Anda di halaman 1dari 9

JUAL BELI

Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah Agama Islam

Dosen Pengampu: Qodim Ma’shum, S.H.I., M.H.I

Disusun oleh:

Nama : Caesaria Khazena Baria Suryana


NIM : 202330300280
Prodi : Desain Produk Tekstil
Semester :1

PRODI DESAIN PRODUK TEKSTIL (DPT)


AKADEMI SENI DAN DESAIN INDONESIA (ASDI)
SURAKARTA
2022/2023

1
JUAL BELI

A. Pengertian Jual Beli


Jual beli dalam istilah fiqh disebut al-ba’i yang secara etimologi berarti menjual atau
mengganti. Wahbah al-Zuhaily mengartikannya secara bahasa dengan menukar sesuatu
dengan sesuatu yang lain. Secara terminologi terdapat beberapa definisi jual beli yang
dikemukakan para ulama fiqh. Menurut Sayyid Sabiq jual beli ialah pertukaran harta dengan
harta atas dasar saling merelakan atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat
dibenarkan. Definisi lain dikemukakan oleh ulama Hanafiyah yang dikutip oleh Wahbah al-
Zuhaily, jual beli adalah saling tukar dengan harta melalui cara tertentu atau tukar-menukar
sesuatu yang diinginkan dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.1
Jual beli artinya menukarkan barang dengan barang atau dengan uang, dengan jalan
melepaskan hak milik dari seseorang terhadap orang lainnya atas dasar kerelaan kedua belah
pihak.2
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa inti dari jual beli adalah suatu perjanjian
tukar menukar barang atau benda yang memiliki nilai, secara sukarela diantara kedua belah
pihak, yang satu menerima benda dan pihak lainnya menerima uang sebagai kompensasi
barang, dan sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan
disepakati.3

B. Dalildan Hukum Jual Beli


1. Dalil Jual Beli
Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama umat manusia mempunyai
landasan yang kuat dalam al-Qur’andan sunah Rasulullah SAW. Terdapat beberapa ayat
al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW, yang berbicara tentang jual beli, antara lain:
a. Surat Al-Baqarah ayat 275

1
Abdul Rahman Ghazaly. dkk, Fiqh Muamalat, Jakarta: Kencana, 2010, hlm. 67-68
2
Ibnu Mas’ud. dkk, Fiqh Madzhab Syafi’i Buku 2: Muamalat, Munakahat, Jinayat, Bandung: Pustaka Setia
Bandung, 2007, hlm. 22
3
Masjupri, Buku Daras Fiqih 1 Muamalah,Surakarta: FSEI Publising IAIN Surakarta, 2013, hlm. 105

2
... ‫َو َأَح َّل ٱلَّلُهٱۡل َبۡي َع َو َح َّر َم ٱلِّر َبٰو‬
Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...
b. Surat Al-Baqarah ayat 198
‫َلۡي َس َع َلۡي ُك ۡم ُجَناٌح َأن َتۡب َتُغ وْا َفۡض اٗل ِّم ن َّرِّبُك ۚۡم‬
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari
Tuhanmu.
c. Surat an-Nisa’ ayat 29

.. ‫ِإٓاَّل َأن َتُك وَن ِتَٰج َر ًة َعن َتَر اٖض ِّم نُك ۚۡم‬
...kecualidengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara
kamu..
d. Dalam hadis Nabi SAW dinyatakan:
“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jawawut
dengan jawawut, tamar dengan tamar, garam dengan garam dengan ukuran yang
sama dan dengan timbangan yang sama. Barang siapa melebihkan atau meminta
tambah berarti ia melakukan riba, jika berbeda jenis maka jualah sekehendakmu.”
(HR. Imam Bukhari)
Pernyataan “maka jualah sekehendakmu”, ini jelas mengisyaratkan bahwa
diperbolehkannya jual beli.4
2. Hukum Jual Beli
Dari kandungan ayat-ayat al-Qur’an dan sabda-sabda Rasul di atas, para ulama fiqh
mengatakan bahwa hukum asal dari jual beli yaitu mubah (boleh). Akan tetapi, pada
situasi-situasi tertentu, menurut Imam al-Syathibi, pakar fiqh Maliki, hukumnya boleh
berubah menjadi wajib. Imam al-Syathibi, memberi contoh ketika terjadi praktek
ihtikar(penimbunan barang sehingga stok hilang dari pasar dan harga melonjak naik).
Apabila seseorang melakukan ihtikar dan mengakibatkan melonjaknya harga barang
yang ditimbun dan disimpan itu, maka menurutnya, pihak pemerintah boleh memaksa
pedagang untuk menjual barangnya itu sesuai dengan ketentuan pemerintah. Demikian
pula, pada kondisi-kondisi lainnya.
a. Mubah (boleh), merupakan asal hukum jual beli.

