Anda di halaman 1dari 8

KELOMPOK SEJARAH SYI’AH

MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Sejarah Peradaban Islam

DOSEN PEMBINGBING:
FAHMI HASAN NUGROHO.LC.,M.H
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 5
1.RINRIN
2.SILMI MAULIDA
3.SITI MARIAM

PROGAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2023 M/1445
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Berbagai macam literatur menjelaskan tentang munculnya syi’ah. Ada yang
mengatakan syia’ah sudah ada sejak sepeninggalan Nabi Muhammad SAW yaitu
Ketika terpelihnya Abu Bakar sebagai khalifah pengganti Nabi Muhammad SAW
yang telah meninggal dunia. Ada juga yang mengatakan bahwa syi’ah muncul
ketikan perang siffin yaitu perang antara khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Bani
Umayyah.
Semua aliran yang lebih pada segi politik,yaitu dukungan kepada ahlul bait tapi
Semua lama kelamaan berubah lebih kearah teologis. Berbagai macam hal terjadi
sehingga syi’ah terpecah menjadi beberapa sekte yang semua nya memiliki
perbedaan tersendiri.
Walaupun demikian syi’ah tetap kuat dan menyebar hingga Indonesia
perkembangan yang tak di sangka - sangka yang semula dikira hanya sebuah isu
kini menjadi nyata.
A. Awal Benih Kemunculan Syi’ah
Secara fisik, sulit dibedakan antara penganut Islam dengan Syi’ah. Akan tetapi jika diteliti
lebih dalam terutama dari sisi akidah, perbedaan di antara keduanya ibarat minyak dan air.
Sehingga tidak mungkin disatukan.Syiah menurut etimologi bahasa arab bermakna pembela dan
pengikut seseorang, selain itu juga bermakna setiap kaum yang berkumpul diatas suatu perkara.
(Tahdzibul Lughah, 3/61 karya Azhari dan Taajul Arus, 5/405, karya AzZabidi) .

Thalib lebih utama dari seluruh sahabat dan lebih berhak untuk menjadi khalifah kaum muslimin
Adapun menurut terminologi syariat, syiah bermakna mereka yang menyatakan bahwa Abu Ali bin,
begitu pula sepeninggal beliau (AlFishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal karya Ibnu Hazm).Syiah mulai
muncul setelah pembunuhan khalifah Utsman bin ‘Affan. Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar,
masa-masa awal kekhalifahan Utsman yaitu pada masa tahun-tahun awal jabatannya, Umat islam
bersatu, tidak ada perselisihan. Kemudian pada akhir kekhalifahan Utsman terjadilah berbagai peristiwa
yang mengakibatkan timbulnya perpecahana, muncullah kelompok pembuat fitnah dan kezhaliman,
mereka membunuh Utsman, sehingga setelah itu umat islam pun berpecah-belah.

Pada masa kekhalifahan Ali juga muncul golongan syiah akan tetapi mereka menyembunyikan
pemahaman mereka, mereka tidak menampakkannya kepada Ali dan para pengikutnya. Saat itu mereka
terbagi menjadi tiga golongan. Golongan yang menganggap Ali sebagai Tuhan. Ketika mengetahui sekte
ini Ali membakar mereka dan membuat parit-parit di depan pintu masjid Bani Kandah untuk membakar
mereka. Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab shahihnya, dari Ibnu Abbas ia mengatakan, “Suatu
ketika Ali memerangi dan membakar orang-orang zindiq (Syiah yang menuhankan Ali). Andaikan aku
yang melakukannya aku tidak akan membakar mereka karena Nabi pernah melarang penyiksaan
sebagaimana siksaan Allah (dibakar), akan tetapi aku pasti akan memenggal batang leher mereka,
karena Nabi bersabda:

‫من بدل دينه فاقتلو ه‬


“Barangsiapa yang mengganti agamanya (murtad) maka bunuhlah ia“

Golongan Sabbah (pencela). Ali mendengar tentang Abu Sauda (Abdullah bin Saba’) bahwa ia pernah
mencela Abu Bakar dan Umar, maka Ali mencarinya. Ada yang mengatakan bahwa Ali mencarinya untuk
membunuhnya, akan tetapi ia melarikan diri.

