Anda di halaman 1dari 12

ETIKA JUAL BELI DALAM ISLAM

(HUKUM TAWAR MENAWAR DAN PRAKTEK JUAL BELI NAJASY)

A. Pendahuluan

Jual beli (bisnis) dimasyarakat merupakan kegiatan rutinitas yang

dilakukan setiap waktu oleh semua manusia. Tetapi jual beli yang benar

menurut hukum Islam belum tentu semua orang muslim melaksanakannya.

Bahkan ada pula yang tidak tahu sama sekali tentang ketentutan-ketentuan

yang di tetapkan oleh hukum Islam dalam hal jual-beli (bisnis). Jual beli

merupakan transaksi yang dilakukan oleh pihak penjual dan pembeli atas

suatu barang dan jasa yang menjadi objek transaksi jual beli.

Di dalam hukum Islam, jual beli termasuk ke dalam lapangan

hukum perjanjian/perikatan, atau aqd dalam bahasa Arab. Jual beli adalah

kegiatan tukar menukar antara barang dengan uang, antara benda dengan

benda lain, dengan jalan saling merelakan atau memindahkan hak milik

dengan ada penggantinya dengan cara yang diperbolehkan.1

Secara linguistik, jual beli berarti pertukaran sesuatu dengan

sesuatu. Kata al-bai (jual) dan al-syir (beli) dipergunakan biasanya

dalam pengertian yang sama, tetapi mempunyai makna yang bertolak

belakang.2

1
Lih. Nasrun Haroen, fiqh muamalah, (Jakarta : Gaya Media Pratama. 2007), hlm. 7.
2
Pembahasan lebih komprehensif tentang masalah isitilah al-baI dan al-Sirai bisa dilihati di Al-
Zuhaily Wahbah, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Damaskus, 2005), juz 4.

1
Sebagai salah satu bentuk transaksi, dalam jual-beli harus ada

beberapa hal agar akadnya dianggap sah dan mengikat. Beberapa hal tersebut

disebut sebagai rukun. Ulama Hanafiyah menegaskan bahwa rukun jual beli

hanya satu, yaitu ijab.

Menurut mereka hal yang paling prinsip dalam jual beli adalah

saling rela yang diwujudkan dengan kerelaan untuk saling memberikan

barang. Maka jika telah terjadi ijab, di situ jual beli telah dianggap

berlangsung. Tentunya dengan adanya ijab, pasti ditemukan hal-hal yang

tekait dengannya, seperti para pihak yang berakad, objek jua-lbeli dan nilai

tukarnya.3

Dalam perspektif hukum Islam, semua jual beli hukumnya boleh

jika dilakukan oleh kedua belah pihak yang mempunyai kelayakan untuk

melakukan transaksi, kecuali jual beli yang dilarang.4 Selain itu, maka jual

beli boleh hukumnya selama tidak dilarang oleh Allah SWT. Terdapat

beberapa ayat dalam al-Quran yang menjadi dasar hukum jual beli,

diantaranya ada pada Surat Al Baqorah ayat 275.









Artinya. Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli
itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari

3
Suhendi Hendi, Fiqh Muamalah,. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 26.
4
Ibid..

2
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan);
dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang
itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS.2:275)5

Islam dengan dua sumber hukumnya yaitu al Quran dan al Hadits

telah mengatur secara detail seluruh sisi kehidupan umat manusia terkhusus

bagi Umat Muslim termasuk dalam persoalan jual beli. Aturan jual beli dalam

Islam mempunyai aturan secara ketat baik berupa tata cara ataupun etika

dalam transaksi jual beli.

Pengaturan jual beli dalam Islam mempunyai tujuan agar para

pelaku transaksi terhindar dari dampak yang negatif pasca transaksi jual beli

terjadi. Hal yang paling mendasar untuk terjadi jual beli yang sah secara

agama maka etika dalam transaksi jual beli harus benar benar dipatuhi oleh

kedua belah pihak yang melakukan transaksi jual beli.

Diantara etika jual beli dalam Islam yang harus diperhatikan yaitu

adanya larangan dari Nabi SAW tentang menawar barang yang sudah ditawar

orang lain dan jual beli najasyi (seseorang menambah-nambah harga barang

padahal ia tidak ingin membelinya).

Dalam makalah ini akan membahas dua persoalan jual beli diatas

dalam perspektif hukum Islam.

