Anda di halaman 1dari 15

berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah al-Shaḥīḥah meliputi

bidang pendidikan, politik, sosial dan budaya.


b. Tajdīd bertujuan untuk mengfungsikan Islam sebagai hudan (Petunjuk),
furqān (Pembeda antara yang Haqq dan Bātil), dan raḥmatan lil ‘ālamin
(Rahmat bagi Sekalian Alam) termasuk mendasari dan membimbing
perkembangan kehidupan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Muhammadiyah memahami bahwa teknologi, alat percepatan untuk
mengantarnya pencapaian hasrat hidup manusia, tetapi juga harus
diwaspadai bahwa teknologi juga mempercepat kerusakan prilaku/moral
umat manusia.

B. Kegiatan Pembelajaran ke-2


1. Tujuan Pembelajaran
a. Mahasiswa mampu menjelaskan gerakan pembaharuan Islam pada
periode klasik masa Ibnu Taimiyah.
b. Mahasiswa mampu menjelaskan gerakan pembahruan Islam pada masa
Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb.
2. Materi Pembelajaran
a. Gerakan Pembaharuan Islam Priode Klasik
1) Ibnu Taimiyah.
a) Riwayat Hidup.
Nama lengkap Ibnu Taimiyah adalah Taqiyuddin Abū ‘Abbās
Aḥmad. Beliau dilahirkan di Harran, Turki, pada 10 Rabi’ul Awwal
661 H./ 22 Januari 1263 M. dan wafat di Damascus, Suriah, pada
20 Dzulqa’idah 728 H./ 27 September 1328 M. Ibnu Taimiyah
merupakan seorang pemikir Islam terkemuka dan tokoh pembaruan
abad ke-8 H./ ke-14 M. Ia berasal dari keluarga cendekiawan,
sebuah keluarga yang cinta terhadap ilmu. Ayahnya, Shihabuddīn
‘Abd al-Ḥalīm, adalah seorang ahli hadis dan ulama madzhab
Hanbali yang terkenal di Damaskus. Ia mengajar di berbagai
sekolah terkemuka di kota itu. Kakeknya, Syaikh Majuddin
‘Abdussalām, juga seorang ulama ternama. Mereka adalah para
tokoh terkemuka dalam Mazhab Hanbali dan cukup kuat berpegang

10
pada ajaran salaf (yang terdahulu).6 Keluarga yang cukup religius
dan cinta ilmu tersebut merupakan madrasah tersendiri bagi
pembentukan kultur intelektual Ibnu Taimiyah selanjutnya. Pada
mulanya keluarga ini bermukim di Harran, terletak di lembah
Mesopotamia Utara, sekarang Irak. Karena tekanan dari tentara
Mongol yang datang dari Cina kemudian menjarah dan menduduki
daerah itu, menyebabkan keluarga ini hijrah ke Damascus, ibu kota
Suriah pada pertengahan tahun 1260 M, sedangkan usia Ibnu
Taimiyah 5 tahun saat itu.7
Pendidikan Ibnu Taimiyah dimulai dengan belajar Al-Qur’an dan
hadis pada ayahnya sendiri. Kemudian ia memasuki sekolah di
Damascus dan mendalami berbagai ilmu keislaman. Kecerdasan
dan kejeniusannya sudah terlihat sejak kecil. Dalam usia 10 tahun,
ia telah mempelajari kitab-kitab hadis mu‘tabar (rujukan) seperti
kitab Musnad Aḥmad (kitab yang menghimpun hadis-hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal), al-Kutub al-Sittah
(Enam Kitab Hadis), Mu‘jam al-Thabarī (kamus yang disusun al-
Thabarī). Selain itu, ia juga mengajar khat (menulis indah), ilmu
hitung, menghapal Al-Qur’an, dan mendalami bahasa Arab dari
Ibnu Abdul Qawī. Sebagian dari ilmu itu dapat dikuasainya dengan
baik sehingga mengundang kekaguman penduduk Damascus. Ia
juga tertarik untuk mendalami ilmu kalam dan filsafat, kemudian
menjadi ahli di kedua bidang keilmuan tersebut. Karena
ketekunannya, ia berhasil menyelesaikan seluruh pendidikannya
pada usia dua puluh tahun. Setahun kemudian ia diangkat menjadi
guru besar hukum Mazhab Hanbali menggantikan posisi ayahnya
yang wafat.8
Ada beberapa hal menarik yang dapat dicermati dari riwayat
pendidikan Ibnu Taimiyah: Pertama, sejak kecil ia telah menjadi
murid ayahnya secara langsung. Selain itu, dapat diduga bahwa
proses tatap muka dilaksanakan setiap saat dalam waktu yang

6
Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, vol. 2, cet. 11 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru
van Hoeve, 2003), h. 168-169.
7
Ibid., h. 169.
8
Ibid.

