Anda di halaman 1dari 16

MENJAWAB OPINI NEGATIF TERHADAP SYARIAT ISLAM

Oleh: MR Kurnia
Tuntutan pemberlakuan syariat Islam kembali mengemuka. Dorongannya adalah
kesadaran bahwa hanya syariat Islam sajalah yang mampu menjawab berbagai persoalan
yang tengah membelit negara ini, baik di lapangan ekonomi, politik, sosial, budaya dan
pendidikan, setelah ideologi sosialisme-komunisme dan kapitalisme dan kapitalisme
gagal memenuhi harapan. Hal ini dapat ditunjukkan dengan semakin derasnya tuntutan
penerapan syariat Islam, dan mengkristalnya sikap kaum Muslim untuk hanya taat
kepada aturan Islam. Meskipun demikian, tak urung ada juga pihak-pihak yang tidak
suka dengan tuntutan diterapkannya syariat Islam.
Dalam kenyataannya, gagasan mulia itu tidaklah mudah untuk diwujudkan. Banyak
ganjalan yang dihadapi, bukan hanya datang dari kalangan non-muslim, tapi juga dari
sebagian umat Islam sendiri termasuk tokoh-tokohnya. Mereka misalnya,
mempertanyakan dan meragukan syariat Islam dengan alasan realitas, bentuk interaksi,
dan kondisi masyarakat saat ini yang jauh berbeda dengan masa Rasulullah SAW,
shahabat, tabiin, dan tabiut tabiin. Jadi, menurut mereka, perlu penambahan dan
pengurangan atau modifikasi terhadap syariat Islam sesuai dengan kondisi dan kebutuhan
masyarakat.
Sebenarnya, hal ini dikarenakan, pertama, adanya sejumlah kesalahpahaman
terhadap syariah sedemikian rupa sehingga dalam bayangan mereka syariah menjadi
sesuatu yang sangat menakutkan, mencengkeram kebebasan dan seolah akan
memundurkan kehidupan masyarakat modern sekarang ini ke jaman batu. Kedua,
memang ada kesengajaan dari kalangan tertentu kalangan tertentu untuk menciptakan
stigma negatif terhadap syariah dan melakukan berbagai upaya untuk terus memelihara
ketakutan dan ketidaksukaan masyarakat pada syariat Islam. Dan, ketiga, pada
kenyataannya apapun yang dikatakan sebagai kebaikan-kebaikan yang akan diberikan
syariah belumlah terwujud secara nyata dalam kehidupan masyarakat karena, memang,
syariat Islam belum total diterapkan. Semua itu masih sebatas wacana, kecuali pada
realitas sejarah dimana tidak semua orang dapat menghayatinya, oleh karena hal itu
memang terjadi di masa lampau. Berikutnya, muncul penolakan terhadap syariat Islam
baik secara tegas dan terang-terangan maupun dengan kepura-puraan.
Salah satu metode mereka yang phobi maupun yang anti terhadap syariat Islam
adalah membentuk opini publik untuk menghambat maupun untuk menghentikan gerak
laju pejuang penegakan syariat Islam. Beberapa logika sederhana yang dikemukakan
mereka adalah : Kata syariat sangat luas artinya dan dapat digunakan di setiap waktu
dan di setiap tempat. Karena yang terpenting dari syariat itu prinsipnya, bukan materi
hukumnya. Artinya, jika di suatu negeri seperti Indonesia, tidak memungkinkan untuk
ditegakkan syariat Islam (ekonomi, politik, uqubat, dll) maka cukup dilaksanakan
prinsipnya saja bukan hukum formalnya .
Sunnatullh
Pertarungan antara haq dengan bathil terus berlangsung sejak lama. Saat
Rasulullah SAW diutus oleh Allah SWT menyampaikan Islam, masyarakat mulai
membincangkan dirinya dan dakwahnya. Pada awalnya, bangsa Quraisy sedikit sekali
membicarakan hal tersebut. Mereka menyangka bahwa Muhammad hanyalah seorang
ahli syiir sehingga ucapannya tidak akan pernah melampaui perkataan para rahib dan
pejabat mereka, dan masyarakat pun suatu waktu pasti kembali kepada agama dan
keyakinan nenek moyangnya. Apabila mereka melewati Nabi menyampaikan wahyu,
mereka mencibirnya dengan kata-kata:Inilah cucu Abdul Muthalib sedang
menyampaikan berita dari langit. Beginilah terus mereka melakukan pelecehan.

Berikutnya, kaum Quraisy mulai menyadari bahaya dakwah Rasul terhadap


kedudukan mereka.
Bersepakatlah mereka untuk menentang, memusuhi dan
memeranginya. Mereka menyadari, cara penting untuk menghancurkan dakwah Rasul
adalah dengan menjatuhkan pribadinga (pembunuhan karakter) dan mendustakan
kenabiannya.
Dimunculkanlah tuduhan-tuduhan dan pertanyaan-pertanyaan
memojokkan seperti:Bagaimana Muhammad ini, kok tidak dapat mengubah bukit Shofa
dan Marwa menjadi emas, Mengapa Jibril yang banyak disebut-sebut oleh Muhammad
itu tidak pernah muncul di hadapan masyarakat, Tuh, dia buktinya tidak dapat
menghidupkan yang mati, Dia juga tidak dapat memindahkan perbukitan hingga
Makkah tidak dikelilingi oleh bukit, Mengapa dia tidak memancarkan air yang lebih
segar dan banyak daripada air zamzam padahal dia sangat tahu akan kebutuhan
penduduk terhadap air, Kalau benar bermanfaat, Mengapa Tuhannya tidak
menurunkan ketetapan harga barang-barang untuk masa depan, dan ungkapan lainnya.
Intinya, menjatuhkan Rasulullah dengan menuduh ajaran-ajaran dari Allah SWT yang
disampaikannya dengan tujuan masyarakat menjauhi beliau dan Islam yang dibawanya.
Tindakan tadi terus dilakukan oleh kaum Quraisy. Namun, semua itu tidak
menghentikan dakwah Rasul. Beliau terus mendakwahi masyarakat untuk menganut dan
menerapkan Islam, mengungkapkan kebobrokan berhala-berhala yang mereka sembah,
serta menunjukkan kepandiran akal para penyembahnya dan pandangan mereka yang
mensucikannya. Akhirnya, mereka pun melakukan berbagai cara untuk merintangi
dakwah Rasul. Cara terpenting adalah penyiksaan, propaganda baik di dalam negeri
maupun di luar negeri, serta blokade/embargo. Mereka mulai menangkap Amr bin Yasir,
Yasir ayahandanya, dan Sumayyah ibundanya; lantas dibunuhlah ketiganya. Semua ini
tidak dapat membendung dakwah Rasul dan umatnya. Quraisy mulailah senjata lain
dengan cara propaganda memerangi Islam dan kaum muslim di setiap tempat; di dalam
negeri Makkah, mendatangi para jamaah haji untuk melontarkan tuduhan miring
terhadap Nabi dan Islam, berangkat ke luar daerah seperti Thaif dan Habsyah untuk
tujuan yang sama. Apa yang dibawa Muhammad adalah buatan manusia, bukan wahyu,
ungkap mereka. Lagi-lagi, upaya ini pun gagal. Akhirnya, ditempuhlah tindakan fisik
dengan cara mengembargo Rasul dan para sahabatnya hingga kebutuhan pokok dari para
pedagang tidak sampai pada mereka dan perencanaan pembunuhan Rasul pun mulai
direncanakan.
Apa yang terjadi? Allah SWT memenangkan Rasul dan kaum mukmin. Allah SWT
menegaskan:


