Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Interaksi antara seorang manusia dengan manusia yang lain merupakan hal yang wajar,
mengingat manusia merupakan makhluk sosial dimana seorang individu tidak dapat terlepas
dari individu yang lain. Seorang manusia tidak dapat hidup sendiri, dia akan senantiasa
membutuhkan peran dari manusia yang lain. Oleh karena itulah terjadi interaksi antara seorang
manusia dengan manusia yang lain.

Salah satu bentuk interaksi antara seorang manusia dengan manusia lainnya yaitu kegiatan
jual beli yang terjadi ketika seseorang menukarkan barang miliknya dengan barang milik
orang lain dengan persetujuan kedua belah pihak.

Akan tetapi kegiatan jual beli ini tidak selamanya dapat memberikan manfaat kepada setiap
manusia, hal ini disebabkan oleh perilaku-perilaku manusia yang ingin mendapatkan
keuntungan yang lebih banyak, sehingga dia melakukan upaya-upaya kotor untuk
mendapatkan keuntungan yang besar.
Maka untuk menyikapi hal ini, Allah melalui Rasulullah SAW. menetapkan aturan-aturan
yang harus ditaati oleh setiap muslim dalam urusan jual beli. Dimana aturan-aturan tersebut
pasti akan mendatangkan mashlahat bagi umat manusia, sehingga terciptalah kedamaian
diantara manusia.

Maka kita sebagai seorang muslim wajib mengetahui undang-undang yang telah Allah
SWT. tetapkan dalam urusan jual beli ini, sehingga kita dapat mengaplikasikannya dalam
kehidupan sehari-hari, mengingat kita sebagai makhluk sosial yang tidak dapat terlepas dari
urusan jual beli ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian jual beli ?
2. Bagaimana konsep jual beli dalam islam ?
3. Bagaimana jual beli yang dilarang dalam syariat islam ?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian jual beli
2. Mengetahui konsep jual beli dalam islam
3. Mengetahui jual beli yang dilarang dalam syariat islam

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Jual Beli


Dalam bahasa arab jual beli disebut dengan “al-Bay’u” yang bermakna tukar menukar
sesuatu dengan sesuatu yang lain, bisa berupa tukar menukar barang dengan barang ataupun
barang dengan uang.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia jual beli adalah persetujuan saling mengikat antara
penjual, yakni pihak yang menyerahkan barang, dan pembeli sebagai pihak yang membayar
harga barang yang dijual
Secara istiah, ada beberapa pendapat yang mendefinisikan jual beli diantaranya :
1. Imam an-Nawawi
Jual beli adalah tukar menukar harta dengan harta lain yang berdampak pada
adanya kepemilikian.
2. Ahmad Sarawat
Jual beli adalah menukar barang dengan barang atau menukar barang dengan uang,
dengan jalan melepaskan hak kepemilikan dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling
merelakan.
3. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama’ Indonesia
Akad jual beli adalah akad antara penjual dan pembeli yang mengaakibatkan
berpindahnya kepemilikan objek yang dipertukarkan (barang dan harga).
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa poin yang berkaitan dengan
jual beli yaitu :

1. Jual beli adalah kegiatan saling tukar menukar kepemilikan atas suatu barang atau
harta
2. Kegiatan tukar menukar tersebut dilakukan secara sukarela tanpa ada paksaan
sedikitpun.

B. Konsep Jual Beli dalam Islam

Dalam Islam, jual beli bukan hanya sekedar transaksi antar manusia namun ada aturan yang
harus dipenuhi yang telah dimaklumatkan oleh Allah ta’ala. Dan pada umumnya jual-beli itu
diperbolehkan oleh ‘ijma ulama dengan dalil dari Al-Qur’an dan Hadits. Dalam Surah Al-
Baqarah ayat 275 disebutkan;

