Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

JUAL BELI DAN TUJUAN BERBISNIS

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah :

Manajemen Bisnis Syariah

Dosen Pengampu :

Ibu Efriza Pahlevi Wulandari, SE.Sy., ME

Disusun oleh :

Kelompok 2

SEKAR ISMI NUR ANGGRAINI NIM 126406211059

YOUSA ANSHARY AHSANA P. NIM 126406212075

SELVIE DYAH NOVITASARI NIM 126406212091

WINATI PUTRI WARDANI NIM 126406212099

SEMESTER 4

PROGRAM STUDI MANAJEMEN KEUANGAN SYARIAH

JURUSAN BISNIS DAN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UIN SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG

TAHUN 2022/2023
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN JUAL BELI DALAM ISLAM
Jual beli secara bahasa artinya memindahkan hak milik terhadap benda
dengan akad saling mengganti. Sedangkan menurut istilah adalah akad saling
menganti dengan harta yang berakibat kepada kepemilikan terhadap suatu
benda atau manfaat untuk tempo waktu selamanya. Adapun beberapa
pengertian dari jual beli menurut pandangan Islam, antara lain:
1. Menurut Hanafiah, menyatakan bahwa jual beli memiliki dua arti yaitu
arti khusus dan arti umum. Arti khusus yaitu Jual beli adalah menukar
benda dengan dua mata uang (emas dan perak) dan semacamnya, atau
tukar-menukar barang dengan uang atau semacam menurut cara yang
khusus. Arti umum yaitu Jual beli adalah tukar menukar harta dengan
harta menurut cara yang khusus, harta mencakup zat (barang) atau
uang.
2. Menurut syafi’iyah memberikan definisi jual beli dengan aqad yang
mengandung tukar menukar harta dengan harta dengan syarat yang
akan diuraikan nanti untuk memperoleh kepemilikan atas benda atau
manfaat untuk waktu selamanya.
3. Menurut Hanabilah memberikan definisi jual beli sebagai berikut;
tukar-menukar harta dengan harta tukar menukar manfaat yang mubah
dengan manfaat yang mubah untuk waktu selamanya, bukan riba dan
bukan hutang.
4. Menurut Hasbi ash-shiddiqie adalah aqad yang tegak atas dasar
pertukaran harta dengan harta, maka jadilah harta penukaran milik
secara tetap.
Dari paparan definisi di atas sedikit tidak kita dapat menarik suatu
kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan jual beli adalah tukar menukar
sesuatu yang memiliki manfaat dan nilai yang baik, yang dengan tukar
menukar uang tersebut menjadikan kepemilikan penuh dan selamanya
terhadap sesuatu yg ditukarkan tersebut asal tidak termasuk dalam hitungan
riba dan hutang.

1
Sedangkan untuk jual beli dalam Islam itu sendiri juga ada dasar
hukumnya. Seperti yang telah dijelaskan pada QS. Al- Baqarah ayat 275 yang
artinya: “padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba”. Penghalalan jual beli oleh Allah itu mengandung dua kemungkian
makna, yaitu:
1. Pertama, Allah menghalalkan setiap jual beli yang biasa
diteransaksikan manusia dengan sikap saling rela dengan keduanya. Ini
adalah maknanya yang paling kuat.
2. Kedua, Allah menghalalkan jual beli apa bila tidak dilarang oleh
Rasulullah s.a.w. sebagai penerang dari Allah tentang makna yang dia
kehendaki.1
Dengan demikian, jual beli itu termasuk hukum mujmal yang telah
ditetapkan hukumnya oleh Allah dalam kitabnya dan dijelaskan tata caranya
melalui lisan Nabinya atau termasuk hukum umum yang dimaksudkan
berlaku khusus, lalu Rasulullah s.a.w. menjelaskan apa yang dimaksud
dengan kehalalannya serta apa yang diharamkam darinya atau dia masuk ke
katagori keduany atau termasuk hukum umum yang dibolehkan Allah kecuali
yang diharamkannya melalui lisan nabinya dan sumber hukum yang semakna.
Kaidah yang telah dijelaskan di atas dapat dijadikan dasar atau hujjah
dalam menetapkan hukum berbagai masalah berkenaan dengan keuangan
syariah. Dari dasar hukum sebagaimana tersebut di atas bahwa jual beli itu
adalah hukumnya mubah.Artinya jual beli itu diperbolehkan asal saja di
dalam jual beli tersebut memenuhi ketentuan yang telah ditentukan di dalam
jual beli dengan syarat-syarat yang sesuaikan dengan hukum Islam.
Kebutuhan manusia untuk mengadakan transaksi jual beli sangat urgen,
dengan transaksi jual beli seseorang mampu untuk memiliki barang orang lain
yang diinginkan tanpa melanggar batasan syari’at. Oleh karena itu, praktek
jual beli yang dilakukan manusia semenjak masa Rasulullah saw, hingga saat
ini menunjukan bahwa umat telah sepakat akan disyariatkannya jual beli.2

