Anda di halaman 1dari 8

UTS MADZAHIB TAFSIR

Siti Tsaltsa Khairiyah 20211506


IAT 4D
MADZAHIB QUR’AN
Ignaz Goldziher pertama kali muncul menggunakan Madzahibut Tafsir dalam bukunya Die
Ricthungen der Islamichen Koranauslegung yang kemudian diterjemahkan oleh Dr. Ali Hasan
Abdul Qadir dengan judul Madzahibut Tafsir al-Islami (1995). Selanjutnya barulah muncul
banyak karya dalam bidang ini, seperti Muhammad Husain adz-Dzahabi (1961), Abu Yaqzhan
‘Athiyya al-Jaburi dengan judul Dirasah fii at-Tafsir wa Rijalihi (1971) dan Abdul ‘Azhim Ahmad
al-Ghubasyi dengan judul Tarikh at-Tafsir wa Manahijal Mufassirin (1997) dan lain sebagainya.
Secara Etimologis, istilah madzahibut tafsir merupakan susunan idhafah yang terdiri dari dua kata
yaitu madzhabin dan at-tafsir. Kata madzahib merupakan bentuk jama’ dari kata madzhab. Dalam
Kamus Besar Munawir, kata madzhab memiliki arti kepercayaan, doktrin, ajaran, pendapat, dan
teori. Sedangkan secara terminologis, madzhab biasa didefinisikan sebagai hasil-hasil ijtihad atau
pemikiran, penafsiran para ulama yang kemudian dikumpulkan, dan dinisbatkan kepada tokohnya,
atau kecenderungannya, atau masa periodesasinya. Adapun kata At-tafsir, secara Bahasa
merupakan bentuk mashdar (kata benda abstrak) dari fassara-yufassiru-tafsiran yang berarti
pemahaman, penjelasan, dan perincian.

Urgensi Madzhaib Al-Qur`an Membuka wawasan dan menumbuhkan sikap toleran


terhadap berbagai corak dan aliran penafsiran al-Qur’an. Dan Adapun Munculnya madzhaib Al-
Qur`an merupakan salah satu persoalan epistemologis dalam madzhahib tafsir, perlu ditegaskan
bahwa Al-Quran diturunkan untuk manusia, bukan untuk Tuhan. Manusialah yang menjadi objek
bagi penurunan Al-Quran agar ia menjadikannya petunjuk dalam kehidupan. Al-Quran adalah
kitab suci yang menjadi petunjuk bagi umat manusia. Karena itu, Al-Quran menjadi makanan yang
harus dikonsumsi manusia, terutama orang-orang yang beriman (generasi para sahabat). Saat itu,
Nabi Muhammad SAW adalah orang pertama yang memahami Al-Quran karena beliaulah yang
diberi amanah untuk menerima wahyu Al-Quran.Beliau pula yang harus menjelaskan dan
menyampaikan kepada umat manusia. “Kami turunkan padamu Muhammad Al-Quran agar kamu
menerangkan kepada umat manusia apa-apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya
mereka memikirkannya” (QS. An -Nahl:44) dan perkembangan nya pada abad kesembilan dan
sepuluh.

Penafsiran Al-Quran sudah berlangsung sejak zaman Nabi Muhammad (371-632 M), dan
masih tetap berlangsung hingga sekarang, bahkan pada masa mendatang. Penafsiran Al-Quran
sungguh telah menghabiskan waktu yang sangat panjang dan melahirkan sejarah tersendiri bagi
pertumbuhan dan perkembangan ilmu Al-Quran. Secara global,sebagian ahli tafsir membagi
periode penafsiran Al-Quran dalam 3 fase, periode mutaqaddimin (abad 1-4 H), periode
mutaakhhirin (abad 4-12) dan periode baru (abad 12-sekarang). Ada juga beberapa mufassir yang
memilahnya ke dalam beberapa fase yang lebih banyak seperti yang dilakukan oleh Syeikh Ahmad
Mmushtafa Al-Maraghi yang membedakan jenjang tingkatan para mufassir dalam tujuh tahapan:
masa sahabat, masa tabi’in, masa penghimpunan pendapat para sahabat dan tabi’in, generasi Ibn
Jarir an kawan-kawan yang mulai melakukan penulisan penafsirannya, generasi mufassir yang
sumber penafsirannya mengabaikan penyebutan rangkaian sanad periwayatan, masa kemajuan
peradaban dan kebudayaan Islam yang oleh Al-Maraqhi disebut sebagai ‘ashr al-ma’rifah al-
Islamiyah, dan masa penulisan, transliterasi, dan penerjemahan Al-Quran ke dalam berbagai
bahasa asing.

TAFSIR SUNNI

Tafsir Sunni sebagai salah satu bentuk corak tafsir aliran, muncul, tumbuh, dan
berkembang seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan aliran dan ideologi keagamaan
masyarakat. Kemunculannya dipengaruhi unsur subjektifitas mufasir, baik individual maupun
kolektif. Di satu sisi pertumbuhan ini tak dapat pula dipungkiri karena posisi sentral al-Quran
sebagai petunjuk bagi seluruh kelompok aliran-aliran yang lahir dalam rahim Islam. Semuanya
memosisikan Alquran sebagai sumber pemahaman dan juga larut menikmati hidangan Alquran
yang sangat komprehensif. Ada dua sifat yang menjadikan Alquran selalu menjadi rujukan.
Pertama karena al-Quran dipandang sebagai hudan, petunjuk bagi umat manusia, dan kedua karena
al-Quran sebagai furqan, pembeda antara yang benar dan yang batil.

Sejarah berdirinya Tafsir Sunni Kaum Mu’tazillah merupakan golongan minoritas dan
merupakan golongan yang tidak kuat berpegang teguh terhadap sunnah. Mungkin dari sinilah
muncul term Ahlussunnah wa alJama’ah, sebagai lawan dari Mu’tazillah. Sejarah Sunni dimulai
ketika ricuhnya perpolitikan yang mengatasnamakan Islam. Nabi Muhammad wafat sebelum
menunjuk pengganti. Oleh karena itu, terjadi konflik tentang siapa yangpaling pantas
menggantikan beliau sebagai khalifah. Setelah ketegangan dan tarik-ulur selama dua hari sehingga
menunda pemakaman jasad Nabi Muhammad, ditunjuklah Abu Bakar as-Shiddiq sebagai khalifah.
Penunjukan ini tidak memuaskan beberapa kalangan. Bahkan, kalangan yang mengklaim bahwa
Ali bin Abi Thalib lebih sah menjadi khalifah kemudian memisahkan diri dan membentuk Syiah.
Sementara itu, golongan yang lebih umum, kemudian disebut Sunni. Golongan ini hingga saat ini
terbagi dalam empat mahzab berbeda. yaitu Imam AbuHanifah, Imam Syafii, Imam Malik, dan
Imam Ahmad bin Hambal.

A. Mahzab Hanafi

Mahzab ini didirikan oleh Imam Abu Hanifah. Mahzab ini diikuti oleh 45% muslim dunia.
Jumlah yang paling besar di dunia. Penganut mahzab Hanafi kebanyakan terletak di Asia Selatan
dan Asia Tengah. India, Libanon, dan Pakistan termasuk negara- negara yang berkiblat pada Imam
Abu Hanifah.

B. Mahzab Syafi’I

Mahzab ini didirikan oleh Imam Syafi’i. Jumlah pengikutnya mencapai 28% muslim dunia.
Umat Islam negara kita, Indonesia, dan beberapa negara Asia Tenggara lainnya (Malaysia, Brunei,
Thailand, Singapura) berbasis pada mahzab ini.

C. Mahzab Maliki

Mahzab ini didirikan oleh Imam Malik. Penganutnya tersebar luas di daerah Afrika Barat
dan Utara. Jumlah pengikutnya mencapai 20% muslim.

