B. Murabahah
1. Definisi Jual-Beli Murabahah
Kata al-Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu ( الر ْب ُح
ِ ) yang berarti
kelebihan dan tambahan (keuntungan). Sedangkan dalam definisi para ulama terdahulu
adalah jual beli dengan modal ditambah keuntungan yang diketahui. Hakekatnya adalah
menjual barang dengan harga (modal) nya yang diketahui kedua belah transaktor
(penjual dan pembeli) dengan keuntungan yang diketahui keduanya. (Kementrian Wakaf
dan Urusan Islam Kuwait, 36: 318).
Secara bahasa Murabahah berasal dari kata “Ar-ribbu” yang berarti (An-namaa’)
yang berarti tumbuh dan berkembang. Atau murabahah juga berarti “al-irbaah” karna
salah satu dari dua orang yang bertransaksi memberikan keuntungan kepada yang
lainnya. Sedangkan secara istilah, bai’ul murabahah (murabahah) adalah jual beli
dengan harga awal disertai dengan tambahan keuangan.
Gambaran transaksi jual beli murabahah ini sebagaimana yang disebutkan oleh
ulama Malikiyah, adalah jual beli dimana pemilik barang menyebutkan harga beli barang
tersebut, kemudian ia mengambil keuntungan dari pembelian secara sekaligus dengan
mengatakan, “Saya membelinya dengan harga 10 dinar dan anda memberikan
keuntungan kepadaku sebesar 1 dinar atau 2 dirham,” Anda berikan keuntungan
sebesar 1 dirham persatu dinarnya. Atau bisa juga ditentukan dengan ukuran tertentu
maupun dengan menggunakan persentase.
Menurut ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah, murabahah adalah jual beli dengan
harga pokok atau harga perolehan penjual ditambah keuntungan satu dirham pada
setiap sepuluh dinar. Atau semisalnya, dengan syarat kedua belah pihak yang
bertransaksi mengetahui harga pokok. Di samping jual beli murabahah, dalam fiqh al-
muamalah ada empat jenis jual beli lainnya yaitu: pertama jual beli al-musawamah (ba’iu
al musawamah), yaitu menjual dengan harga berapapun tanpa melihat kepada harga
pokok atau harga perolehan saat pembelian awal. Jual beli inilah yang biasa dilakukan.
Kedua, jual beli at-tauliyah (bai’u at tauliyah), yaitu menjual dengan harga pokok atau
harga perolehan tanpa tambahan keuntungan. Ketiga, jual beli isytiraak (bai’u al
isytiraak), sama dengan jual beli at-tauliyah, perbedaannya adalah menjual sebagian
objek jual beli dengan sebagian harga. Keempat, jual beli al-wadhi’ah (bai’u al wadhi’ah)
yaitu menjual sama dengan harga pokok atau harga perolehan, dengan mengurangi
atau memberikan potongan harga.
1. Landasa Hukum
Murabahah merupakan suatu akad yang dibolehkan secara syar’i, serta didukung
oleh mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi’in serta ulama-ulama dari berbagai
mazhab dan aliran. Landasan hukum akad murabahah ini adalah: pertama, al-Qur’an.
Ayat-ayat al-Qur’an yang secara umum membolehkan jual beli, di antaranya adalah
firman Allah dalam QS. al Baqarah: 275: Artinya: “..dan Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba”. Ayat ini menunjukkan bolehnya melakukan transaksi jual beli dan
murabahah merupakan salah satu bentuk dari jual beli, sebagaimana firman Allah dalam
QS. An-Nisaa: 29: Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlakudengan suka sama suka di antara kamu”.
Sebuah riwayat dari Ibnu Mas’ud menyebutkan bahwa boleh melakukan jual beli
dengan mengambil keuntungan satu dirham atau dua dirham untuk setiap sepuluh
dirham harga pokok. Selain itu, transaksi dengan menggunakan akad jual beli
murabahah ini sudah menjadi kebutuhan yang mendesak dalam kehidupan.
Banyak manfaat yang dihasilkan, baik bagi yang berprofesi sebagai pedagang
maupun bukan. Ketiga, al-ijma. Transaksi ini sudah dipraktikkan di berbagai tempat
tanpa ada yang mengingkarinya. Itu berarti para ulama menyetujuinya. Kaidah fikih
menyatakan: “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada
dalil yang mengharamkannya.”
Begitu pula secara logika, jual beli ini amat dibutuhkan dan telah tersebar luas. Di
antara kita ada orang yang tidak tahu manakah barang yang berkualitas untuk dibeli,
sehingga kita butuh informasi dari orang yang lebih mengetahui seluk-beluk barang di
pasar. Sebagai balas budi, si pembeli memberikan balas jasa pada si penjual yang telah
membeli barang tersebut dengan memberikan keuntungan. Sehingga jual beli
murabahah dengan logika sederhana ini dibolehkan.
