Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

PEMIKIRAN ISLAM KLASIK TENTANG TAUHID

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Tauhid dan Pemikiran Kalam

Dosen Pengampu:

Dr. Anas Amin Alamsyah, M.Ag

Oleh:

Najwa Bariroh (07020322057)

Nuzila Addina Fahma (07010322019)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia yang tak terhingga
kepada hamba-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah “Pemikiraan Islam Klasik
Tentang Tauhid” dengan tepat waktu. Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas matakuliah
Tauhid dan Pemikiran Kalam. Selama proses pengerjaan makalah ini, penyusun mendapatkan
banyak bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak. Para penyusun ingin mengucapkan
terima kasih yang sangat mendalam kepada:

1. Dr. Anas Amin Alamsyah, M.Ag selaku dosen pengampu matakuliah Tauhid dan
Pemikiran Kalam yang telah meluangkan waktu untuk memberi bimbingan dan
pengarahan dengan penuh kesabaran serta memberikan saran selama pembuatan
makalah ini.
2. Teman-teman yang selalu memberi semangat serta motivasi untuk menyelesaikan
pembuatan makalah.

Penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna dan masih terdapat
banyak kekurangan. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
untuk pengembangan makalah ini, semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah
wawasan yang lebih luas bagi para pembaca.

Surabaya, 10 April 2023

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam adalah agama samawi yang bersumber dari Allah SWT dan diwahyukan
kepada Nabi Muhammad SAW yang berintikan keimanan dan perbuatan. 1 Dalam
sejarah peradaban Islam, ada empat ilmu yang memiliki pengaruh besar dalam
perkembangannya, yakni Ilmu Fiqh yang membahas masalah hukum dalam
peribadatan dan kemasyarakatan, Ilmu Kalam yang membicarakan tentang Tuhan
beserta bentuknya, Tasawuf yang membahas penghayatan kepada keberadaan Tuhan
dan cara untuk memperolehnya secara maksimal, dan Falsafah yang merupakan telaah
spekulatif yang mendasar tentang segala masalah, terutama tentang hidup dan
lingkungannya.2
Keimanan atau akidah dalam dunia keilmuan islam telah dijabarkan dalam suau
disiplin ilmu yang dinamakan Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam. Dalam perkembangan
sejarah pemikiran islam, para ahli membagi menjadi tiga periode penting dalam ilmu
tauhid, yaitu : periode klasik, periode pertengahan dan periode modern. 3 Ilmu kalam
menjadi suatu rangkaian kesatuan sejarah, dan telah ada di masa lampau, masa
sekarang dan akan tetap ada di masa yang akan datang

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah munculnya persoalan tentang tauhid pada masa islam klasik?
1
Mahmus Syalut, al-islam aqidah wa Syariah (Tp: Darul Qalam, 1966)
2
Wahiduddin Khan, Kritik terhadap Ilmu Fiqih, Tasauf dan Ilmu Kalam (Jakarta: GIP, 1994), h. 61

3
Elmansyah, Kuliah Ilmu Kalam Formula Meluruskan Keyakinan Umat di EraDigital (Pontianak: IAIN Pontianak Press,
2017), hlm. 61-62.
2. Apa saja aliran-aliran yang ada pada masa klasik beserta para pemikirnya?
3. Apa saja corak pada setiap aliran tauhid pada islam klasik?

C. Tujuan

1. Memahami tentang sejarah munculnya persoalan tauhid pada masa islam klasik.
2. Mengetahui airan-aliran tauhid beserta pemikirnya pada masa klasik.
3. Mengetahui corak yang menjadi pembedda pada alira-aliran tauhid.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Munculnya Persoalan Tauhid pada Masa Islam Klasik

Sejarah perkembangan pemikiran dalam Islam mencatat bahwa munculnya


persoalan kalam jusstru berasal dari perbincangan umat tentang masalah politik. Saat
Nabi Muhammad SAW pindah ke Madinah pada tahun 622 M, nabi tidak hanya
menjabat sebagai pemimpin agama, namun juga sebagai peimpin negara. Nabi
Muhammad SAW yang mendirikan kekuasaan politik pertama di Madinah. 4 Karena
kenyataan bahwa Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin negara inilah yang
menjadikan pusat perhatian setelah beiau wafat tertuju pada persoalan pengganti beliau
sebagai pemimpin agama dan negara. Pelaksanaan pemakaman Nabi Muhammad SAW
dilaksanakan setelah persoalan poltik ini selesai. Dari hal itulah yang menjadi awal
timbulnya persoalan khilafah di dalam islam.
Pada masa pemerintahan Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar Bin Khattab
pemerintahan Islam berjalan dengan lancar, kehidupan politik saat itu juga bisa
dikatakan tenang. Namun, masalah mulai muncul pada masa pemerintahan Utsman bin
‘Affan. Pada masa itu keluarga Utsman dari Bani Umayyah merongrong atau
memberontak, dan Utsman tidak bisa mengadapi itu. Sehingga Utsman terpaksa
memberikan kekuasaan, kedudukan, dan fasilitas kepada mereka.5
Kebijakan Utsman bin ‘Affan yang mengangkat sanak keluarganya menimbulkan
rasa tidak suka masyarakat terhadap diri Utsman. Masyarakat mulai tidak suka dengan
sistem pemerintahan Utsman, terutama masyarakat daerah Mesir. Masyarakat Mesir