Golongan Mufadhdhilah, yaitu mereka yang mengutamakan Ali atas Abu Bakar dan Umar. Padahal
telah diriwayatkan secara mutawatir dari Nabi Muhammad bahwa beliau bersabda,

‫خير هذه األمة بعد نبيها أبو بكر ثم عمر‬


“Sebaik-baik umat ini setelah nabinya adalah Abu Bakar dan Umar”.

Riwayat semacam ini dibawakan oleh imam Bukhari dalam kitab shahihnya, dari Muhammad bin
Hanafiyyah bahwa ia bertanya kepada ayahnya, siapakah manusa terbaik setelah Rasulullah, ia
menjawab Abu Bakar, kemudian siapa? dijawabnya, Umar.
Dalam sejarah syiah mereka terpecah menjadi lima sekte yang utama yaitu Kaisaniyyah, Imamiyyah
(rafidhah), Zaidiyyah, Ghulat dan Ismailliyah. Dari kelima sekte tersebut lahir sekian banyak cabang-
cabang sekte lainnya. Dari lima sekte tersebut yang paling penting untuk diangkat adalah sekte
imamiyyah atau rafidhah yang sejak dahulu hingga saat ini senantiasa berjuang keras untuk
menghancurkan islam dan kaum muslimin, dengan berbagai cara kelompok ini terus berusaha
menyebarkan berbagai macam kesesatannya, terlebih setelah berdirinya negara syiah, Iran yang
menggulingkan rezim Syah Reza Pahlevi. Rafidhah menurut bahasa arab bermakna meninggalkan,
sedangkah dalam terminologi syariat bermakna mereka yang menolak kepemimpinan abu bakar dan
umar, berlepas diri dari keduanya, mencela lagi menghina para sahabat nabi.

Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku telah bertanya kepada ayahku, siapa Rafidhah itu?”
Maka beliau menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang mencela Abu Bakr dan Umar.” (ash-Sharimul
Maslul ‘Ala Syatimir Rasul hlm. 567, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) Sebutan “Rafidhah” ini erat kaitannya
dengan Zaid bin ‘Ali bin Husain bin ‘Ali bin Abu Thalib dan para pengikutnya ketika memberontak kepada
Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan di tahun 121 H. (Badzlul Majhud, 1/86)

Syaikh Abul Hasan al-Asy’ari berkata, “Tatkala Zaid bin ‘Ali muncul di Kufah, di tengah-tengah para
pengikut yang membai’atnya, ia mendengar dari sebagian mereka celaan terhadap Abu Bakr dan ‘Umar.
Ia pun mengingkarinya, hingga akhirnya mereka (para pengikutnya) meninggalkannya. Maka beliaupun
mengatakan kepada mereka:

‫َر فَْض تُُمْو ِني؟‬


“Kalian tinggalkan aku?”

Maka dikatakanlah bahwa penamaan mereka dengan Rafidhah dikarenakan perkataan Zaid kepada
mereka “Rafadhtumuunii.” (Maqalatul Islamiyyin, 1/137). Demikian pula yang dikatakan oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa (13/36). Pencetus paham syiah ini adalah seorang yahudi
dari negeri Yaman (Shan’a) yang Bernama Abdullah bin saba’ al-himyari, yang menampakkan keislaman
di masa kekhalifahan Utsman bin Affan.

Abdullah bin Saba’ mengenalkan ajarannya secara terang-terangan, ia kemudian menggalang massa,
mengumumkan bahwa kepemimpinan (imamah) sesudah Nabi Muhammad seharusnya jatuh ke tangan
Ali bin Abi Thalib karena petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (menurut persangkaan mereka).
Menurut Abdullah bin Saba’, Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman telah mengambil alih kedudukan
tersebut. Dalam Majmu’ Fatawa, 4/435, Abdullah bin Shaba menampakkan sikap ekstrem di dalam
memuliakan Ali, dengan suatu slogan bahwa Ali yang berhak menjadi imam (khalifah) dan ia adalah
seorang yang ma’shum (terjaga dari segala dosa).

