SYIAH
Oleh:
Ahmad Muzakkir
NIM 4230240193
Dosen Pemandu:
A. Latar Belakang
Sejarah Islam mencatat bahwa hingga saat ini terdapat dua macam aliran besar dalam
Islam. Keduanya adalah Ahlusunnah (Sunni) dan Syi’ah. Tak dapat dipungkiri pula, bahwa
dua aliran besar teologi ini kerap kali terlibat konflik kekerasan satu sama lain.
Syi’ah dalam sejarah pemikiran Islam merupakan sebuah aliran yang muncul
dikarenakan politik dan seterusnya berkembang menjadi aliran teologi dalam Islam.
Sebagai salah satu aliran politik, bibitnya sudah ada sejak timbulnya persoalan siapa
yang berhak menjadi khalifah setelah wafatnya Rasulullah. Dalam persoalan ini Syi’ah
berpendapat bahwa yang berhak menjadi khalifah setelah Rasulullah meninggal dunia
adalah keluarga sedarah yang dekat dengan Nabi, yaitu Ali bin Abi Thalib dan harus
dilanjutkan oleh anaknya, Hasan dan Husen, serta keturunan-keturunannya.
Mengenai kemunculan syiah dalam sejarah terdapat perbedaan pendapat
dikalangan para ahli. Ada yang mengatakan syiah muncul pada masa khalifah Utsman
bin Affan, ada juga yang mengatakan syiah muncul ketika peperangan siffin terjadi
yang kemudian terpecah menjadi dua kelompok salah satunya adalah yang mendukung
khalifah Ali bin Abi Thalib.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Syi’ah ?
2. Bagaimana Latar Belakang Kemunculan Syi’ah ?
3. Bagaimana Doktrin, Ushuluddin dan Furu’uddin ?
4. Bagaimana Sekte yang terdapat dalam Syi’ah ?
5. Bagaimana Syiah dan Khilafahnya ?
A. Pengertian Syi’ah
Syiah dilihat dari bahasa berarti pengikut, pendukung, partai, atau kelompok,
sedangkan secara terminologi adalah sebagian kaum muslim yang dalam bidang spiritual dan
keagamannya selalu merujuk pada keturunan Nabi Muhammad SAW atau orang yang disebut
sebagai ahlul bait. Mereka menolak petunjuk-petunjuk keagamaan dari para sahabat yang
bukan ahl al-bait atau para pengikutnya.
Syiah untuk pertama kalinya ditunjuk pada para pengikut Ali (Syi’ah Ali), pemimpin
pertama ahl al-bait pada masa Nabi Muhammad SAW. Para pengikut Ali yang disebut syi’ah
itu diantaranya adalah Abu dzar Al-Ghiffari, Miqad bin al-Aswad, dan Ammar bin Yasir.
Kalangan syi’ah sendiri berpendapat bahwa kemunculan syi’ah berkaitan dengan
masalah pengganti (khilafah) Nabi Muhammad SAW. Mereka menolak kekhalifahan Abu
Bakar, Umar bin Khathab, dan Utsman bin Affan karena dalam pandangan mereka hanya Ali
bin Abi Thaliblah yang berhak menggantikan Nabi.1
Kelompok syi’ah yang minoritas menganggap bahwa peran ini harus tetap dipegang
oleh keluarga Nabi dan karenanya mendukung Ali bin Abi Thalib. Jabatan kepemimpinan Ali
ini dianggap mereka atas dasar penunjukan (ta’yin) dan wasiat (nash). Mereka yang
mendukung Ali inilah yang disebut golongan Syi’ah.2
1
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), 89-90.
2
Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam, (Jakarta: AMZAH, 2014), 176.
Berbeda dengan pandangan di atas, kalangan Syi’ah berpendapat bahwa kemunculan
Syi’ah berkaitan dengan masalah pengganti (khilafah) Nabi Muhammad SAW. Mereka
menolak kekhalifahan Abu Bakar Umar bin Khaththab dan Utsman bin ‘Affan karena dalam
pandangan mereka hanya Ali bin Abi Thalib yang berhak menggantikan Nabi. Ketokohan Ali
dalam pandangan Syi’ah sejalan dengan isyarat-isyarat yang diberikan oleh Nabi Muhammad
SAW pada masa hidupnya. Pada awal kenabian ketika Muhammad diperintahkan
menyampaikan dakwah kepada kerabatnya, yang pertama - tama menerima adalah Ali bin
Abi Thalib. Pada saat itu Nabi mengatakan bahwa orang yang pertama - tama memenuhi
ajakannya akan menjadi penerus dan pewarisnya. Selain itu sepanjang kenabian Muhammad,
Ali merupakan orang yang menunjukkan perjuangan dan pengabdian yang luar biasa besar.
Bukti sahnya Ali sebagai penerus Nabi adalah peristiwa Ghadir Khumm. Diceritakan
bahwa ketika kembali dari haji terakhir dalam perjalanan dari Mekah ke Madinah, di padang
pasir yang bernama Ghadir Khumm, Nabi memilih Ali sebagai penggantinya di hadapan
massa yang penuh sesak menyertai beliau. Pada peristiwa itu, Nabi tidak hanya menetapkan
Ali sebagai pemimpin umum umat (walyat-i ammali), tetapi juga menjadikan All
sebagaimana Nabi, sebagai pelindung (wali) mereka.
Berlawanan dengan harapan mereka, ketika Nabi wafat dan jasadnya masih terbaring
belum dikuburkan, anggota keluarganya dan orang sahabat sibuk dengan persiapan
penguburan dan pemakamannya. Teman-teman dan pengikut - pengikut Ali mendengar kabar
adanya kegiatan kelompok lain telah pergi ke masjid tempat umat berkumpul menghadapi
hilangnya pemimpin yang tiba – tiba. Kelompok ini kemudian menjadi mayoritas, bertindak
lebih jauh dan dengan sangat tergesa-gesa memilih kaum muslim dengan maksud menjaga
kesejahteraan umat dan memecahkan masalah mereka saat itu. Mereka melakukan hal itu
tanpa berunding dengan ahl al – bait. Keluarganya ataupun sahabat – sahabatnya yang sedang
sibuk dengan upacara pemakaman, dan sedikit pun tidak memberitahukan mereka. Dengan
demikian, kawan-kawan Ali dihadapkan pada suatu keadaan yang sudah tidak dapat berubah
lagi (faith accompli).3
Berdasarkan realitas itulah, demikian pandangan kaum syiah kemudian muncul sikap
dikalangan sebagian kaum muslim yang menentang kekhalifahan dan menolak kaum
mayoritas dalam masalah kepercayaan – kepercayaan tertentu. Mereka tetap berpendapat
bahwa pengganti Nabi dan penguasa keagamaan yang sah adalah Ali. Mereka berkeyakinan
bahwa semua persoalan kerohanian dan agama harus merujuk kepadanya serta mengajak
masyarakat untuk mengikutinya, Inilah yang kemudian disebut sebagai Syi’ah. Akan tetapi,
3
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, op. cit., hlm. 113.
lebih dari itu seperti dikatakan Nasr, sebab utama munculnya Syi’ah terletak pada kenyataan
bahwa kemungkinan ini ada dalam wahyu Islam sehingga harus diwujudkan.
Perbedaan pendapat di kalangan para ahli mengenal kalangan Syi’ah merupakan
sesuatu yang wajar. Para ahli berpegang teguh pada fakta sejarah “perpecahan” dalam Islam
yang mulai mencolok pada masa pemerintahan Utsman bin Affan dan memperoleh
momentumnya yang paling kuat pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, tepatnya
setelah Perang Shiffin. Adapun kaum Syi’ah, berdasarkan hadis-hadis yang mereka terima
dan ahl al-bait, berpendapat bahwa perpecahan itu mulal ketika Nabi Muhammad SAW
wafat dan kekhalifahan jatuh ke tangan Abu Bakar. Setelah itu, terbentuklah Syi’ah. Bagi
mereka, pada masa kepemimpinan Al-Khulafa Ar-Rasyidin, kelompok Syi’ah sudah ada.
Mereka bergerak ke permukaan mengajarkan dan menyebarkan doktrin - doktrin Syi’ah
kepada masyarakat. Tampaknya, Syi’ah sebagai salah satu faksi politik Islam yang bergerak
secara terang - terangan, muncul pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi,
Syi’ah sebagai doktrin yang diajarkan secara diam - diam oleh ahl al-bait muncul setelah
wafatnya Nabi.
5
Ibid., hlm. 119
g. jihad.
Berkaitan dengan pilar (rukun) pertama, yaitu iman, Qadhi An-Nu’man (974 M)
memerincinya sebagai berikut: iman kepada Allah, tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad
utusan Allah; iman kepada surga; iman kepada neraka; iman kepada hari kebangkitan; iman
kepada hari pengadilan; iman kepada para nabi dan rasul; imam kepada imam, percaya,
mengetahui, dan membenarkan imam zaman.
Imam adalah penunjukan melalui wasiat. Syarat-syarat seorang imam dalam pandangan
Syi’ah Sab’iah adalah sebagai berikut:
a. Imam harus dari keturunan Ali melalui perkawinannya dengan Fatimah yang kemudian
dikenal dengan Ahlul Bait.
b. Berbeda dengan aliran Kaisaniah, pengikut Mukhtar Ats-Tsaqafi, mempropagandakan
bahwa keimaman harus dan keturunan Ali melalui pernikahannya dengan seorang
wanita dan Bani Hanifah dan mempunyai anak yang bernama Muhammad bin Al-
Hanafiyah.
c. Imam harus berdasarkan penunjukan atau nash. Syi’ah Sab’iah meyakini bahwa setelah
Nabi wafat,’Ali menjadi imam berdasarkan penunjukan khusus yang dilakukan Nabi
sebelum wafat. Suksesi keimaman menurut doktrin dan tradisi Syi’ah harus
berdasarkan nash oleh imam terdahulu.
d. Keimaman jatuh pada anak tertua. Syi’ah Sab’iah menggariskan bahwa seorang imam
memperoleh keimaman dengan jalan wiratsah (heredity) dan seharusnya merupakan
anak paling tua. Jadi, ayahnya yang menjadi imam menunjuk anaknya yang paling tua.
e. Imam harus maksum (immunity from sin a error).41 Sebagaimana sekte Syi’ah Iainnya,
Syi’ah Sab’iah menggariskan bahwa seorang imam harus terjaga dan salah satu dosa.
Bahkan lebih dan itu, Syi’ah Sab’iah berpendapat bahwa jika imam melakukan
perbuatan salah, perbuatan itu tidak salah.
3. Doktrin imamah menurut Syi’ah Zaidiah
lmamah sebagaimana telah disebutkan merupakan doktrin fundamental dalam Syi’ah
secara umum. Berbeda dengan doktrin imamah yang dikembangkan Syi’ah lain, Syi’ah
Zaidiah rnengembangkan doktrin imamah yang tipikal. 6 Kaum Zaidiah menolak pandangan
yang menyatakan bahwa seorang imam yang mewarisi kepemimpinan Nabi Muhammad
SAW. telah ditentukan nama dan orangnya oleh Nabi, tetapi hanya dtentukan sifat-sifatnya.
Ini jelas berbeda dengan sekte Syi’ah lain yang percaya bahwa Nabi Muhammad SAW telah
menunjuk Ali sebagai orang yang pantas sebagai imam setelah Nabi wafat karena sifat-sifat
6
Ibid., hlm. 123
itu tidak dirniliki oleh orang lain, selain Ali. Sifat-sifat itu adalah keturunan Bani Hasyim,
wara (saleh, menjauhkan diri dari segala dosa), bertakwa, baik, dan membaur dengan rakyat
untuk mengajak mereka hingga mengakuinya sebagai imam.
Selanjutnya, menurut Zaidiah, seorang imam harus memiliki ciri- ciri berikut. Pertama,
merupakan keturunan ahl al-bait, baik yang bergaris Hasan maupun Husein. Hal ini
mengimplikasikan penolakan mereka atas sistem pewarisan dan nash kepemimpinan. Kedua,
memiliki kemampuan mengangkat senjata sebagai upaya mempertahankan diri atau
menyerang. Atas dasar ini mereka menolak Mahdiisme yang merupakan salah satu ciri sekte
Syi’ah lainnya, baik yang gaib maupun yang masih di bawah umur. Bagi mereka, pemimpin
yang menegakkan kebenaran dari keadilan adalah Mahdi. Ketiga, kecenderungan
intelektualisme yang dibuktikan dengan ide dan karya dalam bidang keagamaan. Keempat,
mereka menolak kemaksuman imam. Dalam kaitan ini, mereka mengembangkan doktrin
imamat al - mafdul. Artinya, seseorang dapat dipilih menjadi imam meskipun mafdhul (bukan
yang terbaik), sementara pada saat yang sama ada yang afdhal.7
4. Doktrin - doktrin Syi’ah Ghulat
Menurut Syahrastani ada empat doktrin yang membuat mereka ekstrem, yaitu tanasukh,
bada’, raj’ah, dan tasbih. Moojan Momen menambahkannya dengan hulul dan ghayba.
Tanasukh adalah keluarnya roh dari satu jasad dan mengambil tempat pada jasad yang lain.
Paham ini diambil dari falsafah Hindu. Penganut agama Hindu berkeyakinan bahwa roh
disiksa dengan cara berpindah ke tubuh hewan yang lebih rendah dan diberi pahala dengan
cara berpindah dari satu kehidupan pada kehidupan yang lebih tinggi. Syi’ah Ghulat
menerapkan paham ini dalam konsep imamahnya, sehingga ada yang menyatakan seperti
Abdullah bin Mu’awiyah bin Abdullah bin Ja’far bahwa roh Allah berpindah kepada Adam
kemudian kepada imam-imam secara turun-temurun.
Bada’ adalah keyakinan bahwa Allah mengubah kehendak-Nya sejalan dengan
perubahan ilmu-Nya, serta dapat memerintahkan perbuatan kemudian memerintahkan yang
sebaliknya.
Raj’ah ada hubungannya dengan mahdiyah. Syi’ah Ghulat memercayai bahwa Imam
Mahdi Al-Muntazhar akan datang ke bumi. Paham raj’ah dan mahdiyah merupakan ajaran
seluruh Syi’ah. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat tentang siapa yang akan kembali.
Sebagian menyatakan bahwa yang akan kembali adalah Ali, sedangkan sebagian lainnya
7
http://mugnisulaeman.blogspot.co.id/2013/05/makalah-tentang-syiah-zaidiyah_7.html, diakses pada tanggal 19
Februari 2017 pukul 22:00 WIB.
menyatakan Ja’far Ash-Shadiq, Muhammad bin Al-Hanafiah, bahkan ada yang mengatakan
Mukhtar Ats-Tsaqafi.
Tasbih artinya menyerupakan, mempersamakan. Syi’ah Ghulat menyerupakan salah
seorang imam mereka dengan Tuhan atau menyerupakan Tuhan dengan makhluk. Tasbih
diambil dari paham hululiyah dan tanasukh dengan khalik.
Hulul artinya Tuhan berada di setiap tempat, berbicara dengan semua bahasa dan ada
pada setiap individu manusia. Hulul bagi Syi’ah Ghulat berarti Tuhan menjelma dalam diri
imam sehingga imam harus disembah.
Ghayba (occultation) artinya menghilangnya lmam Mahdi. Ghayba merupakan
kepercayaan Syi’ah bahwa Imam Mahdi ada di dalam negeri ini dan tidak dapat dilihat oleh
mata biasa. Konsep ghayba pertama kali diperkenalkan oleh Mukhtar Ats-Tsaqafi tahun 66
H/686 M di Kufah ketika mempropagandakan Muhammad bin Hanafiah sebagai Imam
Mahdi.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa syiah dilihat dari bahasa berarti
pengikut, pendukung, partai, atau kelompok. Mengenai kemunculan syiah dalam sejarah
terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ahli. Menurut Abu Zahrah syiah mulai muncul
ke permukaan sejarah pada masa akhir pemerintahan Utsman bin Affan, Watt menyatakan
bahwa syi’ah muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Muawiyah yang dikenal
dengan Perang Shiffin sedangkan kalangan syi’ah sendiri berpendapat bahwa kemunculan
syi’ah berkaitan dengan masalah penganti (Khilafah) Nabi SAW. Mereka menolak
11
Ibid., hlm. 76-78
kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khathtab, dan Usman bin Affan karena dalam pandangan
mereka hanya Ali bin Abi Thalib yang berhak mengantikan Nabi SAW. Mereka yang
mendukung Ali inilah yang disebut dengan golongan Syi’ah.
Bagi kaum syi’ah, bukti utama tentang sahnya Ali sebagai penerus Nabi adalah peristiwa
tentang Ghadir Khum. Di dalam Syiah sendiri juga terdapat banyak perbedaan antara kaum
syiah, dan hasilnya ialah timbul beberapa sekte-sekte dalam syiah yang berbeda antara
ajaranya. Di antara sekte-sekte syi’ah itu adalah Itsna Asy’ariyah, Sab’iyah, Zaidiyah, dan
Ghullat.
Kaum Muslimin yang tidak terlibat pemberontakan sepakat mengangkat Sayyidina Ali
menjadi Khalifah keempat. Akan tetapi orang-orang Syi’ah menganggap Sayyidina Ali itu
sebagai khalifah pertama, karena mereka tidak mengakui khalifah-khalifah sebelumnya.
B. Saran
kami menyarankan bagi pembaca untuk membaca referensi terkait dengan syi’ah lebih
banyak lagi agar dapat mengetahui seluk beluk dari ajaran Syi’ah itu sendiri sehingga kita
tidak menyimpang dari ajaran islam. Berbagai aqidah yang diajarkan oleh kaum syi’ah sudah
semestinya kita dapat membedakan antara ajaran Islam yang sesungguhnya sesuai dengan
firman Allah dalam Al-Qur’an dan hadits.
DAFTAR PUSTAKA
Nasir A, Salihun. 2010. Pemikiran Kalam (Teologi Islam). Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada.
Nurdin, Amin & Afifi Fauzi Abbas. 2014. Sejarah Pemikiran Islam. Jakarta: AMZAH.
Rozak, Abdul & Harun Nasution. 2011. Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Rozak, Abdul & Harun Nasution. 2012. Ilmu Kalam ‘Edisi Revisi’. Bandung: CV Pustaka
Setia.
http://mugnisulaeman.blogspot.co.id/2013/05/makalah-tentang-syiah-zaidiyah_7.html,
diakses pada tanggal 19 Februari 2017 pukul 22:00 WIB.