Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PEMIKIRAN POLITIK DAN SISTEM POLITIK YANG IDEAL MENURUT IBNU


TAIMIYAH

Disusun guna memenuhi tugas

Mata Kuliah : Fiqh Siyasah

Dosen pengampu : Drs. H. Maksun, M.Ag

Disusun oleh :

Ramadania Fitri Qurratul Hasanah ( 2002016082 )

Maulana Hidayat ( 2002016115 )

HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas rahmat, karunia serta
kasih sayangnya kami dapat menyelesaikan makalah mengenai Pemikiran politik dan
Sistem politik yang ideal menurut Ibnu Taimiyah dengan sebaik mungkin. Sholawat serta
salam semoga tetap tercurah kepada nabi terakhir, penutup para Nabi sekaligus satu-satunya
uswatun hasanah kita Nabi Muhammad SAW. Tidak lupa pula saya ucapkan terimakasih
kepada bapak Drs. H. Maksun, M.Ag Selaku Dosen Mata Kuliah Fiqih siyasah. Dalam
penulisan makalah ini, kami menyadari masih banyak terdapat kesalahan kekeliruan, baik
yang berkenaan dengan materi pembahasan maupun dengan teknik pengetikan, walaupun
demikian, inilah usaha maksimal kami selaku para penulis usahakan. Semoga dalam makalah
ini para pembaca dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan dan diharapkan kritik yang
membangun dari para pembaca guna memperbaiki kesalahan sebagaimana mestinya.

Semarang, 26 oktober 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Teori Ibnu Taimiyah tentang pemerintahan merupakan contoh kritik yang
dapat dikatakan meremehkan teori khilafah. Dasar pijakan kritiknya adalah penolakan
terhadap pandangan yang menyebutkan bahwa kekalifahan tidak mempunyai dasar
konstitusional dari Alquran. Alquran memang secara khusus menjelaskan kebutuhan
terhadap pemerintah dan kekuasaan, tetapi tidak memaparkan secara rinci keputusan
konstitusional pemerintahan Islam. Jadi, di dalam Alquran dan as-sunnah tidak
terdapat dasar pijakan bagi keputusan konstitusional baku yang melandasi teori
khilafah.
Dengan penolakan tersebut, Ibnu Taimiyah ingin menawarkan sebuah
alternatif pemikiran. Bahwa persoalan pokok dalam teori Islam bukanlah pada
lembaga khilafah, tetapi pada hukum syariat. Meskipun khilafah dikatakan berpijak
pada syariat, namun perkembangan sejarah lembaga tersebut satu-satunya organisasi
politik yang diterima dalam Islam justru menghantarkannya pada legitimasi tertentu
yang tidak lagi sejalan dengan ajaran-ajaran pokok syariat.
Dalam Islam, negara memiliki peranan penting (instrumental) untuk meraih
tujuan-tujuan syariat, sebagaimana terungkap dalam Alquran dan as-sunnah. Ibnu
Taimiyah menghendaki terwujudnya pemerintahan yang menitikberatkan pada asas
konstitusi dan hubungan perjanjian melalui proses pemilihan pemimpin.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Riwayat Hidup Ibn Taimiyah ?
2. Apa Pemikiran Politik Ibn Taimiyah ?
C. Tujuan
1. Untuk mengatahui Riwayat Hidup Ibn Taimiyah
2. Untuk mengetahui pemikiran politik Ibn Taimiyah
BAB II