Keyakinan itu berkembang terus-menerus dari waktu ke waktu, sampai kepada menuhankan Ali bin
Abi Thalib. Ali yang mengetahui sikap berlebihan tersebut kemudian memerangi bahkan membakar
mereka yang tidak mau bertaubat, sebagian dari mereka melarikan diri.
Abdullah bin Saba’, sang pendiri agama Syi’ah ini, adalah seorang agen Yahudi yang penuh
makar lagi buruk. Ia disusupkan di tengah-tengah umat Islam oleh orang-orang Yahudi untuk
merusak tatanan agama dan masyarakat muslim. Awal kemunculannya adalah akhir masa
kepemimpinan Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan. Kemudian berlanjut di masa kepemimpinan Khalifah
‘Ali bin Abi Thalib. Dengan kedok keislaman, semangat amar ma’ruf nahi mungkar, dan
bertopengkan tanassuk (giat beribadah), ia kemas berbagai misi jahatnya. Tak hanya aqidah
sesat (bahkan kufur) yang ia tebarkan di tengah-tengah umat, gerakan provokasi massa pun
dilakukannya untuk menggulingkan Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan. Akibatnya, sang Khalifah
terbunuh dalam keadaan terzalimi. Akibatnya pula, silang pendapat diantara para sahabat pun
terjadi. (Lihat Minhajus Sunnah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, 8/479, Syarh Al-‘Aqidah
Ath-Thahawiyyah Ibnu Abil ‘Izz hlm. 490, dan Kitab At-Tauhid karya Asy-BBM
Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hlm. 123).

Rafidhah pasti Syi’ah, sedangkan Syi’ah belum tentu Rafidhah. Karena tidak semua Syi’ah
membenci Abu Bakr dan ‘Umar sebagaimana keadaan Syi’ah Zaidiyyah, sekte syiah yang paling
ringan kesalahannya.

B.Pemberontakan ahlul bait


Pemberontakan Ahlul Bait ini meletus pada tahun 145 H, dan menjadi salah satu tragedi
paling menyesakkan dalam peta politik Islam kala itu.para pendukung Ahlul Bait terpecah
menjadi dua kelompok, yaitu yang mendukung Bani Abbas dan yang mendukung anak keturunan
Ali bin Abi Thalib.Pendukung Alawiyin sudah lama menaruh kebencian terhadap Dinasti
Umayyah dari masa Ali hingga pasca Ali, pendukung Alawiyin tidak sampai ini mereka terus
mencari dukungan dari berbagai kelompok lain. Dari situlah muncul keturunan dari Hasyim yang
mengatasnamakan ahlul bait. Dari situlah pendukung Alawiyin menjadi kuat, menjadi berani
untuk meruntuhkan Dinasti Umayyah.Peristiwa ini terjadi di Khurasan yang dipelopori Abu
Muslim al-Khurasani yang jadi pimpinan pasukan orang-orang Khurasan.Dari situlah -
pemberontakan Alawiyin yang terjadi pada pemerintahan Dinasti Umayyah adalah
pemberontakan yang saling berhubungan dan mempunyai persamaan tentang sebab-sebab dan
tujuannya. Sebab-sebabnya ialah rasa kebencian terhadap Dinasti Bani Umayyah dan tujuannya
ialah menjatuhkan mereka. Gerakan-gerakan revolusioner (pemberontakan-pemberontakan)
Alawiyin telahmenggabungkan diri ke dalam bidang pikiran, sehingga mereka berhasil merusak
pikiran-pikiran mereka.

