Anda di halaman 1dari 8

A.

Jual Beli; Murabahah, Salam, Istishna


1. Pengertian Jual Beli
Jual beli dalam bahasa Arab disebut Al-ba’i. Menurut bahasa, jual beli artinya
pertukaran secara mutlak (Sabiq, 1977: 46). Adapun menurut istilah adalah penukaran
barang dengan uang antara penjual dan pembeli dengan cara tertentu yang telah
disepakati.
Dari pengertian diatas, status kepemilikan barang berpindah dari penjual kepada
pembeli, dan penjual berhak menerima kepemilikan uang dan pembeli pun berhak
menerima kepemilikan barang.
2. Hukum Jual Beli
Jual beli hukumnya boleh. Allah ta’ala berfirman: Orang-orang yang makan
(mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan
syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang
yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan). Dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil
riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS.
Al-Baqarah (2): 275).
Demikian pula berdasarkan sabda Rasulullah Saw. “Apabila dua orang
melakukan jual beli, maka masing-masingnya berhak khiyar (meneruskan atau
membatalkan jual beli) selama keduanya belum berpisah, sedangkan keduanya
berkumpul bersama.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Berdasarkan ijma. Kaum muslimin sepakat tentang kebolehan jual beli secara
garis besar. Di samping itu, kebutuhan manusia menghendaki untuk diadakan jual beli,
karena manusia butuh kepada apa yang ada pada orang lain, yang maslahatnya terkait
dengannya dan tidak ada jalan untuk memperolehnya dengan cara yang benar kecuali
dengan melakukan jual beli, maka hikmah menghendaki untuk dibolehkannya perkara ini
dan disyariatkannya untuk tercapai maksud yang diingikan.
3. Rukun dan Syarat Jual Beli
Dalam jual beli terdapat rukun dan syarat (Al-Fiqh Al-Muyassar, 6: 11),
sebagaimana berikut:
a. ‘Aqidan (penjual dan pembeli), disyaratkan:
1) Pelaku akad jâ’izut tasharruf (boleh bertindak), yaitu baligh, berakal, merdeka dan
cerdas. Oleh karena itu, tidak sah jual-beli dari anak kecil, orang dungu, orang
gila dan budak tanpa izin tuan atau walinya.
2) Saling ridha antara penjual dan pembeli. Allah swt berfirman: “Wahai orang-orang
yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan
yang batil kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka
di antara kamu.” (QS. An-Nisaa (4): 29). Dari Abu Sa’id al-Khudriy radhiyallahu
‘anhu, bahwa Nabi swt, bersabda: “Sesungguhnya jual beli itu harus saling ridha.”
(HR. Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Baihaqi). Oleh karena itu, tidak sah jual beli jika
salah satunya memaksa yang lain dengan tanpa hak. Tetapi jika paksaan
dilakukan dengan hak, misalnya hakim memaksa seseorang menjual barangnya
untuk menutupi hutangnya, maka jual beli itu sah.
3) Bukan orang yang mubazir (pemboros), karena harta orang yang mubazir itu
berada dibawah pengelolaan walinya. Allah ta’ala berfirman: Dan janganlah kamu
serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka
yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.
Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada
mereka kata-kata yang baik. (QS. An-Nisaa (4): 5).
b. Ma’qud ‘Alaih, yaitu sesuatu atau barang yang diakadkan, disyaratkan:
1) Sesuatu yang diakadkan bisa diserahkan, karena sesuatu yang tidak bisa
diserahkan seperti tidak ada, sehingga tidak sah dijual-belikan dan masuk ke
dalam jual beli gharar. Hal itu, karena pembeli bisa saja telah menyerahkan
uangnya, namun tidak mendapatkan barangnya. Berdasarkan syarat ini, maka
tidak boleh jual-beli ikan yang masih di kolam, burung yang masih di udara, janin
hewan yang masih dalam perut induknya, dan jual beli hewan yang lari. Hal ini
berdasarkan hadits Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah swt melarang jual beli
gharar.
2) Sesuatu yang diakadkan harus diketahui oleh keduanya (penjual dan pembeli)
dengan dilihat dan disaksikannya ketika akad atau disifatkan dengan sifat yang
membedakan dengan selainnya. Hal itu, karena ketidakjelasan merupakan gharar,
sedangkan gharar itu dilarang. Oleh karena itu, tidak sah membeli sesuatu yang
belum dilihatnya.
3) Pembayarannya diketahui, yaitu dengan ditentukan harga barang dan diketahui
nilainya.
4) Penjual memiliki barang tersebut atau menduduki posisi pemiliknya, seperti
sebagai wakilnya, orang yang mendapat wasiatnya, walinya maupun nazhir
(pengawasnya). Dengan demikian, jual beli tidak sah jika seseorang menjual
sesuatu yang tidak dimilikinya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah swt kepada
Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu: Jangan kamu menjual sesuatu yang tidak
ada padamu. (HR. Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
5) Barang yang dijual termasuk barang yang halal dimanfaatkan, seperti makanan,
minuman, pakaian, kendaraan, tanah dsb. Oleh karena itu, tidak sah menjual
barang yang haram dimanfaatkan, seperti arak, babi, bangkai dan alat musik. Hal
ini berdasarkan hadits Jabir ia berkata: Rasulullah Swt bersabda: “Sesungguhnya
Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli arak, bangkai, babi dan patung.”
(HR. Bukhari dan Muslim). Demikian pula berdasarkan hadits Ibnu Abbas ra,
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa
Jalla apabila mengharamkan memakan sesuatu, maka Dia mengharamkan pula
hasil pembayarannya.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud). Dan diharamkan pula jual-
beli anjing, berdasarkan hadits Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hasil penjualan anjing dan darah.” (HR.
Bukhari).
c. Ijab qabul atau serah terima.
Ijab artinya lafaz yang muncul dari penjual, seperti, “Saya jual … dan
seterusnya.” Sedangkan qabul maksudnya lafaz yang muncul dari pembeli,
seperti, “Saya beli … dan seterusnya.” Ini adalah sighat qauliyyah (yang berupa
ucapan). Ada pula sighat fi’liyyah (yang berupa perbuatan), yaitu serah-terima,
misalnya seorang pembeli menyerahkan uang kepada penjual, lalu penjual
menyerahkan barangnya tanpa adanya ucapan.

