Fikih Muamalat (FM) terdiri dari dua kata yaitu, fikih dan muamalah.
Fikih merupakan bentuk kata benda dari kata faqaha yang berarti mendalami sesuatu. Faqaha
merupakan bentuk kata kerja yang menuntut kesungguhan seseorang dalam memahami dan
mendalami sesuatu.
Sementara kata muamalah berasal dari kata ‘âmala yang berarti berurusan (dagang), bergaul
dengannya. Dalam muâmalah ini harus ada interaksi antara dua pihak. Untuk itu, setiap interaksi
antara dua pihak disebut sebagai muamalah. Muâmalat juga diartikan sebagai hukum syar’i yang
mengatur hubungan kepentingan individu dengan lainnya.
Dengan demikian Fikih Muamalah adalah ilmu yang mempelajari hukum-hukum syari’ah yang
terkait dengan hubungan antarmanusia dari dalilnya yang terperinci. Fikih Muamalah menurut Idris
Ahmad adalah aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam usahanya
untuk mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya dengan cara yang paling baik.
RUANG LINGKUP FIQIH MUAMALAH
Ruang lingkup fikih muamalah dibagi menjadi dua. Pertama, ruang lingkup al-Muamalah al-
Adabiyah dan al-Muamalah al-Maliyah.
1. AlAdabiyah adalah pembahasan-pembahasan yang mengenai aspek moral seperti ridha,
tidak terpaksa, transparan, jujur, bebas dari unsur gharar menjauhi sifat-sifat seperti
tadlîs (tidak transparan), gharar (tipuan), risywah (sogok), ikhtikâr (penimbunan).
2. Al-Muamalah al-Maliyah pembaha-sannya meliputi bentukbentuk perikatan (akad)
tertentu seperti jual beli (al-ba’i), gadai (al-rahn), sewa menyewa (al-ijârah), pesanan (al-
istishnâ’), jasa tanggungan (alkafâlah), pengalihan utang (al-hiwâlah), pemberian kuasa
(al-wakâlah), perdamain (al-sulh), kerjasama (al-syirkah), bagi hasil (al-mudhârabah),
pemberian (al-hibah), bagi hasil pertanian (al-muzâra’ah), bagi hasil dalam pengairan
(al-musâqah), titipan (al-wadî’ah), pinjaman (al-qardh) dan lain sebagainya.
PRINSIP DASAR FIQIH MUA’MALAH
Prinsip mendasar dari muamalah adalah manusia diciptakan sebagai khalifah di bumi untuk
mengembangkan dan melestarikan bumi. Bumi ditundukkan untuk diambil manfaatnya oleh
manusia. Firman Allah dalam surat al-An’âm ayat 165:
ِ َ ي ما َو ُ ْكم ف ُ َ ْبل َ َر َج ٍ ات ِ لی َ ْع ٍض د َ ْو َق ب َ ْع َض ُ ْكم ف َ َع ب و َرف َ ْر ِض َ ِ َف ْ األ َ ُ ْكم َ َخالئ َل َّ ِذ َي جع
َوإ. “ ِ اب َو ُھَو ال ْ ِعق َّ َك َ ِسر ُ یع ال ِ َّن َ رب َ ُ ا ْكم إ ُ ٌور َ ر ِحیم َء ٌ ات َ َغف َّھُ ل ِن
Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan
sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa
yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya, dan
sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
KONSEP JUAL BELI DALAM FIQIH
MU’AMALAH
1.pengertian
jual beli adalah menukar suatu barang dengan barang yang lain dengan cara yang
tertentu (akad).
Jual beli secara bahasa adalah bermakna memberikan suatu barang untuk ditukar
dengan barang lain (barter). Jual beli menurut syara’ bermakna pertukaran harta
dengan harta untuk keperluan tasharruf/pengelolaan yang disertai dengan lafadh
ijab dan qabul menurut tata aturan yang diidzinkan (sah).
2. Rukun jual beli
syaratnya
syaratnya
1. berakal
1. suci
2. dengan kehendak
2. ada manfaatnya
sendiri
3. barang itu dapat diserahkan
3. tidak mubadzir
4. barang itu kepunyaan
4. baligh
penjual
5. barang diketahui oleh
penjual dan pembeli
JUAL BELI SAH NAMUN DILARANG
membeli barang dengan harga yang lebih mahal dari pada harga
pasar
membeli barang yang sudah dibeli orang lain dalam masa khiyar
Salam memiliki sinonim makna dengan kata salaf. contoh memberikan atau menyerahkan
pakaian untuk dijahit. Dikatakan salam karena orang yang memesan menyerahkan harta
pokoknya dalam majelis. Dikatakan salam karena ia menyerahkan uangnya terlebih dahulu
sebelum menerima barang dagangannya. Salam termasuk kategori jual beli yang sah jika
memenuhi persyaratan keabsahan jual beli pada umumnya.
Selain pengertian di atas, terdapat beberapa pendapat lagi tentang pengertian salam,
diantaranya yang dikutip oleh Ismail Nawawi dari pendapat Zuhaily mengatakan bahwa
jual beli sistem pesanan (bai’ al-salam ) adalah transaksi jual beli barang pesanan diantara
pembeli (muslam) dengan penjual (muslam ilaih). Imam Nawai juga mengutip pendapat
dari Al-Jazairi yakni mengemukakan bahwa jual beli dengan sistem inden (salam) ialah
jual beli sesuatu dengan ciri-ciri tertentu yang akan diserahkan pada waktu tertentu.
