Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa orang lain, yang
mana antara satu sama lainnya saling membutuhkan, saling tolong menolong, saling tukar
menukar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik dengan cara jual beli, sewa
menyewa, pinjam meminjam, atau usaha lainnya yang bersifat individu atau kelompok.
Dalam pergaulan sehari-hari kita sebagai manusia dihadapkan pada suatu
permasalahan keluarga yang mau tidak mau harus dihadapi. Kebutuhan akan selalu ada
selama manusia hidup karena manusia selalu hidup bermasyarakat, saling membutuhkan,
dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Didalam al-Qur’an dan as-Sunnah
dijelaskan sedemikian rupa tentang kehidupan dan tata cara beribadah baik yang
berhubungan dengan Allah SWT maupun yang berhubungan dan bermuamalah dengan
sesama manusia.
Sebagaimana yang kita ketahui, Islam adalah agama yang paling sempurna, agama
keselamatan, yang dari padanya telah sempurna segala ketetuan yang menjadi rambu-
rambu dalam menjalani kehidupan. Bagi yang ingin selamat dunia akhirat maka ia harus
taat pada semua rambu dan tunduk pada segala ketentuan.
Oleh karena itu dalam kehidupan sehari-hari, praktik berislam harus kita laksanakan
dalam berbagai aspek, termasuk dalam urusan pinjam-meminjam (‘ariyah). Sebagaimana
yang kita lihat kondisi zaman semakin lama semakin tidak teratur, antara yang boleh dan
yang dilarang sudah semakin samar, yang halal dan yang haram semakin tipis. Ditambah
lagi dengan manusianya yang menyepelekan dengan hal-hal yang sudah ada aturannya
dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan, seperti
meminjam tanpa izin pemiliknya dan seterusnya. Maka dari itu, kita sebagai muslim yang
taat terhadap ketentuan agama Islam harus memperhatikan hal-hal yang sudah ditetapkan
oleh agama kita dan tidak menyepelekan peraturan-peraturan agama.
Seperti kita ketahui, dalam ketentuan ‘ariyah ada beberapa hal yang harus
diperhatikan diantaranya al-Mu’ir dan al-Musta’ir adalah orang yang berakal dan dapat
bertindak atas nama hukum, tidak diperkenankan orang yang hilang akal melakukan akad

1
‘ariyah, barang yang dipinjam bukan barang yang apabila dimanfaatkan akan habis atau
musnah, seperti makanan dan minuman. Jadi hanya diperbolehkan meminjam barang
yang utuh dan tidak musnah, contohnya buku atau barang lain yang dapat dimanfaatkan
oleh peminjam.
Dan pada Qardh dianggap sah apabila dilakukan terhadap barang-barang yang
diperbolehkan syara’. Selain itu, qardh pun dipandang sah apabila terdapat ijab dan qabul,
seperti pada jual beli dan hibah. Untuk itu dalam makalah ini kami membahas mengenai
‘Ariyah (pinjam meminjam) dan Qardh (utang piutang) sehingga kita dapat memahami
dan menjadikannya sebagai pedoman yang benar untuk melakukan transaksi dalam
muamalah. Muamalah bisa diartikan sebagai aturan Allah SWT yang mengatur manusia
dengan manusia lainnya untuk mendapatkan keperluan-keperluan jasmaniahnya dengan
cara yang disyariatkan oleh Allah dan Rasulnya.

B. Rumusan Masalah
Didalam makalah ini dapat dirumuskan beberapa masalah diataranya adalah sebagai
berikut :
1. Apa pengertian, hukum dasar, syarat dan rukun ‘Ariyah dan Qardh ?
2. Apa macam-macam ‘Ariyah dan Qardh ?
3. Bagaimana aplikasi ‘Ariyah dan Qardh dalam perbankan syariah ?

C. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Mengetahui, memahami, dan mendalami pengertian, huku dasar, syarat dan rukun
‘Ariyah dan Qardh
2. Mengetahui, memahami, dan mendalami macam-macam ‘Ariyah dan Qardh
3. Mengetahui, memahami, dan mendalami aplikasi ‘Ariyah dan Qardh dalam
perbankan syariah

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. ‘Ariyah
1. Pengertian ‘Ariyah
Menurut etimologi, ‘ariyah adalah (‫ )العارية‬diambil dari kata (َ‫ار‬ َ ‫ ) َع‬yang
berarti datang dan pergi. Menurut sebagian pendapat, ‘ariyah berasal dari kata (َ‫)التَّعَ ُاو ُر‬
yang sama artinya dengan (َُ‫َاو ُل َاو َالتَّن َُاوب‬
ُ ‫( )التّن‬saling menukar dan mengganti), yakni
dalam tradisi pinjam meminjam.1 Menurut terminologi syara’ ulama fiqih berbeda
pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain:
a. Menurut ulama Syafi’iyah dan Hambaliyah:
‫اباحةَالمنفعةَبالَعوض‬
Artinya: “pembolehan (untuk mengambil) manfaat tanpa mengganti.”2
b. Menurut ulama Hanafiyah:
َ‫تملكَالمنافعَم ّجنا‬
Artinya: “pemilikan manfaat secara cuma-cuma atau geratis.”3
c. Menurut ulama Malikiyah:
‫تمليكَمنفعةَمؤقتةَالَبعوض‬
Artinya: “pemilikan manfat dalam jangka waktu dengan tanp imbalan.”

Maka, dapat disimpulkan bahwa Ariyah adalah kebolehan mengambil manfaat


dari barang-barang yang diberikan oleh pemiliknya/pemberi pinjaman (mu’ir) kepada
orang lain yang meminjam/peminjam (musta’ir) dengan tanpa adanya ganti atau
tambahan atau imbalan (gratis).4
Dalam Undang-undang Perdata dikatakan hak kebendaan (zekelijkrect) adalah
hak mutlak atas suatu benda tersebut, yang mana hak tersebut memberikan kekuasaan
langsung pada pemiliknya.5
Dalam ketentuan kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1754 dijumpai
ketentuan yang berbunyi sebagai berikut : “Pinjam-meminjam adalah suatu perjanjian

1 Muhammad Asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Juz II, hal. 263


2 Abd. Ar-Rahman al Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Juz III, hal. 238
3 Ibid, hal. 239
4 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT Raja grafindo persada, 2005), hlm. 91.
5 Sri Soedewi Masychoen Sofwan, Hukum Perdata:Hukum Kebendaan, (Yogyakarta: Liberty,1974), hal. 24

3
dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah
tertentu barang-barang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak
yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan
keadaan yang sama pula.

2. Tujuan ‘Ariyah
Tujuan adanya ‘ariyah adalah memberikan manfaat suatu barang dari
seseorang kepada orang lain secara cuma-cuma sehingga menjadi sesame manusia
untuk saling tolong menolong dalam hal kebaikan.

3. Dasar Hukum ‘Ariyah


Ariyah dianjurkan (mandub) dalam islam, supaya manusia hidup tolong-
menolong serta saling bantu membantu dalam lapangan kebajikan yang didasarkan
pada Al-Qur’an dan Sunah.
a. Al-Qur’an
1) Q.S Al-Maidah/5: 2

‫ُوا‬
۟ َّ َ
‫ٱتق‬ ‫و‬ َٰۚ
ِ‫ن‬َ‫دو‬‫ُإ‬ ‫َ إ‬
‫ٱلع‬ ‫ِ و‬‫ثم‬‫ِإ‬
‫لى إ‬
‫ٱْل‬ ََ‫۟ ع‬
‫نوا‬ َُ
‫َاو‬
‫تع‬ ََ
َ ‫َل‬‫و‬
ِ‫َاب‬‫ِق‬
‫ٱلع‬‫د إ‬ُ‫ِي‬‫ٱَّللَ شَد‬
َّ ‫ن‬ َِّ
‫”…ٱَّللَ إ‬
َّ
ۖ
Artinya: “... dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
2) QS. An-Nisa’ : 58

Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat


kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.