11
cukup luas. Hal ini merupakan sarana yang amat mudah dalam
pelaksanaan transfer of knowledge (penyampaian ilmu) dari
seorang guru kepada muridnya. Kedua, ayah Ibnu Taimiyah adalah
seorang ulama. Predikat tersebut tentu saja berpengaruh dalam
pembentukan moralitas dan intelektualitasnya. Ketiga, Selain
karena stimulasi dari luar dirinya, Ibnu Taimiyah juga merupakan
sosok yang cukup cerdas dengan kemampuan di atas kebanyakan
anak di masanya. Hal itu menjadikan dirinya sebagai sosok yang
mudah menyerap berbagai disiplin ilmu bahkan ia menjadi ahli di
bidangnya.
Ibnu Taimiyah tumbuh dan berkembang menjadi seorang ulama
terkemuka yang berpandangan luas, berpikiran rasional dan
filosofis. Ia dikenal sebagai ahli hadis, ahli kalam, ahli fikih, ahli
tafsir, ahli filsafat dan ahli tasawuf. Keulamaannya meliputi berbagai
bidang ilmu. Hal itu menyebabkan ia diberi predikat sebagai Syaikh
al-Islam (tokoh Islam). Pada usia yang relatif masih muda, Ibnu
Taimiyah sudah diakui kapasitasnya sebagai ulama besar sehingga
dapat menandingi keilmuan banyak ulama besar di zamannya.9
Bahkan Hamid Naseem Rafiabadi dalam bukunya Saints and
Saviours of Islam mendeskripsikan sosok Ibnu Taimiyah sebagai
ulama besar yang pernah ada sepanjang masa.10 Selanjutnya al-
Hafiz al-Dzahabi sebagaīmāna dikutip oleh Rafiabadi menyebut
Ibnu Taimiyah sebagai “ensiklopedi berjalan”.11 Tentunya,
statement itu ditujukan untuk memperkuat posisi Ibnu Taimiyah
sebagai seorang pakar yang diakui semua orang.
Ibnu Taimiyah juga dikenal sebagai penulis prolific (penulis yang
melahirkan banyak karya). Keahliannya dalam ranah tulisan telah
ditekuninya sejak usia dua puluh tahun. Karya-karya tulisnya
banyak yang bernada kritik terhadap berbagai pendapat dan paham
yang tidak sejalan dengan pemikiran-pemikirannya, karena
menurutnya hal itu bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadis.

9
Ibid.
10
Hamid Naseem Rafiabadi, Saints and Saviours of Islam (New Delhi: Sarup and Sons, 2005), h. 33.
11
Ibid., h. 34.

12
Secara garis besar, karya-karya Ibnu Taimiyah ditujukan untuk
memberi komentar dan kritik terhadap pendapat-pendapat para
ulama semasanya maupun para ulama pendahulunya. Dijelaskan
dalam Ensiklopedi Islam bahwa karya-karya Ibnu Taimiyah
mencapai 500 jilid. Di antara karya-karyanya yang terkenal adalah:

 Kitāb al-Radd ‘Alā al-Manthiqiyyīn (Jawaban Terhadap para Ahli


Mantik/ Logika).
 Manhāj al-Sunnah al-Nabawiyah (Metode Sunnah Nabi).
 Majmū‘ al-Fatāwā (Kumpulan Fatwa).
 Bayān al-Muwāfaqāt Shaḥīḥ al-Ma‘qūl Sharīḥ al-Manqūl (Uraian
tentang Kesesuaian yang Benar dan Dalil Naqli yang Jelas).
 Al-Radd ‘Alā al-Hūlūliyah wa al-Ittihādiyah (Jawaban terhadap
Paham Hūlūl dan Ittihād).
 Muqaddimah fī Ushūl al-Tafsīr (Pengantar Ilmu Tafsir).
 Al-Radd ‘Alā Falsafah Ibn Rusyd (Jawaban terhadap Filsafat
Ibnu Rusyd).
 Al-Iklil fā al-Mutasyābah wa al-Ta’wīl (Percakapan tentang Ayat-
Ayat Samar dan Ta’wil).
 Al-Jawāb al-Shaḥīḥ li Man Baddala Īmān al-Masīḥ (Jawaban
terhadap Orang-Orang yang Mengganti Īmān dengan al-Masih).
 Al-Radd ‘Alā al-Nushairiah (Jawaban terhadap Paham
Nusairiah).
 Risālah al-Qubrusiyah (Risalah tentang Paham Qubrusiyah).
 Itsbāt al-Ma‘ād (Menentukan Tujuan).
 Tsubūt al-Nubūwāt (Eksistensi Kenabian).
 Ikhlāsh al-Ra‘i wa al-Ra‘iyat (Keikhlasan Pemimpin dan yang
Dipimpin).

