10
pada ajaran salaf (yang terdahulu).6 Keluarga yang cukup religius
dan cinta ilmu tersebut merupakan madrasah tersendiri bagi
pembentukan kultur intelektual Ibnu Taimiyah selanjutnya. Pada
mulanya keluarga ini bermukim di Harran, terletak di lembah
Mesopotamia Utara, sekarang Irak. Karena tekanan dari tentara
Mongol yang datang dari Cina kemudian menjarah dan menduduki
daerah itu, menyebabkan keluarga ini hijrah ke Damascus, ibu kota
Suriah pada pertengahan tahun 1260 M, sedangkan usia Ibnu
Taimiyah 5 tahun saat itu.7
Pendidikan Ibnu Taimiyah dimulai dengan belajar Al-Qur’an dan
hadis pada ayahnya sendiri. Kemudian ia memasuki sekolah di
Damascus dan mendalami berbagai ilmu keislaman. Kecerdasan
dan kejeniusannya sudah terlihat sejak kecil. Dalam usia 10 tahun,
ia telah mempelajari kitab-kitab hadis mu‘tabar (rujukan) seperti
kitab Musnad Aḥmad (kitab yang menghimpun hadis-hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal), al-Kutub al-Sittah
(Enam Kitab Hadis), Mu‘jam al-Thabarī (kamus yang disusun al-
Thabarī). Selain itu, ia juga mengajar khat (menulis indah), ilmu
hitung, menghapal Al-Qur’an, dan mendalami bahasa Arab dari
Ibnu Abdul Qawī. Sebagian dari ilmu itu dapat dikuasainya dengan
baik sehingga mengundang kekaguman penduduk Damascus. Ia
juga tertarik untuk mendalami ilmu kalam dan filsafat, kemudian
menjadi ahli di kedua bidang keilmuan tersebut. Karena
ketekunannya, ia berhasil menyelesaikan seluruh pendidikannya
pada usia dua puluh tahun. Setahun kemudian ia diangkat menjadi
guru besar hukum Mazhab Hanbali menggantikan posisi ayahnya
yang wafat.8
Ada beberapa hal menarik yang dapat dicermati dari riwayat
pendidikan Ibnu Taimiyah: Pertama, sejak kecil ia telah menjadi
murid ayahnya secara langsung. Selain itu, dapat diduga bahwa
proses tatap muka dilaksanakan setiap saat dalam waktu yang
6
Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, vol. 2, cet. 11 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru
van Hoeve, 2003), h. 168-169.
7
Ibid., h. 169.
8
Ibid.
11
cukup luas. Hal ini merupakan sarana yang amat mudah dalam
pelaksanaan transfer of knowledge (penyampaian ilmu) dari
seorang guru kepada muridnya. Kedua, ayah Ibnu Taimiyah adalah
seorang ulama. Predikat tersebut tentu saja berpengaruh dalam
pembentukan moralitas dan intelektualitasnya. Ketiga, Selain
karena stimulasi dari luar dirinya, Ibnu Taimiyah juga merupakan
sosok yang cukup cerdas dengan kemampuan di atas kebanyakan
anak di masanya. Hal itu menjadikan dirinya sebagai sosok yang
mudah menyerap berbagai disiplin ilmu bahkan ia menjadi ahli di
bidangnya.
Ibnu Taimiyah tumbuh dan berkembang menjadi seorang ulama
terkemuka yang berpandangan luas, berpikiran rasional dan
filosofis. Ia dikenal sebagai ahli hadis, ahli kalam, ahli fikih, ahli
tafsir, ahli filsafat dan ahli tasawuf. Keulamaannya meliputi berbagai
bidang ilmu. Hal itu menyebabkan ia diberi predikat sebagai Syaikh
al-Islam (tokoh Islam). Pada usia yang relatif masih muda, Ibnu
Taimiyah sudah diakui kapasitasnya sebagai ulama besar sehingga
dapat menandingi keilmuan banyak ulama besar di zamannya.9
Bahkan Hamid Naseem Rafiabadi dalam bukunya Saints and
Saviours of Islam mendeskripsikan sosok Ibnu Taimiyah sebagai
ulama besar yang pernah ada sepanjang masa.10 Selanjutnya al-
Hafiz al-Dzahabi sebagaīmāna dikutip oleh Rafiabadi menyebut
Ibnu Taimiyah sebagai “ensiklopedi berjalan”.11 Tentunya,
statement itu ditujukan untuk memperkuat posisi Ibnu Taimiyah
sebagai seorang pakar yang diakui semua orang.