PEMBAHASAN

1. Riwayat Hidup Ibnu Taimiyah


Ibnu Taimiyah adalah tokoh abad XIV 1263-132/80. 1Nama lengkapnya ialah
Ahmad taqiy ad-Din Abu al-Abbas Ibn Syihab ad-Din Abi Al – Mahasin And as-
Salam IBN Avi Muhammad Abd. Allah, atau yang lebih dikenal dengan taqiyuddin
Ahmad Ibnu Taimiyah, 2lahir pada hari Senin 10 rabi'ul awwal 661 H./ 22 Januari
1263 M. Di Harran Syria .3
Ibn Taimiyah lahir dari sebuah keluarga terpelajar dan sangat dihormati oleh
masyarakat luas pada masanya. Ayahnya, Syihab Al – Din Abd Halim Ibn Abd as-
Salam 9627-682 H.) Merupakan seorang ulama besar yang menjadi khotib, imam
besar, guru tafsir dan hadits di masjid agung damaskus, serta juga menjadi direktur
madrasah Dar Al – Hadits Al sukkariyyah, salah satu lembaga pendidikan Islam
mazhab Hambali yang sangat maju dan bermutu pada masanya. Kakeknya, syekh
Majd ad- Din Abi al- Barakat Abd as – Salam Ibn Abd Allah ( 590-652 H). Juga
seorang mujtahid mutlak, mufassir, ahli hadits, ahli Ushul fiqih,ahli nahu, dan
pengarang. 4 Pamannya dari pihak bapak, syaraf ad-Din Abd Allah Ibn Abd Al –
Halim adalah seorang cendikiawan Muslim populer dan pengarang yang produktif
pada masanya. Sedangkan adik laki- lakinya ternyata juga dikenal sebagai ilmuan
muslim yang ahli dalam bidang kewarisan Islam, ilmu ilmu hadis dan ilmu pasti. 5
Pada masa Taimiyah 5 tahun, Islam sedang mengalami kemunduran. Di
sebelah timur, kaum muslimin dijatuhkan dan dihancurkan tentara Mongol, 6dan di

1
Husayn Ahmad Amin, al-Mi’ah al-A’zham fi Tarikh al-Islam. Cucu Cuanda (ed.)

Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, cet. 7, 2001), hlm. 229.
2
Qomaruddin Khan, The Political Thought of Ibn Taymiyyah., terj. Anas Wahyuddin, Pemikiran
Politik Ibnu Taymiyyah (Bandung : Pustaka, cet. 2, 2001), hlm.10.
3
Ibn Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah, jilid IX juz 14, (Beirut Lebanon: Dar al-Fikr, t.th), hlm. 135-
136. Lihat juga Muhammad Amin, Ijtihad Ibn Taimiyah dalam Bidang Fikih Islam, (Jakarta: INIS, 1991), hlm.
7.
4
Jeje Abdul Rojak, Politik Kenegaraan Pemikiran al-Ghazali dan Ibn Taimiyah

(Surabaya: Bina Ilmu, cet. 1, 1999), hlm. 116-117.


5
Amin, Ijtihad, hlm. 7-8.

6
Abdul Karim, Islam di Asia Tengah; Sejarah Dinasti Mongol-Islam (Yogyakarta:Bagaskara, 2006), hlm. 50.
sebelah barat mereka akhirnya terusir dari Spanyol. Akibatnya banyak kaum cerdik
pandai mengungsi ke negeri-negeri yang lebih aman seperti ke Kairo dan damaskus.
Termasuk keluarga Ibnu Taimiyah sendiri yang memilih ke damaskus. Keluarga Ibnu
Taimiyah kemudian menjadi tokoh terkemuka karena pengabdian ke mereka kepada
ilmu pengetahuan Islam.7
Ibnu Taimiyah tidak hanya memperoleh pendidikan di madrasah ayahnya
sendiri. Tetapi, iya juga belajar kepada sejumlah ulama terkemuka seperti Syams ad-
Din Abd ar-Rahman Ibn Muhammad ibn Ahmad al- Maqdisi al- Mardawi, seorang
muhaddis, faqih, nahwiyy, dan Mufti serta pengarang terpandang pada masanya, Al-
Manja‟ Ibn Usman ibn ASY – syaibani . Selain itu, Ibn Taimiyah juga berguru kepada
Zainab binti maki al-harrani, syekh Syams ad Din Al – Asfihani asy-Syafi‟i, Abd at
Rahim IBN Muhammad Al – Bagdadi, dan sejumlah ulama lain, baik yang terbilang
kecil maupun tergolong besar, yang jumlahnya puluhan bahkan ratusan orang. 8
Ibnu Taimiyah menjadi Mufti sejak sebelum berumur 21 tahun, ia
mengabdikan ilmunya demi kepentingan Islam dan umat. Sewaktu ayahnya wafat
pada tahun 682 H / 1284 M., Iya menggantikan jabatan ayahnya sebagai direktur
madrasah Dar al- Hadits as – syukkariyah . Selain sebagai direktur Madrasah , ia juga
menggantikan kedudukan ayahnya sebagai guru besar hadits dan fiqih Hambali di
beberapa madrasah terkenal yang ada di damaskus.9
Dalam hal keagamaan, pada masa Ibn Taimiyah terdapat empat mazhab fiqh
besar yang dijadikan rujukan umat Islam. Yaitu mazhab Maliki (712-795 M.), Hanafi
(699- 767 M), Syafi‟I (767-820 M.), dan mazhab Hambali (780-855 M.). Dalam hal
teologi, paham al-Asy‟ari dan al-Maturidi sangat mendominasi. Pada masa itu pula,
muncul banyak tokoh-tokoh mistik dengan akrobatik-akrobatik spiritual mereka yang
terlampau yakin dengan penafsiran bid‟ah mereka, taqlid mutlak di dalam masalah-
masalah kepercayaan, di dalam metode pemahaman, dan di dalam menerima hukum-
hukum syari‟ah beserta kesimpulan-kesimpulannya. 10 Dalam kondisi yang
demikian Ibn Taimiyah mengumandangkan kebebasan berijtihad, dan anjuran
untuk kembali kepada al-Qur‟an, sunnah dan praktik- praktik as salaf as-salih.