4
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

b. As-Sunnah
Shafwan Ibnu Umayyah meriwayatkan:
ّ
‫وسلم استعار‬ ‫ّبيّ صلى هللا عميه‬ ّ‫أ‬
‫ن الن‬
‫ًا‬
‫ أغصب‬:‫منه أدراعا يوم حنين فقال‬
ُ‫يا محم‬
‫ بل عارية مضمو نة‬: ‫د؟ قال‬
“Bahwasanya Rasulullah SAW pada hari Khaibar pernah meminjam perisai
daripada Shafwan bin Umaiyah, lalu berkata Shafwan kepada beliau: Apakah
perisai ini diambil terus dari padaku, wahai Muhammad? Beliau menjawab:
Tidak, tetapi hanya pinjaman yang dijamin.” (Riwayat Abu Dawud dan
Ahmad)
Rasullah SAW bersabda:

‫وهللا فىي عون العبد ما كا ن العبد في‬


‫عون أخيه‬
“Dan Allah selalu menolong hamba-Nya, selama ia menolong saudaranya”
(shahih: Shahibul Jami’us Shaghir no: 6577)

‫والعا رية مؤداة‬


“Ariyah (barang pinjaman) adalah barang yang wajib dikembalikan.”
(Riwayat Abu Dawud dan at-Turmudzi)

‫ّاس يريد اداءها‬


‫من أخذ اموال الن‬
ّ‫ا‬
‫دى هللا عنه ومن اخذ ير يد إتالفها‬
‫اتلفه هللا‬
)‫(رواه البخاري‬
“Siapa yang meminjam harta seseorang dengan kemauan membayarnya,
maka Allah akan membayarnya, dan barang siapa yang meminjam dengan

5
kemauan melenyapkannya maka Allah akan melenyapkan hartanya”. (Hadits
riwayat Al-Bukhari).6
Berdasarkan ayat dan hadis diatas para ulam fiqh sepakat mengatakan bahwa
hukum al-‘ariyah adalah mandub (sunah, karena melakukan al-‘ariyah ini
merupakan slah satu bentuk ta’abbud (ketaatan) pada Allah SWT.7

4. Rukun dan Syarat ‘Ariyah


a. Adanya mu’ir. Dengan syarat berakal sehat dan mengerti akad, serta mengerti
tujuan dari perbuatan yang dilakukan, baligh, bukan seseorang yang dibawah
pengampuan (curatelle).
b. Adanya musta’ir. Dengan syarat berakal sehat dan mengerti akad, serta mengerti
tujuan dari perbuatan yang dilakukan, baligh, bukan seseorang yang dibawah
pengampuan (curatelle), ia berhak atas barang yang dipinjamkan, dan barang itu
dapat dimanfaatkan dengan baik.
c. Adanya objek yang dipinjamkan. Dengan syarat harta atau benda yang
dipinjamkan berada dibawah kekuasaan mu’ir, objek yang dipinjam haruslah bisa
dimanfaatkan baik berupa materi ataupun tidak.8
d. Shighat (sesuatu yang menunjukkan kebolehan untuk mengambil manfaat, baik
dengan ucapan maupun perbuatan). Dengan syarat harus ada serah terima dari
musta’ir karena akad ‘Ariyah merupakan akad tabarru’ maka akad dinyatakan
tidak sah tanpa adanya serah terima.9

5. Macam-macam ‘Ariyah
a. Ariyah Mutlak
Ariyah mutlak adalah jika seseorang meminjam sesuatu tanpa menjelaskan
apakah dia menggunakannya sendiri atau untuk orang lain ketika akad. Misalnya :
Seseorang meminjamkan tunggangan kepada orang lain tanpa menyebutkan
tempat dan batas waktunya. Juga tanpa menentukan apakah untuk ditunggangi
atau membawa barang.
b. Ariyah Muqayyad

6 Ibid., hlm. 93.


7 Nasrun Harun, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Gaya Media Pratama,2007), hlm. 239
8 Dr. Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2013), Cet. 2,
hlm. 330.
9 Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung : Pustaka Setia, 2001), hal. 141.

6
Akad pinjam meminjam yang dibatasi waktu dan penggunaannya secara
bersamaan atau salah satunya. Konsekuensinya adalah peminjam harus
memperhatikan batasan itu, kecuali ada kesulitan yang menyebabkan peminjam
tidak dapat mengambil manfaat barang. Dengan demikian, dibolehkan untuk
melanggar batasan tersebut apabila kesulitan untuk memanfaatkannya.

6. Aplikasi ‘Ariyah dalam Perbankan Syariah


Aplikasi ‘Ariyah dalam perbankan syariah dinamakan ‘Ariyah atau I’aarah.
Pada dasarnya, aplikasi ini berjalan diatas akad al-ashliyah (tanpa ada paksaan seperti
bai’), dan pastinya tanpa bunga. Namun pada kenyataannya, meski bank tersebut
berlabel syariah, namun bank masih belum dapat melaksanakan ‘Ariyah secara murni
syariah. Bank syariah masih menggunakan sistem bunga namun menggunakan istilah
yang berbeda.

B. Qardh
1. Pengertian Qardh
Qardh secara etimologi merupakan bentuk masdar dari qaradha asy-syai’-
yaqridhuhu, yang berarti dia memutuskanya.

ْ َ‫َالق‬:‫صلُهَُفِيَاللُّغَ ِة‬
.‫ط ُع‬ ْ َ ‫َوأ‬،‫َوقدَتكسر‬
َ ‫اف‬ ْ ِ‫ضَ ِبفَتْح‬
ِ َ‫َالق‬ ُ ‫القَ ْر‬
Qardh adalah bentuk masdar yang berarti memutus. Dikatakan qaradhtu asy-syai’a
bil-miqradh, aku memutus sesuatu dengan gunting. Al-Qardh adalah sesuatu yang
diberikan oleh pemilik untuk dibayar.
Adapun qardh secara terminologis adalah memberikan harta kepada orang
yang akan memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya dikemudian hari.10
Menurut Firdaus al qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat
ditagih atau diminta kembali. Dalam literature fikih, qardh dikategorikan dalam aqad
tathawwu’i atau akad saling membantu dan bukan transaksi komersil.11
Menurut ulama Hanafiyah:

ّ ‫َمثْ ِل‬
ٍَ‫ي‬ ِ ‫وص َََي ُردَُّ َعلَىَدَ ْفعِ َ َما ٍل‬
ٌ ‫ص‬ُ ‫ٍَأ ُ ْخ َرى َه َُو َ َعَْقد ٌَ ُم ُخ‬ َ ‫أ َ ْو َ ِب ِع َب‬،َ ُ‫ضاه‬
َ ‫ارة‬ َ ‫ي ٍ َ ِلتَتَقَا‬ ِ ‫ض َه َُو َ َماَت ُ ْع ِط ْي ِه‬
ِ ‫َم ْن َ َما ٍل‬
ّ ‫َم ِثل‬ ُ ‫القَ ْر‬
ُ‫ََّمثْلَ َه‬
ِ ‫ِِلخ ََر ِليَ ُرد‬

10 Abdullah bin Muhammad ath-Thayar, dkk, Ensiklopedi Fiqih Muamalah terj. Miftahul Khair, (Yogyakarta:
Maktabah al-Hanif, 2009), Cet. 1, hal. 153.
11 Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), hal. 178.

7
Artinya: “Qaradh adalah harta yang diberikan seseorang dari harta mitsil (yang
memiliki perumpamaan) untuk kemudian dibayar atau dikembalikan. Atau dengan
ungkapan yang lain, qaradh adalah suatu perjanjian yang khusus untuk menyerahkan
harta (mal mitsil) kepada orang lain untuk kemudian dikembalikan persis seperti yang
diterimanya.”12
Sayyid Sabiq memberikan definisi qardh sebagai berikut:

َ‫ََّمثْلَ َهَُإِلَ ْي َِهَ ِع ْندََقُد َْرتَِ ِهَ َعلَ ْي ِه‬ ُ ‫ضَ ِل ْل ُم ْقت َِر‬
َِ ‫ضَ ِليَ ُرد‬ ْ ‫يَيُ ْع ِط ْي ِه‬
ُ ‫َال ُم ْق ِر‬ ْ ‫ضَه َُو‬
ْ ‫َال َمالَُالَّ ِذ‬ ُ ‫ْالقَ ْر‬
Artinya: “Al-qardh adalah harta yang diberikan oleh pemberi hutang (muqrid)
kepada penerima utang (muqtarid) untuk kemudian dikembalikan kepadanya
(muqridh) seperti yang diterimanya, ketika ia telah mampu membayarnya.”13
Hanabilah sebagaimana dikutip oleh ali fikri memberikan definisi qardh sebagai
berikut:
ُ ‫ا َ ْلقَ ْر‬
َ ‫ضَدَ ْف ُعَ َما ٍلَ ِل َم ْنَيَ ْنت َ ِف ُعَبِ ِه‬
‫َو َي ُردَُّبَدَلَه‬
Artinya: “Qardh adalah memberikan harta kepada orang yang
memanfaatkannya dan kemudian mengembalikan penggantinya.”
Adapun pendapat Syafi’iyahَadalah sebagai berikut:
.‫ش ْي ِء ْال ُم ْق َرض‬ ْ ‫ضَي‬
َّ ‫ُطلَ ُقَش َْرعاَبِ َم ْعنَىَال‬ ُ ‫َا َ ْلقَ ْر‬:َ‫شاَفِ ِعيَّةَُقَالُ ْوا‬
َّ ‫اَل‬
Artinya: “Syafi’iyah berpendapat bahwa qaradh dalam istilah syara’ diartikan
dengan sesuatu yang diberikan kepada orang lain (yang pada suatu saat harus
dikembalikan).”

2. Tujuan Qardh
Tujuan akad Qardh adalah : 1) membiayai usaha produktif dari kaum
dhuafa’,2) pinjaman untuk menutup utang kepada rentenir,3) pinjaman untuk biaya
sewa rumah,4) pinjaman untuk memenuhi kebutuhan mendesak karena tertimpa
musibah

3. Dasar Hukum Qardh


Dasar disyariatkannya Qardh adalah al-Qur’an, Hadist, dan Ijma’.
a. Firman Allah SWT antara lain :
1) QS. al-Baqarah/2 : 282

12 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 273.
13 Sayid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1977), cet. 3, juz 3, hal 128.

8
َ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ِإ َذا ت َ َدايَ ْنت ُ ْم بِ َدي ٍْن ِإلَ ٰى أ َ َج ٍل ُم‬
ۚ ُ‫س ًّمى فَا ْكتُبُوه‬
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman! Jika kamu bermuamalah tidak
secara tunai sampai waktu tertentu, buatlah secara tertulis...”
2) QS. al-Maidah/5 : 1
ۚ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا أ َ ْوفُوا بِ ْالعُقُو ِد‬
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu ...”
b. Hadis-hadis Nabi SAW antara lain :

)‫َ(رواهَالجماعة‬...َ‫ظ ْل ٌم‬
ُ َِ‫ي‬ ْ ‫طل‬
ّ ِ‫َُال َغن‬ ْ ‫َ َم‬
Artinya : “Penundaan (pembayaran) yang dilakukan oleh orang yang mampu
adalah suatu kezaliman …” (HR. Jama’ah)

)‫ضاءَ(رواهََالبخاري‬ َ ‫نَ َخي َْر ُك ْمَأَ ْح‬


َ َ‫سنُ ُك ْمَق‬ ََّ ‫ِإ‬
Artinya : “Orang yang terbaik diantara kamu adalah orang yang paling baik dalam
pembayaran utangnya.”
c. Kaidah Fiqh :

ِ ‫ضَ َج َّرَ َم ْنفَ َعةَفَ ُه َو‬


‫َر َبا‬ ْ ‫ُك ُّل‬
ٍ ‫َقر‬
“Setiap utang piutang yang mendatangkan manfaat (bagi yang berpiutang,
muqridh) adalah riba”.
Kaum muslimin sepakat bahwa qarad dibolehkan dalam islam. Hukum qarad
adalah dianjurkan (mandhub) bagi muqrid dan mubah bagi muqtarid, berdasarkan
hadits diatas.