1
Hidayatul Azqia, Jual Beli dalam Perspektif Islam, Jurnal Al-Rasyad, Vol 1, (Januari 2022), hal 64-
65
2
Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah, alih bahasa oleh Kamaluddin A. Marzuki, Terjemah Fiqih Sunnah, Jilid
III, (Bandung; Al Ma’arif, 1987), hlm., 46

2
Dalam Islam terdapat prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam jual
beli, baik jual beli secara langsung (offline) ataupun jual beli yang dilakukan
dengan cara online. Prinsip- prinsip tersebut adalah keadilan dan transaksi
yang jujur, memenuhi perjanjian dan melaksanan kewajiban antara penjual
dan pembeli, memenuhi semua akad yang telah disepakati bersama, halal dan
haram dalam transaksi jual beli harus jelas, dan pemasaran yang bebar dan
penentuan harga yang wajar. Tentu saja dalam pelaksanaan jual beli online
memiliki keunggulan dan kelemahan. Salah satu keunggulannya adalah kita
bisa mengakses ataupun hanya sekedar melihat-lihat barang kapanpun dan
dimanapun serta tidak perlu bertemu langsung antara penjual dan pembeli.
Namun, dibalik kekunggulan tersebut juga terdapat kelemahannya
diantaranya yaitu pembeli tidak mengetahui secara langsung kualitas produk
yang dijual serta dikarenakan proses jual beli dilakukan dengan tidak bertemu
langsung maka akanmeningkatkan angka penipuan baik dari pihak penjual
ataupun pembeli. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana pelaku
usaha online menerapkan hukum-hukum Islam dalam proses produksi hingga
3
transaksi antara penjual dan pembeli.

B. HUKUM JUAL BELI


Jual beli merupakan akad yang diperbolehkan, karena hal ini
berlandaskan atas dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur'an, Al-Hadits, dan
ijma' ulama. Di antara dalil yang memperbolehkan praktik akad jual beli
tersebut ada pada surat Al-Baqarah ayat 275 yang artinya “Orang-orang yang
makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah
sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum

3
Safira Dhea Fitriani et al., Digitalisasi Ekonomi Syariah: Penerapan Hukum-Hukum Islam Dalam
Jual Beli Online, Jurnal Ekonomi Syariah 6 No. 1 (2021): 53.

3
datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang
kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya.”
Ayat ini merujuk pada kehalalan jual beli dan keharaman riba. Ayat ini
menolak argumen kaum musyrikin yang menentang disyariatkannya jual beli
dalam Al-Qur'an. Kaum musyrikin tidak mengakui konsep jual beli yang
telah disyariatkan Allah dalam Al-Qur'an, dan menganggapnya identik dan
sama dengan sistem ribawi. Untuk itu dalam ayat tersebut Allah mempertegas
legalitas dan keabsahan jual beli secara umum, serta menolak dan melarang
konsep ribawi. Allah SWT telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba serta suruhan untuk menempuh jalan perniagaan dengan suka sama suka,
maka setiap transaksi harus selalu dilandasi sistem syari'at Islam.
Pada pernyataan tersebut jual beli secara etimologis berasal dari kata al-
buyu’ yang berarti mengambil sesuatu dan memberikan sesuatu, sedangkan
secara terminologis jual beli adalah menukar suatu benda seimbang dengan
harta benda yang lain yang keduanya boleh dikendalikan dengan ijab qabul
menurut cara yang dihalalkan syariah.4

C. SYARAT DAN RUKUN JUAL BELI


Jual beli menurut hukum Islam harus memenuhi rukun dan syarat jual beli
sedangkan rukun dan syarat jual beli ini merupakan hal-hal yang harus
dipenuhi agar jual beli tersebut dianggap sah. Karena jual beli adalah akad,
maka rukun dan syaratnya harus dipenuhi. Para ulama berbeda pendapat
tentang rukun dan syarat jual beli. Menurut mazhab Hanafi, rukun jual beli
hanyalah ijab dan kabul. Ulama Hanafi berpendapat bahwa tulang punggung
jual beli hanyalah kehendak pembeli dan penjual. Ada dua indikator (qarīnah)
yang menunjukkan kehendak kedua belah pihak, yaitu dalam bentuk kata
(ijab dan qabūl) dan dalam bentuk perbuatan, yaitu indikator kedua dalam
fikih adalah saling memberi (menyampaikan barang dan menerima uang).5