4
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1972), hlm. 3.
5
Abu al-Fath Muhammad Aabdul Karim bin Abi Bakr Ahmad al-Syahrastani, al-Milalwa al-Nihal, (Beirut: Dar al-
Fikr, .h.), hlm. 24.
tidak suka karena gubernur Mesir yang asalnya dijabat oleh Umar bin al-Ash digantikan
oleh Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah yang merupakan salah satu keluarga Utsman.
Karena hal tersebut, masyarakat berjumlah sekitar lima ratus orang berkumpul untuk
melakukan aksi protes. Dalam aksi protes tersebut Utsman bin ‘Affan terbunuh.6
Setelah Utsman bin Affan wafat, Ali bin Abi Thalib terpilih dan dibaiat sebagai
khalifah keempat. Situasi politik saat itu semakin terancam. Ali bin Abi Thalib
menghadapi tantangan dari dua kubu sekaligus, itu dari pihak Thalhah dan Zubair.
Sehingga dalam sejarah pada tahun 656 M di Irak terjadi perang Jamal. Dalam
peperangan ini, Thalhah dan Zubair terbunuh. 7 Muawiyah bin Abi Sufyan ternyata juga
tidak mengakui Ali sebagai khalifah. Utsman menuntut agar Ali segera mengadili dan
menghukum siapa saja yang terlibat dalam pembunuhan Utsman bin ‘Affan. Tuntutan
Muawiyyah ini tidak ditanggapi serius oleh Ali, akhirnya Muawiyyah menuduh Ali terlibat

atas pembunuhan Utsman bin ‘Affan atau paling tidak Ali melindungi para pembunuh

Utsman bin ‘Affan. Tuntutan Muawiyyah ini berakhir dengan bentrok senjata yang lebih
dikenal dengan perang Shiffin.
Di dalam perang Shiffin, khalifah Ali bin Abi Thalib terus maju dan berhasil
mendesak pasukan Muawiyyah. Pasukan Muawiyyah sudah hampir kalah, namun Amru
bin Ash sebagai orang kepercayaan Muawiyyah yang terkenal sebagai politikus licik
bersiasat untuk berdamai dengan mengangkat kitab suci al-Qur’an di ujung tombak.
Khalifah Ali bin Abi Thalib harus memilih di antara dua pilihan yaitu menerima tawaran
damai atau harus menolak. Pada akhirnya Ali bin Abi Thalib memilih untuk berdamai
dengan terpaksa.8 Selanjutnya diadakan tahkim atau arbitrase. Di dalam tahkim ditunjuk
wakil dari masing-masing pihak, Amru bin Ash mewakili pihak Muawiyyah dan Abu Musa
al-Asy'ari mewakili pihak Muawiyyah. Menurut sejarah, kedua wakil tersebut sebenarnya
telah bersepakat untuk menjatuhkan kedua belah pihak yang bertikai. Namun Amru bin
Ash adalah tokoh yang licik, ia berkhianat dan membelokkan hasil kesepakatan. Amru