Beberapa karya besarnya menunjukkan kritik-kritiknya terhadap


berbagai aliran pemikiran yang dianggapnya ekstrim dan
berkembang pesat di dunia Islam saat itu. Ibnu Taimiyah mengkritik
bukan hanya aliran-aliran ekstrim dalam bidang teologi, tasawuf,
dan filsafat seperti: Bātiniah, Jahmiyah, Mulahadah Nasiriyah,

13
Waḥdah al-Wujūd, Hulūliyat, Dahriah, Mujassimah, Rawandiyah,
Musybihah, Mu’attilah, Salimiyah dan Kalābiyah, tetapi juga aliran-
aliran moderat seperti: Muktazilah, Asy’ariyah, dan para pemikir
Islam besar seperti: al-Ghazali, Ibnu Arabi, Ibnu Sina dan Ibnu
Rusyd.12 Perlu juga dipahami bahwa kultur kritik dalam dunia
akademik adalah persoalan yang wajar, selain kultur itu merupakan
indikasi bahwa sebuah pemikiran berkembang. Selama mengkritik
dan dikritik itu berada dalam dunia keilmuan maka ia akan bersifat
relatif. Dengan kata lain, sebuah pendapat dianggap baik oleh satu
paham atau seorang tokoh namun belum tentu diterima oleh aliran
maupun tokoh lain. Karenanya sikap toleran dalam konteks
pemikiran perlu menjadi etika utama. Demikian paradigma yang
dapat dipakai untuk mencermati sikap kritis Ibnu Taimiyah.

Lisan dan pena Ibnu Taimiyah amat tajam sehingga banyak orang
yang merasa tersinggung. Kedengkian pun muncul dari para qadhī
(hakim) dan fuqahā’ (para ahli fikih). Hanya karena kedengkian dan
tanpa alasan yang jelas, akhirnya Ibnu Taimiyah dijebloskan ke
dalam penjara. Kemudian Ibnu Taimiyah dibebaskan dan dikirim ke
Iskandariyah (Mesir) dan tinggal di sana. Namun fitnah terhadap
dirinya tidak pernah berhenti. Di kota ini ia kembali dipenjara
bersama para pendukung pemikirannya, juga karena alasan yang
tidak jelas.13

Ibnu Taimiyah tidak pernah putus asa untuk menyebarkan


dakwahnya, yaitu meluruskan dan membenarkan pemahaman
manusia mengenai Islam dalam hati mereka. Ada perkataan Ibnu
Taimiyah yang menjadi magnet tersendiri bagi para pengikutnnya,
“Tidak ada sedikit pun pengaruh dari apa yang dilakukan musuh-
musuhku terhadap aku. Sesungguhnya surgaku dan kebunku
berada di dadaku. Kemana pun aku pergi ia bersama aku. Jika
mereka memenjarakanku, penjara adalah sarana bagiku untuk

12
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Op. Cit., h. 169.
13
Lihat Ahzami Samiun Jazuli, Hijrah dalam Pandangan Al-Qur’an, terj. Eko Yulianti (Jakarta: Gema
Insani Press,2006), h. 342-344.

14
bersama dengan Allāh. Jika mereka mengusirku dari tanah airku,
maka kepergianku adalah sebuah wisata. Jika mereka
membunuhku, sesungguhnya kematianku di jalan Allāh.
Sesungguhnya di dalam hatiku ada Kitabullah dan sunnah Rasūl-
Nya.14

Suatu hari, seluruh alat dan karya tulis Ibnu Taimiyah disita. Ia
dilarang menulis buku dan menelaahnya lagi. Buku-buku Ibnu
Taimiyah dilarang beredar karena dianggap melawan arus
pemahaman umat saat itu. Inilah yang membuah ulama besar
tersebut bersedih. Padahal, menulis adalah sebuah aktivitas yang
demikian menyatu dalam dirinya. Hanya saja, kondisi ini tidak
berlangsung lama, karena pada suatu malam ruhnya yang suci
kembali kepada pemiliknya. Tokoh pembaruan itu wafat dalam
penjara sebagaīmāna diinginkan oleh para qadhi> dan fuqaha>
yang membenci dirinya. Kepergian Ibnu Taimiyah menimbulkan
luka mendalam bagi para pengikutnya. Ia tidak pernah menikmati
keindahan kecuali setelah ruhnya berpisah dari jasad. 15

Nama Taqiyuddīn ibnu Taimiyah yang dilahirkan di Harran (Irak)


