B. Definisi
1. Menurut Bahasa dan Istilah
Kata murabahah diambil dari bahasa Arab ar-ribhu yang berarti
kelebihan dan tambahan ( keuntungan ) 1
Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan
tambahan keuntungan yang disepakati.2
2. Murabahah menurut Para Ahli
a. Munurut Imam Hanafi yang terkenal, mendefinisikan murabahah
sebagai penjualan barang apapun pada harga pembelian yang
ditambah dengan jumlah yang tetap sebagai keuntungan
1
http://arif-zulbahari.blogspot.co.id
2
Muhammad Syafi’I Antonio, bank syari’ah dari teori ke praktik, halaman 101, Gema Insani tahun
2001, Jakarta
1
b. Menurut Ibnu Qudam, Fuqaha Hanbali, mendefinisikannya sebagai
penjualan pada biaya modal ditambah dengan keuntugnan yang
diketahui. Pengetahuan akan biaya modal adalah persyaratan
utamanya.
c. Menurut Imam Malik, murabahah dilakukan dan diselesaikan
pertukaran barang dan harga, termasuk margin keuntungan yang
telah disetujui bersama pada saat itu dan pada tempat itu pula.
Dapat disimpulkan bahwa apabila terjadi jual beli, maka
pihak penjual barang mempertegas harga pembelian yaitu harga
pokok dan keuntungan yang disepakati antara penjual dan pembeli,
agar memudahkan kesduanya dalam bertransaksi, apabila ada
kejelasan antara kedua belah pihak, maka semua tidak akan merasa
dirugikan.3
C. Etika Murabahah
a. Waktu
Kegiatan perdagangan diperbolehkan sepanjang tidak dilakukan pada
waktu-waktu yang dilarang. Waktu yang dilarang untuk melakukan
perdagangan misalnya saat khutbah jum’at sedang berlangsung
b. Pelaku Perdagangan
Penjual dan pembeli harus memenuhi syarat aqil dan baligh untuk
dapat melaksanakan transaksi perdagangan. Persyaratan ini
dimaksudkan untuk melindungi keduanya dari penipuan dan tindakan
lain yang merugikan. Kedua pihak harus memiliki etika akhlak yang
mulia.
c. Tempat
Murabahah hendaknya dilakukan ditempat yang baik yang
memungkinkan penjual dan pembeli dapat melakukan tawar-menawar
dan saling merelakan dalam bertansaksi. Islam melarang perdagangan
yang dilakukan di masjid.
3
http://efprints.walisongo.ac.id
2
d. Proses Perdagangan
Proses perdagangan harus dilakukan sesuai dengan syariat. Untuk
keperluan ini harus dipenuhi adanya:
a. Aqid, yakni pihak yang melakukan akad jual beli, yakni penjual
dan pembeli. Keduanya harus memiliki kebebasan pembelanjaan,
tidak ada paksaan yang tidak dibenarkan .
b. Ma’qud Alaih, yaitu barang yang diperjualbelikan. Syaratnya harus
suci, bermanfaat menurut kriteria syariat, dapat diserahterimakan,
dalam kekuasaan pelaku akad dan teridentifikasi pelaku akad.
c. Shigat Ijab dan Qabul, Kalimat transaksi jual beli tidak disela oleh
pembicaraan lain, tidak disela oleh pembicaraan yang lama, ada
persesuaian antara pernyataan ijab dan qabul, tidak digiantungkan
kepada sesuatu yang lain dan tidak ada batasan masa. 4
D. Jenis-Jenis Murabahah
1. Murabahah Tanpa Pesanan
Maksudnya, ada yang pesan atau tidak, ada yang beli atau tidak, bank
syariah menyediakan barang dagangannya, penyediaan barang tidak
terpengaruh terkait langsung dengan ada tidaknya pembeli.
2. Murabahah Berdasarkan Pesanan
Maksudnya adalah bank syariah baru akan melakukan transaksi atau
jual beli apabila ada nasabah yang memesan barang sehingga
penyediaan barang baru dilakukan jika ada pesanan.5
a. Bersifat Mengikat
Yaitu apabila barang telah dipesan harus dibeli
b. Bersifat Tidak Mengikat
4
www.bppk.kemenkeu.go.id
5
http://blog.pasca.gunadarma.ac.id/2012/07/murabahah/
3
Yaitu walaupun nasabah telah memesan barang, tetapi nasabah tdak
terikat, nasabah dapat menerima atau membelikan barang tersebut.
1. Pelaku
Pelaku dalam pelaksanaan akad Murabah yaitu harus mengerti hukum
dan Baligh (berakal dan dapat membedakan), sehingga jual beli
dengan orang gila menjadi tidak sah sedangkan jual beli dengan anak
kecil dianggap sah apabila seizin walinya.
2. Objek Jual Beli
Ada beberapa ketentuan yang harus terpenuhi:
a. Barang yang diperjual belikan adalah barang yang halal. Hal ini
sesuai dengan hadist berikut:
“sesungguhnya Allah mengharamkan menjual beli khamar,
bangkai, babi, patung.” (HR. Bukhari Muslim)
b. Barang yang diperjual belikan harus dapat diambil manfaatnya atau
memiliki nilai, dan bukan merupakan barang-barang yang dilarang
diperjual belikan, misalnya jual beli barang kadaluarsa.
c. Barang yang akan dipejual belikan harus dimiliki oleh penjual. Jual
beli barang yang tidak dimiliki oleh penjual adalah tidak sah,
karena bagaiman mungkin ia dapat menyerahkan kepemilikan
barang kepada orang lain atas barang yang bukan miliknya. Jual
beli oleh bukan pemilik barang seperti itu akan dianggap sah
apabila mendapatkan ijin dari pemilik barang.
d. Barang yang akan diperjual belikan dapat diserahkan pada waktu
yang sedah ditentukan.
e. Barang yang akan diperjual belikan harus diketahui secara spesifik
dan dapat diidentifikasikan oleh pembeli sehingga tidak ada gharar
(ketidakpastian).
4
f. Barang tersebut dapat diketahui kuantitas dan kualitasnya dengan
jelas, sehingga tidak ada gharar.
g. Harga barang tersebut harus jelas. Maksudnya harga barang yang
diperjual belikan harus diketahui oleh pembeli dan penjual, berikut
cara pembayaran yang digunakan sehingga jelas dan tidak ada
gharar.
h. Barang yang diperjual belikan harus ada ditangan penjual. Barang
yang tidak ada ditangan penjual akan menimbulkan ketidakpastian.
3. Ijab Kabul
Pernyataan dan ekspresi saling rida/rela di antara pihak-pihak pelaku
akad yang dilakukan secara verbal, tertulis, melalui korespodensi atau
menggunakan cara-cara komunikasi modern. Apabila jual beli telah
dilakukan sesuai dengan ketentuan syariah maka kepemilikannya,
pembayarannya dan pemanfaatan atas barang yang diperjualbelikan
menjadi halal.
4. Nilai Tukar (harga)
Sifatnya harus pasti dan jelas baik jenis maupun jumlahnya.
“Al Arabun dengan difathahkan huruf ‘Ain dan Ra’ nya. Sebagian ulama
menyatakan, yaitu seorang membeli sesuatu atau menyewa sesuatu dan
memberikan sebagian pembayarannya atau uang sewanya kemudian
menyatakan, ‘Apabila transaksi sempurna maka kita hitung ini sebagai
pembayaran dan bila tidak maka itu untukmu dan aku tidak meminta
kembali darimu.’ Dikatakan ‘Urbun dengan wazan ‘Usfur dan Al’Urbaan
dengan huruf nun asli.”
5
Al Ashma’i menyatakan, Al U’rbun adalah kata ajam (non arab)
yang di Arabkan.
6
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara mu.
Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah
adalah maha penyayang kepadamu.” (Qs An Nisa 4:29)
Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya (5/150) menyatakan, “Di antara
memakan harta orang lain dengan bathil adalah jual beli dengan
panjar (uang muka). Jual beli ini tidak benar dan tidak boleh
menurut sejumlah ahli fiqih dari ahli Hijaz dan Iraq, karena jual
beli perjudian, ghoror, spekulatif dan memakan harta orang lain
dengan bathil tanpa penggantidan hadiah pemberian dan itu jelas
bathil menurut ijma’.”
2. Murabahah dengan uang muka diperbolehkan
Inilah pendapat madzhab Hanabilah dan diriwayatkan kebolehan jual
beli ini dari Umar, Ibnu Umar, Sa’id bin Al Musayyib dan Muhammad
Bin Sirin.
Al Khotobi menyatakan, “telah diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa
beliau memperbolehkan jual beli ini dan juga diriwayatkan dari Umar.
Ahmad cenderung mengambil pendapat yang membolehkannya dan
menyatakan, ‘Aku tidak akan mampu menyatakan sesuatu sedangkan
ini adalah pendapat Umar, yaitu tentang kebolehannya.’ Ahmad pun
melemahkan hadits larangan jual beli ini , karena terputus.
Dasar argumentasi mereka adalah:
a. Atsar yang berbunyi,
“Diriwayatkan dari Nafi bin Al-Harits, ia pernah membelikan
sebuah bangunan penjara untuk Umar dari Shafwan bin Umayyah,
(dengan ketentuan) apabila Umar suka. Bila tidak, maka Shafwan
berhak mendapatkan uang sekian dan sekian.
Atsar ini dikeluarkan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya
(5/392) dan Al Bukhori secara Mu’allaq (lihat Fathul Bari 5/91)
dan Al Atsram meriwayatkannya dalam kitab Sunnahnya dari jalan
7
periwayatan Ibnu ‘Uyainah DARI Amru bin Dinaar dari
Abdurrahman bin Farukh.
b. Uang muka ini adalah kompensasi utuk penjual yang telah
menunggu dan menyimpan barang transaksi untuk beberapa waktu.
Ia tentu saja akan kehilangan sebbagian kesempatan berjualan.
c. Tidak sahnya qiyas atau analogi jual beli ini dengan Al Khiyar Al
Majhul (hak pilih terhadap hal yang tidak diketahui), karena syarat
dibolehkannya panjar ini adalah dibatasinya waktu menunggu.
Dengan dibatasinya waktu pembayaran, maka batallah analogi
tersebut, dan hilanglah sisi yang dilarang dari jual beli tersebut.6
Namun jika salah satu pihak merasa dirugikan atas hal tersebut,
maka pihak tersebut dapat menuntut dapat mengajukan tuntutan secara
perdata maupun pidana, dengan terlebih dahulu menyelesaikan dengan
cara damai.
6
https://pengusahamuslim.com/718-jual-beli-dengan-sistem-panjaruang-muka.htm
7
http://repo.iain-tulungagung.ac.id/6297/5/BAB%20II.pdf