A. Pendahuluan
Hadits merupakan sumber ajaran agama islam, pedoman hidup kaum muslimin yang
kedua setelah al-qur’an bagi mereka yang telah beriman kepada Al-Qur’an sebagai sumber
hukum, maka kaum muslimin akan menghadapi kesulitan -kesulitan dalam hal cara sholat,
kadar ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Pemahaman umat terhadap islam
harus melalui al-qur’an dan hadis, teks al-qur’an yang global memerlukan penjelasan dari
Hadits. Problem terkait pemahaman hadis Nabi merupakan persoalan yang urgen untuk
dibahas. Hal demikian berangkat dari realitas hadis sebagai sumber kedua ajaran Islam
setelah al-Qur’an1 yang dalam beberapa aspeknya berbeda dengan al-Qur’an.
Sejarah mencatat, kodifikasi al-Qur’an telah dilakukan pada masa Nabi SAW dan
diterima dengan qat`i al-wuru Kajian tentang metode pemahaman hadis hingga saat ini
sangat beragam. Keberagaman ini merupakan hasil dari pemikiran para ulama hadis yag
berbeda beda dalam memahami suatu teks hadis. Pemahaman hadis yang berbeda ini
nantinya akan berdampak dalam pengamalannya. Dengan demikian topik ini menarik
untuk dibahas lebih lanjut lagi. Shah Waliyullah al-Darawi adalah seorang intelektual
Muslim India terkemuka abad ke-18.
Modernis Islam seperti Muhammad Iqbal dan Fazlur Rahman menganggap Shah
Waliyullah al-Darawi sebagai pemikir yang menyikapi krisis pada masanya dengan
mempertimbangkan beragam pandangan Hadits sebagai sumber ajaran Islam yang kedua
merupakan sumber hukum Islam, namun tidak semua orang, terutama umat Islam sendiri,
bahwa mereka serta merta menganggap Hadis sebagai sumber hukum Islam kedua setelah
Al-Quran.
1
Mengenai pengaruh fungsi Nabi SAW terhadap pemahaman hadis, al- Dahlawi
membagi Sunnah menjadi dua bagian. Sunnah sebagai Tradisi Risalah (tabligh) dan
Sunnah bukan Tradisi Risalah (ghayr tabligh). Sunnah pertama adalah Sunnah yang
bergantung pada Nabi SAW dalam kedudukannya sebagai utusan risalah. Macam-macam
komponen kategori ini mencakup segala sesuatu yang diriwayatkan Nabi SAW yang
berkaitan dengan ilmu akhirat, ibadah, hukum, dan keutamaan bersedekah.
Sedangkan Sunnah kedua adalah Sunnah yang dikaitkan dengan kedudukan Nabi
SAW, bukan sebagai penyampai risalah. Komponen yang termasuk dalam kategori ini
mencakup segala hal yang berasal dari Nabi SAW yang berhubungan dengan pengobatan
atau pengobatan, hasil percobaan, dan kepentingan kelompok tertentu dalam situasi
tertentu.
Nama lengkapnya adalah Syekh al-Islam Qutb al-Din Ahmad Wali Allah bin Abd al-
Rahum bin Wadi al-Din bin Muazzam bin Ahmad bin Muhammad-bin Qawwam. Ini adalah
al-Din al-Umari al-Dhahrawi. Nama panggilannya adalah Qutb al-Din dan nama
terkenalnya adalah Shah Waliallah. Ia dilahirkan pada hari Rabu tanggal 14 Syawal tahun
1114 M, bertepatan dengan tanggal 21 Februari 1703 M pada masa Aurangzeb. Namanya
berasal dari tempat kelahirannya, Phulat, sebuah kota kecil dekat Delhi. Silsilah
keluarganya ditelusuri kembali ke Khalifah Umar bin al-Khattab, sehingga al-Umari sering
ditambahkan ke nama belakangnya. Mengenai silsilahnya didasarkan pada silsilah ibunya
yang berkerabat dengan Saidina Musa al-Kazim. Syekh Abd al-Rahim, ayah dari Shah Wali
Allah al-Darawi, adalah salah satu ulama terkemuka India. Seperti Murshid, dia adalah
anggota tarekat sufi Naqshabandiya dan anggota sekte Hanafi Terbuka. Dengan kata lain,
mereka mungkin berasal dari mahzab selain Sunni Hanafi.1
Dari sisi genealogis, al-Dahlawi hidup dalam keluarga yang mempunyai silsilah
keturunan dengan atribut sosial yang tinggi di masyarakatnya. Kakeknya, Syeikh
Wajihuddin merupakan perwira tinggi dalam tentara kaisar Jahangir dan pembantu
1
Fatichatus Sa’diyah, Skripsi: Pemikiran Hadis Syah Waliyullah Al Dahlawi Tentang Metode Pemahaman
Hadis, (Surabaya: Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya,2018) Hal. 31
2
Awrangzeb (1658-1707 M) dalam perang perebutan tahta. Sementara ayahnya, Syaikh
Abdurrahim (w. 1131 H), adalah seorang yang mempunyai keilmuan yang sangat tinggi,
sufi yang membantu penyusunan kitab Fatâwa Alamghiri, sebuah buku tentang hukum
Islam.2
Selain itu, ia juga menjadi ustadz di madrasahnya sendiri yang bernama “al-
Rahimiyyah”, sebuah madrasah yang mencetak banyak regenerasi mujaddid (pembaharu),
termasuk Syah Waliyullah al Dahlawi. Apalagi jika nasabnya diruntut ke atas, maka akan
sampai pada Khalifah Umar ibn Khattab dari jalur Abdillah. Sementara dari jalur ibunya,
ia akan sampai pada Musa al-Kazim, Imam ketujuh dari golongan Syiah Itsna ‘Asyariyyah.
Dengan demikian ia termasuk keturunan Ali ibn Abi Thalib, menantu Rasulullah.
2
Johar Arifin dkk, Klasifikasi Sunnah Tasyri’iyah dan Ghairu Tasyri’iyah Perspektif Pemikiran Ahmad
Syah Waliyullah Al-Dahlawi, (Riau: Universitas Islam Ngeri Sultan Syarif Kasim Riau: 2020) Hal.18
3
Musawwa dan Mushaffa, yang merupakan ulasan atas karya karya Imam Malik, al-
Muwaththa’, risalah-risalahnya mengenai hukum yang berjudul ‘Iqd al-Jidd, dan Syarh
Tarajim abwab al-Bukhari, dan karyanya mengenai tafsir yang berjudul al-Fauz al-Kabir.
Karyanya yang lain yang terdiri atas dua jilid, al-Tafhimat al-Ilahiyyah, merupakan
karya yang menghimpun beberapa bagian yang ditulis dalam Bahasa Arab dan Persia yang
kebanyakan mengulas masalah tasawuf, namun juga mengulas beberapa pertanyaan
mengenai hukum dan teologi, serta ulasan mengenai perkembangan berbagai kelompok
yang berbeda di masa itu. Dua karya Syah Waliyullah yang masing-masing berjudul Izalat
al-Khafa’ dan Qurrat al-‘Ainain fi Tafdhil al-Syaikhain, disusun di penghujung kariernya
sebagai penulis, yang dimaksudkan untuk menyangkal pandangan kalangan syiah
mengenai khilafah dan keutamaan ‘Ali.
