PENGERTIAN
1. Menurut bahasa
Jual beli ( )ال بيعsecara bahasa merupakan masdar dari kata بعتdiucapkan -ي بيع
ب اءbermakna memiliki dan membeli. Kata aslinya keluar dari kata الب اعkarena masing-
masing dari dua orang yang melakukan akad meneruskannya untukmengambil dan
memberikan sesuatu. Orang yang melakukan penjualan dan pembelian disebut البيعا ن.
Jual beli diartikan juga “pertukaran sesuatu dengan sesuatu”. Kata lain dari al-
bai’ adalah asy-syira’, al-mubadah dan at-tijarah.
2. Menurut syara’
Pengertian jual beli ( )البيعsecara syara’ adalah tukar menukar harta dengan harta untuk
memiliki dan memberi kepemilikan (Mughnii 3/560).
Sebagian ulama lain memberi pengertian :
a. Menurut ulama Hanafiyah : “Pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara
khusus (yang dibolehkan)”. (Alauddin al-Kasani, Bada’i ash-Shana’I fi Tartib asy-
Syara’i, juz 5, hal. 133)
b. Menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ : “Pertukaran harta dengan harta untuk
kepemilikan”. (Muhammad asy-Syarbini, Mugni al-Muhtaj, juz 2, hal. 2)
c. Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni : “ Pertukaran harta dengan harta untuk
saling menjadikan milik”. (Ibnu Qudamah, al-Mughni, juz 3, hal. 559)
d. Tukar menukar harta meskipun ada dalam tanggungan atau kemanfaatan yang mubah
dengan sesuatu yang semisal dengan keduanya, untuk memberikan secara tetap (Raudh
al-Nadii Syarah Kafi al-Muhtadi, 203).
e. Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak
milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling ridha. (Idris Ahmad, Fiqh al-
Syafi’iyah)
f. Saling tukar harta, saling menerima, dapat dikelola (tasharruf) dengan ijab dan qabul
dengan cara yang sesuai dengan syara. (Taqiyuddin, Kifayat al-Akhyar, hal. 329)
g. Penukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling merelakan dan memindahkan
hak milik dengan ada penggantinya dengan cara yang dibolehkan. (Fiqh al-Sunnah, hal.
126)
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa jual beli ialah suatu perjanjian tukar
menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara ridha di antara kedua belah
pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan
perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati.
Inti dari beberapa pengertian tersebut mempunyai kesamaan dan mengandunghal-hal
antara lain :
- Jual beli dilakukan oleh 2 orang (2 sisi) yang saling melakukan tukar menukar
- Tukar menukar tersebut atas suatu barang atau sesuatu yang dihukumi seperti barang,
yakni kemanfaatan dari kedua belah pihak.
- Sesuatu yang tidak berupa barang/harta atau yang dihukumi sepertinya tidak sah untuk
diperjualbelikan.
- Tukar menukar tersebut hukumnya tetap berlaku, yakni kedua belah pihak
memiliki sesuatu yang diserahkan kepadanya dengan adanya ketetapan jual beli dengan
kepemilikan abadi.
DASAR HUKUM
1. Al-Quran
Artinya: “ dan orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah”.
( QS.Al Muzamil ayat 20 ).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa sebagai mahluk yang hidup di dunia, maka senantiasa
mencari rizki (karunia Allah) dengan bermuamalah, salah satunya dengan jual beli
Murabahah.
Artinya: “apabila telah ditenunaikan sembayang, maka bertebaranlah kamu di mukaa bumi
dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”.
( QS.Al Jumu’ah ayat 10).
Ayat ini menjelaskan tentang keseimbangan antara kehidupan di dunia dan kehidupan di
akhirat. Maka untuk mencari rizki sebagai usaha untuk hidup di dunia yaitu melakukan
Muamalah terhadap sesama manusia. Termasuk di dalamnya jual beli Murabahah.
Artinya: “hai orang-orang yang beriman janganlah kalian memakan (mengambil) harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaaku dengan
sukarela diantaramu”.(QS. An Nisa’ ayat 29).13
Artinya: “ ....dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba
....”.(QS. Al Baqoroh ayat 275).14
2. As-Sunnah
Nabi Saw ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik. Beliau Saw menjawab,
“Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur”. (HR. Bazzaar,
dishahihkan oleh Hakim dari Rifa’ah ibn Rafi’)
Maksud mabrur dalam hadits di atas adalah jual beli yang terhindar dari usaha tipu
menipu dan merugikan orang lain.
Rasulullah Saw bersabda, “Jual beli harus dipastikan saling meridhai”. (HR Baihaqi dan
Ibnu Majah).
Rasulullah Saw bersabda, “Jual beli harus dengan suka sama suka (saling ridha) dan
khiyar adalah sesudah transaksi, dan tidak halal bagi seorang muslim menipu muslim
lainnya”. (HR Ibnu Jarir).