4
Juhrotul Khulwah, Jual Beli Dropship Dalam Prespektif Hukum Islam, Jurnal Hukum dan Pranata
Sosial Islam, VOL : 07, NO : 1, (Lampung: Al-Mashlahah, 2019), hal. 104-105
5
Syaifullah M.S, Etika Jual Beli Dalam Islam, Jurnal Studia Islamika, Vol. 11, No 2, ( Desember,
2014), hal. 376

4
Jumhur Ulama membagi rukun jual beli ini menjadi empat rukun:
a) Seorang yang berakad.
b) Sighat
c) Ada barang yang dibeli.
d) Ada nilai tukar pengganti barang
Namun, mazhab Hanafi berpendapat bahwa pada poin a, c, d, itu
termasuk pada syarat jual beli, bukan rukunnya. Ulama Jumhur menjelaskan
bahwa syarat-syarat jual beli menurut rukun jual beli tersebut adalah sebagai
berikut6:
Syarat orang yang berakad
Ulama fikih sepakat bahwa seseorang yang melakukan transaksi jual beli
harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a) Berakal. Dengan kondisi tersebut, seorang anak yang belum berakal
tidak boleh melakukan transaksi, dan jika ada transaksi maka transaksi
tersebut batal/tidak sah. Ulama Jumhur berkeyakinan bahwa seorang
yang berjual beli harus bersikap dewasa dan berakal. Jika orang yang
bertransaksi masih mumayyiz, maka transaksi jual belinya tidak sah.
Bahkan jika mereka memiliki izin wali.
b) Orang yang membuat kesepakatan adalah orang yang berbeda.
Maksud dari syarat tersebut adalah seseorang tidak dapat menjadi
pembeli dan penjual pada saat yang bersamaan.
Syarat yang terkait dengan ijāb dan qabūl.
Ulama fiqih sepakat bahwa urusan utama dalam jual beli adalah kerelaan
antara penjual dan pembeli. Kerelaan ini dapat terlihat pada saat transaksi
berlangsung. Oleh karena itu, ijāb qabūl harus diungkapkan dengan jelas
sehingga tidak terjadi penipuan dan dengan ijab Kabul dapat mengikat kedua
belah pihak. Apabila ijāb-qabūl telah diucapkan dalam transaksi, secara
otamatis kepemilikan barang dan uang telah berpindah tangan.
Ulama fiqih menjelaskan bahwa syarat dari ijāb-qabūl adalah sebagai
berikut:

6
Ibid., hal 376-378

5
a) Jumhur ulama berpendapat bahwa orang yang mengucapkannya harus
telah akil baligh dan berakal, sedangkan menurut Ulama Mazhab
Hanafi mensyaratkan hanya telah berakal saja.
b) Kabul harus sesuai dengan ijab. Sebagai contoh : “saya jual mobil ini
dengan harga seratus juta rupiah”, lalu pembeli menjawab : “saya beli
dengan harga seratus juta rupiah”.
c) Ijab dan Kabul harus dilakukan dalam satu transaksi, dan tidak boleh
terpisah. Maksudnya kedua belah pihak yang melakukan transaksi
harus hadir pada waktu yang bersamaan.
Syarat yang diperjual belikan.
Syarat yang diperjual belikan, adalah sebagai berikut :
a) Barang itu ada, atau tidak ada ditempat, tetapi pihak penjual
menyatakan sanggup untuk mengadakan barang itu
b) Barang tersebut dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia.
Oleh karena itu keluar dari syarat ini adalah menjual khamar, bangkai
haram untuk diperjualbelikan, karena tidak bermanfaat bagi manusia
dalam pandangan syara’
c) Milik seseorang. Maksudnya adalah barang yang belum milik
seseorang tidak boleh menjadi objek jual beli, seperti menjual ikan
yang masih di laut, emas yang masih dalam tanah, karena keduanya
belum menjadi milik penjual.
d) Dapat diserahkan pada saat akad berlangsung, atau pada waktu yang
telah disepakati.
Syarat nilai tukar (harga barang)
Nilai tukar suatu barang merupakan salah satu unsur terpenting.Yang
pada zaman sekarang disebut dengan uang.
Ulama fiqih memberikan penjelasan bahwa syarat nilai tukar adalah sebagai
berikut:
1. Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.
2. Dapat diserahkan pada saat waktu transaksi, sekalipun secara hukum
seperti pembayaran dengan cek atau kartu kredit. Apabila barang