C.Perkembangan dan perpecahan dalam tubuh Syi’ah


Menurut Jalaluddin Rahmat, perkembangan Syiah di Indonesia mengalami empat gelombang
(periodisasi). Gelombang pertama, Syiah sudah masuk ke Indonesia mulai masa awal masuknya
Islam di Indonesia, yaitu melalui para penyebar Islam awal dari orang-orang persia yang tinggal di
Gujarat. Syiah pertama kali datang ke Aceh. Raja pertama Kerajaan Samudra Pasai yang terletak
di Aceh, Marah Silu, adalah memeluk Islam versi Syiah dengan memakai gelar Malikul Saleh.
Penyebaran Syiah di Aceh juga ditunjang oleh tokoh-tokoh ulama terkemuka Hamzah Fansuri,
dan Syamsuddin bin Abdullah as Samatrani, Nu-ruddin ar-Raniry, Burhanuddin, dan Ismail bin
Abdulla. Akan tetapi pada zaman Sultan Iskandar Tsani, kekuasaan kerajaan di Aceh dipegang
oleh ulama Ahli Sunnah (Sunni), sehingga sejak saat itu kelompok Syiah tidak lagi menampakkan
diri, memilih berdakwah secara taqiyah (Tempo Co. 2012; Rakhmat ed., 1998).

Pada tahap awal penyebaran Syiah, perkem-bangan Syiah tidak banyak mengalami benturan
dengan kelompok lain, karena pola dakwah yang dilakukan. Prinsip taqiyah digunakan untuk
menghindari tekanan dari pihak penguasa. Selama periode pertama, hubungan antara Sunni-
Syiah di Indonesia, pada umumnya, sangat baik dan bersahabat tidak seperti yang terjadi di ne-
gerinegeri lain seperti, misalnya, Pakistan, Irak, atau Arab Saudi. Meskipun demikian pernah ter-
jadi insiden seperti dibunuhnya Hamzah Fansuri karena dituduh menyebarkan faham waḥdat al-
Lalu datanglah gelombang kedua masuknya Syiah ke Indonesia, yaitu setelah revolusi Islam di
Iran pada 1979. Ketika itu orang Syiah mendadak punya negara, yaitu Iran. Sejak kemenangan
Syiah pada Revolusi Iran, muncul simpati yang besar di kalangan aktivis muda Islam di berbagai
kota terhadap Syiah. Figur Ayatullah Khomeini menjadi idola di kalangan aktivis pemuda Islam.
Buku-buku tulisan Ali Syari’ati, seperti buku

Tugas Cendekiawan Muslim menjadi salah satu “inspirator” Revolusi Iran, dibaca dengan
penuh minat. Bahkan tokoh cendekiawan Muhammadi-yah, Amin Rais, dengan sengaja
menerjemahkan dari versi Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia. Naiknya popularitas Syiah itu
membuat kha-watir dan was-was negeri yang selama ini men-jadi “musuh” bebuyutan Iran,
yakni Arab Saudi. Melalui lembaga-lembaga bentukan pemerintah, Saudi Arabia melakukan
upaya untuk menang-kal perkembangan Syiah, termasuk penyebaran-nya di Indonesia. Sejumlah
buku yang anti-Syiah diterbitkan, baik karangan sarjana klasik seperti Ibn Taymiyah (1263-1328),
atau pengarang mo-dern, seperti Ihsan Ilahi Zahir, seorang propa-ganda antiSyiah yang berasal
dari Pakistan.

Reaksi terhadap pekembangan Syiah di Indo-nesia ditunjukkan melalui penyebaran isu


negatif dari buku-buku yang berisi informasi Syiah atau paling tidak menunjukan sikap penolakan
terha-dap Syiah di antaranya:

 Mengenal Pokok-pokok Ajaran Syiah al-Im-amiyah dan Perbedaanya dengan


 Ahli Sun-nah, penulis Sayyid Muhibbudin al-Khathib, penerjemah Munawwar Putra.

 Beberapa Kekeliruan Akidah Syiah, penga-rang Muhammad Abdul Sattar alTunsawi,


Ketua Ahlus Sunnah Pakista.

 Apa Itu Shiah? Ditulis oleh Prof. Dr. H.M. Ra-syidi.

 Syiah dan Pemalsuan Al-Qur’an. Penulis Dr. Moh, Malullah,

 Hakekat Syiah, Penulis Dr. Abdullah Muh.

