Anda di halaman 1dari 8

PERNIAGAAN DAN JUAL BELI

(TRADISIONAL DAN KONTEMPORER)


DALAM PERSPEKTIF SYARIAH

Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. M.Nizarul Alim, SE.,M.Si., Ak. CA

DISUSUN OLEH :
Nama : ELZA
NIM : 220221100095
Kelas : Akuntansi-B

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2023
Ringkasan
Perniagaan dan jual beli (tradisional dan kontemporer) dalam perspektif syariah.

A. Definisi, landasan, dan rukun jual-beli


1. Pengertian jual-beli.
Menurut etimologi, jual beli diartikan pertukaran sesuatu dengan sesuatu yang
lain.
Menurut terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya.
a. Menurut ulama hanafiyah: pertukaran harta benda dengan harta
berdasarkan cara khusus yang dibolehkan.
b. Menurut imam nawawi: pertukaran harta dengan harta untuk
kepemilikan.
c. Menurut ibnu qudamah: pertukaran harta dengan harta, untuk saling
menjadikan milik.
2. Landasan syara’
Jual-beli disyariatkan berdasarkan al-quran, sunnah dan ijma’.
a. Al-quran (QS.Al-baqarah: 275)
“padahal allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.
b. As-sunnah ( HR.Baihaqi dan ibnu majah)
c. Ijma’. Ulama telah sepakat bahwa jual-beli diperbolehkan dengan alasan
bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa
bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang
lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang
sesuai.
3. Rukun dan pelaksanaan jual-beli
Adapun rukun jual-beli menurut jumhur ulama ada empat yaitu:
a. Bai (penjual).
b. Mustari (pembeli).
c. Sighat (ijab dan kabul).
d. Ma'qud alaih (benda atau barang).

B. Syarat jual-beli
Dalam jual beli terdapat empat macam syarat yaitu syarat terjadinya akad, syarat sahnya
akad, syarat terlaksananya akad, dan syarat lujum.
a. Syarat terjadinya akad
Adalah syarat-syarat yang telah ditetapkan syara’. Jika persyaratan ini tidak
terpenuhi, maka jual-beli batal.
b. Syarat pelaksanaan akad.
1. Benda dimiliki aqid atau berkuasa untuk akaad.
2. Pada benda tidak terdapat miliknorang lain.
c. Syarat sah akad dibagi menjadi dua:
1. Syarat umum, adalah syarat-syarat yang berhubungan dengan semua
bentuk jual-beli yang telah ditetapkan syara’. juga harus terhindar
kecacatan jual-beli, yaitu ketidakjelasan, keterpaksaan, pembatasan dengan
waktu, penipuan, kemadharatan, dan persyaratan yang merusak lainnya.
2. Syarat khusus adalah syarat-syarat yang hanya ada pada barang-barang
tertentu. Jual beli ini harus memenuhi persyaratan berikut:
a. Barang yang diperjualbelikan harus dapat dipegang.
b. Harga awal harus diketahui, yaitu pada jual-beli amanat.
c. Serah terima benda dilakukan sebelum berpisah.
d. Terpenuhinya syarat penerimaan.
e. Harus seimbang dalam ukuran timbangan.
f. Barang yamg diperjualbelikan sudah menjadi tanggung jawabnya
d. Syarat lujum. yaitu akad jual-beli harus terlepas atau terbebas dari
khiyar yang berkaitan dengan kedua pihak yang akad dan akan
menyebabkan batalnya akad.

