Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama Islam mengatur setiap segi kehidupan umatnya. Mengatur hubungan
seorang hamba dengan Tuhannya yang biasa disebut dengan muamalah ma’allah dan
mengatur pula hubungan dengan sesamanya yang biasa disebut dengan muamalah
ma’annas. Nah, hubungan dengan sesama inilah yang melahirkan suatu cabang ilmu
dalam Islam yang dikenal dengan Fiqh Muamalah. Aspek kajiannya adalah sesuatu
yang berhubungan dengan muamalah atau hubungan antara umat satu dengan umat
yang lainnya. Mulai dari jual beli, sewa menyewa, hutang piutang dan lain-lain.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari, setiap muslim pasti
melaksanakan suatu transaksi yang biasa disebut dengan jual beli. Si penjual menjual
barangnya, dan si pembeli membelinya dengan menukarkan barang itu dengan
sejumlah uang yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Jika zaman dahulu
transaksi ini dilakukan secara langsung dengan bertemunya kedua belah pihak, maka
pada zaman sekarang jual beli sudah tidak terbatas pada satu ruang saja. Dengan
kemajuan teknologi, dan maraknya penggunaan internet, kedua belah pihak dapat
bertransaksi dengan lancar.
Sebenarnya bagaimana pengertian jual beli menurut Fiqih muamalah? Apa saja
syaratnya? Lalu apakah jual beli yang dipraktekkan pada zaman sekarang sah menurut
fiqih muamalah? Tentu ini akan menjadi pambahasan yang menarik untuk dibahas.

B. Rumusan Masalah
Dari beberapa uraian di atas tentang perdagangan atau jual beli yang sebagian
telah dipaparkan, maka beberapa pertanyaan yang perlunya untuk dijawab agar tidak
ada keraguan lagi.
1. Apa yang di maksud dengan perdagangan atau jual beli ?
2. Apa saja rukun-rukun dan syarat-syarat jual beli ?
3. Sebutkan macam-macam jual beli ?

C. Tujuan Penulisan
1. Siswa dapat memahami ruang lingkup jual beli dalam fiqh muamalah
2. Untuk memperdalam materi jual beli agar bisa menerapkan keluar.
3. Memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Muamalah
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Jual Beli


Jual beli atau perdagangan dalam istilah fiqh disebut al-ba’i yang menurut
etimologi berarti menjual atau mengganti. Wahab al-Zuhaily mengartikan secara
bahasa dengan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Kata al-Ba’i dalam Arab
terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu kata al-Syira (beli). Dengan
demikian, kata al-ba’i berarti jual, tetapi sekalius juga berarti beli.1
Secara terminologi, terdapat beberapa definisi jual beli yang masing definisi
sama. Sebagian ulama lain memberi pengertian :
 Ulama Sayyid Sabiq
Ia mendefinisikan bahwa jual beli ialah pertukaran harta dengan harta atas
dasar saling merelakan atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat
dibenarkan. Dalam definisi tersebut harta dan milik, dengan ganti dan dapat
dibenarkan. Yang dimaksud harta dalam definisi di atas yaitu segala yang dimiliki
dan bermanfaat, maka dikecualikan yang bukan milik dan tidak bermanfaat. Yang
dimaksud dengan ganti agar dapat dibedakan dengan hibah (pemberian), sedangkan
yang dimaksud dapat dibenarkan (ma’dzun fih) agar dapat dibedakan dengan jual
beli yang terlarang.
 Ulama Hanafiyah
Ia mendefinisikan bahwa jual beli adalah saling tukar harta dengan harta
lain melalui cara yang khusus. Yang dimaksud ulama Hanafiyah dengan kata-kata
tersebut adalah melalui ijab qabul, atau juga boleh melalui saling memberikan
barang dan harga dari penjual dan pembeli
 Ulama Ibn Qudamah
Menurutnya jual beli adalah saling menukar harta dengan harta dalam
bentuk pemindahan milik dan pemilikan. Dalam definisi ini ditekankan kata milik
dan pemilikan, karena ada juga tukar menukar harta yang sifatnya tidak harus
dimiliki seperti sewa menyewa.2