6
M. Amin Nurdin, dkk, Sejarah Pemikiran Islam, (Jakarta: Amzaah, 2012), hlm. 3.
7
Abu al-Fath Muhammad Aabdul Karim bin Abi Bakr Ahmad al-Syahrastani, al-Milalwa al-Nihal, (Beirut: Dar al-
Fikr, .h.), hlm. 25
8
Ahmad Amin, Fajr al-Islam, hlm. 256
bin Ash dipersilakan untuk mengumumkan hasil tahkim lebih dahulu dan ia
mengumumkan bahwa menjatuhkan Ali dan bahkan langsung membaiat Muawiyyah
sebagai khalifah.9
Hasil tahkim yang merupakan bentuk kelicikan dan tipu daya Amru bin Ash tentu
sangat merugikan pihak Ali dan menguntungkan pihak muawiyah. Muawiyah tidak lebih
dari seorang gubernur yang membangkang kepada otoritas khalifah. Ali bin Abi Thalib
menolak tunduk kepada hasil tahkim dan tidak mau meletakkan jabatan khalifahnya
sampai akhir hayatnya pada tahun 661 M. Sementara itu, terdapat kelompok dari
barisan Ali sendiri yang tidak setuju terhadap sikap dan kebijaksanaan Ali terhadap
keputusan yang menguntungkan Muawiyyah. Mereka beranggapan bahwa keputusan
tersebut jelas merupakan tipu muslihat. Bahkan mereka menganggap Ali telah bersalah.
Akhirnya, mereka menyatakan keluar dari barisan Ali dan membentuk kelompok sendiri.
Kelompok ini dikenal dengan nama al-Khawarij. Dengan demikian Ali menghadapi dua
kubu lawan yaitu kaum Khawarij dan Muawiyyah.
Kaum Khawarij yang tidak setuju dengan sikap Ali dan menolak tahkim lebih
lanjut mulai menyangkutkan persoalan kalam. Mereka mulai memperbincangkan
tentang iman dan kufur. Yang utama adalah menyangkut siapa yang tetap dalam iman
dan siapa yang telah kafir terutama mereka yang terlibat dalam tahkim atau arbitrase.
10
Kaum khawarij menganggap Ali, Muawiyyah, Abu Musa dan Amr bin Ash telah kafir.
Alasannya karena dipandang tidak menetapkan hukum berdasarkan al-Qur’an. Inilah
awal sejarah munculnya persoalan kalam dalam Islam.
Dalam perkembangan selanjutnya pembahasan Khawarij tentang iman dan kufur
tidak hanya dihubungkan dengan tindakan menetapkan hukum tidak berdasarkan al-
Qur’an tetapi juga dihubungkan dengan pelaku dosa besar. Persoalan pelaku dosa besar
ini yang kemudian berpengaruh dalam pertumbuhan berbagai aliran kalam. Berbagai
persoalan kalam terus bermunculan dan berkembang sehingga pada masa Dinasti
Abbasiyah lahirlah disiplin ilmu yang dikenal dengan nama ilmu kalam. Diberi nama ilmu
9
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, ( Kairo: Dar al-Fik, 1979) jilid VI, hlm. 39-
40
10
Abu al-Hasan Ali bin Ismailal-‘Asy’ari, Maaqalat al-Islamiyin wa ikhtilaf al-mushallin, (Kairo: Maktabah al-Nahdah
al-Misriyyah, 19500 jilid I, hlm. 189.
kalam karena masalah yang dibicarakan pertama adalah masalah kalam Allah, al-Qur’an
atau karena dalam rangka memperkuat pendapat para mutakallim.
Ilmu kalam disebut juga ilmu Tauhid, ilmu Ushuluddin dan ilmu Aqoid. Disebut
ilmu Tauhid karena tujuan dari ilmu ini adalah mengesakan tuhan baik dzat sifat maupun
perbuatannya. Dinamakan ilmu Ushuluddin karena kajiannya tentang dasar-dasar dari
ajaran Islam. Adapun disebut ilmu Aqoid karena yang dibicarakan adalah masalah
akidah atau kepercayaan dalam Islam.