C. Hukum (ketetapan) bai’ beserta pembahasan barang dan harga.


1. Hukum (ketetapan) akad
Hukum akad adalah tujuan dari aqad. dalam jual beli, ketetapan akad
adalah menjadikan barang sebagai milik pembeli dan menjadikan harga atau
uang sebagai milik penjual.
Hak-hak akad (huquq al-aqd) adalah aktivitas yang harus dikerjakan
sehingga menghasilkan hukum akad, seperti menyerahkan barang yang dijual,
memegang harta (uang) mengembalikan barang yang cacat, khiyar dan lain-lain .
Adapun hak jual beli yang mengikuti hukum adalah segala sesuatu yang
berkaitan dengan barang yang dibeli, yang meliputi berbagai hak yang harus ada
dari benda tersebut yang disebut pengiring (murafiq).
2. Tsaman (harga) dan mabi’(barang jualan).
a. Pengertian harga dan mabi’.
Secara umum mabi’ adalah perkara yang menjadi tentu dengan ditentukan.
Sedangkan harga adalah perkara yang tidak tentu dengan ditentukan.
b. Penentuan mabi’ (barang jualan) adalah penentuan barang yang akan dijual
dari barang-barang lainnya yang tidak akan dijual, jika penentuan tersebut
menolong atau menentukan akad, baik pada jual beli yang barangnya ada di
tempat akad atau tidak apabila mabi’ tidak ditentukan dalam akad
penentuannya dengan cara menyerahkan mabi’ tersebut.
c. Perbedaan harga nilai dan utang.
1. Harga. Sesuatu yang direlakan dalam akad, baik lebih sedikit, lebih
besar, atau sama dengan nilai barang. Biasanya, harga dijadikan penukar
barang yang diridai oleh kedua pihak yang akad.
2. Nilai sesuatu. Sesuatu yang dinilai sama menurut pandangan manusia.
3. Utang adalah sesuatu yang menjadi tanggungan seseorang dalam urusan
harta, yang keberadaannya disebabkan adanya beberapa iltijam, yakni
keharusan untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu untuk
orang lain, seperti merusak harta gashab, berutang dan lain-lain.
d. Perbedaan mabi' dan harga
Kaidah umum tentang mabi’ dan harga adalah segala sesuatu yang dijadikan
mabi’ adalah sah dijadikan harga, tetapi tidak semua harga dapat menjadi
mabi’.
Diantara perbedaan antara mabi' dan tsaman adalah:
1. Secara umum uang adalah harga, sedangkan barang yang dijual adalah
mabi’.
2. Jika tidak menggunakan uang, barang yang akan ditukarkan adalah mabi’
dan penukarannya adalah harga.
e. Ketetapan mabi’ dan harga.
Hukum-hukum yang berkaitan dengan mabi’ dan harga antara lain:
1. Mabi disyaratkan haruslah harta yang bermanfaat, sedangkan harga tidak
disarankan demikian.
2. Mabi’ disyaratkan harus ada dalam kepemilikan penjual, sedangkan
harga tidak disarankan demikian.
3. Tidak boleh mendahulukan harga pada jual beli pesanan, sebaliknya
mabi’ harus didahulukan.

D. Hukum dan sifat jual beli.


Ditinjau dari hukum dan sifat jual beli, jumhur ulama membagi jual beli menjadi dua
macam, yaitu:
1. Jual beli yang dikategorikan sah (sahih). adalah jual beli yang memenuhi
kebutuhan syariat. Hukumnya, sesuatu yang diperjualbelikan menjadi milik yang
melakukan akad.
2. Jual beli yang dikategorikan tidak sah (batal). adalah jual beli yang tidak
memenuhi salah satu rukun, atau tidak sesuai dengan syariat, yakni orang yang
akad bukan ahlinya, sepertijual beli yang dilakukan oleh orang gila dan anak
kecil.