1 Al-Zuhaily Wahbah, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Damaskus, 2005), juz 4.


2 Ibid
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa jual beli ialah suatu
perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara ridha di
antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain
menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan
disepakati. Inti dari beberapa pengertian tersebut mempunyai kesamaan dan
mengandung hal-hal antara lain :

1. Jual beli dilakukan oleh 2 orang (2 sisi) yang saling melakukan tukar menukar.
2. Tukar menukar tersebut atas suatu barang atau sesuatu yang dihukumi seperti
barang, yakni kemanfaatan dari kedua belah pihak.
3. Sesuatu yang tidak berupa barang/harta atau yang dihukumi sepertinya tidak sah
untuk diperjualbelikan.
4. Tukar menukar tersebut hukumnya tetap berlaku, yakni kedua belah pihak memiliki
sesuatu yang diserahkan kepadanya dengan adanya ketetapan jual beli dengan
kepemilikan abadi.

B. Pengertian Khiyar
Khiyar menurut bahasa adalah memilih, sedangkan menurut istilah adalah
antara penjual dan pembeli memilih yang terbaik dari dua perkara untuk
melangsungkan atau membatalkan akad jual beli. Khiyar terdiri dari delapan macam,
yaitu:
1. Khiyar Majlis (Pilihan Majlis)
Yaitu tempat berlangsungnya jual beli. Maksudnya bagi yang berjual beli
mempunyai hak untuk memilih selama keduanya ada di dalam majlis. Rasulullah
SAW bersabda “Jika dua orang saling berjual beli, maka masing-masing
mempunyai hak untuk memilih selama belum berpisah dan keduanya ada di dalam
majlis”.
Khiyar majlis menjadi bubar ada kalanya disebabkan berpisahnya kedua
belah pihak dari tempat akadnya atau penjual dan pembeli memilih menggugurkan
akadnya.
2. Khiyar Syarat
Yaitu masing-masing dari penjual dan pembeli mensyaratkan adanya khiyar
ketika melakukan akad atau setelahnya selama khiyar majlis dalam waktu tertentu.
Dan dua orang yang bertransaksi sah untuk mensyaratkan khiyar terhadap salah
seorang dari keduanya karena khiyar merupakan hak dari keduanya, maka selama
keduanya ridho berarti hal itu boleh.
3. Khiyar Ghobn
Yaitu jika seorang tertipu dalam jual beli dengan penipuan yang keluar dari
kebiasaan, maka seorang telah tertipu diberi pilihan akan melangsungkan
transaksinya atau membatalkannya. Dan orang yang tertipu tidak akan lapang
jiwanya dengan penipuan, kecuali kalau penipuan tersebut adalah penipuan ringan
yang sudah biasa terjadi, maka tidak ada khiyar baginya.
4. Khiyar Tadlis
Yaitu menampakkan barang yang aib (cacat) dalam bentuk yang bagus
seakan-akan tidak ada cacat. Tadlis diambil dari kata ad-dzulma (gelap) yaitu
penjual menunjukkan barang kepada pembeli yang bagus di dalam kegelapan
sehingga barang tersebut tidak terlihat secara sempurna. Tadlis ada dua macam,
yaitu:
a. Menyembunyikan cacat barang
b. Menghiasi dan memperindahnya dengan sesuatu yang menyebabkan harganya
bertambah.
Tadlis hukumnya adalah haram, dan bagi pembeli yang sudah terlanjur
membeli barang tadlis maka syariat memperbolehkan mengembalikan barang
pembeliannya.
5. Khiyar aib
Yaitu khiyar bagi pembeli yang disebabkan adanya aib dalam suatu barang
yang tidak disebutkan oleh penjual atau tidak diketahui olehnya, akan tetapi jelas
aib itu ada dalam barang-barang dagangan sebelum dijual. Adapun ketentuan aib
yang memperbolehkan adanya khiyar adalah dengan adanya aib itu biasanya
menyebabkan nilai barang berkurang atau mengurangi harga barang itu sendiri.
Apabila pembeli mengetahui aib setelah akad, maka baginya berhak khiyar
untuk melanjutkan membeli dan mengambil ganti rugi seukuran perbedaan antara
harga barang yang baik dengan yang terdapat aib. Atau boleh bagi pembeli untuk
membatalkan pembelian dengan mengembalikan barang dan meminta kembali
uang yang telah ia berikan.
6. Khiyar Takhbir Bitsaman
Yaitu menjual barang dengan harga pembelian, kemudian penjual
mengkhabarkan kadar barang tersebut ternyata tidak sesuai dengan hakikat dari
barang tersebut.
7. Khiyar Bisababi Takhaluf
Khiyar yang terjadi apabila pembeli dan penjual berselisih dalam sebagian
perkara, seperti berselisih dalam kadar harganya, ukurannya atau berselisih dalam
keadaan tidak ada kejelasan dari keduanya, maka ketika itu terjadi perselisihan dan
keduanya mempunyai keinginan yang berbeda. Maka keduanya boleh membatalkan
jika ia tidak ridha dengan perkataan lainnya.
8. Khiyar Ru’yah
Yaitu khiyar bagi pembeli, jika ia membeli suatu barang berdasarkan
penglihatan sebelumnya, kemudian ia mendapati adanya perubahan sifat barang
tersebut. Maka ketika itu baginya berhak untuk memilih antara melanjutkan atau
membatalkan pembelian.

