Anda di halaman 1dari 6

AHLSSUNAH 

SALAF

Berkembangnya dakwah Salafiyah di kalangan masyarakat dengan pembinaan yang


mengarah kepada perbaikan ummat di bawah tuntunan Rasulullah SAW adalah suatu hal
yang sangat disyukuri. Maka banyak definisi yang telah dikemukakan para pakar mengenai
definisi Salaf 
Menurut Thablawi Mahmud Sa’ad, Salaf  artinya ulama terdahulu. Salaf terkadang
dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, tabi’i, tabi’ tabi’in,para pemuka abad ke-3
dan para pengikutnya pada abad ke-4 H yang terdiri atas para muhadditsin dan
lainnya. Salaf berarti pula ulama-ulama Shaleh yang hidup pada tiga abad pertama Islam.
Menurut As-Syahrastani, ulama Salaf adalah yang tidak menggunakan Ta’wil (dalam
menafsirkan ayat-ayat Mutasyabihat) dan tidak mempunyai faham tasybih. Sedangkan
Mahmud Al-Bisybisyi dalam Al-Firaq Al-Islamiyyah mendefinisikan Salaf sebagai
sahabat, tabi’in, dan tabi’in yang dapat diketahui dari sikapnya menampik penafsiran yang
mendalam mengenai sifat-sifat Allah yang menyerupai segala sesuatu yang baru untuk
menyucikan dan mengagungkan-Nya. [1]
Aliran Salaf terdiri dari orang-orang Hanbaliah yang muncul pada abad keempat
HIjrah dengan mempertalikan dirinya dengan pendapat-pendapat Imam Ahmad bin
Hambal, yang dipandang oleh mereka telah menghidupkan dan mempertahankan pendirian
ulama Salaf . karena pendapat ulam Salaf ini menjadi motif berdirinya, maka orang-orang
Hanabilah menamakan dirinya “ aliran SAlaf”
Antara golongan Hanabilah tersebut dengan aliran Asy’ariah sering-sering terjadi
pertentangan, baik yang bersifat phiysik, karena di mana terdapat aliran Asy’ariah yang
kuat, maka di situ pula terdapat orang-orang Hanabilah. Masing-masing mengaku bahwa
dirinya itu yang berhak mewakili ulama Salaf. [2]
W. Montgomery Watt menyatakan bahwa gerakan Salafiyah berkembang terutama
di Bagdad pada abad ke-13. Pada masa itu terjadi gairah menggebu-gebu yang diwarnai
fanatisme kalangan kaum Hanbali. Sebelum akhir abad itu, terdapat sekolah-sekolah
Hanbali di jerusallem dan Damaskus. Di damaskus, Kaum Hanbali makin kuat dengan
kedatangan para pengingsi dari Irak yang disebabkan serangan Mongol atas Irak. Diantara
para pengungsi itu terdapat satu keluarga dari Harran, yaitu keluarga Ibn Taimiyah adalah
seorang ulama besar penganut Imam Hanbali yang Ketat.
Ibrahim Madzkur menguraikan karakteristik ulama salaf atau Salafiyah sebagai
berikut:
1. Mereka lebih mendahulukan riwayat (naql) dari pada dirayah (aql).
2. Dalam persoalan pokok-pokok agama (ushuludin) dan persoalan-persoalan cabang
agama (furu’ ad-din), mereka hanya bertolak dari penjelasan dari Al-KItab dan Sunnah
3. Mereka mengimani Allah tanpa perenungan lebih lanjut (tentang Dzat-Nya). Dan tidak
pula mempunyai faham anthropomorphisme
4. Mereka memahami ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan makna lahirnya, dan tidak
berupaya untuk menakwilkannya