6
dibayar kemudian (berhutang), maka waktu pembayarannya harus
jelas waktunya.
3. Jika jual beli itu dilakukan dengan cara barter, maka barang yang
dijadikan nilai tukar, bukan barang yang diharamkan syara’ seperti
babi dan khamar.
Itulah syarat-syarat jual beli yang berkaitan dengan rukunrukun jual beli.
Disamping syarat-syarat yang telah penulis paparkan di atas, ulama fiqh juga
mengemukakan beberapa syarat lain. Ulama fiqih menyatakan, bahwa suatu
jual beli baru dianggap sah, bila terpenuhi dua hal: Pertama, jual beli tersebut
terhindar dari cacat. Baik dari segi barang yang diperjualbelikan tidak jelas,
dan jual beli tersebut mengandung unsur paksaan dan penipuan sehingga
mengakibatkan jual beli tersebut rusak.
Kedua, jika barang yang menjadi objek jual beli tersebut merupakan
barang yang bergerak, maka barang tersebut dengan otomatis menjadi milik
pembeli dan harga dari barang tersebut menjadi milik penjual. Namun jika
barang yang menjadi objel jual beli merupakan barang yang tidak bergerak,
maka barang tersebut boleh dikuasai setelah surat-menyuratnya sudah
diselesaikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku ditempat tersebut.
Selanjutnya, transaksi jual beli baru dapat dilaksanakan jika yang berakad
mempunyai kekuasaan penuh dalam bertransaksi. Kekuasaan yang dimaksud
di sini adalah bahwa orang yang berakad adalah punya wewenang penuh
terhadap barang yang menjadi objek transaksi. Apabila kekuasaan tidak
dimiliki oleh orang yang bertransaksi, maka jual beli tersebut tidak dapat
dilakukan.
Jika proses transaksi terbebas dari segala macam khiyar, maka transaksi
tersebut akan mengikat terhadap kedua belah pihak. Khiyar yang dimaksud di
sini adalah hak pilih untuk meneruskan atau membatalkan jual beli. Dan jual
beli yang masih mempunyai hak khiyar maka jual beli tersebut belum
mengikat dan dapat dibatalkan. Jika semua syarat-syarat diatas terpenuhi,
maka suatu proses jual beli telah dianggap sah. Dan bagi kedua belah pihak
tidak dapat lagi membatalkannya.

7
D. JUAL BELI YANG DILARANG
Dalam kenyataan dimasyarakat masih banyak sekali yang belum
mengetahui mana transaksi jual beli yang diperbolehkan dan tidak
diperbolehkan. Jual beli dalam islam tidak semua diperbolehkan ada beberapa
jual beli yang dilarang oleh syariat. Pada surah Al-Baqarah ayat 275
menyatakan “padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba ”.
Yang pada dasarnya, jual beli yang diharamkan atau dilarang oleh Allah SWT
dan Rasul-nya disebabkan oleh dua hal, yaitu barang yang diperjual belikan
termasuk kategori yang diharamkan oleh agama dan karena faktor caranya
yang tidak sesuai (dilarang) dengan ajaran agama7. Berikut ini beberapa jual
beli yang dilarang :
1. Jual beli Anjing dan Hewan yang Tidak dapat Dimakan
Sesungguhnya Rasulullah S.A.W bersabda. yang artinya " barang
siapa yang memelihara anjing, kecuali anjing yang dapat
dimanfaatkan untuk menjaga ternak dan anjing untuk berburu, maka
pahala amal perbuatan akan berkurang dua qirath setiap hari.”
Tidak diperbolehkan mengambil uang hasil dari penjualan anjing
secara langsung. Apa bila tidak diperbolehkan mengambil uang hasil
penjualan anjing, maka konsekuensinya tidak diperbolehkan pula
untuk memeliharanya kecuali orang yang suka berburu, petani atau
orang yang sengaja memeliharanya untuk menjaga ternak miliknya.
2. Jual beli mukhadlaroh atau al-Muhaqalah
Mukhadlaroh, yaitu memperjual belikan buah-buahan atau biji-
bijian yang masih hijau Atau dalam buku lain dinamakan, al-
Muhaqalah yaitu menjual hasil pertanian sebelum tampak atau
menjualnya ketika masih kecil. Seperti jual beli buah-buahan atau
hasil pertanian yang masih hijau, belum nyata baiknya dan belum
dapat dimakan adalah salah satu diantara barang-barang yang
terlarang untuk diperjual-belikan8.
3. Jual Beli dengan Unsur Penipuan