7
Khan, The Political, hlm. 12.
8
Ibid, hlm. 9-10.
9
Amin., Ijtihad, hlm. 12.
10
Khan, The Political, hlm. 5-6.
Oleh sebab itu, maka konflik tidak bisa dihindarkan dengan para penentang-
penentangnya yang tidak sepaham dengannya dan merasa terancam eksistensinya.
Aktifitas Ibn Taimiyah tidak hanya ceramah dan menulis, ia juga
merupakan seorang pejuang. Sewaktu Mongol menyerang Damaskus, ia ikut dalam
menghalau serangan itu, bahkan ia diminta oleh Gubernur Damaskus untuk pergi ke
Kairo memohon bantuan Sultan An-Nashir untuk mengirim militer ke Syria
melawan Mongol. Akhirnya pada tahun 1303 M. pasukan Mamluk Mesir- Syria
berhasil memenangkan pertempuran. Keberhasilan tersebut membuat namanya
populer dan dihormati oleh rakyat dan pemerintah. Konflik awal dalam masalah
keagamaan antara Ibn Taimiyah dan para penentangnya adalah ketika orang-orang
Hamah meminta pendapat (fatwa)nya mengenai sifat-sifat Allah yang disebutkan di
dalam al-Qur‟an. Ibn Taimiyah memberikan jawaban dalam bentuk risalah yang
berjudul ar-Risalah al-Hamawiyah. Risalah inilah yang memicu protes para fuqaha
yang diketuai Qadhi Jalaluddin dari mazhab Hanafi di Damaskus. Ibn Taimiyah
dihadapkan kepada para hakim dan ahli hukum terkemuka untuk
mempertanggungjawabkan fatwa tersebut.
Terjadilah perdebatan sengit yang akhirnya dimenangkan oleh Ibn
Taimiyah. Peristiwa ini merupakan awal dari konflik intelektual yang seru di
kemudian hari.15 Sementara awal konflik Ibn Taimiyah dalam masalah politik
adalah ketika ia memprotes keras keputusan pemerintah (Gubernur Syria) yang tidak
menjatuhkan hukuman mati kepada Assaf an-Nasrani, seorang Kristen berkebangsaan
Suwayda‟, padahal Assaf telah menghina Nabi Muhammad Saw. Hanya karena Assaf
mau memeluk agama Islam ketimbang dijatuhi hukuman mati. Menurut Ibn
Taimiyah, siapapun yang telah menghina Rasulullah, tidak peduli ia Muslim
atau bukan, harus dihukum mati. Karena protes dan sikap tegasnya itu akhirnya
Ibn Taimiyah harus meringkuk di dalam penjara „Adrawiyyah di Damaskus.
Puncak dari keseluruhan kebencian terhadap Ibn taimiyah terjadi 2 tahun
sebelum meninggal. Musuh-musuhnya menggali fatwa-fatwa ziarah kubur yang
pernah dikeluarkannya. Akibatnya muncul reaksi dari publik termasuk dari sultan
sendiri. Pada akhirnya Ibn Taimiyah dipenjarakan lagi. Walaupun begitu, tidak
menghentikan kegiatannya menulis hingga akhirnya seluruh bahan bacaan dan
tulisan dirampas dari tangannya. Saat itulah dia ia baru berhenti menulis, dan
beberapa waktu kemudian menghembuskan nafasnya yang terakhir di penjara
damaskus dalam usia 65 tahun, tepatnya pada malam senin, 20 Zulkaidah 728
H/26 September 1328 M.11

2. Pemikiran Politik Ibnu Taimiyyah


Keragaman pemikiran politik kenegaraan dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari
adanya pandangan yang berbeda-beda mengenai kepemimpinan Nabi Muhammad
SAW, dalam membahas politik kenegaraan, Ibnu Taimiyyah memiliki beberapa
pemikiran, di antaranya sebagai berikut:
1. Bentuk Negara
Ibn Taimiyyah mengemukakan bahwa Muhammad saw bukanlah seorang
imam (pemimpin negara). Beliau adalah semata-mata seorang nabi. Meskipun dalam
kenyataannya beliau pernah memimpin masyarakat Madinah dengan sebuah tatanan
sosial tertentu, akan tetapi ada alasan mendasar untuk tidak menyebut dirinya sebagai
seorang pemimpin negara. Menurut Ibn Taimiyyah bahwa kepatuhan kepada seorang
nabi tidak sama dengan kepatuhan kepada kepala negara, keduanya harus dibedakan.
Muhammad saw dipatuhi bukan sebagai kepala negara tetapi sebagai rasul.
Muhammad saw, dipatuhi tidak hanya sepanjang hidupnya, akan tetapi sepanjang
masa, lain halnya dengan pemimpin negara, ia hanya ditaati ketika ia masih hidup dan
masih berkuasa. Kepemimpinan Muhammad saw bukanlah karena diangkat oleh para
pendukungnya atau oleh seorang yang kuat, ia memimpin semata-mata bedasarkankan
kalam Allah swt. Pera pengikutnya mentaatinya bukan karena ia mempunyai otoritas
sebagai raja, akan tetapi karena Allah swt mewajibkan mereka untuk mentaatinya.
Mempunyai pendukung atau tidak, Muhammad saw harus ditaati, bahkan pada awal
kenabiannya di Mekkah, ketika hanya sedikit orang yang mendukungnya, beliau harus
ditaati. Karena kekuasaan kepemimpinan Muhammad saw seperti itu tidak dimiliki
oleh para pemimpin lainnya, maka Ibnu Taimiyyah memandang bahwa rezim
Muhammad saw merupakan rezim nubuwwah yang tidak bisa diikuti apalagi
diciptakan oleh para pemimpin berikutnya. Ibnu Taimiyyah juga menyadari bahwa
Muhammad saw telah berhasil membangun suatu kedaulatan politik atas masyarakat
Madiunah pada masa itu, walau bentuk dan konstitusinya tidak mesti disamakan
dengan negara dalam pengertian modern. Memang Muhammad saw membentuk

