Anda di halaman 1dari 13

DAMPAK PELECEHAN SEKSUALTERHADAP PERKEMBANGAN EMOSIONAL

PADA KORBAN

Nama
Nim

Abstract

Women's empowerment and the issue of sexual harassment are two important topics that are
closely related to gender. Women's empowerment involves various aspects, including
education, health, economics and politics. This includes equal access to quality health
services, employment opportunities, representation in leadership positions, and participation
in economic and political decision-making. In addition, empowering women also involves
efforts to overcome violence directed against them, including sexual harassment, domestic
violence, human trafficking, and other forms of violence. Sexual harassment is a serious
problem that can occur in various fields, including in the workplace and educational
institutions. Measures to prevent and address sexual harassment need to be supported and
improved. The Indonesian government has recognized the importance of tackling sexual
harassment in educational institutions, and has put in place formal procedures to protect
young women and men in educational institutions. Empowering women and tackling sexual
harassment is an integral part of efforts to achieve gender equality and advance society as a
whole. This effort requires awareness, advocacy and support from various parties to achieve
greater social change. The impact of this victim of sexual violence leaves deep emotional
wounds and the memories of her rape will never be forgotten. Sexual violence in Indonesia is
an emergency and will only increase if it is not addressed. Therefore, this journal research
aims to determine the causes, impacts, and therapies used to heal the trauma of victims of
sexual violence against minors. The research method used in writing this journal is
qualitative descriptive analysis with case studies. From the results of the analysis it is known
that 1. Overcoming the trauma of sexual violence on mental health, therapy can be carried
out through play therapy to express emotions that disturb the victim's mind and eliminate the
child's anxiety and trauma. 2. Provide social encouragement. 3. Report to the authorities.

Keywords: Mental Health, Children, Sexual Abuse


Abstrak

Pemberdayaan perempuan dan isu pelecehan seksual adalah dua topik penting yang terkait
erat dengan gender. Pemberdayaan perempuan melibatkan berbagai aspek, termasuk
pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan politik. Hal ini mencakup akses yang setara terhadap
layanan kesehatan yang berkualitas, kesempatan kerja, keterwakilan dalam posisi
kepemimpinan, dan partisipasi dalam pengambilan keputusan ekonomi dan politik. Selain itu,
pemberdayaan perempuan juga melibatkan upaya untuk mengatasi kekerasan yang ditujukan
kepada mereka, termasuk pelecehan seksual, kekerasan domestik, perdagangan manusia, dan
bentuk-bentuk kekerasan lainnya. Pelecehan seksual merupakan masalah serius yang dapat
terjadi di berbagai bidang, termasuk di tempat kerja dan lembaga pendidikan. Langkah-
langkah untuk mencegah dan mengatasi pelecehan seksual perlu didukung dan ditingkatkan.
Pemerintah Indonesia telah menyadari pentingnya penanggulangan pelecehan seksual di
lembaga pendidikan, dan telah memberlakukan prosedur formal untuk melindungi perempuan
dan laki-laki muda di lembaga pendidikan. Pemberdayaan perempuan dan penanggulangan
pelecehan seksual merupakan bagian integral dari upaya untuk mencapai kesetaraan gender
dan memajukan masyarakat secara keseluruhan. Upaya ini memerlukan kesadaran, advokasi,
dan dukungan dari berbagai pihak untuk mencapai perubahan sosial yang lebih besar.
Dampak dari korban kekerasan seksual ini meninggalkan luka batin yang mendalam dan
kenangan akan pemerkosaannya tidak akan pernah terlupakan. Kekerasan seksual di
Indonesia merupakan keadaan darurat dan hanya akan meningkat jika tidak ditangani. Oleh
karena itu, penelitian jurnal ini bertujuan untuk mengetahui penyebab, dampak, dan terapi
yang digunakan untuk menyembuhkan trauma korban kekerasan seksual pada anak di bawah
umur. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan jurnal ini adalah analisis deskriptif
kualitatif dengan studi kasus. Dari hasil analisis diketahui bahwa 1. Mengatasi trauma
kekerasan seksual pada kesehatan mental, dapat dilakukan terapi melalui terapi bermain
untuk mengekspresikan emosi yang mengganggu pikiran korban serta menghilangkan rasa
cemas dan trauma anak. 2. Memberikan dorongan sosial. 3. Melaporkan kepada pihak yang
berwajib.