LANDASAN HUKUM JUAL BELI SALAM
khiyaar meminta memilih yang terbaik dari dua perkara, yaitu meneruskan jual
beli atau membatalkannya. Kemudian definisi dari dari Sayid Sabiq mengatakan
bahwa khiyar adalah menuntut yang terbaik dari dua perkara, berupa meneruskan
(akad jual beli) atau membatalkannya. Definisi yang ketiga dikutip dari Wahbah
Zuhaili yakni arti khiyar adalah suatu akad di mana para pihak memiliki hak
untuk memilih antara melanjutkan akad dan tidak melanjutkannya dengan cara
membatalkannya apabila khiyar-nya itu khiyar syarat, ru’yah atau ‘aib; atau
memilih salah satu di antara dua barang apabila khiyar-nya khiyar ta’yin.
DASAR HUKUM KHIYAR
Terdapat pula hadist yang diriwayatkan Imam Bukhori dari Ish}aq bin Mans}ur: َ ح
ا ُق َ َّدثَِني ْح َ إ ا ِس ن َ َر ْبـ َّا ُن َأخ ب َ ُ ح ْن ٍَالل ب َ ه ا ِ ُ َ َّدثـَن َ ح ة ب ْ اَل ُشع َ ُ ق َة اد َ َت ِني قـ َ َر ْبـ ْ َأخ ِ ع ٍح َن ال
ص َِأبي َ ي ِل ِ ل َ ْ ا ْلخ َن ِ ع ْد ب َ ِ ع ْ الل ِن َّه اِر ِث ب َ ا ْلح اَل َ ْ ُت ق ِع َ َسم يم ِ َك َ ح ْن ٍ ب ام َ ِز َ ح ِضي َ ُ ر ُ هَّللا ْه ن
َ ْ ع َن ِّ ع َّل ال ِنَّبي ى َ ص ُ ِ هَّللا ه ْ َي ل َ َ ع لَّم َ َاَل َس ِ و ق ان َ ِّع يـ َ ْبـ اِر ال َ ي ِ ا ْلخ َ ب ا ِ ا ْ م َ َ َلم َّرق َف تـ َ ِ يـ َإ َا ْن ف
َق ا َد َ ـن َّ َ ص ي بـ َ ب ا ُ و ِو َرك َ م ُ ا ِفي َله َ ِهم ع ْ ي َ ِ ْن بـ إ َ و ا َ ا َك َذب َ َم َكت َ َ ْت و َكة ُمح ُ ِق َ ر َ بـ ا َ ِهم ع ْ ي َ بـ
Telah menceritakan kepada kami Ishaq telah mengabarkan kepada kami Habban bin Hilal
telah menceritakan kepada kami Syu'bah berkata, Qatadah mengabarkan kepadaku dari Shalih
Abu Al Khalil dari 'Abdullah bin Al Harits berkata, aku mendengar Hakim bin Hizam
radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Dua orang yang melakukan
jual beli boleh melakukan khiyar (pilihan untuk melangsungkan atau membatalkan jual beli)
selama keduanya belum berpisah", Atau sabda Beliau: "hingga keduanya berpisah. Jika
keduanya jujur dan menampakkan cacat dagangannya maka keduanya diberkahi dalam jual
belinya dan bila menyembunyikan cacatnya dan berdusta maka akan dimusnahkan keberkahan
jual belinya"
MACAM MACAM KHIYAR
• Khiyar al-majlis
Yang dimaksud dengan khiyar al-majlis yaitu hak pilih bagi kedua belah pihak yang berakad untuk
membatalkan akad, selama keduanya masih berada dalam majelis akad (di ruangan took) dan belum berpisah
badan.
• Khiyar al-ta’yin
Maksud dari khiyar al-ta’yin yaitu hak pilih bagi pembeli dalam menentukan barang yang berbeda kualitas
dalam jual beli. Contoh adalah dalam pembelian keramik, misalnya ada yang berkualitas super dan kualitas
sedang.
• Khiyar ash-sharth
Maksud dari khiyar ash-sharth adalah hak pilih yang ditetapkan bagi salah satu pihak yang berakad atau
keduanya atau bagi orang lain untuk meneruskan atau membatalkan jual beli, selama masih dalam tenggang
waktu yang ditentukan. Misalnya, pembeli mengatakan “saya beli barang ini dari engkau dengan syarat saya
berhak memilih antara meneruskan atau membatalkan akad selama satu minggu
LANJUTAN MACAM MACAM KHIIYAR
• Khiyar al-‘aib
Maksud dari khiyar al-‘aib yaitu hak untuk membatalkan atau melangsungkan jual beli
bagi kedua belah pihak yang berakad, apabila terdapat suatu cacat pada obyek yang
diperjualbelikan dan cacat itu tidak diketahui pemiliknya ketika akad berlangsung.
Misalnya, seseoang membeli telur ayam satu kilogram, kemudian satu butir di
antaranya sudah busuk atau ketika telur dipecahkan sudah menjadi anak ayam.
• Khiyar al-ru’yah
Khiyar al-ru’yah yaitu hak pilih bagi pembeli untuk menyatakan berlaku atau batal
jual beli yang ia lakukan terhadap suatu obyek yang belum ia lihat ketika akad
berlangsung.
4. RIBA
Kata riba berasal dari bahasa Arab, secara etimologis berarti tambahan (al-
ziyâdah), ber-kembang (al-numuw), membesar (al-'uluw) dan meningkat (al-
irtifâ’).
Riba adalah tiap tambahan sebagai imbalan dari masa tertentu, baik pinjaman itu
untuk konsumsi atau eksploitasi, artinya baik pinjaman itu untuk mendapatkan
sejumlah uang guna keperluan pribadinya, tanpa tujuan untuk
mempertimbangkannya dengan mengeksploitasinya atau pinjaman itu untuk di
kembangkan dengan meng-eksploitasikan, karena nash itu bersifat umum.
MACAM MACAM RIBA
a. Riba akibat hutang-piutang disebut riba qard atau nasiah yaitu suatu manfaat
atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang
(muqtarid), dan riba jahiliyah, yaitu hutang yang di bayar dari pokoknya, karena si
peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan. Firman
Allah menyatakan: “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS.