D. Mazhab Hanbali

Mazhab Hanbali didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Perkembangan. Mazhab
Hambali pertama kali berkembang di Bagdad, Irak.

Dan Adapun Kitab Tafsir Bermadzhab Suni Yaitu ada. Mafatih al-Ghaib karya Fakhr al-
Din al-Razi (w. 606 H), Jami’ Al-Bayan Fi Al-Tafsir Al-Qur’an karya AtThabari (w. 923 H),
Adhwa al Bayan fi Idhahi al-Quran bi al-Qur’an karya Asy-Syanqithi (w. 1393 H).
TAFSIR SYI’AH

Terkait dengan awal munculnya madzhab tafsir Syi'ah, Ignaz Goldziher mengungkapkan
bahwasanya tujuan kelompok Syi'ah memasukkan prinsip prinsip ajaran kelompok mereka dalam
menafsirkan al-Qur'an adalah untuk mencari legitimasi dari al-Qur'an mengenai penolakan mereka
terhadap kepemimpinan Ahlu Sunnah. Mereka melakukan rongrongan dan mencela terhadap
kepemimpinan kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyyah Mereka kemudian melontarkan gagasan
terhadap kesucian sahabat "Ali bin Abi Thalib RA dan para Imam16 Mereka mencari dalil dari
ayat-ayat al-Qur'an yang menunjukkan bahwa Ali menempati posisi yang sangat dekat (hampir
sejajar) Disisi nabi muhammad saw serta berada tingkat lebih tinggi dibandingkan dengan
kebanyakan manusia.

Salah satu kitab primer dari tafsir mahdzab Syi’ah adalah tafsir al-Qummi karya Ali bin
Ibrahim. Tafsir Al-Mummi bertipologi riwayat; artinya hanya mengumpulkan riwayat-riwayat
tafsir ahlul bait tanpa melakukan ijtihad dan penafsiran dalam makna ayat-ayat. Kebanyakan
riwayat-tiwayat kitab tafsir al-Qummi dinukil melalui jalan ayahnya, Ibrahim bin Hasyim Qummi.
Tafsir al-Qummi termasuk tafsir terkuno Syiah yang masih eksis dan dianggap sumber para
mufassir terpenting sepanjang abad yang lalu hingga kini dan dicetak dalam 2 jilid. Kitab tafsir
lainnya yang bermahdzab Syi’ah yaitu kitab al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an yang ditulis oleh al-
Allamah as-Sayyid Muhammad Husain at- Thaba Thaba’I. Kitab tafsir al-Mizan disusum dengan
tartib mushafi. Imam at- Thaba Thaba’I menggunakan 3 metode dalam melakukan penafsiran,
yaitu: Pertama, menafsirkan suatu ayat dengan bantuan data ilmiah dan non-ilmiah Kedua,
menafsirkan Al-Qur’an dengan hadits-hadits. Ketiga, menafsirkan Al-Qur’an dengan jalan
memanfaatkan ayat-ayat lain yang berkaitan.

MADZHAB TAFSIR KHAWARIJ

kemunculan kubu khawarij bisa dianggap sebagai tonggak awal kemunculan penafsiran
yang bernuansa ideologis-politis. Khawarij adalah kelompok pendukung Ali yang menyempal dari
kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Mereka awalnya memaksa Ali untuk melaksanakan tahkim dan
menunjuk orang yang menjadi hakim atas pilihan mereka. namun kemudian kelompok yang
semula memaksa ‘Ali untuk menerima tahkim kemudian menganggap tahkim sebagai kejahatan
besar. Ali yang menyetujui tahkim telah menjadi kafir dan dianggap telah berbuat dosa besar,
sebagaimana mereka telah menjadi kafir, namun kemudian bertaubat.
Mengenai semboyan orang-orang Khawarij yaitu la hukma illa lillah ‘Ali bin Abi Thalib
pernah berkomentar “inna hazihikalimatun haqqun wa uridu biha batilun falkhawarij
yu’awwilunaha ‘ala ghairi mayuradu biha”. Sesungguhnya kalimat ini adalah kalimat yang benar,
namun digunakan dalam kebatilan, kelompok Khawarij menta’wilkan, menafsirkan ayat ini tidak
sebagaimana maksud ayat yang sesungguhnya. Begitulah kira-kira bunyi komentar ‘Ali terhadap
penafsiran yang dilakukan oleh Khawarij, mereka menafsirkan hanya untuk kepentingan ideology
Setelah menganalisa penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an oleh khawarij dan membandingkannya
dengan Ahlu Sunnah wal jama’ah, terungkap tidak ada kecocokan di antara mereka. Berdasarkan
penafsiran tersebut dapat dikatakan bahwa penafsiran mereka ekstim jauh dari moderat, Contoh
penafsiran Khawarij yang bisa didapatkan dalam penafsiran ayat-ayat suci al-Qur’an,

Allah SWT berfirman:

ٰ ‫هُو الَّذِي خلق ُكم فمِ ن ُكم كافِر َّومِ ن ُكم ُّمؤمِ ن و‬
ِ ‫ّللاُ ِبما تعملُون ب‬
‫صير‬

Artinya: “Dia-lah yang menciptakan kamu, maka di antara kamu ada yang kafir dan
diantaramu ada yang beriman. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan” (Surah at-
Thagabun: 2)

Khawarij menafsirkan ayat ini bahwa manusia itu hanya ada dua macam yaitu orang yang
beriman dan orang yang kafir, serta tidak ada golongan selain dari itu termasuk orang fasik, karena
bagi mereka orang fasik itu adalah kafir bukan orang mukmin. Dan adapun karya-karyanya yaitu
Tafsir Abdurrahman Bin Rustam al-Farisi (abad ke-3H), Tafsir Hiwad bin Muhkam al-Hawari
(abad ke-3H), Tafsir Abi Ya’qub, Ysuf bin Ibrahim al-Warjalani (Abad ke-6H), Tafsir Da’i al -
‘Amal li yaum al ‘Amal, oleh Syaikh Muhammad Yusuf Itfis (Mufassir kontemporer meninggal
pada tahun 1332H.

TAFSIR MU’TAZILAH

Mu’tazilah berasal dari kata i’tizal yang artinya memisahkan diri, pada mulanya nama ini
diberikan oleh orang dari luar Mu’tazilah karena pendirinya, Washil bin Atha’, tidak sependapat
dan memisahkan diri dari gurunya, Hasan al-Bashri. Dalam perkembangan selanjutnya, nama ini
kemudian disetujui oleh pengikut Mu’tazilah dan digunakan sebagai nama dari bagian aliran
teologi mereka. Kaum Mu`tazilah merupakan sekelompok manusia yang pernah menggemparkan
dunia Islam selama lebih dari 300 tahun akibat fatwa-fatwa mereka yang menghebohkan, selama
waktu itu pula kelompok ini telah menumpahkan ribuan darah kaum muslimin terutama para ulama
Ahlus Sunnah yang bersikukuh dengan pedoman mereka. Sejarah munculnya aliran Mu‟tazilah
muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa
pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisya bin Abdul Malik. Pelopornya
adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin
Atha‟.

kemunculan paham muktazilah ini dikarenakan perselisihan tersebut antara murid dan
Guru, dan akhirnya golongan mu'tazilah pun dinisbatkan kepadanya. Sehingga kelompok
Mu‟tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. kemudian para petinggi mereka
mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah AlMakmun. Maka sejak saat
itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh manhaj ahli kalam yang berorientasi pada akal
dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur‟an dan AsSunnah. Secara harfiah kata Mu‟tazilah
berasal dari I‟tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau
menjauhkan diri, Mu‟tazilah, secara etimologis bermakna: orang-orang yang memisahkan diri.

ulama mu'tazilah yang menulis karya tafsir. Akan tetapi atas kehendak Allah swt karya-
karya mereka sangat sedikit sekali yang bisa bertahan sampai sekarang. Hanya tiga kitab saja yang
tersisa, yakni Tanzih al-Quran karya al-Qadhi Abdul jabar, Al-Kasysyaf karya al-Zamakhsyari,
dan Ghurar al-Fawaid wa Durar al-Qalaid karya Ali bin Thahir. Sedangkan nama-nama ulama
yang mempunyai kitab tafsir yang hilang dan tidak sampai pada zaman kita sekarang, diantaranya:

1. Abu Bakar Abdurrahman bin Kaysan al-Asham (w. 240 H).

2. Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahab Al-Juba i (w. 302 H).

Para mufassir dari kalangan mu'tazilah dikenal sering memaksakan ayat dan mentakwilkan
sesuai dengan kepentingan mereka. Akan tetapi sebagian penyimpangan penafsiran dalam karya
mereka tidak terlihat lantaran mereka menggunakan susunan redaksi yang indah. Sehingga
penyimpangan itu tertutupi oleh redaksi tersebut. Salah satu penafsiran mereka yang memaksakan
ayat sesuai dengan kepentingan madzhab seperti ayat di bawah ini:

‫اضرة – ا ِٰلى ربِها ناظِ رة‬


ِ َّ‫ُو ُجوه يَّوم ِٕىذ ن‬
Artinya: Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada
Tuhannyalah mereka melihat. QS. Al-Qiyamah ayat 22-23. Ayat di atas ditafsiri oleh mereka
dengan 'melihat nikmat Allah swt. Karena melihat Allah secara langsung dalam mu'tazilah adalah
hal yang mustahil. Mereka mentakwil ayat ini sehingga bisa masuk akal. Pentakwilan bermula dari
pendapat mereka yang menganggap ayat di atas termasuk ayat mutasyabihat. Sebaliknya Ahlus
Sunnah menilai ayat ini termasuk ayat muhkam dan tidak perlu untuk ditakwilkan. Dikarenakan
madzhab Ahlussunnah meyakini bahwa melihat Allah swt pada hari kiamat adalah suatu hal yang
memungkinkan bisa terjadi. Sebagaimana didukung oleh hadits-hadits shahih. Seperti yang
diriwayatkan oleh Jarir, bahwa pada suatu malam Nabi saw dan para sahabat duduk-duduk
bersama sambil melihat terangnya bulan purnama. saat itupun Nabi SAW bersabda: “Kalian nanti
pasti akan mampu melihat Tuhan kalian seperti kalian bisa melihat rembulan ini. Kalian akan jelas
melihatnya”.

Sebagian ulama menilai buah karya-karya tafsir dari kalangan mu'tazilah sebagai macam
tafsir yang tercela dan menyimpang. Sehingga dianjurkan untuk dijauhi. Dikarenakan sudah
menyalahi tatanan kaidah tafsir yang sudah disepakati oleh para ulama. Salah satunya ialah
penafsiran yang dikemukakan tidak boleh bertentangan dengan sunnah maupun hadits Rasul saw.

TAFSIR SUFI

Tafsir sufi adalah tafsir yang ditulis oleh para sufi, dengan kecenderungan mentakwilkan
Al-Qur’an selain dari apa yang tersirat, dengan berdasarkan isyarat-isyarat yang nampak pada ahli
ibadah. Sufisme atau Tasawuf adalah ajaran-ajaran yang mempunyai tujuan memperoleh
hubungan secara langsung dengan tingkat kedekatan yang tinggi kepada Allah SWT, karenanya
pemahaman seseorang dalam memahami makna Al-Qur’an dipengaruhi derajat dan kualitas
keruhaniannya sehingga hasil penafsiran para sufi mempunyai corak atau karakter yang kental
dengan penafsir.Tafsir al-shufiyah, yakni tafsir yang didasarkan atas olah sufistik terbagi dalam
dua bagian, yakni tafsir sufi nadzary (tafsir yang didasarkan atas perenungan pikiran sang sufi
seperti renungan filsafat dan ini tertolak) dan tafsir sufi isy’ary (Tafsir yang didasarkan atas
pengalaman pribadi si penulis, seperti tafsir Al-Qur’an al-Adzim karya al-Tsauri, dan lainnya).
Tafsir sufi isy’ary ini bisa diterima (diakui) dengan beberapa syarat, yakni ada dalil syar'i yang
menguatkan, tidak bertentangan dengan syariat, dan tidak menafikan makna zahir teks. Jika tidak
memenuhi syarat ini maka ditolak.
Karakteristik dari tafsir sufi: Pertama, Tafsir Sufi Nadzhari Tafsir sufi nadzary adalah tafsir
sufi yang dibangun untuk mempromosikan dan memperkuat teori-teori mistik yang dianut
mufassir. Dalam menafsirkannya itu mufassir membawa al-Qur-an melenceng jauh dari tujuan
utamanya yaitu untuk kemaslahatan manusia, tetapi yang ada adalah penafsiran prakonsepsi untuk
menetapkan teori mereka.

Perkembangan sufi di Indonesia dimulai sejak masuknya pengaruh Hindu dan Budha yang
erat dengan dunia mistik. Munculnya tafsir sufistik di Indonesia di mulai pada Abad ke- 17 M
dengan di motori oleh ahli tafsir Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Pasai. Bentuk dan corak tafsir
yang digunakan kaum sufi memiliki karakteristik khusus dan berbeda dengan corak tafsir lainnya.
Karena mereka menafsirkan Al-Qur’an dari dua segi yaitu lahir dan batin, serta bernuansa
mistik/ghaib. Corak penafsiran Sufi ini didasarkan pada argumen bahwa setiap ayat Alquran secara
potensial mengandung empat tingkatan makna, yakni Zahir, Batin, Hadd dan Matla’.

Contoh kitab tafsir Sufi Yaitu: Tafsir Al-Qur’an Al- ‘Adzim Tafsir ini dikarang oleh Abu
Muhammad Sahl bin ‘Abdullah bin Yunus bin ‘Abdullah al-Tustari. Beliau lahir pada tahun 200H
di wilayah Tustar, masih termasuk wilayah Ahwaz, Iran. Al-tustari adalah seorang yang sangat
wara’ taqwa dan termasuk kelompok orang yang arif. Beliau pernah berjumpa dengan Dzun Nun
al-Mishri di Mekah. Dan kemudian pindah ke Bashrah dan menetap disana hingga wafat pada
Tahun 383 H.

Nama At-Tusturi adalah nisbah dari daerah kelahirannya yaitu suatu tempat Bernama
Tustar, yang letaknya berdekatan dnegan Syiraz di Khurasan. Al-Tustari merupakan salah satu
tokoh sufi besar pada masanya. Memiliki banyak pendapat bercorak sufistik terhadap ayat-ayat al-
Qur’an Al-Karim. Beliau tidak menuliskan secara langsung pada kitab ini, tetapi dilakukan oleh
muridnya yaitu, Abu Bakar Al-Baladi. Abu Bakar Al-Baladi lah yang mengumpulkan tafsiran dari
beliau kemudian disusun dalam satu kitab yang kemudian diberi nama Tafsir Al-Qur’an al- Azhim.
Tafsir ini hanya satu jilid yang tidak terlalu tebal, al-Tustari membicarakan beberapa ayat secara
terpisah dari masing-masing surat. Karena memang beliau tidak menafsirkan secara keseluruhan
ayat-ayat al-Qur’an.dan ke dua ada Sahl bin ‘Abdullah bin Yunus, Tafsir As-Sulami karya Abu
Abdur al-Rahman Muhammad bin Husein, Tafsir ‘Arais al-Bayan fii Haqaiq Al-Qur’an karya Abu
Muhammad Ruzbahan bin, Abi Nashr Al-balqi Asy-Syirazi Ash-Shufi, Tafsir at-Ta’wilat An-
najmiyah karya Najmuddin, Dayah dan ‘Alau Ad-Daulah As-Samnaani.

Anda mungkin juga menyukai