661 dan wafat tahun 728 H (1263-1328 M) ketika dunia Timur
diserang oleh tentera Mongol sehingga kota Baghdad jatuh ke
tangan mereka. Meskipun pemerintahan pada zamannya yaitu Bani
Buwaihi mendukung mazhab Syafi’iy dan teologi Asy’ariyah, tetapi
Ibnu Taimiyah terus memegang dan mengkaji pendapat Imam
Ahmad bin Hanbal dalam segi fiqih dan keyakinan sehingga dia
digelar sebagai teolog terbesar. Setelah namanya dikenal luas dan
mendapat sambutan lebih banyak daripada yang diterima oleh
ulama pada masanya, maka dia banyak mendapat saingan dari
mereka, dan berkali-kali pula difitnah orang karena keberaniannya
mengeluarkan pendapat yang melawan arus. Ia berulang kali
ditangkap oleh penguasa dan hidupnya berpindah-pindah dari
penjara ke penjara, tetapi ia tetap mengajar dan menulis sekalipun

14
Ibid.
15
Ibid., 344-345.

15
dalam penjara. Penangkapan terakhir terjadi ketika pendapat-
pendapatnya yang mengatakan bahwa ziarah ke kubur nabi-nabi
dan orang-orang saleh tidak wajib. Bahkan, tidak dibenarkan oleh
agama, makanya ia dipenjara di Damsyik dan di sinilah ia wafat
pada tahun 728H/1328M dan meninggalkan karangan-karangannya
lebih dari 300 buah. Kebanyakan mengenai tafsīr, fiqih, jadal
(argumentasi dialektis), termasuk juga jawaban pertanyaan, fatwa-
fatwa, serangan dan sanggahan terhadap aliran tasawuf dan
filsafat.

b) Pokok Pikiran Pembaharuannya.


 Sebagian besar aktivitasnya diarahkan untuk memurnikan
paham tawḥīd. dengan menentang segala bentuk bid’ah,
takhayyul, dan khurāfat. 16
Baginya (akidah tawḥīd yang benar adalah akidah salaf) sifat-
sifat, nama-nama, perbuatan-perbuatan dan keadaan Tuhan
yang termuat dalam Al-Qur’an dan Hadis seperti Al-Ḥayyu, Al-
Qayyūm, Al-Shamad, Al-‘Alīm, Al-Ḥakīm, Al-Samī’ dan
sebagainya. Sementara itu, ungkapan bertempat di langit,
mempunyai tangan mempunyai muka, berada di atas atau di
bawah, sifat-sifat tersebut dipercaya oleh aliran salaf dengan
memegang arti lahir (leterlek) meskipun dengan pengertian
bahwa sifat-sifat tersebut tidak sama dengan sifat-sifat
makhluk.17
 Dia menggalakkan umat Islam agar bergairah kembali menggali
ajaran-ajaran Al-Qur’an dan hadits, serta mendorong mereka
melakukan ijtihad dalam menafsirkan ajaran-ajaran agama.
 Umat harus kembali kepada Al-Qur’an dan hadits yang
diperlukan ijtihad di dalamnya, maka taklid harus ditolak. Ia
menolak sikap umat Islam yang taklid pada para mujtahid yang
telah mendahului mereka, sedangkan pokok persoalan sudah
berubah.

16
Sudarno Shobrun, dkk. Studi Kemuhammadiyahan : Kajian Historis, Ideologis, dan Organisasi
(Surakarta: LPID, 2010), hal. 7-8.
17
A. Hanafi, Pengantar Theology Islam (Jakarta: Djajamurni, t.th), hal. 133.

16
 Di dalam berijtihad tidak terikat pada madzhab atau imām.
Pendapat siapa saja yang lebih tepat dan kuat argumennya,
maka itulah yang diambil. Pengambilan pendapat dan argumen
itu bukan didasarkan atas kemauan nafsu saja. Semua pendapat
harus mempunyai alasan yang dapat dipertanggung jawabkan.
 Dalam bidang hukum, ia menawarkan suatu metode baru. Ia
tidak mendasarkan keputusan hukum pada ‘illat, tetapi
berdasarkan hikmah. Penerapan hukum Islam hendaknya
mempertimbangkan aspek-aspek hikmah dalam keputusan
hukum tersebut.18
 Kembali ke Ajaran Salaf.
Sumber dari segala kebenaran agama itu adalah Al-Qur’an dan
sunnah yang ditafsirkan oleh para sahabat atau tabi’un. Sunnah
secara tegas mengakui keunggulan para shaḥabat dan tābi’ūn
ini. Oleh karena itu, otoritas mereka dalam masalah-masalah
pokok keagamaan tidak akan pernah dapat disamai atau
diragukan dan keputusan mereka seperti diungkapkan dalam
ijma’ secara keseluruhan tidak mungkin keliru.19

Pendapat yang berlainan dengan pendapat yang terjadi sesudah


dua kelompok ini haruslah dinyatakan sebagai bid’ah. Ibnu
Taimiyah tidak ragu-ragu memasukkan ke dalam kelompok orang-
orang yang bersalah karena melakukan bid’ah seperti aliran
Khawarij, Syi’ah, Muktazilah, Murjiah, Jahmiyah, dan Asy’ariyah.
Jelasnya, semua kelompok atau sekte teologis atau keagamaan
yang berasal dari tubuh utama Islam menyusul kematian Khālifah
Ali bin Abi Talib. Pertanggung-jawaban atas kerusakan dan
penyesatan pendukung-pendukung sekte tersebut haruslah
dihubungkan dengan metode yang tidak menghasilkan apa-apa
dan para teolog dan filosof yang telah berani mentakwilkan Al-

18
Sudarno Shobrun, dkk. Studi Kemuhammadiyahan : Kajian Historis, Ideologis, dan Organisasi
(Surakarta: LPID, 2010), hal. 7-8.
19
A. Hanafi, Pengantar Theology Islam (Jakarta: Djajamurni, t.th), hal. 133.

17
Qur’an dengan satu cara yang berbeda dengan satu-satunya
interpretasi yang berwenang, yakni interpretasi orang-orang salaf.

Aliran salaf telah membicarakan berbagai persoalan teologi Islam


seperti Tuhan, Perbuatan manusia, kemakhlukan Aquran atau
bukan, ayat-ayat yang mengesakan penyerupaan (tasbīḥ) tuhan
dengan manusia. Kesemuanya itu bisa digolongkan menjadi satu
persoalan saja, yaitu keesaan (Ketawḥīd.an) yang mempunyai tiga
segi yaitu keesaan zat dan sifat, keesaan penciptaan, dan keesaan
ibadah.

c) Sanggahan terhadap Filsafat.


Ibnu Taimiyah menyerang ahli-ahli logika (Aristotel) bahwa logika
adalah pemikiran yang benar mengalahkan dalil-dalil lainnya.
Kesalahan besar ahli logika yang lain adalah berasal dari
pernyataan mereka bahwa definisi membuka tabir pengetahuan
sejati tentang hal yang didefinisikan (definiendum). Bagi Ibnu
Taimiyah, sebuah definisi hanyalah suatu pernyataan atau
penegasan belaka yang dimuat oleh si pembicara, yang dapat
dengan jelas sama sekali tidak berdasar. Boleh jadi, ia mengetahui
kebenaran suatu pernyataan yang seperti itu sebelumnya, dimana
ia tidak mendapatkan sesuatu yang baru tentang hal yang
didefinisikan atau sama sekali tidak mengetahuinya, dimana ia tidak
dapat menerimanya tanpa pembuktian. Untuk itu, ia menyerang
logika Aristotel yaitu teori demontrasi (burhān) yang dianut juga
filosof muslim sebagai bentuk pembuktian paling tinggi.

2) Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhāb.


a) Riwayat Hidup
Syaikh Muḥammad Ibn ‘Abd al-Wahhāb (selanjutnya ditulis dengan
Ibn ‘Abd al-Wahhāb) dilahirkan di Uyainah, Nejd, Jazirah Arabia,
tahun 1115 H./ 1703 M. dari keluarga ulama. Ayahnya, ‘Abd al-
Wahhāb Ibn Sulaimān adalah sosok yang memiliki pengalaman
panjang dalam ilmu fiqh karena pernah menjabat sebagai Qadhī
Uyainah dan Huraimala dalam waktu yang cukup lama. Kakeknya,

18
Sulaimān Ibn ‘Alī, termasuk salah seorang ulama terkenal. Ia
menulis kitab tentang manasik haji yang sering menjadi rujukan
para pengikut mazhab Hanbali. Pamannya, Ibrāhīm Ibn Sulaimān
juga seorang ulama yang disegani masa itu.20 Dari silsilah
keluarganya, terlihat jelas bahwa mata rantai ulama menjadi salah
satu faktor dominan dalam pembentukan karir intelektual Ibn ‘Abd
al-Wahhāb. Ibn ‘Abd al-Wahhāb telah menghabiskan waktunya
selama 48 tahun lebih di Dar’iyah. Keseluruhan hidupnya diisi
dengan kegiatan menulis, mengajar, berdakwah dan berjihad. Ibn
‘Abd al-Wahhāb berdakwah sampai usia 92 tahun. Ia wafat pada
1793 M. dalam usia 92 tahun. Jenazahnya dikebumikan di Dar’iyah
(Nejd).

Ibn ‘Abd al-Wahhāb sejak kecil telah menunjukkan kecerdasan dan


kekuatan hapalannya. Belum genap berumur 10 tahun, ia sudah
hapal Al-Qur’an. Ibn ‘Abd al-Wahhāb belajar kitab-kitab fiqh Hanbali
dari ayahnya, dan banyak membaca kitab-kitab hadis dan tafsir.
Kecerdasan dan talentanya yang luar biasa itu membuat ayahnya
sendiri kagum. Ayahnya sering memintanya menjadi imam shalat
walau pun ia masih kecil. Ibn ‘Abd al-Wahhāb menikah dalam usia
yang masih muda kemudian pergi menunaikan ibadah haji dan
bermukim di Madinah. Selanjutnya ia kembali ke Uyainah dan
meneruskan menimba ilmu dari ayahnya. Ibn ‘Abd al-Wahhāb juga
dikenal sebagai seorang penulis sehingga dalam waktu yang
singkat ia dapat melahirkan berbagai tulisan.21

Hidup di tengah kultur ulama, keadaan ekonomi keluarga yang


mendukung ditambah kecerdasan dan kemauan pribadi yang kuat
menjadikan Ibn ‘Abd al-Wahhāb seorang pribadi yang tekun dan
giat mendalami ajaran Islam, baik melalui orang tuanya sendiri
maupun melalui ulama-ulama lain. Tidak saja di Uyainah, ia juga
menuntut ilmua di berbagai pusat ilmu lain seperti: Basrah, Disa,

20
Lihat Yunahar Ilyas, “Manhaj Fiqh Syeikh Muhammad Ibn Abdul Wahhab”, dalam Achmad Jainuri et.
all., Muhammadiyah dan Wahabisme: Mengurai Titik Temu dan Titik Seteru (Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 2012), h. 39.
21
Ibid., 39-40.

19
kembali lagi ke Basrah, Madinah kemudian kembali ke Nejd. Saat
berada di Madinah, Ibn ‘Abd al-Wahhāb banyak belajar dari para
ulama di Masjid Nabawi, termasuk dua orang ulama yang cukup
mempengaruhi pemikirannya yaitu: ‘Abdullah Ibn Saif dan
Muḥammad Ḥayyah al-Sanadi. Ibn Saif adalah seorang ahli fikih
Hanbali dan juga ahli hadis. Melalui Ibn Saif, Ibn ‘Abd al-Wahhāb
banyak bersentuhan dengan pemikiran Ibn Taimiyah. Sedangkan
Muḥammad Ḥayyah al-Sanadi adalah sosok yang alim dalam hadis
dan ilmu hadis (‘ulūm al hadīts).22

Salah satu karya besar Ibn ‘Abd al-Wahhāb adalah Kitāb al-Tawḥīd.
Selain itu, ia juga menulis buku-buku dalam bidang tafsīr, hadis,
fikih, dan sejarah hidup nabi (sīrah nabawiyyah).23 Dalam Kitāb al-
Tawḥīd diuraikan butir-butir Al-Qur’an dan hadis mengenai tawḥīd.
Pandangan tawḥīd. Ibn ‘Abd al-Wahhāb bernuansa teosentris.
Uraian dalam kitab ini bersifat praktis seperti ta’rīf tentang tawḥīd.,
sikap bertawḥīd. kepada Allāh, menjauhi dosa, menjauhi syirik,
hukum gambar, soal tabarruk atau mencari berkah dari pepohonan
dan bebatuan atau sejenisnya, menyembelih atas nama selain
Allāh, mencari perlindungan kepada selain Allāh, syafa’at, ziarah
kubur, dan sikap berlebihan atas kubur orang-orang yang dianggap
shālih, soal sihir, tathayyar atau khurāfat dan nujūm, soal riyā’,
taḥkīm, ikhtilāf dalam tafsīr, janji Allāh, takdir dan penjelasan
mengenai ayat Al-Qur’an dan hadis yang bertautan dengan aspek-
aspek tawḥīd. serta kaitannya dengan syirik, bid’ah, dan khurāfat.
Karena banyak yang bersifat praktis ringkas dan ad-hoc, maka
dapat dipahami mengapa pandangan tentang tawḥīd. dan anti TBC
(takhayyul, bid’ah,khurāfat) begitu kental dalam pandangan Ibn
‘Abd al-Wahhāb dan terkadang diikuti secara berlebihan oleh para
pengikutnya menjadi dalil-dalil baku yang rigid dan tidak jarang
keras. Watak keras Ibn ‘Abd al-Wahhāb misalnya soal hukum
gambar, bahwa jika manusia membuat gambar berarti

