Anda di halaman 1dari 10

JUAL BELI MENURUT PANDANGAN IMAM SYAF’I

Bermualamah adalah aktivitas transaksi suatu akad tertentu yang dilakukan


oleh dua orang atau lebih yang bertujuan meningkatkan perkenomian dengan cara
tidak keluar dari syari`at dan hukum Allah. Allah SWT menetapkan syari`at-syariat
dan hukum-hukum-Nya yang telah ada nash secara jelas di dalam Al-Qur`an dan
AlHadits atau berupa ijtihad dari para Mujtahidin, karena tugas mereka adalah
mengerucutkan dalam setiap kejelasan hukum Allah dan menyingkap hukum yang
samar dengan cara istinbath al-aqliyyah. Maka tidaklah ada pensyari’atan sesuatu
kecuali dengan adanya kesepakatan yang disertai hukum dan dengan tahqiq untuk
keberlangsungan kemaslahatan, maka sesuatu yang diperbolehkan itu membawa
kemanfaatan yang baik dan sesuatu yang diharamkan itu membawa kemadharatan
yang buruk.
Islam telah meletakkan prinsip-prinsip yang dapat dijadikan pedoman oleh
para Mujtahid untuk berijtihad menetukan hukum terhadap masalah-masalah baru
yang sesuai dengan tuntunan zaman. Inilah diantaranya yang menjamin eksistensi
danfleksibelitas hukum Islam, sehingga hukum Islam akan tetap “shalihun likulli
zaman wal makan” yaitu sesuai dengan setiap waktu dan tempat. Demikian atas dasar
inilah, Islam kemudian mensyari’atkan kaidah aturan-aturan perekonomian yang
dapat menjadi mediasi bagi manusia untuk saling melakukan transaksi dengan model
yang diperbolehkan salah satunya yaitu bai al-wafa’, aturan-aturan itu juga ditujukan
untuk mengentaskan kemiskinan dan ledakan pengangguran melalui konsepsi
kewajiban zakat, pemberian nafkah, dan hasil denda pelanggaran hukum (kafarat).
Ibnu AlQoyyim berkata “Sesungguhnya syari’at itu dikonstruksikan dan dilandaskan
atas hukum dan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Secara umum, syari`at
itu adil, mengandung rahmat, kemaslahatan, dan adanya suatu hikmah”.
Jual beli merupakan salah satu bentuk muamalah, yaitu hubungan yang terjadi
antara manusia deng manusia. Bentuk muamalah seperti halnya jual beli ada karena
didasarkan atas rasa saling membutuhkan. 1 Dalam hal ini, penjual mebutuhkan
pembeli agar membeli barangnya sehingga memperoleh uang. Sedangkan pembeli
melakukan jual beli untuk memperoleh barang yang dibutuhkan. Akibat dari saling
membutuhkan in rasa persaudaraan semakinmeningkat. Tujuan muamalah sendiri
adalah dengan terciptanya hubungan yang harmonis (serasi) antara sesama manusia.
Dengan demikian terciptalah ketenangan dan ketentraman.2
Perkembangan dan jenis bentuk muamalah yang dilaksanakan manusia sejak
dulu hingga saat ini terus berkembang sejalan dengan perkembangan kebutuhan dan
pengetahuan manusia itu sendiri dalam memenuhi kebutuhan masing-masing dan
agama Islam telah memberi peraturan serta dasar yang cukup jelas dan tegas. 3 Seperti
yang diungkapkan oleh para fuqaha baik mengenai rukun, syarat, maupun bentuk jual
beli yang diperbolehkan maupun yang tidak diperbolehkan. Seiring perkembangan
zaman yang semakin maju, dunia perdagangan pun semakin mengalami corak
tersendiri dan menjurus kepada masyarakatnya yang sangat menyukai hal- hal yang
praktis.4
Konsep bai’ al-wafâ Menurut Fikih Syafii Perdagangan atau jual beli secara
bahasa berarti al-mubâdalah.Mengenai pengertian jual beli dalam pengertian seperti
yang dijelaskan dalam definisi berikut: Ketika melakukan transaksi jual beli, penting
untuk mencari dan membeli barang halal juga mempertimbangkan halal. Artinya,
mencari barang halal untuk dijual kepada orang lain atau memperdagangkannya
secara jujur, bebas dari sifatsifat yang dapat merugikan penjualan, seperti penipuan,
pencurian, penyitaan, riba, dll. Secara etimologis, wafâ (memenuhi) adalah lawan

1
Sulakhudin, “Studi Analisis Pendapat TM. Hasbi Ash Shiddieqy Tentang Tidak Diperlukannya
Lafadz Ijab Qabul Dalam Jual Beli”, (Skripsi Sarjana; Jurusan Muamalah; Semarang, 2020), h.37.