 Kebohonan Syiah terhadap Ahli Sunah, penu-lis Sayyid Muhibin al-Khatib

Meski telah begitu banyak buku-buku diter-bitkan untuk menghadang faham


Syiah, kekha-watiran masuknya Syiah tidak juga surut. Kemu-dian pada Rapat Kerja Nasional
Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 1984 M, melalui surat ketetapan tanggal 7 Maret 1984 M
yang ditanda-tangani oleh Prof. K.H. Ibrahim Hosen, mere-komendasikan tentang faham Syiah,
yang isinya sebagai berikut: Faham Syiah sebagai salah satu Paham yang terdapat dalam dunia
Islam mempu-nyai perbedaan-perbedaan pokok dengan maz-hab Sunni (Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah) yang dianut oleh umat Islam Indonesia. Perbedaan yang disebutkan di antaranya:

 Syiah menolak Hadis yang tidak diriwayatkan oleh Ahlul Bait;

 Syiah memandang “Imam” itu ma‘ṣum (orang suci);

 Syiah tidak mengakui Ijma’ tanpa ada-nya “Imam”;

 Syiah memandang bahwa menegakkan kepe-mimpinan/pemerintahan (imamah) adalah


termasuk rukun agama;

 Syiah pada umumnya tidak mengakui kekha-lifahan Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar Ibnul
Khatthab, dan Usman bin Affan;Mengingat perbedaan-perbedaan pokok antara Syiah dan
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah seperti tersebut di atas, terutama mengenai per-bedaan
tentang imâmah (pemerintahan), Ma-jelis
Ulama Indonesia mengimbau kepada umat Islam Indonesia yang berfaham Ahlus Sunnah wal
Jama’ah agar meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya faham yang
didasarkan atas ajaran Syiah. Reaksi yang ditun-jukkan oleh MUI tersebut adalah bentuk kekha-
Pada tahun 1997.

Awali Perpecahan Sunni-Syi'ah Masala


Konflik dalam dunia Islam antara Sunni dan Syi’ah berawal dari masalah muamalah, yakni
penentuan pemimpin pada saat wafatnya Rasulullah. Dari pertentangan siapa yang memimpin
pasca Rasul tersebut, melebar hingga ranah aqidah, seperti ideologi dan tanpa kompromi dengan
keyakinan yang berbeda. Konflik dengan skala kecil dulunya akhirnya tambah melebar, sehingga
menjadi konflik antar negara, seperti Arab Saudi dan Iran saat ini. Pernyataan tersebut
diungkapkan oleh Pakar Resolusi Konflik dan Masalah Dunia Islam Dr.Surwandono, S,Sos.,M.Si.,
dalam acara Diskusi Buku “Ketegangan Hubungan Sunni- Syi’ah di Timur Tengah” yang ditulis
oleh Ahmad Sahide,S.IP, M.A., Kegiatan ini berlangsung di Ruang Simulasi Sidang Hubungan
Internasional (HI) UMY, serta dimoderatori Muhammad Faris Al-Fadhat, S.IP, M.A., Sabtu (30/3).
Surwandono menjelaskan sebab-sebab orang Syi’ah berselisih dengan orang Sunni. Waktu
pengurusan jenazah Rasulullah, Abu Bakar dan Umar serta sahabat lainnya mengadakan rapat
penentuan pemimpin selanjutnya. Sedangkan Ali dan keluarganya sedang mengurus pemakaman
Rasulullah. Oleh sebab itulah kaum Syi’ah mengatakan Sunni tidak sopan dan mengambil jabatan
kepemimpinan, dalam pendapat mereka yang seharusnya menjadi pemimpin adalah Ali bukan
Abu Bakar. “Karena peristiwa pengurusan jenazah Rasul itulah kaum Syi’ah mengatakan Sunni
tidak sopan, yang lain berduka dan mereka malah berebut kekuasaan”, jelas dosen HI UMY ini.
Selain itu, orang Syi’ah mempersalahkan Sunni disebabkan oleh tindakan Mu’awiyah.
Yangmana Mu’awiyah dianggap merampas kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, serta Mu’awiyah
dituduh dalang dari pembunuhan Hasan, juga pembunuhan Husein di Karbala. “Syi’ah
menganggap semua Sunni itu Mu’awiyah, sehingga Syi’ah mengutuk setiap orang Sunni. Padahal
belum tentu orang Sunni terlibat dalam politik Mu’awiyah, selain itu belum tentu Mu’awiyah
memiliki kesalahan fatal”, jelas Surwandono. Dr. Surwandono mengatakan bahwa saat berdirinya
dinasti Safawi, pernah orang Syi’ah meminta untuk bergabung dengan Sunni. Dengan syarat
mazhab Syi’ah dijadikan mazhab ke lima dalam mazhab Sunni. Namun, usulan itu ditolak oleh
ulama Sunni, disebabkan oleh ajaran dan keyakinan Syi’ah jauh melenceng dari ajaran Islam atau
Al-qur’an dan Sunnah Nabi. ”Sebab ajaran Syi’ah yang melenceng maka para ulama Sunni
bersepakat untuk menolak”, katanya. Surwandono mengajak peserta diskusi untuk menjadi
pihak yang memberikan resolusi, bukan memperkeruh ketegangan antara Sunni dan Syi’ah.
Selayaknya kaum akademisi merupakan pionir dalam menghidupkan tradisi rekonsiliasi bukan
menambah polusi. “Dari kaum akademis-lah, ide dan gagasan untuk perdamaian dimunculkan
bukan menambah permusuhan”, ajaknya. Sedangkan penulis buku Ahmad Sahide menambahkan
bahwa, di Indonesia sendiri ketegangan Sunni dan Syi’ah sangat unik. Yangmana Indonesia
mempunyai kesamaan dengan sistem yang dipakai Syi’ah, seperti pemaksuman tokoh politik
atau agama. Oleh sebab itu di Indonesia, Syi’ah dipuji di satu sisi, namun dibenci di sisi lainnya.
“Hal tersebut disebabkan oleh adanya gagasan yang sama di Indonesia dengan gagasan Syi’ah.”

