PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa orang lain, yang
mana antara satu sama lainnya saling membutuhkan, saling tolong menolong, saling tukar
menukar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik dengan cara jual beli, sewa
menyewa, pinjam meminjam, atau usaha lainnya yang bersifat individu atau kelompok.
Dalam pergaulan sehari-hari kita sebagai manusia dihadapkan pada suatu
permasalahan keluarga yang mau tidak mau harus dihadapi. Kebutuhan akan selalu ada
selama manusia hidup karena manusia selalu hidup bermasyarakat, saling membutuhkan,
dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Didalam al-Qur’an dan as-Sunnah
dijelaskan sedemikian rupa tentang kehidupan dan tata cara beribadah baik yang
berhubungan dengan Allah SWT maupun yang berhubungan dan bermuamalah dengan
sesama manusia.
Sebagaimana yang kita ketahui, Islam adalah agama yang paling sempurna, agama
keselamatan, yang dari padanya telah sempurna segala ketetuan yang menjadi rambu-
rambu dalam menjalani kehidupan. Bagi yang ingin selamat dunia akhirat maka ia harus
taat pada semua rambu dan tunduk pada segala ketentuan.
Oleh karena itu dalam kehidupan sehari-hari, praktik berislam harus kita laksanakan
dalam berbagai aspek, termasuk dalam urusan pinjam-meminjam (‘ariyah). Sebagaimana
yang kita lihat kondisi zaman semakin lama semakin tidak teratur, antara yang boleh dan
yang dilarang sudah semakin samar, yang halal dan yang haram semakin tipis. Ditambah
lagi dengan manusianya yang menyepelekan dengan hal-hal yang sudah ada aturannya
dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan, seperti
meminjam tanpa izin pemiliknya dan seterusnya. Maka dari itu, kita sebagai muslim yang
taat terhadap ketentuan agama Islam harus memperhatikan hal-hal yang sudah ditetapkan
oleh agama kita dan tidak menyepelekan peraturan-peraturan agama.
Seperti kita ketahui, dalam ketentuan ‘ariyah ada beberapa hal yang harus
diperhatikan diantaranya al-Mu’ir dan al-Musta’ir adalah orang yang berakal dan dapat
bertindak atas nama hukum, tidak diperkenankan orang yang hilang akal melakukan akad
1
‘ariyah, barang yang dipinjam bukan barang yang apabila dimanfaatkan akan habis atau
musnah, seperti makanan dan minuman. Jadi hanya diperbolehkan meminjam barang
yang utuh dan tidak musnah, contohnya buku atau barang lain yang dapat dimanfaatkan
oleh peminjam.
Dan pada Qardh dianggap sah apabila dilakukan terhadap barang-barang yang
diperbolehkan syara’. Selain itu, qardh pun dipandang sah apabila terdapat ijab dan qabul,
seperti pada jual beli dan hibah. Untuk itu dalam makalah ini kami membahas mengenai
‘Ariyah (pinjam meminjam) dan Qardh (utang piutang) sehingga kita dapat memahami
dan menjadikannya sebagai pedoman yang benar untuk melakukan transaksi dalam
muamalah. Muamalah bisa diartikan sebagai aturan Allah SWT yang mengatur manusia
dengan manusia lainnya untuk mendapatkan keperluan-keperluan jasmaniahnya dengan
cara yang disyariatkan oleh Allah dan Rasulnya.
B. Rumusan Masalah
Didalam makalah ini dapat dirumuskan beberapa masalah diataranya adalah sebagai
berikut :
1. Apa pengertian, hukum dasar, syarat dan rukun ‘Ariyah dan Qardh ?
2. Apa macam-macam ‘Ariyah dan Qardh ?
3. Bagaimana aplikasi ‘Ariyah dan Qardh dalam perbankan syariah ?
C. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Mengetahui, memahami, dan mendalami pengertian, huku dasar, syarat dan rukun
‘Ariyah dan Qardh
2. Mengetahui, memahami, dan mendalami macam-macam ‘Ariyah dan Qardh
3. Mengetahui, memahami, dan mendalami aplikasi ‘Ariyah dan Qardh dalam
perbankan syariah
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. ‘Ariyah
1. Pengertian ‘Ariyah
Menurut etimologi, ‘ariyah adalah ( )العاريةdiambil dari kata (َار َ ) َعyang
berarti datang dan pergi. Menurut sebagian pendapat, ‘ariyah berasal dari kata (َ)التَّعَ ُاو ُر
yang sama artinya dengan (ََُاو ُل َاو َالتَّن َُاوب
ُ ( )التّنsaling menukar dan mengganti), yakni
dalam tradisi pinjam meminjam.1 Menurut terminologi syara’ ulama fiqih berbeda
pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain:
a. Menurut ulama Syafi’iyah dan Hambaliyah:
اباحةَالمنفعةَبالَعوض
Artinya: “pembolehan (untuk mengambil) manfaat tanpa mengganti.”2
b. Menurut ulama Hanafiyah:
َتملكَالمنافعَم ّجنا
Artinya: “pemilikan manfaat secara cuma-cuma atau geratis.”3
c. Menurut ulama Malikiyah:
تمليكَمنفعةَمؤقتةَالَبعوض
Artinya: “pemilikan manfat dalam jangka waktu dengan tanp imbalan.”