C. Dasar Hukum Jual Beli


Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama umat manusia
mempunyai landasan yang kuat dalam al-Qur’an dan sunah Rasulullah SAW. Terdapat
beberapa ayat al-Qur’an dan sunah Rasulullah SAW, yang berbicara tentang jual beli,
antara lain :
1. Al-Quran
a. Allah berfirman Surah Al-Baqarah ayat 275 “Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba”
b. Allah berfirman Surah Al-Baqarah ayat 198 “Tidak ada dosa bagimu untuk
mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu”
c. Allah berfirman Surah An-Nisa ayat 29 “…kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu…”
2. Sunah Rasulullah SAW
a. Hadist yang diriwayatkan oleh Rifa’ah ibn Rafi’ : “Rasulullah SAW, ditanya
salah seorang sahabat mengenai pekerjaan apa yang paling baik. Rasulullah
SAW, menjawab usaha tangan manusia sendiri dan setiap jual beli yang
diberkati.” (H.R Al-Bazzar dan Al-Hakim).
Artinya jual beli yang jujur, tanpa diiringi kecurangan-kecurangan mendapat
berkah dari Allah SWT.
b. Hadist dari al-Baihaqi, ibn Majah dan ibn Hibban, Rasulullah menyatakan :
“Jual beli itu didasarkan atas suka sama suka”
c. Hadist yang diriwayatkan al-Tirmizi, Rasulullah bersabda : “Pedagang yang
jujur dan terpercaya sejajar (tempatnya disurga) dengan para nabi, shadiqqin,
dan syuhada”.3

D. Hukum Jual Beli


Dari kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dan sabda-sabda Rasulullah SAW di atas,
para ulama fiqh mengatakan bahwa hukum asal dari jual beli yaitu mubah (boleh).
Akan tetapi pada situasi-situasi tertentu, menurut Imam al-Syathibi (w. 790 h), pakar
fiqh Maliki, hukumnya boleh berubah menjadi wajib. Imam al-Syathibi memberi
contoh ketika terjadi praktik ihtikar (penimbunan barang sehingga stok hilang dari
pasar dan harga melonjak naik). Apabila seorang melakukan ikhtikar dan
mengakibatkan melonjaknya harga barang yang ditimbun dan disimpan itu, maka
menurutnya pihak pemerintah boleh memaksa pedagang untuk menjual barangnya itu
sesuai dengan harga sebelum terjadinya pelonjakan harga. Dalam hal ini menurutnya,
pedagang itu wajib menjual barangnya sesuai dengan ketentuan pemerintah. Hal ini
sama prinsipnya dengan al-Syathibi bahwa yang mubah itu apabila ditinggalkan secara
total, maka hukumnya boleh menjadi wajib. Apabila sekelompok pedagang besar
melakukan boikot tidak mau menjual beras lagi, pihak pemerintah boleh memaksa
mereka untuk berdagang beras dan pedagang ini wajib melaksanakannya. Demikian
pula, pada kondisi-kondisi lainnya.4