7
Arif Imam Mauliddin; Cucu Kania Sari, Hadist Tentang Jual Beli yang Dilarang, Jurnal RIESYHA,
Vol 1, No. 1, (2022), hal 17
8
Azqia, Jual Beli dalam Perspektif....., hal. 72

8
Jenis jual beli ini telah umum dikenal di tengah masyarakat
sebagai salah satu bentuk jual beli yang dilarang dan tidak disukai
oleh masyarakat, baik dengan cara-cara tradisional hingga cara-cara
penipuan yang modern. Contoh Jual beli ini bisa dengan ucapan
maupun perbuatan, diantaranya adalah menyembunyikan kecacatan
barang, menyimpan barang yang bagus diatas sedangkan yang jelek di
bawah, mencat mebel, dan alat-alat yang lama supaya kelihatan baru,
lalu ada juga yang menjual sembako (contoh:beras) dengan takaran
atau neraca yang direkayasa (dilas atau dipasang magnet) sehingga
berat barang tidak sesuai dengan realitanya.
Dengan demikian sudah sangat terlihat bahwa praktek jual beli
dengan unsur penipuan, sangat merugikan pihak yang membeli. Maka
dari itu jual beli ini dilarang oleh Islam dan apabila sesorang merasa
dicurangi, ia mempunyai hak khiyar di antara menahan dan
membatalkan.
4. Jual Beli Barang yang Haram
Point ke empat ini sebenarnya hampir sama dengan point pertama
yaitu yang dimaksud dengan benda-benda najis di sini adalah
makanan, minuman atau hewan yang dianggap najis dan dilarang
untuk dikonsumsi seperti babi, anjing, minuman keras, bangkai dan
lain sebagainya. Benda-benda ini tidak hanya dilarang untuk
dikonsumsi secara langsung, namun juga dilarang untuk diperjual
belikan. Bahkan orang yang memakan hasil penjualannya sama
dengan mengkonsumsi barang itu sendiri9. Sederhanya barang-barang
haram saja jika dipakai sendiri itu sudah dilarang, apalagi kita
memperjual belikan kepada orang lain, yang secara otomatis kita
menyebarkan dan mengajak orang lain untuk mengunakan barang
haram tersebut, dan itu dilarang oleh agama.
5. Jual Beli yang tidak terdapat pada Penjualnya
Maksud dari jual beli yang tidak terdapat pada penjualnya yaitu
jika seorang pembeli datang kepada seorang pedagang mencari barang

9
Maulida dan Sari, Hadist Tentang Jual Beli…, hal. 18

9
tertentu. Sedangkan barang yang dicari tersebut tidak ada pada
pedagang itu. Kemudian antara pedagang dan pembeli saling sepakat
untuk melakukan akad dan menentukan harga dengan dibayar
sekarang ataupun nanti, sementara itu barang belum menjadi hak milik
pedagang atau si penjual. Pedagang tadi kemudian pergi membeli
barang dimaksud dan menyerahkan kepada si pembeli. Jual beli
seperti ini hukumnya haram, karena pedagang menjual sesuatu yang
barangnya tidak ada padanya, dan menjual sesuatu yang belum
menjadi miliknya, jika barang yang diinginkan itu sudah ditentukan.
Jual beli seperti ini dilarang dalam islam, karna salah satu syarat
jual beli yaitu barang yang diperjual belikan adalah milik sepenuhnya
oleh penjual, dengan begiyu praktek jual beli ini sudah pasti dilarang.
6. Jual Beli Najasy
Secara sederhana, jual beli najasy adalah seseorang melebihkan
harga barang sedangkan ia tidak berniat membelinya akan tetapi untuk
menjebak orang lain, atau memuji barang dengan pujian yang palsu
supaya laku10. Definisi lain dari jual beli ini adalah menaikkan harga
komoditi yang dilakukan oleh orang yang tidak ingin membelinya.
Jual beli ini dapat juga diartikan sebagai penciptaan permintaan palsu
(false demand), dimana penjual melakukan kolusi dengan pihak lain
untuk melakukan penawaran, dengan harapan, pembeli akan membeli
dengan harga yang tinggi. Secara istilah, jual beli ini memiliki
beberapa bentuk11:
a) Seseorang menaikkan harga pada saat lelang sedangkan dia tidak
berniat untuk membeli; baik ada kesepakatan sebelumnya antara
dia dan pemilik barang maupun tidak ada.
b) Penjual menjelaskan kriteria barang yang tidak sesungguhnya.
c) Penjual berkata, “harga pokok barang ini sekian”, padahal dia
berdusta.