3
dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah
tertentu barang-barang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak
yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan
keadaan yang sama pula.
2. Tujuan ‘Ariyah
Tujuan adanya ‘ariyah adalah memberikan manfaat suatu barang dari
seseorang kepada orang lain secara cuma-cuma sehingga menjadi sesame manusia
untuk saling tolong menolong dalam hal kebaikan.
ُوا
۟ َّ َ
ٱتق و َٰۚ
ِنَدوُإ َ إ
ٱلع ِ وثمِإ
لى إ
ٱْل ََ۟ ع
نوا َُ
َاو
تع ََ
َ َلو
َِابِق
ٱلعد إُِيٱَّللَ شَد
َّ ن َِّ
”…ٱَّللَ إ
َّ
ۖ
Artinya: “... dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
2) QS. An-Nisa’ : 58
4
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
b. As-Sunnah
Shafwan Ibnu Umayyah meriwayatkan:
ّ
وسلم استعار ّبيّ صلى هللا عميه ّأ
ن الن
ًا
أغصب:منه أدراعا يوم حنين فقال
ُيا محم
بل عارية مضمو نة: د؟ قال
“Bahwasanya Rasulullah SAW pada hari Khaibar pernah meminjam perisai
daripada Shafwan bin Umaiyah, lalu berkata Shafwan kepada beliau: Apakah
perisai ini diambil terus dari padaku, wahai Muhammad? Beliau menjawab:
Tidak, tetapi hanya pinjaman yang dijamin.” (Riwayat Abu Dawud dan
Ahmad)
Rasullah SAW bersabda:
5
kemauan melenyapkannya maka Allah akan melenyapkan hartanya”. (Hadits
riwayat Al-Bukhari).6
Berdasarkan ayat dan hadis diatas para ulam fiqh sepakat mengatakan bahwa
hukum al-‘ariyah adalah mandub (sunah, karena melakukan al-‘ariyah ini
merupakan slah satu bentuk ta’abbud (ketaatan) pada Allah SWT.7
5. Macam-macam ‘Ariyah
a. Ariyah Mutlak
Ariyah mutlak adalah jika seseorang meminjam sesuatu tanpa menjelaskan
apakah dia menggunakannya sendiri atau untuk orang lain ketika akad. Misalnya :
Seseorang meminjamkan tunggangan kepada orang lain tanpa menyebutkan
tempat dan batas waktunya. Juga tanpa menentukan apakah untuk ditunggangi
atau membawa barang.
b. Ariyah Muqayyad
6
Akad pinjam meminjam yang dibatasi waktu dan penggunaannya secara
bersamaan atau salah satunya. Konsekuensinya adalah peminjam harus
memperhatikan batasan itu, kecuali ada kesulitan yang menyebabkan peminjam
tidak dapat mengambil manfaat barang. Dengan demikian, dibolehkan untuk
melanggar batasan tersebut apabila kesulitan untuk memanfaatkannya.
B. Qardh
1. Pengertian Qardh
Qardh secara etimologi merupakan bentuk masdar dari qaradha asy-syai’-
yaqridhuhu, yang berarti dia memutuskanya.
ْ ََالق:صلُهَُفِيَاللُّغَ ِة
.ط ُع ْ َ َوأ،َوقدَتكسر
َ اف ْ ِضَ ِبفَتْح
ِ ََالق ُ القَ ْر
Qardh adalah bentuk masdar yang berarti memutus. Dikatakan qaradhtu asy-syai’a
bil-miqradh, aku memutus sesuatu dengan gunting. Al-Qardh adalah sesuatu yang
diberikan oleh pemilik untuk dibayar.
Adapun qardh secara terminologis adalah memberikan harta kepada orang
yang akan memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya dikemudian hari.10
Menurut Firdaus al qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat
ditagih atau diminta kembali. Dalam literature fikih, qardh dikategorikan dalam aqad
tathawwu’i atau akad saling membantu dan bukan transaksi komersil.11
Menurut ulama Hanafiyah:
ّ َمثْ ِل
ٍَي ِ وص َََي ُردَُّ َعلَىَدَ ْفعِ َ َما ٍل
ٌ صُ ٍَأ ُ ْخ َرى َه َُو َ َعَْقد ٌَ ُم ُخ َ أ َ ْو َ ِب ِع َب،َ ُضاه
َ ارة َ ي ٍ َ ِلتَتَقَا ِ ض َه َُو َ َماَت ُ ْع ِط ْي ِه
ِ َم ْن َ َما ٍل
ّ َم ِثل ُ القَ ْر
ََُّمثْلَ َه
ِ ِِلخ ََر ِليَ ُرد
10 Abdullah bin Muhammad ath-Thayar, dkk, Ensiklopedi Fiqih Muamalah terj. Miftahul Khair, (Yogyakarta:
Maktabah al-Hanif, 2009), Cet. 1, hal. 153.
