Anda di halaman 1dari 9

Kelompok 1

Ratna
Fitri Nadyasari Dewi

Lilis Mardiana
Mulyana
Masnia
Kegiatan belajar 1
Manfaat Belajar Seni bagi Anak Usia SD

1. Seni Rupa Sebagai Bahasa Visual


Anak pada usia SD dalam kehidupannya sangat dekat dengan berkarya
seni. Hampir bisa dikatakan bahwa perilaku anak dekat dengan kegiatan
berkesenian; tiada hari tanpa gambar atau berseni. Berseni merupakan,
kebutuhan anak dalam:
a. Mengutarakan pendapat;
b. berkhayal-berimajinasi
c. Bermain;
d. Belajar;
e. Memahami bentuk yang ada di sekitar anak;
f. Merasakan: kegembiraan, kesedihan, dan rasa keragaman.
Dalam proses berkarya seni, pikiran san perasaan anak aktif bahkan pikiran
anak bercampur dengan perasaannya. Anak pada usia dini belum dapat
membedakan makna berpikir dengan merasakan; semuanya masih menyatu
dalam kegiatan yang bersifat refleksi. Alam pikiran dan perasaan anak ini
terungkap dalam karya rupa anak. Ketika anak menciptakan boneka yang dia
buat dari kayu yang digambari mata, hidung dan diberi pakaian serta
aksesori yang lain, sebenarnya mempunyai arti cukup konotatif.
Dalam sejarah seni rupa kuno, seperti di Cina, Mesir maupun India serta
daerah-daerah, gambar berfungsi sebagai wacana, atau disebut gambar
tulisan (pictograph). orang-orang primitif memanfaatkan gambar untuk
berkomunukasi dengan orang lain; gambar tersebut berfungsi sebagai
Poster, surat terbuka berisi maklumat raja, ataupun suatu catatan penting
tentang peristiwa besar seperti kemenangan berperang, pernikahan, ataupun
pelajaran agama.
2. Seni Membantu Pertumbuhan Mental
Usia anak sekitar 7 sampai dengan 8 tahun ( antara kelas 1 dan 2 )
merupakan usia perkembangan penalaran anak, pikiran dan perasaan anak
pun mulai berkembang memisah. Pada suatu ketika, Pertumbuhan badan
(biological age) anak lebih cepat daripada perkembangan pikiran (mental
age). Ketidaksejajaran perkembangan anak tersebut berpengaruh terhadap
perkembangan gambar, misal: fungsi nalar berkembang lebih cepat dari pada
ekspresi. Hal yang terjadi, penalaran anak lebih kuat daripada perasaannya.
Tipe anak yang kuat penalarannya cenderung lebih dominan nuansa garis
serta figur atau objek lukisan ditampilkan lebih realistis daripada anak
bertipe perasaan (emosional).
Dalam pandangan psikologi humanistik, perkembangan anak dipengaruhi
oleh faktor lingkungan (teori behavorial), seperti teman-teman di
sekelilingnya, guru kelas, ataupun orang tua saja dan faktor internal (internal
faktor). Teori psikoanalisis menjelaskan bahwa internal faktor
sebagai modal awal, seperti: dasar pikiran, perasaan. Biasanya, kedua faktor
tersebut berjalan saling memengaruhi secara berimbang. Misalnya: fisik,
intelektual, emosional, dan interpersonal, serta interaksi antara semua
faktor, yang memengaruhi belajar dan motivasi belajar. Psikoanalis sendiri
menyatakan bahwa dalam jiwa manusia berkembang kognisi, afeksi dan
psikomotorik. Barangkali perkembangan ketiga ramah kejiwaan pun
memengaruhi perkembangan mental dan selanjutnya berpengaruh terhadap
cara cipta seni rupa.
Selanjutnya perkembangan intelektual, emosional maupun persepsi dapat
dikategorikan sebagai perkembangan mental.
Dalam skema pertumbuhan anak, terurai bahwa bisa terjadi urutan
perkembangan usia yang tidak seimbang. Usia kronologis (yaitu usia
berdasarkan urutan yang dihitung sejak lahir) anak berusia 6 tahun
berkembang terus sesuai dengan tahun. Usia kronologis ini kebetulan
mempunyai perkembangan sejajar dan seiring dengan usia mental. Namun,
pada usia pertumbuhan, badan anak kurang normal dibanding dengan kedua
usia di atas, mungkin kerdil, atau bahkan lebih cepat matang
kedewasaannya.
Perkembangan usia ini sedikit banyak mempengaruhi pola berkarya seni
rupa. Ketika usia pertumbuhan badan normal belum tentu akan diikuti oleh
perkembangan usia mental.
Mungkin hambatan psikologis keluarga dengan berbagai aturan pergaulan
dalam keluarga terlampau ketat maka perkembangan mental akan berbeda
dengan anak yang hidup dalam keluarga sesuai dengan adat dan pergaulan
dengan masyarakat lain.
Kecerdasan visual yang ada dalam pelajaran seni rupa sebenarnya
dibutuhkan oleh anak dalam menanggapi lingkungan. Berarti belajar seni
rupa adalah untuk memahami sekeliling melalui latihan daya ingat. Proses
memahami lingkungan yang berkaitan dengan otak melalui citra-cintra
asosiatif dilakukan komunikasi secara metaforis-simbolis. Sebab, didalam
otak terdapat beberapa pikiran yang dikelilingi asosiasi. Menurut Dilts
(1983; dalam DePorter et al., 1999:68), gerakan mata selama belajar dan
berpikir terikat pada modalitas visual, auditonal, dan kinestetik. Dengan kata
lain, mata bergerak menurut cara otak mengakses informasi.
Pada umumnya, ketika mata bergerak naik maka kita sedang menciptakan
atau mengingat citra. Misalnya jika seseorang ditanya mobilnya diparkir
dimana, matanya akan naik saat dia berpikir: seolah-olah mobilnya diparkir
di awang-awang. Dalam otak menyimpan dan menciptakan citra visual dan
Kinerja mata bergerak ke informasi yang tersimpan untuk diciptakan.

Anda mungkin juga menyukai