Kata Kunci : Kesehatan Mental, Anak, Pelecehan Seksual

PENDAHULUAN

Anak adalah investasi dan harapan masa depan bangsa serta sebagai penerus generasi
dimasa mendatang. Dalam siklus kehidupan, masa anak–anak merupakan fase dimana anak
mengalami tumbuh kembang yang menentukan masa depannya, sehingga perlu adanya
optimalisasi perkembangan anak, karena selain krusial juga pada masa itu anak
membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari orang tua atau keluarga sehingga secara
mendasar hak dan kebutuhan anak dapat terpenuhi secara baik. Tidak hanya itu faktor
eksternal yang berasal dari lingkungan tempat tinggal juga memiliki pengaruh penting dalam
perkembangan anak.

Belakangan ini marak terjadi pelecehan dan bahkan kekerasan seksual yang terjadi
pada masyarakat. Mirisnya, pelaku tidak hanya mengincar para korban dewasa saja, namun
juga menjadikan anak-anak yang masih tidak tau apa-apa menjadi korban. Begitu besarnya
peran keluarga dan lingkungan bagi tumbuh dan kembang seorang anak, akan tetapi pada
kenyataannya fenomena belakangan ini yang perlu mendapat perhatian adalah maraknya
kekerasan seksual yang tidak hanya pada orang dewasa tetapi juga pada anak-anak.
Kekerasan seksual didefinisikan sebagai suatu tindak pidana di mana seseorang yang telah
dewasa menyentuh anak di bawah umur untuk tujuan kepuasan seksual, misalnya perkosaan
(termasuk sodomi), dan penetrasi seksual dengan objek (Finkelhor, David, Ormrod &
Richard, 2001).

Kekerasan seksual adalah segala bentuk tindakan pemaksaan dan ancaman untuk
melakukan aktivitas seksual. Aktivitas seksual yang dapat mencakup fingering, pelecehan
dan bahkan pemerkosaan. Dampak dari kekerasan seksual ini bisa berupa psikis dan kejiwaan
serta sosial. Dampak psikis berupa luka atau robekan pada selaput dara. Dampak psikologis
dapat berupa gangguan mental bagi korban, ketakutan terhadap laki-laki, kekecewaan,
bahkan keinginan korban untuk bunuh diri. Dampak sosial seperti perlakuan sinis terhadap
masyarakat sekitar, ketakutan mengikuti sosialisasi, dll. Peningkatan kasus kekerasan seksual
selalu terjadi setiap tahunnya, dan korban dari masalah ini dapat bermanifestasi pada usia
remaja, dewasa atau anak-anak. Masalah kekerasan intim pada anak terletak pada anak di
bawah usia 18 tahun. Kekerasan seksual terhadap anak memiliki berbagai efek traumatis
yang sangat mengkhawatirkan karena berlangsung sepanjang hidup anak.

Hubungan yang erat antara pelaku dan korban seringkali memperumit penanganan
tindak pidana seksual terhadap anak, karena pelaku kekerasan seksual terhadap anak adalah
orang terdekat korban semisal orang tua (incest). Tahun 2021 menurut PPPA tercatat 426
kasus kekerasan seksual dari 1008 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.. Kasus ini
perlu mendapatkan perhatian khusus untuk menekankan angka kasus kekerasan seksual
terhadp anak. Dengan catatan proses pelayanan diawali dengan adanya laporan dari korban.
Dalam prosedur laporan, korban diharuskan memasukan data kronologi yang benar. Formulir
ini berisi semua pengalaman dari penyebab korban, mulai dari prosedur siapa pelakunya,
dimana tempat dan waktu kejadiannya, apa yang dilakukan si pelaku kepada korban, apakah
ada yang membantu pelaku untuk melakukan tindakan kekerasa seksual ini. Kronologis kasus
ini adalah tanpa syarat namun harus memenuhi prosedur laporan, jika tidak maka tidak bisa
di tindak lanjuti. Mengingat banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap anak dan
pentingnya penindakan yang cepat.

Siapapun di dunia ini pastinya tidak ada yang mau menjadi korban kekerasan entah
kekerasan fisik maupun seksual. Namun kenyataannya, penuh dengan beragam motif dan
tujuan tertentu, terkadang disadari atau tidak, memaksa orang untuk menikmati
ketidaksetaraan sosial dan menindas orang lain dan bahkan menindas anggota keluarga
mereka sendiri. Kekerasan telah terjadi dan akan terus berlangsung selama ada konflik
kepentingan dalam kehidupan ini. Semangat mencari dan menegakkan keadilan merupakan
sesuatu yang penting yang harus disebarkan lebih luas guna memberantas kekerasan dan
melindungi korbannya.