D.Pandangan Mengenai Proxy War Sunni-Syi’ah

Pandangan mengenai proxy war antara sunni dan syi’ah dapat bervariasi tergantung
pada perspektif yang diambil. Beberapa pandangan yang ada termasuk :

Proxy War sebagai Perang Boneka :


a. Konfllik antara sunni dan syi’ah sering kali disebut sebagai “proxy war” atau
“perang boneka” karena melibatkan negara-negara dan kelompok-kelompok yang
mendukung pihak-pihak yang bertikai,meskipun konflik tersebut tidak terjadi
secara langsung antara sunni dan syi’ah . proxy war ini terjadi di wilayah lain
diluar kedua negara yang saling bermusuhan dan ingin menghancurkan lawannya.
b. Perbadaann Pemahan Agama salah satu akar konflik anata sunni dan syi’ah
adalah perbedaan dalam pemahaman agama,terutama dalam hal konsep imamaah
atau kepemimpinan.
c. Pandangan ini menekankan bahwa konflik tersebut bukan hanya masalh politik
atau kekuasaan,tetapi juga perbedaan dalam keyakinan agama yang mendasar.
d. Pengaruh terhadap stabilitas keamanan konflik antara sunni dan syi’ah,terutama
dalam bentuk proxy war dapat berdampak negative terhadap stabilitas dan
keamanan diliwilayah tertentu. Hal ini dapat terlihat dalam konflik antara arab
Saudi dan iran yang memengaruhi kestabilan timur tengah.
e. Kekeliruan dalam penerimaan informasi ajaran di Indonesia konflik antara sunny
dan syi’ah tidak di dasarkan paada konflik kekuasaan,tetapi lebih di sebabkan
oleh kekeliruan Sebagian masyarakat dalam menerima informasi ajaran mengenai
teologi. Pandangan ini menekankan pentingnya pemahaman yang benar tentang
ajarann agama untuk mencegah konflik antara sunni dan syi’ah.

Anda mungkin juga menyukai