Anda di halaman 1dari 20

HUBUNGAN PERKEMBANGAN ANAK DALAM KEHIDUPAN

SEKOLAH, INTELEGENSI KEBERHASILAN ANAK DAN ANAK


BERBAKAT DAN INTERVENSI DINI

Disusun Oleh

Kelompok 6

Ronauli Yanti Ritonga (20.02.0069)

Alfiani Arika (20.02.0094)

Khairul Azimi (20.02.0083)

Mata Kuliah: Psikologi Belajaran

Dosen: Rezki Fauzi, M.psi, Psikologi

JURUSAN TARBIYAH

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) “UISU”

PEMATANGSIANTAR

2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam, karena atas rahmat dan
petunjuk-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah kami tentang
“Hubungan Perkembangan Anak Dalam Kehidupan Sekolah, Intelegensi
Keberhasilan Anak dan Anak Berbakat dan Intervensi Dini”. Shalawat serta salam
tak lupa kami ucapkan dan hadiahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW
yang telah membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang
benderang dalam naungan iman dan islam.

Kami sadar sebagai seorang mahasiswa yang masih dalam proses


pembelajaran, penyususnan makalah ini masih banyak sekali kekurangan. Oleh
karena itu kami sangat mengharapkan adanya kritik serta saran yang bersifat
positif, guna penyusunan makalah ini dapat agar menjadi lebih baik lagi untuk
kedepannya.

Dan tak lupa pula kami ucapkan terimakasih kepada Bapak Dosen yang
telah memberikan kami tugas ini. Sehingga kami dapat menyelesaikannya tepat
waktu.

Pematangsiantar, 16 Oktober 2022

Pemakalah
DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap individu dilahirkan di dunia dengan membawa hereditas tertentu


yang diperoleh melalui warisan dari pihak orangtuanya yang menyangkut
karakteristikfisik dan psikis atau sifat-sifat mental. Lingkungan merupakan faktor
penting di samping hereditas yang menentukan perkembangan individu yang
meliputi fisik, psikis, social dan relegius. Manusia adalah makhluk-makhluk hidup
yang lebih sempurna bila dibandingkan dengan makhluk-makhluk hidup yang
lain. Akibat dari unsur kehidupan yang ada pada manusia, manusia berkembang
dan mengalami perubahan-perubahan, baik perubahan-perubahan dalam segi
fisologi maupun perubahan-perubahan dalam segi psikologi. Bahwa setiap anak
secara kodrat membawa variasi dan irama perkembangannya sendiri, perlu
diketahui setiap orangtua, agar ia tidak bertanya-tanya bahkan bingung atau
bereaksi negatif yang lain dalam menghadapi perkembangan anaknnya. Bahkan ia
harus bersikap tenang sambil mengikuti terus-menerus pertumbuhan anak, agar
pertumbuhan itu sendiri terhindar dari gangguan apapun, yang tentu saja akan
merugikan. Dalam kesempatan ini akan kami paparkan mengenai pengertian
perkembangan, faktor-faktor perkembangan, tugas dan fase perkembangan serta
hukum yang akan menentukan dalam perkembangan manusia.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana hubungan perkembangan dengan belajar anak?


2. Bagaimana anak dan kehidupan sekolah?
3. Bagaimana inteligensi dan keberhasilan anak di sekolah?
4. Bagaimana anak berbakat dan intervensi dini?

C. Tujuan Masalah
1. Dapat mengetahui hubungan perkembangan dengan belajar anak.
2. Dapat mengetahui anak dan kehidupan sekolah.
3. Dapat mengetahui inteligensi dan keberhasilan anak di sekolah.
4. Dapat mengetahui anak berbakat dan intervensi dini.

