Anda di halaman 1dari 16

ALIRAN SYI’AH

Dosen Pengampu: Prosmala Hadisaputra, Ph.D

Oleh Kelompok 6 (VI): Umi Nur Janah

Azidni Syuhada

ABSTRAK
Sejarah mencatat, bermula dari perpecahan politik yang terjadi, pada kelanjutannya melahirkan
aliran-aliran teologi dalam Islam. Aliran yang paling terkenal dengan peristiwa ini adalah Khawarij yang
muncul sebagai pasukan yang keluar dari barisan Ali atau memisahkan diri sebagai bentuk protes
terhadap keputusan Ali dan pada saat yang sama muncul golongan yang setia mendukung Ali yang
terkenal dengan nama Syi’ah, yang dalam perkembangannya hadir sebagai sebuah aliran yang memiliki
konsep dan ajaran sendiri. kelompok Syi’ah sangat selektik menerima riwayat-riwayat dari sahabat dan
menjustifikasi hadis-hadits yang hanya bersumber dari Imam ahlulbait yang memiliki validitas absah.
Diantara para pendukung setia Ali diantaranya adalah : Salman al-Farisi, Ammar ibn Yasir, Abu Dzar
al-Gifffari, al-Miqdad ibn al-Aswad, Jabir ibn Abdillah, Ibn Taihan, Abdullah ibn Mas’ud Huzaifah ibn
al-Yaman dan Abu Rafi’. Sebaliknya tidak jarang mereka men-jarh dan menolak hadits-hadits yang
diriwayatkan oleh mayoritas sahabat secara berlebihan seperti Abu Hurairah, Samurah ibn Jundub, Amr
ibn al-Ash, al-Mughirah ibn Su’bah dan lain sebagainya. Syi’ah memiliki 5 pokok ajaran, yaitu : At-
Tauhid, Al-Adl, An Nubuwwah, Al-Imamah dan Al-Ma’ad. masuknya Syi’ah di Indonesia melalui 4
tahap, yaitu : Tahap pertama, bersamaan dengan masuknya Islam diIndonesia, tahap kedua, Si’ah masuk
ke Indonesia setelah revolusi Iran, tahap ketiga, Syi’ah masuk melalui intelektual Islam Indonesianyang
belajar di Iran dan tahap keempat, Syi’ah masuk ke Indonesia melalui pendirian Organisasi Ikatan
Jama’ah Ahlulbait Indonesia.

Keyword : Sejarah Syi’ah, Syi’ah di Indonesia


A. PENDAHULUAN
Secara historis, akar aliran Syi’ah terbentuk segera setelah kematian Nabi Muhammad, yakni
ketika Abu Bakar terpilih sebagai khalifah pertama pada pertemuan tsaqifah 1 yang diselenggarakan di
Dar al-Nadwa, di Madinah. Pemilihan tersebut di laksanakan secara tergesa-gesa sebagai wujud
persaingan antara kelompok Anshar dan Muhajirin yang sempat mengancam perpecahan Islam. Dalam
pertemuan tersebut Ali tidak hadir, karena sibuk mengurus jenazah Nabi Muhammad. Pada waktu itu
usia Ali 30 tahun, dimana bangsa Arab menjadikan usia sebagai syarat penting kecakapan
kepemimpinan, meskipun secara historis terdapat sejumlah pengecualian akan hal tersebut. Tetapi
pengikut Ali pada saat itu merasa bahwa klaim tersebut tidak adil.
Selanjutnya, Umar ditunjuk oleh Abu Bakar sebagai penggantinya, menjadi khalifah kedua yang
kemudian dilanjutkan oleh Usman. Setelah Usman terbunuh oleh pemberontak yang mengatasnamakan
diri mereka sebagai anti depotisme keluarga Umayyah, Ali kemudian diangkat menjadi kalifah keempat
pada tahun 35H/656M.
Perjalanan sejarah menunjukkan bahwa peristiwa pembunuhan khalifah Usman Bin Affan telah
melahirkan rentetan sejarah yang panjang yang berdampak pada khalifah setelahnya, yaitu Ali bin
Abi Thalib. Diantaranya adalah penolakan Mu’awiyah, Gubernur Damaskus atas kekhalifahan Ali
bin Abi Thalib dengan alas an bahwa Ali tidak melakukan pengusutan terhadap pembunuhan Usman.
Akibatnya, terjadilah perang Siffin yang berakhir dengan peristiwa Tahkim, yang dianggap sebagai
titik temu penyelesaian permasalahan yang terjadi antara Mu’awiyah dan khalifah Ali.
Namun, peristiwa tersebut justru melahirkan berbagai macam reaksi dan aksi, seiring dengan tidak
bisanya benyatukan pendapat dari pemikiran masing-masing kelompok. Pada akhirnya membuat umat
terpisah menjadi beberapa bagian. Sejarah mencatat, bermula dari perpecahan politik ini, pada
kelanjutannya melahirkan aliran-aliran teologi dalam Islam. Aliran yang paling terkenal dengan
peristiwa in adalah Khawarij yang muncul sebagai pasukan yang keluar dari barisan Ali atau
memisahkan diri sebagai bentuk protes terhadap keputusan Ali dan pada saat yang sama muncul
golongan yang setia mendukung Ali yang terkenal dengan nama Syi’ah, yang dalam perkembangannya
hadir sebagai sebuah aliran yang memiliki konsep dan ajaran sendiri.