2
Wijaya Kusuma Eka Putra, Konsep Ba’I Al-Mu’atah (Sudi pemikiran Imam Syafi’I dan
Relevansinya Terhadap Transaksi Jual Beli Minuman Dengan Vending Machine), (Arsip Fakultas
Syariah dan Hukum),(UIN Sunan Kalijaga, 2021), h.3
3
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat Sistem Transaksi Dalam Fiqh Islam, (Jakarta:
Amzah, 2019), cet.2, h.34-35
4
Amna Mariyah, ”Jual Beli Produk Tanpa Label Harga Ditinjau Menurut Perspektif Bai Mu’athah dan
UU No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Studi Kasus pada Swalayan Gampong
Kompelma Darussalam Kota Banda Aceh)” (Skripsi Sarjana: Jurusan Syariah dan Hukum, Banda
Aceh, 2019) h.11
kata dari alghadr (khianat, ingkar janji). Wafâ bi 'ahd artinya dia menepati janjinya
Wafâ adalah akhlak yang mulia. Aufa alrajul haqqah artinya memberikan sepenuhnya
hak-hak manusia. Disebut jual beli wafâ karena pembeli wajib memenuhi syarat-
syaratnya. Adapun Bai' al Wafâ secara terminologi adalah jual beli dengan syarat,
yaitu jika penjual mengembalikan uang hasil penjualan, pembeli mengembalikan
barang tersebut kepada penjual”.
Menurut Sayyid Sabiq dari Fiqh-Sunnahnya, Bai' al-wafâ adalah orang
bermasalah yang menjual barang-barang yang dijanjikan. Janji tersebut menandakan
bahwa barang tersebut akan dikembalikan pada saat pembayaran telah dipenuhi
(refund). Para pihak atau penjual berhak untuk menuntut kembali atau membeli
kembali barang yang dijual kepada pembeli. Dari pengertian di atas, kita dapat
melihat bahwa bai’ al wafâ ini memiliki tenggang waktu yang terbatas. Misalnya satu
tahun, dua tahun, dst, tergantung kesepakatan. Pada akhir masa tenggang, penjual
membeli kembali barang dari pembeli. Pada umumnya barang yang diperdagangkan
di Bai' al-wafâ adalah barang tidak bergerak seperti tanah perkebunan, rumah,
pemukiman dan sawah. Kisah munculnya Bai`al-Wafâ adalah bahwa masyarakat
Bukhara dan Balkh pada saat itu mengembangkan suatu bentuk jual beli untuk
menghindari terjadinya riba, yang kemudian dikenal dengan Bai`al-Wafâ. Banyak
orang kaya tidak mau meminjamkan uang yang tidak bersahabat. Sementara itu,
banyak debitur yang tidak mampu lagi melunasi utangnya akibat terutangnya premi.
Di sisi lain, menurut ulama hukum Islam, pinjaman dan imbalan yang
diberikan berdasarkan hutang termasuk riba. Barang yang dibeli oleh pembeli dapat
digunakan oleh pembeli. Agunan debitur merupakan jaminan utang selama masa
tenggang yang disepakati, sehingga hanya pembeli yang dapat menjual barangnya
kepada siapa pun selain penjual aslinya. Jika debitur sudah memiliki dana untuk
membayar kembali dengan harga jual semula pada saat jatuh tempo, maka barang
tersebut harus dikembalikan kepada penjual.