Beliau wafat pada sabtu sore, tanggal 29 Muharram 1176 H, bertepatan dengan 20
Agustus 1762 M dalam usia 59 tahun di tempat kelahirannya. Setelah wafatnya al-Dahlawi,
ajaran-ajarannya dilanjutkan oleh keturunannya, terutama dua anak laki-lakinya, Syah
‘Abdul ‘Aziz (w. 1823 M) dan Syah Rafi’uddin (w. 1818 M), serta cucunya, Syah Isma’il
Syahid (w. 1831 M). 3
Secara etimologi, hadis adalah kata benda (isim) dari kata al-Tahdis yang berarti
pembicaraan. Kata hadits mempunyai beberapa arti; yaitu
1. “Jadid” (baru), sebagai lawan dari kata”qadim” (terdahulu). Dalam hal ini yang
dimaksud qadim adalah kitab Allah, sedangkan yang dimaksud jadid adalah hadis
Nabi saw. Namun dalam rumusan lain mengatakan bahwa Al-Qur’an disebut
wahyu yang matluw karena dibacakan oleh Malaikat Jibril, sedangkan hadis adalah
wahyu yang ghair matluw sebab tidak dibacakan oleh malaikat Jibril. Nah, kalau
keduanya sama-sama wahyu, maka dikotomi, yang satu qadim dan lainnya jadid
tidak perlu ada. “Qarib”, yang berarti dekat atau dalam waktu dekat belum lama,
2. “Khabar”, yang berarti warta berita yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan
dipindahkan dari seseorang kepada seseorang. Hadis selalu menggunakan
3
Ibid., hal.19
4
ungkapan megabarkan kepada kami, memberitahu kepada kami dan menceritakan
kepada kami. Dari makna terakhir inilah diambil perkataan “hadits Rasulullah”
yang jamaknya “al hadits.3
Secara etimologis, sunnah berarti perjalanan yang pernah ditempuh.Dalam istilah Arab,
sunnah berarti “preseden” yang kemudian ditiru orang lain, apakah sezaman atau
sesudahnya; tidak dipersoalkan apakah sunnah itu baik atau buruk.
• Hadis adalah: segala yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik berupa
perkataan (qauly), perbuatan (fi’ly), maupun ketetapan (taqriry).
• Sunnah: segala yang diperintahkan, dilarang, dan dianjurkan oleh Nabi Muhammad
Saw, baik berupa perkatan maupun perbuatan dan merupakan kebiasaan yang
dilakukan berulang kali..
• Khabar adalah sesuatu yang datang dari selain Nabi
• Atsar adalah sesuatu yang berasal dari sahabat Nabi.4
Dari seluruh karya al-Dahlawi di atas, dapat diketahui bahwa al-Dahlawi banyak
memberikan perhatian dalam bidang hadis. Tercatat ada sembilan buah karyanya yang
termasuk dalam bidang hadis. Di antaranya adalah Arba`un Hadithan Musalsalah bi al-
Ashraf fi Ghalib Sanadiha, Al-Durr al-Thamin fi Mubasharat al-Nabi al-Amin, Al-Nawadir
min al-Ahadith Sayyid al-Awa’il wa alAwakhir, Al-Maswa, Al-Musaffa, Sharh Tarajim
Sahih al-Bukhari, Al-Irshad fi Muhimmat `Ilm al-Isnad, Al-Fadl al-Mubin fi Musalsal min
Hadith al-Nabi alAmin, dan Al-Tanbih `ala ma Yahtaj Ilayh al-Muh{addithin wa al-Faqih.
Tiga di antaranya menjadi satu buku dengan sebutan al-Rasa’il al-Thalath, yakni; Al-Fadl
al-Mubin fi Musalsal min Hadith al-Nabi al-Amin, Al-Durr al-Thamin fi Mubasharat al-
Nabi al-Amin, dan Al-Nawadir min al-Ahadith Sayyid al-Awa’il wa al-Awakhir. 5
4
Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadis, (Ponorogo: IAIN PO Press, 2017)Hal. 12
5
Fatichatus Sa’diyah, Pemikiran Hadis Syah Waliyullah Al Dahlawi Tentang Metode Pemahaman Hadis,
(Surabaya: Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya,2018) Hal.
5
Dalam kitabnya yang berjudul Hujjatullah al-Bah, di antaranya adalah al-Muwatta’,
Sahih bukhari dan shahih Muslim. Kedua, kitab-kitab yang belum mencapai derajat kitab
pada tingkatan pertama. Seperti Sunan Abi Dawud, Jami` al-Tirmidhi, dan al-Nasa’i.
Ketiga, kitab-kitab musnad dan jami` yang disusun sebelum kitab Bukhari dan Muslim
pada zamannya dan setelahnya dimana di dalamnya tercakup hadis-hadis sahih, hasan,
da`if, dan lain sebagainya. Seperti Musnad Abi Ya`la, Musannaf `Abd al-Razzaq, Musannaf
Abi Bakr bin Abi Shaybah, Musnad `Abd bin Humayd dan al-Tayalisi, kitab-kitab al-
Bayhaqi, al-Tahawi, dan al-Tabrani. Keempat, kitab-kitab yang disusun jauh setelah
tingkatan kitab pertama dan kedua, di mana di dalamnya terdapat athar-athar sahabat dan
tabi’in, cerita-cerita Bani Isra’il, banyak mengandung hadis d{a`if dan lain sebagainya.
Seperti kitab al-Du`afa’ karya Ibn Hibban, Kamil Ibn `Adi dan al-Mawdu`at karya Ibn al-
Jawzi. Dalam kitab tersebut, al-Dahlawi juga memberikan penjelasan tentang sighat-sighat
hadis. Shighat penyampaian hadis berbeda-beda sesuai dengan perbedaan jalur
penerimaannya. Hal tersebut didasarkan oleh proses periwayatan hadis bi al-ma`na(dengan
maknanya saja). 6
6
Ibid,. Hal.63
6
Kedua, jika dicermati, penerapan dan contoh yang diberikan dalam al-Dahlawi sangat
terkait dengan fiqh. Beliau adalah seorang ulama yang berhasil mempertemukan hadis dan
fiqh, dan gagasan yang ia peroleh dari tulisan-tulisannya merupakan reaksi terhadap
perselisihan dan sekte yang ada di India saat itu. Hal ini menanggapi ketegangan yang ada
di India pada saat itu, dan ini tidak berarti bahwa ide-ide dalam karyanya tidak dapat
diterapkan saat ini. Prinsip-prinsip metode al- Dahlawi pemahaman hadis sangat
membantu dalam menggali nilai hadis dalam kaitannya dengan kebutuhan sejarah saat ini.
Seorang pengikut Nabi tidak bisa disebut pengikut Nabi jika tidak mengikuti Sunnah
(Hadits). Aplikasi Sunnah ini bermanfaat bagi semua orang jika dipahami dengan benar.
Ketiga, metode al-Darawi dalam memahami hadis membawa warna baru dalam kajian
pemahaman hadis. Misalnya saja yang berkaitan dengan pemahaman hadis berdasarkan
rahasia di balik teks hadis. Dalam kaitan ini, belum pernah ditemukan ulama hadis yang
memahami hadis dan menjelaskannya berdasarkan rahasia di balik teks hadis. Syah
Waliyullah al-Darawi membagi kedudukan hadis menjadi dua bagian sebagai berikut:
Pengertian hadis berdasarkan fungsinya:
1. Tabligh al-Risalah
Salah satu fungsinya adalah dakwah kerasulan. Allah berfirman dalam Al-Qur'an: yang
artinya: “Apapun yang diberikan Rasul kepadamu, ambillah. “
Sunnah yang termasuk dalam kelompok ini adalah tentang kabar-kabar ajaib berdasarkan
wahyu dan keindahan kekuasaan Allah. Dalam bidang syariat dan ibadah sebagian
bertumpu pada wahyu dan sebagian lagi pada ijtihad yang lebih diutamakan dari wahyu
karena Nabi terlindungi dari kesalahan. Ijtihad pada umumnya menjadi landasan dalam
bidang kesejahteraan umum, seperti benar dan salahnya hukum dan akhlak. Adapun
keutamaan sedekah sebagian berdasarkan wahyu dan sebagian lagi berdasarkan ijtihad.
Sunah yang dibawa Rasulullah tidak mempunyai misi kerasulan, melainkan mencakup
urusan pengobatan, hadis, dan para nabi serta para nabi yang memerintahkan para jenderal
untuk mempersiapkan para prajurit, bisa juga berdasarkan pengalaman, misalnya sebagai
7
manfaat bagi orang lain. Keputusan berdasarkan fakta dan bukti tertentu terhadap
seseorang dalam kasus tertentu.
Secara rinci, berikut komponen metode pemahaman hadis al-Dahlawi . Antara lain:
1. al-Dahlawi membagi hadis menjadi dua bagian; tabligh dan ghayr tabligh. Tabligh
adalah cakupan hadis yang bersandarkan kepada Nabi, disampaikan kepada
umatnya, dan harus diikuti. Sedangkan, ghayr tabligh adalah hadis yang
bersandarkan kepada Nabi dan umatnya tidak harus mengikutinya.
7
Luluk Masfufah, "Pemikiran Hadis Syah Waliyullah Al-Dahlawi" Academia Edu, 17 Maret 2024.
https://www.academia.edu/41173185/PEMIKIRAN_HADIS_SYAH_WALIYULLAH_AL_DAHLAWI
8
2. Pemahaman hadis berdasarkan istilahnya. Berdasarkan redaksi hadis, dapat
diambil beberapa makna. Di antaranya adalah pemaknaan tentang hukumnya
(wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram), penentuan tentang alasan hukum
(`illat), rukun, dan syarat suatu perbuatan.
3. Penyelesaian hadis yang bertentangan. Secara keseluruhan, metode yang digunakan
oleh al-Dahlawi dalam menyelesaikan hadis yang bertentangan sama dengan
metode ulama-ulama yang lain. Yakni dengan menggunakan salah satu opsi di
antara al-jam`, tarjih, nasakh, dan tawaqquf. Hanya saja, dalam memberikan
penjelasan kapan metode-metode tersebut digunakan –menurut penulis- lebih
banyak mengarah kepada nas-nas yang mengandung hukum.
4. Pemahaman hadis berdasarkan rahasia di balik teks hadis
5. Pemahaman hadis berdasarkan fakta Sejarah.
9
Pertama, pemikir Islam tradisionalis atau salafi, yang berupaya mengembalikan kejayaan
Islam masa lalu sebelum terjadinya penyimpangan atau kemunduran. Kedua, kelompok
modernis, yang menganjurkan adopsi modernitas barat sebagai model yang tepat bagi masa
kini. Ketiga, kelompok moderat atau eklektis, yang berupaya mengadopsi unsur-unsur
yang terbaik, baik yang terdapat dalam model barat modern maupun dalam Islam masa
lalu, serta mempersatukan di antara keduanya dalam bentuk yang dianggap memenuhi
kedua model tersebut.
G. Kesimpulan
Nama lengkapnya adalah Syekh al-Islam Qutb al-Din Ahmad Wali Allah bin Abd al-
Rahum bin Wadi al-Din bin Muazzam bin Ahmad bin Muhammad - Bin Qawwam al-Din
al-Umari al-Dahrawi. Nama panggilannya adalah Qutb al-Din dan nama terkenalnya
adalah Shah WaliAllah. Beliau dilahirkan pada hari Rabu tanggal 14 Syawal tahun 1114
M, bertepatan dengan tanggal 21 Februari 1703 M pada masa Aurangzeb. Beliau wafat
pada sabtu sore, tanggal 29 Muharram 1176 H, bertepatan dengan 20 Agustus 1762 M
dalam usia 59 tahun di tempat kelahirannya. Setelah wafatnya al-Dahlawi, ajaran-
ajarannya dilanjutkan oleh keturunannya, terutama dua anak laki-lakinya, Syah ‘Abdul
‘Aziz (w. 1823 M) dan Syah Rafi’uddin (w. 1818 M), serta cucunya, Syah Isma’il Syahid
(w. 1831 M).
Prioritas pemahaman hadis menurut al-Dahlawi adalah tentang rahasia di balik teks hadis.
Selain itu, dalam penjelasan yang lain –menurut penulis- ukuran pemahaman hadis juga
berdasarkan kesahihan dan kemasyhurannya, mengingat di salah satu bab dalam kitab
tersebut, al-Dahlawi membagi tingkatan hadis, sebab di masa sekarang Nabi SAW telah
wafat dan tidak meriwayatkan hadis lagi, jadi tingkatan tersebut dilihat dari hadis yang
telah dikodifikasikan dalam kitab-kitab.
Pemikiran Al-Darawi tentang cara memahami hadis memunculkan beberapa saran yang
muncul di permukaan.
10
Kedua, jika dicermati, penerapan dan contoh yang disampaikan al- Dahlawi banyak
kaitannya dengan fiqh. Prinsip-prinsip metode pemahaman hadis al-Darawi sangat berguna
dalam menggali nilai-nilai hadis dalam kaitannya dengan kebutuhan sejarah kontemporer.
Ketiga, metode pemahaman hadis al-Darawi menjadi teori baru dalam memahami hadis.
Daftar Pustaka
11