Pelecehan seksual terhadap anak menjadi hal yang sangat memilukan bagi banyak
kalangan. Anak yang seharusnya ceria menikmati masa bermain dan belajarnya tiba-tiba
berubah menjadi murung bahkan depresi saat menjadi korban pelecehan seksual yang tidak
bisa dihindarinya. Berbagai penelitian pun bermunculan dengan topik kajian yang beragam,
mulai upaya preventif dengan mengkritisi kebijakan pemerintah dan menawarkan berbagai
hasil pemikiran. Tidak hanya itu, kajian lainnya berupa upaya penanganan kasus pelecehan
seksual pada lingkup kecil hingga luas. Semua dilakukan untuk satu tujuan, yaitu memutus
mata rantai kekerasan seksual pada anak.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Menurut


Moloeng, penelitian kualitatif diartikan sebagai proses penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa teks atau ucapan orang dan perilaku yang dapat diamati dari fenomena yang
terjadi. Tujuan penggunaan penelitian deskriptif kualitatif adalah untuk menjelaskan
bagaimana kekerasan seksual terjadi pada anak dan remaja secara spesifik, tepat dan
sistematis, berdasarkan fenomena dan peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitar sebagai
sumber data untuk analisis. Membedah, menguraikan, dan membuat kesimpulan dari hasil.
Strategi pengumpulan informasi dalam tinjauan ini adalah dengan memanfaatkan arsip
sebagai sejumlah besar realitas dan menyimpan informasi sebagai laporan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kesehatan Mental dan Kekerasan Seksual

Kesehatan mental yaitu pikiran atau batin yang yang baik dan kondisi kita tenang,
positif thinking, bahagia, bisa menghargai orang lain, dan bisa menjalani kehidupan dengan
tentram. Kemudian bagaimana seseorang berasumsi, memahami dan menjalani keseharian
dalam kehidupan sehari-hari; bagaimana cara kita memandang diri sendiri dan orang lain;
yang terakhir bagaimana seseorang menilai sebagai jalan keluar dan tidak asal mengambil
keputusan saat menghadapi sesuatu yang terjadi. Kesehatan mental setiap orang itu berbeda-
beda. Bagaimana cara kita untuk menyelesaikan masalah dan mampu menyesuaikan diri kita
serta bisa berkomunikasi baik dengan lingkungan sekitarnya (Nazmi dkk, 2017).

Pelecehan seksual terhadap perempuan masih menjadi persoalan serius yang hingga
kini belum teratasi secara tuntas. Stigma sosial budaya yang kuat kerapkali masih
menyalahkan atau memersalahkan korban atas kejadian pelecehan seksual yang menimpanya.
Budaya patriarki yang mendominasi menjadi penyebab utama lemahnya dukungan dan akses
perempuan korban kekerasan seksual untuk mendapatkan keadilan yang semestinya ketika
melaporkan kasusnya kepada pihak yang berwajib. Belum lagi minimnya keterwakilan
perempuan dalam institusi pengambilan kebijakan maupun penegakan hukum turut
memperparah persoalan pelecehan seksual ini. Regulasi yang lemah, kurang tegasnya
penegakan hukum terhadap pelaku, serta belum berjalannya proses rehabilitasi dan
reintegrasi sosial korban pascapelecehan menandakan betapa pelecehan seksual masih
dipandang sebelah mata (Siregar dkk, 2022).

Untuk mengatasi hal ini tentu dibutuhkan pendekatan yang komprehensif. Upaya
pencegahan sejak dini melalui pendidikan seks dan gender untuk membangun budaya anti
pelecehan seksual harus digalakkan. Pemberdayaan kelompok perempuan rentan dan
potensial menjadi korban, seperti penyandang disabilitas, pekerja rumah tangga, dan buruh
pabrik perempuan juga penting untuk dilakukan agar mereka memiliki kemampuan
melindungi diri. Peningkatan representasi perempuan dalam jabatan pengambil kebijakan
hingga di lapisan birokrasi penegakan hukum yang berkaitan dengan kasus kekerasan seksual
juga krusial untuk terus didorong demi memperkuat regulasi dan implementasi penanganan
kejahatan ini (Lewoleba & Fahrozi,2020).