2
ِ ‫َذلِك‬
َ‫َِب ََّّنُْمَقالُٓواَإََِّّنا َٱلْب ْي َُع َ ِمثْ ُل‬ َ ‫وم َٱلَّ ِذ‬
َِ ‫ى َي تخبَّطُهَُٱلشَّْي ٰط َُن َ ِمن َٱلْم‬
ٰ َ‫س‬ ُ ‫ومونَإََِّلَكماَي ُق‬
ِ
ُ ‫ٱلَّذينَ ََيْ ُكلُون َٱ ِلرب ٰواَ ََلَي ُق‬
َ‫ّللََِۖوم ْنَعاد‬ ََّ ‫نَربَِِهَۦ َفَٱنت ه َٰى َف ل َهُۥ َماَسلفَوأ ْم ُرَهَُٓۥ َإَِل ََٱ‬ ِ ٌ‫ّلل َٱلْب ي َع َوح َّرم َٱ ِلربَ ٰواَََفمنَجآءَهَۥ َموعِظة‬
َّ ‫َم‬ ْ ُ ْ ََُّ ‫ٱ ِلرب ٰواَََۗوأح َّل َٱ‬
َ‫اَخلِ ُدون‬
ٰ ‫َه ْمَفِيه‬ ِٰٓ
ُ َۖ‫بَٱلنَّا َِر‬
ُ ‫ص ٰح‬ْ ‫فأُولئكَأ‬

Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli
itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan);
dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang
itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

Dan dalam hadits disebutkan yang artinya;

Dari Rifa’ah bin Rafi’ r.a. (katanya): Sesungguhnya Nabi Muhammad, pernah ditanyai,
manakah usaha yang paling baik? Beliau menjawab: ialah amal usaha seseorang dengan tangannya
sendiri dan semua jual beli yang bersih. (H.R Baihaqi)1

Kemudian, jual beli memiliki hal-hal yang harus dipenuhi;

1. Rukun jual beli


Dalam Madzhab Hanafi disebutkan hanya ada satu rukun, yaitu ijab. Dalam
pandangan mereka, dengan adanya adanya keridhaan dan keikhlasan antara keduanya
untuk saling memberikan barang adalah hal yang paling prinsip dalam jual beli karena
dengan adanya ijab maka disana sudah dipastikan adanya orang yang berakad, objek
jual beli dan nilai tukarnya.

Akan tetapi, jumhur ulama menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat, yaitu:
a. Ada orang yang berakad
b. Ada sighat (lafal ijab dan qabul)
c. Ada barang yang dibeli
d. Ada nilai tukar pengganti2

1
As Shan’ani, Subulus Salam III, Terj. Abu Bakar Muhammad, (Surabaya: Al Ikhlas, 1995), 14
2
Nasrun Haroen, Fiqh Mu’amalah, 115.

3
2. Syarat jual-beli

Dalam syarat jual beli, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi bila hendak
melakukan transaksi; syarat bagi yang hendak melaksanakan akad, ada syarat ijab dan
qabul, juga syarat yang diperuntukan untuk barang yang akan dibeli dan syarat nilai
tukar.
a. Syarat bagi yang berakad
1) Ahliyyah

Yaitu harus baligh atau mumayyiz dan berakal. Mumayyiz sehimgga


bisa membedakan mana yang benar dan yang tidak. Sedangkan berakal
ialah dia mampu memahami ucapan orang-orang pada umumnya.

2) Wilayah
Artinya orang akan berakad harus benar-benar pemilik asli barang dari
yang akan diperjualbelikan, bisa juga berupa wakil atau wali atas sehingga
ia memiliki hak dan otoritas untuk mentransaksikannya. dan yang
terpenting, orang yang berakad harus bebas dari tekanan sehingga ia mampu
mengekspresikan pilihannya dengan bebas3.

b. Syarat ijab dan qabul.


