Muhibbin Syah, 1999: 13)

Pada mulanya anak yang baru .dilahirkan memiliki sedikit sekali kendali terhadap aktivitas alat-alat
jasmaninya. Karenanya tubuhnya terlihat selalu bergerak-gerak dengan sikap tertentu. Kemudian dalam
perkembangan selanjutnya anak dapat mengendalikan aktivitas alat-alat jasmaninya itu sesuai
keinginan. Ketika anak memasuki sekolah dasar atau ibtidaiyah pada umur enam/tujuh tahun hingga
duabelas/tigabelas tahun, perkembangan fisiknya mulai tampak benar-benar proporsional
(berkesinambungan). Organ-organ jasmaninya tumbuh serasi dan tidak lebih panjang atau lebih besar
dari yang semestinya. Ukuran tangan kanan tidak lebih panjang dari tangan kiri atau ukuran leher tidak
lebih besar dari ukuran kepala yang disangganya.

Seiring dengan meningkatnya usia anak, gerakan anak pun semakin lincah. Anak dapat duduk , berjalan,
berdiri, berjongkok , dan gerakan-gerakan fisik lainnya. Pendek kata, gerakan fisiknya beraneka ragam
dan dengan kekuatan dan daya tahan yang berlainan.
Di tubuh anak seperti tangan, kaki, kepala, jari-jari tangan, pinggang, dan sebagainya mempunyai fungsi
masing-masing. Anak dapat memanfaatkannya untuk mempelajari keterampilan-keterampilan tertentu.
Misalnya, tangan dan jari-jarinya yang berjumlah sepuluh, dapat digunakan untuk mengetik sepuluh jari;
untuk olah raga badminton, untuk menulis, untuk menggambar, dan sebagainya. Kaki dapat digunakan
untuk berlari, main sepak bola, mendaki gunung, sepak takraw, dan sebagainya.

Keterampilan indrawi-jasmani adalah salah satu keterampilan yang memerlukan koordinasi dan
organisasi psikofisik anak. Keterampilan indrawi-jasmani dalam prakteknya tidak hanya mengandalkan
gerakan fisik, tetapi juga melibatkan proses mental. Keterampilan menulis atau menggambar misalnya,
bukan hanya asal menulis atau menggambar tapi ada suatu ide, ilham, atau pemikiran untuk
diekspresikan dalam bentuk tulisan atau gambar. Sering ditemukan kekeliruan anak dalam hal menulis
atau menggambar, karena dia malas berpikir. Anak yang menyalin bahan pelajaran tanpa proses mental,
walaupun ia sudah biasa karena sering melakukannya, resiko kesalahan mungkin akan selalu
mengancam.

Selain perkembangan fisik yang mempengaruhi belajar anak, yang tidak kalah panting mempengaruhi
belajar anak adalah perkembangan kognitif. Istilah kognitif berasal dari kata cognition yang padanannya
knowing berarti mengetahui. Dalam arti luas, kognitif (kognisi) adalah perolehan, penataan, dan
penggunaan pengetahuan.

Sebagian besar psikolog, terutama ahli psikologi kognitif berkeyakinan bahwa proses perkembangan
kognitif manusia mulai berlangsung sejak ia baru lahir. Bekal dan modal dasar perkembaqgan manusia,
yaitu kapasitas motor dan kapasitas sensori sampai batas tertentu dipengaruhi oleh aktivitas kognitif.
Pendayagunaan kapasitas kognitif manusia sudah mulai berjalan sejak manusia itu mulai
mendayagunakan motor dan sensorinya. Berdasarkan hasil-hasil riset kognitif disimpulkan bahwa semua
bayi sudah berkemampuan menyimpan informasi-informasi yang berasal dari penglihatan,
pendengaran, dan informal-informal lain Yang diserap melalui indraindranya, asalkan otaknya tidak
cacat atau berkelainan otak. Melalui pancaindra anak melakukan aktivitas kognitif untuk mendapatkan
pengalaman langsung dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan sosialnya. Pengalaman langsung
berdasarkan pengamatan terhadap suatu objek adalah awal pengenalan terhadap suatu objek. Kesan-
kesan dari pengalaman langsung itu tidak hilang dari ingatan meskipun anak sudah meninggalkan objek
sebenarnya. Ini artinya anak dapat menyimpan objek yang telah ”hilang” dan menggantikannya dalam
bentuk representasi mental. Bedanya tidak ada, tetapi tergambar seperti benda yang sesungguhnya di
dalam memori otak. Inilah yang menurut Jean Piaget (1896 1980), seorang pakar terkemuka dalam
disiplin psikologi kognitif dan psikologi anak, yang disebut object …97
permanence (ketetapan benda), yaitu anggapan bahwa sebuah benda akan tetap ada walaupun sudah
ditinggalkan atau tidak dilihat lagi.