B. Aliran-Aliran Pemikiran Masa Islam Klasik Beserta Pemikirannya Tentang Tauhid

1. Aliran Khawarij.
Kata khawarij secara etimologi berasal dari bahasa arab Kharaja yang berarti
keluar,muncul, atau timbul atau memberontak. Berdasarka pengertian diatas Khawarij
berarti setiap muslim yang memiliki sikap laten ingin keluar dari kesatuan umat islam.
Khawarij merupakan suatu aliran dalam kalam yang bermula dari sebuah kekuatan
politik. Dikatakan khawarij karena mereka keluar dari dari barisan pasukan Ali saat
pulang dari perang siffin yang dimenangkan oleh Mu’awiyah.
2. Aliran Syiah
Syi’ah secara bahasa berarti pengikut, ”pendukung”, “partai”, atau kelompok. Sedangkan
secara terminologis istilah ini dikaitkan dengan sebagian kaum muslimin yang dalam bidang
spiritual dan keagamaanmerujukpada keturunan nabimuhammad SAW atau disebut Ahl al-bait.
Menurut Thabathbai, istilah Syi’ah untuk pertama kalinya ditujukan pada para pengikut Ali,
pemimpin pertama ahl al-bait pada masa nabi Muhammad SAW. Para pengikut Ali yang disebut
Syi’ah itu di antaranya adalah Abu Dzar Al-Ghiffari, Miqad bin Al-Aswad, dan Ammar bin Yasir.
3. Aliran Murji’ah
Kata Murji’ah berasal dari bahasa arab irja’ atau raja’a yang berarti penundaan,
penangguhan atau pengharapan, yakni memberi harapan bagi pelaaku dosa bersar untuk
mendapat ampunan di hari kiamat kelak. Murjiah adalah golongan dari para sahabat yang
menentang gagasan atau keyakinan Khawarij yang mengatakan bahwa melakukan tahkim itu
dosa besar, karena tidak ada yang dapat menghakimi kecuali Allah, dan pelaku tahkim tadi
disebut kafir. Maka dari itu, muncullah kelompok murji;ah yang mengatakan bahwa orang
tersebut tidak kafir, tetap mukmin, akan tetapi dosanya diserahkan pada Allah.
4. Aliran Mu’tazilah
Perkataan Mu’tazilah berasal dari kata Í’tizal” yang artinya “memisahkan diri”. Aliran
mu’tazilah lahir kurang lebih 120 H, pada abad permulaan kedua hijrah di kota basyrah dan
mampu bertahan sampai sekarang, namun sebenarnya, aliran ini telah muncul pada
pertengahan abad pertama hijrah yakni diisitilahkan pada para sahabat yang memisahkan diri
atau besikap netral dalam peristiwa-peristiwa politik. Aliran Mu’tazilah merupakan golongan
yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mandalam dan bersifat filosofis. Dalam
pembahasannya mereka banyak memakai akal sehingga mendapat nama “kaum rasionalis
Islam”.
5. Aliran Jabariyyah
Kata Jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa dan
mengharuskannya melaksanakan sesuatu atau secara harfiah dari lafadz aljabr
yang berarti paksaan. Kalau dikatakan Allah mempunyai sifat Aljabbar
(dalam bentuk mubalaghah), itu artinya Allah Maha Memaksa.
Selanjutnya kata jabara setelah ditarik menjadi jabariyah memiliki arti
suatu aliran. Lebih lanjut Asy- Syahratsan menegaskan bahwa paham Al
jabr berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang
sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah, Dengan kata lain
manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa.11
Secara istilah, jabbariyah berarti menyandarkan perbuatan manusia
kepada Allah SWT. Jabariyyah menurut mutakallimin adalah sebutan untuk
mahzab al-kalam yang menafikkan perbuatan manusia secara hakiki dan
menisbatkan kepada Allah SWT semata. 12
Doktrin-doktrin jabbariyah :
a. Manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa
11
Asy-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal (Surabaya: Bina Ilmu, 2006), hlm. 71.
12
Muhammad Maghfur, Koreksi Atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, (Bangil: Al-Izzah, 2002), hlm.41.
b. Kalam Tuhan adalah makhluk
c. Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat
d. Surga Neraka tidak kekal
6. Aliran Qadariyyah
Qadariyah berasal dari kata “qodara” yang artinya memutuskan dan kemampuan dan
memiliki kekuatan, sedangkan sebagai aliran dalam ilmu kalam. Qadariyah adalah nama yang
dipakai untuk salah satu aliran yang memberikan penekanan terhadap kebebasan dan kekuatan
manusia dalam menghasilkan perbuatan-perbuatannya. Dalam paham Qadariyah manusia
dipandang mempunyai Qudrat atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan
berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepada Qadar atau pada Tuhan.
Berdasarkan pengertian tersebut, qodariyyah merupakan nama suatu aliran yang
memberikan suatu penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan
perbuatannya. Harun Nasution menegaskan bahwa kaum qodariyyah berasal dari pengertian
bahwa manusia mempunyai qodrat atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, akan
tetapi bukan berarti manusia terpaksa tunduk paada qodrat Tuhan. Kata qadar dipergunakan
untuk menamakan orang yang mengakui qadar digunakan untuk kebaikan dan keburukan pada
hakekatnya kepada Allah.13
Doktrin-doktrin Aliran Qadariyah:
a. Manusia memiliki kebebasan untuk menentukan tindakannya sendiri Dalam
memahami takdir
b. aliran Qadariyah terlalu Liberal
c. Aliran Qadariyah mengukur keadilan Allah dengan barometer keadilan manusia
d. Paham ini tidak percaya jika ada takdir dari Allah.14

C. Perbedaan Corak Pemikiran Masing-Masing Aliran Tentang Tauhid

13
Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran. (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996), hlm.76
14
Hamdan Rasyid dan Saiful Hadi El-Sutha, Panduan Muslim…, hlm. 141
1. Wahyu dan akal