Ketika mendengar kata jual beli tentunya terlintas di pikiran kita bahwa jual
beli merupakan sarana untuk saling menolong antar manusia yang satu dengan yang
lainnya hingga terpenuhi suatu kebutuhan. Di dalam Islam, praktik jual beli
mempunyai landasan yaitu Al-qur’an, sunnah Rasulullah, ijma’ (kesepakatan para
ulama). Adapun makna dari jual beli itu sendiri menurut Imam Syafi’i mengandung
dua makna yaitu:5
a.Allah telah menghalalkan yang namanya jual beli apabila barang tersebut
mengandung unsur kebaikan untuk diperjual-belikan. Namun, harus dilandasi dengan
rasa suka sama suka.
b. Allah memperbolehkan melakukan aktifitas jual beli, jika barang yang
digunakan untuk menjual merupakan barang yang tidak dilarang oleh Rasulullah.6
Kemudian definisi jual beli menurut Imam Syafi’i sesuai syara’ yaitu akad
yang mengandung unsur saling tukar menukar harta dengan harta tentunya agar
mendapatkan kepemilikan atas barang tersebut. 7 Imam Syafi’i membagi jual beli dua
bagian diantaranya yaitu:8
1. Jual beli yang sah ialah apabila jual beli tersebut memenuhi syarat dan rukun
yang telah ditetapkan. Adapun jual beli yang sah menurut Imam Syafi’i
terbagi menjadi sepuluh bagian yaitu: a) Jual beli nyata b) Jual beli
murabahah c) Jual beli barang dengan cara menyebutkan sifat barang tersebut
dalam bentuk jaminan atau salam d) Jual beli yang bebas dari kecacatan e)
Jual beli tawliyah f) Jual beli hewan dengan hewan g) Jual beli sarf h) Jual
beli isyarak i) Jual beli muhatah j) Jual beli dengan syarat adanya suatu khiyar
2. Tidak sah atau batal adalah jual beli yang dilakukan apabila syarat dan
rukunnya tidak terpenuhi.
Adapun rukun jual beli terdiri dari tiga jenis yaitu:9
5
Marwa Atina Basyiroh. “Metode Istinbath Imam Syafi’I dan Imam Hanafi Dalam Penetapan Hukum
Tentang Ba’I Al-Mu’athah”, (Skripsi Sarjana; Jurusan Hukum Bisnis Syariah: UIN Maulana Malik
Ibrahim Malang.2019.h.22-24.
6
Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-UMM 2,terj. Amiruddin (Cet. III; Jakarta: Pustaka Azzam, 2019),
h. 1.
7
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah (Jakarta: Amzah , 2019), h. 176.
8
Febri Lestari, “Analisis Pemikiran Imam Abu Hanifah dalam Konsep Jual Beli Mu’athah dan
Relevansinya dengan Jual Beli Masyarakat Modern” (Skripsi Sarjana: Jurusan Hukum Ekonomi
Syariah: Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta, 2019),h.51
9
Ahmad Sarwat,Lc,MA,Fiqih Jual Beli, (jakarta selatan: rumah fiqih publishing, 2019), hlm 5
1.Akad atau ijab Kabul.Kegiatan jual beli yang dilakukan seseorang dikatakan sah
apabila adanya ijab kabul. Sebab, dengan adanya ijab kabul tersebut menandakan
suatu kerelaan dari kedua pihak yang melakukan transaksi jual beli. Sebenarnya ijab
kabul mesti dilaksanakan secara lisan. Kecuali ada pihak yang bisu, keberadaan
barang dan penjualnya yang jauh boleh melalui surat yang isinya berupa ijab Kabul
tersebut. Adapun menurut fatwa Syafi’iyah jual beli dalam bentuk apapun walaupun
kecil haruslah disertai dengan ijab Kabul. Sebab, hakikat dari transaksi jual beli yang
dilakukan seseorang itu merupakan aktivitas tukar menukar yang menimbulkan suatu
kerelaan dari seseorang yang melakukan transaksi tersebut.10
Kemudian syarat sah ijab Kabul antara lain:11
a. Tidak adanya suatu hal yang membatasi. Maksudnya disini pembeli tidak
boleh berdian saja setelah penjualnya menyatakan suatu ijab dan begitupun
sebaliknya.
b. Pada transaksi jual beli yang dilakukan seharusnya tidak diselingi dengan
kalimat lain.
c. Pada saat melakukan transaksi jual beli tidak di ta’likkan. Misalnya, Apabila
ibu saya telah tiada maka barang tersebut saya jual kepadamu.