Kekerasan seksual pada perempuan dan anak adalah setiap perlakuan terhadap
seseorang yang digunakan sebagai sumber kepuasan seksual oleh orang dewasa atau anak
yang lebih tua ketika usia anak tidak mencukupi sebagaimana diperbolehkan oleh undang-
undang. Kekerasan seksual merupakan kasus kriminal yang sangat mengkhawatirkan dan
setiap anak harus dilindungi dari tindakan kekerasan seksual yang dapat mempengaruhi
perkembangan mental anak. Banyaknya kasus kekerasan seksual yang dialami membuat
orang tua, keluarga dan masyarakat khawatir jika anak atau keluarganya menjadi korban
kekerasan seksual. Meski telah terjadi kasus kekerasan seksual, namun tidak semua kasus
kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak dapat tertangani secara optimal, terutama
penanganan kondisi kesehatan jiwa anak pasca menjadi korban kekerasan seksual
(Wahyuni,2016).

Pelecehan seksual, baik yang dialami anak-anak ataupun orang dewasa, sangat
berpotensi menimbulkan trauma psikologis panjang pada korban. Pelecehan seksual adalah
bentuk pelanggaran terhadap batas-batas pribadi yang sangat mengganggu keutuhan mental
korban. Menurut penelitian, anak atau remaja yang pernah menjadi korban pelecehan seksual
memiliki risiko 4 kali lebih tinggi untuk mengalami gangguan mental di masa dewasa.
Gangguan mental ini contohnya seperti gangguan stres pascatrauma (PTSD), depresi berat,
kecemasan, hingga keinginan bunuh diri. Selain itu, korban pelecehan seksual, terutama
anak-anak, juga berisiko tinggi menderita gangguan disosiatif. Yaitu kondisi mental yang
membuat penderitanya seolah melepaskan diri atau memisahkan diri dari pengalaman
traumatis yang dialami. Gangguan ini membuat korban sulit membentuk hubungan
interpesonal sehat di masa depan akibat trauma masa lalunya (Wahyuni,2016).

Terdapat beberapa faktor resiko PTSD, kajian studi tentang kepribadian dalam
etiologi dan ungkapan PTSD oleh Miller (2003) menyimpulkan bahwa emosional negatif
yang tinggi (MEB) merupakan faktor utama kepribadian risiko untuk pengembangan PTSD
sementara rendah kendala / hambatan (CON) dan positif rendah emosional (PEM) berfungsi
sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi bentuk dan ungkapan gangguan melalui interaksi
mereka dengan MEB sederhana. Kepribadian pra-mengerikan memiliki MEB tinggi
dikombinasikan dengan rendah PEM terpercaya mempengaruhi individu trauma rentan
terhadap bentuk internalisasi sambutan setelah trauma memiliki menghindari signifikan
sosial, kecemasan dan depresi. Sebaliknya, MEB tinggi dikombinasikan dengan CON rendah
hipotesis untuk memprediksi bentuk eksternalisasi reaksi setelah trauma memiliki ditandai
impulsif, agresi, dan kecenderungan ke arah antisociality dan penyalahgunaan narkoba.
Menurut keane dan koleganya (2006) mengelompokan faktor resiko PTSD kedalam 3
kategori, yaitu :

a. Faktor yang sudah ada dan unik bagi setiap individu, Faktor yang sudah ada, seperti
kontribusi genetis, jenis kelamin seperti; para pria lebih berpeluang mengalami trauma
(seperti pertarungan) sedangkan para wanita lebih berpeluang mengalami PTSD.

b. Faktor yang terkait dengan kejadian traumatis, Berasal dari penyebab terjadinya
kejadian taumatis. Salah satu contohnya yaitu: pengalaman cedera tubuh. Dalam suatu
penelitian, tentara yang terluka lebih berpeluang menggalami PTSD mereka yang
terlibat dalam pertempuran yang sama, namun tidak terluka (Koren dkk, 2005).

c. Kejadian-kejadian yang mengikuti pengalaman traumatis. Faktor ketiga, yaitu


berfokus pada apa yang terjadi setelah mengalami trauma.