4. Rukun dan Syarat Qardh


Adapun yang menjadi rukun qardh adalah:
a. Muqridh (yang memberikan pinjaman).
b. Muqtaridh (peminjam).
c. Qardh (barang yang dipinjamkan)
d. Ijab qabul
Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam akad qardh adalah :
a. Dua pihak yang berakad, yaitu muqridh dan muqtaridh disyaratkan baligh, berakal
cerdas, merdeka, dan cakap bertindak. Tidak sah tidak sah akad orang yang tidak
cakap bertindak, seperti orang gila, orang yang dibawah pengampuan (mahjur)
karna boros atau lainnya.

9
b. Qardh (barang yang dipinjamkan). Dengan syarat harta yang diutangkan
merupakan mal misliyat, harta yang dipinjamkan harus milik atau harta yang
berada dibawah kekuasaan pihak yang meminjamkan, harta yang dipinjamkan
harus harta yang bisa dimanfaatkan.
c. Ijab Qabul. Akad Qardh dinyatakan sah dengan adanya ijab qabul berupa lafal
qardh

5. Macam-macam Qardh
Dari macam-macam qardh ini dikelompokkan menjadi tiga komponen, yaitu:
dilihat dari segi subjectnya (pembari hutang), dari segi kuat lemahnya bukti, dan dari
segi waktu pelunasannya :
a. Dilihat dari pihak pemberi hutang menurut ulama’ fiqh hutang dapat dibedakan
atas:
1) Duyun Allah atau hutang kepada Allah ialah hak-hak yang wajib dibayarkan
oleh seseorang karena perintah Allah kepada orang-orang tertentu yang berhak
menerimanya.
2) Duyun al-Ibad atau hutang kepada sesama manusia ada yang dikaitkan dengan
rungguhan (jaminan) tertentu, dan hak orang yang berpiutang itu diambilkan
dari rungguhan tersebut, jika orang yang berutang tidak mampu
membayarnya.
b. Dilihat dari segi kuat atau lemahnya pembuktian keberannya dapat dibedakan
atas:
1) Duyun as-Sihah adalah hutang piutang yang kebenarannya dapat
dibuktikan dengan surat keterangan atau pernyataan tertulis, dan
pengakuan yang jujur dari orang yang berutang, baik ketika dia sedang
dalam keadaan sehat maupun dalam keadaan sakit yang belum terlalu
parah.
2) Duyun al-Marad adalah hutang piutang yang hanya didasarkan atas
pengakuan dari orang yang berutang ketika dia sedang sakit parah yang
beberapa saat kemudinan meninggal, atau pengakuan yang diucapkan
ketika dia akan menjalani hukuman (hukuman mati) dalam tindak pidana
pembunuhan.
Duyun as-sihah ini, karena bukti-bukti keberannya lebih kuat dan
diyakini, harus lebih diutamakan pembayarannya dari pada duyun al-
10
Marad yang hanya didasarkan atas pengakuan sesorang di saat ajalnya
sudah dekat dan tidak pula dikuatkan oleh bukti-bukti lain.
c. Dilihat dari segi waktu pelunasannya dibedakan atas:
1) Duyun al-Halah adalah hutang piutang yang sudah tiba waktu
pelunasannya atau hutang yang sudah jatuh tempo sehingga harus dibayar
dengan segera.
2) Duyun al-Mujjalah adalah hutang piutang yang belum jatuh tempo dan
tidak mesti dibayar dengan segera.