Al-Baqarah ayat 275).
b. Riba akibat jual-beli disebut riba fadl yaitu pertukaran antar barang sejenis
dengan kadar atau takara yang berbeda dan barang yang dipertukarkan termasuk
dalam jenis barang ribawi.
KERJA SAMA (SYIRKAH)
Syirkah secara bahasa adalah masdar dari شــاركyaitu - شــارك – شـــــارك – شــركا
شــركةyang berarti penyatuan dua dimensi atau lebih menjadi satu
kesatuan. Kata ini juga berarti bagian yang bersyarikat. Syirkah menurut
bahasa berarti Al-Ikhtilath atau khalatha ahada minal malaini yang artinya
adalah campur atau percampuran dua harta menjadi satu.
1. Syirkah Milk (Hak Milik) adalah “ibarat dua orang atau lebih memilikkan suatu benda kepada yang lain tanpa ada
akad syirkah”. Syirkah ini dibagi menjadi dua macam yaitu :
o syirkah milk jabar (berkumpulnya dua orang atau lebih dalam pemilikan suatu benda secara paksa) dan
o syirkah milk ikhtiyar (berkumpul dua orang atau lebih dalam pemilikan benda dengan ikhtiyar keduanya).
2. Syirkah Uqud (Transaksional) adalah kerjasama antara dua orang yang bersekutu atau lebih dalam modal dan
keuntungan. Mayoritas ulama membagi syirkah uqud menjadi empat bagian yaitu :
o Syirkah ‘Inan ialah mengeluarkan semua harta untuk digabung menjadi satu, kemudian dikelola secara bersama-
sama dan hasilnya dibagi dua sebagaimana kadar harta yang dikeluarkan.
o Syirkah wujuh ialah kerjasama antar tiga pihak yang mana pihak kedua dan ketiga tidak mengeluarkan modal, dan
hasilnya dibagi bersama.
MACAM-MACAM SYIRKAH
o Syirkah Mufawadhah ialah kerjasama dua orang atau lebih untuk melakukan usaha dengan persyaratan sebagai
berikut.
o Syirkah Abdan ialah kerjasama dua orang atau lebih untuk menerima kerja yang akan dikerjakan secara
bersama-sama dan hasilnya dibagi bersama, seperti pemborong bangunan. Instalasi listrik, atau pekerjaan
diantara dua penjahit.
MENGAKHIRI SYIRKAH
• b. Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk bertasharruf (keahlian mengelola harta), baik karena gila maupun yang
lainnya.
• c. Salah satu pihak meninggal dunia, tetapi apabila anggota syirkah lebih dari dua orang, yang batal hanyalah yang meninggal
dunia saja.
• d. Salah satu pihak ditaruh dibawah pengampuan, baik karena boros yang terjadi pada waktu perjanjian syirkah tengah
berjalan maupun sebab yang lainnya.
• e. Salah satu pihak jatuh bangkrut yang berakibat tidtidak berkuasa atas harta yang menjadi saham syirkah.
• f. Modal para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas nama syirkah.
HIWALAH
Secara bahasa pengalihan hutang dalam hukum islam disebut sebagai hiwalah yang mempunyai arti lain yaitu Al-
intiqal dan Al-tahwil, artinya adalah memindahkan dan mengalihkan.
Penjelasan yang dimaksud adalah memindahkan hutang dari tanggungan muhil (orang yang berhutang) menjadi
tanggungan muhal'alaih (orang yang melakukan pembayaran hutang).
Sedangkan pengertian Hiwalah secara istilah, para Ulama’ berbeda-beda dalam mendefinisikannya, antara lain
sebagai berikut :
“Memidahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab pula”.
DASAR HUKUM HIWALAH
Hawalah dibolehkan berdasarkan Sunnah dan ijma. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah
bahwa Rasulullah pernah bersabda :
ط ُل ْال َغنِ ِّى ظُ ْل ٌم فَاِ َذا ُأ ْتبِ َع َأ َح ُد ُك ْم َعلَى َملِ ِّى فَ ْلىَ ْتبَ ْع
ْ َم
“Menunda pembayaran bagi orang yang sudah mampu adalah suatu kezaliman. Dan jika salah seorang dari kamu
diikutkan (di-hawalah-kan) kepada orang yang mampu/kaya, terimalah hawalah itu.”
Pada hadits tersebut, rasulullah memberitahukan kepada orang yang mengutangkan, jika orang yang berutang
menghawalahkan kepada orang yang kaya atau mampu, hendaklah ia menerima hawalah tersebut dan hendaklah
ia menagih pada orang yang dihawalahkan (muhal ‘alaih). Dengan demikian, haknya dapat terpenuhi.
RUKUN HIWALAH
Menurut mazhab Hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan melakukan hiwalah) dari pihak pertama, dan qabul (penyataan
menerima hiwalah) dari pihak kedua dan pihak ketiga.
Menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali rukun hiwalah ada enam yaitu:
• 1. Pihak pertama, muhil ( )اــلمحيلyaitu orang yang berhutang dan sekaligus berpiutang,
• 3. Pihak ketiga muhal ‘alaih ( )اــلمحاــلعليهـyaitu orang yang berhutang kepada muhil dan wajib membayar hutang kepada muhtal.
• 4. Ada hutang pihak pertama pada pihak kedua, muhal bih ( )اــلمحاــلبـــهـyaitu hutang muhil kepada muhtal.
• 5. Ada hutang pihak ketiga kepada pihak pertama. Utang muhal ‘alaih kepada muhil.
• 1. Cakap melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu baligh dan berakal. Khiwalah tidak sah bila
dilakukan anak-anak meskipun ia sudah mengerti (mumayyiz), ataupun dilakukan oleh orang gila.
• 1. Cakap melakukan tindakan hukum, yaitu baligh dan berakal sebagaimana pihak pertama.
• 2. Ada persetujuan pihak kedua terhadap pihak pertama yang melakukan khiwalah..