B. Murabahah
1. Definisi Jual-Beli Murabahah
Kata al-Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu ( ‫الر ْب ُح‬
ِ ) yang berarti
kelebihan dan tambahan (keuntungan). Sedangkan dalam definisi para ulama terdahulu
adalah jual beli dengan modal ditambah keuntungan yang diketahui. Hakekatnya adalah
menjual barang dengan harga (modal) nya yang diketahui kedua belah transaktor
(penjual dan pembeli) dengan keuntungan yang diketahui keduanya. (Kementrian Wakaf
dan Urusan Islam Kuwait, 36: 318).

Secara bahasa Murabahah berasal dari kata “Ar-ribbu” yang berarti (An-namaa’)
yang berarti tumbuh dan berkembang. Atau murabahah juga berarti “al-irbaah” karna
salah satu dari dua orang yang bertransaksi memberikan keuntungan kepada yang
lainnya. Sedangkan secara istilah, bai’ul murabahah (murabahah) adalah jual beli
dengan harga awal disertai dengan tambahan keuangan.
Gambaran transaksi jual beli murabahah ini sebagaimana yang disebutkan oleh
ulama Malikiyah, adalah jual beli dimana pemilik barang menyebutkan harga beli barang
tersebut, kemudian ia mengambil keuntungan dari pembelian secara sekaligus dengan
mengatakan, “Saya membelinya dengan harga 10 dinar dan anda memberikan
keuntungan kepadaku sebesar 1 dinar atau 2 dirham,” Anda berikan keuntungan
sebesar 1 dirham persatu dinarnya. Atau bisa juga ditentukan dengan ukuran tertentu
maupun dengan menggunakan persentase.
Menurut ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah, murabahah adalah jual beli dengan
harga pokok atau harga perolehan penjual ditambah keuntungan satu dirham pada
setiap sepuluh dinar. Atau semisalnya, dengan syarat kedua belah pihak yang
bertransaksi mengetahui harga pokok. Di samping jual beli murabahah, dalam fiqh al-
muamalah ada empat jenis jual beli lainnya yaitu: pertama jual beli al-musawamah (ba’iu
al musawamah), yaitu menjual dengan harga berapapun tanpa melihat kepada harga
pokok atau harga perolehan saat pembelian awal. Jual beli inilah yang biasa dilakukan.
Kedua, jual beli at-tauliyah (bai’u at tauliyah), yaitu menjual dengan harga pokok atau
harga perolehan tanpa tambahan keuntungan. Ketiga, jual beli isytiraak (bai’u al
isytiraak), sama dengan jual beli at-tauliyah, perbedaannya adalah menjual sebagian
objek jual beli dengan sebagian harga. Keempat, jual beli al-wadhi’ah (bai’u al wadhi’ah)
yaitu menjual sama dengan harga pokok atau harga perolehan, dengan mengurangi
atau memberikan potongan harga.
1. Landasa Hukum
Murabahah merupakan suatu akad yang dibolehkan secara syar’i, serta didukung
oleh mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi’in serta ulama-ulama dari berbagai
mazhab dan aliran. Landasan hukum akad murabahah ini adalah: pertama, al-Qur’an.
Ayat-ayat al-Qur’an yang secara umum membolehkan jual beli, di antaranya adalah
firman Allah dalam QS. al Baqarah: 275: Artinya: “..dan Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba”. Ayat ini menunjukkan bolehnya melakukan transaksi jual beli dan
murabahah merupakan salah satu bentuk dari jual beli, sebagaimana firman Allah dalam
QS. An-Nisaa: 29: Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlakudengan suka sama suka di antara kamu”.
Sebuah riwayat dari Ibnu Mas’ud menyebutkan bahwa boleh melakukan jual beli
dengan mengambil keuntungan satu dirham atau dua dirham untuk setiap sepuluh
dirham harga pokok. Selain itu, transaksi dengan menggunakan akad jual beli
murabahah ini sudah menjadi kebutuhan yang mendesak dalam kehidupan.
Banyak manfaat yang dihasilkan, baik bagi yang berprofesi sebagai pedagang
maupun bukan. Ketiga, al-ijma. Transaksi ini sudah dipraktikkan di berbagai tempat
tanpa ada yang mengingkarinya. Itu berarti para ulama menyetujuinya. Kaidah fikih
menyatakan: “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada
dalil yang mengharamkannya.”
Begitu pula secara logika, jual beli ini amat dibutuhkan dan telah tersebar luas. Di
antara kita ada orang yang tidak tahu manakah barang yang berkualitas untuk dibeli,
sehingga kita butuh informasi dari orang yang lebih mengetahui seluk-beluk barang di
pasar. Sebagai balas budi, si pembeli memberikan balas jasa pada si penjual yang telah
membeli barang tersebut dengan memberikan keuntungan. Sehingga jual beli
murabahah dengan logika sederhana ini dibolehkan.