11 Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), hal. 178.
7
Artinya: “Qaradh adalah harta yang diberikan seseorang dari harta mitsil (yang
memiliki perumpamaan) untuk kemudian dibayar atau dikembalikan. Atau dengan
ungkapan yang lain, qaradh adalah suatu perjanjian yang khusus untuk menyerahkan
harta (mal mitsil) kepada orang lain untuk kemudian dikembalikan persis seperti yang
diterimanya.”12
Sayyid Sabiq memberikan definisi qardh sebagai berikut:
َََّمثْلَ َهَُإِلَ ْي َِهَ ِع ْندََقُد َْرتَِ ِهَ َعلَ ْي ِه ُ ضَ ِل ْل ُم ْقت َِر
َِ ضَ ِليَ ُرد ْ يَيُ ْع ِط ْي ِه
ُ َال ُم ْق ِر ْ ضَه َُو
ْ َال َمالَُالَّ ِذ ُ ْالقَ ْر
Artinya: “Al-qardh adalah harta yang diberikan oleh pemberi hutang (muqrid)
kepada penerima utang (muqtarid) untuk kemudian dikembalikan kepadanya
(muqridh) seperti yang diterimanya, ketika ia telah mampu membayarnya.”13
Hanabilah sebagaimana dikutip oleh ali fikri memberikan definisi qardh sebagai
berikut:
ُ ا َ ْلقَ ْر
َ ضَدَ ْف ُعَ َما ٍلَ ِل َم ْنَيَ ْنت َ ِف ُعَبِ ِه
َو َي ُردَُّبَدَلَه
Artinya: “Qardh adalah memberikan harta kepada orang yang
memanfaatkannya dan kemudian mengembalikan penggantinya.”
Adapun pendapat Syafi’iyahَadalah sebagai berikut:
.ش ْي ِء ْال ُم ْق َرض ْ ضَي
َّ ُطلَ ُقَش َْرعاَبِ َم ْعنَىَال ُ َا َ ْلقَ ْر:َشاَفِ ِعيَّةَُقَالُ ْوا
َّ اَل
Artinya: “Syafi’iyah berpendapat bahwa qaradh dalam istilah syara’ diartikan
dengan sesuatu yang diberikan kepada orang lain (yang pada suatu saat harus
dikembalikan).”
2. Tujuan Qardh
Tujuan akad Qardh adalah : 1) membiayai usaha produktif dari kaum
dhuafa’,2) pinjaman untuk menutup utang kepada rentenir,3) pinjaman untuk biaya
sewa rumah,4) pinjaman untuk memenuhi kebutuhan mendesak karena tertimpa
musibah
12 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 273.
13 Sayid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1977), cet. 3, juz 3, hal 128.
8
َ يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ِإ َذا ت َ َدايَ ْنت ُ ْم بِ َدي ٍْن ِإلَ ٰى أ َ َج ٍل ُم
ۚ ُس ًّمى فَا ْكتُبُوه
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman! Jika kamu bermuamalah tidak
secara tunai sampai waktu tertentu, buatlah secara tertulis...”
2) QS. al-Maidah/5 : 1
ۚ يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا أ َ ْوفُوا بِ ْالعُقُو ِد
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu ...”
b. Hadis-hadis Nabi SAW antara lain :
)َ(رواهَالجماعة...َظ ْل ٌم
ُ َِي ْ طل
ّ َُِال َغن ْ َ َم
Artinya : “Penundaan (pembayaran) yang dilakukan oleh orang yang mampu
adalah suatu kezaliman …” (HR. Jama’ah)
9
b. Qardh (barang yang dipinjamkan). Dengan syarat harta yang diutangkan
merupakan mal misliyat, harta yang dipinjamkan harus milik atau harta yang
berada dibawah kekuasaan pihak yang meminjamkan, harta yang dipinjamkan
harus harta yang bisa dimanfaatkan.
c. Ijab Qabul. Akad Qardh dinyatakan sah dengan adanya ijab qabul berupa lafal
qardh
5. Macam-macam Qardh
Dari macam-macam qardh ini dikelompokkan menjadi tiga komponen, yaitu:
dilihat dari segi subjectnya (pembari hutang), dari segi kuat lemahnya bukti, dan dari
segi waktu pelunasannya :
a. Dilihat dari pihak pemberi hutang menurut ulama’ fiqh hutang dapat dibedakan
atas:
1) Duyun Allah atau hutang kepada Allah ialah hak-hak yang wajib dibayarkan
oleh seseorang karena perintah Allah kepada orang-orang tertentu yang berhak
menerimanya.
2) Duyun al-Ibad atau hutang kepada sesama manusia ada yang dikaitkan dengan
rungguhan (jaminan) tertentu, dan hak orang yang berpiutang itu diambilkan
dari rungguhan tersebut, jika orang yang berutang tidak mampu
membayarnya.
b. Dilihat dari segi kuat atau lemahnya pembuktian keberannya dapat dibedakan
atas:
1) Duyun as-Sihah adalah hutang piutang yang kebenarannya dapat
dibuktikan dengan surat keterangan atau pernyataan tertulis, dan
pengakuan yang jujur dari orang yang berutang, baik ketika dia sedang
dalam keadaan sehat maupun dalam keadaan sakit yang belum terlalu
parah.
2) Duyun al-Marad adalah hutang piutang yang hanya didasarkan atas
pengakuan dari orang yang berutang ketika dia sedang sakit parah yang
beberapa saat kemudinan meninggal, atau pengakuan yang diucapkan
ketika dia akan menjalani hukuman (hukuman mati) dalam tindak pidana
pembunuhan.
Duyun as-sihah ini, karena bukti-bukti keberannya lebih kuat dan
diyakini, harus lebih diutamakan pembayarannya dari pada duyun al-
10
Marad yang hanya didasarkan atas pengakuan sesorang di saat ajalnya
sudah dekat dan tidak pula dikuatkan oleh bukti-bukti lain.
c. Dilihat dari segi waktu pelunasannya dibedakan atas:
1) Duyun al-Halah adalah hutang piutang yang sudah tiba waktu
pelunasannya atau hutang yang sudah jatuh tempo sehingga harus dibayar
dengan segera.
2) Duyun al-Mujjalah adalah hutang piutang yang belum jatuh tempo dan
tidak mesti dibayar dengan segera.
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Ariyah adalah kebolehan mengambil manfaat dari barang-barang yang diberikan oleh
mu’ir kepada musta’ir dengan tanpa adanya ganti atau tambahan atau imbalan (gratis).
Didasarkan pada al-Qur’an dan Hadist. Rukun yang terdapat pada ‘ariyah yakni
mu’ir, musta’ir, adanya obyek yang dipinjamkan, dan shighat. Sedangkan Qardh
adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah yang memerlukan. Didasarkan pada
al-Qur’an, hadist dan ijma’. Rukun yang terdapat dalam qardh diantaranya muqridh,
muqtaridh, qardh, dan shighat.
2. Macam-macam ‘ariyah ada dua yaitu ‘ariyah muqayyadah dan ‘ariyah mutlak.
Sedangkan macam-macam dari qardh ini dikelompokkan menjadi tiga komponen,
yaitu: dilihat dari segi subjectnya (pembari hutang), dari segi kuat lemahnya bukti,
dan dari segi waktu pelunasannya.
3. Aplikasi ‘ariyah paada dasarnya, aplikasi ini berjalan diatas akad al-ashliyah (tanpa
ada paksaan seperti bai’), dan pastinya tanpa bunga. Namun pada kenyataannya,
meski bank tersebut berlabel syariah, namun bank masih belum dapat melaksanakan
‘Ariyah secara murni syariah. Bank syariah masih menggunakan sistem bunga namun
menggunakan istilah yang berbeda. Sedangkan aplikasi qardh yaitu sebagai pinjaman
tunai (cash advance) dari produk kredit syariah, sebagai pinjaman pengusaha kecil
dll.
B. Saran
12
DAFTAR PUSTAKA
Ath-Thayar Abdullah bin Muhammad, dkk. 2009. Ensiklopedi Fiqih Muamalah terj.
Miftahul Khair. Yogyakarta: Maktabah al-Hanif.
Harun Nasrun. 2007. Fiqh Muamalah. Jakarta : Gaya Media Pratama.
Ismail Nawawi. 2012. Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer. Bogor: Ghalia
Indonesia.
Mardani. 2013. Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group.
Muslich Ahmad Wardi. 2010. Fiqh Muamalah. Jakarta: Amzah.
Sabiq Sayid. 1977. Fiqh As-Sunnah. Beirut: Dar Al-Fikr.
Sofwan Sri Soedewi Masychoen. 1974. Hukum Perdata:Hukum Kebendaan.
Yogyakarta: Liberty
Suhendi Hendi. 2005. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Raja grafindo persada.
Syafei Rachmat. 2001. Fiqih Muamalah. Bandung : Pustaka Setia.
13