4
Masjupri, Buku Daras Fiqih 1 Muamalah, Surakarta: FSEI Publising IAIN Surakarta, 2013, hlm. 106

3
b. Wajib, umpamanya wali menjual harta anak yatim apabila terpaksa.
c. Haram, sebagaimana pada jenis-jenis jual beli yang terlarang, tidak sesuai dengan
ketentuan syara’.
d. Sunnat, misalnya jual beli kepada sahabat atau keluargayang dikasihi dan kepada
orang yang sangat membutuhkan barang tersebut.5

C. Rukun dan Syarat Jual Beli


Rukun jual beli menurut ulama Hanafiyah hanya satu, yaitu ijab (ungkapan menjual dari
penjual) dan kabul (ungkapan membeli dari pembeli). Menurut mereka yang menjadi rukun
dalam jual beli itu hanyalah kerelaan (rida/taradhi) kedua belah pihak untuk melakukan
transaksijual beli. Akan tetapi, karena unsur kerelaan itu merupakan unsur hati yang sulit
untuk diindra sehingga tidak kelihatan, maka diperlukan indikasi yang menunjukkan
kerelaan itu dari kedua belah pihak yang melakukan transaksi jual beli menurut mereka
boleh tergambar dalam ijab dan kabul, atau melalui cara saling memberikan barang dan
harga barang (ta’athi).
Akan tetapi, jumhur ulama menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat, yaitu:
1. Ada orang yang berakad atau al-muta’aqidain (penjual dan pembeli).
2. Ada shighat (lafal ijab dan kabul).
3. Ada barang yang dibeli.
4. Ada nilai tukar pengganti barang.
Menurut ulama Hanafiyah, orang yang berakad, barang yang dibeli, dan nilai tukar
barang termasuk ke dalam syariat-syariat jual beli, bukan rukun jual beli.
Adapun syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang dikemukakan jumhur
ulama di atas sebagai berikut:
a. Syarat-syarat Orang yang Berakad.
Para ulama fiqh sepakat bahwa orang yang melakukan akad jual beli itu harus
memenuhi syarat:
1. Berakal, jumhur ulama berpendirian bahwa orang yang melakukan akad jual beli itu
harus telah baligh dan berakal. Apabila orang yang berakad itu masih mumayiz,
maka jual belinya tidak sah, sekalipun mendapat izin dari walinya. Oleh sebab itu,

5
Masjupri, Buku Daras Fiqih 1 Muamalah, Surakarta: FSEI Publising IAIN Surakarta, 2013, hlm. 108

4
jual beli yang dilakukan anak kecil yang belum berakal dan orang gila, hukumnya
tidak sah.
2. Yang melakukan akad adalah orang yang berbeda artinya seseorang yang tidak
dapat bertindak dalam waktu yang bersamaan sebagai penjual sekaligus sebagai
pembeli.
b. Syarat-syarat yang Terkait dengan Ijab Qabul.
Para ulama fiqh mengemukakan bahwa syarat ijab dan qabul itu adalah:
1. Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal
2. Qabul sesuai dengan ijab
3. Ijab dan qabul itu dilakukan dalam satu majelis
c. Syarat-syarat Barang yang Diperjualbelikan (Ma’qud ‘alaih).
Syarat-syarat yang terkait dengan barang yang diperjualbelikan sebagai berikut:
1. Barang itu ada atau tidak ada di tempat, tetapi pihak penjual menyatakan
kesanggupannya untuk mengadakan barang itu.
2. Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia, oleh sebab itu bangkai, khamar,
dan darah tidak sah menjadi objek jual beli, karena dalam pandangan syara’ benda-
benda seperti ini tidak bermanfaat bagi muslim.
3. Milik seseorang, barang yang sifatnya belum dimiliki seseorang tidak boleh
diperjualbelikan, seperti menjualbelikan ikan di laut atau emas dalam tanah, karena
ikan dan emas belum dimiliki penjual.
4. Boleh diserahkan saat akad berlangsung atau pada waktu yang disepakati bersama
ketika transaksi berlangsung.
d. Syarat-syarat Nilai Tukar (Harga Barang).
Para ulama fiqh mengemukakan syarat-syarat al-tsaman yaitu:
1. Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.
2. Boleh diserahkan pada waktu akad, sekalipun secara hukum seperti pembayaran
dengan cek dan kartu kredit, apabila harga barang itu dibayar kemudian (berutang)
maka waktu pembayarannya harus jelas.
3. Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan barang (al-
muqayadhah) maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang

5
diharamkan oleh syara’, seperti babi dan khamar, karena kedua jenis benda ini
tidak bernilai menurut syara’.6

D. Lafadz Ijab Qabul


Ijab Qabul merupakan salah satu rukun jual beli. Hal ini merupakan manifestasi
kerelaan yang terdapat dalam batin seseorang. Namun dapat dipahami, bahwasannya ijab
dan qabul adalah dua dimensi yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling terpaut antara
satu dengan yang lainnya, yaitu perizinan dan kerelaan merupakan substansi daris ebuah
akad yang dijalin, sedangkan ungkapan yang diungkapkan dengan ijab dan qabul adalah
sarana atau penanda adanya kerelaan tersebut.
Ijab yaitu perkataan dari penjual, seperti “Aku jual barang ini kepadamu dengan harga
sekian”. Qabul adalah ucapan dari pembeli, seperti “Aku beli barang ini darimu dengan
harga sekian”. Terdapat kesesuaian maksud meskipun berbeda lafadz. Apabila terpisah lama
antara ijab dan qabul, maka hal tersebut batal shighatnya.7
Mengucapkan akad merupakan salah satu cara lain yang dapat ditempuh dalam
mengadakan akad, tetapi ada juga dengan cara lain yang dapat menggambarkan kehendak
untuk berakad para ulama menerangkan beberapa cara yang ditempuh dalam akad, yaitu :
1. Melalui tulisan, contohnya ketika dua orang yang terjadi transaksi jual beli berjauhan,
maka ijab qabul dengan cara tulisan.
2. Melalui ucapan, dengan cara mengucapkan keinginan membeli dari pembeli dan
keinginan menjual dari penjual.
3. Melalui isyarat, bagi yang tidak dapat melakukan akad jual beli dengan ucapan ataupun
tulisan, maka ia diperbolehkan menggunakan isyarat. Contohnya akad jualb eli bagi
orang yang bisu, bias menggunakan ini.
4. Melalui ta’athi (saling memberi), misalnya seseorang melakukan pemberian terhadap
orang lain, dan orang yang diberi tersebut memberikan imbalan kepada orang yang
memberinya tanpa disebutkan besar imbalannya.8

6
Abdul Rahman Ghazaly. dkk, Fiqh Muamalat, Jakarta: Kencana, 2010, hlm. 70-79
7
Siswadi, JualBelidalamPerspektif Islam.JurnalUmmuQura. Vol III, N0. 2, Agustus 2013.hlm 63.
8
Shobirin, JualBelidalamPandangan Islam.JurnalBisnis. Vol. 3, No. 2, Desember 2015.hlm 247.

6
E. Khiyar dalam Jual Beli
1. Definisi Khiyar
Khiyar secara bahasa adalah kata nama dari ikhtiyar yang berarti mencari yang baik
dari dua urusan baik meneruskan akad atau membatalkan. Sedangkan menurut istilah
kalangan ulama fiqh yaitu mencari yang baik dari dua urusan baik berupa meneruskan
akad atau membatalkannya. Sebagian ulama terkini mereka mendefinisikan khiyar
secara syar’i sebagai “Hak orang yang berakad dalam membatalkan akad atau
meneruskannya karena ada sebab-sebab secara syar’i yang dapat membatalkannya
sesuai dengan kesepakatan ketika berakad.”
2. Dalil Pensyariatkan Khiyar
Adapun dalil al-Qur’an sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Baqarah ayat
275:

... ‫َو َأَح َّل ٱلَّلُهٱۡل َبۡي َع َو َح َّر َم ٱلِّر َبٰو‬


Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...
Lafal jual beli dalam ayat ini meliputi akad jual beli dengan begitu ia mubah
(boleh) untuk semua termasuk di dalamnya ada khiyar.9
3. Macam-macam Khiyar
Khiyar terdiri dari beberapa macam diantaranya:
a. Khiyar Majlis, yaitu hak pilih dari kedua belah pihak yang berakad untuk
membatalkan akad, selama keduanya masih berada dalam majelis akad (di ruangan
toko) dan belum berpisah badan. Artinya transaksi baru dianggap sah apabila kedua
belah pihak yang melaksanakan akad telah berpisah badan, atau salah seorang
diantara mereka telah melakukan pilihan untuk menjual dan atau membeli. Khiyar
seperti ini hanya berlaku dalam transaksi yang bersifat mengikat kedua belah pihak
yang melaksanakan transaksi, seperti jual beli dan sewa-menyewa.
b. Khiyar ‘aib, yaitu hak untuk membatalkan atau melangsungkan jual beli bagi kedua
belah pihak yang berakad apabila terdapat suatu cacat pada objek yang
diperjualbelikan, dan cacat itu tidak diketahui pemiliknya ketika akad berlangsung.
Misalnya seseorang membeli telur ayam 1 kg, kemudian satu butir diantaranya

9
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat Sistem Transaksidalam Fiqh Islam, Jakarta: Amzah, 2010, hlm.
99

7
telah busuk, atau ketika telur dipecahkan telah menjadi anak ayam. Hal ini
sebelumnya tidak diketahui baik oleh penjual maupun pembeli. Dalam kasus seperti
itu, menurut para pakar fiqh, ditetapkan hak khiyar bagi pembeli.
c. Khiyar Ru’yah, yaitu khiyar (hak pilih) bagi pembeli untuk menyatakan berlaku
atau batal jual beli yang ia lakukan terhadap suatu objek yang belum ia lihat ketika
akad berlangsung. Akad seperti ini terjadi disebabkan objek yang akan dibeli itu
tidak di tempat berlangsungnya akad atau karena sulit dilihat seperti ikan kaleng.
d. Khiyar Syarat, yaitu hak pilih yang dijadikan syarat oleh keduanya (pembeli dan
penjual), atau salah seorang dari keduanya sewaktu terjadi akad untuk meneruskan
atau membatalkan akadnya itu, agar dipertimbangkan setelah sekian hari. Lama
syarat yang diminta paling lama tiga hari.
e. Khiyar Ta’yin, yaitu hak pilih bagi pembeli untuk menentukan barang yang berbeda
kualitas dalam jual beli. Contoh,pembelian keramik ada yang berkualitas super dan
sedang. Akan tetapi pembeli tidak mengetahui secara pasti mana keramik yang
super dan berkualitas sedang, untuk menentukan pilihan ia memerlukan pakar
keramik. Khiyar seperti ini, menurut ulama hanafiyah boleh.10

F. Bentuk-Bentuk Jual Beli yangDilarang


1. Jual Beli yang dilarang dalam islam, tetapi sah hukumnya.
Ada jual beli yang dilarang dalam syariat islam dan jual beli tersebut termasuk
kategori jual beli yang sah, yaitu :
a. Talaqqi rabbani. Praktik jual beli dengan cara menghadang seseorang yang akan
menjual barang dagangannya kepasar dan membelinya ditengah-tengah perjalanan.
Rasullah saw melarang jual beli ini dengan tujuan untuk mencegah kenaikan harga.
b. Jual beli dengan Najasyi. Seseorang menambah atau melebihi harga dagangan
temannya agar orang lain membeli barang dagangan temannya.
c. Menawar barang yang sedang ditawar orang lain. Contohnya seseorang berkata,
tolaklah harga tawarannya nanti akanku bayar dengan harga yang lebih mahal.
Rasullah saw bersabda, tidak diperbolehkannya menawar barang yang sedang
ditawar saudaranya. ( H.RBukhori dan Muslim).

10
Abdul Rahman Ghazaly. dkk, Fiqh Muamalat, Jakarta: Kencana, 2010, hlm. 99-104

8
d. Menjual diatas penjualan orang lain. Misalnya seseorang berkata, kembalikan saja
barang dagangannya, nanti akan ku berikanmu harga dagangan yang lebih murah.
Rasulullah saw bersabda, tidak boleh seseorang menjual atas penjualan orang lain.
(H.R Bukhori dan Muslim).
2. Jual Beli terlarang dan batalhukumnya
Ada juga jual beli terlarang dan batal hukumnya, antara lain:
a. Barang yang dihukumi najis oleh syara’. Seperti khamr, daging babi, maupun
anjing, bangkai, dll.
b. Jual beli sperma binatang. Penjual membawa hewan pejantan kepada hewan betina
untuk dikawinkan. Anak hewan tersebut menjadi milik pembeli. Rasullah saw
melarang perbuatan seperti ini.
c. Jual beli mulaqih, menjual janin yang masih dalam kandungan.
d. Jualbelimuhaqallah, baqallahberartitanah, sawah, dan kebun. Artinya menjual
tanaman yang masih berada di ladang.
e. Jual beli mukhadarah, menjual buah-buahan yang masih belum pantas untuk dijual.
Contohny amenjual rambutan yang masih hijau.
f. Jual beli muamassah, jual beli yang dilakukan dengan cara sentuh menyentuh
barang yang diperjual belikan. Misalnya ada seseorang menyentuh kain, maka ia
harus membeli kain yang telah ia sentuht ersebut.11

11
Masjupri, Buku Daras Fiqih 1 Muamalah, Surakarta: FSEI Publising IAIN Surakarta, 2013, hlm. 111-112.

Anda mungkin juga menyukai