 Harga Pokok dan Pembebanan Biaya


Pembebanan biaya pada pembiayaan murabahah, yang selanjutnya akan
memengaruhi penetapan harga pokok (replacement cost) dan harga jual. Sebagaimana
dikutip oleh Karim, bahwa para ulama mazhab berbedapendapat tentang biaya apa saja
yang dapat dibebankan kepada harga jual barang tersebut. Ulama Mazhab Maliki,
misalnya membolehkan biayabiaya yang langsung terkait dengan transaksi jual beli itu
dan biaya-biaya yang tidak langsung terkait dengan transaksi tersebut, namun
memberikan nilai tambah pada barang itu.
Ulama Mazhab Hanafi membolehkan membebankan biaya-biaya yang secara
umum timbul dalam suatu transaksi jual beli, namun mereka tidak membolehkan biaya-
biaya yang memang semestinya dikerjakan oleh si penjual. Ulama Mazhab Hanbali
berpendapat bahwa semua biaya langsung maupun tidak langsung dapat dibebankan
pada harga jual selama biayabiaya itu harus dibayarkan kepada pihak ketiga dan akan
menambah nilai barang yang dijual.
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa: 1) keempat mazhab
membolehkan pembebanan biaya langsung yang harus dibayarkan langsung kepada
pihak ketiga, 2) keempat mazhab sepakat tidak membolehkan pembebanan biaya
langsung yang berkaitan dengan pekerjaan yang memang semestinya dilakukan penjual
maupun biaya langsung yang berkaitan dengan hal-hal yang berguna, 3) keempat
mazhab juga membolehkan pembebanan biaya tidak langsung yang dibayarkan kepada
pihak ketiga dan pekerjaan itu harus dilakukan oleh pihak ketiga. Bila pekerjaan itu harus
dilakukan oleh si penjual, mazhab Maliki tidak membolehkan pembebanannya,
sedangkan ketiga mazhab lainnya membolehkan, dan 4) keempat mazhab sepakat tidak
membolehkan pembebanan biaya tidak langsung bila tidak menambah nilai barang atau
berkaitan dengan hal-hal yang berguna.
2. Jenis – Jenis Murabahah
Murabhah pada prinsipnya adalah jual beli dengan keuntungan, hal ini bersifat
dan berlaku umum pada jual beli barang-barang yang memenuhi syarat jual beli
murabahah. Dalam praktiknya, pembiayaan murabahah yang diterapkan Bank Bukopin
Syariah terbagi kepada 3 jenis, sesuai dengan peruntukannya: pertama, murabahah
modal kerja, yang ditujukan untuk pembelian barang-barang yang akan digunakan
sebagai modal kerja. Modal kerja adalah jenis pembiayaan yang diperlukan oleh
perusahaan untuk operasi sehari-hari. Penerapan murabahah untuk modal kerja
membutuhkan kehati-hatian, terutama bila objek yang akan diperjualbelikan terdiri dari
banyak jenis sehingga dikhawatirkan akan mengalami kesulitan terutama dalam
menentukan harga pokok masing-masing barang.
Sepanjang yang tujuannya untuk pembelian barang modal yang diperlukan untuk
rehabilitasi, perluasan, atau pembuatan proyek baru. Ketiga, murabahah konsumsi,
adalah pembiayaan perorangan untuk tujuan non bisnis, termasuk pembiayaan
pemilikan rumah dan mobil. Pembiayaan konsumsi biasanya digunakan untuk
membiayai pembelian barang konsumsi dan barang tahan lama lainnya. Jaminan yang
digunakan biasanya berewujud objek yang dibiayai, tanah dan bangunan tempat tinggal.
Di dalam al-Qur’an, pembahasan secara langsung mengenai murabahah tidaklah
ada meski terdapat beberapa ayat yang menunjukkan kajian yang terkait dengannya
seperti pembahasan mengenai jualbeli ataupun permasalahan keuntungan dan kerugian
dalam suatu perdagangan. Demikian pula dengan hadis-hadis Rasulullah Saw, tidak ada
satupun hadis yang membahas atau memiliki rujukan langsung mengenai permasalahan
murabahah ini.
Para ulama generasi awal seperti Imam Maliki dan Syafi’i yang secara khusus
mengatakan bahwa jual beli murabahah adalah boleh hukumnya, walaupun mereka
tidak dapat memperkuat pendapat mereka dengan satu hadis pun. Imam Maliki,
misalnya membenarkan keabsahan pendapatnya hanya dengan merujuk pada adanya
praktik pendudukmengenai transaksi ini:
Terdapat kesepakatan dari ahli Madinah mengenai keabsahan seseorang yang
membelikan pakaian di kota dan kemudian ia membawanya ke kota lain untuk
menjualnya lagi dengan suatu keuntungan yang disepakat.”Sedangkan Imam Syafi’i
dalam kitabnya al-‘Umm mengatakan bahwa:
“Jika seseorang menunjukkan suatu barang kepada seseorang dan berkata
belikanlah aku barang seperti ini dan aku akan memberikanmu keuntungan sekian, lalu
orang tersebut membelikannya maka jual beli ini adalah sah hukumnya.”
Seorang ulama pengikut Mazhab Hanafi menganggap bahwa murabahah ini
adalah sah hukumnya dengan pertimbangan terpenuhinya syarat-syarat yang
mendukung adanya suatu akad jual beli dan juga karena adanya beberapa pihak yang
membutuhkan keberadaan transaksi ini. Begitu juga dengan Imam Nawawi seorang
ulama pengikut mazhab Syafi’i menyatakan kebolehannya tanpa ada penolakan
sedikitpun.