Ijab adalah ungkapan yang dilontarkan oleh pemilik barang,
walaupun datangnya kemudian. Sedangkan qabul adalah ungkapan yang
menunjukkan penerimaan dari orang yang akan memiliki barang, walaupun
datangnya di awal.
1) Adanya kejelasan maksud dari kedua belah pihak.
Maksud dari pembeli jelas dan bisa dipahami dengan benar oleh penjual
merupakan salah satu syarat ijab dan qabul.

2) Adanya kesesuaian antara ijab dan qabul.


Yaitu jika pembeli memaksudkan barang tertentu yang hendak dia beli
dan penjual memberikan barang yang sesuai dengan kehendak pembeli.

3) Adanya pertemuan antara ijab dan qabul.


Transaksi dilakukan dalam satu majelis, pembeli dan penjual sama-
sama bisa mendengar dengan jelas transaksi tersebut.

3
Salih al- Fauzan, Fiqh Sehari-Hari, (Jakarta: Gema Insani, 2006), 366

4
4) Adanya kesepatan antara dua belah pihak .
Kedua belah pihak harus sama-rasa, yaitu rela satu sama lain dan tidak
adanya penolakan dari keduanya maupun dari satu pihak saja4.
Ijab dan qabul bisa batal dikarenakan oleh beberapa sebab, yaitu :
1) Penjual membatalkan transaksi sebelum adanya qabul dari pembeli.
2) Adanya penolakan ijab dari pembeli.
3) Berakhirnya majelis ijab qabul tanpa adanya kesepakatan antara
pembeli dan penjual.
4) Kedua belah pihak ataupun salah satunya kehilangan satu atau lebih dari
ahliyahnya.
5) Rusaknya objek yang akan diperjualbelikan sebelum qabul5.

c. Syarat barang yang diperjualbelikan.


1) Barang yang diperjual belikan harus bersih.

Harus jelas barang yang akan ditransaksikan bukan barang yang


diharamkan oleh syari’at, seperti menjual minuman keras.
2) Barang harus memiliki nilai manfaat.

Karena transaksi tentu dilakukan untuk mendapatkan manfaat dari


kedua belah pihak. Maka jika benda yang diperjualbelikan tidak memiliki
nilai manfaat maka transaksi tersebut tidak sah, seperti menjual
kalajengking.
3) Barang yang diperjualbelikan haruslah milik orang yang akan
melakukan transaksi.
Maka tidak boleh menjual barang bukan milik penjual, seperti menjual
barang hasil curian.

4) Barang yang diperjualbelikan haruslah sudah ada ditangan penjual6.


Maksudnya, tidak boleh menjual barang yang belum tentu ada saat akad
dilakukan, seperti menjual buah yang belum matang tapi dibeli dengan
harga saat matang dan pembeli nantinya akan mengambilnya saat sudah
matang namun transaksi sudah dilakukan jauh hari sebelum matang.
d. Syarat nilai tukar
1) Harga yang ditentukan kedua belah pihak, harus jelas jumlahnya.

4
Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, 64.
5
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah, 55.
6
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2010), 196- 198.

5
2) Boleh diserahkan pada saat akad sekalipun secara hukum, seperti
pembayaran berupa cek maupun kartu kredit.
3) Jika transaksi dilakukan dengan cara barter (saling menukar barang
dengan barang) maka tidak diperbolehkan menukar dengan barang
haram, seperti khamar7.

3. Macam-macam jual beli


Ditinjau dari hukum dan sifat jual beli, jumhur ulama membagi jual beli menjadi
dua macam, yaitu jual beli yang dikategorikan sah (shahih) dan jual beli yang
dikategorikan tidak sah. Jual beli shahih adalah jual beli yang memenuhi ketentuan
syara’, baik rukun maupun syaratnya, sedangkan jual beli tidak sah yang tidak
memenuhi syarat sehingga jual beli menjadi rusak (fasid) atau batal. Dengan kata lain,
menurut jumhur ulama, rusak dan batal memiliki arti yang sama.
Berikut ini jenis-jenis jual beli yang tidak sah atau bathil :