Ibnu Taimiyah juga dikenal sebagai penulis prolific (penulis yang
melahirkan banyak karya). Keahliannya dalam ranah tulisan telah
ditekuninya sejak usia dua puluh tahun. Karya-karya tulisnya
banyak yang bernada kritik terhadap berbagai pendapat dan paham
yang tidak sejalan dengan pemikiran-pemikirannya, karena
menurutnya hal itu bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadis.
9
Ibid.
10
Hamid Naseem Rafiabadi, Saints and Saviours of Islam (New Delhi: Sarup and Sons, 2005), h. 33.
11
Ibid., h. 34.
12
Secara garis besar, karya-karya Ibnu Taimiyah ditujukan untuk
memberi komentar dan kritik terhadap pendapat-pendapat para
ulama semasanya maupun para ulama pendahulunya. Dijelaskan
dalam Ensiklopedi Islam bahwa karya-karya Ibnu Taimiyah
mencapai 500 jilid. Di antara karya-karyanya yang terkenal adalah:
13
Waḥdah al-Wujūd, Hulūliyat, Dahriah, Mujassimah, Rawandiyah,
Musybihah, Mu’attilah, Salimiyah dan Kalābiyah, tetapi juga aliran-
aliran moderat seperti: Muktazilah, Asy’ariyah, dan para pemikir
Islam besar seperti: al-Ghazali, Ibnu Arabi, Ibnu Sina dan Ibnu
Rusyd.12 Perlu juga dipahami bahwa kultur kritik dalam dunia
akademik adalah persoalan yang wajar, selain kultur itu merupakan
indikasi bahwa sebuah pemikiran berkembang. Selama mengkritik
dan dikritik itu berada dalam dunia keilmuan maka ia akan bersifat
relatif. Dengan kata lain, sebuah pendapat dianggap baik oleh satu
paham atau seorang tokoh namun belum tentu diterima oleh aliran
maupun tokoh lain. Karenanya sikap toleran dalam konteks
pemikiran perlu menjadi etika utama. Demikian paradigma yang
dapat dipakai untuk mencermati sikap kritis Ibnu Taimiyah.
Lisan dan pena Ibnu Taimiyah amat tajam sehingga banyak orang
yang merasa tersinggung. Kedengkian pun muncul dari para qadhī
(hakim) dan fuqahā’ (para ahli fikih). Hanya karena kedengkian dan
tanpa alasan yang jelas, akhirnya Ibnu Taimiyah dijebloskan ke
dalam penjara. Kemudian Ibnu Taimiyah dibebaskan dan dikirim ke
Iskandariyah (Mesir) dan tinggal di sana. Namun fitnah terhadap
dirinya tidak pernah berhenti. Di kota ini ia kembali dipenjara
bersama para pendukung pemikirannya, juga karena alasan yang
tidak jelas.13
12
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Op. Cit., h. 169.
13
Lihat Ahzami Samiun Jazuli, Hijrah dalam Pandangan Al-Qur’an, terj. Eko Yulianti (Jakarta: Gema
Insani Press,2006), h. 342-344.
14
bersama dengan Allāh. Jika mereka mengusirku dari tanah airku,
maka kepergianku adalah sebuah wisata. Jika mereka
membunuhku, sesungguhnya kematianku di jalan Allāh.
