SALAF
Dan ketika ditanya tentang makna Hadits nuzul (Tuhan turun ke langit
dunia), ru’yah (orang-orang beriman melihat Tuhan di akhirat), dan Hadits tentang
telapak kaki TUhan, Ibn Hanbal menjawab:
Artinya: “ kita mengimani dan membenarkannya, tanpa mencari penjelasan cara
dan maknanya.”
Dari pernyataan diatas, tampak bahwa Ibn Hanbal bersikap
menyerahkan (Tafwid) makna-makna ayat dan Hadits mutasyabihat kepada Allah dan
Rasul-Nya, dan mensucikan-Nya dari keserupaan dengan makhluk. Ia sama sekali
tidak menakwilkan pengertian lahirnya
a. Tentang Status Al-Quran
Salah satu persoalan teologis yang dihadapi Ibn Hanbal, yang kemudian membuatnya
dipenjara beberapa kali, adalah tentag status Al-Quran, apakah
diciptakan (makhluk) yang karenanya hadis (baru) ataukah tidak dicipakan yang
karenanya Qadim? Faham yang diakui oleh pemerintah, yakni Dinasti Abbasiyah di
bawah kepemimpinan Khalifah Al-Ma’mun, Al-Mu’tasim, dan Al-Wtsiq, adalah faham
Mu’tazilah, yakni Al-Qur’an tidak bersifat Qadim, tetapi baru dan diciptakan. Faham
adanya Qadim disamping Tuhan, berarti menduakan Tuhan, sedangkan menduakan
Tuhan adalah Syirik dan dosa besar yang tidak diampuni Tuhan
Ibn Hanbal tidak sependapat dengan faham tersebut diatas. Oleh karena itu, ia kemudian
diuji dalam kasus Mihnah oleh aparat pemerintah. Pandangannya tentang status Al-
Quran dapat dilihat dari dialognya dengan Ishaq bin Ibrahim, Gubrernur Irak: [6]
Ishaq bertanya : Bagaimana pendapatmu tentang Al-Qur’an?
Ahmad bin Hambal : Ia adalah kalam Allah.
Ishaq : Apakah ia makhluk?
Ahmad : Ia adalah kalam Allah, aku tidak menambahnya lebih dari itu.
Ishaq : Apakah arti bahwa Allah itu Maha Mendengar dan Maha Melihat?
Ahmad : Itu seperti apa yang Dia sifatkan kepada diri-Nya.
Ishaq : Apakah maksudnya?
Ahmad : Aku tidak tahu, Dia seperti apa yang Dia sifatkan kepada diri- Nya.
[7]
Ibn Hanbal, berdasarkan dialog diatas, tidak mau membahas lebih lanjut tentang
status Al-Qur’an. Ia hanya mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak diciptakan. Hal ini
sejalan dengan pola pikirnya yang menyerahkan ayat-ayat yang berhubungan dengan
sifat Allah kepada Allah dan Rasul-Nya. [8]
Bagi Ahmad bin Hanbal, iman adalah perkataan dan perbuatan yang dapat
berkurang dan bertambah, dengan kata lain iman itu meliputi perkataan dan perbuatan,
iman bertambah dengan melakukan perbuatan yang baik dan akan berkurang bila
mengerjakan kemakiatan.[9]
DAFTAR PUSTAKA
Abbad Sirajudin, I’tiqad Ahlussunah Wal-jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyyah.
Amin Husayn Ahmad, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya. 2000.
Nasir Sahilun. Pemikiran Kalam (Teology Islam ), Jakarta: Rajawali Pers. 2010.
Fauzi Ahmad, Ilmu Kalam (sebuah pengantar), Cirebon: STAIN Press.
Hanafi, Pengantar Theology Islam, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995.
Rozak Abdul, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2011.
Mustopa, Mazhab-Mazhab Ilmu Kalam, Cirebon: Nurjati IAIN _publisher, 2011.