E. Jual-beli yang dilarang dalam islam.


Jual beli yang dilarang dalam Islam sangatlah banyak. Berkenaan dengan jual beli yang
dilarang dalam Islam wahbah Al juhalili meringkasnya sebagai berikut:
1. terlarang sebab ahliah (ahli akad).
Ulama sepakat bahwa jual-beli dikategorikan sahih apabila dilakukan oleh orang
yang baligh, berakal, dan dapat memilih.
Mereka yang dipandang tidak sah jual-belinya adalah sebagai berikut:
a. Jual-beli orang gila.
Ulama fiqih sepakat bahwa jual-beli orang yang gila tidak sah. Begitu pula
sejenisnya, seperti orang mabuk dan lain-lain.
b. Jual-beli anak kecil
Ulama fiqih sepakat bahwa jual-beli anak kecil dipandang tidak sah, kecuali
dalam perkara-perkara yang ringan atau sepele.
Menurut ulama syafi’i, jual-beli anak mumayyiz yang belum baligh, tidak sah
sebab tidak ada ahliah.
Adapun menurut imam maliki, hanafi dan hanabi, jual-beli anak kecil dipandang
sah jika diizinkan walinya. Mereka antara lain beralasan, salah satu cara untuk
melatih kedewasaan adalah dengan memberikan keleluasan untuk jual-beli.
c. Jual-beli orang buta.
Jual-beli orang buta dikatakan sahih menurut jumhur jika barang yang dibelinya
diberi sifat (diterangkan sifat-sifatnya). Adapun menurut ulama syafi’i, jual-beli
orang buta itu tidak sah sebab ia tidak dapat membedakan barang yang jelek dan
yang baik.
d. Jual-beli terpaksa.
Menurut ulama Hanafi hukum jual beli orang terpaksa seperti jual beli tanpa
seizin pemiliknya, yakni ditangguhkan. oleh karena itu keabsahannya
ditangguhkan sampai rela atau hilang rasa terpaksa, menurut ulama Maliki tidak
lazim baginya ada khiyar, adapun menurut ulama Syafi'i dan hanafi jual beli
tersebut tidak sah sebab tidak ada keridaan ketika akad.
e. Jual beli fudhul adalah jual beli milik orang tanpa seizin pemiliknya menurut
ulama Hanafi dan Maliki jual beli di tangkuhkan sampai ada izin pemilik
adapun menurut ulama hanabi dan Syafi'i jual beli fudhul tidak sah.

f. Jual beli orang yang terhalang bangkrut ataupun sakit.