a. Jual beli barang yang tidak ada, seperti menjual kucing dalam karung,
pembeli tidak bisa melihat seperti apa yang akan dibelinya walaupun
disebutkan ciri-cirinya oleh penjual. Madzhab syafi’i mengharamkannya
dan inilah pendapat yang paling masyhur.
b. Menjual barang yang tidak diserahkan pada penjual, seperti menjual burung
yang kabur dari sangkarnya.
c. Mengandung ketidakjelasan (gharar) yaitu jual beli mengandung unsur
penipuan seperti menjual kurma dalam keranjang dan ditaruh yang bagus-
bagus diatas dan meletakan yang jelek di paling bawah. Ada 10 unsur gharar
yang dilarang oleh agama:
1) Tidak dapat diserahkan, seperti menjual anak hewan yang masih dalam
kandungan induknya.
2) Tidak diketahui harga dan barang.
3) Tidak diketahui sifat dan barang atau harga.
4) Tidak diketahui ukuran barang dan harga.
5) Tidak diketahui masa yang akan datang, seperti, “Saya jual kepadamu,
jika jadi datang.”
6) Menghargakan dua kali pada satu barang.
7) Menjual barang yang diharapkan selamat.
8) Jual beli husha’, misalnya pembeli memegang tongkat, jika tongkat
jatuh wajib membeli.

7
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, 118-119.

6
9) Jual beli munabadzah, yaitu jual beli dengan cara melempar-lempari,
seperti seseorang melempar bajunya, kemudian yang lain pun
melempari bajunya, maka jadilah jual beli.
10) Jual beli mulamasah (mana yang terpegang oleh engkau dari barang
itulah yang saya jual) apabila mengusap baju atau kain, maka wajib
membelinya.
d. Menjual barang-barang najis.
Karena semua barang dalam islam najis tidak mengandung makna harta dan
tidak memiliki unsur manfaat.
e. Jual beli al-‘urbun
Jual beli barang diberikan pada pembeli dan penjual menerima harga
tukarnya tapi dengan syarat jika pembeli mau membelinya maka barang itu
menjadi milik pembeli tapi jika pembeli tidak menginginkannya maka barang
itu dikembalikan pada penjual dan harga tukarnya itu menjadi hadiah bagi
penjual.
f. Jual beli barang yang dihasilkan alam dan setiap manusia mempunyai hak
atasnya, seperti menjual pasir, mata air dan sebagainya8.

Juga terdapat jual-beli yang fasid;


a. Jual beli al-majhul (benda atau barangnya secara global tidak diketahui),
dengan syarat kemajhulannya itu bersifat menyeluruh. Akan tetapi
kemajhulannya (ketidakjelasannya) itu sedikit, jual belinya sah, karena hal
itu tidak membawa kepada perselisihan.
b. Jual beli yang dikaitkan dengan suatu syarat.
c. Menjual barang yang gaib yang tidak dapat dihadirkan pada saat jual beli
berlangsung, sehingga tidap dapat dilihat oleh pembeli.
d. Jual beli yang dilakukan oleh orang buta.
e. Barter dengan barang yang diharamkan, umpamanya menjadikan barang-
barang yang diharamkan sebagai harga.
f. Jual beli anggur dan buah-buahan lain untuk tujuan pembuatan khamar,
apabila penjual anggur itu mengetahui bahwa pembeli itu adalah produsen
khamar.
g. Jual beli yang bergantung pada syarat, seperti ungkapan pada pedagang,
"Jika tunai harganya Rp. 10.000, dan jika berutang harganya Rp. 15.000."
h. Jual beli buah-buahan atau padi-padian yang belum sempurna matangnya
untuk dipanen9

8
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, 121-125
9
ibid, 125-128.

7
C. Macam-macam jual beli yang dilarang syari’at islam
1. Riba (bunga)

Riba diartikan sebagai keuntungan tambahan dari pinjaman atau hutang. Dalam
islam segala praktik riba diharamkan sebagaimana tercamtum dalam Surah A-Baqarah
ayat 275, yaitu:
ۡ
ِ ‫َاّللَُالب ۡيعَوحَّرم‬
َ‫َالرٰبوَا‬ ٰ ‫واح َّل‬
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”

Rasulullah SAW menjelaskan praktek riba dalam sabdanya :

ََ‫بَإَل‬
َ ‫عنَأيبَسعيدَاخلدريَرضيَهللاَعنه أنَرسولَهللاَصلىَهللاَعليهَوسلمَقالََلَتبيعواَالذهبَابلذه‬
َ‫الَمبثلَو ََلَتشفوَاَبعضهاَعل َىَبعض‬
َ ‫ضَوَلَتبيعوَاَالورقَابلورقَإ ََلَمث‬
َ ‫مثالَمبث َلَوَلَتشفوَاَبعضهاَعلىَبع‬
‫وَلَتبيعوَاَمنهاَغائباَبناج َز‬
“Dari Abu Sa'id Al Khudriy bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Janganlah kalian berjual beli emas dengan emas kecuali sama jumlahnya dan jangan
kalian lebihkan yang satu atas lainnya dan janganlah kalian berjual beli uang kertas
dengan uang kertas kecuali sama jumlahnya dan jangan kalian lebihkan yang satu atas
lainnya dan janganlah kalian berjual beli yang disegerakan (hadir) dengan yang
diakhirkan (ghoib, ditangguhkan)10".

2. Gharar (Ketidakjelasan atau Ambiguitas dalam Kontrak)


Gharar dalam Islam merujuk pada ketidakpastian, penipuan, dan risiko dalam
transaksi. Melalui hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah melarang
tindakan jual beli gharar: “Rasulullah melarang jual beli Al-Hashah11 dan beli
gharar.” (HR. Muslim)

3. Maysir (Perjudian)
Maysir atau judi dalam bahasa Arab adalah aktivitas jual beli yang dilarang dalam
Islam. Aktivitas ini melibatkan taruhan atau permainan yang mengandung unsur
ketidakpastian. Dan aktifitas ini dilarang oleh syariat sebagaimana tercantum dalam
Surah Al-Baqarah ayat 219, yaitu:
ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ
َِ ‫ي ۡس لُ ۡونكَع ِنَاخل ۡم ِرَوالم ۡي ِس َِرَقُ َۡلَفِ ۡي ِهمَآََاِۡثٌَکبِ ۡۡيٌ ََّومنافِ ُعَلِلن‬
‫َّاس واِۡثُُهمآَاکَبُ َِم ۡنَنَّفعِ ِهما‬

10
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, no. 2031
11
jual beli dengan cara melempar kerikil, yaitu seorang penjual berkata kepada pembeli, “Lemparkan
kerikil ini, di mana saja kerikil ini jatuh, maka itulah batas akhir tanah yang engkau beli.”

8
“Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamar dan judi.
Katakanlah, Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia.
Tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya.”
4. Tahdid (ancaman)
Transaksi yang melibatkan ancaman atau paksaan menghilangkan unsur
kesukarelaan dan keadilan, yang merupakan prinsip dasar dalam perdagangan Islam.
Maka praktik jual beli yang mengandung unsur paksaan didalamnya maka transaksinya
batal atau tidak sah.

5. Ghalat (Kesalahan)
Dalam Islam, ghalat merujuk pada kesalahan dalam transaksi. Kesalahan ini dapat
berupa ketidaksesuaian informasi, ketidaktahuan, atau ketidakpastian yang dapat
merugikan salah satu pihak. Selain itu, transaksi yang melibatkan barang haram seperti
alkohol dan daging babi juga dianggap sebagai kesalahan.
6. Zhulm (Ketidakadilan)

Islam melarang segala bentuk transaksi yang dapat menyebabkan ketidakadilan


kepada salah satu pihak dalam kontrak. Dalam transaksi keuangan Islam, ada unsur-
unsur yang dilarang karena dapat menyebabkan eksploitasi dan ketidakadilan. Islam
menekankan transparansi, akurasi, dan pengungkapan informasi penting dalam setiap
transaksi agar tidak ada pihak yang dirugikan.