Kaum Mu’tazilah berpendapat semua persoalan di atas dapat diketahui oleh akal
manusia dengan perantara akal yang sehat dan cerdas seseorang dapat mencapai makrifat dan
dapat pula mengetahui yang baik dan buruk. Bahkan sebelum wahyu turun, orang sudah wajib
bersyukur kepada Tuhan. Menjauhi yang buruk dan mengerjakan yang baik. Berbeda dengan
Mu’tazilah, kaum asy’ariyah berpendapat akal memang dapat mengetahui adanya Tuhan. Tetapi
akal tidak dapat mengetahui cara berterima kasih kepada Tuhan. Untuk mengetahui hal-hal
tersebut diperlukan wahyu. Melalui wahyu manusia bisa mengetahuinya. Tanpa wahyu,
manusia tidak akan tahu. Golongan maturidiyah berpendapat, akal dapat mengetahui adanya
Tuhan kewajiban dan berterima kasih kepada Tuhan dan mengetahui baik dan buruk. Tetapi akal
tidak dapat mengetahui bagaimana kewajiban berbuat baik dan meninggalkan buruk, karena itu
wahyu sangatlah diperlukan untuk menjelaskannya. Golongan Maturidiyah Bukhara sependapat
dengan kaum Asy’ariyah[2]

2. Pelaku dosa besar

a. Menurut aliran Khawarij

Ciri yang menonjol dari aliran Khawarij adalah watak ekstrimitas dalam memutuskan
persoalan-persoalan kalam. Tak heran kalau aliran ini memiliki pandangan ekstrim pula tentang
status pelaku dosa besar. Mereka memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam peristiwa
tahkim, yakni Ali, Mu’awiyah, amr bin al-ash, Abu Musa al-asy’ari adalah kafir, berdasarkan
firman Allah pada surat al-Maidah ayat 44:

Artinya:

“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang yang kafir.” Semua pelaku dosa besar (murtabb al-kabiiah), menurut semua
sub sekte khawarij, kecuali najdah adalah kafir dan akan disiksa dineraka selamanya. Sub sekte
yang sangat ekstrim, azariqah, menggunakan istilah yang lebih mengerikan dari kafir, yaitu
musyrik. Mereka memandang musyrik bagi siapa saja yang tidak mau bergabung dengan barisan
mereka. Adapun pelaku dosa besar dalam pandangan mereka telah beralih status keimanannya
menjadi kafir millah (agama), dan berarti ia telah keluar dari Islam, mereka kekal dineraka
bersama orang-orang kafir lainnya.

b. Menurut aliran Murji’ah

Pandangan aliran murji’ah tentang setatus pelaku dosabesar dapat ditelusuri dari definisi
iman yang dirumuskan oleh mereka. Secara garis besar, sebagaimana telah dijelaskan subsekte
Khawarij dapat dikategorikan dalam dua kategori: ekstrim dan moderat.

Harun nasution berpendapat bahwa sub sekte murji’ah yang ekstrim dan mereka yang
berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak
selamanya merupakan refleksi dari apa yang ada di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan
dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti telah menggeser
atau merusak keimanannya. Bahkan keimanannya masih sempurna dimata Tuhan. Adapun
murji’ah moderat ialah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi
kafir. Meskipun disiksa dineraka, ia tidak kekal didalamnya, bergantung pada ukuran dosar yang
dilakukannya. Masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampunidosanya sehingga ia
bebas dari siksa neraca.

c. Menurut aliran Mu’tazilah

Perbedaannya, bila khwarij mengkafirkan pelaku dosa besar dan murji’ah memelihara
keimanan pelaku dosa besar, Mu’tazilah tidak menentukan status dan predikat yang pasti bagi
pelaku dosa besar, apakah ia tetap mukmin atau kafir, kecuali dengan sebutan yang sangat
terkenal, yaitu al-manzilah baialmanzilataini.

Setiap pelaku dosa besar, menurut Mu’tazilah, berada diposisi tengah diantara posisi mukmin
dan kafir. Jika pelakunya meninggal dunia dan belum sempat bertaubat, ia akan dimasukkan ke
dalam nerak selama-lamanya. Walaupun demikian, siksaan yang diterimanya lebih ringan dari
pada siksaan orang-orang kafir. Dalam perkembangannya, beberapa tokoh Mu’tazilah, seperti
wastul bin atha’ dan amr bin ubaid memperjelas sebutan itu dengan istilah fasik yang bukan
mukmin atau kafir.
d. Aliran Asy’ariyah

Terhadap pelaku dosa besar, agaknya al-asy’ari, sebagai wakil Ahl-as-Sunah, tidak
mengkafirkan orang-orang yang sujud ke baitullah (ahl-al-qiblah) walaupun melakukan dosa
besar, seperti berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang
beriman dengan keimanan yang mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar. Akan tetapi jika
dosa besar itu dilakukannya dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan (halal) dan tidak
meyakini keharamannya, ia dipandang telah kafir.