1
Tsaqifah adalah balai pertemuan di Madinah yang digunakan untuk membahas suatu masalah umum.
Syi’ah memiliki kecintaan terhadap Ali dan Ahlul Bait. 2Dan kecintaan itu kemudian berkembang
setahap demi setahap yang pada akhirnya menjadikan Syi’ah sebagai sebuah mazhab atau aliran yang
memiliki ajaran-ajaran tersendiri dalam bidang politik, fiqih dan bidang lainnya. Dalam
perkembangannya, Syi’ah dapat diterima oleh banyak kalangan namun dengan banyak perbedaan dan
perpecahan yang melahirkan sekte itu sendiri. Tetapi sekalipun Syi’ah terpecah kepada beragam sekte,
namun mereka mempunyai keyakinan yang sama pada umumnya yang merupakan cirri Syi’ah secara
menyeluruh.
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini, yaitu:
1. Sejarah kemunculan aliran Syi’ah
2. Tokoh-tokoh Syi’ah
3. Pokok pemikiran akidah Syi’ah
4. Kemunculan Syi’ah di Indonesia
Sedangkan manfaat yang bisa diambil dari makalah ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui sejarah aliran Syi’ah
2. Untuk mengetahui siapa saja tokoh-tokoh dalam Syi’ah
3. Untuk mengetahui pokok pemikiran akidah Syi’ah
4. Untuk mengetahui bagaimana kemunculan Syi’ah di Indonesia

2
Ahlul Bait adalah mereka yang haram menerima zakat dan sedekah karena kekerabatannya dengan Rasulullah atau lebih
jelasnya seperti keturunan Rasulullah,para istri beliau dan semua muslim/muslimah dari keturumam Abdul Muthalib yakni Bani
Hasyim.
B. METODE PENELITIAN
Tahapan-tahapan metode penelitian makalah ini akan dijelaskan sebagai berikut. Sebelum
menjelaskannya secara lebih rinci, dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan metode penelitian
kualitatif, dengan jenis penelitian kepustakaan atau literature. Adapun langkah-langkah yang dilakukan
yakni : pertama, penulis mengumpulkan sumber atau data-data yang terkait dengan tema makalah
tersebut melalui penelitian pusaka. Sumber-sumber tersebut diperoleh dari materi yang diberikan oleh
dosen dan artikel maupun jurnal yang bersifat online. Selain itu, penulis juga memanfaatkan media
tekhnologi informasi seperti internet, Google Scholar dan Google Books.
Langkah kedua, penulis melakukan kritik atau analisis setelah melakukan penelusuran sumber
sebagaimana penjelasan diatas, kemudian penulis melakukan kritik terhadap sumber-sumber yang telah
diperoleh tadi, dengan cara melihat asal sumber dan menyeleksi sumber-sumber tersebut. Hal ini
dilakukan untuk melihat apakah sumber tersebut cocok dan layak apabila digunakan dalam makalah ini.
Langkah ketiga, penulis menyajikan keseluruhan dari isi penelitian ini dalam bentuk uraian yang
disusun secara sistematis dengan bahasa yang sederhana.
C. PEMBAHASAN
1. Sejarah Kemunculan Alirah Syi’ah
Syi’ah menurut bahasa berarti sahabat atau pengikut. Pengertian Syi’ah juga dikatakan
sebagai nama bagi skelompok orang yang menjadi pendukung atau pengikut Ali bin Abi Thalib.
Menurut Drs. Nourozzaman Shiddiqi, MA dalam (Prof. Dr Sukirman : Tauhid dan Ilmu Kalam :
hal. 107 ), mengemukakan bahwa para pengikut atau pendukung Ali ini tidak pernah mau menerima
penamaan diri mereka dengan Syi’ah, sebagai satu golongan atau sekte. Kaum sunnilah yang
memberi nama Syi’ah kepada mereka sebagai suatu ejekan .3Bisa disimpulkan bahwa syi’ah tidak
pernah menamakan diri mereka dengan sebutan syi’ah. Namun, pemberian nama itu muncul dari
kaum sunni.
Akar permasalahan umat Islam, termasuk muncuklnya mazhab Syi’ah bermula dari
perselisihan mereka terkait siapa yang paling layak menjadi pemimpin setelah Rasulullah wafat.
Sebab sebelum Rasul wafat, beliau tidak menentukan siapa pengganti beliau. Sementara kaum
muslimin merasa perlu mempunyai seorang khalifah yang dapat mengikat umat islam dalam suatu
ikatan kesatuan. Mereka berpendapat bahwa kaum Ansharlah yang paling layak menjadi pengganti
Rasul, lalu mengusulkan Sa’ad bin Ubadah sebagai pemimpin. Di waktu yang sama, Umar
mengajak Abu Bakar dan Abu Ubaidah bin Jarrah. Ketiganya berangkat ke pertemuan kaum
Anshar. Dihadapan kaum Anshar, Abu Bakar berpidato tentang keistimewaan kaum Anshar dan
kaum Muhajirin, diantaranya adalah bahwa bangsa Arab tidak akan tunduk kecuali kepada kaum
Muhajirin, bahkan Allah mendahulukan kaum Muhajirin daripada kaum Anshar di dalam Al-
Qur’an. Setelah perdebatan tentang pemimpin tersebut, akhirnya kedua belah pihak setuju bahwa
Abu Bakar lah yang akan di angkat menjadi khalifah.4