Menurut End Child Prostitution in Asia Tourism (ECPAT) International , kekerasan


seksual terhadap anak khususnya remaja merupakan interaksi atau hubungan yang terjadi
antara seorang anak dengan seseorang yang usianya lebih tua atau orang yang lebih dewasa
seperti orang yang tidak dikenal, saudara kandung atau orang tua dimana anak dimanfaatkan
dan diperlakukan sebagai objek pemuas kebutuhan seksual pelaku. Perbuatan ini tentunya
dilakukan dengan adanya paksaan, ancaman, suap, tipuan, bahkan tekanan. Sari (2009)
menjelaskan bahwa, perilaku kekerasan seksual terhadap anak tersebut tidak harus
berhubungan kontak badan secara langsung antara pelaku dengan anak sebagai korban.
Bentuk-bentuk dari kekerasan seksual itu sendiri bisa terjadi dalam tindakan pemerkosaan
ataupun pencabulan. Oleh karena dampak yang sangat merusak terhadap kesehatan mental ini
lah, para korban pelecehan seksual harus mendapat dukungan psikologis dan konseling yang
memadai agar terhindar dari masalah kejiwaan jangka panjang. Pengobatan secara medis dan
psikoterapi jangka panjang juga sangat penting dilakukan bagi para korban (Sukmawati
dkk,2020).

Dampak Terhadap Kesehatan Mental Dan Emosional Korban

Penggunaan seksual anak di bawah umur memiliki banyak dampak negatif fisik
psikologis dan finansial terutama kekerasan terhadap anak dan keluarga. Psikiater Universitas
Michigan Terra telah mengungkapkan bahwa dampak trauma dapat menyebabkan perilaku
tidak etis pada anak. Hal ini dikarenakan anak tidak mampu menahan perilaku tidak
menyenangkan yang terjadi. Isu seksualitas anak menjadi sangat penting karena dampak
negatif yang dialami anak-anak setelah kejadian tersebut bahkan bertahun-tahun yang lalu.
Ingatan tentang sering mengalami pelecehan seksual tidak akan pudar seiring waktu. Kami
bahkan memperkirakan bahwa kasus penggunaan anak 10 kali lebih kejam daripada orang
dewasa. Dan kekerasan seksual bukanlah tindakan fisik seperti kekerasan menyentuh bagian
tertentu atau paksaan. Tindakan ini juga menyerang jiwa dan kepribadian anak. Anak-anak
mungkin terlihat lesu, memiliki harga diri yang rendah, mudah menyerah dan memiliki
konsep diri yang negatif seperti merasa paling rendah dari mereka atau merasa bahwa mereka
ditakdirkan untuk menjalani kehidupan yang penuh dengan penderitaan. Kekerasan seksual
terhadap anak perempuan dan anak perempuan seharusnya tidak diperbolehkan. Kebanyakan
korban tentu tidak percaya pada lakilaki karena trauma yang dialami, mereka lebih memilih
perempuan daripada laki-laki karena takut mengalami kekerasan seksual lagi. Mereka
biasanya hanya melihat kebahagiaan yang mereka (Sukmawati dkk,2020).

Akhir-akhir ini, semakin banyak terjadi kasus kekerasan seksual yang menimpa anak-
anak dan remaja di kalangan pelajar atau usia sekolah. Kasus-kasus kekerasan seksual yang
menimpa remaja siswa di sekolah bukan hanya dilakukan oleh orang luar, tetapi bisa saja
kepala sekolah yang seharusnya digugu dan ditiru segala perbuatan malahan melakukan
kekerasan seksual terhadap siswanya yang berita-beritanya sudah tersebar di berbagai media
massa dan menjadi perhatian masyarakat. Pelecehan seksual pada dasarnya adalah setiap
bentuk perilaku yang memiliki muatan seksual yang dilakukan seseorang atau sejumlah orang
atau sejumlah orang namun tidak diharapkan dan disenangi oleh orang yang menjadi sasaran
sehingga menimbulkan akibat negatif misalnya rasa malu, tercermar, tersinggung, terhina,
geram, marah, kehilangan harga diri, kecewa, kehilangan kesucian dan sebagainya (Supardi
dan Sadarjoen, 2006).