Jual beli orang yang bodoh yang suka menghamburkan hartanya. menurut
pendapat ulama Maliki, Hanafi dan pendapat paling sahih di kalangan hanabilah
harus ditangguhkan. adapun menurut ulama Syafi'i jual beli tersebut tidak sah
sebab tidak ada ahli dan ucapannya dipandang tidak dapat dipegang.
Jual beli orang sakit parah yang sudah mendekati mati, hanya dibolehkan
sepertiga dari hartanya, dan bila ingin lebih dari sepertiga, jual beli tersebut
ditangguhkan kepada izin ahli warisnya. Menurut ulama Maliki sepertiga dari
hartanya hanya dibolehkan pada harta yang tidak bergerak seperti rumah, tanah
dan lain-lain.
g. Jual beli Malja' adalah jual beli orang yang sedang dalam bahaya yakni untuk
menghindar dari perbuatan zalim jual beli tersebut fasid menurut ulama Hanafi
dan batal menurut ulama hanabilah.
2. Terlarang sebab sighat.
Ulama fiqih telah sepakat atas sahnya jual beli yang didasarkan pada keridhaan di
antara pihak yang melakukan akad ada kesesuaian diantara ijab dan qobul berada
di satu tempat dan tidak terpisah oleh satu pemisah.
Jual beli yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dipandang tidak sah, jual beli
yang dipandang tidak sah atau masih diperdebatkan oleh para ulama adalah
berikut ini:
a. Jual beli mu'atah
Jual beli mua’atah adalah jual beli yang telah disepakati oleh pihak akad,
berkenaan dengan barang maupun harganya tetapi tidak memakai ijab
qabul.
b. Jual beli melalui surat atau melalui utusan.
Disepakati ulama fiqih bahwa jual beli melalui surat atau utusan adalah sah.
tempat berakad adalah tersampainya surat atau utusan dari aqid pertama
kepada aqid kedua. Jika tqabul melebihi tempat, akad tersebut dipandang
tidak sah, seperti surat tidak sampai ke tangan yang dimaksud.
c. Jual beli dengan isyarat atau tulisan.
Disepakati kesahihan akad dengan isyarat atau tulisan khususnya bagi yang
uzur sebab sama dengan ucapan. selain itu isyarat juga menunjukkan apa
yang ada dalam hati aqid. apabila isyarat tidak dapat dipahami dan
tulisannya jelek (tidak dapat dibaca) maka tidak sah.
d. Jual beli barang yang tidak ada di tempat akad.
Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli atas barang yang tidak ada di tempat
adalah tidak sah sebab tidak memenuhi syarat terjadinya akad.
e. Jual beli tidak bersesuaian antara ijab dan qobul.
hal ini dipandang tidak sah menurut kesepakatan ulama. akan tetapi jika
lebih baik seperti meninggikan harga menurut ulama Hanafi
membolehkannya sedangkan ulama Syafi'i menganggapnya tidak sah.
f. Jual beli munjiz. adalah yang dikaitkan dengan suatu syarat atau
ditangguhkan pada waktu yang akan datang. jual beli ini dipandang fasid
menurut ulama Hanafiyah, dan batal menurut jumhur ulama.
3. Terlarang sebab ma’qud alaih (barang jualan).
Secara umum ma’qud alaih adalah harta yang dijadikan alat pertukaran oleh
orang yang akad, yang biasa disebut mabi’(barang jualan).
a. Jual-beli benda yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada. Jumhur
ulama sepakat bahwa jual-beli barang yang tiidak ada atau dikhawatirkan
tidak ada adalah tidak sah.
b. Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan. seperti burung yang ada
diudara atau ikan yang ada diair tidak berdasarkan ketetapan syara’.
c. Jual beli gharar adalah jual beli barang yang mengandung kesamaran.
4. Terlarang sebab syara’.
Ulama sepakat membolehkan jual beli yang memenuhi persyaratan dan
rukunnya. Namun ada beberapa masalah yang diperselisihkan diantara para
ulama, diantaranya:
a. Jual beli riba. Riba nasiah dan riba fadhl adalah fasid menurut ulama
hanafiyah, tetapi batal menurut jumhur ulama.
b. Jual beli dengan uang dari barang yang diharamkan. Menurut ulama
Hanafiyah termasuk fasid (rusak) dan terjadi akad atas nilainya,
sedangkan menurut jumhur ulama adalah batal sebab ada nash yang jelas
dari hadis Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah SAW. mengharamkan
jual-beli khamar, bangkai, anjing, dan patung.
c. Jual-beli barang dari hasil pencegatan barang. Yakni mencegat pedagang
dalam perjalanannya menuju tempat yang dituju sehingga orang yang
mencegatnya akan mendapatkan keuntungan.
d. Jual-beli waktu azan Jumat. Yakni bagi laki-laki yang berkewajiban
melaksanakan shalat Jumat. Menurut ulama Hanafiyah pada waktu azan
pertama, sedangkan menurut ulama lainnya, azan ketika khatib sudah
berada di mimbar.
e. Jual-beli anggur untuk dijadikan khamar. Menurut ulama Hanafiyah dan
Syaffiyah zahirnya sahih, tetapi makruh, sedangkan menurut ulama
Malikiyah dan Hanabilah adalah batal.
f. Jual-beli induk tanpa anaknya yang masih kecil. Hal itu dilarang sampai
anaknya besar dan dapat mandiri.
g. Jual-beli barang yang sedang dibeli oleh orang lain. Seseorang telah
sepakat akan membeli masih dalam khiyar, kemudian datang orang untuk
membatalkannya sebab ia akan membelinya dengan harga lebihtinggi.
h. Jual-beli memakai syarat.
Menurut ulama Hanafiyah, sah jika syarat tersebut baik, begitu pula
menurut ulama Malikiyah membolehkannya jika bermanfaat, Menurut
ulama Syafiiyah dibolehkan jika syarat maslahat bagi salah satu pihak
yang melangsungkan akad, sedangkan menurut ulama Hanabilah, tidak
dibolehkan jika hanya bermanfaat bagi salah satu yang akad.

F. Macam-macam Jual-Beli
Jual-beli berdasarkan pertukarannya secara umum dibagi empat macam
a. Jual-beli saham atau jual-beli melalui pesanan, yakni jual-beli dengan
cara menyerahkan terlebih dahulu uang muka kemudian barangnya
diantar belakangan.
b. Jual-beli mugayadhah (barter) adalah jual-beli dengan cara menukar
barang dengan barang, seperti menukar baju dengan sepatu.
e. Jual-beli muthlaq. adalah jual-beli barang dengan sesuatu yang telah
disepakati sebagai alat pertukaran, seperti uang.
f. Jual-beli barang alat penukar dengan alat penukar. adalah jual beli
barang yang biasa dipakai sebagai alat penukar dengan alat penukar
lainnya, seperti uang perak dengan uang emas.
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. H. Rachmat syafe’i, M.A. (2001)

Anda mungkin juga menyukai