Dan (ingatlah) ketika orang-orang kafir (Quraisy) membuat makar/tipu daya untuk
menangkap dan memenjarakanmu, atau membunuhmu atau mengusirmu. Mereka
membuat tipu daya dan Allah membuat tipu daya atas mereka. Dan Allah adalah sebaikbaik pembuat tipu daya.(TQS.an-Anfl [8] : 30).
Tampaklah, tuduhan-tuduhan miring terhadap syariat Islam dan para
pengembannya terjadi pada masa Nabi. Ini merupakan bagian tak terpisahkan dari
upaya memerangi Islam dan tetap mempertahankan sistem hidup kufur sebagai status
quo. Karena itu, adanya berbagai tuduhan terhadap syariat Islam sekarang ini sangat
wajar terjadi. Dan, ujungnya, sekali lagi, kemenangan ada di tangan kaum mukmin yang
benar-benar mengimani wahyu Allah SWT. Jelas sekali firman Allah Pencipta Alam:



Sesungguhnya Kami pasti menolong para Rasul Kami dan orang-orang yang beriman
dalam kehidupan dunia ini serta pada hari ditegakkan kesaksian (kiamat) (TQS. Al
Mukmin [40] : 51).
Opini Negatif
Berkenaan dengan gagasan penerapan syariat Islam, ada sejumlah tuduhan miring
yang dilontarkan, yang kemudian menimbulkan kesalahpahaman di tengah masyarakat.
Tuduhan miring ini lebih merupakan upaya penciptaan opini negatif terhadap citra
syariat Islam. Disebut opini negatif karena opini tersebut memang tidak sesuai dengan
realitas syariat Islam itu sendiri. Opini negatif terhadap syariat Islam ini bila dicermati
pada dasarnya disandarkan pada dua hal (i) konsepsi tentang Islam, dan (ii) kondisi
faktual di masyarakat. Beberapa opini negatif yang saat ini mulai disuarakan dengan
lantang di berbagai media massa sesuai dengan dua hal di atas adalah sebagai berikut :
I. Konsepsi tentang Islam
a. Islam tidak mengatur tentang negara, atau dengan kata lain tidak ada sistem
negara dalam Islam. Islam cukup diamalkan secara pribadi tidak perlua
diundangkan. Pendapat seperti ini akan jelas kekeliruannya bila dikonfirmasikan
kepada apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Negara, yang dalam bahasa
Arabnya daulah, memang kata baru yang mengandung makna istilah. Kata dlah
dalam Al Quran bahkan tidak terkait dengan makna daulah (negara). Sekalipun
demikian, makna negara dalam konteks modern dilaksanakan oleh Nabi SAW.
Secara umum, negara dalam istilah sekarang dimaknai sebagai suatu daerah
teritorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil
menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan perundang-undangannya
melalui penguasaan (kontrol) monopolistis dari kekuasaan yang sah 1. Nampak,
ada 4 unsur hingga terbentuknya negara, yaitu: daerah/teritorial,
pemimpin/pejabat, rakyat, dan hukum. Keempat unsur ini ternyata dibuat oleh
Rasulullah SAW sejak mendirikan negara di Madinah. Daerah/teritorialnya adalah
Madinah, kemudian meluas ke Makkah, Yaman dan Jazirah Arab lainnya. Pada
masa awal di Madinah beliau meminta 7 orang kalangan Anshor dan 7 orang
kalangan Muhajirin sebagai tempat bermusyawarah2. Mereka adalah Abu Bakar,
Umar, Utsman, Ali, Hamzah, Ibnu Masud, Abu Dzarr, Bilal, Saad bin Ubadah,
Muadz bin Jabal, Abdurrahman bin Auf, Abu Ubaidah, Ubai bin Khalaf dan Zaid
bin Tsabit. Nabi SAW bertindak sebagai kepala negara. Beliau mengirim utusan
kepada para kepala negara saat itu (termasuk Heraklius) untuk menyebarkan Islam
dan utusan tersebut disambut dengan upacara kenegaraan.
Juga, beliau
menunjuk para pejabat. Saad bin Ubadah pernah diangkat mewakili Rasulullah
SAW mengurusi pemerintahan saat beliau memimpin perang Al-Abwa` pada tahun
pertama Hijriyah, dan mengangkat Muhammad bin Maslamah untuk peranan yang
sama saat beliau memimpin Perang Tabuk 3. Pada masa pemerintahannya beliau
memiliki 2 pembantu umum, yaitu Abu Bakar dan Umar. Pembantuku dari
penduduk bumi (madinah) adalah Abu Bakar dan Umar, sabda Nabi (HR. At
Turmudzi dari Abi Said al Khudriy). Beliau pun mengangkat Hudzaifah bin Yaman
sebagai Amir Sirr (semacam Sekretaris Negara) yang memegang hampir semua
rahasia dan kebijakan negara4.
Nabi membagi pemerintahannya menjadi 12
3