7. Khida’(penipuan)
Penipuan dalam bentuk apa pun dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip
keadilan dan transparansi yang diajarkan oleh Islam maka islam melarang adanya
penipuan dalam jual beli.
8. Istihlal (Eksploitasi)
Istihlal merujuk pada tindakan menganggap sesuatu yang haram sebagai halal.
Istilah ini berasal dari akar kata Arab yang berarti "membuka" atau "melepaskan".
Dalam konteks fiqh, istihlal mengacu pada distorsi yang salah dan tidak tepat dari
hukum Islam.

9. Ihtikar (Monopoli)
Hal ini dilakukan dengan cara membeli barang saat harganya tinggi, namun tidak
menjualnya segera, melainkan menimbunnya untuk dijual kembali pada harga yang
lebih tinggi di kemudian hari. Praktek ini dianggap merugikan masyarakat karena dapat
mengakibatkan kelangkaan barang dan kenaikan harga. Oleh karena itu, Islam

9
melarang praktek monopoli, terutama pada barang-barang kebutuhan pokok, untuk
menjaga kesejahteraan dan keadilan ekonomi.

10
BAB III
PENUTUPAN

A. Kesimpulan
Jual beli merupakan kegiatan yang tidak dapat terlepas dari manusia, karena
manusia sebagai makhluk sosial yang selalu membutuhkan manusia lainnya untuk
memenuhi kebutuhannya.
Jual beli dilakukan dengan cara saling bertukar benda atau harta sehingga
berdampak pada berpindahnya hak kepemilikan suatu barang yang terjadi secara sukarela.

Hukum asal jual beli adalah mubah selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.
Namun pada prakteknya, seiring berjalannya waktu munculah praktek-praktek jual beli
yang memberikan dampak kerugian kepada Sebagian pihak dan keuntungan pada pihak
lainnya, maka Allah SWT memberikan batasan-batasan tentang jual beli yang dilarang
dalam syariat, hal ini memiliki faidah bahwasanya jual beli itu haruslah menguntungkan
kedua belah pihak.

Praktek jual beli selamanya boleh dilakukan kecuali pada praktek-prakter jual beli
yang mengandung riba, gharar, maysir, tahdid, ghalat, zhulm, khida’,istihlal dan ihtikar.
Maka sudah semestinya kita sebagai umat islam menjalankan praktek jual beli yang tidak
melewati batas-batas yang sudah Allah SWT tentukan, dengan harapan terciptanya
kemashlahatan dan kedamaian antara manusia

B. Saran dan Kritik


Penulis sadar betul dengan keterbatasan penulis dalam berbagai aspek dalam penulisan
makalah ini, terkhusus dari sedikitnya pengetahuan yang penulis miliki, sehingga dalam
penjelasannya kurang memuaskan para pembaca.
Maka saran dan kritik yang membangun dari para pembaca sangat kami tunggu dan
akan kami terima dengan senang hati.

11
DAFTAR PUSTAKA

• Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2010)
• As Shan’ani, Subulus Salam III, Terj. Abu Bakar Muhammad, (Surabaya: Al Ikhlas, 1995),
• Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah
• Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia
• Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah
• Salih al- Fauzan, Fiqh Sehari-Hari, (Jakarta: Gema Insani, 2006)
• Arti kata jual beli - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online
• Holilur Rohman_buku_Hukum Jual Beli Online.pdf (uinsa.ac.id)
• http://digilib.uinsa.ac.id/11315/5/bab2.pdf
• https://almanhaj.or.id/4037-jual-beli-mulamasah-munabadzah-hashah-muhaqalah.html
• https://quran.com/id.html
• https://yatimmandiri.org/blog/muamalah/jual-beli-yang-dilarang-dalam-islam.html

12

Anda mungkin juga menyukai