E. Rukun dan Syarat Jual Beli


Jual beli mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga jual beli
itu dapat dikatakan sah oleh syara’. Dalam menentukan rukun jual beli terdapat
perbedaan pendapat ulama Hanafiyah dengan jumhur ulama. Rukun jual beli menurut
ulama Hanafiyah hanya satu, yaitu ijab qabul. Ijab adalah ungkapan membeli dari
pembeli, dan qabul adalah ungkapan menjual dari penjual. Menurut mereka, yang

3Abu Ishaq al-Syathibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, (Beirut : Daral-ma’rifah, 1975), hal. 56.
4 Suhendi Hendi, Fiqh Muamalah,. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 26.
menjadi rukun dalam jual beli itu hanyalah kerelaan (ridha) kedua belah pihak untuk
melakukan transaksi jual beli. Akan tetapi, karena unsur kerelaan itu merupakan unsur
hati yang sulit untuk diindra sehingga tidak kelihatan, maka diperlukan indikasi yang
menunjukkan kerelaan itu dari kedua belah pihak. Indikasi yang menunjukkan kerelaan
kedua belah pihak yang melakukan transaksi jual beli menurut mereka boleh tergambar
dalam ijab dan qabul, atau melalui cara saling memberikan barang dan harga barang. 5
Akan tetapi jumhur ulama menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat,
yaitu :
1. Ada orang yang berakad (penjual dan pembeli).
2. Ada sighat (lafal ijab qabul).
3. Ada barang yang dibeli (ma’qud alaih)
4. Ada nilai tukar pengganti barang.
Menurut ulama Hanafiyah, orang yang berakad, barang yang dibeli, dan nilai
tukar barang termasuk ke dalam syarat-syarat jual beli, bukan rukun jual beli.
Adapun syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang dikemukakan
jumhur ulama di atas sebagai berikut :
1. Syarat-syarat orang yang berakad
Para ulama fiqh sepakat bahwa orang yang melakukan akad jual beli itu
harus memenuhi syarat, yaitu :
a. Berakal sehat, oleh sebab itu seorang penjual dan pembeli harus memiliki akal
yang sehat agar dapat melakukan transaksi jual beli dengan keadaan sadar. Jual
beli yang dilakukan anak kecil yang belum berakal dan orang gila, hukumnya
tidak sah.
b. Atas dasar suka sama suka, yaitu kehendak sendiri dan tidak dipaksa pihak
manapun.
c. Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda, maksudnya seorang tidak
dapat bertindak dalam waktu yang bersamaan sebagai penjual sekaligus sebagai
pembeli.
2. Syarat yang terkait dalam ijab qabul
a. Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal.
b. Qabul sesuai dengan ijab. Apabila antara ijab dan qabul tidak sesuai maka jual
beli tidak sah.