3
Sukirman, Tauhid dan Ilmu kalam, (Medan : Perdana Mulya Sarana, 2021), hal. 107
4
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, (Jakarta : Pustaka Rizki Putra, 2009), hal. 104-
105
Permasalahan kemudian muncul, ketika saat itu Ali tidak muncul di tempat pertemuan
tersebut. Setelah mendengar pembaiatan Abu Bakar, nampak tidak puasan Ali. Timbullah pendapat
bahwa yang berhak memegang khalifah adalah keluarga Nabi dan Ali lah yang paling pantas.
Karena ia adalah menantu Rasul, orang yang paling besar jihadnya, paling banyak ilmunya,
keluarganya adalah seutama-utama keluarga Arab. Meskipun demikian, akhirnya Ali ikut membaiat
Abu Bakar setelah beberapa hari berlalu.
Setelah Abu Bakar wafat khalifah dipegang oleh Umar bin Khattab, banyak daerah yang bias
dikuasai oleh umar pada masa itu. Setelah Umar terbuuh, yang kemudian menjadi khalifah adalah
Utsman bin Affan. Namun, pada masa kekhalifahannya Bani Umayyah mengambil manfaat bagi
mereka sendiri. Ustman merasakan bahwa Bani Umayyah benar-benar ikhlas dan membantunya
dengan penuh kejujuran sehingga, Utsman banyak mengangkat pejabat pemerintahan dari Bani
Umayyah. Masyarakat muslim melihat Utsman menempuh jalan lain yang ditempuh dua khalifah
sebelumnya. Muncullah ketidakpuasan atas kepemimpinan Utsman sehingga Utsman akhirnya
terbunuh.
Sayyidina Ali akhirnya dibaiat oleh sebagian besar kaum muslimin, termasuk mayoritas kaum
Muhajirin. Namun, beberapa sahabat Nabi ada yang enggan membaiat Ali, yaitu Zubair dan
Talhah., Dengan persetujuan Aisyah keduanya menentang Ali dan berkecamuklah perang Jamal
antara pasukan Ali dan pasukan Aisyah, Zubair dan Talhah gugur dalam pertarungan tersebut.
Disisi lain, Mu’awiyah dari keluarga Mu’awiyyah yang menjadi Gubernur Syam, menuntut Ali
untuk mengusut secara tuntas dan menghukum orang yang membunuh Utsman. Atas ketidakpuasan
Bani Umayyah ini, Mu’awiyyah akhirnya memberontak khalifah Ali. Akhirnya terjadilah
pertempuran dilembah Siffin yang akhirnya diberi nama perang Sifffin. Pada akhir pertemuan,
pihak Ali hamper memenangkan pertempuran, namun pihak Mu’awiyyah meminta salah satu
tentaranya untuk mengangkat mushaf di atas tebing yang tinggi sebagai tanda menyerah dan
permintaan perdamaian. Beberapa orang dari pasukan Ali merasa tidak puas atas keputusan damai
(tahkim) tersebut, sebab mereka merasa pasukan Ali hamper menumpaskan pasukan pemberontak
tersebut5.