Sesungguhnya di dalam hatiku ada Kitabullah dan sunnah Rasūl-
Nya.14
Suatu hari, seluruh alat dan karya tulis Ibnu Taimiyah disita. Ia
dilarang menulis buku dan menelaahnya lagi. Buku-buku Ibnu
Taimiyah dilarang beredar karena dianggap melawan arus
pemahaman umat saat itu. Inilah yang membuah ulama besar
tersebut bersedih. Padahal, menulis adalah sebuah aktivitas yang
demikian menyatu dalam dirinya. Hanya saja, kondisi ini tidak
berlangsung lama, karena pada suatu malam ruhnya yang suci
kembali kepada pemiliknya. Tokoh pembaruan itu wafat dalam
penjara sebagaīmāna diinginkan oleh para qadhi> dan fuqaha>
yang membenci dirinya. Kepergian Ibnu Taimiyah menimbulkan
luka mendalam bagi para pengikutnya. Ia tidak pernah menikmati
keindahan kecuali setelah ruhnya berpisah dari jasad. 15
14
Ibid.
15
Ibid., 344-345.
15
dalam penjara. Penangkapan terakhir terjadi ketika pendapat-
pendapatnya yang mengatakan bahwa ziarah ke kubur nabi-nabi
dan orang-orang saleh tidak wajib. Bahkan, tidak dibenarkan oleh
agama, makanya ia dipenjara di Damsyik dan di sinilah ia wafat
pada tahun 728H/1328M dan meninggalkan karangan-karangannya
lebih dari 300 buah. Kebanyakan mengenai tafsīr, fiqih, jadal
(argumentasi dialektis), termasuk juga jawaban pertanyaan, fatwa-
fatwa, serangan dan sanggahan terhadap aliran tasawuf dan
filsafat.
16
Sudarno Shobrun, dkk. Studi Kemuhammadiyahan : Kajian Historis, Ideologis, dan Organisasi
(Surakarta: LPID, 2010), hal. 7-8.
17
A. Hanafi, Pengantar Theology Islam (Jakarta: Djajamurni, t.th), hal. 133.
16
Di dalam berijtihad tidak terikat pada madzhab atau imām.
Pendapat siapa saja yang lebih tepat dan kuat argumennya,
maka itulah yang diambil. Pengambilan pendapat dan argumen
itu bukan didasarkan atas kemauan nafsu saja. Semua pendapat
harus mempunyai alasan yang dapat dipertanggung jawabkan.
Dalam bidang hukum, ia menawarkan suatu metode baru. Ia
tidak mendasarkan keputusan hukum pada ‘illat, tetapi
berdasarkan hikmah. Penerapan hukum Islam hendaknya
mempertimbangkan aspek-aspek hikmah dalam keputusan
hukum tersebut.18
Kembali ke Ajaran Salaf.
Sumber dari segala kebenaran agama itu adalah Al-Qur’an dan
sunnah yang ditafsirkan oleh para sahabat atau tabi’un. Sunnah
secara tegas mengakui keunggulan para shaḥabat dan tābi’ūn
ini. Oleh karena itu, otoritas mereka dalam masalah-masalah
pokok keagamaan tidak akan pernah dapat disamai atau
diragukan dan keputusan mereka seperti diungkapkan dalam
ijma’ secara keseluruhan tidak mungkin keliru.19
18
Sudarno Shobrun, dkk. Studi Kemuhammadiyahan : Kajian Historis, Ideologis, dan Organisasi
(Surakarta: LPID, 2010), hal. 7-8.
19
A. Hanafi, Pengantar Theology Islam (Jakarta: Djajamurni, t.th), hal. 133.
17
Qur’an dengan satu cara yang berbeda dengan satu-satunya
interpretasi yang berwenang, yakni interpretasi orang-orang salaf.
18
Sulaimān Ibn ‘Alī, termasuk salah seorang ulama terkenal. Ia
menulis kitab tentang manasik haji yang sering menjadi rujukan
para pengikut mazhab Hanbali. Pamannya, Ibrāhīm Ibn Sulaimān
juga seorang ulama yang disegani masa itu.20 Dari silsilah
keluarganya, terlihat jelas bahwa mata rantai ulama menjadi salah
satu faktor dominan dalam pembentukan karir intelektual Ibn ‘Abd
al-Wahhāb. Ibn ‘Abd al-Wahhāb telah menghabiskan waktunya
selama 48 tahun lebih di Dar’iyah. Keseluruhan hidupnya diisi
dengan kegiatan menulis, mengajar, berdakwah dan berjihad. Ibn
‘Abd al-Wahhāb berdakwah sampai usia 92 tahun. Ia wafat pada
1793 M. dalam usia 92 tahun. Jenazahnya dikebumikan di Dar’iyah
(Nejd).