5 Nasrun Haroen, fiqh muamalah, (Jakarta : Gaya Media Pratama. 2007), hlm. 7.
c. Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis. Maksudnya kedua belah pihak
yang melakukan jual beli hadir dan membicarakan topik yang sama.6
3. Syarat-syarat Barang yang Diperjualbelikan
Syarat-syarat yang terkait dengan barang yang diperjualbelikan sebagai
berikut:
a. Suci, dalam Islam tidak sah melakukan transaksi jual beli barang najis, seperti
bangkai, babi, anjing, dan sebagainya.
b. Barang yang diperjualbelikan merupakan milik sendiri atau diberi kuasa orang
lain yang memilikinya.
c. Barang yang diperjualbelikan ada manfaatnya. Contoh barang yang tidak
bermanfaat adalah lalat, nyamuk, dan sebagainya. Barang-barang seperti ini
tidak sah diperjualbelikan. Akan tetapi, jika dikemudian hari barang ini
bermanfaat akibat perkembangan teknologi atau yang lainnya, maka barang-
barang itu sah diperjualbelikan.
d. Barang yang diperjualbelikan jelas dan dapat dikuasai.
e. Barang yang diperjualbelikan dapat diketahui kadarnya, jenisnya, sifat, dan
harganya.
f. Boleh diserahkan saat akad berlangsung .7
4. Syarat-syarat Nilai Tukar (Harga Barang)
Nilai tukar barang yang dijual (untuk zaman sekarang adalah uang) atau
ditukar ini para ulama fiqh membedakan al-tsaman dengan al-si’r. Menurut
mereka, al-tsaman adalah harga pasar yang berlaku di tengah-tengah masyarakat
secara aktual, sedangkan al-si’r adalah modal barang yang seharusnya diterima
para pedagang sebelum dijual ke konsumen (pemakai). Dengan demikian, harga
barang itu ada dua, yaitu harga antar pedagang dan harga antar pedagang dan
konsumen (harga dipasar).
Syarat-syarat nilai tukar (harga barang) yaitu :
a. Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.
b. Boleh diserahkan pada waktu akad, sekalipun secara hokum seperti pembayaran
dengan cek dan kartu kredit. Apabila harga barang itu dibayar kemudian
(berutang) maka pembayarannya harus jelas.

6 Ibid, hlm. 9.
7 MS. Wawan Djunaedi, Fiqih, (Jakarta : PT. Listafariska Putra, 2008), hlm. 98
c. Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan barang, maka
barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharamkan oleh syara’,
seperti babi, dan khamar, karena kedua jenis benda ini tidak bernilai menurut
syara’.8

F. Macam-macam Jual Beli


Jual beli dapat ditinjau dari berbagai segi, yaitu:
1. Ditinjau dari segi bendanya dapat dibedakan menjadi:
a. Jual beli benda yang kelihatan, yaitu jual beli yang pada waktu akad, barangnya
ada di hadapan penjual dan pembeli.
b. Jual beli salam, atau bisa juga disebut dengan pesanan. Dalam jual beli ini harus
disebutkan sifat-sifat barang dan harga harus dipegang di tempat akad
berlangsung.
c. Jual beli benda yang tidak ada, jual beli seperti ini tidak diperbolehkan dalam
agama Islam.
2. Ditinjau dari segi pelaku atau subjek jual beli:
a. Dengan lisan, akad yang dilakukan dengan lisan atau perkataan. Bagi orang
bisu dapat diganti dengan isyarat.
b. Dengan perantara, misalnya dengan tulisan atau surat menyurat. Jual beli ini
dilakukan oleh penjual dan pembeli, tidak dalam satu majelis akad, dan ini
dibolehkan menurut syara’.
c. Jual beli dengan perbuatan, yaitu mengambil dan memberikan barang tanpa ijab
kabul. Misalnya seseorang mengambil mie instan yang sudah bertuliskan label
harganya. Menurut sebagian ulama Syafiiyah hal ini dilarang karena ijab kabul
adalah rukun dan syarat jual beli, namun sebagian Syafiiyah lainnya seperti
Imam Nawawi membolehkannya.
3. Ditinjau dari segi hukumnya
Jual beli dinyatakan sah atau tidak sah bergantung pada pemenuhan syarat
dan rukun jual beli yang telah dijelaskan di atas. Dari sudut pandang ini, jumhur
ulama membaginya menjadi dua, yaitu:
a. Shahih, yaitu jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya.
b. Ghairu Shahih, yaitu jual beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukunnya.