Adapun balasan di akhirat kelak bagi pelaku dosa besar, apabila ia meninggal dan tidak sempat
bertaubat, maka menurut al-asy’ari, hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan Yang Maha Esa
berkehendak mutlaq. Dari paparan singkat ini, jelaslah bahwa asy’ariyah sesungguhnya
mengambil posisi yang sama dengan murji’ah, khususnya dalam pernyataan yang tidak
mengkafirkan para pelaku dosa besar.

e. Aliran Maturidiyah

Aliran maturidiyah, baik samarkand maupun bukhara, sepakat menyatakan bahwa


pelaku dosa masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya. Adapun
balasan yang diperolehnya kelak di akhirat bergantung pada apa yang dilakukannya di dunia.
Jika ia meninggal tanpa tobat terlebih dahulu, keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada
kehendak Allah SWT. Jika menghendaki pelaku dosa besar diampuni, ia akan memasukkan ke
neraca, tetapi tidak kekal didalamnya.

f. Aliran Syi’ah

Penganut Syi’ah percaya bahwa orang yang melakukan dosa besar akan kekal di dalam
neraca, jika ia belum tobat dengan tobat yang sesungguhnya.

3. Sifat-sifat Tuhan

a. Menurut aliran Mu’tazilah

Pertentangan paham antara kaum Mu’tazilah dan kaum Asy’ariyah dalam masalah ini
berkisar sekitar persoalan apakah Tuhan mempunyai sifat atau tidak. Jika Tuhan mempunyai
sifat-sifat itu mestilah kekal seperti halnya dengan zat Tuhan. Tegasnya, kekalnya sifat-sifat akan
membawa kepada paham banyak yang kekal (ta’addud al-qudama’ atau poltiplicity of eternals).
Dan ini selanjutnya membawa pula kepada paham syirik atau polyteisme. Suatu hal yang tak
dapat diterima dalam teologi.

Sebagian telah dilihat dalam bagian 1, kaum Mu’tazilah mencoba menyelesaikan


persoalan ini dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Ini berarti bahwa Tuhan
tidak mempunyai pengetahuan, tidak mempunyai kekuatan dan sebagainya. Tuhan tetap
mengetahui dan sebagainya bukanlah sifat dalam arti kata sebenarnya. Arti “Tuhan mengetahui
dengan perantara pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri.

b. Menurut Aliran Asy’ariyah

Kaum asy’ariyah membawa penyelesaian yang berlawanan dengan Mu’tazilah mereka


dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat. Menurut aliran asy’ariyah sendiri
tidak dapat diingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat, karena perbuatan-perbuatannya, di
samping menyatakan bahwa Tuhan mengetahui dan sebagainya, juga menyatakan bahwa ia
mempunyai pengetahuan, kemauan, dan daya.[4]

c. Aliran Maturidiyah

Dapat ditemukan persamaan antara al-maturidi dan alasy’ari, seperti di dalam pendapat
bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti sama’, basher dan sebagainya. Walaupunbegitu
pengertian al-maturidi tentang sifat berbeda dengan alasy’ari. Menurut al-maturidi sifat tidak
dikatakan sebagai esensinya dan bukan pula dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulazamah
(ada bersama, baca: inheren) dzat tanpa pemisah.Tampaknya paham al-maturidi, tentang
makna sifat cenderung mendekati paham Mu’tazilah. Perbedaannya almaturidi mengaku
adanya sifat-sifat sedangkan al-Mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.

d. Aliran Syi’ah

Sebagian besar tokoh Syi’ah menolak bahwa Allah senantiasa bersifat tahu, namun
adapula sebagian dari mereka berpendapat bahwa Allah tidak bersifat tahun terhadap sesuatu
sebelum ia menghendaki. Tatkala ia menghendaki sesuatu, ia pun bersifat tahu, jika dia tidak
menghendaki, dia tidak bersifat tahu, maka Allah berkehendak menurut mereka adalah bahwa
Allah mengeluarkan gerakan (taharraka harkah), ketika gerakan itu muncul, ia bersifat tahu
terhadap sesuatu itu. Mereka berpendapat pula bahwa Allah tidak bersifat tahu terhadap
sesuatu yang tidak ada.[5]