20
Lihat Yunahar Ilyas, “Manhaj Fiqh Syeikh Muhammad Ibn Abdul Wahhab”, dalam Achmad Jainuri et.
all., Muhammadiyah dan Wahabisme: Mengurai Titik Temu dan Titik Seteru (Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 2012), h. 39.
21
Ibid., 39-40.
19
kembali lagi ke Basrah, Madinah kemudian kembali ke Nejd. Saat
berada di Madinah, Ibn ‘Abd al-Wahhāb banyak belajar dari para
ulama di Masjid Nabawi, termasuk dua orang ulama yang cukup
mempengaruhi pemikirannya yaitu: ‘Abdullah Ibn Saif dan
Muḥammad Ḥayyah al-Sanadi. Ibn Saif adalah seorang ahli fikih
Hanbali dan juga ahli hadis. Melalui Ibn Saif, Ibn ‘Abd al-Wahhāb
banyak bersentuhan dengan pemikiran Ibn Taimiyah. Sedangkan
Muḥammad Ḥayyah al-Sanadi adalah sosok yang alim dalam hadis
dan ilmu hadis (‘ulūm al hadīts).22
Salah satu karya besar Ibn ‘Abd al-Wahhāb adalah Kitāb al-Tawḥīd.
Selain itu, ia juga menulis buku-buku dalam bidang tafsīr, hadis,
fikih, dan sejarah hidup nabi (sīrah nabawiyyah).23 Dalam Kitāb al-
Tawḥīd diuraikan butir-butir Al-Qur’an dan hadis mengenai tawḥīd.
Pandangan tawḥīd. Ibn ‘Abd al-Wahhāb bernuansa teosentris.
Uraian dalam kitab ini bersifat praktis seperti ta’rīf tentang tawḥīd.,
sikap bertawḥīd. kepada Allāh, menjauhi dosa, menjauhi syirik,
hukum gambar, soal tabarruk atau mencari berkah dari pepohonan
dan bebatuan atau sejenisnya, menyembelih atas nama selain
Allāh, mencari perlindungan kepada selain Allāh, syafa’at, ziarah
kubur, dan sikap berlebihan atas kubur orang-orang yang dianggap
shālih, soal sihir, tathayyar atau khurāfat dan nujūm, soal riyā’,
taḥkīm, ikhtilāf dalam tafsīr, janji Allāh, takdir dan penjelasan
mengenai ayat Al-Qur’an dan hadis yang bertautan dengan aspek-
aspek tawḥīd. serta kaitannya dengan syirik, bid’ah, dan khurāfat.
Karena banyak yang bersifat praktis ringkas dan ad-hoc, maka
dapat dipahami mengapa pandangan tentang tawḥīd. dan anti TBC
(takhayyul, bid’ah,khurāfat) begitu kental dalam pandangan Ibn
‘Abd al-Wahhāb dan terkadang diikuti secara berlebihan oleh para
pengikutnya menjadi dalil-dalil baku yang rigid dan tidak jarang
keras. Watak keras Ibn ‘Abd al-Wahhāb misalnya soal hukum
gambar, bahwa jika manusia membuat gambar berarti
22
Ibid.
23
Ibid., h. 37-38.
20
menyekutukan Allāh, karena dia menciptakan sesuatu yang sama
dengan sifat Allāh sebagai Maha Pencipta.24
24
Lihat Haedar Nashir, “Anatomi Gerakan Wahhabiyyah”, dalam Achmad Jainuri, Ibid., h. 14-15.
25
Ibid., h. 15-16.
21
II kerajaan Usmani dengan perintahnya kepada Khedevi
Muhammad Ali gubernur Usmani di Mesir.
26
Sudarno Shobrun, dkk. Studi Kemuhammadiyahan : Kajian Historis, Ideologis, dan Organisasi
(Surakarta: LPID, 2010), hal. 9.
27
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan
Bintang, 1975), hal. 23.
22
‘Umūr al-Bid’ah (persoalan Bid’ah).
Tawashshul adalah perbuatan yang salah. Menurutnya,
ibadah adalah cara manusia berhubungan dengan Tuhan.
Usaha mencari perlindungan atau perantara kepasda batu,
pohon, dan sejenisnya merupakan perbuatan syirik.28
Berkumpul bersama-sama dalam maulidan.
Wanita yang mengiringi jenazah.
Mengadakan ḥalaqah zikir dengan menghitung batu tasbih.
Selayaknya cukup dengan menghitung keratan tangan.
Laki-laki memakai emas dan sutra.
Merokok dan minum kopi adalah haram.
Sumber-sumber syariah Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah.
Menurutnya, Al-Qur’an adalah firman Allāh yang tercipta yang
diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat
Jibril yang merupakan sumber paling penting bagi syariah. 29
Menurutnya yang termasuk bid’ah adalah bergambar (photo) dan
lakik-laki memakai cincin emas. 30
Wahhāb menyatakan pentingnya negara dalam memberlakukan
syari’ah dalam masyarakat yang otoritas tertinggi ada di tangan
khalifah atau imam yang harus bertindak atas dasar saran ulama
dan komunitasnya.31 Untuk itu, Wahhab bekerja sama dengan
Raja Ibnu Sa’ud untuk menegakkan pahamnya di tanah Arab.
3. Latihan
Buatlah video sejarah salah satu tokoh Pembaharu Ibnu Taimiyah dan
Muhammad bin Abd Wahhab !
4. Evaluasi
a. Jelaskan pokok-pokok Pembaharuan Ibnu Taimiyah !
28
Sudarno Shobrun, dkk. Studi Kemuhammadiyahan : Kajian Historis, Ideologis, dan Organisasi (Surakarta:
LPID, 2010), hal. 10.
29
Sudarno Shobrun, dkk. Studi Kemuhammadiyahan : Kajian Historis, Ideologis, dan Organisasi
(Surakarta: LPID, 2010), hal. 11
30
A. Hanafi, Pengantar Theology Islam (Jakarta: Djajamurni, t.th), hal. 142.
31
Sudarno Shobrun, dkk. Studi Kemuhammadiyahan : Kajian Historis, Ideologis, dan Organisasi
(Surakarta: LPID, 2010), hal. 12.
23
b. Jelaskan pokok-pokok Pembaharuan Muhammad bin Abd Wahhab !
5. Kunci Jawaban
a. Nama Taqiyuddīn ibnu Taimiyah yang dilahirkan di Harran (Irak) 661 dan
wafat tahun 728 H (1263-1328 M).
b. Pokok Pembaharuannya adalah:
1) Sebagian besar aktivitasnya diarahkan untuk memurnikan paham
tauhid dengan menentang segala bentuk bid’ah, takhayyul, dan
khurāfat.
2) Dia menggalakkan umat Islam agar bergairah kembali menggali
ajaran-ajaran Al-Qur’an dan hadits, serta mendorong mereka
melakukan ijtihad dalam menafsirkan ajaran-ajaran Islam.
3) Oleh karena itu, umat harus kembali kepada Al-Qur’an dan hadits
yang diperlukan ijtihad di dalamnya, maka taklid harus ditinggalkan.
4) Di dalam berijtihad tidak terikat pada madzhab atau imām. Pendapat
siapa saja yang lebih tepat dan kuat argumennya, maka itulah yang
diambil.
5) Dalam bidang hukum, ia menawarkan suatu metode baru. Ia tidak
mendasarkan keputusan hukum pada ‘illat, tetapi berdasarkan
hikmah.
6) Kembali ke Ajaran Salaf.
7) Sanggahan terhadap filosof.
c. Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb di lahirkan tahun 1703 – 1787 M di
Uyainah Saudi Arabia bagian Timur.
d. Pokok Pembaharuannya adalah:
1) Pembaharuan Islam yang paling utama disandarkan pada persoalan
tauhid.
2) Tawashshul adalah perbuatan yang salah.
3) Sumber-sumber syariah Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah.
4) ‘Abd Wahhāb menyatakan pentingnya negara dalam memberlakukan
syari’ah dalam masyarakat yang otoritas tertinggi ada di tangan
khālifah atau imam yang harus bertindak atas dasar saran ulama dan
komunitasnya.
24