Anda di halaman 1dari 12

INSTITUT SAINS AL-QUR’AN SYEIKH IBRAHIM

PASIR PENGARAIAN
Alamat: Jln. Km. 04, Pasir Pengaraian Kompleks Pemda
Rokan Hulu, Riau, Pasir Pengaraian, Riau, Indonesia.

Dosen Pengampu: Ustadzah Surma Hayani M.Pd


Mata Kuliah : Fiqih Ibadah

Jual Beli dalam Islam


Mai Sartika, Nur Kholisah, Reni Ariski

Institut Sains Al-Qur’an Syeikh Ibrahim Pasir Pengaraian


Rokan Hulu Riau
Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Email: alkhanza0110@gmail.com

Abstract
In principle, the law of buying and selling in Islam is halal, this legal principle is based on
the word of God Allah SWT, which means "God justifies buying and selling and forbids usury,
Al Baqarah, 2:275). By making buying and selling legal, it means that religion opens the widest
way for humans towards progress in the development of the world economy.
Added with the rules and explanations of their implementation from the Prophet
Muhammad (Al Hadith or Al Sunnah), then every Muslim trader and buyer is obliged to obey all
these rules when carrying out trading activities. Therefore, the scholars agree on the
permissibility of buying and selling as a matter that has been practiced since the time of the
Prophet SAW until today.

Keyword: Islamic Law, Buying, Selling

Abstrak
Pada prinsipnya hukum jual beli dalam islam adalah halal, prinsip hukum ini berdasarkan
firman Allah SWT yang artinya " Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, Al

1
Baqarah , 2:275). Dengan dihalalkan jual beli berarti agama membukakan jalan seluas luasnya
bagi manusia untuk menuju kearah kemajuan dalam perkembangan dunia perekonomian.
ditambah dengan aturan aturan dan penjelasan pelaksanaannya dari Rasulullah SAW ( Al
Hadits atau Al Sunnah), maka setiap pedagang dan pembeli yang muslim berkewajiban mentaati
seluruh aturan tersebut tatkala melaksanakan aktivitas jual belinya.Maka dari itu para ulama
sepakat mengenai kebolehan jual beli sebagai perkara yang telah dipraktekkan sejak zaman Nabi
SAW hingga masa kini.

Kata Kunci: Hukum Islam, Jual, Beli

Pendahuluan

Kehidupan bermuamalah memberikan gambaran mengenai kebijakan perekonomian.


Banyak dalam kehidupan sehari-hari masyarakat memenuhi kehidupannya dengan cara berbisnis.
Dalam ilmu ekonomi, bisnis adalah suatu organisasi yang menjual barang atau jasa kepada
konsumen atau bisnis lainnya untuk mendapatkan laba.
Suatu akad jual beli di katakan sebagai jual beli yang sah apabila jual beli itu disyariatkan,
memenuhi rukun dan syarat sah yang di tentukan, bukan milik orang lain, tidak tergantung pada
hak khiyar. Sebaliknya jual beli di katan batal apabila salah satu rukun atau seluruh rukunnya
tidak terpenuhi, atau jual beli itu pada dasarnya tidak disyariatkan, seperti jual beli yang di
lakukan anak kecil, orang gila, atau barang yang di jual itu barang-barang yang di haramkan oleh
syara’, seperti bangkai, darah, babi, dan khamar.
Akan tetapi, dewasa ini, masyarakat melakukan transaksi jual beli dengan menghalalkan
segala cara hanya untuk meraup keuntungan yang besar tanpa memperhatikan apakah transaksi
jual beli yang diakukannya sudah sesuai apa yang telah disyariatkan atau tidak.