B. Etika Menawar Barang Dalam Islam

5
Departemen Agama RI, al-Quran danTerjemahannya, (Semarang: CV,Toha Putra, 1989), Cet, Ke-1

3
Pada kegiatan jual beli, tawar-menawar harga menjadi sebuah hal

yang biasa dan dibolehkan dalam hukum Islam. Namun, Islam memberikan

rambu rambu dalam menjaga kebaikan dalam transaksi jual beli guna menjaga

keridhaan masing masing pihak yang melakukan transaksi jual beli termasuk

dalam persoalan penawaran dalam jual beli.

Islam memberikan aturan tentang etika menawar yang tidak

menyebabkan adanya pihak yang dirugikan. Diantaranya adalah larangan

menawar barang yang telah ditawar orang lain sebagaimana sabda Nabi SAW:




Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah seorang
muslim menawar harga barang yang telah ditawar (dan disepakati harganya)
oleh muslim lainnya." (HR. Muslim)

Isi Kandungan Hadits:

Persaingan sehat menjadi prioritas utama dalam hadis ini. Hal itu

terlihat dari aturan mengenai penawaran dalam proses jual beli. Dalam

penawaran ada hal yang harus diperhatikan oleh pihak-pihak yang melakukan

transaksi jual beli yaitu:

a. Calon pembeli dilarang menawar barang yang sedang ditawar

oleh seseorang, dengan penawaran yang lebih tinggi.

b. Penjual dilarang menawarkan barang kepada calon pembeli

yang sedang menawar barang pedagang lain, dengan

memberikan penawaran yang lebih rendah atau dengan

4
memberikan penawaran yang sama terhadap barang yang

dinyatakan memiliki kualitas lebih baik.

c. Ada aturan yang sangat jelas untuk melakukan persaingan yang

sehat dengan tidak mengecewakan apabila merugikan orang lain

Persaingan penawaran biasa terjadi dalam transaksi jual beli, minat

pembeli untuk membeli suatu barang yang diminati terkadang terganjal dengan

barang yang sudah ditawar orang lain, dari keterangan hadits diatas adanya larangan

menawar barang antara pepmbeli dan penjual yang sudah sepakat terhadap harga

suatu barang.

Lalu bagaimana hukumnya lelang, bukankah kegiatan lelang adalah

proses jual beli menggunakan sistem tawar menawar dengan harga lebih tinggi.

Di dalam literatur fiqih, lelang dikenal dengan istilah muzayadah

(). Dalam bahasa perdangan hari ini (bahasa Inggris), lelang ini sering disebut

dengan istilah auction.

Hukum lelang dalam pandangan hukum Islam berbeda pendapat antara

ulama, ada yang membolehkan (mayoritas ulama) dan juga ada yang memakruhkan.

Pendapat jumhur ulama (mayoritas ulama ) yang membolehkan berdasarkan pada

riwayat hadits Nabi SAW

5












Dari Anas bin Malik ra bahwa ada seorang lelaki Anshar yang datang menemui Nabi
saw dan dia meminta sesuatu kepada Nabi saw. Nabi saw bertanya
kepadanya,Apakah di rumahmu tidak ada sesuatu? Lelaki itu menjawab,Ada.
Dua potong kain, yang satu dikenakan dan yang lain untuk alas duduk, serta cangkir
untuk meminum air. Nabi saw berkata,Kalau begitu, bawalah kedua barang itu
kepadaku. Lelaki itu datang membawanya. Nabi saw bertanya, Siapa yang mau
membeli barang ini? Salah seorang sahabat beliau menjawab,Saya mau
membelinya dengan harga satu dirham. Nabi saw bertanya lagi,Ada yang mau
membelinya dengan harga lebih mahal? Nabi saw menawarkannya hingga dua atau
tiga kali. Tiba-tiba salah seorang sahabat beliau berkata,Aku mau membelinya
dengan harga dua dirham. Maka Nabi saw memberikan dua barang itu kepadanya
dan beliau mengambil uang dua dirham itu dan memberikannya kepada lelaki
Anshar tersebut (HR Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa`i, dan at-Tirmidzi)6
Hadits ini menjadi dasar hukum dibolehkannya lelang dalam syariah

Islam. Lantaran Nabi SAW sendiri mempraktekkannya. Sehingga tidak ada alasan

untuk mengharamkannya. Kebolehan transaksi lelang ini dikomentari oleh Ibnu

Qudamah sebagai sesuatu yang sudah sampai ke level ijma` (tanpa ada yang

menentang) di kalangan ulama.

Namun ternyata ada juga ulama yang memakruhkan transaksi lelang. Di

antaranya Ibrahim an-Nakha`i. Beliau memakruhkan jual beli lelang, lantaran ada

dalil hadits dari Sufyan bin Wahab bahwa dia berkata,

6
(HR. Ibnu Majah No. 2198, At Tirmidzi No. 1218, Abu Daud No. 1641, Ahmad No. 12134, Ibnul
Jaarud dalam Al Muntaqa No. 569, dan lain-lain, dan ini adalah lafaznya Ibnu Majah)

Aku mendengar Rasulullah saw melarang jual beli lelang. (HR. Al Bazzar No.
1276, Kasyf)

Sedangkan Ibnu Sirin, Al-Hasan Al-Basri, Al-Auza`i, Ishaq bin Rahawaih,

memakruhkannya juga, bila yang dilelang itu bukan rampasan perang atau harta

warisan. Maksudnya, kalau harta rampasan perang atau warisan itu hukumnya boleh.

Sedangkan selain keduanya, hukumnya tidak boleh atau makruh.

Dasarnya adalah hadits berikut ini :




:


Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAw melarang seseorang di antara kalian
membeli sesuatu yang sedang dibeli oleh saudaranya hingga dia meninggalkannya,
kecuali rampasan perang dan waris. (HR. Ahmad No. 5398, Ath Thabarani dalam Al
Awsath No. 8391)

Sayangnya, banyak yang mengkritik bahwa kedua hadits di atas kurang

kuat. Dalam hadits yang pertama terdapat perawi bernama Ibnu Luhaiah dan dia

adalah seorang rawi yang lemah (dha`if). Sedangkan hadits yang kedua, Ibnu Hajar

Al-Asqalani mengatakan hadits itu dhaif.

Untuk itu, menurut jumhur ulama, kesimpulannya masalah lelang ini

dibolehkan, asalkan memang benar-benar seperti yang terjadi di masa Rasulullah

SAW. Artinya, lelang ini tidak bercampur dengan penipuan, atau bercampur dengan

trik-trik yang memang dilarang.

7
Berkaitan hadits dengan adanya larangan menawar barang yang sudah

ditawar oleh orang lain dengan kegiatan lelang maka ada satu pendapat yang bisa kita

jadikan rujukan hukum yaitu Penjelasan seperti ini yang disampaikan an-Nawawi

dalam Raudhatut Thalibin


Barang yang masih ditawarkan untuk pembeli yang berani memberi harga lebih, yang lain
boleh ikut bergabung dan memberikan tambahan harga, meskipun sudah ada yang menawar.
Yang dilarang adalah ketika sudah terjadi ketegasan saling ridha antara penjual dan
pembeli . (Raudhatut Thalibin, 3/415).7

Selain persoalan lelang atau tawar menawar dalam transaksi jual beli, ada

jenis transaksi jual beli lain yang juga dilarang atau haram hukumnya dala hukum

Islam yaitu transaksi jual beli Najsy, yang akan pemakalah bahas dibagian makalah

ini.

C. Jual Beli dengan Sistem Najasy (Provokasi Harga)

Najsy secara bahasa berarti mempengaruhi. Sedangkan menurut

pengertian terminologi, najsy berarti jika seseorang meninggikan harga sebuah

barang, namun tidak bermaksud untuk membelinya, melainkan hanya untuk membuat

orang lain tertarik dengan barang tersebut sehingga dia terjebak di dalamnya, atau

dia memuji komoditas tersebut dengan kelebihan-kelebihan yang sebenarnya tidak

dimiliki komoditas tersebut dengan tujuan untuk promosi belaka.

7
Imam An-Nawawi, Raudhatul Thalibin, Jakarta:Pustaka Azzam: 2007. Hlm.415

8
Menurut pengertian yang lain secara istilah memiliki beberapa

bentuk yaitu :

1) Seseorang menaikkan harga pada saat lelang sedangkan dia tidak berniat untuk

membeli; baik ada kesepakatan sebelumnya antara dia dan pemilik barang atau

perantara, maupun tidak.

2) Penjual menjelaskan kriteria barang yang tidak sesungguhnya.

3) Penjual berkata," harga pokok barang ini sekian," padahal dia berdusta.8

Contoh dari jual beli najsy sebagai berikut: Misalnya, dalam suatu transaksi

atau pelelangan, ada penawaran atas suatu barang dengan herga tertentu, kemudian

ada sesorang yang menaikkan harga tawarnya, padahal ia tidak berniat untuk

membelinya.. Dia hanya ingin menaikkan harganya untuk memancing pengunjung

lainnya dan untuk menipu para pembeli, baik orang ini bekerjasama dengan penjual

ataupun tidak

Secara hukum Islam, praktek jual beli sistem najasy sudah jelas adalah

haram tidak ada perselisihan pendapat antar ulama, karena ada unsur negatif yaitu

persekongkolan jahat untuk menaikan harga barang.9

Adapun dalil hadits nya yaitu:

8
Yusuf Al Subaily, Pengantar Fiqh Muamalat Dan Aplikasinya Dalam Ekonomi Modern, Pasca Sarjana
Universitas Islam Imam Muhammad Saud, Riyadh., hlm 20.
9
Dr. Mustofa Al-Khin & Dr. Mustofa Al-Bughu & Ali Asy-Syarbaji, Kitab Fikah Mazhab Syafie, Jilid 6.

9
Artinya : Dari Ibn Umar, ia berkata," Rasulullah melarang
najsy". (HR. Bukhari- Muslim)10

Hadits lainnya menjelaskan keharaman praktek jual beli najasy.

Sabda beliau (Rasulullah SAW), Janganlah kamu melakukan praktek najasy ,


janganlah seseorang menjual di atas penjualan saudaranya, janganlah ia meminang
di atas pinangan saudaranya dan janganlah seorang wanita meminta (suaminya)
agar menceraikan madunya supaya apa yang ada dalam bejana (madunya) beralih
kepadanya, (HR Bukhari [2140] dan Muslim [1413]).

Secara tuntasnya, najsh ialah bermaksud orang yang sengaja menawarkan

harga barang yang tinggi sedangkan dia tidak berniat membelinya. Tujuannya supaya

orang lain merasakan barangan tersebut bernilai tinggi dan mereka akan membelinya

dengan harga yang lebih mahal.

Dan sesungguhnya Rasullulah S.A.W. telah melarang perbuatan najsh ini

seperti yang terdapat di dalam hadith di atas. Dan ulama sepakat mengatakan jual-beli

ini tidak sah.

D. Penutup

Jual beli memiliki beberapa persyaratan yang harus seluruhnya dipenuhi agar

akad jual belinya menjadi sah. Di antara syarat-syarat tersebut ada yang berkaitan

dengan pihak-pihak yang terlibat, yakni kompetensi dalam melakukan aktivitas. Ada

yang berkaitan dengan barang yang dijual belikan, yakni mengetahui jenis barang

10
Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram, Jual beli, hadits 624

10
jualan dan mengetahui harganya, serta keberadaan barang tersebut yang harus suci,

bermanfaat dan bisa diserah-terimakan, serta merupakan milik si penjual ketika

terjadi akad, kemudian tidak ada pembatasan waktu.

Dari segi hukum Islam, kemashlahatan bagi pihak penjual dan pembeli sangat

diprioritaskan dalam transaksi jual beli, keharaman (tidak sah) suatu transaksi jual

beli apabila ditemukan unsur unsur yang dapat merugikan kedua belah pihak.

Menawar barang yang dijual oleh penjual dan telah terjadi kesepakatan

dengan pembeli sangat dilarang dalam hukum Islam sesuai dengan sabda Nabi SAW

sama seperti hukumnya dengan praktek jual beli dengan menggunakan sistem najasy

(provokasi harga).

DAFTAR PUSTAKA

Al-Zuhaily Wahbah, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Damaskus, 2005

11
Departemen Agama RI, al-Quran danTerjemahannya, (Semarang: CV,Toha
Dr. Mustofa Al-Khin & Dr. Mustofa Al-Bughu & Ali Asy-Syarbaji, Kitab Fikah

Mazhab Syafie.

Imam An-Nawawi, Raudhatul Thalibin, Jakarta:Pustaka Azzam: 2007.

Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram.

Nasrun Haroen, fiqh muamalah, (Jakarta : Gaya Media Pratama. 2007)

Putra, 1989), Cet, Ke-1.

Suhendi Hendi, Fiqh Muamalah,. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997.

Yusuf Al Subaily, Pengantar Fiqh Muamalat Dan Aplikasinya Dalam Ekonomi

Modern, Pasca Sarjana Universitas Islam Imam Muhammad Saud, Riyadh.

12

Anda mungkin juga menyukai