4. Iman dan kufur

a. Aliran Khawarij

Khawarij menetapkan dosa itu hanya satu macamnya, yaitu dosa besar agar dengan
demikian orang Islam yang tidak sejalan dengan pendiriannya dapat diperangi dan dapat
dirampas harta bendanya dengan dalih mereka berdosa dan setiap yang berdosa adalah kafir.
Mengkafirkan Ali, Utsman, orang hakam, orang-orang yang terlibat dalam perang jamal dan
orang-orang yang rela terhadap tahkim dan mengkafirkan orang-orang yang berdosa besar dan
wajib berontak terhadap penguasa yang menyeleweng.[6]

Dan iman menurut kwaharij, iman bukanlah tasdiq. Dan iman dalam arti mengetahui
pun belumlah cukup. Menurut Abd. Al-jabbar, orang yang tahu Tuhan tetapi melawan
kepadanya, bukanlah orang yang mukmin, dengan demikian iman bagi mereka bukanlah tasdiq,
bukan pula ma’rifah tetapi amal yang timbul sebagai akibat dari mengetahui Tuhan tegasnya
iman bagi mereka adalah pelaksanaan perintah-perintah Tuhan.

b. Aliran Murji’ah

Menurut sub sekte murji’ah yang ekstrim adalah mereka yang berpandangan bahwa
keimanan terletak di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang
yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti menggeser atau merusak keimanannya,
bahkan keimanannya masih sempurna dalam pandangan Tuhan.[7]

Sementara yang dimaksud murji’ah moderat adalah mereka yang berpendapat bahwa
pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia tidak kekal didalamnya
bergantung pada dosa yang dilakukannya.[8]

c. Aliran Mu’tazilah
Iman adalah tashdiq di dalam hati, iktar dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan
konsep ketiga ini mengaitkan perbuatan manusia dengan iman, karena itu, keimanan seseorang
ditentukan pula oleh amal perbuatannya. Konsep ini dianut pula olah Khawarij.[9]

d. Aliran Asy’ariyah

Menurut aliran ini, dijelaskan oleh syahrastani, iman secara esensial adalah tasdiq bil al
janan (membenarkan dengan kalbu). Sedangkan qaul dengan lesan dan melakukan berbagai
kewajiban utama (amal bil arkan) hanya merupakan furu’ (cabang-cabang) iman. Oleh sebab itu,
siapa pun yang membenarkan ke-Esaan Allah dengan kalbunya dan juga membenarkan utusan-
utusan nya beserta apa yang mereka bawa dari-Nya, iman secara ini merupakan sahih. Dan
keimanan seseorang tidak akan hilang kecuali ia mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut.

e. Maturidiyah

Iman adalah tasdid dalam hati dan diikrarkan dengan lidah, dengan kata lain, seseorang
bisa disebut beriman jika ia mempercayai dalam hatinya akan kebenaran Allah dan
mengikrarkan kepercayaannya itu dengan lidah. Konsep ini juga tidak menghubungkan iman
dengan amal perbuatan manusia. Yang penting tasdid dan ikrar.

5. Perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia

a.Aliran Jabariyah

Menurut aliran ini, manusia tidak berkuasa atas perbuatannya yang menentukan
perbuatan manusia itu adalah Tuhan, karena itu manusia tidak berdaya sama sekali untuk
mewujudkan perbuatannya baik atau buruk. Diumpamakan manusia seperti wayang yang tidak
berdaya, bagaimana dan kemana ia bergerak terserah dalang yang memainkan wayang itu.
Dalang manusia adalah Tuhan, ini dianggap paham Jabariyah yang dianggap moderat,
perbuatan manusia tidak sepenuhnya ditentukan untuk Tuhan, tetapi manusia punya andil juga
dalam dalam mewujudkan perbuatannya.

b.Aliran Qadariyah
Manusia mempunyai iradat (kemampuan berkehendak atau memilih) dan qudrah
(kemampuan untuk berbuat). Menurut paham ini Allah SWT membekali manusia sejak lahirnya
dengan qudrat dan iradat, suatu kemampuan untuk mewujudkan perbuatan-perbuatan
tersebut.[10]

c.Aliran Mu’tazilah

Paham ini dalam masalah af’al ibadah seirama dengan paham Qadariyah untuk
perbuatan-perbuatan Tuhan, mereka berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-
kewajiban itu dapat disimpulkan dalam satu kewajiban yaitu kewajiban berbuat baik dan terbaik
bagi manusia seperti kewajiban Tuhan menepati janji-janji-Nya. Kewajiban Tuhan mengirim
Rasulrasul- Nya untuk petunjuk kepada manusia dan lain-lain.[11]

d.Aliran Asy’ariyah

Dalam menggambarkan hubungan perbuatan manusiadengan qodrat dan iradat Tuhan,


Abu Hasan Ali Bin Ismail al- Asy’ari menggunakan paham kasb yang dimaksud dengan al-Kasb
adalah berbarengan kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan. Artinya apabila seseorang
ingin melakukan suatu perbuatan, perbuatan itu baru terlaksana jika sesuai dengan kehendak
Tuhan.