10
Muhammad Zaki, Jual Beli Terlarang Dalam Perspektif Fikih Mu’amalah(Ba’i An-Najsy Dan Ba’i
Al-Ghubn), ISTIKHLAF: Jurnal Ekonomi, Perbankan Dan Manajemen Syariah , 3 (1), 17—25, (2021),
hal. 22
11
Ibid., hal. 23

10
7. Dua Transaksi dalam Satu Transaksi(Al-Wafa’)
Baial-wafa’adalah suatu jenis jual beli barang yang disyaratkan,
dimana seorang menjual barangnya kepada pihak lain dengan syarat
barang tersebut harus dijual pada dirinya (penjual) dengan harga
tertentu dan pada saat tertentu sesuai dengan perjanjian 12 . Atau
menjual barang dalam batas waktu tertentu, jika waktu itu tiba maka
seorang pembeli harus menjual kembali barangnya kepada penjual
pertama itu. Misalnya penjual mengatakan kepada calon pembeli,
barang ini saya jual dengan harga satu juta rupiah, dengan syarat tiga
bulan yang akan datang kamu harus menjual barang tersebut kepada
saya dengan harga tertentu.
Jenis jual beli ini termasuk jenis jual beli yang terlarang, karena
termasuk rekayasa dan memberikan ketidak pastian, atau kepemilikan
yang tidak utuh terhadap barang yang dibeli oleh seseorang. Padahal
dalam syariat Islam, jual beli merupakan salah satu cara terjadinya
perubahan kepemilikan dari seseorang kepada orang lain. Dengan
terjadinya perubahan kepemilikan tersebut, maka seorang pembeli
berhak memiliki barang yang dimilikinya tanpa terikat dengan
waktu tertentu. Ia berhak untuk mengggunakannya dalam waktu yang
dia inginkan serta berhak menghibahkan atau menjual barang (harta)
nya kepada siapapun secara leluasa.

E. RIBA
Pelarangan riba dalam al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus melainkan
secara bertahap, sejalan dengan kesiapan masyarakat pada masa itu, seperti
pelarangan minuman keras. Definisi riba sendiri secara etimologis, kata "ar-
riba" bermakna zada wa nama', yang berarti bertambah dan tumbuh. Di dalam
al-Qur'an, kata "ar-riba" beserta berbagai bentuk derivasinya disebut
sebanyak dua puluh kali; delapan diantaranya berbentuk kata riba itu sendiri.
Kata ini digunakan dalam al-Qur'an dengan bermacam-macam arti, seperti
tumbuh, tambah, menyuburkan, mengembang, dan menjadi besar dan banyak.

12
Mauliddin dan Sari, Hadist Tentang Jual Beli…, hal. 20

11
Meskipun berbeda-beda, namun secara umum ia berarti bertambah, baik
secara kualitatif maupun kuantitatif. Sedangkan secara terminologis, riba
secara umum didefinisikan sebagai melebihkan keuntungan (harta) dari salah
satu pihak terhadap pihak lain dalam transaksi jual beli atau pertukaran
barang yang sejenis dengan tanpa memberikan imbalan terhadap kelebihan
tersebut. Dalam ungkapan yang lain, riba dipahami sebagai pembayaran
hutang yang harus dilunasi oleh orang yang berhutang lebih besar daripada
jumlah pinjamannya sebagai imbalan terhadap tenggang waktu yang telah
lewat waktu.13
Pelarangan riba, menurut Qardhawi memiliki hikmah yang tersembunyi
di balik pelarangannya yaitu perwujudan persamaan yang adil di antara
pemilik harta (modal) dengan usaha, serta pemikulan resiko dan akibatnya
secara berani dan penuh rasa tanggung jawab. Prinsip keadilan dalam Islam
ini tidak memihak kepada salah satu pihak, melainkan keduanya berada pada
posisi yang seimbang. Konsep pelarangan riba dalam Islam dapat dijelaskan
dengan keunggulannya secara ekonomis dibandingkan dengan konsep
ekonomi konvensional. Riba secara ekonomis lebih merupakan sebuah upaya
untuk mengoptimalkan aliran investasi dengan cara memaksimalkan
kemungkinan investasi melalui pelarangan adanya pemastian (bunga).
Semakin tinggi tingkat suku bunga, semakin besar kemungkinan aliran
investasi yang terbendung. Hal ini dapat diumpamakan seperti sebuah
bendungan. Semakin tinggi dinding bendungan, maka semakin besar aliran
air yang terbendung.14
Sudah dijelaskan bahwasanya Islam sangat mengharamkan riba, untuk itu
para penjual atau pedagang online ini berusaha sebisa mungkin untuk
menjahui riba. Keuntungan yang mereka ambil tentu saja sudah mereka
perhitungan dengan sangat matang dan tentu saja tidak mengandung riba.
Mereka sadar bahwa mereka tidak perlu mengambil keuntungan yang besar
hingga melakukan riba dikarenakan mereka percaya bahwa rezeki mereka
sudah diatur oleh Allah SWT. Membangun kepercayaan dan hubungan yang

13
Dudi Badruzman, Riba dalam Perspektif Keuangan Islam, Jurnal Al-Amwal, Vol 1, No. 2
(Februari, 2019), hal. 53
14
Ibid. hal. 64

12
baik dengan pelanggan menjadi fokus utama mereka. Dalam dunia berdagang
tentu saja kepercayaan antar penjual dan pembeli sangatlah penting. Ketika
penjual dan pembeli telah membangun kepercayaan diantara mereka maka
dapat dipastikan bahwa pembeli akan merasa puas dengan berbelanja di lapak
kita dan tidak perlu takut dan khawatir lagi jika ingin berbelanja lagi di toko
kita.15

F. TUJUAN BISNIS DALAM ISLAM


Intensi berwirausaha yang Islami berperan penting mengarahkan tujuan
berbisnis yang berorientasi pada kesejahteraan sosial dan tidak materialistik.
Hal umum yang ditemui pada pengusaha Muslim adalah berwirausaha demi
menciptakan lapangan perkerjaan bagi orang-orang di sekitar dan membantu
pengembangan diri anak muda dengan memberikan kesempatan berkerja.
Diyakini bahwa kesuksesan berbisnis bukan bersumber dari kekayaan
material tetapi seberapa berhasil melayani orang lain dan membuat pelanggan
bahagia dengan pelayanan yang terbaik.
Bisnis dalam Islam bertujuan untuk mencapai dua hal target utama yaitu
antara lain yang pertama pada target hasil ada profit-materi dan benefit non
materi, pertumbuhan, keberlangsungan, dan keberkahan, yang kedua pada
target hasil berupa profit-materi dan benefit-nonmateri, artinya bahwa bisnis
tidak hanya untuk mencari profit (qimah madiyah atau nilai materi) setinggi-
tingginya, tetapi juga harus dapat memperoleh dan memberikan benefit
(keuntungan atau manfaat) nonmateri kepada internal organisasi perusahaan
dan eksternal (lingkungan), seperti terciptanya suasana persaudaraan,
kepedulian sosial dan sebagainya. Benefit, yang dimaksudkan tidaklah semata
memberikan manfaat kebendaan, tetapi juga dapat bersifat nonmateri.
Islam memandang bahwa tujuan suatu amal perbuatan tidak hanya
berorientasi pada qimahmadiyah tetapi masih ada tiga orientasi lainnya yakni
qimah insaniyah, qimahkhuluqiyah, dan qimah ruhiyah. Dengan qimah
insaniyah, berarti pengelola berusaha memberikan manfaat yang bersifat
kemanusiaan melalui kesempatan kerja, bantuan sosial (sedekah), dan

15
Safira Dhea Fitriani et al., Digitalisasi Ekonomi Syariah..., hal. 57.

13
bantuan lainnya. Qimah khuluqiyah, mengandung pengertian bahwa nilai-
nilai akhlak mulian menjadi suatu kemestian yang harus muncul dalam setiap
aktivitas bisnis sehingga tercipta hubungan persaudaraan yang Islami, bukan
sekedar hubungan fungsional atau profesional. Sementara itu qimahruhiyah
berarti aktivitas dijadikan sebagai media untuk mendekatkan diri kepada
Allah Swt.16

16
Aning Az Zahra dan Aftina Nurul Husna, Intensi Berwirausaha Pengusaha Muslim: Peran Nilai-
Nilai Keislaman dalam Pendirian Usaha, Jurnal Psikologi Integratif, Vol. 9, No.2, (Magelang: 2019),
hal. 201

14
PENUTUP
1. Kesimpulan
Jual beli adalah tukar menukar sesuatu yang memiliki manfaat dan nilai
yang baik, yang dengan tukar menukar uang tersebut menjadikan kepemilikan
penuh dan selamanya terhadap sesuatu yg ditukarkan tersebut asal tidak
termasuk dalam hitungan riba dan hutang.
Jual beli merupakan akad yang diperbolehkan, karena hal ini berlandaskan
atas dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur'an, Al-Hadits, dan ijma' ulama.
Jual beli menurut hukum Islam harus memenuhi rukun dan syarat jual beli
sedangkan rukun dan syarat jual beli ini merupakan hal-hal yang harus
dipenuhi agar jual beli tersebut dianggap sah. Ulama fiqih menyatakan, bahwa
suatu jual beli baru dianggap sah, bila terpenuhi dua hal: Pertama, jual beli
tersebut terhindar dari cacat. Kedua, jika barang yang menjadi objek jual beli
tersebut merupakan barang yang bergerak, maka barang tersebut dengan
otomatis menjadi milik pembeli dan harga dari barang tersebut menjadi milik
penjual. Selanjutnya, transaksi jual beli baru dapat dilaksanakan jika yang
berakad mempunyai kekuasaan penuh dalam bertransaksi.
Jual beli dalam islam tidak semua diperbolehkan ada beberapa jual beli
yang dilarang oleh syariat. Pada surah Al-Baqarah ayat 275 menyatakan
“padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Yang pada
dasarnya, jual beli yang diharamkan atau dilarang oleh Allah SWT dan Rasul-
nya disebabkan oleh dua hal, yaitu barang yang diperjual belikan termasuk
kategori yang diharamkan oleh agama dan karena faktor caranya yang tidak
sesuai (dilarang) dengan ajaran agama
Pelarangan riba dalam al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus melainkan
secara bertahap, sejalan dengan kesiapan masyarakat pada masa itu, seperti
pelarangan minuman keras. Riba dipahami sebagai pembayaran hutang yang
harus dilunasi oleh orang yang berhutang lebih besar daripada jumlah
pinjamannya sebagai imbalan terhadap tenggang waktu yang telah lewat waktu
Bisnis dalam Islam bertujuan untuk mencapai dua hal target utama yaitu
antara lain yang pertama pada target hasil ada profit-materi dan benefit non
materi, pertumbuhan, keberlangsungan, dan keberkahan, yang kedua pada

15
target hasil berupa profit-materi dan benefit-nonmateri, artinya bahwa bisnis
tidak hanya untuk mencari profit (qimah madiyah atau nilai materi) setinggi-
tingginya, tetapi juga harus dapat memperoleh dan memberikan benefit
(keuntungan atau manfaat) nonmateri kepada internal organisasi perusahaan
dan eksternal (lingkungan), seperti terciptanya suasana persaudaraan,
kepedulian sosial dan sebagainya.

2. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini banyak kesalahan dan sangat jauh
dari kata kesempurnaan. Tentunya, penulis akan terus memperbaiki makalah
dengan mengacu sumber yang dapat dipertanggung jawabkan nantinya. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran tentang pembahasan
makalah diatas.

16
DAFTAR PUSTAKA

Azqia, H. (2022). Jual Beli dalam Perspektif Islam. Jurnal Al-Rasyad, 64-65.

Fitriani, S. D. (2021). Digitalisasi Ekonomi Syariah: Penetapan Hukum-Hukum


Islam dalam Jual Beli Online. Jurnal Ekonomi Syariah, 53.

Khulwah, J. (2019). Jual Beli Dropship dalam Perspektif Islam. Jurnal Hukum
dan Pranata Sosial Islam, 07, 104-105.

M.S., S. (2014, Desember). Etika Jual Beli dalam Islam. Jurnal Studia Islamika,
11, 376-375.

Mauliddin, A. I., & Sari, C. K. (2022). Hadist Tentang Jual Beli Yang Dilarang.
Jurnal RIESYHA, I, 17.

Sabiq, S. (1987). Fiqih Sunnah (III ed.). (K. A. Marzuki, Penerj.) Bandung: Al-
Ma'arif.

Zahra, A. A., & Husna, A. N. (2019). Intensi Berwirausaha Pengusaha Muslim:


Peran Nilai-Nilai Keislaman dalam Pendirian Usaha. Jurnal Psikologi
Inegratif, 9, 201.

Zaki, M. (2021, Maret). Jual Beli Terlarang Dalam Perspektif Fikih Mu'amalah
(Ba'i An-Najsy dan Ba'i Al-Ghubn). Jurnal Ekonomi, Perbankan &
Manajemen Syariah, III, 22.

Anda mungkin juga menyukai