BAB II
KAJIAN TEORI

1. Perkembangan

Perkembangan adalah perubahan-perubahan psikofosis sebagai hasil dari


sebuah proses pematangan dari fungsi-fungsi psikis dan fisis pada diri anak yang
ditunjang oleh suatu faktor lingkungan dan proses belajar dalam pada waktu
tertentu. Untuk menuju kedewasaan pada diri seseorang. (Kartono, 2003: 128).
Pengertian perkembangan juga menunjuk pada suatu proses ke arah yang
lebih sempurna dan tidak dapat diulang kembali. Perkembangan juga menunjuk
pada perubahan yang bersifat tetap dan tidak dapat diputar kembali, serta sebagai
proses yang kekal dan tetap yang menuju kearah suatu organisasi pada tingkat
integrasi yang lebih tinggi berdasarkan pertumbuhan, pematangan, dan belajar.
(Monks, dkk, 2001:1).
Perkembangan anak juga didukung dengan 3 aspek yaitu: pertumbuhan,
pematangan, dan belajar. Tanpa adanya 3 aspek tersebut perkembangan anak tidak
akan tumbuh dengan sempurna pada proses pematangan dan belajarnya, akibat
proses pertumbuhan, pematangan dan belajar yang kurang sempurna bisa
menyebabkan kekecewaan tersendiri dari pihak si anak dan orangtua.
Dari beberapa pengertian perkembangan di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa yang dimaksud dengan perkembangan adalah perkembangan itu tidak
terbatas pada pertumbuhan yang semakin membesar, dan didalamnya juga
terkandung serangkai perubahan psikis yang berlangsung terus-menerus serta
bersifat tetap dan fungs-fungsi jasmaniah dan rohaniah yang dimiliki individu
masing-masing dari anak.

2. Intelegensi siswa
Para ahli merumuskan defenisi intelegensi sebagai berikut:

a. Hebbinghaus (1897), berpendapat intelegensi adalah sebagai kemampuan


untuk membuat kombinasi.
b. Terman (1921), berpendapat intelegensi adalah sebagai kemampuan untuk
berpikir abstrak.
c. Thorndike, berpendapat intelegensi sebagai hal yang dapat dinilai dengan
taraf ketidak lengkapan daripada kemungkinan-kemungkinan dalam
perjuangan hidup individu.
d. Vernon (1960), berpendapat intelegensi adalah sebagai kemampuan untuk
melihat hubungan yang relevan diantara objek-objek atau gagasan-
gagasan, serta kemampuan untuk menerapkan hubungan-hubungan ini
kedalam situasi-situasi yang serupa.
e. Alfred Binet, mengungkapkan bahwa intelegensi yaitu, memahami,
berpendapat, mengontrol dan mengkritik.

Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi intelegensi individu

menurut Bayley yaitu :

a. Keturunan, studi korelasi nilai-nilai test intelegensi diantara anak dan


orangtua atau dengan kakek neneknya, menunjukkan adanya pengaruh
faktor keturunan terhadap tingkat kemampuan mental seseorang sampai
kepada tingkat tertentu.

b. Latar belakang sosial ekonomi ; pendapatan keluarga, pekerjaan orang tua


dan faktor-faktor sosial ekonomi lainnya, berkorelasi positif dan cukup
tinggi dengan taraf kecerdasan individu mulai usia 3 tahun sampai remaja.

c. Lingkungan hidup : lingkungan yang baik akan menghasilkan intelegensi


yang baik, sedang lingkungan yang kurang baik akan menghasilkan
intelegensi yang kurang baik pula.
d. Kondisi fisik : keadaan gizi yang kurang baik, kesehatan yang buruk,
perkembangan fisik yang lambat, menyebabkan tingkat kemampuan
mental yang rendah
BAB III
PEMBAHASAN

A. Hubungan Perkembangan Dengan Belajar Anak

Perkembangan anak dapat didefinisikan sebagai proses di mana anak


mengalami perubahan seiring berjalannya waktu. Bisa dikatakan, perkembangan
mengacu pada urutan perubahan fisik, bahasa, emosi, dan pemikiran, yang terjadi
pada anak sejak lahir hingga awal masa dewasa. Selama proses ini, anak
berkembang dari yang awalnya bergantung pada orangtua, menjadi pribadi yang
mandiri.

Perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh faktor genetika (gen yang diturunkan
orang tua) serta peristiwa-peristiwa yang terjadi selama kehidupan prenatal. Meski
begitu, peran eksternal juga berpengaruh pada perkembangan anak. Misalnya,
lingkungan keluarga, faktor sosial, ekonomi, dan budaya. Dengan demikian,
tumbuh kembang berhubungan langsung dengan gizi anak, kesejahteraan, pola
pengasuhan, pendidikan serta interaksi mereka dengan teman sebayanya.

Sedangkan, Perkembangan belajar peserta didik adalah proses kualitatif


progresif yang sistematis dalam diri individu karena adanya proses mental yang
menghasilkan perubahan kemampuan karena adanya interaksi individu dengan
lingkungannya dan berkeinginan mengembangkan potensi dirinya melalui proses
belajar mengajar.

Proses perkembangan fisik anak berlangsung kurang lebih selama dua


dekade (dua dasawarsa) sejak ia lahir. Lonjakan perkembangan terjadi pada masa
anak menginjak usia remaja antara 12 atau 13 tahun hingga 21 atau 22 tahun. Pada
saat perkembangan berlangsung, beberapa bagian jasmani seperti kepala dan otak.
Dan pada waktu dalam rahim berkembang tidak seimbang (tidak secepat badan
dan kaki), mulai menunjukkan perkembangan yang cukup berarti hingga bagian-
bagian lainnya menjadi matang. Pada mulanya anak yang baru .dilahirkan
memiliki sedikit sekali kendali terhadap aktivitas alat-alat jasmaninya. Karenanya
tubuhnya terlihat selalu bergerak-gerak dengan sikap tertentu. Kemudian dalam
perkembangan selanjutnya anak dapat mengendalikan aktivitas alat-alat
jasmaninya itu sesuai keinginan. Ketika anak memasuki sekolah dasar atau
ibtidaiyah pada umur enam/tujuh tahun hingga 12/13 tahun, perkembangan
fisiknya mulai tampak benar-benar proporsional (berkesinambungan). Organ-
organ jasmaninya tumbuh serasi dan tidak lebih panjang atau lebih besar dari yang
semestinya. Ukuran tangan kanan tidak lebih panjang dari tangan kiri atau ukuran
leher tidak lebih besar dari ukuran kepala yang disangganya.

Seiring dengan meningkatnya usia anak, gerakan anak pun semakin lincah. Anak
dapat duduk , berjalan, berdiri, berjongkok , dan gerakan-gerakan fisik lainnya.
Pendek kata, gerakan fisiknya beraneka ragam dan dengan kekuatan dan daya
tahan yang berlainan.

Di tubuh anak seperti tangan, kaki, kepala, jari-jari tangan, pinggang, dan
sebagainya mempunyai fungsi masing-masing. Anak dapat memanfaatkannya
untuk mempelajari keterampilan-keterampilan tertentu. Misalnya, tangan dan jari-
jarinya yang berjumlah sepuluh, dapat digunakan untuk mengetik sepuluh jari,
untuk olah raga badminton, untuk menulis, untuk menggambar, dan sebagainya.
Kaki dapat digunakan untuk berlari, main sepak bola, mendaki gunung, sepak
takraw, dan sebagainya.

Keterampilan indrawi-jasmani adalah salah satu keterampilan yang


memerlukan koordinasi dan organisasi psikofisik anak. Keterampilan indrawi-
jasmani dalam prakteknya tidak hanya mengandalkan gerakan fisik, tetapi juga
melibatkan proses mental. Keterampilan menulis atau menggambar misalnya,
bukan hanya asal menulis atau menggambar tapi ada suatu ide, ilham, atau
pemikiran untuk diekspresikan dalam bentuk tulisan atau gambar. Sering
ditemukan kekeliruan anak dalam hal menulis atau menggambar, karena dia malas
berpikir. Anak yang menyalin bahan pelajaran tanpa proses mental, walaupun ia
sudah biasa karena sering melakukannya, resiko kesalahan mungkin akan selalu
mengancam. Selain perkembangan fisik yang mempengaruhi belajar anak, yang
tidak kalah panting mempengaruhi belajar anak adalah perkembangan kognitif.
Istilah kognitif berasal dari kata cognition yang padanannya knowing berarti
mengetahui. Dalam arti luas, kognitif (kognisi) adalah perolehan, penataan, dan
penggunaan pengetahuan.

Sebagian besar psikologi, terutama ahli psikologi kognitif berkeyakinan


bahwa proses perkembangan kognitif manusia mulai berlangsung sejak ia baru
lahir. Bekal dan modal dasar perkembangan manusia, yaitu kapasitas motor dan
kapasitas sensori sampai batas tertentu dipengaruhi oleh aktivitas kognitif.
Pendayagunaan kapasitas kognitif manusia sudah mulai berjalan sejak manusia itu
mulai mendayagunakan motor dan sensorinya. Berdasarkan hasil-hasil riset
kognitif disimpulkan bahwa semua bayi sudah berkemampuan menyimpan
informasi-informasi yang berasal dari penglihatan, pendengaran, dan informal-
informal lain Yang diserap melalui indraindranya, asalkan otaknya tidak cacat
atau berkelainan otak. Melalui pancaindra anak melakukan aktivitas kognitif
untuk mendapatkan pengalaman langsung dalam kehidupan sehari-hari di
lingkungan sosialnya. Pengalaman langsung berdasarkan pengamatan terhadap
suatu objek adalah awal pengenalan terhadap suatu objek. Kesan-kesan dari
pengalaman langsung itu tidak hilang dari ingatan meskipun anak sudah
meninggalkan objek sebenarnya. Ini artinya anak dapat menyimpan objek yang
telah ”hilang” dan menggantikannya dalam bentuk representasi mental. Bedanya
tidak ada, tetapi tergambar seperti benda yang sesungguhnya di dalam memori
otak.

Sedangkan perkembangan belajar anak . Dalam belajar anak harus dapat


melakukan representasi mental dengan sebaik-baiknya. Penyerapan, pengolahan,
dan penyimpanan kesan yang terorganisasi dengan baik akan mempengaruhi
kekuatan ingatan. Kesalahan penyerapan, pengolahan, dan penyimpanan kesan-
kesan yang didapatkan dari hasil belajar akan menyebabkan kerusakan
representasi mental. Sehingga menurut Jean Piaget kerancuan ”skema” tidak dapat
dihindari. Efeknya justru menjadi penghalang dalam pembentukan struktuf-
struktur mental berikutnya. Skema dari Piaget ini dapat disejajarkan dengan istilah
”struktur kognitif”, yaitu mengingat pengetahuan mengenai mata pelajaran yang
cenderung diorganisasi atau disusun secara berurut dan hierarki, apa yang telah
diketahui anak dan sejauh mana anak mengetahuinya jelas mempengaruhi
kesiapan anak mempelajari hal-hal baru. Dalam belajar, semakin baik struktur
kognitif yang dilakukan oleh anak, maka semakin mapanlah penguasaan anak atas
bahan pelajaran yang telah dikuasai. Bila suatu ketika pengetahuan itu diperlukan,
mudahlah bagi anak untuk mengingatnya kembali. Agar struktur kognitif dapat
dibentuk dengan baik di dalam memori, anak dapat menggunakan ”jembatan
logika” dalam belajar. Misalnya, bahan pelajaran disusun dalam bentuk skema
atau bagan, atau dengan teknik apa saja selama mendukung terbentuknya struktur
kognitif.

Seiring dengan meningkatnya umur anak, maka cara berpikir anak pun
bergerak dari yang konkret menuju yang abstrak. Hal ini terjadi bila anak sudah
memiliki kesadaran akan tetap eksisnya suatu benda yang harus ada ataulbiasa
ada, walaupun benda itu sudah ia tinggalkan, atau sudah tak digihat dan tak
didengar lagi. Di sini pandangan terhadap keberadaan benda tidak lagi bergantung
pada pengamatan belaka, tetapi sudah dalam bentuk representasi mental‘
Kemampuan anak untuk melakukan representasi mental inilah yang melicinlcan
jalan bagi anak untuk dapat berpikir abstrak. Ini terjadi dalam diri anak ketika
berumur 2 sampai 7 tahun, yaitu dalam periode perkembangan kognitif pra-
operasional. Dengan kemampuan ini anak dapat mengembangkan berbagai
tanggapan mental. Kesanggupan menyimpan tanggapan bertambah besar.
Sehingga jangan heran bila pengetahuannya juga bertambah berkat belajar dan
hasil interaksinya dengan lingkungan. Kemampuan berpikir anak dipengaruhi
kapasitas inteligensi sebagai potensi yang bersifat bawaan. Kualitas inteligensi
anak mempengaruhi kemampuan anak untuk membentuk struktur kognitif.
Inteligensi itu sendiri dipengaruhi oleh faktor-faktor lain dalam
perkembangannya. Misalnya, bertambahnya informasi yang disimpan dalam
memori seseorang sehingga ia mampu berpikif, banyaknya pengalaman dan
istilah-istilah memecahkan masalah sehingga seseorang dapat berpikir
proporsional, dan adanya kebebasan berpikir sehingga menimbulkan keberanian
seseorang dalam menyusun hipotes-hipotesis dan kebebasan menjajaki masalah
secara keseluruhan dan menunjang keberanian anak memecahkan masalah dan
menarik kesimpulan yang baru dan benar.

B. Anak Dalam Kehidupan Sekolah

Permulaan anak memasuki lingkungan sekolah, maka pada waktu itulah


permulaan anak mengenal sekolah. Anak akan mengenal sekolah sebagai tempat
berkumpulnya anak-anak dari berbagai latar belakang kehidupan. Anak yang pada
mulanya belum saling mengenal antara yang satu dengan yang lainnya, beberapa
hari kemudian sudah saling mengenal dalam ruang lingkup pergaulan yang
terbatas. Hanya anak-anak tertentu yang dikenal oleh anak, terutama anak-anak
sekelasnya. Rasa kesendirian mulai menjauhi anak dan berubah menjadi
kehidupan sekolah yang menyenangkan. Begitula perubahan pergaulan sosial
anak di sekolah. Tidak seperti anak yang pernah mengenyam pendidikan di taman
kanak-kanak, anak yang tidak pernah dididik di lembaga prasekolah ini,
kemampuan beradaptasinya berjalan lambat. Karena anak belum terbiasa bergaul
dalam lingkungan sekolah. Rasa malu, rasa takut, dan tidak ingin berpisah dengan
orangtuanya, membuat anak menjadi orang yang pendiam dan sukar diajak bicara.
Menjauhi pergaulan tidak jarang dilakukan anak. Ketika di sekolah anak lebih
banyak sebagai penonton daripada berbuat kreatif.

Pada permulaan sekolah lebih banyak menuntut anak untuk


mengembangkan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan sekolah. Anak harus
pandai beradaptasi dengan anak-anak lain, anak harus beradaptasi dengan ruang
belajarnya, anak harus mengenal gurunya sebagai figur yang wajib ditiru, dan
dihormati sampai kapanpun juga. Sistem sosial di sekolah yang terbentuk dan
perangkat tata tertib dan peraturan sekolah adalah sistem nilai yang mengikat dan
mengendalikan perilaku anak, yang menuntut kepada anak untuk tunduk dan
mentaatinya. Hukuman berupa sanksilah bagi anak yang melanggarnya.
Tidak seperti di rumah dengan pendidikan yang berjalan secara kodrati dan
alamiah berdasarkan hubungan darah, di sekolah semua kegiatan diatur dengan
sebuah rencana yang sistematis dan terpadu. Pulang pergi anak, keluar masuk
guru, pergantian jam pelajaran, waktu istirahat, dan lama tidaknya pemberian
bahan pelajaran oleh guru, dan sebagainya diatur dengan mempertimbangkan
berbagai segi dan untung ruginya. Anak tidak bisa masuk dan pulang sesuka
hatinya. Juga tidak dibenarkan mengabaikan tugas yang diberikan oleh guru.
Berbicara sesuka hati ketika menerima pelajaran adalah perilaku anak yang harus
dikendalikan. Oleh karena itu, sistem sosial dan tata tertib/peraturan sekolah harus
sudah diketahui dan diperkenalkan kepada anak. Pada permulaan anak masuk
sekolah. Ini penting agar anak lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan
sekolah secara keseluruhan dalam waktu relatif singkat.Suatu hal yang sangat
penting dan harus dilakukan oleh guru sedini mungkin pada permulaan anak
sekolah adalah menanamkan dan menumbuhkan dasar pendidikan moral, sosial,
susila, etika, dan agama, dalam setiap pribadi anak.

C. Inteligensi dan Keberhasilan Anak di Sekolah

Inteligensi anak merupakan potensi bawaan yang sering dikaitkan dengan


berhasil tidaknya anak belajar di sekolah. Dengan kata lain, inteligensi dianggap
sebagai faktor yang menentukan berhasil tidaknya anak di sekolah. Pernyataan ini
seperti dikutip oleh Slameto (1991: 130) sangat sejalan dengan pendapat Walter
B. Kolesnik (1979) yang mengatakan bahwa: “In most cases there is a fairly high
correlation between one’s IQ, and his scholastis succes. Usually, the higher a
person’s IQ, the higher the grades he receives”.

Pernyataan di atas memang beralasan, karena pada kasus-kasus tertentu sering


ditemukan. bahwa anak dengan inteligensi yang rendah, di bawah rata-rata
normal, cenderung mengalami kesukaran dalam belajar. Karena cara berpikirnya
lambat, anak pun mengalami kesukaran beradaptasi dengan teman-teman
sekelasnya. Rendahnya prestasi belajar yang anak dapatkan tidak dapat dihindari.
Oleh karena itulah, anak dengan inteligensi yang rendah ditempatkan di kelas-
kelas khusus dengan pelayanan khusus pula.

Sebaliknya, pada kasus lainnya ditemukan hasil penelitian bahwa anak dengan
inteligensi yang tinggi cenderung mengalami kesukaran beradaptasi dengan anak
dengan inteligensi rata-rata normal. Hal ini disebabkan anak dengan inteligensi
yang tinggi lebih cepat menyerap, mengolah, dan menyimpan bahan pelajaran
yang diberikan daripada anak dengan inteligensi rata-rata normal.

Meski kapasitas inteligensi yang berada pada dua kutub yang ekstrem di
atas diakui hingga sekarang, namun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Wellman (1945) terhadap 50 kasus studi, seperti dikutip Sunarto (1999: 107),
telah disimpulkan bahwa pengalaman sekolah mempengaruhi perkembangan
inteligensi. Menurut Wellman, anak yang mengalami ”prasekolah” sebelum
sekolah dasar kemajuan yang lebih besar dalam rata-rata IQ mereka daripada anak
yang tidak pernah mengalami prasekolah. Semakin lama anak bersekolah di
prasekolah, misalnya sampai tiga tahun, maka inteligensi anak dapat berkembang
ke arah yang lebih berkualitas. Ini berarti bahwa pengalaman yang diperoleh di
sekolah menyumbangkan secara positif terhadap peningkatan IQ anak.

D. Anak Berbakat dan Intervensi Dini

Secara umum, bakat adalah kemampuan potensial yang dimiliki seseorang


untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang. Dengan demikian,
sebetulnya setiap orang pasti memiliki bakat (aptitude) dalam arti berpotensi
untuk mencapai prestasi sampai ke tingkat tertentu sesuai dengan kapasitas
masing-masing. Jadi, secara global bakat itu mirip dengan inteligensi. Itulah
sebabnya seorang anak yang berinteligensi sangat cerdas (superior) atau cerdas
luar biasa (very superior) disebut juga sebagai talented child, yakni anak berbakat.

Dalam perkembangan selanjutnya, bakat diartikan sebagai kemampuan


individu untuk memperlakukan tugas tertentu tanpa banyak bergantung kepada
upaya pendidikan dan latihan. Seorang anak yang berbakat dalam bidang ekektro,
misalnya, akan jauh lebih mudah menyerap informasi, pengetahuan, dan
keterampilan yang berhubungan dengan bidang tersebut dibanding dengan anak
lainnya Inilah yang kemudian disebut bakat khusus (specific aptitude), yang
konon tak dapat dipelajari, karena merupakan karunia yang dibawa sejak lahir.

Tak dapat disangkal bahwa bakat dapat mempengaruhi tinggi rendahnya


prestasi belajar anak pada bidang-bidang studi tertentu. Oleh karena itu, tidak
bijaksana jika orang tua memaksakan kehendaknya untuk menyekolahkan
anaknya pada jurusan keahlian tertentu tanpa mengetahui terlebih dahulu bakat
yang dimiliki oleh anaknya itu. Pemaksaan kehendak terhadap anak, dan karena
ketidaksadaran anak terhadap bakatnya sendiri, sehingga ia memilih jurusan
keahlian yang sebenamya bukan bakatnya, (mungkin karena bujukan teman) akan
berpengaruh terhadap prestasi belajarnya. Di sekolah dengan sistem klasikal, di
antara anak yang mayoritas berinteligensi normal, mungkin ada satu atau dua
orang anak sangat cerdas dan anak sangat berbakat (IQ 140 ke atas). Mungkin
juga ada anak yang berkecerdasan di bawah batas rata-rata anak yang berlainan
kapasitas inteligensi ini tentu saja tidak sama.

Setiap guru yang profesional sepantasnya menyadari bahwa keluarbiasaan


inteligensi anak, baik yang positif seperti ”superior” maupun yang negatif seperti
”borderline”, lazimnya menimbulkan kesulitan belajar bagi anak yang
bersangkutan. Gejala yang tampak adalah sukarnya anak beradaptasi dengan
lingkungan kelas. Di satu sisi, anak yang cerdas sekali akan merasa tidak
mendapatkan perhatian yang memadai dari sekolah karena pelajaran yang
disajikan terlampau mudah baginya. Akibatnya, ia menjadi bosan dan frustasi
karena tuntutan kebutuhan keingintahuannya (curiosity) merasa dibendung secara
tidak adil. Di sisi lain, anak yang bodoh sekali akan merasa sangat payah
mengikuti sajian pelajaran karena terlalu sukar baginya. Karenanya anak itu
sangat tertekan, dan akhirnya merasa bosan dan frustasi seperti yang dialami
rekannya yang luar biasa positif tadi. Untuk menolong anak yang berbakat,
sebaiknya guru menaikkan kelasnya setingkat lebih tinggi dari kelasnya sekarang.
Kelak, apabila ternyata di kelas barunya itu dia masih merasa terlalu mudah juga,
anak tersebut dapat dinaikkan setingkat lebih tinggi lagi. Begitu seterusnya,
hingga dia mendapatkan kelas yang tingkat kesulitan mata pelajarannya sesuai
dengan tingkat inteligensinya. Bila cara tersebut sulit ditempuh, altematif lain
dapat diambil, misalnya dengan cara menyerahkan anak tersebut ke lembaga
pendidikan khusus untuk para anak berbakat.

Sebaliknya, untuk menolong anak yang mempunyai kecerdasan di bawah


normal, dapat dibantu dengan cara menurunkan ke kelas yang lebih rendah.
Konsekuensinya, dapat menimbulkan masalah baru yang bersifat psikososial,
yang tidak hanya mengganggu anak itu sendiri, tetapi juga mengganggu ”adik-
adik” barunya. Tetapi yang terbaik dan tindakan yang dipandang lebih bijaksana
adalah dengan cara memindahkan anak penyandang inteligensi rendah tersebut ke
lembaga pendidikan khusus untuk anak-anak penyandang ”kemalangan” IQ.
Sayangnya, lembaga pendidikan khusus anak-anak malang dah lembaga
pendidikan khusus anak-anak cemerlang di negara kita baru ada di kota-kota
tertentu saja dan masih sangat sedikit sekali.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

Perkembangan anak dapat didefinisikan sebagai proses di mana anak


mengalami perubahan seiring berjalannya waktu. Bisa dikatakan, perkembangan
mengacu pada urutan perubahan fisik, bahasa, emosi, dan pemikiran, yang terjadi
pada anak sejak lahir hingga awal masa dewasa. Selama proses ini, anak
berkembang dari yang awalnya bergantung pada orangtua, menjadi pribadi yang
mandiri.

Perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh faktor genetika (gen yang


diturunkan orang tua) serta peristiwa-peristiwa yang terjadi selama kehidupan
prenatal. Meski begitu, peran eksternal juga berpengaruh pada perkembangan
anak. Misalnya, lingkungan keluarga, faktor sosial, ekonomi, dan budaya.
Dengan demikian, tumbuh kembang berhubungan langsung dengan gizi anak,
kesejahteraan, pola pengasuhan, pendidikan serta interaksi mereka dengan teman
sebayanya.

Permulaan anak memasuki lingkungan sekolah, maka pada waktu itulah


permulaan anak mengenal sekolah. Anak akan mengenal sekolah sebagai tempat
berkumpulnya anak-anak dari berbagai latar belakang kehidupan. Anak yang pada
mulanya belum saling mengenal antara yang satu dengan yang lainnya, beberapa
hari kemudian sudah saling mengenal dalam ruang lingkup pergaulan yang
terbatas. Hanya anak-anak tertentu yang dikenal oleh anak, terutama anak-anak
sekelasnya. Rasa kesendirian mulai menjauhi anak dan berubah menjadi
kehidupan sekolah yang menyenangkan. Begitula perubahan pergaulan sosial
anak di sekolah. Tidak seperti anak yang pernah mengenyam pendidikan di taman
kanak-kanak, anak yang tidak pernah dididik di lembaga prasekolah ini,
kemampuan beradaptasinya berjalan lambat. Karena anak belum terbiasa bergaul
dalam lingkungan sekolah. Rasa malu, rasa takut, dan tidak ingin berpisah dengan
orangtuanya, membuat anak menjadi orang yang pendiam dan sukar diajak bicara.
Menjauhi pergaulan tidak jarang dilakukan anak. Ketika di sekolah anak lebih
banyak sebagai penonton daripada berbuat kreatif.

Secara umum, bakat adalah kemampuan potensial yang dimiliki seseorang


untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang. Dengan demikian,
sebetulnya setiap orang pasti memiliki bakat (aptitude) dalam arti berpotensi
untuk mencapai prestasi sampai ke tingkat tertentu sesuai dengan kapasitas
masing-masing. Jadi, secara global bakat itu mirip dengan inteligensi. Itulah
sebabnya seorang anak yang berinteligensi sangat cerdas (superior) atau cerdas
luar biasa (very superior) disebut juga sebagai talented child, yakni anak berbakat.
DAFTAR PUSTAKA

Djamarah, Syaiful Bahri, 2000. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Suryabrata Sumadi, Psikologi Pendidikan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,


2006)

Slameto, Belajar Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya (Jakarta, PT.


Rineka Cipta, 2003).

Mustakim, Psikologi Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Belajar Offset, 2004).

Whitherington, Psikologi Pendidikan. (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992).

Anda mungkin juga menyukai