22
Ibid.
23
Ibid., h. 37-38.

20
menyekutukan Allāh, karena dia menciptakan sesuatu yang sama
dengan sifat Allāh sebagai Maha Pencipta.24

Jika dibandingkan, pembahasan mengenai īmān antara Ibnu ‘Abd


al-Wahhāb dengan Ibn Taimiyah memiliki perbedaan. Pembahasan
yang dikemukakan Ibn Taimiyah lebih luas dan komprehensif. Itulah
sebabnya, Ibn ‘Abd al-Wahhāb sering dianggap sebagai pelaksana
pemikiran Ibn Taimiyah. Dengan kata lain, ia merupakan sosok
yang memfokuskan diri pada hal-hal yang bersifat praktis dan
bersifat gerakan. Karya Ibn ‘Abd al-Wahhāb tentang tawḥīd. ini juga
berbeda dengan uraian mengenai tawḥīd. yang dikemukakan oleh
Muḥammad Abduh dalam Risālah al-Tawḥīd. Abduh lebih banyak
mengulas secara filosofis atau pemikiran Islam yang selain
bertumpu pada nash juga pada akal atau pemikiran. Dalam Risālah
al-Tawḥīd dikupas tentang hakikat wujud, perbuatan Allāh,
perbuatan manusia, tawḥīd. sebagai risalah universal, tentang
ruhani, akhirat, Rasūl dan risalah, malaikat, Al-Qur’an, kerisalahan
Muhammad, hakikat ajaran Islam, dan perkembangan Islam dalam
kehidupan kekinian. Meskipun dikenal sosok yang cerdas, namun
khasanah pemikiran Islam Ibn ‘Abd al-Wahhāb terkesan jauh
berbeda dengan Ibn Taimiyah dan Abduh. Dengan alasan inilah
maka model pembaruannya lebih tepat dikategorikan sebagai
gerakan pemurnian Islam. Ibn Taimiyah memang menekankan
pada pemurnian, tetapi pemikirannya dalam berbagai hal
menampilkan sifat pembaruan (al-Ishlāḥ dan tajdīd), sementara
Abduh lebih kental dengan pemikiran pembaruannya. Ibn ‘Abd al-
Wahhāb juga terkesan keras dalam bersikap, hal itu mungkin saja
dipengaruhi oleh setting masyarakat Nejd yang berbalut budaya
Badwi pedesaan.25

Setelah menguasai Makkah dan Madinah tahun 1804 dan 1806 M,


pada tahun 1813 M kekuatan mereka dipatahkan Sultan Mahmud

24
Lihat Haedar Nashir, “Anatomi Gerakan Wahhabiyyah”, dalam Achmad Jainuri, Ibid., h. 14-15.
25
Ibid., h. 15-16.

21
II kerajaan Usmani dengan perintahnya kepada Khedevi
Muhammad Ali gubernur Usmani di Mesir.

Setelah mundurnya kekuasaan Khālifah Turki Usmani, gerakan ini


menjadi kuat kembali, yaitu tahun1924 M Raja ‘Abd al-‘Azīz, putra
Muḥammad bin Su’ūd, mitra Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb
(beraliran Wahhābiyah) dapat menduduki Makkah, Madinah, dan
Jeddah. Mulai saat itu madzhab dan kekuatan politik Wahhābiyah
mempunyai kedudukan yang kuat di tanah suci.

b) Pokok Pikiran Pembaharuannya


 Pembaharuan Islam yang paling utama disandarkan pada
persoalan tawḥīd (‘umūr al-tawḥīd). 26
 Penyembahan kepada selain Tuhan adalah salah dan siapa
yang berbuat demikian harus dibunuh.
 Mencari keampunan Tuhan dengan mengunjungi kuburan-
kuburan orang-orang saleh termasuk golongan musyrikin.
 Termasuk dalam perbuatan syirik memberi pengantar salat
terhadap nama nabi-nabi, wali, malaikat.
 Termasuk kufur memberikan suatu ilmu yang tidak didasarkan
atas Al-Qur’an dan sunnah atau ilmu yang bersumber pada
pikiran semata-mata.
 Dilarang memakai tasbīḥ. Doa (wirid) cukup dengan
menghitung keratan jari.
 Soal halal dan haram hanya berdasarkan pada Al-Qur’an dan
sunnah Rasūl. Bukan pada para mutakallimin dan fuqahā’.
 Pintu ijtihad tetap terbuka.
 Meminta syafaat selain dari kepada Tuhan juga syirik.
 Bernazar kepada selain dari Tuhan juga syirik.
 Tidak percaya kepada qada dan qadar Tuhan merupakan
kekufuran.27

26
Sudarno Shobrun, dkk. Studi Kemuhammadiyahan : Kajian Historis, Ideologis, dan Organisasi
(Surakarta: LPID, 2010), hal. 9.
27
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan
Bintang, 1975), hal. 23.