Kekerasan seksual dapat meninggalkan efek trauma yang mendalam pada korban.
Korban kekerasan seksual dapat mengalami stres akibat pengalaman traumatis saat kejadian.
Gangguan stres dan traumatis yang dialami korban kekerasan seksual dapat berupa sindrom
kecemasan labilitas outonomik, ketidaktrentanan emosional, dan kilas balik dari pengalaman
yang amat pedih baik fisik maupun emosi yang melampaui batas ketahanan orang biasa yang
di sebut Post Traumatic Stress Disorder atau PTSD (Kaplan, 1998 (dalam Wardhani, ).
Selain itu, kekerasan seksual mendeskripsikan segala bentuk perilaku yang berkonotasi
seksual yang dilakukan denga keinginan sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang
menjadi korban hingga menimbulkan reaksi negatif (Isro, 2012).
Tindakan kekerasan seksual yang menimpa remaja dapat membawa dampak
psikologis secara psikis dan fisik kepada korbannya. Secara psikologis, dampak yang akan
dirasakan oleh anak sebagai korban kekerasan seksual yaitu akan mengalami stres, depresi,
adanya perasaan bersalah dan menyalahkan diri sendiri, munculnya rasa takut berhubungan
dengan orang lain, bayangan peristiwa dimana anak menerima kekerasan seksual, mengalami
mimpi buruk, sulit tidur, ketakutan akan hal yang berhubungan dengan penyalahgunaan
termasuk benda, bau, tempat, kunjungan dokter, masalah harga diri, disfungsi seksual,
keinginan untuk melakukan bunuh diri, keluhan somatik, dan kehamilan yang tidak
diinginkan (Noviana, 2015). berdampak pada kesehatan mental korban, sebab korban dan
pelaku berada pada lingkungan yang sama. Anak korban hubungan seks antara pria dan
wanita saudara sekandung ( incest ) sangat rentan mengalami masalah mental akibat trauma
dan gangguan psikologis, seperti depresi, fobia, dan curiga terhadap oran lain dalam waktu
yang cukup lama. Setelah korban mengalami kekerasan seksual dapat mengalami Post
Traumatic Stress Disorder (PTSD) yang ditandai dengan gejala, yaitu keinginan untuk bunuh
diri, peningkatan kecemasan, gelisah, kekhawatiran terhadap masa depan, bahkan
kecenderungan untuk menjadi pelaku kekerasan seksual di masa depan (Messman-Moore,
Terri Patricia, 2000; Dinwiddie et al, 2000 (dalam Noviana, 2015).

Menurut Sigmund Freud, 1856-1939) bahwa setiap tahap perkembangan yang dialami
individu ini, dapat ditandai dengan berfungsinya dorongan-dorongan tersebut pada daerah
tubuh tertentu. Energi psikoseksual atau libido dipandang sebagai kekuatan yang mendorong
individu dalam berperilaku. Sejalan dengan perkembangan psikoseksual, berkembang pula
struktur kepribadian yaitu id, ego, dan superego. Apabila dikaitkan dengan kasus kekerasan
seksual, pelaku mengalami konflik dalam penyelesaian tiap-tiap tahap perkembangan. Fase
genital merupakan tahapan dimana individu mengalami masa pubertas. Dalam fase ini, semua
tingkah laku yang dilakukan kerap kali mengarahkan pada proses menciptakan hubungan
dengan orang lain. Fase genital merupakan tahapan akhir pada perkembangan psikoseksual
seseorang, apabila individu dapat melewati semua fase sebelumnya dengan baik, maka ketika
ia memasuki fase genital, individu dapat menyesuaikan dirinya dengan baik dan normal.
Tetapi apabila fase psikoseksual sebelumnya tidak terselesaikan atau mengalami hambatan
maka berpengaruh pada kesulitan individu menyesuaikan dirinya dengan perannya sebagai
orang dewasa (Lesmana dalam Hasnida, 2016). Ketidakberhasilan dalam menyelesaikan
tahapan perkembangan ini dapat menjadi penyebab munculnya perilaku abnormal sebab
kegagalan dalam masa genital mengakibatkan kekacauan identitas (Kurniawan, 2019).
Kiat-kiat yang paling sederhana untuk dapat melindungi dan menjaga anak dari
korban kekerasan seksual bisa dilakukan oleh individu dan keluarga. Orang tua sangat
memegang peranan penting dalam menjaga dan melindungi anak-anak dari ancaman
kekerasan seksual (Noviana, 2015). Mayoritas anak-anak sulit untuk menjelaskan secara
verbal dengan jelas mengenai bagaimana proses mental yang terjadi saat mereka menjadi
korban kekerasan seksual tersebut. Sedangkan untuk menceritakan kembali hal tersebut
berulangulang agar mendapatkan data yang lengkap, dikhawatirkan akan menambah dampak
negatif pada anak karena anak akan mengingat kembali peristiwa tersebut dalam benak
mereka. Oleh karena itu, yang harus dilakukan pertama kali adalah dapat memberikan rasa
aman dan nyaman kepada anak untuk bercerita. Biasanya, orang tua yang memang memiliki
hubungan yang erat dengan anak akan lebih mudah untuk melakukannya (Wahyuni,2016).