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ibnu Abbas ra, ia berkata,
“Pasar Ukadz, Mujnah dan Dzul Majaz adalah pasar-pasar yang sudah ada sejak zaman
jahiliyah. Ketika datang Islam, mereka membencinya lalu turunlah ayat : “Tidak ada dosa
bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu…”. (Q.S. Al-
Baqarah 2 : 198) dan Nabi Saw bersabda, “Penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar
selama mereka belum berpisah”. (Muttafaq ‘alaih)
Rasulullah Saw bersabda, “Pedagang yang jujur (terpercaya) bersama (di akhirat)
dengan para nabi, Shiddiqin dan syuhada”. (HR Tirmidzi)
3. Ijma
Para ulama telah sepakat bahwa hukum jual beli itu mubah (dibolehkan) dengan alasan
bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya tanpa bantuan orang lain.
Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu harus
diganti dengan barang lainnya yang sesuai.
Hukumnya berubah menjadi haram kalau meninggalkan kewajiban karena terlalu sibuk
sampai dia tidak menjalankan kewajiban ibadahnya.
Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untukmenunaikan shalat
Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dantinggalkanlah jual beli[1475].
Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan
shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah
Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. (Q.S. Al-Jumu’ah 62 : 9-10)
[1475]. Maksudnya: apabila imam telah naik mimbar dan muazzin telah azan di hari
Jum'at, maka kaum muslimin wajib bersegera memenuhi panggilan muazzin itu dan
meninggalkan semua pekerjaannya.
Hukumnya berubah menjadi haram apabila melakukan jual beli dengan tujuan
untuk membantu kemaksiatan atau melakukan perbuatan haram.
Allah Swt berfirman, “Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. (Q.S.
Al-Ma’idah 5 : 2)
Menurut Imam asy-Syatibi (ahli fiqih bermadzhab Maliki), hukumnya bisa berubah
menjadi wajib dalam kondisi tertentu seperti kalau terjadi ihtikar(penimbunan barang)
sehingga persediaan barang hilang dari pasar dan harga melonjak naik.
3. Ijab Qabul
a. Jangan ada yang memisahkan, janganlah pembeeli diam saja setelah penjual menyatakan
ijabnya begitu pula sebaliknya.
b. Jangan diselingi dengan kata-kata lain antara ijab dan qabul.
c. Beragama Islam, syarat ini khusus utuk pembeli saja dalam bendabenda tertentu seperti
seseorang dilarang menjual hambanya yang beraga islam kepa pembeli yang beragama tidak
islam, sebab besar kemungkinan pembeli tersebut akan merendahkan abid yang beragama
Islam, sedangkan Allah melarang orang mu’min memberi jalan kepada orang kafir untuk
merendahkan mu’minin
Adapun syarat utama dalam bisnis dengan sistem Murabahah adalah si pembeli barang yang
dalam hal ini BMT/ BMT harus memberikan informasi yang sebenarnya kepada pembeli
tentang harga pembelian dan keuntungan bersihnya (profit margin) dari pada cost
plusnya itu.
Ditinjau dari hukum dan sifat jual beli, jumhur ulama membagi jual beli menjadi 2 macam :
1. Jual beli yang sah (shahih)
Jual beli yang shahih adalah jual beli yang memenuhi ketentuan syara’, baik rukun maupun
syaratnya.
2. Jual beli yang tidak sah
Jual beli yang tidak sah adalah jual beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukun
sehingga jual beli menjadi rusak (fasid) atau batal. Dengan kata lain menurut jumhur
ulama, rusak dan batal memiliki arti yang sama.
Adapun menurut ulama Hanafiyah membagi hukum dan sifat jual beli menjadi 3 yaitu :
1. Jual beli shahih
Adalah jual beli yang memenuhi ketentuan syariat. Hukumnya, sesuatu yang
diperjualbelikan menjadi milik yang melakukan akad.
2. Jual beli batal
Adalah jual beli yang tidak memenuhi salah satu rukun atau yang tidak sesuai dengan
syariat, yakni orang yang akad bukan ahlinya, seperti jual beli yang dilakukan oleh orang
gila atau anak kecil.
3. Jual beli fasid (rusak)
Adalah jual beli yang sesuai dengan ketentuan syariat pada asalnya tetapi tidak sesuai
dengan syariat pada sifatnya, seperti jual beli yang dilakukan oleh orang yang mumayyiz
tetapi bodoh sehingga menimbulkan pertentangan.
Adapun dalam masalah ibadah, ulama Hanafiyah sepakat dengan jumhur ulama bahwa
batal dan fasad adalah sama.
Berkenaan dengan jual beli yang dilarang dalam Islam, Wahbah al-Zuhaily meringkasnya
sbb :
1. Terlarang Sebab Ahliah (Ahli Akad)
Ulama telah sepakat bahwa jual beli dikategorikan shahih apabila dilakukan oleh orang
yang baligh, berakal, dapat memilih dan mampu ber-tasharruf secara bebas dan baik.
Mereka yang dipandang tidak sah jual belinya adalah sbb :
a. Jual beli orang gila
Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli orang yang gila tidak sah. Begitu pula sejenisnya,
seperti orang mabuk dll.
b. Jual beli anak kecil
Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli anak kecil (belum mumayyiz) dipandang tidak sah
kecuali dalam perkara-perkara ringan dan sepele. Menurut ulama Syafi’iyah, jual beli
anak mumayyiz yang belum baligh tidak sah sebab tidak ada ahliah.
Adapun menurut ulama Malikiyah, Hanafiyah dan hanabilah, jual beli anak kecil
dipandang sah jika diizinkan walinya. Mereka antara lain beralasan salah satu cara
untuk melatih kedewasaan adalah dengan memberikan keleluasaan untuk jual beli, juga
pengamalan atas firman Allah Swt.
Allah Swt berfirman, “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk
kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara
harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya”. (Q.S. An Nisaa' 4 : 6)
c. Jual beli orang buta
Jual beli orang buta dikategorikan shahih menurut jumhur jika barang yang dibelinya
diberi sifat (diterangkan sifat-sifatnya).
Adapun menurut ulama Syafi’iyah, jual beli orang buta itu tidak sah sebab ia tidak dapat
membedakan barang yang jelek dan yang baik.
d. Jual beli terpaksa
Menurut ulama Hanafiyah, hukum jual beli orang terpaksa seperti jual beli fudhul (jual
beli tanpa seizin pemiliknya) yakni ditangguhkan (mauquf).
Oleh karena itu keabsahannya ditangguhkan sampai rela (hilang rasa terpaksa). Menurut
ulama Malikiyah, tidak lazim baginya ada khiyar.
Adapun menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, jual beli tersebut tidak sah sebab
tidak ada keridaan ketika akad.
e. Jual beli fudhul
Jual beli fudhul adalah jual beli milik orang tanpa seizin pemiliknya. Menurut ulama
Hanafiyah dan Malikiyah, jual beli ditangguhkan sampai ada izin pemiliknya.
Adapun menurut ulama Hanabilah dan Syafi’iyah, jual beli fudhul tidak sah.
f. Jual beli orang yang terhalang
Maksud terhalang di sini adalah terhalang karena kebodohan, bangkrut ataupun sakit.
Jual beli orang yang bodoh yang suka menghamburkan hartanya, menurut pendapat
ulama Malikiyah, Hanafiyah dan pendapat paling shahih di kalangan Hanabilah, harus
ditangguhkan.
Adapun menurut ulama Syafi’iyah, jual beli tersebut tidak sah sebab tidak ada ahli
dan ucapannya dipandang tidak dapat dipegang.
Begitu pula ditangguhkan jual beli orang yang sedang bangkrut berdasarkan
ketetapan hukum, menurut ulama Malikiyah dan Hanafiyah. Sedangkan menurut ulama
Syafi’iyah dan Hanabilah, jual beli tersebut tidak sah.
Menurut jumhur selain Malikiyah, jual beli orang sakit parah yang sudah mendekati
mati hanya dibolehkan sepertiga dari hartanya (tirkah), dan bila ingin lebih dari
sepertiga, jual beli tersebut ditangguhkan kepada izin ahli warisnya.
Menurut Ulama Malikiyah, sepertiga dari hartanya hanya dibolehkan pada harta yang
tidak bergerak seperti rumah, tanah dll.
g. Jual beli malja’
Jual beli malja’ adalah jual beli orang yang sedang dalam bahaya, yakni untuk
menghindar dari perbuatan zalim. Jual beli tersebut fasid, menurut ulama Hanafiyah dan
batal menurut ulama Hanabilah.
JENIS-JENIS MURABAHAH
Murabahah pada prinsipnya adalah jual beli dengan keuntungan, hal ini bersifat dan berlaku
umum pada jual beli barang-barang yang memenuhi syarat jual beli murabahah. Dalam
prakteknya pembiayaan murabahah yang diterapkan Bank Bukopin Syariah terbagi kepada 3
jenis, sesuai dengan peruntukannya, yaitu:
a) Murabahah Modal Kerja (MMK), yang diperuntukkan untuk pembelian barang-barang
yang akan digunakan sebagai modal kerja. Modal kerja adalah jenis pembiayaan yang diperlukan
oleh perusahaan untuk operasi sehari-hari. Penerapan murabahah untuk modal kerja
membutuhkan kehati-hatian, terutama bila obyek yang akan diperjualbelikan terdiri dari banyak
jenis, sehingga dikhawatirkan akan mengalami kesulitan terutama dalam menentukan harga
pokok masing-masing barang.
b) Murabahah Investasi (MI), adalah pembiayaan jangka menengah atau panjang yang
tujuannya untuk pembelian barang modal yang diperlukan untuk rehabilitasi, perluasan, atau
pembuatan proyek baru.
c) Murabahah Konsumsi (MK), adalah pembiayaan perorangan untuk tujuan nonbisnis,
termasuk pembiayaan pemilikan rumah, mobil. Pembiayaan konsumsi biasanya digunakan untuk
membiayai pembelian barang konsumsi dan barang tahan lama lainnya. Jaminan yang digunakan
biasanya berujud obyek yang dibiayai, tanah dan bangunan tempat tinggal.