3. Proses Murabahah
Wahbah Az-zuhaili mengatakan bahwa di dalam transaksi murabahah ini
persyaratan yang harus dipenuhi antara lain adalah: 1) diketahuinya harga pokok. Dalam
jual beli murabahah ini, penjual diharuskan untuk memberitahukan secara jelas harga
pokok atau harga awal dari suatu barang yang akan dijual kepada pembeli untuk
menghindari terjadinya transaksi yang tidak jelas (gharar) di antara kedua belah pihak,
dan 2) diketahuinya keuntungan yang ditetapkan. Pihak penjual ketika melakukan
transaksi dengan pembeli diwajibkan untuk menjelaskan berapa dan bagaimana
keuntungan (marjin keuntungan) yang akan ditetapkan dari barang yang dijual dan hal
itu merupakan unsur terpenting yang mendukung terjadinya transaksi yang saling rela
(‘an taradin) di antara kedua belah pihak.
Imam ad-Dardier dalam kitab asy-Syarhu ash-Shaghir menyatakan, al-’Inah
adalah jual beli orang yang diminta darinya satu barang untuk dibeli dan (barang
tersebut) tidak ada padanya untuk (dijual) kepada orang yang memintanya setelah ia
membelinya adalah boleh kecuali yang minta menyatakan: “Belilah dengan sepuluh
secara kontan dan saya akan ambil dari kamu dengan dua belas secara tempo.” Maka ia
dilarang padanya karena tuduhan (hutang yang menghasilkan manfaat) karena seakan-
akan ia meminjam darinya senilai barang tersebut untuk mengambil darinya setelah
jatuh tempo dua belas.
Jelaslah dari sebagian pernyataan ulama fikih terdahulu ini bahwa mereka
menyatakan pemesan tidak boleh diikat untuk memenuhi kewajiban membeli barang
yang telah dipesan. Demikian juga the Islamic Fiqih Academy (Majma’ al-Fiqih al-Islami)
menegaskan bahwa jual beli muwaada’ah yang ada dari dua pihak dibolehkan dalam
jual beli murabahah dengan syarat al-khiyaar untuk kedua transaktor seluruhnya atau
salah satunya. Apabila tidak ada hak al-khiyaar di sana maka tidak boleh karena al-
muwaa’adah yang mengikat (al-mulzamah) dalam jual beli al-murabahah menyerupai
jual beli itu sendiri, di mana disyaratkan pada waktu itu penjual telah memiliki barang
tersebut hingga tidak ada pelanggaran terhadap larangan Nabi Saw tentang seorang
menjual yang tidak dimilikinya.
C. Salam
1. Pengertian Salam
Salam atau disebut juga salaf adalah jual beli barang yang ditunda yang disifati
dan masih dalam tanggungan dengan bayaran yang didahulukan. Para fuqaha’
menamainya dengan nama bai’ul mahâwij, karena hal tersebut merupakan jual beli
barang yang gha’ib (belum ada) yang perlu dilakukan oleh penjual dan pembeli, di mana
pemilik uang butuh membeli barang, sedangkan pemilik barang butuh memiliki uang
sebelum barang itu ada padanya untuk dipakai buat dirinya dan untuk dibelanjakan buat
tanamannya misalnya agar buahnya dapat matang dengan baik, hal ini termasuk
maslahat hâjiyah (kebutuhan). (Sabiq, 3: 121).
Untuk selanjutnya pembeli disebut musallim atau rabbus salam, penjual disebut
musallam ilaih, barang yang dijual disebut musallam fîh, sedangkan bayaran atau
uangnya disebut ra’su mâlis salam.
2. Dalil Disyariatkannya Jual Beli Salam
Tentang dalil disyariatkannya salam ada dalam Al-Quran, Sunnah, dan Ijma’. Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Saya bersaksi bahwa salaf yang ditanggung
hingga waktu tertentu, telah dihalalkan Allah dalam kitab-Nya dan diizinkan-Nya,”
kemudian ia membaca firman Allah Ta’ala: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila
kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah (2): 282).
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma ia
berkata: “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, penduduk Madinah
menjual buah-buahan dengan pembayaran di muka, sedangkan buah-buahan yang
dijualnya dijanjikan mereka dalam tempo setahun atau dua tahun kemudian. Maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menjual kurma
dengan pembayaran di muka, hendaklah dengan takaran tertentu, timbangan tertentu
dan jangka waktu tertentu.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ibnul Mundzir berkata, “Telah
ijma’ orang yang kami hafal dari kalangan ahli ilmu bahwa salam itu boleh.”
3. Syarat-Syarat Jual Beli Salam
Salam adalah salah satu bentuk jual beli. Oleh karena itu, untuk sahnya berlaku
syarat-syarat jual beli dan ditambah syarat yang akan dijelaskan berikut. Syarat tersebut
ada yang berkaitan dengan ra’sul maal (pembayaran) dan ada yang berkaitan dengan
musallam fiih (barangnya).
4. Syarat yang Berkaitan pada Ra’sul Mâl (bayaran)
a. Diketahui jenis (bayaran)nya.
b. Diketahui jumlahnya
c. Diserahkan dalam majlis secara sempurna.
5. Syarat pada Musallam Fiih (barangnya)
a. Masih dalam tanggungan
b. Disifati dengan sifat yang menghasilkan pengetahuan terhadap ukurannya dan
sifatnya yang membedakan dengan lainnya agar gharar itu hilang dan hilang
perselisihan.
c. Waktunya diketahui.
C. Istishna’
Pengertian dan Hukum Istishna’
Akad Istishna’ ialah akad yang terjalin antara pemesan sebagai pihak 1 dengan
seorang produsen suatu barang atau yang serupa sebagai pihak ke-2, agar pihak ke-2
membuatkan suatu barang sesuai yang diinginkan oleh pihak 1 dengan harga yang
disepakati antara keduanya. (Kementrian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait, 3: 325).
Istishna’ adalah akad yang benar dan disyariatkan, ini adalah pendapat kebanyakan
ulama’ penganut mazhab Hanafi dan kebanyakan ulama’ ahli fiqih zaman sekarang.
Ulama’ mazhab Hanafi berdalilkan dengan beberapa dalil berikut guna menguatkan
pendapatnya:
Dalil pertama: Keumuman dalil yang menghalalkan jual-beli, diantaranya firman
Allah Ta’ala: “Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (QS.
Al-Baqarah (2): 275). Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama’ menyatakan bahwa
hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam
dalil yang kuat lagi shahih alias valid.
Dalil kedua: Nabi Saw. pernah memesan agar dibuatkan cincin dari perak.
Diriwayatkan dari sahabat Anas radhiallahu ‘anhu, pada suatu hari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam hendak menuliskan surat kepada seorang raja non arab, lalu
dikabarkan kepada beliau: Sesungguhnya raja-raja non arab tidak sudi menerima surat
yang tidak distempel, maka beliaupun memesan agar ia dibautkan cincin stempel dari
bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan
kemilau putih di tangan beliau.” (Riwayat Muslim). Perbuatan nabi ini menjadi bukti nyata
bahwa akad istishna’ adalah akad yang dibolehkan.
Dalil ketiga: Sebagian ulama’ menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam
telah bersepakat (ijma’) bahwa akad istishna’ adalah akad yang dibenarkan dan telah
dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulama pun yang
mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya.
Dalil keempat: Para ulama’ di sepanjang masa dan di setiap mazhab fiqih yang
ada di tengah umat Islam telah menggariskan kaedah dalam segala hal selain ibadah:
“Hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan akan
keharamannya.”
Dalil kelima: Logika; banyak dari masyarakat dalam banyak kesempatan
membutuhkan kepada suatu barang yang spesial, dan sesuai dengan bentuk dan kriteria
yang dia inginkan. Dan barang dengan ketentuan demikian itu tidak didapatkan di pasar,
sehingga ia merasa perlu untuk memesannya dari para produsen. Bila akad pemesanan
semacam ini tidak dibolehkan, maka masyarakat akan mengalamai banyak kesusahan.
Dan sudah barang tentu kesusahan semacam ini sepantasnya disingkap dan dicegah
agar tidak mengganggu kelangsungan hidup masyarakat. Alasan ini selaras dengan
salah satu prinsip dasar agama Islam, yaitu taisir (memudahkan): “Sesungguhnya
agama itu mudah.” (HR. Bukhari).
Dalil keenam: Akad istishna’ dapat mendatangkan banyak kemaslahatan dan
keuntungan, dan tidak mengandung unsur riba, atau ketidakjelasan/spekulasi tinggi
(gharar) dan tidak merugikan kedua belah pihak. Bahkan sebaliknya, kedua belah pihak
merasa mendapatkan keuntungan. Dengan demikian setiap hal yang demikian ini
adanya, sudah sepantasnya untuk diizinkan dan tidak dilarang.
Simpulan
Dari pemaparan singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa akad istishna’ ialah
akad tersendiri, dan tidak sama dengan akad salam. Dengan demikian, hukum keduanya
pun berbeda. Dan para ulama’ yang membahas kedua akad ini menyebutkan beberapa
perbedaan. Namun perbedaan yang paling menonjol antara keduanya terletak pada dua
hal berikut ini:
1. Obyek akad keduanya, pada akad salam yang menjadi objek adalah barang
semata, tanpa ada proses pengolahan. Sedangkan objek akad istishna’ ialah barang
dan jasa pengolahan barang secara bersamaan.
2. Waktu pembayaran, pada akad salam, para ulama’ telah sepakat bahwa
pembayaran dilakukan seutuhnya di muka alias tunai. Sedangkan pada akad
istishna’, pembayaran dapat dilakukan di muka dan juga boleh dilakukan dengan
pembayaran terhutang.