Berhubungan dengan kasus kekerasan seksual, maka Waskito (2008) menemukan


beberapa dukungan sosial keluarga bagi anak korban kekerasan seksual, diantaranya yaitu:

1) Dukungan secara sosial dan emosional dapat membuat setiap anggota keluarga
merasa disayangi, dicintai, didukung, dihargai, dipercaya, dan menjadi bagian dari
keluarga.

2) Kelekatan atau ikatan emosional yang dimiliki satu sama lain dalam keluarga
dikarenakan adanya keterbukaan dimana setiap anggota keluarga saling berbagi
perasaan, jujur dan terbuka satu sama lain.

3) Meningkatkan komunikasi dengan anak. Pola komunikasi yang berjalan efektif,


terbuka, langsung, terarah, kongruen (sesuai antara verbal dan non verbal). Dengan
langkah ini, akan terbentuk sikap keterbukaan, kepercayaan, dan rasa aman pada
anak.

4) Sikap positif yang dimiliki keluarga dalam memandang kehidupan termasuk


memandang krisis dan permasalahan yang ada. Bagaimana cara pandang mereka
melihat bahwa selalu ada jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi oleh setiap
manusia.

5) Keterlibatan orang tua secara langsung terhadap proses penanganan kekerasan


seksual yang dialami anaknya baik itu penanganan secara hukum maupun
penanganan pemulihan dan penyesuaian secara psikologis, layanan psikologis bagi
anak maupun bagi orang tua.
Hasil Temuan

Berdasarkan data dari Komnas Perempuan tahun 2021, terdapat setidaknya 41 kasus
kekerasan seksual yang dilaporkan di wilayah Kota Medan. Dari jumlah tersebut, 27 kasus
berupa pencabulan, 7 kasus pemerkosaan, 4 kasus incest, dan 3 kasus pelecehan seksual
lainnya. Sementara data dari Polda Metro Jaya mencatat bahwa pada tahun 2022 terdapat 33
kasus kejahatan pelecehan seksual yang ditangani di wilayah hukum Kota Medan. Mayoritas
kasus pelecehan seksual di Kota Medan menimpa subjek perempuan dewasa dan anak di
bawah umur, dengan pelaku kebanyakan dikenal korban atau berasal dari lingkup
keluarga/kerabat dekat. Lokasi kejadian pelecehan seksual yang paling tinggi adalah di dalam
rumah sendiri, diikuti di tempat kerja, jasa transportasi, dan fasilitas umum seperti mall,
bioskop dan hotel.

Dampak kekerasan seksual dapat menimbulkan trauma psikologis atau tekanan


mental pada korban. Sebagian besar korban merasa trauma hebat dan kemungkinan untuk
bunuh diri itu pasti ada, ada juga yang justru introvert (tidak bersosialisasi atau suka
menyendiri), selalu takut dan trauma akan laki-laki, minder dan stress. Efek fisik bisa berupa
kerusakan tubuh semisal sakit pada kemaluan korban, kesulitan tidur dan makan, kehamilan
yang tidak diinginkan, tertular penyakit menular seksual dan lain-lain. Selain itu, dampak
emosional tersebut memanifestasikan dirinya dalam bentuk rasa bersalah dan menyalahkan
diri sendiri, perasaan malu, penolakan, dan lain-lain. Selanjutnya dampak psikologis tersebut
memanifestasikan dirinya dalam bentuk gangguan stres pasca trauma (PTSD), depresi,
kecemasan, penurunan harga diri, tidak konsentrasi dalam belajar, dan memiliki perasaan
takut ketika dewasa tidak ada yang mau dengan dirinya yang telah diperkosa. Dinilai secara
mendalam bahwa korban akan memiliki perspektif negatif terhadap seksualitas, yang akan
merugikan kesejahteraan psikologis mereka di kemudian hari. Jika pada akhirnya mereka
dapat menanggung sentimen tanggung jawab, namun pada akhirnya mereka akan
menemukan bahwa perilaku menyimpang benar-benar dibatasi oleh masyarakat umum
mereka. Kesepakatan ini jelas akan memicu peningkatan sensasi ketidakcukupan yang
tertunda juga. Apalagi jika di kemudian hari mereka mengerti bahwa dia sudah tidak perawan
dalam pandangan seks yang mesum.