e.Aliran Maturidiyah

Menurut golongan maturidiyah, kemauan sebenarnya adalah kemauan Tuhan namun


tidak selamanya perbuatan manusia dilakukan atas kerelaan Tuhan karena Tuhan tidak
menyukai perbuatan-perbuatan buruk. Jadi di dalam aliran Maturidiyah ada 2 unsur: kehendak
dan kerelaan.

6. Kehendak muthlak dan keadilan Tuhan

a. Aliran Mu’tazilah

Mu’tazilah yang berperinsip keadilan Tuhan mengatakan bahwa Tuhan itu adil dan tidak
mungkin bebuat zalim dengan memaksakan kehendak kepada hamba-Nya kemudian
mengharuskan hamba-Nya untuk menanggung akibat perbuatannya, secara lebih jelas aliran
Mu’tazilah mengatakan bahwa kekuasaan sebenarnya tidak mutlak lagi. Itulah sebabnya
Mu’tazilah menggunakan ayat 62 surat Al-Ahzab (33)

b. Aliran Asy’ariyah

Mereka percaya pada kemutlakan kekuasaan Tuhan, berpendapat bahwa perbuatan


Tuhan tidak mempunyai tujuan, yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu semata-mata
adalah kekuasan dan kehendak mutlak-Nya dan bukan karena kepentingan manusia atau tujuan
yang lain. Landasan surat al-Buruj ayat 16

c. Aliran Maturidiyah

Kehendak mutlak Tuhan, menurut maturidiyah samarkand, dibatasi oleh keadilan Tuhan,
Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik dan tidak mampu untuk
berbuat serta tidak mengabaikan kewajibankewajiban hanya terhadap manusia. Pendapat ini
lebih dekat dengan Mu’tazilah.

Adapun maturidiyah bukharak berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan


mutlak, Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya tidak
ada yang menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan. Tampaknya aliran
maturidiyah bukhara lebih dekat dengan Asy’ariyah.[12]

KESIMPULAN

Teologis Islam merupakan sistem nilai yang bersifat ilahiyah, tetapi dari sudut sosiologis
ia merupakan fenomena peradaban kultural dan realitas sosial dalam kehidupan manusia.
Teologis dalam Islam tidak bisa lepas dari kenyataan sosial yaitu perubahan. Perubahan inilah
yang merupakan salah satu sifat asasi manusia dan alam raya secara keseluruhan. Doktrin
doktrin dalam ajaran Islam yang terus bergulir membuahkan sebuah produk pemikiran
keagamaan tertentu. Secara sosiologis pemikiran itu akan terus mengalami perkembangan
sesuai dengan perkembangan zaman dan problem yang terjadi. Pemikiran Islam klasik tentang
tauhid bisa m menjadi suatu pelajaran untuk memecahkan problem yang semakin akut. Namun
dalam mempelajarinya tentu kita butuh sikap kritis dalam menganalisa.

DAFTAR PUSTAKA

DR. Abdul Rozak, M.Ag. DR. Rosihon Anwar, M. Ag, Ilmu Kalam, Pustaka Setia Bandung:
2006.
Abdullah, Amin. 1995. “Aspek Epistemologi Filsafat Islam” dalam Irma Fatimah (ed).
Filsafat Islam, Yogyakarta: LSFI, ——————-Falsafah Kalam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
——————- 2000. “Kajian Ilmu Kalam di IAIN menyongsong Perguliran Paradigma Keilmuan
Keislaman Pada Era Milenium Ketiga” dalam al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, No. 65/VI.
Yogyakarta: IAIN Suka.
Harun Nasution,Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisis Pebandingan,UI Press,
Jakarta: 1986
Hanafi, Hassan, t.t. Dirasat Islamiyyah. Kairo: Maktabah al-Anjilo al-Misriyyah.
Drs. H. Sahilun A Nasir. Pengantar Ilmu Kalam Raja grafindo Persada. Jakarta: 1996:
Drs. H. M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid,Raja Grafindo Persada Jakarta: 1993.
Asy-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal (Surabaya: Bina Ilmu, 2006)

Anda mungkin juga menyukai