6. Aplikasi Qardh dalam Perbankan Syariah


Akad al-Qardh biasanya diterapkan sebagai berikut:
a. Sebagai pinjaman talang haji, dimana nasabah calon haji diberikan pinjaman
talangan untuk memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan haji. Nasabah akan
melunasinya sebelum keberangkatannya ke haji.
b. Sebagai pinjaman tunai (cash advance) dari produk kredit syariah, dimana
nasabah diberi keleluasaan untuk menarik uang tunai milik bank melalui ATM.
Nasabah akan mengembalikannya sesuai waktu yang ditentukan
c. Sebagai pinjaman bagi pengusaha kecil, di mana menurut perhitungan bank akan
memberatkan si pengusaha bila diberikan pembiayaan skema jual beli, ijarah atau
bagi hasil.
d. Sebagai pinjaman kepada pengurus bank, dimana bank menyediakan fasilitas ini
untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus bank. Pengurus bank akan
mengembalikan dana pinjaman itu secara cicilan melalui pemotongan gajinya.
e. Bank syariah disamping memberikan pinjaman qardh, juga dapat menyalurkan
pinjaman dalam bentuk qardhul hasan. Qardhul hasan adalah pinjaman tanpa
imbalan yang memungkinkan peminjam untuk menggunakan dana tersebut selama
jangka waktu tertentu dan mengembalikan dalam jumlah yang sama pada akhir
periode yang disepakati. Jika peminjam mengalami kerugian bukan karena
kelalaianya maka kerugian tersebut dapat mengurangi jumlah pinjaman.
Pelaporan qardhul hasan disajikan tersendiri dalam laporan sumber dan
penggunaan dana qardhul hasan karena dana tersebut bukan aset bank yang
bersangkutan.

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Ariyah adalah kebolehan mengambil manfaat dari barang-barang yang diberikan oleh
mu’ir kepada musta’ir dengan tanpa adanya ganti atau tambahan atau imbalan (gratis).
Didasarkan pada al-Qur’an dan Hadist. Rukun yang terdapat pada ‘ariyah yakni
mu’ir, musta’ir, adanya obyek yang dipinjamkan, dan shighat. Sedangkan Qardh
adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah yang memerlukan. Didasarkan pada
al-Qur’an, hadist dan ijma’. Rukun yang terdapat dalam qardh diantaranya muqridh,
muqtaridh, qardh, dan shighat.
2. Macam-macam ‘ariyah ada dua yaitu ‘ariyah muqayyadah dan ‘ariyah mutlak.
Sedangkan macam-macam dari qardh ini dikelompokkan menjadi tiga komponen,
yaitu: dilihat dari segi subjectnya (pembari hutang), dari segi kuat lemahnya bukti,
dan dari segi waktu pelunasannya.
3. Aplikasi ‘ariyah paada dasarnya, aplikasi ini berjalan diatas akad al-ashliyah (tanpa
ada paksaan seperti bai’), dan pastinya tanpa bunga. Namun pada kenyataannya,
meski bank tersebut berlabel syariah, namun bank masih belum dapat melaksanakan
‘Ariyah secara murni syariah. Bank syariah masih menggunakan sistem bunga namun
menggunakan istilah yang berbeda. Sedangkan aplikasi qardh yaitu sebagai pinjaman
tunai (cash advance) dari produk kredit syariah, sebagai pinjaman pengusaha kecil
dll.

B. Saran

Demikianlah uaraian kami tentang pengertian, dasar hukum, macam-macam, syarat


dan rukun, serta aplikasi ariyah dan qardh dalam perbankan syariah. Kami sadari
bahwasannya makalah kami banyak kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Untuk itu
kami harapkan kritik dan saran yang membangun dari dosen dan teman-teman sebagai
bahan renungan dan alat untuk intropeksi diri agar menjadi lebih baik lagi.

12
DAFTAR PUSTAKA

Ath-Thayar Abdullah bin Muhammad, dkk. 2009. Ensiklopedi Fiqih Muamalah terj.
Miftahul Khair. Yogyakarta: Maktabah al-Hanif.
Harun Nasrun. 2007. Fiqh Muamalah. Jakarta : Gaya Media Pratama.
Ismail Nawawi. 2012. Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer. Bogor: Ghalia
Indonesia.
Mardani. 2013. Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group.
Muslich Ahmad Wardi. 2010. Fiqh Muamalah. Jakarta: Amzah.
Sabiq Sayid. 1977. Fiqh As-Sunnah. Beirut: Dar Al-Fikr.
Sofwan Sri Soedewi Masychoen. 1974. Hukum Perdata:Hukum Kebendaan.
Yogyakarta: Liberty
Suhendi Hendi. 2005. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Raja grafindo persada.
Syafei Rachmat. 2001. Fiqih Muamalah. Bandung : Pustaka Setia.

13

Anda mungkin juga menyukai