Berhubungan dengan trauma, korban sangat membutuhkan uluran tangan dari teman
dekat, saudara, maupun lingkungan sekitar. Ketika kondisinya tidak stabil maka korban
membawa orang lain untuk proses penyembuhan psikisnya. Atas dasar itu korban yang
mengalami trauma cenderung tertutup, dan tertekan. Selama hidupnya bayangan ketakutan itu
akan muncul. Maka dari itu butuh penanganan khusus untuk menghapus memori yang
tersimpan di alam bawah sadar sehingga kedepannya akan lebih ringan untuk menghadapi
rintangan selanjutnya. Perilaku menyimpang yang dilakukan seseorang biasanya karena tidak
jelas siapa mereka, dan khususnya dalam posisi apa mereka saat mengalami keterasingan atau
alienasi. Demikian pula orang yang terang-terangan

Kesimpulan

Kekerasan seksual anak mengacu pada setiap perlakuan yang diberikan kepada anak-
anak oleh orang dewasa atau anak yang lebih tua sebagai sumber kepuasan seksual ketika
anak-anak di bawah umur diperbolehkan oleh undang-undang. Kekerasan seksual terhadap
anak memiliki banyak dampak negatif, antara lain dampak fisik, psikologis, dan ekonomi,
terutama bagi anak dan keluarganya. Pemerkosaan sendiri merupakan suatu perbuatan yang
dapat digolongkan sebagai perzinahan, karena tidak ada hubungan perkawinan antara
perbuatan seksual dengan pelaku, dan juga terdapat unsur kekerasan.

Tingginya kasus kekerasan seksual yang terjadi pada remaja usia sekolah umumnya
dikarenakan bahwa anak merupakan salah satu kelompok sangat rentan, tidak berdaya, dan
memiliki ketergantungan yang tinggi pada orangorang dewasa. Tak sedikit pula pelakunya
adalah orang yang memiliki dominasi atas korban, seperti orang tua dan guru. Selain
menimbulkan dampak secara fisik pada korban, kekerasan seksual juga menimbulkan
dampak secara psikis yang mendalam yaitu dampak traumatis. Korban pelecehan seksual
dapat mengalami stres akibat pengalaman traumatis saat kejadian, seperti sindrom kecemasan
labilitas outonomik, ketidaktrentanan emosional, dan kilas balik dari pengalaman yang amat
pedih baik fisik maupun emosi yang melampaui batas ketahanan orang biasa. Oleh karena itu,
diperlukan peran keluarga dalam memberikan dukungan sosial yang terdiri dari dukungan
emosional, ikatan emosional,komunikasi dan sikap positif dari keluarga terhadap anak yang
mengalamai kekerasan seksual.

DAFTAR PUSTAKA

Nazmi, Indri Putri. "Loneliness dan Dukungan Sosial Pada Remaja Perempuan
Korban Kekerasan Seksual." Psikoborneo: Jurnal Ilmiah Psikologi 5, no. 3
(2017).
Siregar, F., Hasibuan, T. S., & Simbolon, N. A. (2022, April). KAJIAN KEKERASAN
SEKSUAL TERHADAP ANAK CHILD SEXUAL ABUSE STUDY. In Seminar
Nasional Hukum, Sosial dan Ekonomi (Vol. 1, No. 1, pp. 376-382).

Lewoleba, K. K., & Fahrozi, M. H. (2020). Studi Faktor-Faktor Terjadinya Tindak Kekerasan
Seksual Pada Anak-Anak. Jurnal Esensi Hukum, 2(1), 27-48.

Wahyuni, H. (2016). Faktor resiko gangguan stress pasca trauma pada anak korban pelecehan
seksual. Khazanah Pendidikan, 10(1).

Sukmawati, I., Zikra, Z., Afdal, A., Syapitri, D., Maulida, Y., & Fikri, M. (2022). Peran
Keluarga dalam Pencegahan Pelecehan Seksual pada Anak.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai