Anda di halaman 1dari 4

Nama : Muhammad Thomas Wildan

NIM : 18410576

BAB V
RIBA DAN PERMASALAHANNYA

A. Pengertian dan Dasar Hukum Riba


Riba adalah pengambilan-tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam
meminjam secara batil/bertentangan dengan prinsip syara’.

B. Riba dalam Al-Qur’an


1) Surah Ar-Rum, Q.S. 30: 39
Dalam ayat ini tidak secara tegas Allah SWT mengharamkan riba, hanya sebatas
perbandingan antara riba dan zakat, yang mana riba hanya bersifat kamuflase
sedangkan zakat bersifat hakiki.
2) Surah An-Nisa, Q.S. 4: 160-161
Ayat ini menggambarkan kebiasaan orang-orang Yahudi yang senang memakan
riba dan kebiasaan memakan harta dengan cara yang bathil. Padahal Allah telah
mengharamkan yang demikian itu bagi mereka.
3) Surah Ali Imran, Q.S. 3: 130
Dalam ayat ini Allah melarang umat Islam memakan riba secara berlipat ganda.
Ayat ini lebih pada penekanan dan bersifat sistematis dibandingkan ayat yang
sebelumnya, yakni "memakan riba secara berlipat ganda." Maka muncullah
pertanyaan, "Bagaimana jika sedikit?"
4) Surah Al Baqarah, Q.S. 2: 275-276 dan 278-280
Ayat ini menegaskan lebih tegas lagi tentang pengharaman riba dan ancaman
Allah bagi mereka yang memakan riba dan solusi yang baik bagi mereka.
Beberapa kandungan pokok dalam ayat di atas adalah:
a) Orang yang memakan riba sama seperti orang yang kesetanan sehingga tidak
dapat membedakan hal yang baik dan buruk. Karena mereka telah
menyamakan jual beli dan riba, padahal Allah menegaskan bahwa riba itu
haram, sedangkan jual beli itu halal. (Q.S. 2: 275).
b) Allah berkehendak memusnahkan riba karena berbagai dampak buruk yang
ditimbulkannya, kemudian diganti dengan sodakoh yang bermanfaat dan
memberdayakan umat. (Q.S. 2: 276).
c) Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk bertakwa kepada-Nya
dan meninggalkan sisa riba yang belum dipungut. Dalam hal ini, orang yang
pernah meminjamkan uang kepada orang lain, hanya berhak mengambil pokok
bagian hartanya (yang dipinjamkannya). Apabila melaksanakannya, maka
tidak akan ada yang dianiaya maupun menganiaya. Apabila perintah itu tidak
dilaksanakan, maka Allah akan memeranginya. (Q.S. 2: 278-279).
d) Al-Qur’an mengajarkan agar orang yang meminjamkan uangnya kepada
orang lain mau memberikan tenggang waktu pelunasan ketika si peminjam
mengalami kesulitan mengembalikan pinjaman pada waktu yang dijanjikan.
Apabila peminjam benar-benar tidak mau mengembalikan, maka
menyedekahkan sebagian atau seluruh pinjaman merupakan sebuah kebaikan
di sisi Allah. Pengembalian pinjaman hanya sebesar pokok pinjaman yang
diberikan sehingga terhindar dari tindakan menganiaya maupun dianiaya.
(Q.S. 2: 280).

C. Riba dalam Hadis


1) Dari Abdullah r.a., Rasulullah saw. bersabda:
Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Abdullah bin Mas’ud, dari
ayahnya, ia berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang
yang makan riba, orang yang memberi makan riba, saksinya dan penulisnya.”
(HR. Abu Dawud).
2) Dari Jabir r.a., ia berkata:
“Rasullulah saw. melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikan,
menuliskan dan dua orang yang menyaksikan.” Ia berkata: “Mereka berstatus
hukum sama.”
3) Dari Abu Hurairah, ra:
Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan”. Para sahabat bertanya:
“Wahai Rasulullah, apakah itu?” Beliau bersabda: “Syirik kepada Allah, sihir,
membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan haq, memakan riba,
makan harta anak yatim, kabur dari medan peperangan dan menuduh seorang
wanita mu’min yang suci berbuat zina”. (Bukhari, Bab Ramyul Muhsanat, No.
6351).

D. Macam-Macam Riba
1) Riba Dain (Riba dalam Hutang Piutang)
Riba ini ada dua bentuk, yakni penambahan tempo (bayar hutangnya atau tambah
nominalnya dengan mundurnya tempo) dan bentuk lainnya yakni pinjaman
dengan bunga yang dipersyaratkan di awal akad.
2) Riba Fadhl
a) Tidak ada riba yang lebih keras keharamannya dan diancam dengan hukuman
keras kecuali riba nasi’ah. Sehingga yang ditiadakan adalah kesempurnaan,
bukan wujud asal riba.
b) Bila jenisnya berbeda, maka diperbolehkan tafadhul (selisih timbangan) dan
diharamkan adanya nasi’ah. Ini adalah jawaban Al-Imam Asy-Syafi’i,
disebutkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dari gurunya, Sulaiman bin Harb.
Jawaban ini pula yang dirajihkan oleh Al-Imam Ath-Thabari, Al-Imam Al-
Baihaqi, Ibnu Abdil Barr, Ibnu Qudamah, dan sejumlah ulama besar
lainnya. Jawaban inilah yang mengompromikan antara hadits yang dzahirnya
bertentangan.
3) Riba Nasi'ah (Tempo)
Riba nasi'ah yaitu adanya tempo pada perkara yang diwajibkan secara syar'i
adanya taqabudh (serah terima di tempat).

E. Perbedaan Riba dan Jual Beli


Di dalam Islam riba dalam bentuk apapun diharamkan, sedang jual beli dihalalkan
mengapa demikian? Karena pada jual beli “barang” yang diterima penjual dan
pembeli senilai, sedangkan pada riba tidak. Misalnya antara seorang penjual bakso
dengan pembelinya. Penjual bakso membeli bahan-bahan untuk membuat bakso
katakanlah seharga 200, lalu ia menjualnya kepada pembeli seharga 300. Ini tidak
dikatakan riba walaupun ada tambahan yang disyaratkan. Karena harga bahan bakso
+ pengolahan = harga jual bakso. Sedang pada riba jelas uang yang dipinjamkan akan
dikembalikan melebihi dari yang dipinjamkan. Selain itu pada jual beli, penjual
memiliki risiko kerugian jika barang yang ia bayarkan tidak laku. Tidak dengan bunga
di mana rugi atau untung jumlah uang yang dibayarkan akan tetap sama.

BAB VI
JUAL BELI DAN PERMASALAHANNYA

A. Pengertian Jual Beli


Jual beli ialah pertukaran harta dari penjual kepada pembeli sesuai dengan harga yang
disepakati. Pada masa Rasullullah SAW, harga barang itu dibayar dengan mata uang
yang terbuat dari emas (dinar) dan mata uang yang terbuat dari perak (dirham).

B. Dasar Hukum
1) Alqur’an
“....Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...” (Q.S.
Al-Baqarah (2): 275).
2) Hadis
Dari Rifa’ah bin Rafi’ r.a. sesungguhnya Nabi s.a.w. pernah ditanya seorang
sahabat mengenai usaha atau pekerjaan, apakah yang paling baik? Rasul saw.
menjawab: “Usaha seorang dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang
baik”. (HR. al-Bazzar dan al-Hakim).
3) Ijma’
Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia
tidak akan mampu mencukupi kebutuhannya tanpa bantuan orang lain. Namun
bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkan tersebut harus diganti
dengan barang lainnya yang sesuai.

C. Rukun dan Syarat Jual Beli


1) Orang yang melaksanakan akad jual beli (penjual dan pembeli)
Syarat-syarat yang harus dimiliki oleh penjual dan pembeli ialah baligh, berakal,
dan berhak menggunakan hartanya.
2) Sighat atau Ungkapan Ijab dan Qabul
Syarat ijab qabul adalah orang yang melakukan ijab qabul telah aqil baligh,
kemudian qabul harus sesuai dengan ijab, serta ijab dan qabul dilakukan dalam
satu majelis.
3) Barang dan Nilai Tukar
Barang yang diperjualbelikan harus memenuhi syarat-syarat yang diharuskan,
antara lain:
a) Barang yang diperjualbelikan itu halal;
b) Barang itu ada manfaatnya;
c) Barang itu ada di tempat, atau tidak ada tapi ada di tempat lain;
d) Barang itu merupakan milik si penjual atau di bawah kekuasaannya; dan
e) Barang itu hendaklah diketahui oleh pihak penjual dan pembeli dengan jelas,
baik zatnya, bentuk dan kadarnya, maupun sifat-sifatnya.
Adapun syaratsyarat bagi nilai tukar barang yang dijual itu adalah:
a. Harga jual yang disepakati penjual dan pembeli harus jelas jumlahnya;
b. Nilai tukar barang itu dapat diserahkan pada waktu transaksi jual beli,
walaupun secara hukum, misalnya pembayaran menggunakan kartu kredit;
c. Apabila jual beli dilakukan secara barter atau Al-muqayyadah (nilai tukar
barang yang dijual bukan berupa uang tetapi berupa uang).

D. Bentuk-Bentuk Jual Beli


1) Jual beli ditinjau dari pertukaran antara lain:
a. Jual beli salam (pesanan)
b. Jual beli muqayyadah (barter)
c. Jual beli muthlaq (kesepakatan alat tukar)
d. Jual beli alat tukar dengan alat tukar adalah jual beli barang yang biasa dipakai
sebagai alat tukar dengan alat tukar lainnya seperti dinar dengan dirham.
2) Jual beli berdasarkan tinjauan hukum antara lain:
a. Jual beli sah (halal)
b. Jual beli fasid (rusak)
c. Jual beli batal (haram)
3) Ditinjau dari benda (objek), jual beli dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
a. Bendanya kelihatan. Yaitu jual beli di mana pada waktu melakukan akad jual
beli, barang yang diperjualbelikan ada di depan penjual dan pembeli. Contoh:
membeli beras di toko atau pasar.
b. Sifatsifat bendanya disebutkan dalam janji. Jual beli ini biasanya disebut
dengan jual beli salam (pesanan).
c. Bendanya tidak ada. Jual beli benda yang tidak ada serta tidak dapat dilihat
ialah jual beli yang dilarang dalam Islam karena bisa menimbulkan kerugian
salah satu pihak.
4) Adapun ditinjau dari sisi harga, jual beli dapat dibagi menjadi:
a. Jual beli yang menguntungkan (al-murabahah)
b. Jual beli yang tidak menguntungkan, yaitu menjual dengan harga aslinya (at-
tauliyah).
c. Jual beli rugi (muwadha’ah), yaitu jual beli di mana penjual melakukan
penjualan dengan harga yang lebih rendah daripada harga pasar atau dengan
potongan (discount).
d. Jual beli al-musawah, yaitu penjual menyembunyikan harga aslinya tetapi
kedua orang yang akad saling meridhai.
5) Sedangkan dari sisi pembayaran, jual beli dapat diklasifikasikan menjadi:
a. Al-Murabahah (Jual beli dengan pembayaran di muka baik tunai maupun
cicilan)
b. Bai’ as-Salam (Jual beli dengan pembayaran tangguh)
c. Bai’ al-Istishna (Jual beli berdasarkan pesanan)

Anda mungkin juga menyukai