8Drs. Ghufron Ihsan. MA, Fiqh Muamalat, (Jakarta : Prenada Media Grup, 2008), hlm. 35
Sedangkan fuqaha / ulama Hanafiyah membedakan jual beli menjadi 3,
yaitu:
a. Shahih, yaitu jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya
b. Bathil, adalah jual beli yang tidak memenuhi rukun dan syarat jual beli, dan ini
tidak diperkenankan oleh syara’. Misalnya:
1) Jual beli atas barang yang tidak ada ( bai’ al-ma’dum ), seperti jual beli
janin di dalam perut ibu dan jual beli buah yang tidak tampak.
2) Jual beli barang yang zatnya haram dan najis, seperti babi, bangkai dan
khamar.
3) Jual beli bersyarat, yaitu jual beli yang ijab kabulnya dikaitkan dengan
syarat-syarat tertentu yang tidak ada kaitannya dengan jual beli.
4) Jual beli yang menimbulkan kemudharatan, seperti jual beli patung, salib
atau buku-buku bacaan porno.
5) Segala bentuk jual beli yang mengakibatkan penganiayaan hukumnya
haram, seperti menjual anak binatang yang masih bergantung pada
induknya.9
c. Fasid yaitu jual beli yang secara prinsip tidak bertentangan dengan syara’
namun terdapat sifat-sifat tertentu yang menghalangi keabsahannya. Misalnya :
1) Jual beli barang yang wujudnya ada, namun tidak dihadirkan ketika
berlangsungnya akad.
2) Jual beli dengan menghadang dagangan di luar kota atau pasar, yaitu
menguasai barang sebelum sampai ke pasar agar dapat membelinya dengan
harga murah.
3) Membeli barang dengan memborong untuk ditimbun, kemudian akan dijual
ketika harga naik karena kelangkaan barang tersebut.
4) Jual beli barang rampasan atau curian.
5) Menawar barang yang sedang ditawar orang lain.10

9 Thauam marufah, Jual Beli dan Khiyar, di kutip pada situs:


http://bolo-kiyai.blogspot.com/2011/11/makalah-jual-beli-dan-khiyar.html. Diakses pada tanggal 02 Oktober
2016, 20.38 WIB.
10 Ibid
G. Manfaat dan Hikmah Jual Beli
1. Manfaat jual beli :
Manfaat jual beli banyak sekali, antara lain :
a. Jual beli dapat menata struktur kehidupan ekonomi masyarakat yang
menghargai hak milik orang lain.
b. Penjual dan pembeli dapat memenuhi kebutuhannya atas dasar kerelaan atau
suka sama suka.
c. Masing-masing pihak merasa puas. Penjual melepas barang dagangannya
dengan ikhlas dan menerima uang, sedangkan pembeli memberikan uang dan
menerima barang dagangan dengan puas pula. Dengan demikian, jual beli juga
mampu mendorong untuk saling bantu antara keduanya dalam kebutuhan
sehari-hari.
d. Dapat menjauhkan diri dari memakan atau memiliki barang yang haram.
e. Penjual dan pembeli mendapat rahmat dari Allah SWT.
f. Menumbuhkan ketentraman dan kebahagiaan.

2. Hikmah Jual Beli


Hikmah jual beli dalam garis besarnya sebagai berikut :
Allah SWT mensyariatkan jual beli sebagai pemberian keluangan dan
keleluasaan kepada hamba-hamba-Nya, karena semua manusia secara pribadi
mempunyai kebutuhan berupa sandang, pangan, dan papan. Kebutuhan seperti ini
tak pernah putus selama manusia masih hidup. Tak seorang pun dapat memenuhi
hajat hidupnya sendiri, karena itu manusia dituntut berhubungan satu sama lainnya.
Dalam hubungan ini, tak ada satu hal pun yang lebih sempurna daripada saling
tukar, dimana seorang memberikan apa yang ia miliki untuk kemudian ia
memperoleh sesuatu yang berguna dari orang lain sesuai dengan kebutuhannya
masing-masing.11

11 Drs. Gufron Ihsan, M.A, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Prenada Media Grup, 2008), hlm. 89.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa jual beli itu
diperbolehkan dalam Islam. Hal ini dikarenakan jual beli adalah sarana manusia dalam
mencukupi kebutuhan mereka, dan menjalin silaturahmi antara mereka. Namun
demikian, tidak semua jual beli diperbolehkan. Ada juga jual beli yang dilarang karena
tidak memenuhi rukun atau syarat jual beli yang sudah disyariatkan. Rukun jual beli
adalah adanya akad (ijab kabul), subjek akad dan objek akad yang kesemuanya
mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi, dan itu semua telah dijelaskan di atas.
Walaupun banyak perbedaan pendapat dari kalangan ulama dalam menentukan rukun
dan syarat jual beli, namun pada intinya terdapat kesamaan, yang berbeda hanyalah
perumusannya saja, tetapi inti dari rukun dan syaratnya hampir sama.