22
 ‘Umūr al-Bid’ah (persoalan Bid’ah).
 Tawashshul adalah perbuatan yang salah. Menurutnya,
ibadah adalah cara manusia berhubungan dengan Tuhan.
Usaha mencari perlindungan atau perantara kepasda batu,
pohon, dan sejenisnya merupakan perbuatan syirik.28
 Berkumpul bersama-sama dalam maulidan.
 Wanita yang mengiringi jenazah.
 Mengadakan ḥalaqah zikir dengan menghitung batu tasbih.
Selayaknya cukup dengan menghitung keratan tangan.
 Laki-laki memakai emas dan sutra.
 Merokok dan minum kopi adalah haram.
 Sumber-sumber syariah Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah.
Menurutnya, Al-Qur’an adalah firman Allāh yang tercipta yang
diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat
Jibril yang merupakan sumber paling penting bagi syariah. 29
Menurutnya yang termasuk bid’ah adalah bergambar (photo) dan
lakik-laki memakai cincin emas. 30
 Wahhāb menyatakan pentingnya negara dalam memberlakukan
syari’ah dalam masyarakat yang otoritas tertinggi ada di tangan
khalifah atau imam yang harus bertindak atas dasar saran ulama
dan komunitasnya.31 Untuk itu, Wahhab bekerja sama dengan
Raja Ibnu Sa’ud untuk menegakkan pahamnya di tanah Arab.

3. Latihan
Buatlah video sejarah salah satu tokoh Pembaharu Ibnu Taimiyah dan
Muhammad bin Abd Wahhab !
4. Evaluasi
a. Jelaskan pokok-pokok Pembaharuan Ibnu Taimiyah !

28
Sudarno Shobrun, dkk. Studi Kemuhammadiyahan : Kajian Historis, Ideologis, dan Organisasi (Surakarta:
LPID, 2010), hal. 10.
29
Sudarno Shobrun, dkk. Studi Kemuhammadiyahan : Kajian Historis, Ideologis, dan Organisasi
(Surakarta: LPID, 2010), hal. 11
30
A. Hanafi, Pengantar Theology Islam (Jakarta: Djajamurni, t.th), hal. 142.
31
Sudarno Shobrun, dkk. Studi Kemuhammadiyahan : Kajian Historis, Ideologis, dan Organisasi
(Surakarta: LPID, 2010), hal. 12.

23
b. Jelaskan pokok-pokok Pembaharuan Muhammad bin Abd Wahhab !
5. Kunci Jawaban
a. Nama Taqiyuddīn ibnu Taimiyah yang dilahirkan di Harran (Irak) 661 dan
wafat tahun 728 H (1263-1328 M).
b. Pokok Pembaharuannya adalah:
1) Sebagian besar aktivitasnya diarahkan untuk memurnikan paham
tauhid dengan menentang segala bentuk bid’ah, takhayyul, dan
khurāfat.
2) Dia menggalakkan umat Islam agar bergairah kembali menggali
ajaran-ajaran Al-Qur’an dan hadits, serta mendorong mereka
melakukan ijtihad dalam menafsirkan ajaran-ajaran Islam.
3) Oleh karena itu, umat harus kembali kepada Al-Qur’an dan hadits
yang diperlukan ijtihad di dalamnya, maka taklid harus ditinggalkan.
4) Di dalam berijtihad tidak terikat pada madzhab atau imām. Pendapat
siapa saja yang lebih tepat dan kuat argumennya, maka itulah yang
diambil.
5) Dalam bidang hukum, ia menawarkan suatu metode baru. Ia tidak
mendasarkan keputusan hukum pada ‘illat, tetapi berdasarkan
hikmah.
6) Kembali ke Ajaran Salaf.
7) Sanggahan terhadap filosof.
c. Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb di lahirkan tahun 1703 – 1787 M di
Uyainah Saudi Arabia bagian Timur.
d. Pokok Pembaharuannya adalah:
1) Pembaharuan Islam yang paling utama disandarkan pada persoalan
tauhid.
2) Tawashshul adalah perbuatan yang salah.
3) Sumber-sumber syariah Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah.
4) ‘Abd Wahhāb menyatakan pentingnya negara dalam memberlakukan
syari’ah dalam masyarakat yang otoritas tertinggi ada di tangan
khālifah atau imam yang harus bertindak atas dasar saran ulama dan
komunitasnya.

24

Anda mungkin juga menyukai