5
Ahmad Atabik, Melacak Historitas Syi’ah, vol. 3, No. 2, (Ilmu Akidah dan Sudi Keagamaan, 2015), hal. 331
Akibat dari peristiwa tahkim ini bukan berujung perdamaian, namun malah menimbulkan
faksi-faksi yang memecah umat Islam kedalam 3 kelompok. Yaitu :
1. Kelompok Syi’ah, yaitu golongan yang memihak kepada Ali dan kerabatnya. Mereka
berpendapat bahwa Ali dan keturunannya lah yang berhak menjadi khalifah.
2. Kelompok Khawarij, yaitu golongan yang menentang Ali dan Mu’awiyyah, mereka
berpendapat bahwa tahkim itu menyalahi prinsip agama.
3. Kelompok Murji’ah, yaitu golongan yang menggabungkan diri kepada salah satu pihak
dan menyerahkan hokum pertengkaran tersebut kepada Allah SWT.

Kelompok Syi’ah mula-mula adalah orang-orang yang mengagumi Sayyidina Ali, sebagai
pribadi dan kedudukan istimewa di sisi Rasulullah, sehingga ia mempunyai pengaruh yang besar
dan muncullah rasa cinta sebagai kaum muslimin kepadanya. Namun, kecintaan itu berubah
menjadi fanatisme yang buta di 2 abad selanjutnya. Sehingga menjadi perbedaan yang besar antara
pandangan sekelompok sahabat tersebut terhadap Ali dengan prinsip-prinsip yang dianut oleh kaum
Syi’ah 2 abad kemudian. Misalnya, kelompok sahabat pecinta Ali tersebut tidak mungkin dinamai
Syi’ah dalam artian istilah yang dikenal sekarang. Meskipun mereka mencintai Ali melebihi
kecintaan kepada sahabat lainnya. Mereka juga membaiat para khalifah yang telah disepakati oleh
para sahabat pada waktu itu.6 Syi’ah Ali yang muncul pertama kali pada era kekhalifahan Ali Bin
Abi Thalib ra, bias disebut sebagai pengikut setia khalifah yang sah pada saat itu melawan pihak
Mu’awiyah dan bersifat cultural bukan bercorak akidah seperti yang dikenal pada masa sesudahnya
hingga sekarang.7

6
Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir Al-Qur’an: Perkenalan dengan metodologi Tafsir, (Bandung: Penerbit Pusaka,
1987), hal. 121
7
KH. Ma’ruf Amin, dkk., Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia, (Depok: GEMA INSANI),
hal. 17.
2. Tokoh-tokoh Syi’ah
Kemelut Syi’ah dalam literature Islam berawal dari pengambilan hak kepemimpinan Ali oleh
Abu Bakar, Umar Bin Khattab dan puncaknya pada zaman Utsman bin Affan sampai Ali bin Abi
Thalib sendiri. Konstelasi politik yang tidak terkendali kemudian menjadi perpecahan dalam bidang
politik, akidah, fiqih dan akhlak. Perseteruan dalam ranah politik pada akhir kekuasaan al-Khulafaur
Rasyidin dengan riak-riaknya menstimulus kelompok Syi’ah secara khusus mengapresiasi hadis-
hadis riwayat ahlulbait dan pengikut setia Ali.
Pada perkembangan berikutnya, kelompok Syi’ah sangat selektik menerima riwayat-riwayat
dari sahabat dan menjustifikasi hadis-hadits yang hanya bersumber dari Imam ahlulbait yang
memiliki validitas absah. Diantara para pendukung setia Ali diantaranya adalah : Salman al-Farisi,
Ammar ibn Yasir, Abu Dzar al-Gifffari, al-Miqdad ibn al-Aswad, Jabir ibn Abdillah, Ibn Taihan,
Abdullah ibn Mas’ud Huzaifah ibn al-Yaman dan Abu Rafi’. Sebaliknya tidak jarang mereka men-
jarh dan menolak hadits-hadits yang diriwayatkan oleh mayoritas sahabat secara berlebihan seperti
Abu Hurairah, Samurah ibn Jundub, Amr ibn al-Ash, al-Mughirah ibn Su’bah dan lain sebagainya.
Mereka inilah seperti Abbas, Salman, Abu Dzar, Miqdad dan Ammar setelah mengetahui
tentang pelaksanaan pemilihan khalifah. Mereka mengajukan protes terhadap musyawarah dan
pemilihan dalam pengangkatan khalifah dan juga terhadap mereka yang bertanggung jawab atas
pelaksanaan pemilihan itu. Bahkan mereka juga menunjukkan bukti-bukti dan alas an-alasan mereka,
tetapi jawaban yang mereka terima adalah bahwa kesejahteraan kaum Muslimin terancam dan jalan
keluarnya adalah seperti apa yang telah dilakukan. Protes dan kecaman inilah yang memisahkan
kaum minoritas pengikut Ali dan kaum mayoritas serta menjadikan pengikut-pengikutnya yang
dikenal masyarakat sebagai partisan atau Syi’ah Ali. Kekhalifahan pada masa itu tidak menghendaki
adanya sebutan seperti itu, terhadap minoritas Sy’ah sebab hal itu berarti memecah belah umat Islam
kedalam dua kelompok, yaitu mayoritas dan minoritas.8

8
Helmi Chandra,dkk., Pengaruh Politik Syi’ah dan Sunni Terhadap Perkembangan Ilmu Hadits, (Depok: PT.
RajaGrafindo Persada, 2021), hal. 35-37
3. Pokok Pemikiran Akidah Syi’ah
Kaum Syi’ah memiliki 5 pokok pikiran utama yang harus dianut oleh pengikutnya, yaitu :
a. At-Tauhid
Kaum Syi’ah juga meyakini bahwa Allah itu Esa, tempat bergantung semua makhluk, tidak
beranak dan tidak diperanakkan dan juga tidak serupa dengan makhluk-Nya. Namun, menurut
mereka Allah memiliki 2 sifat yaitu al-tsubutiyah yang merupakan sifat yang harus dan tetap ada
pada Allah. Sifat ini mencakup ‘alim (mengetahui), qadir (berkuasa), hay (hidup), murid
(berkehendak), mudrik (cerdik, berakal), qadim azaly baq (tidak berpemulaan dam kekal),
mutakallim (berkata-kata) dan shaddiq (benar). Sedangkan sifat kedua yang dimiliki oleh Allah
yaitu al-salbiyah yang merupakan sifat yng tidak mungkin ada pada Allah SWT. Sifat ini
diantaranya berjisim, bias dilihat, bertempat, bersekutu, berhajat kepada sesuatu dan merupakan
tambahan dari Dzat yang telah dimiliki-Nya.9
b. Al-‘Adl
Kaum Syi’ah memiliki keyakinan bahwa Allah memiliki sifat Maha Adil. Menurut mereka,
semua perbuatan yang dilakukan Allah pasti ada tujuan dan maksud tertentu yang akan dicapai,
sehingga segala perbuatan yang dilakukan Allah SWT. adalah baik.
c. An-Nubuwwah
Kepercayaan kaum Syi’ah terhadap keberadaan Nabi juga tidak berbeda halnya dengan kaum
muslimin yang lain. Menurut mereka Allah mengutus Nabi dan Rasul untuk membimbing umat
manusia. Dalam hal kenabian, Syi’ah berpendapat bahwa jumlah Nabi dan Rasul seluruhnya
yaitu 124 orang. Nabi terakhir adalah Nabi Muhammad yang merupakan Nabi yang paling utama
dari seluruh Nabi yang ada, istri-istri Nabi adalah orng yang suci dari segala keburukan, para
Nabi terpelihara dari segala bentuk kesalahan baik sebelum maupun sesudah diangkat menjadi
Rasul.

d. Al-Imamah
9
Abu Razak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), cet. Ke-2, hal. 94
Bagi kaum Syi’ah, imamah berarti kepemimpinan dalam urusan agama sekaligus dalam dunia. Ia
merupakan pengganti Rasul dalam memelihara Syari’at, melaksanakan hudud (hukuman terhadap
pelanggar hukum Allah), dan mewujudkan kebaikan serta ketentraman umat. Bagi kaum Syi’ah
yang harus menjadi pemimpin adalah seorang imam, dan bagi pemimpin yang selain imam
adalah pemimpin yang illegal dan tidak wajib ditaati. Oleh karena itu mereka menganggap
pemerintahan setelah wafatnya Rasul (kecuali pemerintahan Ali bin Abi Thalib) tidak sah.
Disamping itu, imam dianggap mas’um, terpelihara dari dosa sehingga imam tidak berdosa serta
perintah dan larangan, tindakan maupun perbuatannya tidak boleh dikrtitik dan diganggu gugat.
e. Al-Ma’ad
Secara harfiah al ma’dan berarti tempat kembali, yang dimaksud disini adalah akhirat. Kaum
Syi’ah sepenuhnya percaya bahwa hari kiamat itu pasti terjadi. Menurut keyakinan mereka,
manusia kelak akan dibangkitkan, jasadnya keseluruhan dan akan dikembalikan ke asalnya baik
daging, tulang maupun ruhnya. Dan pada hari kiamat itu pula manusia harus
mempertanggungjawabkan segala perbuatan yang telah dilakukan selama hidup didunia
dihadapan Allah SWT. pada saat itu juga Tuhan memberikan pahala bagi orang yang beramal
shaleh dan menyiksa orang yang telah berbuat kemaksiatan.

4. Kemunculan Syi’ah di Indonesia


Ada yang berpendapat bahwa Syi’ah muncul di Indonesia pada abad ke-12 Masehi, ada juga
yang mengatakan bahwa orang-orang Syi’ah muncul di Nusantara jauh sebelum abad ke-12 M.
Menurut Jalaluddin Rahmat (tokoh Syiah Indonesia), perkembangan Syiah di Indonesia terdapat
empat fase (periodisasi).
a. Fase pertama, Syiah sudah masuk keindonesia sejak masa awal masuknya Islam di Indonesia
melalui para penyebar Islam awal, yaitu melaui orang- orang persia yang tinggal di Gujarat.
Syiah pertama kali datang ke Aceh. Raja pertama Kerajaan Samudra Pasai yang terletak di Aceh.
Marah Silu, memeluk Islam versi Syiah dengan memakai gelar Malikul Saleh.Tapi kemudian
pada zaman Sultan Iskandar Tsani, kekuasaan dipegang oleh ulama Sunnah (Sunni). Saat itu
orang Syiah bersembunyi, tak menampakkan diri sampai muncul gelombang kedua masuknya
Syiah ke Indonesia, yaitu setelah revolusi Islam di Iran (Viva News, 2012). Ulama ternama Asal
Aceh, Abd al-Ra’uf Al-Sinkili, adalah pengikut dan penggubah sastra Syi’ah. Pendapat ini juga
dikuatkan dengan temuan beberapa kuburan yang mencerminkan kuburan Syiah, terutama di
wilayah Gresik Jawa Timur.Pada Tahap awal ini Syiah tidak mengalami benturan dengan
kelompok lain, karena pola dakwah yang dilakukan secara sembunyi. Selama periode pertama,
hubungan antara Sunni-Syiah di Indonesia, pada umumnya, sangat baik dan bersahabat tidak
seperti yang terjadi di negeri-negeri lain seperti, misalnya, Pakistan, Irak, atau Arab Saudi.
Karena persebaran Syiah di Indonesia yang sudah berlangsung lama, ada beberapa ritual dalam
tradisi Syiah yang mempengaruhi pola ritual keagamaan di kalangan komunitas Islam Indonesia.
Salah satunya ialah praktik perayaan 10 Muharram yang biasa dirayakan oleh pengikut Syiah
untuk memperingati terbunuhnya Husein ibn Ali, cucu Nabi Muhammad. Husein terbunuh dalam
Perang Kabala pada 10 Muharram 61 H. Jika ditelusuri Tabot atau tabuik berasal dari kata tabut
dalam bahasa Arab kotak. Kata tabut ini dalam perayaan diwujudkan dengan peti sebagai symbol
peti jenazahnya imam-imam kaum Syiah yang telah dibunuh secara kejam semasa pemerintahan
Bani Umayyah. (Dahri, 2009; Tempo, Senin, 03 September 2012) Ritual di kalangan sunni
seperti tradisi ziarah kubur dan membuat kubah pada kuburan adalah tradisi Syi’ah. Tradisi itu
lahir di Indonesia dalam bentuk mazhab Syafi’i padahal sangat berbeda dengan mazhab Syafi’i
yang dijalankan di negara-negara lain. Berkembangnya ajaran pantheisme (kesatuan wujud,
union mistik, Manunggal ing Kawula Gusti), di Jawa dan Sumatera merupakan pandangan
teologi dan mistisisme (tasawuf falsafi) yang sinkron dengan aqidah Syiah(Nursaymsuriati,
2011). Infiltrasi Syiahdalam penyebaran Islam di Indonesia nampak jelas pada masyarakat NU
sebagai representasi kelompok Alhusunnah, pengaruh tadisi Syi’ah pun cukup kuat di dalammya.
Dr Said Agil Siraj sebagai Wakil Katib Syuriah PBNU secara terang mengatakan bahwa
kebiasaan Barjanji dan Diba’i adalah berasal dari tradisi Syiah.Dan bahkan KH Abdurrahman
Wahid pernah mengatakan bahwa Nahdatul Ulama secara cultural adalah Syi’ah. (Abna ir,
2012).
b. Fase kedua, setelah revolusi Islam di Iran tahun 1997. Gerakan revolusi mampu mengubah Iran
dari monarki di bawah Shah Mohammad Reza Pahlevi, menjadi Republik Islam di bawah
pimpinan Ayatullah Agung Ruhullah Khomeini. Ketika itu orang Syiah mendadak punya negara,
yaitu Iran. Sejak kemenanganSyiah pada Revolusi Iran, muncul simpati yang besar di kalangan
aktivis muda Islam di berbagai kota terhadap Syiah. Figur Ayatullah Khomeini menjadi idola di
kalangan aktivis pemuda Islam. Buku-buku tulisan Ali Shariati, seperti “tugas cendekiawan
Muslim” menjadi salah satu “inspirator” Revolusi Iran, dibaca dengan penuh minat. Bahkan
tokoh cendekiawan Muhammadiyah, Amin Rais, dengan sengaja menterjemahkan dari versi
bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia. Naiknya popularitas Syiah itu membuat khawatir dan was-
was negeri yang selama ini menjadi “musuh” bebuyutan Iran, yakni Arab Saudi. Melalui
lembaga-lembaga bentukan pemerintah, Saudi Arabia melakukan upaya untuk menangkal