3. Proses Murabahah
Wahbah Az-zuhaili mengatakan bahwa di dalam transaksi murabahah ini
persyaratan yang harus dipenuhi antara lain adalah: 1) diketahuinya harga pokok. Dalam
jual beli murabahah ini, penjual diharuskan untuk memberitahukan secara jelas harga
pokok atau harga awal dari suatu barang yang akan dijual kepada pembeli untuk
menghindari terjadinya transaksi yang tidak jelas (gharar) di antara kedua belah pihak,
dan 2) diketahuinya keuntungan yang ditetapkan. Pihak penjual ketika melakukan
transaksi dengan pembeli diwajibkan untuk menjelaskan berapa dan bagaimana
keuntungan (marjin keuntungan) yang akan ditetapkan dari barang yang dijual dan hal
itu merupakan unsur terpenting yang mendukung terjadinya transaksi yang saling rela
(‘an taradin) di antara kedua belah pihak.
Imam ad-Dardier dalam kitab asy-Syarhu ash-Shaghir menyatakan, al-’Inah
adalah jual beli orang yang diminta darinya satu barang untuk dibeli dan (barang
tersebut) tidak ada padanya untuk (dijual) kepada orang yang memintanya setelah ia
membelinya adalah boleh kecuali yang minta menyatakan: “Belilah dengan sepuluh
secara kontan dan saya akan ambil dari kamu dengan dua belas secara tempo.” Maka ia
dilarang padanya karena tuduhan (hutang yang menghasilkan manfaat) karena seakan-
akan ia meminjam darinya senilai barang tersebut untuk mengambil darinya setelah
jatuh tempo dua belas.
Jelaslah dari sebagian pernyataan ulama fikih terdahulu ini bahwa mereka
menyatakan pemesan tidak boleh diikat untuk memenuhi kewajiban membeli barang
yang telah dipesan. Demikian juga the Islamic Fiqih Academy (Majma’ al-Fiqih al-Islami)
menegaskan bahwa jual beli muwaada’ah yang ada dari dua pihak dibolehkan dalam
jual beli murabahah dengan syarat al-khiyaar untuk kedua transaktor seluruhnya atau
salah satunya. Apabila tidak ada hak al-khiyaar di sana maka tidak boleh karena al-
muwaa’adah yang mengikat (al-mulzamah) dalam jual beli al-murabahah menyerupai
jual beli itu sendiri, di mana disyaratkan pada waktu itu penjual telah memiliki barang
tersebut hingga tidak ada pelanggaran terhadap larangan Nabi Saw tentang seorang
menjual yang tidak dimilikinya.

C. Salam
1. Pengertian Salam
Salam atau disebut juga salaf adalah jual beli barang yang ditunda yang disifati
dan masih dalam tanggungan dengan bayaran yang didahulukan. Para fuqaha’
menamainya dengan nama bai’ul mahâwij, karena hal tersebut merupakan jual beli
barang yang gha’ib (belum ada) yang perlu dilakukan oleh penjual dan pembeli, di mana
pemilik uang butuh membeli barang, sedangkan pemilik barang butuh memiliki uang
sebelum barang itu ada padanya untuk dipakai buat dirinya dan untuk dibelanjakan buat
tanamannya misalnya agar buahnya dapat matang dengan baik, hal ini termasuk
maslahat hâjiyah (kebutuhan). (Sabiq, 3: 121).
Untuk selanjutnya pembeli disebut musallim atau rabbus salam, penjual disebut
musallam ilaih, barang yang dijual disebut musallam fîh, sedangkan bayaran atau
uangnya disebut ra’su mâlis salam.
2. Dalil Disyariatkannya Jual Beli Salam
Tentang dalil disyariatkannya salam ada dalam Al-Quran, Sunnah, dan Ijma’. Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Saya bersaksi bahwa salaf yang ditanggung
hingga waktu tertentu, telah dihalalkan Allah dalam kitab-Nya dan diizinkan-Nya,”
kemudian ia membaca firman Allah Ta’ala: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila
kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah (2): 282).
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma ia
berkata: “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, penduduk Madinah
menjual buah-buahan dengan pembayaran di muka, sedangkan buah-buahan yang
dijualnya dijanjikan mereka dalam tempo setahun atau dua tahun kemudian. Maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menjual kurma
dengan pembayaran di muka, hendaklah dengan takaran tertentu, timbangan tertentu
dan jangka waktu tertentu.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ibnul Mundzir berkata, “Telah
ijma’ orang yang kami hafal dari kalangan ahli ilmu bahwa salam itu boleh.”
3. Syarat-Syarat Jual Beli Salam
Salam adalah salah satu bentuk jual beli. Oleh karena itu, untuk sahnya berlaku
syarat-syarat jual beli dan ditambah syarat yang akan dijelaskan berikut. Syarat tersebut
ada yang berkaitan dengan ra’sul maal (pembayaran) dan ada yang berkaitan dengan
musallam fiih (barangnya).
4. Syarat yang Berkaitan pada Ra’sul Mâl (bayaran)
a. Diketahui jenis (bayaran)nya.
b. Diketahui jumlahnya
c. Diserahkan dalam majlis secara sempurna.
5. Syarat pada Musallam Fiih (barangnya)
a. Masih dalam tanggungan
b. Disifati dengan sifat yang menghasilkan pengetahuan terhadap ukurannya dan
sifatnya yang membedakan dengan lainnya agar gharar itu hilang dan hilang
perselisihan.
c. Waktunya diketahui.

C. Istishna’
Pengertian dan Hukum Istishna’
Akad Istishna’ ialah akad yang terjalin antara pemesan sebagai pihak 1 dengan
seorang produsen suatu barang atau yang serupa sebagai pihak ke-2, agar pihak ke-2
membuatkan suatu barang sesuai yang diinginkan oleh pihak 1 dengan harga yang
disepakati antara keduanya. (Kementrian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait, 3: 325).
Istishna’ adalah akad yang benar dan disyariatkan, ini adalah pendapat kebanyakan
ulama’ penganut mazhab Hanafi dan kebanyakan ulama’ ahli fiqih zaman sekarang.
Ulama’ mazhab Hanafi berdalilkan dengan beberapa dalil berikut guna menguatkan
pendapatnya:
Dalil pertama: Keumuman dalil yang menghalalkan jual-beli, diantaranya firman
Allah Ta’ala: “Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (QS.
Al-Baqarah (2): 275). Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama’ menyatakan bahwa
hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam
dalil yang kuat lagi shahih alias valid.
Dalil kedua: Nabi Saw. pernah memesan agar dibuatkan cincin dari perak.
Diriwayatkan dari sahabat Anas radhiallahu ‘anhu, pada suatu hari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam hendak menuliskan surat kepada seorang raja non arab, lalu
dikabarkan kepada beliau: Sesungguhnya raja-raja non arab tidak sudi menerima surat
yang tidak distempel, maka beliaupun memesan agar ia dibautkan cincin stempel dari
bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan
kemilau putih di tangan beliau.” (Riwayat Muslim). Perbuatan nabi ini menjadi bukti nyata
bahwa akad istishna’ adalah akad yang dibolehkan.
Dalil ketiga: Sebagian ulama’ menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam
telah bersepakat (ijma’) bahwa akad istishna’ adalah akad yang dibenarkan dan telah
dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulama pun yang
mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya.
Dalil keempat: Para ulama’ di sepanjang masa dan di setiap mazhab fiqih yang
ada di tengah umat Islam telah menggariskan kaedah dalam segala hal selain ibadah:
“Hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan akan
keharamannya.”
Dalil kelima: Logika; banyak dari masyarakat dalam banyak kesempatan
membutuhkan kepada suatu barang yang spesial, dan sesuai dengan bentuk dan kriteria
yang dia inginkan. Dan barang dengan ketentuan demikian itu tidak didapatkan di pasar,
sehingga ia merasa perlu untuk memesannya dari para produsen. Bila akad pemesanan
semacam ini tidak dibolehkan, maka masyarakat akan mengalamai banyak kesusahan.
Dan sudah barang tentu kesusahan semacam ini sepantasnya disingkap dan dicegah
agar tidak mengganggu kelangsungan hidup masyarakat. Alasan ini selaras dengan
salah satu prinsip dasar agama Islam, yaitu taisir (memudahkan): “Sesungguhnya
agama itu mudah.” (HR. Bukhari).
Dalil keenam: Akad istishna’ dapat mendatangkan banyak kemaslahatan dan
keuntungan, dan tidak mengandung unsur riba, atau ketidakjelasan/spekulasi tinggi
(gharar) dan tidak merugikan kedua belah pihak. Bahkan sebaliknya, kedua belah pihak
merasa mendapatkan keuntungan. Dengan demikian setiap hal yang demikian ini
adanya, sudah sepantasnya untuk diizinkan dan tidak dilarang.

Simpulan
Dari pemaparan singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa akad istishna’ ialah
akad tersendiri, dan tidak sama dengan akad salam. Dengan demikian, hukum keduanya
pun berbeda. Dan para ulama’ yang membahas kedua akad ini menyebutkan beberapa
perbedaan. Namun perbedaan yang paling menonjol antara keduanya terletak pada dua
hal berikut ini:
1. Obyek akad keduanya, pada akad salam yang menjadi objek adalah barang
semata, tanpa ada proses pengolahan. Sedangkan objek akad istishna’ ialah barang
dan jasa pengolahan barang secara bersamaan.
2. Waktu pembayaran, pada akad salam, para ulama’ telah sepakat bahwa
pembayaran dilakukan seutuhnya di muka alias tunai. Sedangkan pada akad
istishna’, pembayaran dapat dilakukan di muka dan juga boleh dilakukan dengan
pembayaran terhutang.

Anda mungkin juga menyukai