11
M. Arskal Salim G.P, Etika Intervensi Negara (Jakarta: Ligos, 1998), hlm. 44.
sebuah negara, tetapi negara itu berbeda dengan negara-negara yang pernah ada, baik
sebelum atau sesudahnya.
Nabi Muhammad saw juga memimpin tatanan sosial, menjadi hakim,
memimpin perang dan lain sebagainya, akan tetapi menurut Ibnu Taimiyyah hal
tersebut adalah bahwa fungsi-fungsi itu hanyalah bagian dari unsur fungsi
kenabiannya, dan tidak menjadi bagian tersendiri parsial dari fungsi kenabiannya.
Penegasannya secara jelas dikemukakan sebagai berikut: bahwa apabila dikatakan
bahwa ketika memperoleh kekuasaan di Madinah, nabi juga menegakkan imamah
untuk melaksanakan keadilan, maka jawaban adalah; ketika itupun beliau tetap
berperan sebagai seorang nabi saja walau dibantu pendukung-pendukungnya dan
simpatisannya dalam melaksanakan perintah-perintah dan memerangi lawan-
lawannya. Selama di atas dunia ada orang-orang yang beriman kepada Allah swt.,
maka mereka itulah yang akan menjadi penolong-penolong dan pendukungnya yang
akan melaksanakan perintah dan memerangi musuhnya. Oleh karena itu, nabi tidak
memanfaatkan penolong-penolongnya itu untuk mencapai tujuan di luar kenabiannya,
seperti tujuan untuk menjadi seorang imam, karena semua itu termasuk di dalam
kenabiannya.
Akan tetapi dengan adanya penolong-penolong tersebut, beliau bisa menuju
kekuasan yang efesien. Dengan penegasan tersebut, maka bentuk kepemimpinan negara
pada masa nabi Muhammad saw dapat disebut sebagai Negara Nubuwwah. Adapun
pandangan Ibnu Taimiyyah tentang bentuk kepemimpinan pasca nabi, beliau mulai
dengan menjelaskan hadis yang artinya berikut: (kepemimpinan setelah nabi) khilafah
nubuwwah, setelah nabi itu Allah swt memberikan kekuasaan kepada siapa saja yang Ia
kehendaki. Selain hadis di atas, Ibnu Taimiyyah juga mengemukakan hadis berikut:
“akan datang khilafah nubuwwah yang penuh rahmat, setelah itu datang kerajaan yang
membawa rahmat, dan setelah itu datang kerajaan kesombongan lalu kerajaan
kelaliman”. Sesuai dengan hadis tersebut, maka Ibnu Taimiyyah mengelompokkan
kepemimpinan pasca nabi Muhammad saw kepada dua bentuk: khilafah nubuwwah
yakni pada masa pemerintahan khalifah rasyidun dan kepemimpinan kerajaan setelah
mereka.
Ibnu Taimiyyah memahami khilafah sebagai bentuk pergantian dari yang
terdahulu kepada yang datang kemudian. Khalifah secara umum berarti orang yang
menggantikan pendahulunya baik melalui pengangkatan atau tidak. Dengan kata lain,
jika seseorang mengambil kedudukan pendahulunya dan melaksanakan fungsi
pendahulu dalam masalah-masalah tertentu, maka jadilah ia khalifah. Ibnu Taimiyyah
membagi khilafah dalam pengertian umum dan khusus.
Yang khusus dinamakan khilafah nubuwwah yaitu berlaku bagi kepemimpinan
al-khulafa ar-rasyidun, dan yang umum berlaku bagi setiap bentuk pergantian,
termasuk dalam kepemimpinan setelah mereka. Pergantian umum ini diistilahkan
dengan al-mulk (kerajaan). Ibnu Taimiyyah mendasarkan hal tersebut atas hadis
berikut:
“khilafah itu berlaku selama 30 tahun, kemudian setelah itu datang kerajaan”.

Setelah memaparkan tentang tiga bentuk kepemimpinan negara tersebut, Ibnu


Taimiyyah tidak menentukan nama di antara tiga hal tersebut yang pantas untuk
dijadikan sebagai dasar politik Islam. Maka dari sini tampak bahwasanya ia terlihat
longgar dalam menentukan bentuk kepemimpinan negara. Cukuplah bahwa dengan
mengakui perkembangan kondisi dan situasi, tidak ada suatu konsep negara yang baku.

2. Tujuan Bernegara
Dalam pandangan Ibnu Taimiyyah, setelah berdirinya suatu negara, maka yang
dituntut dari negara tersebut adalah bagimana pemerintah mampu melaksanakan dan
menegakkan agama Allah swt. Dengan singkat Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa
tujuan didirikannya pemerintahan Islam adalah agar agama keseluruhannya menjadi
milik Allah dan kalimatNya menjadi tinggi. Ibnu Taimiyyah berpandangan bahwa
negara adalah sarana bagi tegaknya syari‟ah.[ Syari‟ah yang ditegakkan itu adalah
segala apa yang dibawa oleh Muhammad saw baik berupa al-Kitab maupun sunnah.
Namun syari‟ah tidak pernah bersifat kaku, karena sebagaimana pengakuan Ibnu
Taimiyyah, pada syari‟ah itu berlaku ijtihad. Dalam masalah kenegaraanpun berlaku
ijtihad, karena tidak ada petunjukan yang jelas dalam nash.
Untuk melaksanakan dan menegakkan syari‟ah, maka di dalam negara harus
terjadi hubungan yang erat antara ulama dan umara‟. Perpaduan antara ulama dan
pemimpin akan mampu menegakkan agama Allah. Oleh karenanya mereka menduduki
urutan ketiga sebagai hal yang wajib ditaati ummat Islam seperti yang terdapat dalam
QS An-Nisa‟ ayat 59:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Baik ulama maupun pemimpin dipatuhi sesuai dengan bidang masing-masing.
Ulama dipatuhi karena memberikan petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan
pemahaman terhadap nash. Sedangkan pemimpin dipatuhi karena komitmentnya dalam
menegakkan masalah jihad, pelaksanaan hukum-hukum dan ketundukannya di bawah
petunjuk syari‟at. Negara ditegakkan sebagai saranan agar agama Allah bisa
direalisasikan. Syari‟ah memliki peranan penting sebagai sumber undang-undang
negara yang berkaitan dengan dasar negara. Undang-undang harus dibuat sesuai dengan
syari‟ah atau minimal tidak bertentangan dengannya. Syari‟ah meliputi ajaran-ajaran
yang terdapat di dalam Alquran, Sunnah dan penafsiran para ulama terhdap keduanya.
Karena Alquran dan sunnah hanya memberikan pedoman dasar mengenai negara, maka
peranan ijtihad menjadi sangat penting agar syari‟ah menjadi lebih kondisional.
Penguasa negara memiliki kekuatan yang didukung oleh ulama dan pemimpin.
Mereka adalah orang yang dipercaya rakyat untuk mengatur negara. Ulama yang
dimaksud tidak hanya terbatas kepada mereka yang memiliki keahlian di bidang ilmu
agama, tetapi lebih kepada orang yang ahli di bidangnya, mampu menerjemahkan
syari‟ah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Umara‟ adalah mereka yang
memiliki kekuatan memerintah untuk kepentingan rakyat. Dengan berpedoman pada
undang-undang yang dibuat berdasarkan syari‟at, negara diatur oleh para penguasan
untuk kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.
3. Keadilan.
Keadilan pada hakekatnya dimiliki oleh semua orang dan dipercayai akan
mewujudkan kemenangan. Salah satu ciri negara yang baik adalah apabila keadilan bisa
ditegakkan. Ibnu Taimiyyah berkeyakinan bahwa kesejahteraan masyarakan akan
terwujud bila masalah keadilan benar-benar diperhatikan, sehingga menurutnya bahwa:
Allah membela sebuah negara yang adil meskipun dimiliki oleh orang-orang kafir, dan
Ia tidak akan membela sebuah negara tirani meski dihuni oleh orang-orang mukmin.
Keadilan merupakan kunci bagi aturan segala sesuatu. Jika urusan negara ditegakkan
berdasarkan keadilan, maka tegaklah negara tersebut meskipun pada penduduknya dan
sebaliknya. Konsep keadilan menurut Ibnu Taimiyyah disusun berdasarkan informasi
dari Alquran, antara lain pada surat al-Hadid: 25, al-Maidah: 42 dan an-Nisa: 58.
Menurut Ibnu Taimiyyah bahwa syari‟at yang memerintahkan manusia untuk
memimpin dengan adil seluruhnya merupakan keadilan.
Hukum Allah swt. Merupakan sebaik-baiknya hukum. Dan barang siapa
memimpin sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah swt., maka ia telah
memimpin dengan adil. Konsep Ibnu Taimiyyah tersebut lebih jelas melalui penjelasan
muridnya, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah: “keadilam ialah segalah sesuatu yang sesuai
dengan hukum syari‟ah. Maka apa yang tidak sesuai dengan syari‟ah berarti tidak adil.
Tujuan syari‟ah adalah kebaikan manusia di dunia dan di akhirat. Maka ia membawa
hukum-hukum yang penuh keadilan. Dalam suatu negara, kekuatan itu dimiliki oleh
pemimpin negara dengan dukungan beberapa pihak. Merekalah orang yang paling
bertanggung jawab bagi terwujudnya keadilan di dalam kekuasaan mereka. Namun
karena negara adalah keseluruhan kerjasama antara penduduknya, maka tegaknya
keadilan menjadi tanggung jawab bersama. Untuk kehidupan bermasyarakat, Alquran
sangat menekankan akan amr bi ma‟ruf nahiy an munkar.
Ibnu Taimiyyah tidak dapat mentolerir adanya kesewenangan atau kezaliman
dalam bentuk apapun. Oleh sebab itu, perintah amar bi ma‟ruf nahy an munkar dapat
dikembangkan menjadi jihad. Untuk menegakkan keadilan tersebut diperluakan