perkembangan Syiah, termasuk penyebarannya di Indonesia. Sejumlah buku yang anti-Syiah
diterbitkan, baik karangan sarjana klasik seperti Ibn Taymiyah (1263-1328), atau pengarang
modern, seperti Ihsan Ilahi Zahir, seorang propagandis anti-Syiah yang berasal dari Pakistan.
Dominasi kuat kelompok di luar Syiah di Indonesia, berdampak pada reaksi yang ditunjukkan
masyarakat Indonesia. Masuknya faham Syiah di Indonesia dicounter dengan penyebaran buku-
buku yang berisi informasi tentang Syiah yang bernada negatif atau menunjukan sikap penolakan
terhadap Syiah. Beberapa literatur beredar di masyarakat pasca kemenangan Syiah di Iran
diterbitkan di Indonesia. Meski telah begitu banyak buku-buku diterbitkan, kekhawatiran
masuknya Syiah tidak juga surut. Pada Rapat Kerja Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI)
tahun 1984, melalui surat ketetapan tanggal 7 Maret 1984 yang ditandatangani oleh Prof. K.H.
Ibrahim Hosen, merekomendasikan tentang faham Syi’ah sebagai berikut: Faham Syi’ah sebagai
salah satu faham yang terdapat dalam dunia Islam mempunyai perbedaan- perbedaan pokok
dengan mazhab Sunni (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah) yang dianut oleh Umat Islam Indonesia.
Perbedaan yang disebutkan dalam ketetapan MUI tersebut di antaranya:
a). Syi’ah menolak hadits yang tidak diriwayatkan oleh Ahlul Bait;
b). Syi’ah memandang “Imam” itu ma ‘sum (orang suci);
c). Syi’ah tidak mengakui Ijma’ tanpa adanya “Imam”;
Syi’ah memandang bahwa menegakkan kepemimpinan/pemerintahan (imamah) adalah
termasuk rukun agama;
e). Syi’ah pada umumnya tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar As-Shiddiq, Umar Ibnul
Khatthab, dan Usman bin Affan.
Mengingat perbedaan-perbedaan pokok antara Syi’ah dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah seperti
tersebut di atas, terutama mengenai perbedaan tentang “Imamah” (pemerintahan)”, Majelis
Ulama Indonesia mengimbau kepada umat Islam Indonesia yang berfaham Ahlus Sunnah wal
Jama’ah agar meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya faham yang
didasarkan atas ajaran Syi’ah. Kata-kata yang tertuang dalam keputusan MUI tersebut, dengan
jelas sebagai bentuk propaganda anti Syiah. Setelah gelombang kedua, Syiah masuk keindonesia
pasca Revolusi Iran, ketertarikan paham pemikiran Syiah secara falsafi berkembang menuju
pemahaman Fiqhiyah.
c. Fase ketiga, masyarakat Indonesia mempelajari fiqih Syiah. Para peminat Syiah mulai belajar
fiqih dari habib-habib yang pernah belajar di Khum, Iran. Gelombang reformasi yang terjadi
pada tahun 1998 sebagai era keterbukaan dan kebebasan ikut mendorong daya ketertarikan
masyarakat pada ajaran Syiah. Karena pemahaman Syiah sudah masuk ke ranah fiqih, muncullah
perbedaan paham yang mengarah pada benih-benih konflik secara terbuka.
d. Fase keempat, orang Syiah mulai membentuk ikatan, seperti pembentukan Ikatan Jemaah Ahlul
Bait Indonesia (IJABI), berdiri 1 Juli 2000. Dengan semakin meningkatnya penganut Syiah,
maka tingkat ketegangan kelompok sunni dengan Syiah semakin meningkat. Perseteruan
pertama terjadi pada pesantren milik Ustad Ahmad, di Desa Brayo, Kecamatan Wonotunggal,
Kabupaten Batang, Jawa Tengah, 8 April 2000. Ketika itu, massa menyerbu pesantren seusai
salat Jumat, sekitar pukul 14.00 hingga 16.30. Akibatnya, tiga rumah di Pondok Pesantren Al-
Hadi dirusak dan satu dibakar massa. Konflik kedua muncul di Bondowoso pada 2006. Sasaran
serangan adalah pesantren milik Kiai Musowir yang sedang menggelar yasinan pada malam
Jumat. Penyerbuan kemudian terjadi lagi pada rumah pengurus MasjidJar Hum di Bangil, Jawa
Timur, November2007. Massa merusak rumah itu lantaran menolak kehadiran pengikut Syiah.
Usaha menyerang penganut Syiah terjadi juga di Jember, Jawa Timur. Pada bulan Ramadan,
Agustus 2012, muncul sejumlah spanduk yang menyebutkan ajaran habib Syiah adalah sesat.
Namun kain propaganda itu berhasil diturunkan warga dan petugas Pamong Praja sebelum
memicu konflik. Dan pada tahun yang sama, kasus Syiah di Sampang mencuat, yang berbuntut
dihukumnya Tajul dengan tuduhan penodaan agama.10