wilayah. Diantara pemimpin wilayah yang dipilihnya adalah At Taab bin Usaid
sebagai wali Makkah setelah futuh Makkah, mantan wakil raja Kisra, Bdan bin
Sassan, setelah masuk Islam diangkat sebagai wali darah Yaman, Qadaah ad Dausi
sebagai amil (pemimpin daerah dibawah Wilayah) di Yaman 5. Ali bin Abi thalib
pernah ditugasi sebagai juru tulis perjanjian antarnegara, Zubair bin Awwam
sebagai juru tulis keuangan bidang zakat, dan Al Mughirah bin Shuba untuk bidang
simpan-pinjam6. Selain itu, Rasulullah membagi angkatan bersenjata menjadi
beberapa pasukan (sarriyah) yang masing-masing dipimpin seorang komandan.
Ketika Nabi wafat terdapat 30.000 personil angkatan darat dan 6000 pasukan
berkuda7. Untuk menjaga keamanan masyarakat beliau membentuk semacam
polisi kota. Diantaranya beliau pernah mengangkat Qaisy bin saad menjabat
kepala polisi kota (Shhib asy syuthah)8. Realitas demikian menunjukkan bahwa
Rasulullah SAW saat itu telah memiliki pejabat-pejabat untuk menjalankan roda
pemerintahan. Dilihat dari rakyatnya, jelas, kaum muhajirin dan anshor. Dan
aturan yang diterapkannya adalah al Quran yang terus turun dan hadits, yang
salah satunya terwujud dalam Piagam Madinah (watsqah Madnah).
Nampaklah, Rasulullah SAW menjalankan sebuah negara menurut definisi modern.
Sekalipun dilihat dari istilah negara termasuk baru namun makna, kandungan dan
fungsinya dijalankan oleh Rasul. Pihak yang phobi atau anti-Islam menyatakan
dalam Islam tidak dibahas persoalan negara padahal justru Rasulullah SAW
melakukannya. Ini adalah realitas. Manakah yang layak dipercaya, tudingan
sekelompok orang itu ataukah realitas yang dilakukan oleh Nabi SAW? Bagi orang
yang beriman tentu saja akan mengikuti apa yang dilakukan oleh Nabi sebagai
utusan-Nya. Karenanya, pernyataan bahwa Islam tidak mengenal negara, dan
negara tidak boleh digabung dengan agama (Islam) bertentangan dengan realitas
yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.
Juga, para ulama salaf sepakat mengenai wajibnya mengangkat dan mewujudkan
pemerintahan dalam bentuk Khilafah Islam. Baik kalangan Ahlussunnah wal
Jama'ah maupun Syi'ah, Khawarij bahkan Mu'tazilah. Semuanya berpendapat
bahwa umat ini harus mempunyai seorang imam yang menerapkan syariat Islam.
Dan hukum mengangkatnya adalah wajib9.
Kenyataan dari sirah Rasulullah SAW telah menunjukkan bahwa ajaran Islam sama
sekali tidak dibatasi pada pribadi-pribadi pemeluknya. Bahkan beliau SAW
menjadikannya sebagai asas Negara. Hal ini tercantum dalam Piagam Madinah
(watsiqoh Madinah) yang dijadikan peraturan umum antara kaum Muslim dan non
Muslim di kota Madinah :
"Bahwasanya apabila di antara orang-orang yang mengakui perjanjian ini terjadi
suatu perselisihan yang dikuatirkan akan menimbulkan kerusakan, maka tempat
kembalinya adalah kepada Allah dan kepada Muhammad Rasulullah SAW dan
bahwasanya Allah bersama orang yang teguh dan setia memegang perjanjian ini."
Bila demikian, siapakah yang layak dipercaya, manusia yang menyatakan bahwa
cukup Islam itu diterapkan secara individual saja tidak perlu dalam masalah
kemasyarakatan dan negara, ataukah Allah SWT yang justru mewajibkan kepada
manusia untuk menjalankan Islam secara kaffah (lihat Surat Al Baqrah[2]:208)?
b. Adanya ragam pendapat tentang sistem politik dan kenegaraan Islam; sistem
mana yang akan diterapkan? Alasan ini pun terlihat sangat dipaksakan. Sebab,
dalam sistem manapun, sulit hanya ada satu pendapat saja. Misalnya, banyak
beragam pendapat tentang sistem republik, presidensil, atau parlementer.
Bentuknya pun pro-kontra; apakah kesatuan, federalisme, ataukah kesatuan
4

dengan otonomi daerah. Pendapat dalam sistem pemilihan pun berbeda-beda,


apakah harus pemilihan langsung (seperti keyakinan J.J. Roussau), perwakilan,
distrik, dan sebagainya. Realitasnya, perbedaan pendapat ini tidak menghalangi
mereka menerapkan sistem demokrasi kapitalisme dalam berbagai bidang,
termasuk politik. Lalu, mengapa adanya perbedaan pandangan tentang beberapa
hal politik dan sistem kenegaraan Islam dijadikan dalih untuk tidak ditegakkannya
syariat Islam? Sebaliknya, mengapa untuk sistem selain Islam tidak diungkapkan
alasan serupa?
c. Islam itu yang penting substansinya, bukan formalitasnya. Pendapat seperti ini
bukan hanya berbahaya tetapi juga bertentangan dengan realitas. Pertama, tidak
ada aturan yang diterapkan sekadar substansinya saja. Mengapa mereka begitu
getol memperjuangkan sekularisme, demokrasi, dan berupaya mempertahankan
formalitas sistem tersebut yang notabene warisan kolonial? Padahal, jika mereka
konsisten dengan pendapatnya, semestinya cukup hanya substansi demokrasi saja
yang dituntutnya, dan substansi sekularisme saja yang diinginkannya?! Akan
tetapi, kenyataannya tidaklah demikian. Kedua, dengan tidak diformalkannya
syariat Islam berarti hanya akan menciptakan peluang untuk main hakim sendiri.
Padahal, semua sepakat bahwa tidak boleh main hakim sendiri.
Selain itu, bila konsisten dengan istilah substansi, maka semestinya substansi
dalam keseluruhan ajaran Islam itu adalah ketaatan dan ketundukan kepada Allah
SWT secara total dalam semua hal. Itulah yang disebut ibadah 10. Dengan kata
lain, mereka yang menghendaki penerapan Islam substansinya saja (seperti yang
penting adil, kesamaan, dsb) gagal menangkap substansi ajaran Islam itu sendiri.
Allah SWT sendiri tegas-tegas memfirmankan hal ini, Tidaklah Kami menciptakan
jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku (TQS. Adz Dzariyat[51]:56).
Bila substansi yang dipahami seperti ini maka sikap yang diambil adalah
memperjuangkan dan menjalankan tegaknya syariat Islam.
d. Sekarang sudah dapat melaksanakan syariat Islam dengan baik, seperti ibadah,
UU perkawinan, UU peradilan agama, dsb. Kelengkapan Dinul Islam
memantapkan Islam sebagai satu-satunya sistem hidup yang berasal dari Allah
SWT, Pencipta seluruh makhluk, Yang Maha Adil dan Maha Mengetahui. Ajarannya
yang rinci, lengkap, dan mampu menjawab seluruh problematika umat manusia
sepanjang zaman telah dijamin sendiri oleh Allah SWT : "Dan Kami turunkan
kepadamu al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk
serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri." (QS An
Nahl : 89). Di sisi lain, Al Quran dan Sunnah Nabi memuat hukum-hukum yang
lengkap tentang ibadah, berpakaian, makanan, minuman, hukum-hukum tentang
ekonomi-perdagangan, harta, distribusi harta, ghanimah, fai, jizyah, kharaj,
tentang peradilan tindakan kriminal, hudud, tazir, persaksian, pembuktian
(bayyinaat), mahkamah, hingga ke perkara jihad, gencatan senjata, mobilisasi,
perjanjian damai, utusan/delegasi. Belum lagi perkara-perkara yang menyangkut
pendidikan, aturan sosial, keluarga/rumah tangga dan seterusnya. Semua itu
berupa sistem hukum yang cakupannya meliputi seluruh bentuk perbuatan
manusia, baik antara manusia satu dengan yang lain, antara rakyat dan negara,
antara negara Islam dengan negara lain, antara Muslim dan non Muslim, antara
hamba dengan Allah SWT sebagai Al Khalik. Para ulama dan fuqaha terdahulu
maupun sekarang senantiasa memenuhi kitab-kitab hukum/fiqih karangan mereka
dengan seluruh pembahasan-pembahasan tadi. Dimulai dari bab Thaharah, sampai
bab Peradilan, Jihad atau Imamah (Ulil Amri).