B. Saran
Jual beli merupakan kegiatan yang sering dilakukan oleh setiap manusia,
namun pada zaman sekarang manusia tidak menghiraukan hukum Islam. Oleh karena
itu, sering terjadi penipuan di mana-mana. Untuk menjaga perdamaian dan ketertiban
sebaiknya kita berhati-hati dalam bertransaksi dan alangkah baiknya menerapkan
hukum Islam dalam interaksinya.
Allah SWT telah berfirman bahwasannya Allah memperbolehkan jual beli dan
mengharamkan riba. Maka dari itu, jauhilah riba dan jangan sampai kita melakukun
riba. Karena sesungguhnya riba dapat merugikan orang lain.
Hendaklah meninggalkan jual beli dan segala kesibukan lainnya kemudian
beribadahlah kepada Allah ketika mendengarkan seruan adzan. Karena sesungguhnya
Allah SWT mengharamkan jual beli di waktu tertentu. Dimana kita harus melakukan
ibadah, seperti shalat jum’at dan shalat fardhu.
DAFTAR PUSTAKA

NasrunHaroen, 2007, “fiqhMuamalah”, Jakarta : Gaya Media Pratama.

SuhendiHendi, 1997, “FiqhMuamalah”,Jakarta : PT. Raja GrafindoPersada.

Drs. GhufronIhsan. MA, 2008, “FiqhMuamalat”, Jakarta :Prenada Media Grup.

http://kacangturki.blogspot.com/2013/03/hukum-jual-beli-dalam-islam.html

http://www.Hukum-jual-beli-dalam-islam.com
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah kami panjatkan puji syukur dengan berkat rahmat Allah SWT, yang
telah memudahkan kami dalam menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Shalawat
dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, Rasulullah terakhir yang
diutus dengan membawa syari’ah yang mudah, penuh rahmat, dan membawa keselamatan
dalam kehidupan dunia dan akhirat.
Makalah berjudul Hukum Jual Beli dalam Islam ini disusun untuk memenuhi tugas
mata kuliah Fiqh Muamalah. Kami telah berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan
kemampuan yang ada agar makalah ini dapat tersusun sesuai harapan. Sesuai dengan
fitrahnya, manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang tak luput dari kesalahan dan
kekhilafan, maka dalam makalah yang kami susun ini belum mencapai tahap
kesempurnaan.
Kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam
proses penyelesaian makalah ini, khususnya kepada Bapak Risdianto, MH.I yang telah
membimbing kami dalam menyelesaikan makalah ini. Mudah-mudahan makalah ini dapat
memberikan manfaat untuk kita semua dalam kehidupan sehari-hari.

Pagar Alam, Oktober 2016

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................1
C. Tujuan Penulisan..............................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Jual Beli.........................................................................................2
B. Pengertian Khiyar............................................................................................3
C. Dasar Hukum Jual Beli....................................................................................5
D. Hukum Jual Beli..............................................................................................6
E. Rukun dan Syarat Jual Beli..............................................................................6
1. Syarat-syarat orang yang berakad..............................................................7
2. Syarat yang terkait dalam ijab qabul..........................................................7
3. Syarat-syarat Barang yang Diperjualbelikan.............................................8
4. Syarat-syarat Nilai Tukar (Harga Barang).................................................8
F. Macam-macam Jual Beli..................................................................................9
G. Manfaat dan Hikmah Jual Beli......................................................................11
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan....................................................................................................12
B. Saran..............................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA
Disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Muamalah
Dosen Pengampu : Risdianto, MH.I

Disusun Oleh :
Nama : Fitria Latifa
NIM : 16.05.0258

Anda mungkin juga menyukai