D. KESIMPULAN
Syi’ah adalah sebuah aliran atau madzhab dalam agama islam yang berawal dari sebuah
pendukung atau simpatisan daripada Imam Ali bin Abi Thalib dan keturunannya yang seiring
berjalannya waktu berubah menjadi sebuah aliran atau madzhab yang memiliki keyakinan dan ajaran
tersendiri yang berbeda dengan madzhab-madzhab yang lain seperti dalam Aqidah, Tauhid, dan
masalah Fiqhiyah. Diantara para pendukung setia Ali adalah: Salman Al-Farisi, Ammar ibn Yasir,
Abu Dzar Al-Ghiffari, Al-Miqdad ibn al-Aswad, Jabir Ibn Abdillah, Ibn Taihan, Abdullah ibn
Mas’ud Huzaifah ibn al-Yaman dan Abu Rafi’. Syi’ah sendiri memiliki 5 pokok pemikiran yang
menjadi pembeda dengan kelompok lainnya, yaitu: At-Tauhid, Al-‘Adl, An-Nubuwwah, Al-Imamah
dan Al-Ma’ad. Syiah tersebar keberbagai negara termasuk di Indonesia, masuknya Syi’ah di
Indonesia melalui beberapa fase dan sampai saat ini kita masih dapat menemukan aliran Syi’ah di
Indonesia di berbagai tempat.

E. DAFTAR PUSTAKA

10
Moh. Hasim, Sejarah Timbul dan Perkembangannya Syi’ah di Indonesia, vol. 11 (Multikultural & Multireligius, 2012),
hal. 29-31
Amin M.,dkk. Mengenai dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia. Depok: GEMA
INSANI.
Attabik A., “MELACAK HISTORITAS SYI’AH” : Ilmu Akidah dan Studi Keagamaan, Vol. 3 No. 2
(2015).
Ash-Shiddiqiey H. 2009. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam. Jakarta: Pustaka Rizki Putra.
Basuni F.M. 1987. Tafsir-tafsir Al-Qur’an: Perkenalan dengan Metodologi Tafsir. Bandung:
Penerbit Pusaka.
Candra H.,dkk. 2021. Pengaruh Politik Syi’ah dan Sunni terhadap Perkembangan Ilmu Hadits.
Depok: PT. RajaGrafindo Persada.
Hasim,M., “SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA SYI’AH DI INDONESIA”: Multikultural &
Multireligius (2012).
Razak A. dan Rosihan A. 2006. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.
Sukirman. 2021. Tauhid dan Ilmu Kalam. Medan: Perdana Mulya Sarana.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai