Anda di halaman 1dari 27

MATERI-MATERI PAI SEMESTER 2

I. Prinsip Dan Praktik Ekonomi Dalam Islam


II. Makna Iman Kepada Rasul-Rasul Allah SWT
III. Masa Kejayaan Islam
IV. Bahaya Tindak Kekeraan Pada Islam
V. Toleransi Dan Kerukunan

Di Susun Oleh
Nama : Prenggi Sejati
Kelas : XI TKJ 4
BAB I.
A. Prinsip Dan Praktik Ekonomi Dalam Islam

A. Pengertian Mu’āmalah

Mu’āmalah dalam kamus Bahasa Indonesia artinya hal-hal yang termasuk


urusan kemasyarakatan (pergaulan, perdata, dsb). Sementara dalam fiqh Islam
berarti tukarmenukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara
yang ditempuhnya, seperti jual-beli, sewamenyewa, upah-mengupah,
pinjammeminjam, urusan bercocok tanam, berserikat, dan usaha lainnya.

Dalam melakukan transaksi ekonomi, seperti jual-beli, sewa-menyewa, utang-


piutang, dan pinjam-meminjam, Islam melarang beberapa hal di antaranya
seperti berikut:
1. Tidak boleh mempergunakan cara-cara yang batil.
2. Tidak boleh melakukan kegiatan riba.
3. Tidak boleh dengan cara-cara ẓālim (aniaya).
4. Tidak boleh mempermainkan takaran, timbangan, kualitas, dan kehalalan.
5. Tidak boleh dengan cara-cara spekulasi/berjudi.
6. Tidak boleh melakukan transaksi jual-beli barang haram.

B. Macam-Macam Mu’āmalah

1. Jual-Beli

Jual-beli menurut syariat agama ialah kesepakatan tukar-menukar benda untuk


memiliki benda tersebut selamanya. Melakukan jual-beli dibenarkan, sesuai
dengan firman Allah Swt. berikut ini:

Artinya: “...Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba....”
(Q.S. al-Baqarah: 275).
Apabila jual-beli itu menyangkut suatu barang yang sangat besar nilainya, dan
agar tidak terjadi kekurangan di belakang hari, al-Qur’ãn menyarankan agar
dicatat, dan ada saksi.
a. Syarat-Syarat Jual-Beli

Syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam Islam tentang jual-beli adalah


sebagai berikut.
1) Penjual dan pembelinya haruslah:
a) Ballig.
b) Berakal sehat.
c) Atas kehendak sendiri.
2) Uang dan barangnya haruslah:
a) Halal dan suci. Haram menjual arak dan bangkai, begitu juga babi dan
berhala, termasuk lemak bangkai tersebut.
b) Bermanfaat. Membeli barang-barang yang tidak bermanfaat sama dengan
menyia-nyiakan harta atau pemboros.
c) Keadaan barang dapat diserahterimakan. Tidak sah menjual barang yang
tidak dapat diserahterimakan. Contohnya, menjual ikan dalam laut atau barang
yang sedang dijadikan jaminan sebab semua itu mengandung tipu daya.
d) Keadaan barang diketahui oleh penjual dan pembeli.
e) Milik sendiri.

3) Ijab Qobul

Seperti pernyataan penjual, “Saya jual barang ini dengan harga sekian.”Pembeli
menjawab, “Baiklah saya beli.” Dengan demikian, berarti jual-beli itu
berlangsung suka sama suka. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya jual-beli
itu hanya sah jika suka sama suka.” (HR. Ibnu Hibban)
b. Khiyār

1) Pengertian Khiyār

Khiyār adalah bebas memutuskan antara meneruskan jual-beli atau


membatalkannya. Islam memperbolehkan melakukan khiyār karena jual-beli
haruslah berdasarkan suka sama suka, tanpa ada unsur paksaan sedikit pun.
Penjual berhak mempertahankan harga barang dagangannya, sebaliknya
pembeli berhak menawar atas dasar kualitas barang yang diyakininya.
Rasulullah saw. bersabda, “Penjual dan pembeli tetap dalam khiyar selama
keduanya belum berpisah. Apabila keduanya berlaku benar dan suka
menerangkan keadaan (barang)nya, maka jual-belinya akan memberkahi
keduanya. Apabila keduanya menyembunyikan keadaan sesungguhnya serta
berlaku dusta, maka dihapus keberkahan jual-belinya.” (HR. Bukhari dan
Muslim)

2) Macam-Macam Khiyār

a) Khiyār Majelis, adalah selama penjual dan pembeli masih berada di


tempat berlangsungnya transaksi/tawar-menawar, keduanya berhak
memutuskan meneruskan atau membatalkan jual-beli. Rasulullah saw.
bersabda, “Dua orang yang berjual-beli, boleh memilih akan meneruskan atau
tidak selama keduanya belum berpisah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
b) Khiyār Syarat, adalah khiyar yang dijadikan syarat dalam jual-beli.
Misalnya penjual mengatakan, “Saya jual barang ini dengan harga sekian
dengan syarat khiyar tiga hari.” Maksudnya penjual memberi batas waktu
kepada pembeli untuk memutuskan jadi tidaknya pembelian tersebut dalam
waktu tiga hari. Apabila pembeli mengiyakan, status barang tersebut sementara
waktu (dalam masa khiyār) tidak ada pemiliknya. Artinya, si penjual tidak
berhak menawarkan kepada orang lain lagi. Namun, jika akhirnya pembeli
memutuskan tidak jadi, barang tersebut menjadi hak penjual kembali.
Rasulullah saw. bersabda kepada seorang lelaki, “Engkau boleh khiyār pada
segala barang yang engkau beli selama tiga hari tiga malam.” (HR. Baihaqi dan
Ibnu Majah).
c) Khiyār Aibi (cacat), adalah pembeli boleh mengembalikan barang yang
dibelinya jika terdapat cacat yang dapat mengurangi kualitas atau nilai barang
tersebut, namun hendaknya dilakukan sesegera mungkin.

C. Ribā

1) Pengertian Ribā

Ribā adalah bunga uang atau nilai lebih atas penukaran barang. Hal ini sering
terjadi dalam pertukaran bahan makanan, perak, emas, dan pinjam-meminjam.
Ribā, apa pun bentuknya, dalam syariat Islam hukumnya haram. Sanksi
hukumnya juga sangat berat. Diterangkan dalam hadis yang diriwayatkan
bahwa, "Rasulullah mengutuk orang yang mengambil ribā, orang yang
mewakilkan,orang yang mencatat, dan orang yang menyaksikannya.” (HR.
Muslim). Dengan demikian, semua orang yang terlibat dalam riba sekalipun
hanya sebagai saksi, terkena dosanya juga.

Guna menghindari riba, apabila mengadakan jual-beli barang sejenis seperti


emas dengan emas atau perak dengan perak ditetapkan syarat:
a) sama timbangan ukurannya.
b) dilakukan serah terima saat itu juga.
c) secara tunai.

Namun tetap harus secara tunai dan diserahterimakan saat itu juga. Kecuali
barang yang berlainan jenis dengan perbedaan seperti perak dan beras, dapat
berlaku ketentuan jual-beli sebagaimana barang-barang yang lain.

2) Macam-Macam Ribā

a) Ribā Faḍli, adalah pertukaran barang sejenis yang tidak sama


timbangannya. Misalnya, cincin emas 22 karat seberat 10 gram ditukar dengan
emas 22 karat namun seberat 11 gram. Kelebihannya itulah yang termasuk riba.
b) Ribā Qorḍi, adalah pinjammeminjam dengan syarat harus memberi
kelebihan saat mengembalikannya. Misal si A bersedia meminjami si B uang
sebesar Rp100.000,00 asal si B bersedia mengembalikannya sebesar
Rp115.000,00. Bunga pinjaman itulah yang disebut riba.
c) Ribā Yādi, adalah akad jual-beli barang sejenis dan sama timbangannya,
namun penjual dan pembeli berpisah sebelum melakukan serah terima. Seperti
penjualan kacang, ketela yang masih di dalam tanah.
d) Ribā Nasi’ah, adalah akad jual-beli dengan penyerahan barang beberapa
waktu kemudian. Misalnya, membeli buah-buahan yang masih kecil-kecil di
pohonnya, kemudian diserahkan setelah besar-besar atau setelah layak dipetik.
Atau, membeli padi di musim kemarau, tetapi diserahkan setelah panen.

2. Utang-piutang

a. Pengertian Utang-piutang

Utang-piutang adalah menyerahkan harta dan benda kepada seseorang dengan


catatan akan dikembalikan pada waktu kemudian. Tentu saja dengan tidak
mengubah keadaannya. Misalnya utang Rp100.000,00 di kemudian hari harus
melunasinya Rp100.000,00. Memberi utang kepada seseorang berarti
menolongnya dan sangat dianjurkan oleh agama.

b. Rukun Utang-piutang

Rukun utang-piutang ada tiga, yaitu:


1) yang berpiutang dan yang berutang
2) ada harta atau barang
3) Lafadz kesepakatan. Misal: “Saya utangkan ini kepadamu.” Yang
berutang menjawab, “Ya, saya utang dulu, beberapa hari lagi (sebutkan dengan
jelas) atau jika sudah punya akan saya lunasi.”
Untuk menghindari keributan di belakang hari, Allah Swt. menyarankan agar
kita mencatat dengan baik utang-piutang yang kita lakukan.
Jika orang yang berutang tidak dapat melunasi tepat pada waktunya karena
kesulitan, Allah Swt. menganjurkan memberinya kelonggaran. “Dan jika (orang
berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia
memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu,
jika kamu mengetahui..” (Q.S. al-Baqarah: 280).
Apabila orang membayar utangnya dengan memberikan kelebihan atas
kemauannya sendiri tanpa perjanjian sebelumnya, kelebihan tersebut halal bagi
yang berpiutang, dan merupakan suatu kebaikan bagi yang berutang.
Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya sebaik-baik kamu, ialah yang sebaik-
baiknya ketika membayar utang.” (sepakat ahli hadis). Abu Hurairah ra.
berkata, ”Rasulullah saw. telah berutang hewan, kemudian beliau bayar dengan
hewan yang lebih besar dari hewan yang beliau utang itu, dan Rasulullah saw.
Bersabda ,”Orang yang paling baik di antara kamu ialah orang yang dapat
membayar utangnya dengan yang lebih baik.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
Bila orang yang berpiutang meminta tambahan pengembalian dari orang yang
melunasi utang dan telah disepakati bersama sebelumnya, hukumnya tidak
boleh. Tambahan pelunasan tersebut tidak halal sebab termasuk riba.
Rasulullah saw. berkata “Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat maka ia
semacam dari beberapa macam ribā.” (HR. Baihaqi).

3. Sewa-menyewa

a. Pengertian Sewa-menyewa

Sewa-menyewa dalam fiqh Islam disebut ijārah, artinya imbalan yang harus
diterima oleh seseorang atas jasa yang diberikannya. Jasa di sini berupa
penyediaan tenaga dan pikiran, tempat tinggal, atau hewan.
Dasar hukum ijārah dalam firman Allah Swt.:

Artinya: “...dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak
ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang
patut...” (Q.S. al-Baqarah: 233).

Artinya: “...kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu maka


berikanlah imbalannya kepada mereka...”(Q.S. aṭ-Ṭalāq: 6)

b. Syarat dan Rukun Sewa-menyewa

1) Yang menyewakan dan yang menyewa haruslah telah ballig dan berakal
sehat.
2) Sewa-menyewa dilangsungkan atas kemauan masing-masing, bukan
karena dipaksa.
3) Barang tersebut menjadi hak sepenuhnya orang yang menyewakan, atau
walinya.
4) Ditentukan barangnya serta keadaan dan sifat-sifatnya.
5) Manfaat yang akan diambil dari barang tersebut harus diketahui secara
jelas oleh kedua belah pihak. Misalnya, ada orang akan menyewa sebuah rumah.
Si penyewa harus menerangkan secara jelas kepada pihak yang menyewakan,
apakah rumah tersebut mau ditempati atau dijadikan gudang. Dengan
demikian, si pemilik rumah akan mempertimbangkan boleh atau tidak disewa.
Sebab risiko kerusakan rumah antara dipakai sebagai tempat tinggal berbeda
dengan risiko dipakai sebagai gudang. Demikian pula jika barang yang
disewakan itu mobil, harus dijelaskan dipergunakan untuk apa saja.
6) Berapa lama memanfaatkan barang tersebut harus disebutkan dengan
jelas.
7) Harga sewa dan cara pembayarannya juga harus ditentukan dengan jelas
serta disepakati bersama.

Dalam hal sewa-menyewa atau kontrak tenaga kerja, haruslah diketahui secara
jelas dan disepakati bersama sebelumnya hal-hal berikut.
1) Jenis pekerjaan dan jam kerjanya.
2) Berapa lama masa kerja.
3) Berapa gaji dan bagaimana sistem pembayarannya: harian, bulanan,
mingguan ataukah borongan?
4) Tunjangan-tunjangan seperti transpor, kesehatan, dan lain-lain, kalau ada.

C. Syirkah

Secara bahasa, kata syirkah (perseroan) berarti mencampurkan dua bagian atau
lebih sehingga tidak dapat lagi dibedakan antara bagian yang satu dengan
bagian yang lainnya. Menurut istilah, syirkah adalah suatu akad yang dilakukan
oleh dua pihak atau lebih yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan
tujuan memperoleh keuntungan.

a. Rukun dan Syarat Syirkah

Adapun rukun syirkah secara garis besar ada tiga, yaitu seperti berikut:
1) Dua belah pihak yang berakad (‘aqidani). Syarat orang yang melakukan
akad adalah harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan taṡarruf
(pengelolaan harta).
2) Objek akad yang disebut juga ma’qud ‘alaihi mencakup pekerjaan atau
modal. Adapun syarat pekerjaan atau benda yang dikelola dalam syirkah harus
halal dan diperbolehkan dalam agama dan pengelolaannya dapat diwakilkan.
3) Akad atau yang disebut juga dengan istilah ṡigat. Adapun syarat sah akad
harus berupa taṡarruf, yaitu adanya aktivitas pengelolaan.

b. Macam-Macam Syirkah

Syirkah dibagi menjadi beberapa macam, yaitu syirkah `inān, syirkah ‘abdān,
syirkah wujūh, dan syirkah mufāwaḍah.

1) Syirkah ‘Inān
Syirkah ‘inān adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing- masing
memberi kontribusi kerja (amal) dan modal (mal). Syirkah ini hukumnya boleh
berdasarkan dalil sunah dan ijma’ sahabat.
Contoh syirkah ‘inān: A dan B sarjana teknik komputer. A dan B sepakat
menjalankan bisnis perakitan komputer dengan membuka pusat service dan
penjualan komponen komputer. Masing-masing memberikan kontribusi modal
sebesar Rp10 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.
Dalam syirkah jenis ini, modalnya disyaratkan harus berupa uang. Sementara
barang seperti rumah atau mobil yang menjadi fasilitas tidak boleh dijadikan
modal, kecuali jika barang tersebut dihitung nilainya pada saat akad.
Keuntungan didasarkan pada kesepakatan dan kerugian ditanggung oleh
masing-masing syārik (mitra usaha) berdasarkan porsi modal. Jika masing-
masing modalnya 50%, masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%.

2) Syirkah ‘Abdān
Syirkah ‘abdān adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing
hanya memberikan kontribusi kerja (amal), tanpa kontribusi modal
(amal). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti penulis
naskah) ataupun kerja fisik (seperti tukang batu). Syirkah ini juga disebut
syirkah ‘amal.
Contohnya: A dan B samasama nelayan dan bersepakat melaut bersama untuk
mencari ikan. Mereka juga sepakat apabila memperoleh ikan akan dijual dan
hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B
sebesar 40%. Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau
keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdān terdiri
atas beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa
pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal dan tidak boleh berupa
pekerjaan haram, misalnya berburu anjing. Keuntungan yang diperoleh dibagi
berdasarkan kesepakatan, porsinya boleh sama atau tidak sama di antara syarik
(mitra usaha).
3) Syirkah Wujūh
Syirkah wujūh adalah kerja sama karena didasarkan pada kedudukan,
ketokohan, atau keahlian (wujuh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah
wujūh adalah syirkah antara dua pihak yang sama-sama memberikan kontribusi
kerja (amal) dengan pihak ketiga yang memberikan konstribusi modal (mal).
Contohnya: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B
bersyirkah wujuh dengan cara membeli barang dari seorang pedagang secara
kredit. A dan B bersepakat bahwa masing-masing memiliki 50% dari barang
yang dibeli. Lalu, keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi
dua. Sementara harga pokoknya dikembalikan kepada pedagang. Syirkah wujūh
ini hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdān

4) Syirkah Mufāwaḍah
Syirkah mufāwaḍah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang
menggabungkan semua jenis syirkah di atas. Syirkah mufāwaḍah dalam
pengertian ini boleh dipraktikkan. Sebab setiap jenis syirkah yang sah berarti
boleh digabungkan menjadi satu. Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai
dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis
syirkahnya, yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal jika berupa
syirkah ‘inān, atau ditanggung pemodal saja jika berupa mufāwaḍah, atau
ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang
dimiliki jika berupa syirkah wujūh.
Contohnya: A adalah pemodal, berkontribusi modal kepada B dan C.
Kemudian, B dan C juga sepakat untuk berkontribusi modal untuk membeli
barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C. Dalam
hal ini, pada awalnya yang terjadi adalah syirkah ‘abdān, yaitu ketika B dan C
sepakat masing-masing bersyirkah dengan memberikan kontribusi kerja saja.
Namun, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka
bertiga terwujud muḍārabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C
sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan
kontribusi modal, di samping kontribusi kerja, berarti terwujud syirkah ‘inān di
antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar
kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujūh
antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah
menggabungkan semua jenis syirkah dan disebut syirkah mufāwaḍah.

5) Muḍārabah
Muḍārabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak, di mana pihak
pertama menyediakan semua modal (ṡāhibul māl), pihak lainnya menjadi
pengelola atau pengusaha (muḍarrib). Keuntungan usaha secara muḍārabah
dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, namun apabila
mengalami kerugian, ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut
bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena
kecurangan atau kelalaian si pengelola, pengelola harus bertanggung jawab atas
kerugian tersebut.
Kontrak bagi hasil disepakati di depan sehingga bila terjadi keuntungan,
pembagiannya akan mengikuti kontrak bagi hasil tersebut. Misalkan, kontrak
bagi hasilnya adalah 60:40, di mana pengelola mendapatkan 60% dari
keuntungan, pemilik modal mendapat 40% dari keuntungan.
Muḍārabah sendiri dibagi menjadi dua, yaitu muḍārabah muṭlaqah dan
muḍārabah muqayyadah. Muḍārabah muṭlaqah merupakan bentuk kerja sama
antara pemilik modal dan pengelola yang cakupannya sangat luas dan tidak
dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Muḍārabah
muqayyadah adalah kebalikan dari muḍārabah muṭlaqah, yakni usaha yang
akan dijalankan dengan dibatasi oleh jenis usaha, waktu, atau tempat usaha.

6) Musāqah, Muzāra’ah, dan Mukhābarah

a) Musāqah

Musāqah adalah kerja sama antara pemilik kebun dan petani di mana sang
pemilik kebun menyerahkan kepada petani agar dipelihara dan hasil panennya
nanti akan dibagi dua menurut persentase yang ditentukan pada waktu akad.
Konsep musāqah merupakan konsep kerja sama yang saling menguntungkan
antara kedua belah pihak (simbiosis mutualisme). Tidak jarang para pemilik
lahan tidak memiliki waktu luang untuk merawat perkebunannya, sementara di
pihak lain ada petani yang memiliki banyak waktu luang namun tidak memiliki
lahan yang bisa digarap. Dengan adanya sistem kerja sama musāqah, setiap
pihak akan sama-sama mendapatkan manfaat.

b) Muzāra’ah dan Mukhābarah

Muzāra’ah adalah kerja sama dalam bidang pertanian antara pemilik lahan dan
petani penggarap di mana benih tanamannya berasal dari petani. Sementara
mukhābarah ialah kerja sama dalam bidang pertanian antara pemilik lahan dan
petani penggarap di mana benih tanamannya berasal dari pemilik lahan.
Muzāra’ah memang sering kali diidentikkan dengan mukhābarah. Namun
demikian, keduanya sebenarnya memiliki sedikit perbedaan. Apabila
muzāra’ah, benihnya berasal dari petani penggarap, sedangkan mukhābarah
benihnya berasal dari pemilik lahan.
Muzāra’ah dan mukhābarah merupakan bentuk kerja sama pengolahan
pertanian antara pemilik lahan dan penggarap yang sudah dikenal sejak masa
Rasulullah saw. Dalam hal ini, pemilik lahan memberikan lahan pertanian
kepada penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan pembagian persentase
tertentu dari hasil panen. Di Indonesia, khususnya di kawasan pedesaan, kedua
model penggarapan tanah itu sama-sama dipraktikkan oleh masyarakat petani.
Landasan syariahnya terdapat dalam hadis dan ijma’ ulama.

D. Perbankan

1. Pengertian Perbankan
Bank adalah sebuah lembaga keuangan yang bergerak dalam menghimpun dana
masyarakat dan disalurkannya kembali dengan menggunakan sistem bunga.
Dengan demikian, hakikat dan tujuan bank ialah untuk membantu masyarakat
yang memerlukan, baik dalam menyimpan maupun meminjamkan, baik berupa
uang atau barang berharga lainnya dengan imbalan bunga yang harus
dibayarkan oleh masyarakat pengguna jasa bank.

Bank dilihat dari segi penerapan bunganya, dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu seperti berikut:
a. Bank Konvensional
Bank konvensional ialah bank yang fungsi utamanya menghimpun dana untuk
disalurkan kepada yang memerlukan, baik perorangan maupun badan usaha,
guna mengembangkan usahanya dengan menggunakan sistem bunga.

b. Bank Islam atau Bank Syari’ah


Bank Islam atau bank syari’ah ialah bank yang menjalankan operasinya
menurut syariat Islam. Istilah bunga yang ada pada bank konvensional tidak
ada dalam bank Islam. Bank syariah menggunakan beberapa cara yang bersih
dari riba, misalnya seperti berikut:

1) Muḍārabah, yaitu kerja sama antara pemilik modal dan pelaku usaha
dengan perjanjian bagi hasil dan sama-sama menanggung kerugian dengan
persentase sesuai perjanjian. Dalam sistem muḍārabah, pihak bank sama sekali
tidak mengintervensi manajemen perusahaan.

2) Musyārakah, yakni kerja sama antara pihak bank dan pengusaha di mana
masing-masing sama-sama memiliki saham. Oleh karena itu, kedua belah pihak
mengelola usahanya secara bersama-sama dan menanggung untung ruginya
secara bersama-sama pula.
3) Wadi’ah, yakni jasa penitipan uang, barang, deposito, maupun surat
berharga. Amanah dari pihak nasabah berupa uang atau barang titipan yang
telah disebutkan di atas dipelihara dengan baik oleh pihak bank. Pihak bank
juga memiliki hak untuk menggunakan dana yang dititipkan dan menjamin bisa
mengembalikan dana tersebut sewaktuwaktu pemiliknya memerlukan.

4) Qarḍul hasān, yakni pembiayaan lunak yang diberikan kepada nasabah


yang baik dalam keadaan darurat. Nasabah hanya diwajibkan mengembalikan
simpanan pokok pada saat jatuh tempo. Biasanya layanan ini hanya diberikan
untuk nasabah yang memiliki deposito di bank tersebut sehingga menjadi wujud
penghargaan bank kepada nasabahnya.

5) Murābahah, yaitu suatu istilah dalam fiqh Islam yang menggambarkan


suatu jenis penjualan di mana penjual sepakat dengan pembeli untuk
menyediakan suatu produk, dengan ditambah jumlah keuntungan tertentu di
atas biaya produksi. Di sini, penjual mengungkapkan biaya sesungguhnya yang
dikeluarkan dan berapa keuntungan yang hendak diambilnya. Pembayaran
dapat dilakukan saat penyerahan barang atau ditetapkan pada tanggal tertentu
yang disepakati. Dalam hal ini, bank membelikan atau menyediakan barang
yang diperlukan pengusaha untuk dijual lagi dan bank meminta tambahan
harga atas harga pembeliannya. Namun demikian, pihak bank harus secara
jujur menginformasikan harga pembelian yang sebenarnya.

E. Asuransi Syari’ah

1. Prinsip-Prinsip Asuransi Syari’ah

Asuransi berasal dari bahasa Belanda, assurantie yang artinya pertanggungan.


Dalam bahasa Arab dikenal dengan at-Ta’m³n yang berarti pertanggungan,
perlindungan, keamanan, ketenangan atau bebas dari perasaan takut. Si
penanggung (assuradeur) disebut mu’ammin dan tertanggung (geasrurrerde)
disebut musta’min.
Dalam Islam, asuransi merupakan bagian dari muāmalah. Kaitan dengan dasar
hukum asuransi menurut fiqh Islam adalah boleh (jaiz) dengan suatu ketentuan
produk asuransi tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Pada
umumnya, para ulama berpendapat asuransi yang berdasarkan syari’ah
dibolehkan dan asuransi konvensional haram hukumnya.
Asuransi dalam ajaran Islam merupakan salah satu upaya seorang muslim yang
didasarkan nilai tauhid. Setiap manusia menyadari bahwa sesungguhnya setiap
jiwa tidak memiliki daya apa pun ketika menerima musibah dari Allah Swt.,
baik berupa kematian, kecelakaan, bencana alam maupun takdir buruk yang
lain. Untuk menghadapi berbagai musibah tersebut, ada beberapa cara untuk
menghadapinya. Pertama, menanggungnya sendiri. Kedua, mengalihkan risiko
ke pihak lain. Ketiga, mengelolanya bersama-sama.
Dalam ajaran Islam, musibah bukanlah permasalahan individual, melainkan
masalah kelompok walaupun musibah ini hanya menimpa individu tertentu.
Apalagi jika musibah itu mengenai masyarakat luas seperti gempa bumi atau
banjir. Berdasarkan ajaran inilah, tujuan asuransi sangat sesuai dengan
semangat ajaran tersebut.
Allah Swt. menegaskan hal ini dalam beberapa ayat, di antaranya berikut ini:

Artinya: “...dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan


takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran...”
(Q.S. al-Māidah: 2).

Banyak pula hadis Rasulullah saw. yang memerintahkan umat Islam untuk
saling melindungi saudaranya dalam menghadapi kesusahan. Berdasarkan ayat
al-Qur’ān dan riwayat hadis, dapat dipahami bahwa musibah ataupun risiko
kerugian akibat musibah wajib ditanggung bersama. Bukan setiap individu
menanggungnya sendiri-sendiri dan tidak pula dialihkan ke pihak lain. Prinsip
menanggung musibah secara bersama-sama inilah yang sesungguhnya esensi
dari asuransi syari’ah.

2. Perbedaan Asuransi Syari’ah dan Asuransi Konvensional

Tentu saja prinsip tersebut berbeda dengan yang berlaku di sistem asuransi
konvensional, yang menggunakan prinsip transfer risiko. Seseorang membayar
sejumlah premi untuk mengalihkan risiko yang tidak mampu dia pikul kepada
perusahaan asuransi. Dengan kata lain, telah terjadi ‘jual-beli’ atas risiko
kerugian yang belum pasti terjadi. Di sinilah cacat perjanjian asuransi
konvensional. Sebab akad dalam Islam mensyaratkan adanya sesuatu yang
bersifat pasti, apakah itu berbentuk barang ataupun jasa.
Perbedaan yang lain, pada asuransi konvensional dikenal dana hangus, di mana
peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi ketika ingin mengundurkan
diri sebelum masa jatuh tempo. Dalam konsep asuransi syari’ah, mekanismenya
tidak mengenal dana hangus. Peserta yang baru masuk sekalipun, lantas karena
satu dan lain hal ingin mengundurkan diri, dana atau premi yang sebelumnya
sudah dibayarkan dapat diambil kembali, kecuali sebagian kecil saja yang sudah
diniatkan untuk dana tabarru’ (sumbangan) yang tidak dapat diambil.
Setidaknya, ada manfaat yang bisa diambil kaum muslimin dengan terlibat dalam
asuransi syari’ah, di antaranya bisa menjadi alternatif perlindungan yang sesuai
dengan hukum Islam. Produk ini juga bisa menjadi pilihan bagi pemeluk agama
lain yang memandang konsep syariah lebih adil bagi mereka karena syariah
merupakan sebuah prinsip yang bersifat universal.

BAB II.
B. Makna Iman Kepada Rasul-Rasul Allah
Iman kepada Rasul-Rasul Allah Swt Merupakan rukun iman yang ke empat yaitu
mengimani bahwa ada di antara laki-laki dari kalangan umat manusia yang dipilih oleh
Allah Swt. sebagai perantara antara diri-Nya dengan para makhluk-Nya. Akan tetapi
mereka semua tetap seperti manusia biasa yang sama sekali tidak mempunyai sifat-sifat
dan hak-hak ketuhanan, karena itu, menyembah para nabi dan rasul dilarang dan
merupakan kebatilan yang nyata. Wajib mengimani bahwa semua wahyu Allah yang
diturunkan kepada nabi dan rasul itu adalah benar dan bersumber dari Allah Ta’ala.
Juga wajib mengakui bahwa setiap nabi dan rasul yang kita ketahui namanya dan yang
tidak kita ketahui namanya.

Dalam rumah mengapa kita harus mengimani Alquran dan Rasul, kita dapat mengambil
hakikat untuk apa alquran diturunkan ke dunia dan mengapa harus melalui manusia
yang jelas–jelas sama seperti kita, tidak melalui makhluk lain, misalnya malaikat atau
jin yang baik. Kitab – kitab Allah yang turun berangsur–angsur yang merupakan risalah
dari Allah swt. melalui rasulnya pastilah akan mencapai yang sempurna (yang
sesempurnanya) yaitu alquran al karim, lalu untuk apa alquran itu diturunkan ke bumi
kalau hanya untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah dan kemudian
untuk apa pula diimani. Memang benar, kalau hanya untuk mengetahui mana yang
benar dan mana yang salah buat apa alquran di turunkan ke dunia ini, sedangkan
memakai hati nurani pun kita sudah cukup untuk mengetahui mana yang buruk dan
mana yang salah. Sedangkan menurut saya beriman kepada kitab suci adalah kasih
sayang Allah kepada kita (makhluk Allah yang paling sempurna) agar tidak tersesat dan
memiliki pedoman dalam hidupnya. Tetapi apakah manusia dapat menjamin bahwa
hidup mereka akan baik dan benar ataupun sukses apabila hanya di bimbing oleh akal
dan hati nurani dan apakah manusia dapat menjamin bahwa hidupnya tidak akan
pernah lupa dan lengah?. Itulah sebabnya kitab suci berulang–ulang mengatakan bahwa
kitab suci befungsi sebagai li dzikri (pengingat). Karena manusia tidak akan luput dari
yang namanya lupa dan lengah. Namun argumen ini menyimpan titik lemah kalau hanya
sebatas pengingat, setelah manusia lupa melakukan kesalahan mereka pasti akan di
tegur oleh nalar dan nuraninya untuk tidak melakukan hal yang seperti itu lagi. Jadi
buat apa kitab suci kalau hanya sebatas pengingat saja bagi mereka.

Untuk menyampaikan risalah dan syariat–syariat yang termuat dalam kitab–kitab suci
dan sekaligus sebagai suri tauladan, Allah pun memilih seorang rasul di antara para
makhluk-Nya untuk disampaikan kepada manusia yang ada di bumi. Disini timbul
pertanyaan yang membuat telinga kita gerah juga yaitu mengapa rasul juga harus kita
imani sedangkan ia hanyalah sebagai penyambung dari risalah Allah kepada manusia
yang lainnya, lagi pula nabi juga hanyalah manusia biasa seperti hal nya kita dari segi
rupa, jiwa dan akal. Untuk menjawab pertanyaan tersebut bisa di analogikan seperti ini.
Setelah manusia menerima adanya Allah yang maha esa mereka membutuhkan
informasi yang pasti untuk bisa berhubungan dengannya. Karena kasih sayangnya lah
Alalh menurunkan kitab suci. Tak hanya sampai disini, kasih sayang Allah pun berlanjut
dengan memilih manusia tertentu untuk menyampaikan risalah-Nya sekaligus untuk
menterjemahkan semua risalah-Nya tersebut di dunia. Seandainya para nabi tidak sama
dengan kita (manusia biasa seperti kita) tidak mungkin kita dapat mencontoh cara
berhubungan dengan Allah Swt. secara benar dan tidak mungkin pula kita dapat
mengambil teladan darinya. Andai saja para rasul hanya menyampaikan risalah Allah
sedangkan mereka tidak menerapkan dalam kehidupan sehari hari ”kita bisa teriak dan
tidak mempercayainya”. Karena sesungguh nya segala tindak tanduk dari para rasul
adalah cerminan dari kitab suci tersebut khususnya nabi besar Muhammad Saw, semua
aktifitas dan kehidupan sosial yang beliau terapkan di dalam masyarakat adalah Al-
Quran itu sendiri. Kata–kata beliau menyatu dengan perbuatannya.

Sebagaimana kita ketahui para sahabat menerima kerasulan Nabi Muhammad Saw.
secara mutlak, ini bukan karena mereka bodoh menerima begitu saja kerasulan Nabi
Muhammad, justru mereka sangat lah cerdas. Pertama mereka beriman karena apa
yang dibawa oleh muhammad yakni Al Quran, adalah sesuatu yang agung. Para sahabat
sadar benar bahwa Ali Quran tak mungkin ciptaan muhammad dengan segala
keindahan makna dan pelafassannya, kerena muhammad tidak bisa membaca dan
menulis. ”Nabi Muhammad telah di pilih Allah swt” demikian keyakinan para sahabat
kalau boleh dibahaskan. Justru orang–orang bodohlah yang tidak mengakui kerasulan
muhammad. Selain itu, para sahabat beriman karena keluhuran budi pekerti Nabi
Muhammad saw. Sebelumnya Muhammad dijuluki oleh para sahabatnya sebagai orang
yang dapat di percaya atau jujur (al amin) dan mereka tidak menyangsikan kejujuran
dan kesalehan Nabi Muhammad.

Jadi beriman kepada kitab suci Alquran dan Rasul Allah adalah mutlak adanya,
walaupun merupakan satu kesatuan yang tidak bisa di pisahkan. Kita mengimani kitab
suci lebih karena kasih sayang Allah kepada kita agar kita tak tersesat dalam dunia ini
yang akan membimbing kita kepada kenikmatan-Nya dan juga agar kita bisa senantiasa
bisa berhubungan dengan Allah secara benar sesuai syariat–sayariat-Nya yang
merupakan kepasrahan kita kepada-Nya, yang menciptakan segala sesuatu yang ada di
alam semesta ini. Dan kita mengimani Rasul rasul Allah khususnya nadi besar kita
Muhammad tidaklah bukan karena beliau merupakan perantara risalah Allah untuk
disampaikan ke pada dunia dengan segala kesantunan budi pekerti nya dan
kesalehannya kepada manusia dan keimanan nya kepada Allah, karena kita butuh
contoh dan tauladan untuk menjalankan segala perintah dan larangan yang ada dalam
alquran. Dengan kita mencontoh segala perkataan dan perbuatan nabi secara tidak
langsung kita mengimani nya. Singkatnya beriman kepada kitab suci berada dalam
tataran teoritis atau kejiwaan maka beriman kepada para rasul sampai pada tataran
praktis.

Tugas Para Rasul

1. Menyampaikan ajaran agama kepada manusia dan mengajak nya untuk


beribadah kepada Allah.
2. Menjelaskan semua permasalahan agama yang diturunkan oleh Allah.
3. Membimbing manusia kepada kebaikan dan menjauh dari kejahatan.
4. Membawa kabar gembira (surga) dan peringatan (neraka)
5. Memperbaiki kondisi umat manusia
6. Memberikan teladan yang baik (perkataan dan perbuatan)
7. Menegakkan syari’at Allah dan mempraktekan nya di tengah-tengah umat
manusia
8. Memperbaiki kesaksian atas umat mereka pada hari kiawat, bahwa rasul telah
menyampaikan misi yang diterima dengan jelas.

Hikmah diutusnya para Rasul

1. Mengeluarkan manusia dari kebiasaan menyembah Tuhan selain Allah.


2. Sebagai suri tauladan yang baik untuk manusia
3. Untuk menegakkan hujjah atas manusia dengan mengutus para rasul, sehingga
tidak ada alasan bagi mereka untuk membantah Allah.
4. Menjelaskan kepada manusia mengenai masalah ghaib yang tidak bisa dicapai
oleh akal. (seperti nama-nama dan sifat Allah, berita tentang hari kiamat, dan
lainnya).
5. Memperbaiki, membersihkan, mensucikan jiwa manusia, memperingatkan dari
hal yang bisa merusak nya.

Fungsi Iman Kepada Rasul Allah SWT


1. Menambah keimanan kepada Allah dengan mengetahui bahwa rasul benar-
benar manusia pilihan Allah.
2. Mempercayai tugas yang dibawa oleh Rasul untuk disampaikan kepada
umatnya.
3. Lebih menghormati dan mencintai rasul karena perjuangan nya.
4. Memperoleh suri teladan yang baik untuk pedoman hidup.
5. Ingin mengamalkan apa yang disampaikan oleh Rasul Allah.

BAB III.

C. Masa Kejayaan Islam

Masa kejayaan Islam terjadi pada sekitar tahun 650‒1250. Periode ini disebut Periode
Klasik. Pada kurun waktu itu, terdapat dua kerajaan besar, yaitu Kerajaan Umayyah
atau sering disebut Daulah Umayyah dan Kerajaan Abbasiyah yang sering disebut
Daulah Abbasiyah. Pada masa Bani Umayyah, perkembangan Islam ditandai dengan
meluasnya wilayah kekuasaan Islam dan berdirinya bangunan-bangunan sebagai pusat
dakwah Islam. Kemajuan Islam pada masa ini meliputi: bidang politik, keagamaan,
ekonomi, ilmu bangunan (arsitektur), sosial, dan bidang militer.

Sementara perkembangan Islam pada masa Bani Abbasiyah ditandai dengan pesatnya
perkembangan ilmu pengetahuan. Kemajuan Islam pada masa ini meliputi bidang ilmu
pengetahuan, ekonomi, ilmu bangunan (arsitektur), sosial, dan bidang militer. Tentu saja
kemajuan umat Islam baik pada masa Bani Umayyah maupun Bani Abbasiyah terjadi
tidak secara tiba-tiba. Akan tetapi, ada penyebabnya, yaitu disebabkan oleh
faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor internal antara lain:

 Konsistensi dan istiqamah umat Islam kepada ajaran Islam,


 Ajaran Islam yang mendorong umatnya untuk maju,
 Islam sebagai rahmat seluruh alam,
 Islam sebagai agama dakwah sekaligus keseimbangan dalam
menggapaikehidupan duniawi dan ukhrawi.

Faktor eksternal antara lain seperti berikut.

1. Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dan bangsa-bangsa lain yang lebih
dahulu mengalami perkembangan dalam ilmu pengetahuan. Pengaruh Persia
pada saat itu sangat penting di bidang pemerintahan. Selain itu, mereka banyak
berjasa dalam perkembangan ilmu filsafat dan sastra. Adapun pengaruh Yunani
masuk melalui berbagai macam terjemah dalam banyak bidang ilmu, terutama
filsafat.
2. Gerakan Terjemah. Pada masa Periode Klasik, usaha penerjemahan kitab-kitab
asing dilakukan dengan giat sekali. Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam
perkembangan ilmu pengetahuan umum terutama di bidang astronomi,
kedokteran, filsafat, kimia, dan sejarah.

Selain faktor tersebut di atas, kejayaan Islam ini disebabkan pula oleh adanya gerakan
ilmiah atau etos keilmuan dari para ulama yang ada pada Periode Klasi tersebut, antara
lain seperti berikut.

1. Melaksanakan ajaran al-Qur’ān secara maksimal, di mana banyak ayat dalam al-
Qur’ān yang menyuruh agar kita menggunakan akal untuk berpikir.
2. Melaksnakan isi hadis, di mana banyak hadis yang menyuruh kita untuk terus-
menerus menuntut ilmu, meskipun harus ke negeri Cina. Bukan hanya ilmu
agama yang dicari, tetapi ilmu-ilmu lain yang berhubungan dengan kehidupan
manusia di dunia ini.
3. Mengembangkan ilmu agama dengan berijtihad, ilmu pengetahuan umum
dengan mempelajarai ilmu filsafat Yunani. Maka, pada saat itu banyak
bermunculan ulama fiqh, tauhid (kalam), tafsir, hadis, ulama bidang sains (ilmu
kedokteran, matematika, optik, kimia, fisika, geografi), dan lain-lain.
4. Ulama yang berdiri sendiri serta menolak untuk menjadi pegawai pemerintahan.
Dari gerakan-gerakan tersebut di atas, muncullah tokoh-tokoh Islam yang memiliki
semangat berijtihad dan mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan, antara lain:
1. Ilmu Filsafat

 Al-Kindi (809‒873 M),


 Al Farabi (wafat tahun 916 M),
 Ibnu Bajah (wafat tahun 523 H),
 Ibnu Thufail (wafat tahun 581 H),
 Ibnu Shina (980‒1037 M),
 Al-Ghazali (1085‒1101 M),
 Ibnu Rusd (1126‒1198 M).

2. Bidang Kedokteran

 Jabir bin Hayyan (wafat 778 M),


 Hurain bin Ishaq (810‒878 M),
 Thabib bin Qurra (836‒901 M),
 Ar-Razi atau Razes (809‒873 M).

3. Bidang Matematika

 Umar Al-Farukhan,
 Al-Khawarizmi.

4. Bidang Astronomi

 Al-Farazi: pencipta Astro lobe


 Al-Gattani/Al-Betagnius
 Abul Wafa: menemukan jalan ketiga dari bulan
 Al-Farghoni atau Al-Fragenius

5. Bidang Seni Ukir

 Badr dan Tariff (961‒976 M)

6. Ilmu Tafsir

 Ibnu Jarir ath Tabary,


 Ibnu Athiyah al-Andalusy (wafat 147 H),
 As Suda, Muqatil bin Sulaiman (wafat 150 H),
 Muhammad bin Ishak dan lain-lain.
7. Ilmu Hadis

 Imam Bukhori (194‒256 H),


 Imam Muslim (wafat 231 H),
 Ibnu Majah (wafat 273 H),
 Abu Daud (wafat 275 H),
 At-Tarmidzi, dan lain-lain.

BAB IV

D. Bahaya Tindak Kekerasan Pada Islam

Pengertian Kekerasan

Kekerasan merupakan tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemukulan,


pemerkosaan, dan lain-lain) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk
menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain, dan hingga batas tertentu
tindakan menyakiti binatang dapat dianggap sebagai kekerasan, tergantung pada
situasi dan nilai-nilai sosial yang terkait dengan kekejaman terhadap binatang.
Istilah “kekerasan” juga mengandung kecenderungan agresif untuk melakukan
perilaku yang merusak. Kerusakan harta benda biasanya dianggap masalah kecil
dibandingkan dengan kekerasan terhadap orang.

Kekerasan pada dasarnya tergolong ke dalam dua bentuk, yaitu:


· kekerasan sembarang, yang mencakup kekerasan dalam skala kecil atau yang
tidak terencanakan.
· kekerasan yang terkoordinir, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok baik
yang diberi hak maupun tidak. seperti yang terjadi dalam perang (yakni kekerasan
antar-masyarakat) dan terorisme.

Musyawarah merupakan salah satu unsur penting dalam berdemokrasi, sebab


dapat menampung banyak pendapat baru kemudian di pi;ih salah satu yang
terbaik bukan dengan jalan kekerasan, sebagai mana firman Allah swt. Dalam
surat asy syura ayat 38 berikut ini :

‫س ت َ َج اب ُوا ِل َر بِِّ ِه ْم َو أ َق َا ُم وا الصَّالة َ َو أ َ ْم ُر هُ ْم شُو َر ى بَ ْي ن َ ُه ْم َو ِم َّم ا َر َز قْ نَاهُ ْم يُنْ ِف ق ُو َن‬


ْ ‫َو الَّ ِذ ي َن ا‬

artinya:
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara
mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada
mereka.
Faktor Penyebab Tindak Kekerasan :

1. Ketidakmampuan mengendalikan amarah


2. Lingkungan
3. Konflik interpersonal
4. Kejiwaan seseorang
5. Penyalahgunaan narkoba

Macam Prilaku kekerasan

Para ahli sosial mengklasifikasikan bentuk dan jenis kekerasan di bagi menjadi dua
macam, di antaranya sebagai berikut :

1. Berdasarkan bentuknya

Kekerasan yang berasal dari bentuknya di golongkan menjadi :

a. Kekerasan fisik, yaitu kekerasan nyata yang dapat di lihat, di rasakan oleh
tubuh.wujud kekerasan fisik berupa penghilangan kesehatan atau kemampuan
normal tubuh, sampai pada penghilangan nyawa seseorang.
Contoh : penganiayaan, pemukulan, pembunuhan, dan sebagainya.

b. Kekerasan psikologis, yaitu kekerasan yang memiliki sasaran pada rohani atau
jiwa sehingga dapat mengurangi bahkan menghilangkan kemampuan normal jiwa.
Contoh : kebohongan, indoktrinasi, ancaman dan tekanan.

c. Kekerasan struktural, yaitu kekerasan yang di lakukan oleh individu atau


kelompok dengan menggunakan sistem, hukum, ekonomi, atau tata kebiasaan yang
ada di masyarakat. Oleh karena itu, kekerasan ini sulit untuk di kenali. Kekerasan
struktural yang terjadi menimbulkan ketimpangan-ketimpangan pada sumber
daya, pendidikan, pendapatan, kepandaian keadilan, serta wewenang untuk
mengambil keputusan. Situasi ini dapat memengaruhi fisik dan jiwa seseorang.
Misalnya : terjangkitnya penyakit kulit di suatu daerah akibat limbah pabrik di
sekitarnya.

2. Berdasarkan pelakunya
Kekerasan yang berdasarkan pelakunya dapat di golongkan menjadi dua bentuk
yaitu kekerasan individu dan kolektif.

a. Kekerasan individual adalah kekerasan yang di lakukan oleh individu kepasa


suatu atau lebih individu.
Contoh : pencurian, pemukulan, penganiayaan dan sebagainya.
b. Kekerasan kolektif adalah kekerasan yang dilakukan oleh banyak individu atau
masa.
Contoh : tawuran pelajar tawuran antar mahasiswa bentrokan antar desa

Cara Menghindari Perilaku Tindak Kekerasan

Pentingnya persatuan dan kerukunan untuk mencegah tindak kekerasan.


Persatuan dalam ajaran islam secara umum di sebut ikhwan yaitu persaudaraan,
yang secara umum ukhuawah islamiyah yaitu persaudaraan dalam islam (saudara
sesama umat islam) atau bisa juga kumpulan individu manusia yang bersatu atau
menjadi satu. Jelas bahwa persaudaraan menyebabkan orang dapat berbuat damai
dan dengan perdamaian maka persatuan dan kesatuan umat bisa dapat di
wujudkan. Tanpa persatuan orang akan mudah bertindak semena-mena terhadap
sesama bahkan terhadap yang seagama sekalipun.

Jika dikaitkan dengan keadaan sekarang, perilaku kekerasan semakin hari semakin
nampak, dan sungguh sangat mengganggu ketentraman hidup kita.
Di era yang maju ini sering di beritakan terjadinya tindak kekerasan di semua
lingkup masyarakat. Misal di sekolah, keluarga , masyarakat dan
sebagainya. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: "Berwasiatlah kepada
perempuan dengan baik. Karena perempuan diciptakan dari tulang rusuk yang paling
bengkok. Dan tulang yang paling bengkok adalah atasnya. Jika engkau dengan keras
meluruskannya, niscaya engkau akan mematahkannya. Tetapi kalau engkau biarkan
niscaya akan tetap bengkok (H.R. Bukhari dan Muslim).

Seakan-akan kekerasan merupakan cara yang di gunakan untuk menyelesaikan


permasalahan yang timbul. Jika hal ini dibiarkan, tidak ada upaya sistematik
untuk mencegahnya, tidak mustahil kita sebagai bangsa akan menderita rugi oleh
karena kekerasan tersebut. Kita akan menuai akibat buruk dari maraknya
perilaku kekerasan di masyarakat baik dilihat dari kacamata nasional maupun
internasional.
Penyebab Tindak kekerasan

Penyelesaian masalah dengan mengedepankan kekerasan dari pada musyawarah


semakin marak terjadi. Tawuran antar pelajar, antar mahasiswa, antar warga,
antar suku, kadang terjadi karena permasalahan yang sepele. Sangat di sesalkan
hal seperti itu tadi. seharusanya kita dapat berpikir jernih untik menyelesaikan
suatu permasalahan dan menerapkan prilaku sabar dalam kehidupan, di samping
itu juga kita harus menerapkan prilaku adil, toleransi, tidak mudah marah dan
yang paling utama adalah peningkatan iman kepada Allah SWT.

Menunjukkan perilaku dan sikap toleran, rukun dan menghindarkan diri dari tindak
kekerasan sebagai implementasi dari pemahaman Q.S. Yunus (10) : 40-41 dan Q.S. Al-
Maidah (5) : 32

Bahaya Dari Tindak Perilaku Kekerasan

Di tindak kekerasan yang di timbulkan bisa dari seseorang dan juga bisa di lakukan oleh
kelompok. Dan juga bisa berawal dari seseorang hingga antar kelompok. Tindakan
kekerasan tersebut berdampak buruk kepada seseorang atau kelompok orang. Bahkan
orang yang tidak tahu menahu juga terjena dampaknya baik berupa materil maupun non
materil. Kaewna tujuan dari kekerasan tersebut adalah merusak. Lingkungan yang ada di
sekitar kita seharusnya kita jaga, bukan di rusak di karenakan pernuatan diri kita sendiri.
Mengenai larangan tentang berbuat kerusakan bermaktub dala, Q.S Al A’raf ayat 56
sebagai berikut :
Yang artinya :

“dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaiki-
nya dan berdoalah kepada-nya dengan rasa takut (tidak akan di terima) dan harapan
(akan di kabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang
berbuat baik.” (Q.S. Al A’raf : 56)

Dari arti di atas dapat di simpulkan bahwa larangan tersebut kerusakan di bumi karena
seharusnya manusia memakmurkan dan menjaganya dengan baik. Setelah ada
kerusakan, Allah swt. selalau memperbaikinya. Oleh sebab itu, manusia di larang intuk di
rusaknya. Manusia di perintahkan untuk berdoa dengan rasa takut jika doanya tidak
akan terkabul dan harus berharap penuh bahwa doamya akan di kabulkan Allah swt. san
gat dekat dengan orang-orang yang berbuat kebaikan.

Pentingnya Persatuan Dan Kerukunan Untuk Mencegah Tindak Kekerasan

Persatuan dalam ajaran islam secara umum di sebut ikhwan yaitu persaudaraan, yang
secara umum ukhuawah islamiyah yaitu persaudaraan dalam islam (saudara sesama umat
islam) atau bisa juga kumpulan individu manusia yang bersatu atau menjadi satu. Jelas
bahwa persaudaraan menyebabkan orang dapat berbuat damai dan dengan perdamaian
maka persatuan dan kesatuan umat bisa dapat di wujudkan. Tanpa persatuan orang akan
mudah bertindak semena-mena terhadap sesama bahkan terhadap yang seagama
sekalipun.

Kerukunan atau perdamaian, termasuk ajaran islam yang harus di wujudkan dalam
kehidupan berumah tangga, bertetangga, dan bermasayrakat, berbangsa, bernegara, serta
pergaulan antar umat beragama. Hal ini di sebabkan karena kerukunan merupakan
modal utama untuk terwujudnya ketentraman, kedamaian, dan kesejahteraan bersama.
Sebaliknya perselisihan atau permusuhan merupakan penyebab datangnya berbagai
kerugian dan bencana

Islam merupakan agama yang mencintai kerukunan atau perdamaian, hal itu telah di
buktikan oleh rosulullah SAW, antara lain sebagai berikut :

Pada saat terjadi perselisihan, rosulullah SAW mengajarkan agar pihak-pihak yang
berselisih melakukan usaha-usaha dengan segera dan dengan cara yang bijaksana, agar
perselisihan di antara mereka segera berakhir, dan mereka kembali hidup rukun.
Rosulullah SAW bersabda yang artinya: “janganlah putus memutuskan hubungan,
belakang-membelakangi, benci-membenci dan hasut-menghasut. Hendaklah kamu
menjadi hamba Allah yang bersaudara satu sama lain dan tidaklah halal bagi (setiap)
Muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari”(H.R. Bukhori dan Muslim).

Persatuan dan kerukunan sangat di perlukan agar tercipta kehidupan yang damai,
aman,dan tentram di tengah tengah masyarakat.
BAB V

E. Toleransi Dan Kerukunan

A. Kajian QS. Yunus 10:40-41 tentang toleransi


Ayat 40 :

ARTINYA :

40. Di antara mereka ada orang-orang yang beriman kepada Al Quran, dan di antaranya
ada (pula) orang-orang yang tidak beriman kepadanya. Tuhanmu lebih mengetahui
tentang orang-orang yang berbuat kerusakan.

41. Jika mereka mendustakan kamu, Maka Katakanlah: "Bagiku pekerjaanku dan
bagimu pekerjaanmu. kamu berlepas diri terhadap apa yang aku kerjakan dan aku pun
berlepas diri terhadap apa yang kamu kerjakan". (QS.Yunus, 10: 40-41)

ASBABUN NUZUL SURAH YUNUS AYAT 40-41


Tidak semua wahyu Allah terdapat asbabun nuzul. Salah satunya yaitu Surat Yunus ayat
40-41. Dalam tafsir tidak dijelaskan penyebab (asbabun nuzul) ayat tersebut.

ISI KANDUNGAN SURAH YUNUS AYAT 40-41


1. Ada golongan umat manusia yang beriman terhadap Al-Qur'an dan ada yang tidak
beriman kepada Al-Qur'an.
2. Allah SWT mengetahui sikap dan perilaku orang-orang yang beriman yang
bertakwa kepada Allah SWT dan orang-orang yang tidak beriman yang berbuat
durhaka kepada Allah SWT.

3. Orang-orang yang beriman kepada Allah SWT (umat Islam) harus yakin bahwa
Rasul Allah SWT yang terakhir adalah Nabi Muhammad SWT dan Al-Qur'an adalah
kitab suci yang harus dijadikan pedoman hidup umat manusia sampai akhir zaman.

Umat Islam harus menyadari bahwa setiap amal perbuatan manusia baik ataupun
buruk diketahui oleh Allah SWT. Dan masing-masing orang akan memikul dosanya
sendiri-sendiri.

B. Kajian Hadis tentang toleransi

Dalam hadis Rasulullah saw. ternyata cukup banyak ditemukan hadis-hadis yang
memberikan perhatian secara verbal tentang toleransi sebagai karakter ajaran inti
Islam. Hal ini tentu menjadi pendorong yang kuat untuk menelusuri ajaran toleransi
dalam Alquran, sebab apa yang disampaikan dalam hadis merupakan manifestasi dari
apa yang disampaikan dalam Alquran.

Di dalam salah satu hadis Rasulullah saw., beliau bersabda :

َ ‫َحدَّثَنِا عبد هللا حدثنى أبى حدثنى يَ ِزيد قَا َل أنا م َح َّمد بْن إِ ْس َحاقَ َع ْن دَاودَ ب ِْن ْالح‬
‫صي ِْن َع ْن ِع ْك ِر َمةَ َع ِن اب ِْن َعبَّاس قَا َل قِي َل‬
.‫َللاِ قَا َل ْال َحنِي ِفيَّة الس َّْم َحة‬
َّ ‫ان أ َ َحب ِإلَى‬
ِ ‫سلَّ َم أَي اْألَدْ َي‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َللا َعلَ ْي ِه َو‬ َّ ‫ِل َرسو ِل‬
َ ِ‫َللا‬

[Telah menceritakan kepada kami Abdillah, telah menceritakan kepada saya Abi telah
menceritakan kepada saya Yazid berkata; telah mengabarkan kepada kami Muhammad
bin Ishaq dari Dawud bin Al Hushain dari Ikrimah dari Ibnu 'Abbas, ia berkata;
Ditanyakan kepada Rasulullah saw. "Agama manakah yang paling dicintai oleh Allah?"
maka beliau bersabda: "Al-Hanifiyyah As-Samhah (yang lurus lagi toleran)]"

Ibn Hajar al-Asqalany ketika menjelaskan hadis ini, beliau berkata: “Hadis ini di
riwayatkan oleh Al-Bukhari pada kitab Iman, Bab Agama itu Mudah” di dalam
sahihnya secara mu'allaq dengan tidak menyebutkan sanadnya karena tidak termasuk
dalam kategori syarat-syarat hadis sahih menurut Imam al-Bukhari, akan tetapi beliau
menyebutkan sanadnya secara lengkap dalam al-Adâb al-Mufrad yang diriwayatkan
dari sahabat Abdullah ibn ‘Abbas dengan sanad yang hasan. Sementara Syekh
Nasiruddin al-Albani mengatakan bahwa hadis ini adalah hadis yang kedudukannya
adalah hasan lighairih.”

Berdasarkan hadis di atas dapat dikatakan bahwa Islam adalah agama yang toleran
dalam berbagai aspeknya, baik dari aspek akidah maupun syariah, akan tetapi toleransi
dalam Islam lebih dititikberatkan pada wilayah mua’malah. Rasulullah saw. bersabda :

‫َللا َع ْنه َما‬


َّ ‫ي‬َ ‫ض‬ َّ ‫ط ِ ِّرف قَا َل َحدَّثَنِي م َح َّمد بْن ْالم ْن َكد ِِر َع ْن َجا ِب ِر ب ِْن َع ْب ِد‬
ِ ‫َللاِ َر‬ َ ‫َحدَّثَنَا َع ِلي بْن َعيَّاش َحدَّثَنَا أَبو َغسَّانَ م َح َّمد بْن م‬
.‫ضى‬ َ َ‫ع َوإِذَا ا ْشت ََرى َوإِذَا ا ْقت‬ َّ ‫سلَّ َم قَا َل َر ِح َم‬
َ ‫َللا َرج ًل‬
َ ‫س ْم ًحا إِذَا بَا‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َللا َعلَ ْي ِه َو‬ َّ ‫أ َ َّن َرسو َل‬
َ ِ‫َللا‬

[Telah menceritakan kepada kami 'Ali bin 'Ayyasy telah menceritakan kepada kami Abu
Ghassan Muhammad bin Mutarrif berkata, telah menceritakan kepada saya
Muhammad bin al-Munkadir dari Jabir bin 'Abdullah ra. bahwa Rasulullah saw.
bersabda: "Allah merahmati orang yang memudahkan ketika menjual dan ketika
membeli, dan ketika memutuskan perkara"].

C. Toleransi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa arti kata ‘toleransi’ berarti
sifat atau sikap toleran. Kata toleran sendiri didefinisikan sebagai “bersifat atau
bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat,
pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau
bertentangan dengan pendirian sendiri.
Toleransi merupakan kata yang diserap dari bahasa Inggris ‘tolerance’ yang berarti
sabar dan kelapangan dada, adapun kata kerja transitifnya adalah ‘tolerate’ yang berarti
sabar menghadapi atau melihat dan tahan terhadap sesuatu, sementara kata sifatnya
adalah ‘tolerant’ yang berarti bersikap toleran, sabar terhadap
sesuatu. Sedangkan menurut Abdul Malik Salman, kata tolerance sendiri berasal dari
bahasa Latin: ‘tolerare’ yang berarti berusaha untuk tetap bertahan hidup, tinggal atau
berinteraksi dengan sesuatu yang sebenarnya tidak disukai atau disenangi. Dengan
demikian, pada awalnya dalam makna tolerance terkandung sikap keterpaksaan.
Dalam bahasa Arab, istilah yang lazim dipergunakan sebagai padanan kata toleransi
adalah samâhah atau tasâmuh. Kata ini pada dasarnya berarti al-
jûd (kemuliaan), atau sa’at al-sadr (lapang dada) dan tasâhul (ramah, suka
memaafkan). Makna ini berkembang menjadi sikap lapang dada atau terbuka
(welcome) dalam menghadapi perbedaan yang bersumber dari kepribadian yang
mulia. Dengan demikian, berbeda dengan kata tolerance yang mengandung nuansa
keterpaksaan, maka kata tasâmuh memiliki keutamaan, karena melambangkan sikap
yang bersumber pada kemuliaan diri (al-jûd wa al-karam) dan keikhlasan.
Ahmad ibn Faris dalam kitab Al-Mu’jam al-Maqâyis al-
Lughah, mengartikan kata samâhah dengan suhulah (mempermudah). Pengertianini di
kuatkan Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bâri yang mengartikan kata as-
samhah dengan kata as-sahlah (mudah), dalam memaknai sebuah riwayat yang
berbunyi, Ahabbu ad-din ila Allâh al-hanifiyyah as-samhah. Perbedaan arti ini sudah
barang tentu mempengaruhi pemahaman penggunaan kata-kata ini dalam bahasa
Arab dan Inggris.
Pemahaman tentang toleransi tidak dapat berdiri sendiri, karena terkait erat dengan
suatu realitas lain yang merupakan penyebab langsung dari lahirnya toleransi, yaitu
pluralisme (Arab: ta’addudiyyat). Dengan demiki-an untuk mendapatkan pengertian
tentang toleransi yangbaik, maka pemahaman yang benar mengenai pluralisme adalah
suatu keniscayaan. Kajian tentang hadis-hadis tentang toleransi pada makalah ini
merujuk pada makna asli kata samâhah dalam bahasa Arab (yang artinya
mempermudah, memberi kemurahan dan keluasan).Akan tetapi, makna memudahkan
dan memberi keluasan di sini bukan mutlak sebagaimana dipahami secara bebas,
melainkan tetapbersandar pada Alquran dan Hadis.

D. Menjaga Kerukunan

Kerukunan umat bragama yaitu hubungan sesame umat beragama yang dilandasi
dengan toleransi, saling pengertian, saling menghormati, saling menghargai dalam
kesetaraan pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan
masyarakat dan bernegara. Umat beragama dan pemerintah harus melakukan upaya
bersama dalam memelihara kerukunan umat beragama, di bidang pelayanan,
pengaturan dan pemberdayaan. Sebagai contoh yaitu dalam mendirikan rumah ibadah
harus memperhatikan pertimbangan Ormas keagamaan yang berbadan hokum dan
telah terdaftar di pemerintah daerah.
Pemeliharaan kerukunan umat beragama baik di tingkat Daerah, Provinsi, maupun
Negara pusat merupakan kewajiban seluruh warga Negara beserta instansi pemerinth
lainnya. Lingkup ketentraman dan ketertiban termasuk memfalisitasi terwujudnya
kerukunan umat beragama, mengkoordinasi kegiatan instnsi vertical, menumbuh
kembangkan keharmonisan saling pengertian, saling menghormati, saling percaya
diantara umat beragama, bahkan menerbitkan rumah ibadah.
Sesuai dengan tingkatannya Forum Krukunan Umat Beragama dibentuk di Provinsi
dan Kabupaten. Dengan hubungan yang bersifat konsultatif gengan tugas melakukan
dialog dengan pemuka agama dan tokoh-tokoh masyarakat, menampung aspirasi
Ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat, menyalurkan aspirasi dalam bentuk
rekomendasi sebagai bahan kebijakan.

Anda mungkin juga menyukai