Pembahasan

A. Pengertian Jual Beli


Secara terminologi fiqih jual beli disebut dengan al-Ba’i yang berarti menjual,
mengganti, dan menukar, sesuatu dengan sesuatu yang lain. lafal al-Ba’i dalam

2
terminologi fiqih terkadang dipakai untuk pengertian lawannya, yaitu lafal al-Syira yang
berarti membeli. Dengan demikian al-Ba’i mengandung arti menjual sekaligus membeli
atau jual beli. Menurut Hanafiah pengertian jual beli (al-ba’i) secara definitif yaitu tukar
menukar harta benda atau sesuatu yang diinginkan dengan sesuatu yang sepadan melalui
cara tertentu yang bermanfaat.1
Adapun menurut Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilahm bahwa jual beli, yaitu
tukar menukar harta dengan harta pula dalam bentuk pemindahan milik dan kepemilikan.
Dan menurut pasal 20 ayat 2 kompilasi hukum ekonomi syariah, ba’i adalah jual beli
antara benda dan benda, atau pertukaran antara benda dengan uang.
Berdasarkan definisi di atas, maka pada intinya jual beli itu adalah tukar-menukar
barang. Hal ini telah dipraktikan oleh masyarakat primitif ketika uang belum digunakan
sebagai alat tukar-menukar barang, yaitu dengan sistem barter yang dalam terminologi
fiqih disebut dengan bai’i al-muqayyadah.

B. Rukun Jual Beli


Rukun jual beli ada tiga, yaitu:
1. Pelaku
yaitu penjual dan pembeli, dan pihak lain yang terkait dengan perjanjian tersebut.
2. Objek
Objek jual beli terdiri atas benda yang berwujud dan benda yang tidak berwujud,
yang bergerak maupun benda yang tidak bergerak, dan yang terdaftar maupun yang
tidak terdaftar.
3. kesepakatan
kesepakatan dapat dilakukan dengan tulisan, lisan dan isyarat, ketiganya mempunyai
makna hukum yang sama. Ada dua bentuk akad, yaitu:
a. akad dengan kata-kata, dinamakan juga dengan ijab qabul, ijab yaitu kata-kata
yang diucapkan terlebih dahulu. Misalnyaa, penjual berkata: “baju ini saya jual
dengan harga 50.000,-. Kabul yaitu kata-kata yang diucapkan kemudian.
Misalnya, pembeli: barang saya terima.

1
DR. Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana), hal. 101.

3
b. Akad dengan perbuatan, dinamakan juga dengan mu’athah. Misalnya, pembeli
memberikan uang seharga 50.000,- kepada penjual, kemudian mengambil barang
yang senilai itu tanpa berucap kata-kata dari kedua belah pihak.2
C. Dasar Hukum Jual Beli
Jual beli telah disahkan oleh Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma. Adapun dalil Al-Qur’an
adalah firman Allah SWT:

‫َا ذ َِّل ْي َن يَأْ ُ ُُك ْو َن ّ ِالربٰوا ََل ي َ ُق ْو ُم ْو َن ِا ذَل َ َمَك ي َ ُق ْو ُم ذ ِاَّل ْي يَتَ َخ ذب ُط ُو ذ‬
ُ ُْ ْ‫الش ْي ٰط ُن ِم َن الْ َم ِ ّ ِّۗس ٰذ ِ َِل ِ ََِّذ ُ ْْ ََللُ ْوٓا ِاه ذ َمل الْ َب ْي ُُ ِم‬
‫اّلل ِّۗ َو َم ْن عَل َد فَ ُلو ٰلۤى َك‬
ِ ّ ٰ ‫اّلل الْ َب ْي َُ َو َح ذر َم ّ ِالربٰوا ِّۗ فَ َم ْن َج ۤل َء ٗه َم ْو ِع َظ ٌة ِ ّم ْن ذ ِرب ّ ٖو فَلنَْتَ ٰى فَ َ َٗل َمل َسلَ َ ِّۗف َو َا ْم ُر ٗهٓ ِا ََل‬ُ ّ ٰ ُ ‫ّ ِالربٰو ۘا َو َا َح ذ‬
ِٕ
‫ْص ُب النذ ِلر ۚ ُ ُْه ِفْيْ َل خ ِ ُِٰل ْو َن‬ ٰ ْ ‫َا‬
Artinya:
Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka
berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba. Barangsiapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia
berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya
(terserah) kepada Allah. Barangsiapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka,
mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah: 275)