d. Mengenai waktunya tidak dibatasi. Misalnya, Saya menjual barang tersebut
waktunya hanya 3 hari saja‖, dan kalimat lainnya yang sejenis.
e. Adanya orang yang akan melakukan akad yaitu si penjual dan pembeli.
f. Adanya uang dan barang yang diperjualbelikan atau ma’kud alaihi.12
2.Adanya orang yang berakad atau penjual dan pembeli

10
Rita Zahara, “Implementasi Khiyar Pada Transaksi Bai Mu’athah Di Suzuya Mall Banda Aceh
Ditinjau Menurut Hukum Islam” (Skripsi Sarjana: Jurusan Ekonomi Syariah: Banda Aceh, 2020). h.1.
11
Zanuar Mubin, “Pemikiran Fiqh Jual Beli Syaikh Muhammad Mahfudz Al-Tarmasi
(Kontekstualisasi Konsep Jual Beli Al-Mu’atah)”. Tesis Sarjana; Fakultas Ekonomi Syariah:
Ponorogo, 2020. h.57-58.
12
Ita Sofia Ningrum, Dasar-Dasar Para Ulama dalam Berijtihad dan Metode Istinbath Hukum,
(Mizan: Jurnal Ilmu Syariah,2022) Vol. 5 No.1,h.97
Adapun orang yang akan melakukan akan harus memenuhi bebrapa syarat berikut
yaitu:13
a. Balig/sudah berakal. Tujuan dari transaksi jual beli yang dilakukan oleh orang
yang telah balig/berakal ialah agar tidak adanya suatu penipuan. Kemudian tidak sah
akadnya apabila dilakukan oleh anak yang masih kecil, orang bodoh, dan orang yang
gila.
b. Orang yang melakukan transaksi tersebut beragama Islam. Mengenai syarat ini
hanya berlaku untuk pembelian tertentu saja bukan untuk penjual. Apabila pada
sesuatu yang hendak dibeli itu tertulis ayat Allah walaupun Cuma ada satu ayat,
contohnya membeli al-qur’an.14
c. Adanya barang yang akan diperjualbelikan atau ma’kud alaihi. Adapun syarat
yang harus dipenuhi jika ingin melakukan aktivitas jual beli ialah suci barangnya,
mendatangkan manfaat, bisa diserahkan kepada pembeli secara cepat atau lambat,
barang yang akan dijual milik sendiri dan barangnya dapat dilihat atu diketahui
keberadaanya.
Selain mempunyai rukun yang harus dipenuhi dalam jual beli, ada beberapa
syarat yang harus dipenuhi agar jual beli dianggap sah yakni:15
a. Subjek atau orang. Membahas mengenai subjek maka pihak yang menjadi
penjual dan pembeli harus berakal, sebab jika ia gila atau bahkan bodoh maka jual
beli itu tidaklah sah. Kemudian bukan karena paksaan, kedua pihak tidak mubazir dan
sudah balig. Adapun ketentuan balig atau dewasa di dalam hukum Islam apabila telah
berumur 15 tahun atau telah mendapat mimpi bagi anak laki-laki dan haid bagi anak
perempuan. Sehingga jual beli yang dilakukan anak kecil tidak dianggap sah.

13
Alwi Bani Rakhman, Al-Fiqh Al-Akbar dan Paradigma Fiqh Imam Abu Hanifah, Vol.6 No.1,
(Jurnal Lisan Al-Hal, 2020),h.151
14
Daryaatmaka, G. (2019, Agustus 19). E-Katalog: Sejarah, Fefinisi, Contoh, Penjelasan Lengkap.
Retrieved Juni 5, 2021, from Promise Integrated Procurement Solution: https://promise.co.id/ekatalog-
apa-itu-definisi-lengkap-e-catalog/
15
Pekerti, Retno Dyah., & Herwiyanti, Eliada. Transaksi Jual Beli Online dalam Perspektif Syariah
Madzhab Asy-Syafi'i. Jurnal Ekonomi, Bisnis, dan Akuntansi (JEBA). 2019.
b. Objek atau barang. Mengenai barang atau objek dari jual beli haruslah
memenuhi bebrapa syarat berikut, antara lain:16
1. Barang yang diperjualbelikan bersih. Mengenai barang bersih di sini
maksudnya ialah tidak ada najis atau barang yang haram untuk dijual.
2. Barangnya dapat dimanfaatkan. Memaknai barang yang dapat dimanfaatkan
mengandung arti yang relatif. Karena semua barang yang dijadikan sebagai objek
dalam jual beli merupakan barang yang dapat dimanfaatkan.
3. Barang itu milik orang yang berakad. Artinya, jika orang yang melakukan
transaksi jual beli terhadap suatu barang itu adalah pemilik sah barang tersebut atau
sudah mendapat izin dari pemilik sah yang mempunyai barang tersebut.17
4. Sanggup menyerahkan barang . Mampu menyerahkan dalam artian bahwa yang
menjual bisa menyerahkan barang yang telah dijadikan suatu objek dalam transaksi
jual beli.
5. Mengetahui perihal barang . Adapun mengetahui keadaan barang dan beberapa
jumlah dari harganya jika tidak diketahui maka dianggap tidak sah, karena bisa saja
jual beli itu mengandung unsur penipuan.
Pada umumnya, masyarakat melibatkan anak-anak yang belum baligh dalam
melakukan aktifitas muamalah merupakan suatu hal yang biasa terjadi di lingkungan
masyarakat. Misalnya jual beli, hal demikian berlangsung begitu saja dan dianggap
wajar. Lantas bagaimanakah hukum Islam mengatur perihal muamalah yang
berkaitan dengan anak-anakyang belum baligh.18 Mengenai hal tersebut, Imam
Syafi’I berpendapat bahwa transaksi yang dilakukan oleh anakanak tidak sah
hukumnya. Baik anak tersebut sudah mencapai batas tamyis atau belum, maupun izin
dari wali atau tidak.19
16
Arfan, Abbas. (2019). 99 Kaidah Fiqh Muamalah Kulliyah: Tipologi Dan Penerapannya Dalam
Ekonomi Islam Dan Perbankan Syariah. Uin-Maliki Press.
17
Mardani. Fikih Ekonomi Syari’ah, Fiqh Muamala. (Jakarta: Kencana. 2019)
18
Ubaidillah, Ubaidillah, & Nawawi, Nawawi. (2022). Tinjauan Istihsan Terhadap Bai’al-Wafa’dan
Implikasi Konsistensi Bermadzhab Di Baitul Maal Wa Tamwil Sidogiri Cabang Bondowoso. Istidlal:
Jurnal Ekonomi Dan Hukum Islam, 1(2), 112–141.
19
Sudiarti, Sri. (2021). Bay’al-Wafa’: Permasalahan Dan Solusi Dalam Implementasinya. Journal
Analytica Islamica, 5(1), 169–201.
Imam Abu Hanifah merupakan seorang ulama mujtahid atau ahli dalam
bidang fiqih dan ulama yang berfikir positif. 7 Salah satu tokoh yang memberikan
kontribusi berharga dalam perkembangan hukum Islam. Pemikiran hukumnya lebih
mengedepankan aspek rasionalitas. Beliau Imam Abu Hanifah memberikan
pandangannya tentang ijab dan qabul dengan sistem mu’athah, dalam jual beli yang
dilakukan di era modern sekarang ini. beliau menjelaskan bahwa jual beli dapat
dilakukan secara lisan (qauli) atau perbuatan (fi'li). Indikatornya tergambar dalam
ijab dan qabul atau melalui cara saling memberikan suatu barang dan harga.
terlaksananya ijab dan qabul tidak harus melalui suatu ucapan (perkataan), sebab
dalam suatu hukum perikatan yang dijadikan ukuran adalah tujuan dan makna yang
dihasilkannya, ukuran ijab dan qabul adalah kerelaan atau persetujuan diantara kedua
belah pihak yang melakukan suatu transaksi dalam memindahkan kepemilikannya.20

20
Wahbah Az-Zuhaili. Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu. Damaskus Dar Al-Fikr.(2020).
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat Sistem Transaksi Dalam Fiqh Islam,
(Jakarta: Amzah, 2019), cet.2,
Ahmad Sarwat,Lc,MA,Fiqih Jual Beli, (jakarta selatan: rumah fiqih publishing,
2019)
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah (Jakarta: Amzah , 2019).