Apabila melihat karakteristik yang dikemukakan Ibrahim Madzkur diatas, tokoh-


tokoh berikut ini dapat diketegorikan sebagai ulma salaf, yaitu: Abdullah Bin Abbas (68
H), Abdullah Bin Umar (74 H), Umar Bin Abdul Aziz (101 H), Az-Zuhri 124), Ja’far Ash-
Shidiq (148 H) dan Imam Mazhab yang empat (Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Ahmad
Bin Hambal). Menurut Harun Nasution, secara kronologis salafiyah bermula dari Imam
Ahmad Bin Hambal. Lalu, ajarannya dikembangkan Imam Ibn Taimiyah, kemudian
disuburkan oleh Imam Muhammad Bin Abdul Wahab, dan akhirnya berkembang di dunia
Islam secara sporadis. Di Indonesia sendiri, gerakan ini berkembang lebih banyak
dilaksanakan oleh gerakan-gerakan Persatuan Islam (Persis), atau Muhammadiyah.
Gerakan- gerakan lainya, pada dasarnya juga dianggap sebagai gerakan ulama Salaf, tetapi
teologinya sudah dipengaruhi oleh pemikiran yang dikenal dengan istilah logika.
Sementara itu, para ulama yang menyatakan pemikiran dalam membicarakan masalah
teologi (ketuhanan). [3]
Dibawah ini dijelaskan beberapa ulama Salaf dengan beberapa pemikirannya,
terutama yang berkaitan dengan persoalan-persoalan kalam.

A. RIWAYAT HIDUP DAN PEMIKIRAN IMAM AHMAD BIN HANBALI


1. Riwayat singkat hidup Ibn Hanbal
Ia dilahirkan di bagdad tahun 164/780 M, dan meninggal 241 H/855 M. Ia sering
dipanggil Abu Abdillah karena salah seorang anaknya bernama Abdillah. Namun, ia
lebih dikenal dengan nama Imam Hanbali karena merupakan pendiri Mazhab
Hanbali.
Ibunya bernama Shahifah binti Maimunah binti Abdul Malik Ibn Sawadah Ibn
Hindur Asy-Syaibani, bangsawan Bani Amir. Ayahnya bernama Muhammad Ibn
Hanbal Ibn Hilal Ibn Anas Ibn Idris Ibn Abdullah Ibn Hayyan Ibn Abdullah Ibn Anas
Ibn Auf Ibn Qasit Ibn Mazin Ibn Syaiban, Ibn Dahal Ibn Akabah Ibn Sya’ab Ibn Ali
bin Jadalah Ibn Asad bn Rabi Al-Hadits Ibn Nizar. Di dalam keluarga Nizar, Imam
Ahmad bertemu keluarga dengan nenek moyangnya Nabi Muhammad SAW.
Ayahnya meninggal ketika Ibn Hanbal masih remaja. Namun, ia telah
memberikan pendidikan Al-Quran kepada Ibn Hanbal. Pada usia 16 tahun, ia belajar
Al-Quran dan ilmu-ilmu agama yang lainnya kepada ulama-ulama terkenal di
Khulafah, Basrah, Syam, Yaman, Mekah, Madinah. Diantara guru-gurunya adalah
Hammad Ibn Khalid, Ismail Ibn ‘Aliyyah, Muzzaffar Ibn Mudrik, Walid Ibn Muslim,
Muktamar Ibn Sulaiman, Abu Yusuf Al-Qadi, Yahya Ibn Zaidah, Ibrahim Ibn Sa’id,
Muhammad Ibn Idris Asy-Syafi’i, Abd Razaq Ibn Humam, dan Musa Ibn Thariq.
Dari guru-gurunya, Ibn Hanbal mempelajari Ilmu Fiqih, Hadits, tafsir, kalam, ushul,
dan Bahasa Arab. [4]
Ibn Hanbal dikenal sebagai seorang Zahid. Hampir setiap hari ia berpuasa dan
hanya tidur sebentar di malam hari. Ia juga dikenal sebagai seorang dermawan. Pada
suatu hari khalifah Al-Makmun Ar-Rasyid membagi-bagikan beberapa keeping emas
kepada para ulama hadis, yang telah menjadi kebiasaan para Khalifah masa
itu.  Namun, Ibn Hanbal menolaknya. Bahkan, Syaikh Abdul Razaq mengambil
segenggam dinar dari kantongnya dan memberikan kepada Ibn Hanbal, tetapi justru
Ibn Hanbal mengatakan, “saya tidak membutuhkannya.”
Karena begitu teguh dalam pendirian, ketika khalifah Al-Makmun
mengembangkan Mazhab Mu’tazilah, Ibn Hanbal menjadi korban Mihnah
(inquistition) karena tidak mengakui bahwa Al-Quran itu makhluk. Akibatnya,
beberapa kali ia harus dipenjara. Nasib serupa dialaminya pada masapemerintahan
pengganti Al-Ma’mun, yakni Al-Mu’tasim dan Al-Watsiq. Namun, setelah Al-
Mutawakil naik tahta, Ibn Hanbal memperoleh kebebasan. Pada masa ini ia
memperoleh penghormatan dan kemuliaan.
Diantara murid-murid Ibn Hanbal adalah Ibn Taimiyah, Hasan Bin Musa, Al-
Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Abu Zuhrah Ad-Damasyiqi, Abu Zuhrah Ar-Razi, Ibn
Abi Ad-Dunia, Abu Bakar Al-Asram, Hanbal bin Ishaq ASy-Syaibani, Shaleh, dan
Abdullahh. Kedua orang yang disebutkan terakhir adalah putra Ibn Hanbal.
Bukunya yang paling utama ialah al-Musnad yang membuktikan keluasan
pengetahuan dan penguasaannya atas ilmu-ilmu agama Islam. Buku tersebut terdiri
atas tiga piluh ribu hdis yang disandarkan kepada lebih dari tujuh ratus orang sahabat,
diseleksi oleh Ahmad Bin Hanbal dari tujuh ribu ratus hadis. Buku ini dan buku
lainnya telah membantu menempatkan hadis pada tempat yang proposional, sebagai
salah satu sumber Fikih Islam. [5]

2. Pemikiran Teori Ibn Hanbal


a. Tentang ayat-ayat Mutasyabihat
Dalam memahami ayat-ayat Al-Quran, Ibn Hanbal lebih suka menerapkan
pendekatan lafdzy (tekstual) dari pada pendekatan Ta’wil, terutama yang berkaitan
dengan sifat-sifat Tuhan dan ayat-ayat Mutsyabihat. Hal itu terbukti ketika ia ditanya
tentang penafsiran ayat:
Artinya: “ (yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam diatas
Arsy.”(Q.S. Thaha [20]:5)
Dalam hal ini, Ibn Hanbal menjawab:

ِ ‫صفَ ٍة يُ ْبلِ ُغهَا َو‬


ٌ ‫اص‬
‫ف‬ ِ ْ‫إِ ْستَ َوى َعلَى ْال َعر‬
ِ َ‫ش َك ْيفَ َشآ َء َو َك َما َشآ َء بِالَ َح ٍّد َوال‬
Artinya: “istawa diatas Arasy terserah pada Allah dan bagaimana saja Dia khendaki
dengan tiada batas dan tiada seorang pun yang sanggup menyifatinya.”.

Dan ketika ditanya tentang makna Hadits nuzul (Tuhan turun ke langit
dunia), ru’yah (orang-orang beriman melihat Tuhan di akhirat), dan Hadits tentang
telapak kaki TUhan, Ibn Hanbal menjawab:
Artinya: “ kita mengimani dan membenarkannya, tanpa mencari penjelasan cara
dan maknanya.”
Dari pernyataan diatas, tampak bahwa Ibn Hanbal bersikap
menyerahkan (Tafwid) makna-makna ayat dan Hadits mutasyabihat kepada Allah dan
Rasul-Nya, dan mensucikan-Nya dari keserupaan dengan makhluk. Ia sama sekali
tidak menakwilkan pengertian lahirnya
a. Tentang Status Al-Quran
Salah satu persoalan teologis yang dihadapi Ibn Hanbal, yang kemudian membuatnya
dipenjara beberapa kali, adalah tentag status Al-Quran, apakah
diciptakan (makhluk) yang karenanya hadis (baru) ataukah tidak dicipakan yang
karenanya Qadim? Faham yang diakui oleh pemerintah, yakni Dinasti Abbasiyah di
bawah kepemimpinan Khalifah Al-Ma’mun, Al-Mu’tasim, dan Al-Wtsiq, adalah faham
Mu’tazilah, yakni Al-Qur’an tidak bersifat Qadim, tetapi baru dan diciptakan. Faham
adanya Qadim disamping Tuhan, berarti menduakan Tuhan, sedangkan menduakan
Tuhan adalah Syirik dan dosa besar yang tidak diampuni Tuhan
Ibn Hanbal tidak sependapat dengan faham tersebut diatas. Oleh karena itu, ia kemudian
diuji dalam kasus Mihnah oleh aparat pemerintah. Pandangannya tentang status Al-
Quran dapat dilihat dari dialognya dengan Ishaq bin Ibrahim, Gubrernur Irak: [6]  
Ishaq bertanya :  Bagaimana pendapatmu tentang Al-Qur’an?
Ahmad bin Hambal :  Ia adalah kalam Allah.
Ishaq                         :  Apakah ia makhluk?
Ahmad                     :  Ia adalah kalam Allah, aku tidak menambahnya lebih dari itu.
Ishaq                         : Apakah arti bahwa Allah itu Maha Mendengar dan Maha Melihat?
Ahmad                     : Itu seperti apa yang Dia sifatkan kepada diri-Nya.
Ishaq                          : Apakah maksudnya?
Ahmad : Aku tidak tahu, Dia seperti apa yang Dia sifatkan kepada  diri- Nya.
[7]
Ibn Hanbal, berdasarkan dialog diatas, tidak mau membahas lebih lanjut tentang
status Al-Qur’an. Ia hanya mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak diciptakan. Hal ini
sejalan dengan pola pikirnya yang menyerahkan ayat-ayat yang berhubungan dengan
sifat Allah kepada Allah dan Rasul-Nya. [8]
Bagi Ahmad bin Hanbal, iman adalah perkataan dan perbuatan yang dapat
berkurang dan bertambah, dengan kata lain iman itu meliputi perkataan dan perbuatan,
iman bertambah dengan melakukan perbuatan yang baik dan akan berkurang bila
mengerjakan kemakiatan.[9]

C.    RIWAYAT HIDUP DAN PEMIKIRAN IBN TAIMIYAH


1.  Riwayat singkat Ibn Taimiyah
Nama lengkapnya Ahmad Taqiyudin Abu Abbas bin Syihabuddin Abdul Mahasin
Abdul Halim bin Abdissalam bin Abdillah bin Abi Qasim Al Khadar bin Muhammad
bin Al-Khadar bin Ali bin Abdillah. Nama Taimiyah dinisbatkan kepadanya karena
moyangnya yang bernama Muhammad bin Al-Khadar melakukan perjalanan haji
melalui jalan Taimah’
Sekembalinya dari haji, ia mendapati isterinya melahirkan seorang anak wanita
yang kemudian diberi nama Taimiyah. Sejak saat itu keturunannya dinamai Ibnu
Taimiyyah sebagai peringatan perjalanan haji moyangnya itu.[10]
Ibnu Taimiyah dilahirkan di Harran pada hari senin tanggal 10 Rabi’ul Awwal
tahun 661 H dan meninggal di penjara pada malam senin tanggal 20 Dzul Qa’dah tahun
729 H. kewafatannya telah menggetarkan dada seluruh penduduk Damaskus, Syam, dan
Mesir, serta kaum muslimin pada umumnya. Ayahnya bernama Syihabuddin Abu
Ahmad Abdul Halim Bin Abdussalam Ibn Abdullah bin Taimiyah, seorang Syaikh,
Khatib dan Hakim di kotanya. Dikatan oleh Ibrahim Madkur bahwa Ibn Taimiyah
merupakan tokoh salaf yang ekstrim karena kurang memberikan ruang gerak pada akal.
Ia adalah murid yang muttaqi, wara, dan zuhud serta seorang panglima dan penetang
bangsa Tartas yang pemberani. Ia dikenal sebagai seorang muhaddits mufassir (Ahli
tafsir Al-Quran berdasarkan hadits), faqih, teolog, bahkan memiliki pengetahuan yang
luas tentang filsafat. Ia telah mengkritik Khalifah Umar dan Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Ia juga menyerang Al-Ghazali dan Ibn Arabi. Kritiknya ditunjukan pula kepada
kelompok-kelompok agama sehingga membangkitkan kemarahan para ulama
sezamannya. Berulang kali Ibn Taimiyah masuk ke penjara hanya karena bersengketa
dengan para ulama sezamannya.
Ibn taimiyah terkenal sangat cerdas sehingga pada usia 17 tahun ia telah dipercaya
masyarakat untuk memebrikan pandangan-pandangan mengenai masalah hukum secara
resmi. Para ulama merasa sangat risau oleh serangan-serangannya serta iri hati terhadap
kedudukannya di istana gubernur damaskus, telah menjadikan pemikiran-pemikiran ibn
taimiyah sebagai landasan untuk menyerangnya. Dikatakan oleh lawan-lawannya bahwa
pemikiran Ibn Taimiyah sebagai klenik, antropomorpisme sehingga pada awal 1306 M
ibn taimiyah dipanggil ke Kairo kemudian dipenjara.
Masa hidup Ibn Taimiyah bebarengan dengan kondisi dunia Islam yang sedang
mengalami disintegrasi, dislokasi sosial, dan dekadensi moral dan akhlak. Kelahirannya
terjadi lima tahun setelah Baghdad dihancurkan pasukan Mongol, Hulagu Khan. Oleh
sebab itu, dalam upayanya mempersatukan umat islam, mengalami banyakan tantangan,
bahkan ia harus wafat di dalam penjara. [11]

2. Pemikiran Teologi Ibnu Taimiyah


Pemikiran Ibnu Taimiyah seperti dikatakan Ibrahim Madzkur, adalah sebagai
berikut:
a. Sangat berpegang teguh pada nash (Al-Quran dan Al-Hadits)
b. Tidak memberikan ruang gerak kepada akal
c. Berpendapat bahwa Al-Quran mengandung semua ilmu agama
d. Di dalam Islam yang diteladani hanya tiga generasi saja (sahabat, tabi’in dan
tabi’it tabi’in)
e. Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap
mentanzihkan-Nya.[12]
Ibnu Taimiyah mengkritik Imam Hanbali yang mengatakan bahwa kalamullah
itu  qadim, menurut Ibnu Taimiyah jika kalamullah qadim maka kalamnya juga qadim.
Ibnu Taimiyah adalah seorang tekstualis oleh sebab itu pandangannya oleh Al-Khatib
Al-Jauzi sebagai pandangan tajsim Allah (antropomorpisme) yakni menyerupakan Allah
dengan makhluk-Nya. Oleh karena itu, Al-Jauzi berpendapat baha pengakuan Ibn
Taimiyah sebagai Salaf perlu ditinjau Kembali.
Berikut ini merupakan pandangan Ibnu Taimiyah tentang sifat-sifat Allah:
a. Percaya sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang disampaikan oleh Allah sendiri
atau oleh Rasul-Nya. Sifat-sifat dimaksud adalah:
1) Sifat Salabiyyah, yaitu qidam, baqa, mukhalafatul lil hawaditsi, qiyamuhu
binafsihi dan wahdaniyyat.
2) Sifat Ma’ani, yaitu : qudrah, iradah, ilmu, hayat, sama’, bashar dan kalam.
3) Sifat khabariah (sifat yang diterangkan Al-Quran dan Al-Hadits walaupun akal
bertanya-tanya tentang maknanya), seperti keterangan yang menyatakan bahwa
Allah ada di langit; Allah di Arasy; Allah turun ke langit dunia; Allah dilihat oleh
orang yang beriman di surga kelak; wajah, tangan, dan mata Allah.
4) Sifat Idhafiah yaitu sifat Allah yang disandarkan (di-Idhafat-kan) kepada
makhluk seperti rabbul ‘alamin, khaliqul kaun dan lain-lain.

b. Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah dan Rasul-Nya sebutkan


seperti Al-Awwal, Al-Akhir dan lain-lain.
c. Menerima sepenuhnya sifat dan nama Allah tersebut dengan.
1) Tidak mengubah maknanya kepada makna yang tidak dikehendaki lafad (min
ghoiri tashrif/ tekstual
2) Tidak menghilangkan pengertian lafaz (min ghoiri ta’thil
3) Tidak mengingkarinya (min ghoiri ilhad
4) Tidak menggambar-gambarkan bentuk Tuhan, baik dalam pikiran atau hati,
apalagi dengan indera (min ghairi takyif at-takyif
5) Tidak menyerupakan (apalagi mempersamakan) sifat-sifat-Nya dengan sifat
makhluk-Nya (min ghairi tamtsili rabb ‘alal ‘alamin).[13]

Berdasarkan alasan diatas, Ibn Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat-


ayat Mutasyabihat. Menututnya, ayat atau hadits yang menyangkut sifat-sifat Allah
harus diterima dan diartikan sebagaimana adanya, dengan catatan tidak men-tajsim-kan,
tidak menyerupakan-Nya dengan Makhluk., dan tidak bertanya-tanya tentangnya.
Ibnu Taimiyah mengakui tiga hal dalam masalah keterpaksaan dan iktiar manusia,
yaitu:
1) Allah pencipta segala sesuatu;
2) Manusia adalah pelaku perbuatan yang sebenarnya dan mempunyai kemauan serta
kehendak secara sempurna, sehingga manusia bertanggung jawab atas
perbuatannya.[14]
3) Allah meridhai pebuatan baik dan tidak meridlai perbuatan buruk.
Dikatakan oleh Watt bahwa pemikiran Ibn Taimiyah mencapai klimaksnya dalam
sosiologi politik yang mempunyai dasar teologi. Masalah pokoknya terletak pada upayanya
membedakan manusia dengan Tuhan yang mutlak. Oleh sebab itu masalah Tuhan tidak
dapat diperoleh dengan metode rasional, baik metode filsafat maupun teologi. Begitu juga
keinginan mistis manusia untuk menyatu dengan Tuhan adalah suatu hal yang mustahil. 15]
Menurut suatu sumber, bahwa Ibnu taimiyah memiliki karangan lebih dari 300
kitab, meliputi masalah tafsir, fiqh, retorika (jadal), fatwa- fatwa yang merupakan
kumpulan jawaban atas pertanyaan masyarakat. Dia juga melakukan kritikan pedas
terhadap berbagai masalah, terutama tentang tasawuf, filsafat, ziarah kubur, tawassul, dan
sebagainya.
Diantara karangan-karangannya, antara lain:
a) Muwafaqah Sharih al-Ma’qul li Shahih al-Manqul
b) Al-jawab al-Shahih Liman Baddala Dina al- Masih
c) Al-Rasail Wa al-Masail
d) Al-Iman
e) Al-Istiqamah
f) Kitab al-Tauhid
g) Naqd al-Mantiq [16]
Menurut Ibn Taimiyah, umat Islam hanya satu umat; tidak ada umat lain. Umat
ialah sebuah wadah anggota yang memiliki tujuan yang telah ditetapkan oleh Al-Quran dan
Hadits, yaitu mewujudkan kehendak Allah swt. Anggota umat Islam harus bekerja sama
dengan yang lainnya untuk melakukan kebaikan dan menjauhi kejahatan. Mereka harus
menjadikan kerja sama sebagai dasar bagi perbuatan yang dilakukan bersama-sama.[17]

DAFTAR PUSTAKA
Abbad Sirajudin, I’tiqad Ahlussunah Wal-jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyyah.
Amin Husayn Ahmad, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya. 2000.
Nasir Sahilun. Pemikiran Kalam (Teology Islam ), Jakarta: Rajawali Pers. 2010.
Fauzi Ahmad, Ilmu Kalam (sebuah pengantar), Cirebon: STAIN Press.
Hanafi, Pengantar Theology Islam, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995.
Rozak Abdul, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2011.
Mustopa, Mazhab-Mazhab Ilmu Kalam, Cirebon: Nurjati IAIN _publisher, 2011.

Anda mungkin juga menyukai