penguasa yang adil lagi mempunyai kekuatan untuk menegakkan agama, memberikan
hak-hak bagi pemiliknya, serta menindak setiap orang yang melanggar. Menurut Ibnu
Taimiyyah bahwa apabila pemimpin bersungguh-sungguh memperbaiki rakyatnya
dalam urusan agama dan dunia sesuai dengan kemampuannya, maka dia adalah orang
yang paling utama di zamannya sebagai salah seorang pejuang fi sabilillah. Penguasa
adil adalah penguasa yang memahami bahwa kekuasaan yang dimilikinya merupakan
amanat dari Allah swt. Untuk kepentingan bersama dan oleh karenanya ia harus mampu
menyampaikan amanat tersebut kepada pemiliknya. Pada masanya, Ibnu Taimiyyah
merupakan salah satu tokoh masyarakat yang mendukung dan merealisasikan sendiri
upaya menegakkan keadilan.
Hanya saja ia tidak menyetujui cara-cara yang akan menghancurkan ummat,
umpanya melalui jalan kekerasan. Maka cara yang dikembangkan untuk menegakkan
keadilan apabila terdapat kezaliman yaitu dengan semangat islah/reformasi. Reformasi
terhadap kepemimpinan yang menyimpang beresiko lebih rendah daripada kudeta.
Penggunaan metode reformasi dan revolusi dalam meperbaiki kerusakan sebuah negara
sangat berkaitan dengan kepentingan dan kemashlahatan bersama seluruh bangsa. Pada
tingkat tertentu, ketika kezaliman para penguasa masih dapat ditolerir dan
kepemimpinan mereka masih dibutuhkan, maka cara reformasilah yang lebih tepat.
Pada tataran ini, tampaknya Ibnu Taimiyyah memandang betapa pentingnya reformasi.
Namun jika kepemimpinan mereka hanya menyengsarakan rakyat maka tidak ada
alasan untuk menolak revolusi. Tapi jika tidak ada keterpaksaan, Ibnu Taimiyyah
menolak revolusi.
4. Pengambilan Keputusan.
Dalam pemilihan seorang pemimpin, konsep syura harus dijalankan, yaitu
dengan melibatkan semua lapisan masyarakat yang diwakili ahl syawkah (orang-orang
yang mempunyai kekuatan/tokoh-tokoh). Ahl syawkah merupakan orang-orang yang
mempunyai kekuatan dan kemampuan di dalam masyarakatnya yang tanpa memandang
profesi dan kedudukan mereka ditaati dan dihormati oleh masyarakat. Mereka tediri
dari ulama dan umara‟. Ulama harus dipandang dalam pengertian yang luas, yaitu
setiap orang yang karena ilmunya dan pendidikannya mampu menerjemahkan atau
menafsirkan syari‟ah dengan baik dan tepat. Adapun umara‟ terdiri dari tokoh-tokoh
yang memiliki otoritas di tengah-tengah masyarakat. Mereka inilah yang bertanggung
jawab melakukan kontrak perjanjian (baiat) dengan orang yang diangkat sebagai
pemimpin. Sesudah dilakukan baiat dan seorang pemimpian sudah menjalankan
tugasnya, maka ahl syawkah tersebuty memantau dan mengawasi jalannya
pemerintahan dan menjadi rujukan pemerintah dalam memberikan petunjuk kepada
masyarakat.
Dalam setiap pengambilan keputusan negara, prinsip syura harus tetap
ditegakkan. Adanya kebersamaan seluruh ummat dalam mewujudkan cita-cita negara
mengharuskan mereka untuk saling berkonsultasi, mencari sebuah jalan keluar yang
terbaik. Menurut Ibnu Taimiyyah, jika negara dibutuhkan oleh ummat dengan
pertimbangan kebutuhan secara rasional dan agama, maka pimpinan, bentik dan
konstitusi negara itu harus ditentukan oleh hasil syura umat itu sendiri sebagai
pemegang kedaulatan. Para pemimpin negara, dalam menjalankan tugasnya harus
berdasarkan harus bersandar pada prinsip syura dalam menyelesaikan semua
problematika kehidupan rakyat. Menurut Ibnu Taimiyyah, bila kostitusi itu negara
harus berdasarkan syari‟ah, maka peran ulama sangat besar untuk menerjemahkan atau
menafsirkan syari‟ah tersebut, sehingga konstitusi itu dapat berjalan sesuai dengan yang
dikehendaki syari‟ah.
Seorang pemimpin negara, selain menerima pendapat dari para ulama, harus
menerima pendapat wakil-wakil rakyat yang memiliki otoritas dari kelas dan tingkatan
masyarakat yang berkepentingan dan dari semua orang yang sanggup memberikan
pendapat. Ibnu Taimiyyah memberi petunjuk bagaimana cara bermusyawarah yang
baik, yaitu permulaannya supaa dimulai dengan pendekatan dari setiap masalah yang
dimusyawarahkan berdasarkan nash Alquran dan sunnah. Jika ada pendapat yang
paling dekat dengan nash, maka pendapat itulah yang diikuti. Jika sebuah masalah yang
diperselisihkan tidak dapat diselesaikan pada waktu itu, baik karena alasan keterbatasan
waktu atau karena ketidak mampuan peserta musyawarah, maka dipersilahkan untuk
sementara waktu mengikuti pendapat orang yang diakui tingkat kapasitas ilmu dan
keagamaannya.
Dari keterangan di atas, jelas bagi kita bahwa Ibnu Taimiyyah menginginkan
partisipasi dan kerjasama ummat dalam memusyawarahkan dan merumuskan jalan
terbaik bagi negaranya, dengan kata lain peranan syura tersebut begitu besar dalam
pandangan Ibnu Taimiyyah. Hal itu juga menunjukkan bahwa menurut Ibnu Taimiyyah
bahwa bentuk negara adalah semacam demokrasi dimana suara ummat sangat
menentukan.12