Alwi Bani Rakhman, Al-Fiqh Al-Akbar dan Paradigma Fiqh Imam Abu Hanifah,
Vol.6 No.1, (Jurnal Lisan Al-Hal, 2020),
Amna Mariyah, ”Jual Beli Produk Tanpa Label Harga Ditinjau Menurut Perspektif
Bai Mu’athah dan UU No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
(Studi Kasus pada Swalayan Gampong Kompelma Darussalam Kota Banda
Aceh)” (Skripsi Sarjana: Jurusan Syariah dan Hukum, Banda Aceh, 2019)
Arfan, Abbas. (2019). 99 Kaidah Fiqh Muamalah Kulliyah: Tipologi Dan
Penerapannya Dalam Ekonomi Islam Dan Perbankan Syariah. Uin-Maliki
Press.
Daryaatmaka, G. (2019, Agustus 19). E-Katalog: Sejarah, Fefinisi, Contoh,
Penjelasan Lengkap. Retrieved Juni 5, 2021, from Promise Integrated
Procurement Solution: https://promise.co.id/ekatalog-apa-itu-definisi-lengkap-
e-catalog/
Febri Lestari, “Analisis Pemikiran Imam Abu Hanifah dalam Konsep Jual Beli
Mu’athah dan Relevansinya dengan Jual Beli Masyarakat Modern” (Skripsi
Sarjana: Jurusan Hukum Ekonomi Syariah: Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta,
2019)
Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-UMM 2,terj. Amiruddin (Cet. III; Jakarta: Pustaka
Azzam, 2019).
Ita Sofia Ningrum, Dasar-Dasar Para Ulama dalam Berijtihad dan Metode Istinbath
Hukum, (Mizan: Jurnal Ilmu Syariah,2022) Vol. 5 No.1,
Mardani. Fikih Ekonomi Syari’ah, Fiqh Muamala. (Jakarta: Kencana. 2019)
Marwa Atina Basyiroh. “Metode Istinbath Imam Syafi’I dan Imam Hanafi Dalam
Penetapan Hukum Tentang Ba’I Al-Mu’athah”, (Skripsi Sarjana; Jurusan
Hukum Bisnis Syariah: UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.2019.
Pekerti, Retno Dyah., & Herwiyanti, Eliada. Transaksi Jual Beli Online dalam
Perspektif Syariah Madzhab Asy-Syafi'i. Jurnal Ekonomi, Bisnis, dan
Akuntansi (JEBA). 2019.
Rita Zahara, “Implementasi Khiyar Pada Transaksi Bai Mu’athah Di Suzuya Mall
Banda Aceh Ditinjau Menurut Hukum Islam” (Skripsi Sarjana: Jurusan
Ekonomi Syariah: Banda Aceh, 2020).
Sudiarti, Sri. (2021). Bay’al-Wafa’: Permasalahan Dan Solusi Dalam
Implementasinya. Journal Analytica Islamica, 5(1), 169–201.
Sulakhudin, “Studi Analisis Pendapat TM. Hasbi Ash Shiddieqy Tentang Tidak
Diperlukannya Lafadz Ijab Qabul Dalam Jual Beli”, (Skripsi Sarjana; Jurusan
Muamalah; Semarang, 2020).
Ubaidillah, Ubaidillah, & Nawawi, Nawawi. (2022). Tinjauan Istihsan Terhadap
Bai’al-Wafa’dan Implikasi Konsistensi Bermadzhab Di Baitul Maal Wa
Tamwil Sidogiri Cabang Bondowoso. Istidlal: Jurnal Ekonomi Dan Hukum
Islam, 1(2), 11.
Wahbah Az-Zuhaili. Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu. Damaskus Dar Al-Fikr.(2020).
Wijaya Kusuma Eka Putra, Konsep Ba’I Al-Mu’atah (Sudi pemikiran Imam Syafi’I
dan Relevansinya Terhadap Transaksi Jual Beli Minuman Dengan Vending
Machine), (Arsip Fakultas Syariah dan Hukum),(UIN Sunan Kalijaga, 2021),
Zanuar Mubin, “Pemikiran Fiqh Jual Beli Syaikh Muhammad Mahfudz Al-Tarmasi
(Kontekstualisasi Konsep Jual Beli Al-Mu’atah)”. Tesis Sarjana; Fakultas
Ekonomi Syariah: Ponorogo, 2020.

Anda mungkin juga menyukai