Dalam belajar anak harus dapat melakukan representasi mental dengan sebaik-baiknya. Penyerapan,
pengolahan, dan penyimpanan kesan yang terorganisasi dengan baik akan mempengaruhi kekuatan
ingatan. Kesalahan penyerapan, pengolahan, dan penyimpanan kesan-kesan yang didapatkan dari hasil
belajar akan menyebabkan kerusakan representasi mental. Sehingga menurut Jean Piaget kerancuan
”skema” tidak dapat dihindari. Efeknya justru menjadi penghalang dalam pembentukan struktuf-struktur
mental berikutnya. Skema dari Piaget ini dapat disejajarkan dengan istilah ”struktur kognitif”, yaitu
mengingat pengetahuan mengenai mata pelajaran yang cenderung diorganisasi atau disusun secara
berurut dan hierarki, apa yang telah diketahui anak dan sejauh mana anak mengetahuinya jelas
mempengaruhi kesiapan anak mempelajari hal-hal baru.

Dalam belajar, semakin baik struktur kognitif yang dilakukan oleh anak, maka semakin mapanlah
penguasaan anak atas bahan pelajaran yang telah dikuasai. Bila suatu ketika pengetahuan itu
diperlukan, mudahlah bagi anak untuk mengingatnya kembali. Agar struktur kognitif dapat dibentuk
dengan baik di dalam memori, anak dapat menggunakan ”jembatan logika” dalam belajar. Misalnya,
bahan pelajaran disusun dalam bentuk skema atau bagan, atau dengan teknik apa saja selama
mendukung terbentuknya struktur kognitif.

Seiring dengan meningkatnya umur anak, maka cara berpikir anak pun bergerak dari yang konkret
menuju yang abstrak. Hal ini terjadi bila anak sudah memiliki kesadaran akan tetap eksisnya suatu benda
yang harus ada ataulbiasa ada, walaupun benda itu sudah ia tinggalkan, atau sudah tak digihat dan tak
didengar lagi. Di sini pandangan terhadap keberadaan benda tidak lagi bergantung pada pengamatan
belaka, tetapi sudah dalam bentuk representasi mental‘ Kemampuan anak untuk melakukan
representasi mental inilah yang melicinlcan jalan bagi anak untuk dapat berpikir abstrak. Ini terjadi
dalam diri anak ketika berumur 2 sampai 7 tahun, yaitu dalam periode perkembangan kognitif pra-
operasional. Dengan kemampuan ini anak dapat mengembangkan berbagai tanggapan mental.
Kesanggupan menyimpan tanggapan bertambah besar. Sehingga jangan heran bila pengetahuannya
juga bertambah berkat belajar dan hasil interaksinya dengan lingkungan.

Kemampuan berpikir anak dipengaruhi kapasitas inteligensi sebagai potensi yang bersifat bawaan.
Kualitas inteligensi anak mempengaruhi kemampuan anak untuk membentuk struktur kognitif.
Inteligensi itu sendiri dipengaruhi oleh faktor-faktor lain dalam perkembangannya. Misalnya,
bertambahnya informasi yang disimpan dalam memori seseorang sehingga ia mampu berpikif,
banyaknya pengalaman dan istilah-istilah memecahkan masalah sehingga seseorang dapat berpikir
proporsional, dan adanya kebebasan berpikir sehingga menimbulkan keberanian seseorang dalam
menyusun hipotes-hipotesis dan kebebasan menjajaki masalah secara keseluruhan dan menunjang
keberanian anak memecahkan masalah dan menarik kesimpulan yang baru dan benar.

2. Anak dan kehidupan sekolah

Permulaan anak memasuki lingkungan sekolah, maka pada waktu itulah permulaan anak mengenal
sekolah. Anak akan mengenal sekolah sebagai tempat berkumpulnya anak-anak dari berbagai latar
belakang kehidupan. Anak yang pada mulanya belum saling mengenal antara yang satu dengan yang
lainnya, beberapa hari kemudian sudah saling mengenal dalam ruang lingkup pergaulan yang terbatas.
Hanya anak-anak tertentu yang dikenal oleh anak, terutama anak-anak sekelasnya. Rasa kesendirian
mulai menjauhi anak dan berubah menjadi kehidupan sekolah yang menyenangkan. Begitula perubahan
pergaulan sosial anak di sekolah.

Tidak seperti anak yang pernah mengenyam pendidikan di taman kanak-kanak, anak yang tidak pernah
dididik di lembaga prasekolah ini, kemampuan beradaptasinya berjalan lambat. Karena …99

anak belum terbiasa bergaul dalam lingkungan sekolah. Rasa malu, rasa takut. dan tidak ingin berpisah
dengan orang tuanya, membuat anak menjadi orang yang pendiam dan sukar diajak bicara. Menjauhi
pergaulan tidak jarang dilakukan anak. Ketika di sekolah anak lebih banyak sebagai penonton daripada
berbuat kreatif.

Pada permulaan sekolah lebih banyak menuntut anak untuk mengembangkan kemampuan beradaptasi
dengan lingkungan sekolah. Anak hams pandai beradaptasi dengan anak-anak lain, anak harus
beradaptasi dengan ruang belajarnya, anak harus mengenal gurunya sebagai figur yang wajib digugu,
ditiru, dan dihormati sampai kapanpun juga. Sistem sosial di sekolah yang terbentuk dan perangkat tata
tertib dan peraturan sekolah adalah sistem nilai yang mengikat dan mengendalikan perilaku anak, yang
menuntut kepada anak untuk tunduk dan mentaatinya. Hukuman berupa sanksilah bagi anak yang
melanggamya.

Tidak seperti di rumah dengan pendidikan yang berjalan secara kodrati dan alamiah berdasarkan
hubungan darah, di sekolah semua kegiatan diatur dengan sebuah rencana yang sistematis dan terpadu.
Pulang pergi anak, keluar masuk guru, pergantian jam pelajaran, waktu istirahat, dan lama tidaknya
pemberian bahan pelajaran oleh guru, dan sebagainya diatur dengan mempertimbangkan berbagai segi
dan untung ruginya. Anak tidak bisa masuk dan pulang sesuka hatinya. Juga tidak dibenarkan
mengabaikan tugas yang diberikan oleh guru. Berbicara sesuka hati ketika menerima pelajaran adalah
perilaku anak yang harus dikendalikan. Oleh karena itu, sistem sosial dan tata tertib/peraturan sekolah
harus sudah diketahui dan diperkenalkan kepada anak ketika pemberian materi tentang Wawasan
“Wiyatamandala” pada permulaan anak masuk sekolah. Ini penting agar anak lebih mudah beradaptasi
dengan lingkungan sekolah secara keseluruhan dalam waktu relatif singkat.

Suatu hal yang sangat penting dan harus dilakukan oleh guru sedini mungkin pada permulaan anak
sekolah adalah menanamkan dan menumbuhkan dasar pendidikan moral, sosial, susila, etika, dan
agama, dalam setiap pribadi anak. Semua nilai ini sangat diperlukan …100

dalam pembentukan kepribadian anak dan sangat berguna bagi kehidupan anak di kemudian hari.

Di tengah kehidupan sekarang, di mana orang tertentu mulai tidak mengindahkan masalah nilai
”kesopanan” dan ”kehormatan”, kesopanan bahasa kian terkikis dan karena tercemar perilaku. kebarat-
baratan rasa hormat anak kepada guru semakin memudar, adalah nilai-nilai sosial-budaya yang sangat
tidak sesuai dengan adat ketimuran dan bahkan norma agama. Semua nilai itu harus tidak tertanam
pada permulaan anak sekolah. Karena yang ingin dilahirkan adalah anak yang berbudaya yang
implementasinya dalam bentuk kesopanan dan kehormatan dalam bersikap dan berperilaku kepada
sesama insani, terutama terhadap orang tua dan guru.

Budaya malu berbuat yang tidak baik harus sudah ditanamkan dalam diri anak sejak permulaan sekolah.
Hal ini penting, karena dengan adanya rasa malu bagi anak ada filter di dalam dirinya untuk menyeleksi
mana perbuatan tercela dan mana perbuatan yang terpuji. Kemampuan anak untuk dapat membedakan
baik tidaknya suatu perbuatan sangat penting dan bermanfaat dalam kehidupan sosial di masyarakat
yang terkadang tidak bersahabat. Jika di dalam diri anak ada rasa malu berbuat kejahiliyahan, maka
itulah yang dikatakan anak yang berbudi pekerti yang luhur.

3. Inteligensi dan keberhasilan anak di sekolah

Inteligensi anak merupakan potensi bawaan yang sering dikaitkan dengan berhasil tidaknya anak belajar
di sekolah. Dengan kata lain, inteligensi dianggap sebagai faktor yang menentukan berhasil tidaknya
anak di sekolah. Pernyataan ini seperti dikutip oleh Slameto (1991: 130) sangat sejalan dengan pendapat
Walter B. Kolesnik (1979) yang mengatakan bahwa:

“In most cases there is a fairly high correlation between one’s IQ, and his scholastis succes. Usually, the
higher a person’s IQ, the higher the grades he receives.” #101
Pernyataan di atas memang beralasan, karena pada kasus-Kasus tertentu sering ditemukan. bahwa anak
dengan inteligensi yang rendah, di bawah rata-rata normal, cenderung mengalami kesukaran dalam
belajar. Karena cara berpikirnya lambat, anak pun mengalami kesukaran beradaptasi dengan teman-
teman sekelasnya. Rendahnya prestasi belajar yang anak dapatkan tidak dapat dihindari. Oleh karena
itulah, anak dengan inteligensi yang rendah ditempatkan di kelas-kelas khusus dengan pelayanari khusus
pula.

Sebaliknya, pada kasuistik lainnya ditemukan hasil penelitian bahwa anak dengan inteligensi yang tinggi
cenderung mengalami kesukaran beradaptasi dengan anak dengan inteligensi rata-rata normal. Hal ini
disebabkan anak dengan inteligensi yang tinggi lebih cepat menyerap, mengolah, dan menyimpan bahan
pelajaran yang diberikan daripada anak dengan inteligensi rata-rata normal.

Meski kapasitas inteligensi yang berada pada dua kutub yang ekstrem di atas diakui hingga sekarang,
namun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wellman (1945) terhadap 50 kasus studi,
seperti dikutip Sunarto (1999: 107), telah disimpulkan bahwa pengalaman sekolah mempengaruhi
perkembangan inteligensi. Menurut Wellman, anak yang mengalami ”prasekolah” sebelum sekolah
dasar kemajuan yang lebih besar dalam rata-rata IQ mereka daripada anak yang tidak pernah mengalami
prasekolah. Semakin lama anak bersekolah di prasekolah, misalnya sampai tiga tahun, maka inteligensi
anak dapat berkembang ke arah yang lebih berkualitas. Ini berarti bahwa pengalaman yang diperoleh di
sekolah menyumbangkan secara positif terhadap peningkatan IQ anak.

Bagaumana pengaruh lingkungan terhadap perkembangan inteligensi? Pengaruh belajar dalam arti
lingkungan terhadap perkembangan inteligensi cukup besar. Hasil penelitian telah menyimpulkan bahwa
bagaimana peranan belajar terhadap perkembangan inteligensi.

Jika anak kembar satu telur diasuh bersama dalam lingkungan yang sama, IQ mereka akan lebih mirip
sama dibandingkan dengan #102

apabila mereka diasuh terpisah oleh lingkungan yang berbeda. Dalam kasus ini tidak terhadap hubungan
genetik, tetapi hasilnya menunjukkan bahwa kesamaan IQ adalah karena kesamaan pengalaman belajar
dari lingkungan yang sama. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Gerber dan Ware (170)
telah disimpulkan bahwa semakin tinggi kualitas lingkungan rumah, cenderung semakin tinggi juga IQ
anak. Tiga unsur penting dalam keluarga yang amat berpengaruh terhadap perkembangan inteligensi
anak yang ditemukan dalam penelitian itu, yaitu:
1. Jumlah buku, majalah, dan materi belajar lainnya yang terdapat dalam lingkungan keluarga.

2. Jumlah ganjaran dan pengakuan yang diterima anak dari orang tua atas prestasi akademiknya.

3. Harapan orang tua akan prestasi akademik anaknya.

Menurut Monks, dan kawan-kawan (1989: 199) dalam bidang psikologi sering dibicarakan mengenai
underachiever. Underachiever menunjuk pada seseorang yang memperoleh prestasi-prestasi di bawah
kemampuan intelektual (inteligensi) yang ia miliki. Di negeri Belanda dan negara-negara lain ditemukan
bahwa kurang lebih 30% dari anak sekolah dasar maupun sekolah menengah adalah underachicver,
disebabkan oleh masalah-masalah sosial dan emosional.

Selain itu, masalah ketakutan akan kegagalan juga menjadi penyebab kapasitas intelektual tidak
sepenuhnya dapat bekerja. Tetapi menurut hasil observasi Haditono bahwa masalah underachiever di
Indonesia disebabkan ,oleh suatu kombinasi banyak faktor. Faktor yang pertama adalah kurangnya
fasilitas belajar dalam arti luas di sekolah-sekolah, terutama di pelosok-pelosok, maupun di rumah.
Faktor yang kedua adalah kurangnya stimulasi mental oleh orang tua di rumah. Hal ini terutama berlaku
bagi para orang tua yang tidak berpendidikan hingga mereka tidak mengerti sendiri bagaimana
membantu anak-anak mereka supaya lebih berhasil. Faktor yang ketiga, adalah keadaan gizi yang
bilamana dapat dicapai tingkat yang lebih tinggi, maka secara fisik anak lebih mampu untuk
menggunakan kapasitas otaknya secara lebih baik.

4. Anak berbakat dan intervensi dini

Secara umum, bakat adalah kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan
pada masa yang akan datang. Dengan demikian, sebetulnya setiap orang pasti memiliki bakat (aptitude)
dalam arti berpotensi untuk mencapai prestasi sampai ke tingkat tertentu sesuai dengan kapasitas
masing-masing. Jadi, secara global bakat itu mirip dengan inteligensi. Itulah sebabnya seorang anak yang
berinteligensi sangat cerdas (superior) atau cerdas luar biasa (very superior) disebut juga sebagai
talented child, yakni anak berbakat.

Dalam perkembangan selanjutnya, bakat diartikan sebagai kemampuan individu untuk memperlakukan
tugas tertentu tanpa banyak bergantung kepada upaya pendidikan dan latihan. Seorang anak yang
berbakat dalam bidang ekektro, misalnya, akan jauh lebih mudah #104

menyerap informasi, pengetahuan, dan keterampilan yang berhubungan dengan bidang tersebut
dibanding dengan anak lainnya Inilah yang kemudian disebut bakat khusus (specific aptitude), yang
konon tak dapat dipelajari, karena merupakan karunia yang dibawa sejak lahir.
Tak dapat disangkal bahwa bakat dapat mempengaruhi tinggi rendahnya prestasi belajar anak pada
bidang-bidang studi tertentu. Oleh karena itu, tidak bijaksana jika orang tua memaksakan kehendaknya
untuk menyekolahkan anaknya pada jurusan keahlian tertentu tanpa mengetahui terlebih dahulu bakat
yang dimiliki oleh anaknya itu. Pemaksaan kehendak terhadap anak, dan karena ketidaksadaran anak
terhadap bakatnya sendiri, sehingga ia memilih jurusan keahlian yang sebenamya bukan bakatnya,
(mungkin karena bujukan teman) akan berpengaruh terhadap prestasi belajarnya. Di sekolah dengan
sistem klasikal, di antara anak yang mayoritas berinteligensi normal, mungkin ada satu atau dua orang
anak sangat cerdas dan anak sangat berbakat (IQ 140 ke atas). Mungkin juga ada anak yang
berkecerdasan di bawah batas rata-rata anak yang berlainan kapasitas inteligensi ini tentu saja tidak
sama.

Setiap guru yang profesional sepantasnya menyadari bahwa keluarbiasaan inteligensi anak, baik yang
positif seperti ”superior” maupun yang negatif seperti ”borderline”, lazimnya menimbulkan kesulitan
belajar bagi anak yang bersangkutan. Gejala yang tampak adalah sukarnya anak beradaptasi dengan
lingkungan kelas. Di satu sisi, anak yang cerdas sekali akan merasa tidak mendapatkan perhatian yang
memadai dari sekolah karena pelajaran yang disajikan terlampau mudah baginya. Akibatnya, ia menjadi
bosan dan frustasi karena tuntutan kebutuhan keingintahuannya (curiosity) merasa dibendung secara
tidak adil. Di sisi lain, anak yang bodoh sekali akan merasa sangat payah mengikuti sajian pelajaran
karena terlalu sukar baginya. Karenanya anak itu sangat tertekan, dan akhirnya merasa bosan dan
frustasi seperti yang dialami rekannya yang luar biasa positif tadi. Untuk menolong anak yang berbakat,
sebaiknya guru menaikkan kelasnya setingkat lebih tinggi dari kelasnya sekarang. Kelak, apabila ternyata
di kelas barunya itu dia masih merasa terlalu mudah juga, anak tersebut dapat dinaikkan setingkat lebih
tinggi lagi. Begitu seterusnya, hingga dia mendapatkan kelas yang tingkat kesulitan mata pelajarannya
sesuai dengan tingkat inteligensinya. Bila cara tersebut sulit ditempuh, altematif lain dapat diambil,
misalnya dengan cara menyerahkan anak tersebut ke lembaga pendidikan khusus untuk para anak
berbakat.

Sebaliknya, untuk menolong anak yang mempunyai kecerdasan di bawah normal, dapat dibantu dengan
cara menurunkan ke kelas yang lebih rendah. Konsekuensinya, dapat menimbulkan masalah baru yang
bersifat psikososial, yang tidak hanya mengganggu anak itu sendiri, tetapi juga mengganggu ”adik-adik”
barunya. Tetapi yang terbaik dan tindakan yang dipandang lebih bijaksana adalah dengan cara
memindahkan anak penyandang inteligensi rendah tersebut ke lembaga pendidikan khusus untuk anak-
anak penyandang ”kemalangan” IQ. Sayangnya, lembaga pendidikan khusus anak-anak malang dah
lembaga pendidikan khusus anak-anak cemerlang di negara kita baru ada di kota-kota tertentu saja dan
masih sangat sedikit sekali.

Anda mungkin juga menyukai