Allah SWT mewajibkan kita melaksanakan semua itu. Bila telah menjalankan
sebagian tidak puas dengan itu saja, namun akan melakukan yang lain sedemiian
hingga dapat menerapkan Islam secara total.
Banyak pertanyaan dapat
dimunculkan, sudahkah pakaian ditetapkan berdasar Islam? Sudahkah produk
makanan-minuman atas dasar Islam? Apakah aturan sosial antara pria-wanita,
struktur kewajiban nafkah diantara ahli waris, pendidikan, pengelolaan
sumberdaya alam, sistem perburuhan/ketenagakerjaan, ekonomi sudahkah
dijalankan atas dasar Islam? Apakah hak-hak anak dan hak-hak rakyat umumnya
telah diperolehnya sesuai dengan syariat Islam? Sudahkah hubungan luar negeri
didasarkan pada syariat Islam sehingga dakwah Islam oleh negara ke negara lain
berjalan?
Bila jawabannya belum, tidak layak menyatakan tidak perlu
menegakkan syariat Islam dengan dalih sudah diterapkannya segelintir hukum
Islam. Apa bedanya hukum yang satu dengan hukum yang lain, padahal samasama berasal dari Allah SWT? Tidak ada bedanya!
e. Hukum Islam itu kejam dan diskriminatif. Tuduhan ini sebenarnya lebih
menggambarkan ketakutan terhadap syariat Islam. Padahal, jika kita mau
berpikir, manakah sesungguhnya yang lebih baik, misalnya: apakah masyarakat
yang rata-rata kehidupan seksual para anggotanya bersih karena diberlakukan
hukum Islam ataukah masyarakat yang permisif dan kacau; yang di dalamnya
industri seks sudah dianggap sebagai hal yang lumrah, zina diaggap biasa dengan
dalih suka sama suka, aurat tidak boleh dihalangi untuk dipamerkan karena
diskriminatif, hukum ditentukan oleh yang kuat (hukum rimba)? Tentu, masyarakat
jenis pertama merupakan masyarakat yang lebih luhur dan lebih sesuai dengan
harkat dan martabat manusia. Sebaliknya, yang kedua pada hakikatnya menjurus
pada masyarakat binatang yang hidup di hutan belantara dengan hukum rimba,
yang tidak jauh berbeda dengan hewan ternak (Lihat QS al-A'rf [7]: 179). Akan
tetapi, anehnya, banyak masyarakat masih memandang bahwa masyarakat dan
negara sekular-kapitalistik yang serba permisif itulah yang dianggap masyarakat
modern (lebih tepat 'sok modern'), sedangkan masyarakat yang menerapkan dan
berupaya untuk menegakkan hukum Islam dipandang sebagai masyarakat
tradisional, konservatif, bahkan 'primitif'. Mana yang lebih kejam, hukum yang
memotong tangan pencuri yang betul-betul terbukti dalam pengadilan ataukah
hukum yang memenjarakannya yang justru lebih mendidiknya menjadi seorang
penjahat kawakan?
Boleh jadi orang yang dikenai hukuman Islam yang keras dan tegas menyatakan
kejam. Dari satu sisi karena ia ingin selamat, dan pada sisi lain karena tidak yakin
terhadap kemahaadilan Allah SWT yang telah menetapkan hukum tersebut.
Sebaliknya, orang yang dizhalimi lalu pelaku kezhaliman tersebut akan terpenuhi
rasa keadilannya. Sebagai misal, ada seseorang yang suaminya dibunuh. Setelah
melewati proses pembuktian, terbukti pelakunya si anu. Vonis pun dijatuhkan
hanya 14 tahun. Sang isteri pun kecewa, rasa keadilannya terusik, ia pun tetap
menuntut diberlakukan hukum bunuh atas pembunuh suaminya itu. Andai saja
diberlakukan hukum bunuh maka yang akan berteriak kejam adalah si pembunuh
itu dan mereka yang mendukungnya! Orang lain siapapun dia yang tidak pernah
melakukan hal tersebut tidak khawatir sedikit pun. Mengapa hukum qishash yang
diberlakukan setelah menjalani proses pembuktian dikatakan kejam sementara
pembunuhan yang jelas-jelas telah dilakukan sesuai kehendaknya tidak dikatakan
kejam? Begitu pula dengan tindak kriminal lainnya.
Pernyataan bahwa hukum Islam itu kejam, diskriminatif atau primitif merupakan
dalil ketakmengertian pengucapnya terhadap paradigma syariat Islam. Sebagai

contoh, pencurian. Dalam Islam, (1) pendidikan gratis sehingga setiap orang
memiliki kesempatan yang sama untuk ahli sesuatu, (2) lapangan kerja wajib
disediakan oleh negara warga harus mencarinya, (3) bila pendapatan tidak cukup
atau tidak dapat bekerja karena sakit tak tersenbuhkan maka ahli waris wajib
menafkahinya, (4) bila ahli warisnya tidak menafkahi maka negara berhak dan
berkewajiban memaksanya bahkan memberinya sanksi, (5) bila ahli warisnya tidak
mampu, negara wajib menjamin kebutuhan pokoknya, (6) andai kas negara lagi
kosong maka negara memobilisir kemampuan kaum muslim untuk membantunya,
(7) dalam Islam pajak tidak ada secara permanen, yang ada hanya zakat, itupun
untuk yang telah mencapai nishab, (8) bila sedang musim paceklik, pencuri tidak
dipotong tangan. Andai saja dalam kondisi syariat Islam ditegakkan seperti ini,
lalu ada seseorang tetap saja mencuri lebih dari dinar (1 dinar=4,25 gram
emas), maka mencuri dalam realitas demikian memang keterlaluan. Setelah
terbukti, maka barulah diterapkan potong tangan. Orang yang memahami
paradigma demikian akan menyatakan, wajar hukum Islam tegas seperti itu.
Kondisi sudah tercipta sedemikian rupa, tapi tetap mencuri juga, bukankah orang
yang melakukannya memang betul-betul keterlaluan? Apalagi orang mukmin,
mereka hanya menyatakan Kami mendengar, dan kami mematuhi hukum Allah
SWT, Dia-lah Dzat Maha Adil! Begitu pula dalam hukum rajam, qishash dan
hukum lainnya. Anehnya (atau barangkali tidak anehnya), justru yang diangkat
kepermukaan itu adalah hukum kriminal semata, sedangkan hukum Islam dalam
masalah pendidikan, ekonomi bagi kepentingan rakyat dan sebagainya malah
ditimbun, disembunyikan. Tidak fair. Bila kondisinya demikian, nyatalah
ungkapan bahwa hukum Islam itu kejam tidak lebih dari sekedar tuduhan miring.
Benar, hukum Islam berasal dari Allah Dzat Mahaadil. Allahlah sebaik-baik
pembuat hukum (Lihat surat At Tn). Orang yang mengaku beriman bahwa Allah
SWT Mahaadil tidak akan menentang hukum-Nya dengan dalih kejam dan
diskriminatif.
f. Syariat Islam itu primitif. Kembali kepada syariat Islam berarti kembali ke
jaman unta. Hal ini menggambarkan ketakpahaman mereka yang menuding
terhadap syariat Islam. Disangkanya menerapkan syariat Islam berarti tidak boleh
menggunakan pesawat, mobil, motor, komputer baju necis, dan sebagainya.
Sebaliknya, haruslah lusuh, kemana-mana berjalan kaki, tak tersentuh teknologi.
Padahal, pandangan demikian merupakan cara untuk menghalangi umat dari
Islam. Siapapun yang paham akan syariat Islam akan menyatakan bahwa Islam itu
membentuk masyarakat modern yang beradab.
Islam tidak menolak modernisasi, bahkan bila dirunut dalam sejarah, justru Islamlah yang mengajari Barat yang sekarang dianggap sebagai kiblat modernisasi,
ketika mereka tengah hidup di abad kegelapan, menemukan dasar-dasar
kehidupan modern. Melalui pengembangan sains dan teknologi yang berkembang
pesat di masa kejayaan Islam, peradaban Islam telah memberikan kontribusi luar
biasa bagi kemajuan Barat.
Islam melalui syariatnya bukan akan menghentikan modernisasi, melainkan
meletakkan modernisasi agar tetap dalam kerangka pengabdian kepada Allah. Bila
modernisasi diartikan sebagai pengembangan madaniah, yakni produk-produk
teknologi yang bersifat material guna peningkatan mutu, keamanan, kenyamanan
dan kemudahan dalam kehidupan manusia baik dalam bidang komunikasi,
transportasi, produksi, kesehatan, pendidikan, perumahan, makanan, pakaian dan
sebagainya, Islam sama sekali tidak keberatan. Dan itu akan diteruskan, bahkan