12
Pemikiran politik Ibnu Taimyyah https://www.anekamakalah.com/2012/04/pemikiran-politik-ibnu-
taimiyyah.html
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan keterangan di atas, maka disimpulkan bahwa Ibnu Taimiyyah
merupakan salah seorang sosok tokoh dan pejuang Islam yang mempunyai
pemikiran tajam dibidang politik, di antaranya:
1. Sejarah politik Islam di masa lalu dapat dibagi kepada 3:
negara nubuwwah, khilfah nubuwwah dan negara kerajaan.
2. Tujuan mendirikan sebuah negara yaitu untuk menjalankan dan melaksanakan
syari‟ah Islam dengan aman dan baik.
3. Sebuah negara akan aman dan tenteram serta sejahtera, jika prinsip keadilan
ditegakkan dengan sebaik-baiknya.
4. Sebuah negara harus menerapkan syura dalam menyelesaikan segala
problematika kehidupan berbangsa dan bernegara.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Karim, Islam di Asia Tengah; Sejarah Dinasti Mongol-Islam (Yogyakarta:Bagaskara, 2006), hlm. 50.
Husayn Ahmad Amin, al-Mi’ah al-A’zham fi Tarikh al-Islam. Cucu Cuanda (ed.)
Ibn Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah, jilid IX juz 14, (Beirut Lebanon: Dar al-Fikr, t.th), hlm. 135-136. Lihat
juga Muhammad Amin, Ijtihad Ibn Taimiyah dalam Bidang Fikih Islam, (Jakarta: INIS, 1991), hlm. 7.
Jeje Abdul Rojak, Politik Kenegaraan Pemikiran al-Ghazali dan Ibn Taimiyah (Surabaya: Bina Ilmu, cet. 1, 1999),
hlm. 116-117.

Pemikiran politik Ibnu Taimyyah https://www.anekamakalah.com/2012/04/pemikiran-politik-ibnu-


taimiyyah.html
Qomaruddin Khan, The Political Thought of Ibn Taymiyyah., terj. Anas Wahyuddin, Pemikiran Politik Ibnu
Taymiyyah (Bandung : Pustaka, cet. 2, 2001), hlm.10.

Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, cet. 7, 2001), hlm. 229.

Anda mungkin juga menyukai