Adapun dalil sunnah di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah
Saw, beliau bersabda, “sesungguhnya jual beli itu atas dasar saling ridha.” Ketika ditanya
usaha apa yang paling utama, Beliau menjawab: “usaha seseorang dengan tangannya
sendiri, dan setiap jual beli yang mabrur”. Jual beli yang mabrur setiap jual beli yang
tidak ada dusta dan khianat.
Adapun dalil Ijma’, adalah bahwa ulama sepakat tentang halalnya jual beli dan
haramnya riba, berdasarkan ayat dan hadits di atas.
Dari kandungan ayat Al-Qur’an di atas, para ulama fiqh mengatakan bahwa hukum asal
dari jual beli yaitu mubah (boleh). 3

2
Yusuf Alsubaily, Fiqih perbankan syariah: pengantar fiqih muamalah dan aplikasinya dalam ekonomi
modern, (Jakarta: Darul Ilmi), hal.6.

4
D. Syarat sahnya Jual Beli
Suatu jual beli tidak sah bila tidak terpenuhi dalam suatu akad tujuh syarat, yaitu:
1. Saling rela antara kedua belah pihak.
Kerelaan antara kedua belah pihak untuk melakukan transaksi syarat mutlak
keabsahannya, berdasarkan firman Allah Swt, dalam QS. An-Nisa: 29 bahwa jual beli
haruslah atas dasar kerelaan (suka sama suka).

َ ّ ٰ ‫ٰ ٓ َٰيُّيه َل ذ ِاَّل ْي َن ٰا َمنُ ْوا ََل تَأْ ُ ُُك ْوٓا َا ْم َوالَ ُ ُْك بَيْنَ ُ ُْك ِِلْ َبل ِط ِ ُ ِا ذَل ٓ َا ْن تَ ُك ْو َن ِ َِت َلر ًة َع ْن تَ َر ٍاض ِ ّمنْ ُ ُْك ِّۗ َو ََل تَ ْق ُتلُ ْوٓا َاهْ ُف َس ُ ُْك ِّۗ ِا ذن‬
‫اّلل‬
‫ََك َن ِب ُ ُْك َر ِح ْ ًي‬

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang
berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh
dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu. (QS. An-Nisa: 29)

2. Pelaku Akad
Pelaku akad adalah orang yang dibolehkan melakukan akad, yaitu orang yang telah
balig, berakal dan mengerti. Maka akad yang dilakukan oleh anak yang di bawah
umur, dan orang gila tidak sah kecuali dengan izin walinya, kecuali akad yang
bernilai rendah seperti membeli permen, korek api, dan lain-lain.
3. Harta yang menjadi objek telah dimiliki sebelumnya oleh kedua pihak. Maka, tidak
sah jual beli barang yang belum dimiliki tanpa seizin pemiliknya. Hal ini berdasarkan
hadits Nabi Saw yang diriwayatkan Abu Dawud dan Tirmidzi, sebagai berikut:
“janganlah engkau jual barang yang bukan milikmu”.

3
Prof DR. H. Abdul Rahman Ghazaly, M.A., Drs.H. Ghufron Ihsan, M.A., Drs. Sapiudin Shidiq, M.A., Fiqh
Muamalat, (Jakarta: Kencana), hal.70.

5
4. Objek transaksi adalah barang yang dibolehkan agama.
Maka tidak boleh menjual barang haram seperti khamr, dan narkoba. Hal ini
berdasarkan hadits Nabi Saw, yang diriwayatkan Ahmad, “sesungguhnya Allah bila
mengharamkan suatu barang juga menharamkan nilai jual beli barang tersebut.”
5. Objek transaksi adalah barang yang biasa diserahterimakan.
Maka tidak sah jual beli mobil hilang, barang di angkasa, karena tidak dapat diserah
terimakan. Hal ini berdasrkan hadits Nabi Saw yang diriwayatkan Muslim: “dari Abu
Hurairah r.a bahwa Nabi Muhammad Saw menlarang jual beli Gharar (penipuan).”
6. Objek jual beli diketahui oleh kedua belah pihak saat akad.
Maka tidak sah menjual barang yang tidak jelas. Misalnya pembeli harus melihat
terlebih dahulu barang tersebut dan spesifikasi barang tersebut.
7. Harga harus jelas saat transaksi.
Maka tidak sah jual beli dimana penjual mengatakan, “aku jual motor ini kepadamu
dengan harga yang akan kita sepakati nantinya.”

E. Saksi dalam Jual Beli


Jual beli dianjurkan dihadapan saksi, berdasarkan firman Allah Swt, dalam QS. Al-
Baqarah:282 yang artinya, “dan persaksikanlah apabila kalian berjual beli.”
Demikian ini karena jual beli yang dilakukan dihadapan saksi dapat menghindarkan
terjadinya perselisihan dan menjauhkan diri dari sikap saling menyangkal. Oleh karena
itu, lebih baik dilakukan, khususnya bila barang dagangan tersebut mempunyai nilai yang
sangat penting (mahal). Bila barang dagangan itu nilainya sedikit, maka tidak dianjurkan
mempersaksikannya. 4

F. Khiyar dalam Jual Beli


Dalam jual beli berlaku khiyar. Khiyar menurut pasal 20 ayat 8 kompilasi hukum
ekonomi syariah yaitu hak pilih bagi penjual dan pembeli untuk melanjutkan atau
membatalkan akad jual beli yang dilakukan.5
Khiyar terbagi kepada tiga macam, yaitu:

4
DR. Mardani, Op.cit, hal. 105
5
Ibid

6
1. Khiyar Majlis
Yaitu tempat transaksi, dengan demikian, khiyar majlis berarti hak pelaku transaksi
untuk meneruskan atau membatalkan akad selagi mereka berada dalam tempat
transaksi dan belum berpisah.
2. Khiyar syarat
Yaitu kedua pihak atau salah satunya berhak memberikan persyaratan khiyar dalam
waktu tertentu.
3. Khiyar aib
Yaitu hak pilih untuk meneruskan atau membatalkan akad dikarenkan adanya cacat
pada barang yang mengurangi harganya. Hal ini disyariatkan agar tidak terjadi unsur
menzalimi dan menerapkan prinsip jual beli harus suka sama suka (ridha). Dalam jual
beli via telepon dan internet berlaku khiyar syarat dan khiyar aib.

G. Bentuk-bentuk Ba’I
Dari berbagai tinjauan, Ba’I dapat dibagi menjadi beberapa bentuk. Berikut ini bentuk-
bentuk Ba’i:
1. ditinjau dari sisi objek akad ba’I yang menjadi:
a. tukar-menukar uang dengan barang. Ini bentuk ba’I berdasarkan konotasinya.
Misalnya, “tukar menukar mobil dengan rupiah.
b. Tukar menukar barang dengan barang, disebut juga dengan “muqayadhah
(barter”. Misalnya, tukar menukar buku dengan jam.
c. Tukar menukar uang dengan uang, disebut juga dengan sharf. Misalnya, tukar-
menukar ruapiah dengan real.

2. Ditinjau dari sisi waktu serah terima, ba’I dibagi menjadi empat bentuk:
a. Barang dan uang serah terima dengan tunai. Ini bentuk asal ba’i.
b. Uang dibayar di muka dan barang menyusul pada waktu yang disepakati, ini
dinamakan salam.
c. Barang diterima di muka dan uang menyusul. Disebut dengan ba’I ajal (jual beli
tidak tunai) misalnya jual beli kredit.

7
d. Barang dan uang tidak tunai, disebut ba’I dain bi da’in (jual beli utamg dengan
utang)

3. Ditinjau dari cara menetapkan harga, ba’I dibagi menjadi:


a. Ba’i Musawamah (jual beli dengan cara tawar-menawar), yaitu jual beli dimana
pihak penjual tidak menyebutkan harga pokok barang dan laba.
b. Ba’I al-Wadh’iyyah, yaitu pihak penjual menyebutkan harga pokok barang.
c. Ba’I Tauliyah, yaitu penjual menyebutkan harga poko dan menjualnya dengan
harga tersebut.

H. Berselisih dalam Jual Beli


Penjual dan pembeli dalam melakukan jual beli hendaknya berlaku jujur, berterus
terang, dan mengatakan yang sebenarnya, jangan berdusta, dan bersumpah dusta, sebab
sumpah dan dusta itu menghilangkan keberkahan jual beli. Rasulullah Saw bersabda,
“bersumpah dapat mempercepat lakunya dagangan, tetapi dapat menghilangkan berkah.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Bila antara penjual dan pembeli berselisih pendapat dalam suatu benda yang
diperjualbelikan, maka yang dibenarkan adalah kata-kata yang punya barang bila antara
keduanya tidak ada saksi dan bukti lainnya. Rasulullah Saw bersabda, “bila penjual dan
pembeli berselisih dan antara keduanya tak ada saksi, maka yang dibenarkan adalah yang
punya barang atau dibatalkan.” (HR. Abu Dawud).6
I. Bentuk-bentuk Jual Beli yang dilarang
Jual beli yang dilarang terbagi dua yaitu,
1. Jual beli terlarang karena tidak memenuhi syarat dan rukun. Bentuk jual beli yang
termasuk dalam kategori ini sebagai berikut:
a. Jual beli barang yang zatnya haram, najis, atau tidak boleh diperjualbelikan.
Seperti, babi, berhala, bangkai, dan khamr.
b. Jual beli yang belum jelas
Sesuatu yang bersifat spekulasi atau samar-samar haram untuk diperjualbelikan,
karena dapat merugikan salah satu pihak, baik penjual, maupun pembeli, yang

6
Prof DR. H. Abdul Rahman Ghazaly, M.A., Drs.H. Ghufron Ihsan, M.A., Drs. Sapiudin Shidiq, op.cit, hal. 79

8
dimaksud dengan samar-samar adalah tidak jelas, baik barangnya, harganya,
kadarnya, dan masa pembayarannya.
c. Jual beli bersyarat
Jual beli yang ijab qabulnya diakitkan dengan syarat-syarat tertentu yang tidak
ada kaitannya dengan jual beli atau ada unsur-unsur yang merugikan dan dilarang
oleh agama. Misalnya, ketika terjadi ijab qabul si pembeli berkata: “baik akan
kubeli mobilmu dengan harga sekian dengan syarat anak gadismu harus menjadi
istriku.”
d. Jual beli yang menimbulkan kemudharatan
segala sesuatu yang menimbulkan kemudharatan, kemaksiatan, bahkan,
kemusyrikan dilarang untuk diperjualbelikan, seperti jual beli patung, salib, dan
buku-buku bacaan porno.
e. Jual beli yang dilarang karena dianiaya
Segala bentuk jual beli yang mengakibatkan penganiayaan hukumnya haram,
seperti menjual anak binatang yang masih membutuhkan induknya.

2. Jual beli terlarang karena ada faktor lain yang merugikan pihak-pihak terkait
a. Jual beli orang yang masih dalam tawar-menawar
Apabila ada dua orang yang masih tawar-menawar atas sesuatu barang, maka
terlarang bagi orang lain membeli barang itu, sebelum penawar pertama
diputuskan.
b. Jual beli dengan menghadang dagangan di luar kota/pasar
Maksudnya adalah menguasai barang sebelum sampai ke pasar agar dapat
membelinya dengan harga murah, sehingga ia kemudian menjual di pasar dengan
harga yang juga lebih murah.
c. Membeli barang dengan memborong untuk menimbun, kemudian akan dijual
ketika harga naik karena kelangkaan barang tersebut. Jual beli seperti ini dilarang
karena menyiksa pihak pembeli disebabkan mereka tidak memperoleh barang
keperluannya saat harga masih standar.
d. Jual beli barang rampasan atau curian.

9
Jika si pembeli telah tahu bahwa barang itu adalah barang curian/rampasan, maka
keduanya telah bekerja sama dalam perbuatan dosa. Oleh karena itu jual beli
seperti ini dilarang.

J. Manfaat dan Hikmah Jual beli


1. Manfaat Jual Beli
a. Jual beli dapat menata struktr kehidupan ekonomi masyarakat yang menghargai
hak milik orang lain.
b. Penjual dan pembeli dapat memenuhi kebutuhannya atas dasar kerelaan atau suka
sama suka.
c. Masing-masing pihak merasa puas. Penjual melepas barang dagangannya dengan
ikhlas dan menerima uang. Sedangkan pembeli memberikan uang dan menerima
barang dagangan dengan puas pula.
d. Dapat menjauhkan diri dari memakan atau memiliki barang yang haram (batil).
e. Penjual dan pembeli mendapat rahmat dari Allah Swt.
f. Menumbuhkan ketentraman dan kebahagiaan.

2. Hikmah Jual Beli


Allah Swt mensyariatkan jual beli sebagai pemberian keluangan dan keleluasaan
kepada hamba-hamba-Nya, karena semua manusia secara pribadi mempunyai
kebutuhan berupa sandang, pangan, dan papan. Kebutuhan seperti ini tak pernah
putus selama manusia masih hidup. Tak seorang pun dapat memenuhi hajat hidupnya
sendiri, karena itu manusia dituntut berhubungan satu sama lainnya. Dalam hubungan
ini tak ada satu hal pun yang lebih sempurna daripada saling tukar, di mana
memperoleh sesuatu yang berguna dari orang lain sesuai dengan kebutuhannya
masing-masing

Kesimpulan
bahwa jual beli, yaitu tukar menukar harta dengan harta pula dalam bentuk
pemindahan milik dan kepemilikan. Dan menurut pasal 20 ayat 2 kompilasi hukum

10
ekonomi syariah, ba’i adalah jual beli antara benda dan benda, atau pertukaran antara
benda dengan uang.
Rukun jual beli ada tiga, yaitu:
1. Pelaku
yaitu penjual dan pembeli, dan pihak lain yang terkait dengan perjanjian tersebut.
Objek
2. Objek jual beli terdiri atas benda yang berwujud dan benda yang tidak berwujud,
yang bergerak maupun benda yang tidak bergerak, dan yang terdaftar maupun yang
tidak terdaftar.
3. Kesepakatan
kesepakatan dapat dilakukan dengan tulisan, lisan dan isyarat, ketiganya mempunyai
makna hukum yang sama.
Jual beli telah disahkan oleh Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma. Dan hukum asal jual beli
adalah mubah (boleh). Suatu jual beli tidak sah bila tidak terpenuhi dalam suatu akad
tujuh syarat, yaitu, saling rela antara kedua belah pihak, pelaku akad, Harta yang menjadi
objek telah dimiliki sebelumnya oleh kedua pihak, Objek transaksi adalah barang yang
dibolehkan agama, Objek transaksi adalah barang yang biasa diserahterimakan, Objek
jual beli diketahui oleh kedua belah pihak saat akad, Harga harus jelas saat transaksi.
Jual beli dianjurkan dihadapan saksi, berdasarkan firman Allah Swt, dalam QS. Al-
Baqarah:282 yang artinya, “dan persaksikanlah apabila kalian berjual beli.”
Demikian ini karena jual beli yang dilakukan dihadapan saksi dapat menghindarkan
terjadinya perselisihan dan menjauhkan diri dari sikap saling menyangkal. Oleh karena
itu, lebih baik dilakukan, khususnya bila barang dagangan tersebut mempunyai nilai yang
sangat penting (mahal). Bila barang dagangan itu nilainya sedikit, maka tidak dianjurkan
mempersaksikannya.

Daftar Pustaka
Alsubaily Yusuf, Fiqih perbankan syariah: pengantar fiqih muamalah dan aplikasinya dalam
ekonomi modern, (Jakarta: Darul Ilmi).
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana),
Rahman Ghazaly Abdul, Ihsan Ghufron, Shidiq Sapiudin, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana),

11
12

Anda mungkin juga menyukai