akan ditingkatan oleh Islam. Artinya, manusia boleh saja menggunakan semua
perangkat hasil pengembangan sains dan teknologi. Hanya saja,
pola
kehidupannya baik dalam konteks kehidupan pribadi, keluarga maupun
masyarakat haruslah tetap dalam koridor syariat. Bukan modernisasi yang justru
mempurukkan derajat manusia sebagaimana kini terlihat dalam kehidupan Barat,
yang telah menghalalkan yang diharamkan Allah dan mengharamkan yang
dihalalkan-Nya.
Barat telah salah mengartikan modernisasi. Apakah sebuah kemodernan (ataukah
justru primitif) bila wanita yang seharusnya dimuliakan justru dijadikan sebagai
obyek seksual, berjalan melenggak lenggok memperagakan model rancangan baju
yang nyaris telanjang di bawah tatapan ratusan pasang mata dan sorotan kamera
atau dipajang dalam ruang kaca untuk kemudian dinikmati kemolekan tubuhnya
dengan imbalan sekian lembar uang? Apakah juga sebuah kemodernan (ataukah
justru primitif) bila laki-laki dan perempuan berhubungan seksual tanpa ikatan
pernikahan dengan alasan suka sama suka atau pernikahan tapi antara laki-laki
dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan? Apakah sebuah kemodernan,
membiarkan sistem ekonomi berkembang liar dimana pemilik modal tak ubahnya
seperti lintah yang menghisap darah manusia lain, atau orang mendapatkan
keuntungan tanpa kerja sama sekali sebagaimana tampak dalam pembungaan
uang? Apakah sebuah kemodernan (atau justru primitif) tindakan menjual barangbarang milik umum yang bukan milik negara kepada sekelompok swasta baik
pribumi maupun
asing hingga rakyat sebagai pemiliknya yang sah tak
mendapatkan apa-apa? Apakah sebuah kemodernan (atau justru primitif) demi
menguasai negara lain dua negara yang berdekatan diprovokasi secara halus dan
licik untuk berperang satu sama lain dimana senjata kedua belah pihak dipasok
olehnya? Ini adalah sebagian contoh yang akan diluruskan oleh syariat dalam
proses modernisasi masyarakat.
g. Syariat Islam tidak bersifat tetap, sehingga perlu modifikasi terhadap syariat
sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat saat ini. Dengan memahami fakta
yang ada di tengah-tengah manusia tampak nyata realitas dan hakikat benda itu
tetap. Misalnya aktivitas mencuri. Dalam pandangan Islam mencuri merupakan
aktivitas mengambil barang secara sembunyi-sembunyi dari pemiliknya atau yang
mewakilinya dengan syarat telah mencapai ukuran yang mengharuskan potong
tangan. Hukum perbuatan mencuri adalah haram. Sanksinya adalah potong
tangan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:

"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan


keduanya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan
dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa dan Bijaksana."(QS. Al Maidah : 38)
Diriwayatkan dari Aisyah ra. bahwa Rasulullah bersabda:
"Potong tangan diterapkan pada pencurian seperempat dinar atau lebih"( HR.
Imam Bukhori).
Kini berkembang sarana-sarana dan teknik pencurian, demikian pula untuk
memelihara harta diperlukan alat-alat penjagaan yang ketat termasuk peralatan
elektronik, sehingga pencurian pun menjadi aktivitas yang memerlukan
kesungguhan berfikir dan pengalaman. Namun, apakah perubahan dalam cara dan
8

teknik seperti ini mengubah hakikat pencurian dan realitasnya seperti yang
dijelaskan oleh hukum syara? Jawabannya tentu saja tidak. Bila demikian,
sementara Al Quran itu tetap Al Quran dan Hadits pun tetap Hadits, bagaimana
mungkin berfikir untuk mengubah hukum? Bukankah hukum ini merupakan
pemecahan yang benar yang telah ditetapkan oleh Allah sebagai Pemilik Pahala
dan Siksa, serta Pencipta alam semesta, manusia dan kehidupan?
Contoh lain hakikat khamr. Sekalipun penamaannya beraneka ragam, metode
pembuatannya bermacam-macam, dan kemasannya juga berbeda-beda seperti
whisky, bir, sampagne, sake dan sebagainya, hakikatnya tetap khamer, yakni
minuman yang memabukkan dan merusak akal yang hukumnya haram itu. Allah
SWT berfirman:

"Wahai orang-orang yang beriman,sesungguhnya khamer, judi, undian nasib dan


berhala merupakan najis dan perbuatan syetan, maka jauhilah oleh kalian agar
kalian beruntung" (QS. Al Maidah 90).
Bila hakikat benda tersebut tetap tidak berubah, mungkinkah orang berakal
mengatakan bahwa hukum Allah dalam hal tersebut harus berubah?
Siapa pun yang mengelaborasi hakikat perbuatan dan benda-benda adalah tetap
dari dulu sampai sekarang sesuai dengan batasan-batasan hukum syara. Memang,
terjadi perubahan. Hanya saja perubahan tersebut pada perkara teknis, cara
ataupun bentuknya semata. Sedangkan hakikatnya adalah sama saja. Jadi
tetapnya hakikat perbuatan dan benda disertai dengan terjaganya syariat Islam
menunjukkan pula bahwa syariat Islam itu bersifat tetap sampai hari kiamat.
Yang berubah adalah objek hukum itu sendiri.
II. Kondisi Faktual di Masyarakat
a. Negara-negara Islam yang menerapkan syariat Islam seperti Sudan, Afganistan,
Arab Saudi, Iran tidak menunjukkan kemajuan yang signifikan bahkan
cenderung pada kegagalan. Sebenarnya, negara-negara tersebut mengalami
kegagalan justru karena tidak menerapkan syariat Islam secara kaffah. Hal ini
dapat menjadi pelajaran bagi kita bahwa penerapan syariat Islam secara parsial
akan memunculkan masalah baru. Negara-negara tersebut memang telah
menerapkan syariat Islam terbatas pada hukum hudud, jinayat, dan al-ahwal asysyakhshiyyah (hukum perdata). Namun negara-negara tersebut tidak menjalankan
hukum-hukum Islam di bidang kebijakan ekonomi, pemerintahan dan
ketatanegaraan, politik dalam dan luar negeri, militer, pergaulan sosial,
pendidikan, dan lain-lain. Apalagi negara-negara tersebut dan negeri-negeri
muslim lainnya sistem keamanannya sangat bergantung kepada AS dan sekutunya.
Karenanya, ketakberhasilan yang terjadi di negeri-negeri muslim tersebut tidak
dapat dijadikan sebagai dalih untuk menolak syariat Islam. Sebaliknya, yang
sudah benar-benar terjadi adalah rusaknya kemanusiaan pada saat diterapkannya
sistem kapitalistik-sekuleristik.
b. Akan terjadi tirani mayoritas (muslim) terhadap minoritas (non-muslim) karena
masyarakat bersifat pluralis yang heterogen. Pertama, hal ini sebenarnya
mencerminkan kegagalan pihak tersebut memahami realitas masyarakat. Pada
kenyataannya, hukum manapun yang diterapkan tidaklah diperuntukkan hanya
9

bagi kalangan yang homogen saja. Contohnya, di Amerika tidak semua


penduduknya Kristen, akan tetapi aturan yang diterapkannya adalah kapitalisme.
Di Indonesia, terdapat 4 agama resmi yang diakui, tetapi hukum yang diterapkan
juga kapitalisme atas dasar sekularisme. Di Cina, puluhan juta umat Islam tinggal
di sana, namun aturan yang diberlakukan aturan sosialisme-komunisme. Jadi,
tidak rasional menolak ditegakkannya syariat Islam dengan alasan heterogenitas
penduduknya. Mereka sendiri tidak pernah melarang penerapan sistem
kapitalisme meskipun tidak semua penduduk berideologi kapitalisme; tidak
pernah juga berteriak tidak boleh menerapkan sosialisme-komunisme dengan
alasan tidak semua penduduknya berideologi sosialisme-komunisme. Sebenarnya
persoalannya bukan terletak pada homogen atau heterogen, tetapi terletak pada
sistem aturan mana yang akan diterapkan untuk mengatur penduduk (apapun
agamanya) demi terciptanya keadilan, kesejahteraan, dan kebahagiaan
masyarakat. Jawabannya, tentu saja Islam!
Kedua, adanya ketidakpahaman terhadap kenyataan hidup Nabi Muhammad saw.
dan para sahabatnya. Sejarah menunjukkan bahwa penduduk negara Islam saat itu
tidak hanya Muslim, tetapi juga Yahudi dan Nasrani. Pada masa pemerintahan
Nabi Muhammad SAW dan para khalifah penerusnya selama lebih dari seribu tahun
orang-orang non Muslim bisa hidup sejahtera di bawah naungan Islam. Misalnya,
dimasa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab, beliau menjatuhkan hukum
qishas (pembalasan setimpal) kepada anak pejabat Gubernur Mesir yang
mencambuk seorang anak Nasrani dari suku Qibthi.
Rasulullah SAW bersabda :
"Barangsiapa mengganggu seorang dzimmi (non Muslim yang menjadi
warganegara Daulah Islamiyah), sungguh (berarti) ia telah menggangguku. Dan
barangsiapa yang menggangguku, sungguh ia telah mengganggu Allah." (HR.
Thabrani).
Ketiga, tidak adanya penghayatan bahwa syariat Islam itu adalah untuk kebaikan
bersama. Sebagai contoh, ketika riba dilarang sebagai landasan perekonomian,
hal ini tidaklah ditujukan hanya bagi kepentingan kaum Muslim, melainkan juga
untuk kepentingan penduduk non-Muslim. Faktanya, akibat riba kini Indonesia
dijerat utang luar negeri. Semua penduduk, Muslim dan non-muslim menanggung
kerugian ini.
Dalam sejarah peradaban Islam, bisa dikatakan tidak pernah penerapan syariat
dilakukan hanya dalam masyarakat homogen atau yang seluruh warganya muslim.
Masyarakat yang berhasil dibentuk di Madinah di awal perkembangan Islam
misalnya, atau di Irak dan Mesir pada perkembangan selanjutnya, selalu ada di
dalamnya warga non-muslim. Islam memang tidak memaksa orang untuk memeluk
aqidah Islam. Maka, sekalipun dalam masyarakat Islam seperti saat Rasulullah
memimpin di Madinah atau ketika Islam telah berkembang sampai ke Irak atau
Mesir, hidup dengan damai di tengah-tengah masyarakat Islam, warga non-muslim
sebagai ahl-dzimmah dimana harta, jiwa dan kehormatan mereka dilindungi.
Siapa saja yang mencederai mereka, mengambil hartanya atau menodai
kehormatannya akan dihukum setimpal kendati pelakunya beragama Islam. Dalam
hal ini, ahl-dzimmah diperlakukan sama dengan warga muslim. Andai Islam tidak
memiliki ketentuan yang gamblang tentang bagaimana memperlakukan warga
non-muslim dan perilaku orang-orang Islam katakanlah seperti serdadu Serbia
yang membantai secara sadis warga Bosnia, niscaya tidak akan terlahir mantan
Sekjen PBB, Boutros Boutros Ghali, anak keturunan suku Koptik di Mesir yang
10

beragama Kristen dan Deputi PM Irak, Thariq Azis, yang juga beragama Kristen,
karena nenek moyangnya keburu habis dibantai. Spanyol yang selama sekitar 800
tahun dikuasai oleh Islam disebut Spanyol in three religion, karena disamping
Islam yang berkuasa, hidup damai dan sentausa warga beragama Yahudi dan
Nashrani.
Sepanjang sejarah kehidupan Islam, tidak tercatat pengusiran apalagi
pembantaian warga minoritas non muslim oleh mayoritas muslim. Yang ada adalah
justru sebaliknya, pengusiran warga muslim oleh mayoritas non-muslim dimanamana, seperti yang terjadi di Bosnia, Kosovo, Timor Timur dan sebagainya.
Masyhur akan keelokan budi orang-orang Islam dan ketangguhan sistem Islam
dalam melindungi warga non-muslim, membuat Islam dengan mudah masuk ke
berbagai wilayah yang semula penduduknya non-muslim. Amr bin Ash ketika
menaklukkan Mesir yang ketika itu dikuasai oleh Romawi Kristen, dibantu oleh
penduduk suku Koptik yang juga beragama Kristen. Pasukan Islam bahkan dieluelukan di kanan kiri jalan oleh penduduk ketika masuk Polandia.
Bila terbaca bahwa Islam juga mencita-citakan tegaknya sebuah adikuasa melalui
Khilafah Islam yang akan menaungi umat Islam seluruh dunia dibawah
kepemimpinan seorang Khalifah, semata-mata sebagai satu-satunya sarana yang
ditetapkan oleh syariat untuk sempurnanya pelaksanaan syariat Islam secara
menyeluruh. Khilafah berfungsi untuk melindungi warganya, muslim dan nonmuslim, dan mewujudkan kehidupan yang Islami, damai, sejahtera dan sentausa.
Khilafah juga melakukan dakwah dan jihad yang berfungsi sebagai kekuatan untuk
menggerakkan penyebaran risalah Islam yang berintikan kalimah tauhid dan akan
membentuk tata dunia baru yang sangat berbeda dengan tata dunia yang dibentuk
oleh negara-negara Barat sekarang ini.
Melalui tata dunia yang ada, Barat menyebarkan ideologi sekularisme. Di bidang
ekonomi menyebarkan kapitalisme yang eksploitatif, di bidang politik
menyebarkan pertentangan, di bidang budaya menyebarkan budaya permisif yang
berintikan amoralisme, di bidang pendidikan menyebarkan materialisme.
Lembaga-lembaga dunia seperti PBB, IMF dan World Bank dibentuk semata untuk
melancarkan semua tujuan-tujuan ideologisnya itu. Penindasan dan eksploitasi
seakan menjadi
tindakan sah setelah dilegalkan oleh badan-badan dunia
bentukan negara-negara Barat itu. Sementara, melalui khilafah, Islam akan
menyebarkan tauhid yang berintikan pembebasan manusia dari penghambaan
kepada manusia menuju penghambaan kepada Sang Pencipta Alam Semesta.
Melalui syariat yang harus dilaksanakan sebagai konsekuensi dari tauhid, akan
tercipta tatanan ekonomi yang adil, budaya yang luhur, pendidikan yang
meneguhkan visi dan misi penciptaan manusia, dan hubungan antar negara yang
didasarkan pada prinsip-prinsip aqidah Islam. Lebih dari 1000 tahun khilafah
memimpin dunia, telah terbentuk peradaban yang agung. Sementara kurang dari
200 tahun dominasi Barat, yang muncul adalah peradaban yang kacau,
pertentangan, eksploitasi, perang tiada henti, ketidakadilan dan sebagainya.
c. Masyarakat masih belum siap untuk menerapkan syariat Islam. Sebenarnya yang
terjadi saat ini justru sebaliknya, masyarakat yang notabenenya adalah kaum
Muslim sangat merindukan diterapkannya syariat Islam. Namun hal tersebut
kemudian dibelokkan oleh tokoh-tokoh Muslim yang berada di ormas-ormas
maupun parpol Islam yang masih ragu terhadap syariat Islam. Segelintir tokoh11

tokoh tersebutlah sebenarnya yang belum siap menerapkan syariat Islam yang
kemudian mengatasnamakan masyarkat. Kita pun layak untuk bertanya, ketika
tokoh-tokoh ormas dan parpol tersebut secara implisit maupun eksplisit
menyatakan ketidaksetujuannya terhadap formalisasi syariat dalam negara,
apakah massanya dari kaum Muslim ditanya terlebih dahulu kesiapannya terhadap
hal itu? Ketika di Indonesia diterapkan lebih dari 80% hukum Belanda (hingga
sekarang), apakah rakyat ditanyai sudah siap atau belum? Ketika aturan untuk
menerapkan syariat Islam bagi Muslim Indonesia dihapus oleh PPKI, apakah rakyat
ditanya dulu siap atau tidak dengan penghapusan itu? Dulu, saat diterapkan
demokrasi terpimpin dan demokrasi parlementer, apakah rakyat ditanyai
kesiapannya lebih dulu? Di Indonesia, sesuai hasil penelitian IAIN Syarief
Hidayatullah yang ditayangkan Trans TV (16/2/2002) menyatakan bahwa 64%
penduduk Indonesia setuju diterapkan syariat Islam. Apalagi, kini tuntutan
penegakkan syariat Islam menggema di mana-mana. Bukan hanya di Indonesia,
tapi juga di negeri-negeri muslim lainnya.
d. Penerapan syariat Islam akan memicu meruncingnya disintegrasi bangsa.
Disintegrasi bangsa sebenarnya sangat tidak berhubungan dengan masalah
penerapan syariat Islam. Misalnya, lepasnya Timor Timur bukan disebabkan oleh
masalah penerapan syariat Islam. Masalah disintegrasi yang dibenturkan dengan
masalah penerapan syariat Islam sebenarnya merupakan lagu lama yang direlease
ulang. Kita masih ingat sejarah ketika pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari
setelah Indonesia merdeka, terjadi manuver licik yang dilakukan oleh PPPKI
(Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dengan modus bahwa kalau ketetapan
BPUPKI yang memuat "kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya" ditetapkan sebagai konstitusi negara, golongan Kristen dan Katolik
dari Indonesia bagian Timur akan memisahkan diri dari negara kesatuan Indonesia
karena merasa didiskriminasikan. Akhirnya Piagam Jakarta disingkirkan namun
Timor Timur memisahkan diri juga. Ancaman semacam ini memang akan dijadikan
senjata pamungkas untuk menolak penerapan syariat Islam. Kalau umat Islam
berhenti berjuang untuk menerapakan syariat Islam karena diisukan menyulut
disintegrasi bangsa, maka kita akan terperosok untuk yang kedua kalinya pada
lubang yang sama.
Bila tuduhan tersebut keluar dari mulut orang kafir barangkali dapat dimaklumi.
Namun, jika keluar dari ucapan seorang muslim patut kita bertanya apakah betul
ucapan Anda bahwa Islam tidak dapat menyatukan manusia. Padahal, dulu
sebelum Islam datang, qobilah-qobilah senantiasa saling bermusuhan. Tak hentihentinya. Namun, pasca diutusnya Rasul dan berhasil mendirikan pemerintahan
Islam di Madinah, sejarah mencatat Islam berhasil menyatukan manusia dari
berbagai jenis tersebut.
Ini adalah sejarah, realitas!
Bahkan, mampu
menyatukan 2/3 dunia. Tuduhan jika Islam diterapkan akan menyebabkan
disintegrasi sama saja dengan menolak realitas keberhasilan Islam menyatukan
berbagai bangsa. Menolak realitas sama saja dengan penolakan seseorang
dilahirkan oleh seorang ibu.
Lebih dari itu, Allah SWT menegaskan bahwa yang dapat menyatukan itu adalah
Islam itu sendiri (hablum minallh). Berpegang pada Islam menyatu, melepaskan
Islam bercerai-berai. Allah SWT berfirman:












Dan berpegang teguhlah kalian kepada tali Allah (Islam) semuanya dan
janganlah bercerai-berai (TQS. li Imrn[3]:103).
12



Dan bahwa inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kalian
mengikuti jalan-jalan (lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari
jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian
bertaqwa (TQS. Al Anm[6]:153).
Jadi, manakah yang layak dipercaya, apakah pernyataan manusia Jika diterapkan
Islam akan terjadi cerai-berai/desintegrasi ataukah firman Allah Dzat Maha
Benar yang menyatakan bahwa justru jika Islam ditegakkan akan terbentuk
kesatuan dan jika tidak akan tercerai-berai?
e. Para pendiri bangsa (the founding fathers) telah merumuskan negara Indonesia
seperti saat ini, yaitu syariat Islam berada di luar aspek pengaturan negara.
Hal ini menyangkut kenyataan sejarah, oleh karena itu mari kita lihat sejarah
masalah
ini secara lebih cermat. Sesungguhnya Piagam Jakarta yang
ditandatangani pada tanggal 22 Juni 1945 oleh Panitia 9 (satu orang di antaranya
Kristen dari pergerakan nasionalis, yakni Mr. A.A. Maramis) adalah hasil rumusan
resmi yang dikeluarkan oleh wakil bangsa yang tergabung dalam BPUPKI (Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan merupakan "gentlemans
agreement". Dalam sidang BPUPKI 10 Juli 1945, Soekarno sebagai Ketua Panitia 9
menyampaikan bahwa "Piagam Jakarta" merupakan hasil akhir dari kompromi yang
diperoleh secara susah payah dari kalangan nasionalis dan kalangan Islam. Namun
pada sidang 11 Juli seorang Protestan bernama Latuharhary menolak kata
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya itu. Pada sidang tanggal 14
Juli 1945 tokoh Muhammadiyah Ki Bagus Hadi Kusumo (yang didukung oleh Kyai
Sanusi) usul agar kata-kata "bagi pemeluk-pemeluknya" dihapus. Namun Sidang
akhirnya memutuskan dipertahankannya hasil kompromi tersebut. Berkaitan
dengan pasal 29 UUD 1945 yang dalam rancangan Batang Tubuh Konstitusi yang
dibuat oleh BPUPKI sebagai pasal 28, Ki Bagus Hadi Kusumo kembali mengusulkan
agar kata "bagi pemeluk-pemeluknya" dihapus. Namun sidang 15 Juli 1945 itu
kembali menolak usulan Ki Bagus Hadi Kusumo dan secara mufakat menyetujui
hasil panitia yang dilaporkan oleh Prof. Supomo yaitu: Pasal 28 Bab X tentang
Agama, (1) Negara berdasar atas Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, (2) Negara menjamin kemerdekaan tiaptiap penduduk untuk memeluk agama lain dan untuk beribadat menurut agamanya
masing-masing. Kemudian hanya dalam tempo 2 jam 45 menit (dari jam 11.30
sampai 13.45) isi pembukaan dan 7 kata dalam Piagam Jakarta itu dihapus 11.
Padahal, perubahan yang ditolak oleh elite politik tersebut adalah perubahan
kepada konsep awal.
Bila demikian, terlihat bahwa alasan tidak ingin
mengkhianati para pendiri bangsa seakan-akan heroik, namun sebenarnya
hanyalah retorika untuk menolak syariat Islam.
Apalagi, sejatinya syariat Islam itu bukan hanya untuk diterapkan pada kaum
muslim melainkan juga untuk seluruh warga. Allah SWT memerintahkan agar
syariat Islam diberlakukan bagi semua orang yang hidup dibawah naungan Daulah
Islamiyah. Diantara ayat Al Quran yang memerintahkan itu adalah:

13

Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab ini (Al Quran) kepadamu dengan
membawa kebenaran supaya engkay menghukumi diantara manusia (an ns)
dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu(TQS. An Nis[4]:105).
Ayat tersebut (dan ayat-ayat senada) bermakna umum untuk seluruh manusia.
Artinya, syariat Islam bukan hanya wajib diberlakukan bagi pemeluk-pemeluknya
melainkan kepada semua manusia. Karenanya, dalam konteks Indonesia, tidak
cukup hanya amandemen pasal 29 saja tapi perlu UUD syariah (ad Dustr al
Islmiy). Selain itu, siapapun yang membaca sirah Rasul akan mengetahui bahwa
negara yang beliau bentuk sejak di Madinah bukan hanya terdiri dari kaum
muslim. Ternyata, justru Islam mampu menyatukan Jazirah Arab yang terdiri dari
banyak qobilah serta keyakinan yang berbeda.
Dengan demikian, secara itiqodiy, anggapan bahwa penerapan syariat Islam
hanya dapat dilakukan pada masyarakat yang seluruhnya muslim adalah tidak
tepat. Allah SWT memerintahkan agar syariat Islam diberlakukan bagi semua
orang yang hidup dibawah naungan Daulah Islamiyah. Diantara ayat Al Quran yang
memerintahkan itu adalah:

Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab ini (Al Quran) kepadamu dengan
membawa kebenaran supaya engkay menghukumi diantara manusia (an ns)
dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu(TQS. An Nis[4]:105).
Ayat tersebut (dan ayat-ayat senada) bermakna umum untuk seluruh manusia.
Artinya, syariat Islam bukan hanya wajib diberlakukan bagi pemeluk-pemeluknya
melainkan kepada semua manusia. Selain itu, siapapun yang membaca sirah Rasul
akan mengetahui bahwa negara yang beliau bentuk sejak di Madinah bukan hanya
terdiri dari kaum muslim. Ternyata, justru Islam mampu menyatukan Jazirah Arab
yang terdiri dari banyak qobilah serta keyakinan yang berbeda. Dengan demikian,
secara itiqodiy, anggapan bahwa penerapan syariat Islam hanya dapat dilakukan
pada masyarakat yang seluruhnya muslim adalah tidak tepat.
Jelaslah Allah SWT mewajibkan tegaknya syariat Islam, sementara dengan
membawa-bawa nama the founding fathers mereka justru menolak kewajiban
tersebut. Padahal, andai saja the founding fathers itu sekarang hidup dan melihat
keadaan yang carut marut jauh dari kemanusiaan seperti ini, sementara pada sisi
lain terdapat alternatif solusi berupa syariat Islam, maka niscaya mereka yang
berpikiran jernih akan mendukungnya. Namun, lagi-lagi, penolakan syariat Islam
seakan logis dengan dalih the founding fathers. Andaikan memang demikian,
layakkah sebagai seorang muslim yang mengaku beriman kepada Allah SWT dan Al
Quran menolak kewajiban dari Allah SWT untuk menerapkan dan melaksanakan
syariat Islam hanya dengan alasan para pendahulu? Berkaitan dengan hal ini Allah
SWT mengingatkan:

Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata:Kami


mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah
14

menyuruh kami mengerjakannya.


Katakanlah:Sesungguhnya Allah tidak
menyuruh (mengerjakan) perbuatan keji. Mengapa kalian mengada-adakan
terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui? (TQS. Al Arf[7]:28).
Sikap Kaum Muslim
Upaya mengembalikan aqidah dan hukum syariat Islam sebagai konstitusi dan undangundang dalam kehidupan masyarakat di dunia Islam adalah merupakan usaha mulia yang
harus diperjuangkan dengan sungguh-sungguh. Lebih dari itu merupakan kewajiban dari
Allah SWT bagi kita. Oleh karena itu, kini saatnya ujian iman bagi kaum Muslim, turut
memperjuangkan Islam demi kebahagiaan dunia-akhiratnya atau netral bahkan
menentangnya. Allah SWT mengingatkan kita:



Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman
kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu?
Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah
mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan)
penyesatan yang sejauh-jauhnya." (QS. An-Nisaa' 60).
Alhamdulillh.
Catatan Kaki

15

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, halaman 40.


Musnad Imam Ahmad, Jilid V, halaman 314.
3
Srah Ibnu Hisym, Jilid I, halaman 591 dan Jilid II halaman 519.
4
Muhammad Abdullah asy Syabni, Nizhamul Hukmi wal Idrah fid Dawlah al Islmiyyah,
halaman 24.
5
Al Qattaniy, Nizhmul Hukmah an Nabawiyyah, Jilid I, halaman 241 244.
6
Al Qattaniy, ibidem, halaman 180.
7
Anwar ar Rifai, An nuzhum al islmiyyah, halaman 141.
8
Lihat hadits riwayat Imam Muslim, nomor 3939.
9
Imam asy-Syaukani, Nayl al-Authar, Jilid VIII, halaman 265.
1
2

Menurut istilah syariy ibdah berarti thatullh wa khudhun lah wa ilyizmu m syaraahu
min ad dn (taat kepada Allah, tunduk kepadanya serta terikat dengan hukum agama (Islam) yang
telah disyariatkan-Nya).
11
Endang Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta, halaman 41-43.
10

Anda mungkin juga menyukai