SYARAT HIWALAH
• 1. Cakap melakukan tindakan hukum, yaitu baligh dan berakal sebagaimana pihak pertama dan kedua.
• 3. Imam Abu Hanifah menambahkan syarat bahwa qabul atau pernyataan menerima akad harus dilakukan dengan
sempurna oleh pihak ketiga didalam suatu majelis akad.
Syarat-syarat yang diperlukan terhadap utang yang dialihkan (al-muhal bih) adalah :
• 1. Yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk utang piutang yang telah pasti.
• 2. Pembayaran utang itu mesti sama waktu jatuh tempo pembayarannya. Jika terjadi perbedaan waktu jatuh tempo
pembayaran di antara kedua utang itu, maka khiwalah tidak sah.
BERAKHIRNYA HIWALAH
1. Karena dibatalkan atau fasakh. Ini terjadi jika akad hawalah belum dilaksanakan sampai tahapan akhir lalu difasakh.
Dalam keadaan ini hak penagihan dari Muhal akan kembali lagi kepada Muhil.
2. Hilangnya hak Muhal Alaih karena meninggal dunia atau bangkrut atau ia mengingkari adanya akad hawalah sementara
Muhal tidak dapat menghadirkan bukti atau saksi.
3. Jika Muhal’alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada Muhal. Ini berarti akad hawalah benar-benar telah dipenuhi
oleh semua pihak.
4. Meninggalnya Muhal sementara Muhal’alaih mewarisi harta hawalah karena pewarisan merupakah salah satu sebab
kepemilikan.
5. Jika Muhal menghibahkan atau menyedekahkan harta hawalah kepadada Muhal’Alaih dan ia menerima hibah tersebut.
• Syuf’ah secara bahasa diambil dari kata syaf’, yang artinya pasangan. Orang yang meminta syuf’ah disebut syafii’. Ada
yang mengatakan, bahwa dinamakan syuf’ah karena pemiliknya menggabung sesuatu yang dijual kepada miliknya,
sehingga menjadi sepasang setelah sebelumnya terpisah.
• Syuf’ah menurut ahli fiqh adalah keberhakan kawan sekutu mengambil bagian kawan sekutunya dengan ganti harta
(bayaran), lalu syafii’ mengambil bagian kawan sekutunya yang telah menjual dengan pembayaran yang telah tetap
dalam akad.
• Syuf’ah ini sah berdasarkan As Sunnah dan Ijma’. Imam Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin Abdillah, ia berkata,
“Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menetapkan syuf’ah pada harta yang belum dibagi-bagi, ketika batasannya telah
ditentukan dan jalan telah diatur, maka tidak ada lagi syuf’ah.”
HIKMAH SYUF’AH
• Hikmah disyari’atkan syuf’ah adalah untuk menghindari bahaya dan pertengkaran yang mungkin
sekali timbul. Hal itu, karena hak milik syafii’ terhadap harta yang dijual yang hendak dibeli oleh
orang lain menolak adanya madharat yang mungkin timbul dari orang lain tersebut.
• Ibnul Qayyim berkata, “Di antara keindahan syari’at, keadilannya dan berusaha menegakkan maslahat
hamba adalah mengadakan syuf’ah. Karena hikmah syari’ menghendaki dihilangkan madharrat dari kaum
mukallaf semampu mungkin. Oleh karena serikat (bersekutu) itu biasanya sumber madharrat, maka
dihilangkanlah madharrat itu dengan dibagikan atau dengan syuf’ah. Jika ia ingin menjual bagiannya dan
mengambil ganti, maka kawan serikatnya itulah yang lebih berhak daripada orang lain, dapat
menghilangkan madharat dari serikat itu dan tidak merugikan penjual, karena akan menghubungkan
kepada haknya berupa bayaran. Oleh karena itu, syuf’ah termasuk di antara keadilan yang sangat besar dan
hukum terbaik yang sejalan dengan akal, fitrah dan maslahat hamba.”
OBJEK SYUF’AH
• Objek syuf’ah adalah tanah yang belum dibagi-bagi, diikuti pula dengan apa yang ada di
dalamnya berupa pepohonan dan bangunan. Jika tanahnya sudah dibagi-bagi, tetapi masih ada
perlengkapan yang diserikati antara beberapa tetangga, seperti jalan, air, dan sebagainya, maka
menurut pendapat yang shahih dari dua pendapat ulama bahwa syuf’ah tetap berlaku. Hal ini
berdasarkan mafhum sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ketika batasannya telah
ditentukan dan jalan telah diatur, maka tidak ada lagi syuf’ah.” Sehingga jika jalan belum diatur,
maka syuf’ah masih berlaku.
“Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menetapkan syuf’ah pada harta yang belum dibagi-bagi, ketika
batasannya telah ditentukan dan jalan telah diatur, maka tidak ada lagi syuf’ah.”
UTANG PIUTANG
Utang Piutang atau pinjam meminjam dikenal dengan istilah Al-Qardh. Al-Qardh secara etimologi
(bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti memotong. Diartikan demikian karena orang yang
memberikan utang memotong sebagian dari hartanya untuk diberikan kepada yang menerima
utang. Secara terminologis (istilah syar’i) Al-Qardh ialah menyerahkan harta (uang) sebagai bentuk
kasih sayang kepada siapa saja yang akan memanfaatkannya dan akan dikembalikan berdasarkan
kesepakatan yang telah disepakati. Memberikan utang merupakan kebajikan yang membawa
kemudahan kepada muslim yang mengalami kesulitan dan membantunya dalam memenuhi
kebutuhan
HUKUM UTANG PIUTANG
Hukum Hutang piutang pada asalnya diperbolehkan dalam syariat Islam. Bahkan orang yang memberikan hutang atau
pinjaman kepada orang lain yang sangat membutuhkan adalah hal yang disukai dan dianjurkan, karena di dalamnya
terdapat pahala yang besar. Adapun dalil-dalil disyari’atkannya Qardh adalah sebagai berikut:
1. Surah Al-Baqarah ayat 245: “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan
hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.
Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)
2. Surah Al-Hadid ayat 11: “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Maka Allah akan melipat-
gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan Dia akan memperoleh pahala yang banyak.” (QS. Al-Hadid: 11)
3. Surah Al-Taghabun ayat 17: “Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipat gandakan
balasannya kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun.” (QS. Al-Taghabun:
17)
HUKUM UTANG PIUTANG
• Ayat-ayat diatas berisi anjuran untuk melakukan Qardh atau meberikan utang kepada orang lain, dan imbalannya adalah akan
dilipatgandakan oleh Allah SWT. Nabi SAW juga bersabda : “Setiap muslim yang memberikan pinjaman kepada sesamanya dua kali,
maka dia itu seperti orang yang bersedekah satu kali.” (Hadits ini di-hasan-kan oleh Al-Albani di dalam Irwa’ Al-ghalil Fi Takhrij Ahadits
manar As-sabil (no.1389).
• Berdasarkan hadist diataspun jelas sekali bahwa memberikan utang sangat dianjurkan, dan akan diberi imbalan oleh Allah SWT.
Adapun hikmah disyari’atkannya qardh ditinjau dari sisi sang penerima qardh adalah dapat membantu mengatasi kesulitan yang
sedang dialaminya. Sedangkan ditinjau dari sang pemberi qardh adalah dapat menumbuhkan rasa kasih sayang dan tolong menolong
sesama saudaranya dan peka terhadap kesulitan yang dialami oleh saudara, teman, ataupun tetangganya. Dari pembahasan di atas,
kita telah mengetahui dan memahami bahwa hukum berhutang atau meminta pinjaman adalah diperbolehkan, dan bukanlah sesuatu
yang dicela atau dibenci, karena Nabi SAW pernah berhutang. Namun meskipun demikian, hanya saja Islam menyuruh umatnya agar
menghindari hutang semaksimal mungkin jika ia mampu membeli dengan tunai atau tidak dalam keadaan kesempitan ekonomi.
Karena hutang, menurut Rasulullah SAW, merupakan penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari. Hutang juga
dapat membahayakan akhlaq, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya seseorang apabila berhutang, maka dia sering
berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR. Bukhari).
HUKUM UTANG PIUTANG
• Rasulullah SAW pernah menolak menshalatkan jenazah seseorang yang diketahui masih meninggalkan hutang dan
tidak meninggalkan harta untuk membayarnya. Rasulullah SAW bersabda: “Akan diampuni orang yang mati syahid
semua dosanya, kecuali hutangnya.” (HR. Muslim III/1502 no.1886, dari Abdullah bin Amr bin Ash R.A).
• Dan dari Ibnu Umar R.A bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan menanggung
hutang satu Dinar atau satu Dirham, maka dibayarilah (dengan diambilkan) dari kebaikannya; karena di sana tidak ada
lagi Dinar dan tidak (pula) Dirham.” (HR. Ibnu Majah II/807 no: 2414. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani).
RUKUN DAN SYARAT UTANG PIUTANG
Adapun yang menjadi rukun qardh adalah sebagai berkut : digunakan / dikonsumsi.
1. Muqridh (yang memberikan pinjaman). 3. Ijab qabul harus dilakukan dengan jelas.
3. Qardh (barang yang dipinjamkan) Qardh hukumnya sama dengan hibah, shadaqah dan ‘ariyah,
berlaku dan mengikat dengan telah terjadinya akad walaupun
4. Ijab qabul muqtaridh belum menrima barangnya. Muqtaridh boleh
mengembalikan persamaan dari barang yang dipinjamnya dan
Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam akad
boleh pula mengembalikan jenis barangnya, baik barang
qardh adalah :
tersebut mitslii atau ghair mitslii, apabila barang tersebut
belum berubah dengan tambah atau kurang. Apabila barang
1. Orang yang melakukan akad harus baligh, dan berakal.
telah berubah, maka muqtaridh wajib mengembalikan barang
2. Qardh harus berupa harta yang menurut syara’ boleh yang sama.
GADAI (RAHN)
Menurut bahasa, rahn artinya adalah tetap dan berkesinambungan. Disebut juga
dengan al-habsu yang artinya menahan.
Menurut istilah syara, gadai atau rahn didefinisikan oleh Sayyid Sabiq yang
mengutip pendapat Hanafiyah sebagai berikut, sesungguhnya rahn (gadai) adalah
menjadikan benda yang memiliki nialai harta dalam pandangan syara’ sebagai
jaminan untuk utang, dengan ketentuan dimungkinkan untuk mengambil semua
utang, atau mengambil sebagiannya dari benda (jaminan) tersebut.
HUKUM GADAI (RAHN)
Gadai (rahn) hukumnya dibolehkan berdasarkan Al-quran, sunnah, dan ijma. Adapun dasar dari Al-quran tercantum dalam suah Al-
Baqarah (2) ayat 283. Yang artinya:
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalat tidak secara tunai) sedangkan kamu tidak mempeeroleh seorang penulis, maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebgian yang
lain, maka hendalah yang dipercayai itu menunaikan amanahnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada alloh tuhannya; dan
janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian.Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah
orang yang berdosa hatinya; dan alloh maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Hadis Anas:
“dari Anas ia berkata: Rasulullah SAW menggadaikan baju perang kepada seorang yahudi di Madinah, dan dari orang yahudi itu
beliau mengambil sya’ir (jagung) untuk keluarganya”. (HR. Ahmad, Al-Bukhari, Nasa’i, dan Ibnu Majah)
Hadis Aisyah:“Dari Aisyah bahwa Nabi SAW mmbeli makanan dari seorang Yahudi dengan pembayaran tempo, dan beliau
menggadaikan kepada Yahudi itu satu baju perang yang terbuat daru besi. Dan dalam redaksi yang lain: Nabi wafat, sedangkan baju
perangnya di gadaikan kepadaseorang Yahudi dengan tiga puluh liter (sha’) syair (jagung)”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
RUKUN GADAI
Gadai memiliki empat unsur, yaitu rahin, murtahin, marhun, dan marhunbih. Rahin adalah orang
yang memberikan gadai, murtahin adalah orang yang menerimaa gadai, marhun atau rahn adalah
harta yang digadaikan untuk menjamin utang, dan marhunbih adalah utang.
Hanafiyah tidak melihat kepada keempat unsur tersebut, melainkan melihat kepada pertanyaan
yang dikeluarkan oleh para pelaku gadai, yaitu rahin dan murtahin. Oleh karna itu, hanafiyah
menyatakan bahwa rukun gadai adalah ijab dan qabul yang dinyatakan oleh rahin dan murtahin.
Menurut jumhur ulama rukun gadai ada empat, yaitu
· Aqid
· Shigat
· Marhun (benda yang digadaikan), dan
· Marhunbih (utang)
SYARAT GADAI
a. Syarat Aqid
Syarat yang harus dipenuhi oleh aqid dlam gadai yaitu rahin dan murthin, adalah ahliyah (kecakapan). Ahliyah (kecakapan)
menurut Hanafiyah adalah kecakapan untuk melakukan jual beli. Artinya, setiap orang yang sah melakukan jul beli, sah
pula orang yang melakukan gadai. Hal ini dikarenakan rahn atau gadai adalah suatu tasaruf yang bekaitan dengan harta,
seperti halnya jual beli. Dengan demikian, untuk sahnya akad gadai, pelaku disyaratkan erakal dan mumayyiz. Maka tidak
sah gadai yang diakukan oleh orang gila atau anak yang belum memasuki masa tamyiz.
Menurut jumhur ulama selain hanafiyah, kecakapan dalam gadai sama dengan kecakapan untuk mlakukan jual beli dan
akad tabarru’. Hal ini dikarenakan akad gadai adalah akad tabarru’, oleh krena itu tidak sah akad gadai yang dilkukan oleh
oang yang dipaksa, anak yang dibawah umur, gila, boros dan pailit.
b. Syarat Shighat
Menurut Hanafiyah, shighat gadai (rahn) tidak boleh digantungkan dengan syarat, dan tidak disandarkan kepada masa
yang kan datang. Hal ini dikarenakan akad gadai menyerupai akad jual beli, dilihat dari aspek pelunasan utang. Apabila
akad gadai digantungkan kepada syarat atau disandarkan kepada masa yang akan datang, maka akad menjadi fasid seperti
halnya jual beli.
SYARAT GADAI
c. Syarat Marhun
Para ulama sepakat bahwa syarat-syarat marhun (barang yang digadaikan) sama dengan syarat jual beli. Artinya, semua
barang yang sah di perjualbelikan sah pula digadaikan.
Secara rinci Hanafiah mengemukakan bahwa syarat-syarat marhun adalah sebagai berikut.
1. Barang yang digadaikan bisa dijual, yakni barang tersebut harus ada pada waktu akad dan mungkin untuk diserahkan.
2. Barang yang digadaikan harus berupa mal (harta)
2. Barang yang digadaikan harus mal mutaqawwim.
3. Barang yang digadai harus jelas
4. Barang tersebut dimiliki oleh rahin
d. Syarat Marhun bih
Marhun bih adalah suatu hak yang karenanya barang gadaian diberikan sebagai jaminan kepada rahin.
MACAM-MACAM GADAI
Secara etimologi, wakalah memiliki beberapa pengertian yang diantaranya adalah: (al-hifzh) yang berarti perlindungan,
atau (al-kifayah) yang berarti pencukupan, atau (al-dhamah) tanggungan, atau (al-tafwidh) berarti pendelegasian yang
diartikan juga dengan memberikan kuasa atau mewakilkan.
Sedangkan secara terminologi, wakalah berarti mewakilkan atau menyerahkan sesuatu pekerjaan atau urusan kepada
orang lain agar bertindak atas nama orang yang mewakilkan dalam masalah dan waktu yang ditentukan.
Menurut Ulama Syafi’iah mengatakan bahwa wakalah adalah ungkapan yang mengandung arti pendelegasian sesuatu
oleh seseorang kepada orang lain agar orang lain tersebut melakukan kegiatan yang telah dikuasakan atas nama
pemberi kuasa.
Menurut Ulama Malikiyah, wakalah adalah tindakan seseorang mewakilkan dirinya kepada orang lain untuk melakukan
kegiatan yang merupakan haknya, yang mana kegiatan tersebut tidak dikaitkan dengan pemberian kuasa setelah
pemberi kuasa wafat, sebab jika kegiatan dikaitkan setelah pemberi kuasa wafat maka sudah berbentuk wasiat.
DASAR HUKUM WAKALAH
Al-Hadits
Banyak hadits yang dapat dijadikan landasan keabsahan wakalah, di antaranya,
“Bahwasanya Rasulullah saw. mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang Anshar untuk mewakilinya mengawini Maimunah
binti al-Harits.” (Malik no.678 , Kitab Almuwaththa, Bab Haji)
Dalam kehidupan sehari-hari, Rasulullah telah mewakilkan kepada orang lain untuk berbagai urusan. Di antaranya adalah
membayar hutang, mewakilkan penetapan had dan membayarnya, mewakilkan pengurusan unta, membagi kandang
hewan, dll.
RUKUN DAN SYARAT WAKALAH
Rukun Wakalah
Syarat-syarat Wakalah
1) Orang yang mewakilkan ialah dia pemilik barang atau di bawah kekuasaannya dan dapat bertindak pada harta tersebut. Jika yanng
mewakilkan bukan pemilik atau pengampu, wakalah tersebut batal. Anak kecil yang dapat membedakan baik dan buruk dapat (boleh)
mewakilkan tindakan-tindakan yang bermanfaat mahdhah, seperti perwakilan untuk menerima hibah, sedekah, dan wasiat.
2) Orang yang mewakili hendaknya orang yang sudah baligh dan berakal sehat. Bila seorang wakil itu idiot, gila, atau belum dewasa,
maka perwakilan batal. Menurut Hanafiyah, anak kecil yang sudah dapat membedakan yang baik dan buruk sah untuk menjadi wakil,
alasannya ialah bahwa Amar bin Sayyidah Ummuh Salah mengawinkan ibunya kepada Rasulullah saw., saat itu Amar merupakan anak
kecil yang masih belum baligh.
RUKUN DAN SYARAT WAKALAH
Secara etimologis, kata ijarah berasal dari kata ajru yang berarti ‘iwadhu pengganti, oleh karena itu tsawah “pahala”
disebut juga dengan ajru “upah”.
Pihak pemilik yang menyewakan manfaat sesuatu disebut mu’ajjir, Adapun pihak yang menyawakan disebut musta’jir. Dan
sesuatu yang diambil manfaatnya disebut ma’jur. Sedangkan jasa yang diberikan sebagai imbalan atas manfaat tersebut
disebut ajrah atau ujrah upah
Dalil Al-Qur’an
1. “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka
dalam kehidupan dinia, dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar
sebagian mereka dapat mempergunakan yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”
(Asy-Suuara 43:32)
2. “Dan jika ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apaila kamu memberikan pelayanan
menurut yang patut. Bertakwalah kamukepada Alloh maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (al-baqarah 2:233)
3. “Salah seorang dari wanita itu berkata, ‘Wahai bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena
sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya.’ Berkata dia (syu’aib),’ Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari putriku ini,
atas dasar kamu kamu bekerja denganku delapan tahun, dan jika kamu cukupkan sepuluh ahun, maka itu adalah (suatu
kebaikan) dari kamu, maka aku tidak ingin memberkatimu. Dan kamu insya Alloh akan mendapatiku termasuk orang-orang
yang baik.’ ”(al-Qashash 28 : 26 dan27)
DASAR HUKUM MENYEWA
Dalil sunnah,
1. Dari Riwayat Bukhari bahwa Nabi saw. Pernah menyewa Seseorang dari Bani ad-Diil bernama Abdullah Bin Uraiqith
sebagai penunjuk jalan.
2. Ahmad, Abu Dawud, danan-Nasa’i meriwayatkandari Said din Abi Waqqas r.a. yang berkata, “Dahulu kami
menyewakan tanah dengan bayaran tanaman yang tumbuh. Lalu Rasulullah melarang peraktik tersebut dan
memerintahkan kami agar membayarnya dengan uang enas atau perak.”
3. Riwayat ibnu majah, Rasulullah bersabda, “ Berikan upah buruh(barang sawaan) sebelum keringatnya kering.”
Disamping Al-quran dan sunnah, dasar hukum ijarah ijma’. Sejak zaman sahabat sampai sekarang ijarah telah disepakati
oleh para ahli hukum islam, kecuali beberapa ulama yang telah disebutkan diatas. Hal tersebut dikarenakan masyarakat
sangat memutuhkan akad ini. Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, ada orang kaya yang memiliki beberapa rumah
yang tidak ditempati. Disisi lain ada orang yang tidak memiliki tenpat tinggal. Dengan diboehkannya ijarah maka oarang
yang tidak memiliki tempat tinggal bisa menempati rumah orang lain yang tidak digunakan untuk beberapa waktu
tertentu, dengan memberikan imbalan berupa uang sewa yang disepakati bersama, tanpa harus membeli rumahnya
SYARAT MENYEWA
Syarat terjadinya akad berkaitan dengan ‘aqid, akad, dan objek akad. Syarat yang berkaitan dengan aqid adalah berakal. Dan mumayyiz menurut Hanafiah,
dan balig menurut Syafi’iyah dan Hanabilah. Dengan demikian, akad ijarah tidak sah apabila pelakunya gila atau masih dibawah umur.
Untuk kelangsungan akad ijarah disyaratkan terpenuhinya hak milik atau wilayah (kekuasaan). Apabila si pelaku tidak mempunyai hak kepemilikan atau
kekuasaan (wilayah), seperti akad yang dilakukan oleh fadhuli, maka akadnya tidak bisa dilangsungkanSyarat sahnya ijarah
2. Objek akad yaitu manfaat harus jelas, sehingga tidak menimbulkan perselisihan.
2) Objek akad ijarah harus dapat dipenhi, baik menurut hakiki mapn syr’i
3) Manfaat yang menjadi objek akad harus manfaat yang dibolehkan oleh syara’.
4) Pekerjaan yang dilakukan itu bukan fardu dan bukan kewajiban orang yang disewa (ajir) sebelum dilakukan ijarah.
5) Orang yang disewa tidak boleh mengambil manfaaat dari pekerjaannya untuk dirinya sendiri.
6) Manfaat m’aqud ‘alaih harus sesuai dengan tujuan dilakukannya akad ijarah, yang biasa berlaku umum.
SYARAT MENYEWA
Gharar adalah transaksi bisnis yang mengandung ketidakjelasan bagi para pihak,
baik dari segi kuantitas, fisik, kualitas, waktu penyerahan, bahkan objek
transaksinya pun bisa jadi masih bersifat spekulatif. Ketidakpastian ini melanggar
prinsip syariah yang idealnya harus transparan dan memberi keuntungan bagi
kedua belah pihak
Dengan demikian, Islam memandang bahwa gharar adalah hal yang merugikan
para pihak, terutama pembeli. Hal ini karena jika konsumen sudah membayar
terlebih dahulu tanpa melihat objek transaksi, jika ternyata barang tersebut tidak
sesuai kehendaknya, tentu akan menimbulkan sengketa atau kerugian.
MACAM-MACAM GARAR
Menurut jenis ini, unsur gharar adalah pada keberadaan objek transaksi. Meskipun kedua pihak mengetahui wujud benda yang akan
diserahkan, namun pada saat akad dilakukan, penjual tidak sedang membawa barang tersebut.
Selain itu, penjual juga tidak mengetahui kapan ia bisa menyerahkan objek transaksi kepada pembeli. Contoh gharar jenis ini adalah jual beli
motor yang tidak sedang dikuasai pemiliknya karena dicuri.
Contoh jual beli gharar adalah ketika benda yang dijual belum tersedia. Misalnya, membeli anak sapi di perut tanpa menginginkan induknya
juga. Contoh lainnya, menjual burung di angkasa, sedangkan tidak jelas apakah penjual dapat menangkapnya atau tidak.
Dengan demikian, ada ketidakpastian kemampuan penjual untuk menyerahkan objek transaksi. Namun jika barang sudah pasti dapat
diperoleh, misalnya jual beli ikan di kolam pribadi dan langsung dilakukan penangkapan, maka tidak termasuk gharar.
MACAM-MACAM GARAR
Pada jenis ini, unsur gharar adalah pada nominal harga objek transaksi. Misalnya, hari ini, sepasang sepatu merek X dijual Rp1.5 juta
apabila dibayar lunas. Namun jika Anda membeli besok, harganya naik menjadi Rp1.7 juta per pasang.
Lain halnya jika Anda membayar dengan sistem angsuran, nominal totalnya menjadi Rp1.9 juta. Dengan demikian, tidak jelas harga
pasti dari satu pasang sepatu ini karena semuanya tergantung pada cara pembayaran dan kapan transaksi dilakukan.
Jenis lain gharar adalah transaksi tanpa kejelasan sifat objek. Contoh yang dapat Anda jumpai adalah menjual mangga yang masih
berada di pohon dengan klaim bahwa rasa buahnya manis. Padahal, penjual belum memetik dan mencicipinya.
MAYSIR
Pada ayat yang lain dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 262:
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian
mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-
nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si
penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
SHADAQAH
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik
(menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan
pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah
menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu
dikembalikan.” [QS. Al-Baqarah ayat 245]
"Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan infakkanlah (di jalan Allah)
sebagian dari harta yang Dia telah menjadikan kamu sebagai penguasanya
(amanah). Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menginfakkan
(hartanya di jalan Allah) memperoleh pahala yang besar.“ [QS. Al-Hadid ayat 7]
WAKAF
Wakaf Ahli
Wakaf bila ditinjau dari jenis bedanya ada
Wakaf yang ditunjukkan pada orang-orang tertentu,
seseorang atau lebih, keluarga si wakif (yang memberi
2:
wakaf) atau bukan. Wakaf ini wakaf yang 1. Benda tidak bergerak (tanah, sawah dan
diperuntukkan bagi kepentingan dan jaminan sosial di bangunan). Benda inilah yang sangat
lingungan keluarga, lingkungan kerabat sendiri.
dianjurkan untuk diwakafkan, karena
Wakaf Khairi
mempunyai nilai jariyyah yang lebih
Wakaf yang secara tegas untuk kepentingan
agamam(keagamaan) atau kemasyarakatn (kebajikan lama.
umum). Wakaf ini ditunjukkan kepada umum dengan 2. Benda begerak (kendaraan dan hewan
tidak terbatas penggunaanya yang mencangkup semua
aspek untuk kepentingan dan jaminan sosial,
ternak). Namun nilai jariyyahnya
Pendidikan, kesehatan, pertahanan, keamanan, dan terbatas hingga benda-benda tersebut
lain-lain. dapat dipertahankan.
WASIAT
Wasiat adalah perintah untuk melakukan suatu perbuatan setelah meninggal atau
dengan kata lain, bersedekah dengan harta setelah mati. Wasiat juga diartikan
dengan pesan, baik berupa harta maupun lainnya. Sedangkan menurut syari’at,
wasiat berarti pesan khusus yang dijalankan setelah orang yang berpesan itu
meninggal dunia. Maka wasiat berarti pernyataan kehendak oleh seseorang
mengenai apa yang akan dilakukan terhadap hartanya sesudah ia meninggal
dunia.
RUKUN DAN SYARAT WASIAT
Ada beberapa rukun dan syarat wasiat, yaitu Orang yang menerima wasiat disebut musha
sebagai berikut: lahu.
Orang yang memberi wasiat disebut mushi Musha lahu adalah orang yang diberi wasiat
Mushi adalah orang yang memberi wasiat kepada untuk menguruskan harta pemberi wasiat
orang lain untuk menguruskan harta sesudah ia sesudah ia meninggal. Musha lahu harus
meninggal. Untuk sahnya wasiat, pemberi wasiat memenuhi syarat- syarat sebagai berikut:
harus memenuhi syarat sebagai berikut: • Orangnya jelas, baik nama maupun alamatnya
• Baligh • Ia ada ketika pemberian wasiat
• Berakal sehat • Cakap menjalankan tugas yang diberikan oleh
• Dengan sukarela atas kemauan sendiri pemberi wasiat
RUKUN DAN SYARAT WASIAT
• Mempunyai keahlian memiliki, jadi tidak sah memberikan wasiat kepada orang
yang tidak bisa memiliki
• Orang yang menerima wasiat harus masih hidup ketika dilangsungkan
penngucapan wasiat
• Yang menerima itu tidak melakukan pembunuhan terhdapa orang yang
memberikan wasiat, baik secaa sengaja atau secara tidak sengaja.
• Orang yang wasiatkan tidak harus orang Islam, maka sah saja apabila
mewasiatkannya pada orang yang bukan beraga islam.
• Wasiat tidak ditunjukkan kepada orang yang murtad
DASAR HUKUM WASIAT